• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tafsiran Poligami Dalam Pandangan Muhammad Syahrur Copyright 2017 Ozy Publisher vii+83 hlm.; 23 cm x 16 cm ISBN:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tafsiran Poligami Dalam Pandangan Muhammad Syahrur Copyright 2017 Ozy Publisher vii+83 hlm.; 23 cm x 16 cm ISBN:"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta Pasal 2:

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pengarang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana: Pasal 72

1. Barangsiapa yang sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Ayat (1) atau pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (tahun) dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(4)
(5)

Tafsiran Poligami Dalam Pandangan Muhammad Syahrur Copyright© 2017

Ozy Publisher

vii+83 hlm.; 23 cm x 16 cm ISBN: 978-602-6492-92-0 Penyusun: Aramyth Li, dkk. Perancang Sampul: Michelia Alba

Penyunting Naskah: Siti Zulaikhah, S.E., A.kt., M. Si Penata Letak: Feliana Vinda Vicelia

Redaksi: Ozy Publisher

Jl. KH Hasyim Asy’ari No 29 Kauman Pasar Kliwon Surakarta

082225351255

Cetakan pertama: Juni 2017

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit Isi di luar tanggung jawab Penerbit

Perpustakaan Nasional RI Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Ma’mun Efendi.

Tafsir Poligami / penulis naskah,Ma’mun Efendi.–Surakarta: Ozy Publisher, 2017.

vii+83 hlm.; 16 cm x 23 cm

ISBN: 978-602-6492-92-0

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur hanya bagi Allah swt yang telah menurunkan al-Quran sebagai sumber Islam yang utama memuat Ibadah, Sosial dan Hukum-hukum. Salawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, yang telah menuntun manusia menuju alam yang penuh dengan cahaya.

Selanjutnya, penulisan buku ini dengan judul Tafsir Poligami Dalam Pandangan Muhammad Syahrurtidak akan pernah mencapai tahap penyelesaian tanpa bantuan dari beberapa pihak yang telah memberi dukungan kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr.H.A.Mufrod Teguh Mulyo,M.H. Rektor UNU Surakarta 2. Bapak Sutrisno, S.H., M.Hum Pembantu Rektor I UNU Surakarta 3. Bapak Dr. Rustam Ibrahim, M.S.I Pembantu Rektor II UNU

Surakarta .

Tidak lupa terima kasih khusus penulis sampaikan kepada orang-orang terdekatnya :

1. Isteri tercinta Dr.Hj.Yuyun Affandi, Lc., M.A.,

2. Anak-anak tersayang (Nadiah, Hisyam, Abdulaziz dan Wafa) atas dukungannya .

Penulis hanya bisa berdoa semoga bantuan, dukungan, dorongan, bimbingan, pelayanan, saran, dan kritikannya mendapat balasan yang setimpal dari Allah swt. Dengan harapan semoga buku ini bermanfaat bagi para pembaca amin.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Kata Pengantar ...v

Halaman Daftar Isi... vi

BAB I PARADIGMA POLIGAMI...1

BAB II METODE TAFSIR AL-QUR’AN ...5

A. Pengertian Tafsir...5

B. Sejarah Perkembangan Tafsir ...6

C. Bentuk dan Corak Penafsiran al-Qur’an...9

D. Metode Penafsiran Ayat-ayat Hukum ...17

BAB III PENAFSIRAN AYAT-AYAT POLIGAMI...25

A. Al-Jami’liAhkamal-Qur’an...25

B. Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan ...27

C. Al-Asasfial-Tafsir...29

D. Tafsir al-Jalalain ...30

E. Tafsir al-Misbah ...30

BAB IV PENAFSIRAN MUHAMMAD SYAHRUR DALAM AYAT-AYAT POLIGAMI...32

A. Biografi Intelektual Muhammad Syahrur...32

B. Metode Penafsiran Muhammad Syahrur dalam Memahami Ayat-ayat Hukum ...36

C. Metode dan Pemahaman Muhammad Syahrur dalam Menafsirkan Ayat-ayat Poligami...44

(8)

BAB V

ANALISIS PEMAHAMAN MUHAMMAD SYAHRUR

TENTANG POLIGAMI...52 A. Analisis Metode Penafsiran al-Kitab Muhammad Syahrur

di Tengah Metode Penafsiran Ulama Lainnya ...52 B. Analisis Metode Penafsiran Ayat Poligami Muhammad

Syahrur di Tengah Penafsiran Ulama Lainnya ...61 BAB VI

KESIMPULAN ...75 DAFTAR PUSTAKA

(9)

BAB I

PARADIGMA POLIGAMI

Poligami merupakan permasalahan klasik namun senantiasa actual. Klasik karena persoalan poligami telah ada sejak masa awal Islam, bahkan sebelum Islam. Aktual karena dalam setiap tahun sampai sekarang persoalan selalu muncul bersamaan dengan praktik yang dilakukan oleh umat Islam, sehingga hal ini menjadi perbincangan menarik dan hangat bagi umat Islam khususnya.

Para pemikir keislaman banyak yang mencurahkan kemampuannya untuk memahami persoalan poligami dalam Islam. Masing-masing ulama memiliki cara dalam memahami persoalan tersebut, baik dari kalangan mufassir, fukaha, maupun pemikir keislaman lainnya.

Yang menarik adalah, dasar pijakan semua pemikir keislaman tersebut bersumber dari ayat-ayat al-Qur’an yang sama. Baik, yang menerima poligami maupun yang menolak poligami. Mereka memahami firman Allah swt, surat al-Nisa (4) : 3, dengan kecenderungan dan keahlian ilmu masing-masing.

                                       

Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap hak-hak anak perempuan yatim (apabila kamu hendak menikahi), maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga, atau empat, kemudian jika kamu takut tidak dapat berbuat adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat dengan tidak berbuat aniaya.

Kecenderungan dan keahlian ilmu yang dimiliki oleh masing-masing pemikir keislaman ini menampilkan produk hukum yang berbeda satu sama lain. Setidaknya ada dua pendapat dalam masalah poligami, yaitu satu kelompok menolak poligami dan kelompok lain menerima adanya poligami. Kebanyakan pemikir Islam menerima

(10)

adanya poligami, meski mereka berbeda dalam syarat yang harus dipenuhi untuk melaksanakan poligami, dari syarat yang terberat sampai syarat yang ringan.

Tidak adanya kesepakatan di antara pemikir muslim sejak masa awal Islam sampai masa sekarang, karena (a) teks ayat poligami terbuka untuk multi tafsir, dan (b) subyektivitas pemikir keislaman. Di sinilah letak pentingnya kecenderungan dan keahlian yang dimiliki umat muslim.

Muhammad Syahrur Dan Poligami

Pada dekade terakhir ini, terdapat beberapa pemikir keislaman yang menjadi perhatian bagi umat muslim. Diantara pemikir-pemikir keislaman tersebut adalah Muhammad Syahrur. Ia mendapat perhatian besar umat muslim. Sebagai seorang insinyur dan pemikir keislaman yang lahir di Damaskus, ia memandang bahwa hukum Islam yang berangkat dari ketentuan nas harus selalu hidup sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, kemaslahatan umat manusia akan terwujud sepanjang zaman dan di manapun mereka berada, tidak hanya untuk kemaslahatan manusia pada suatu zaman atau kemaslahatan manusia di daerah tertentu.

Perbedaan pemahaman yang ditampilkan oleh Muhammad Syahrur dengan ulama pada umumnya (jumhur al-ulama) penggunaan pendekatan kebahasaan, yaitu ia menolak sinonimitas bahasa dalam al-Qur’an. Tidak seperti ulama lainnya yang (jumhur ‘ulama) mengakui adanya sinonimitas bahasa dalam al-Qur’an. Menurut Muhammad Syahrur (2000a: 192), setiap kata dalam al-Kitab (al-Qur’an) mempunyai makna masing-masing.

Berangkat dari perbedaan metode dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, maka perbedaan antara Muhammad Syahrur dengan ulama lainnya berlanjut pada hasil pemahaman terhadap maksud kandungan ayat-ayat al-Qur'an.

Untuk memahami masalah poligami, Muhammad Syahrur (2000b: 303) berpegang pada surat al-Nisa' (4): 3, dalam mensyaratkan diperbolehkannya poligami, yaitu wanita yang akan dijadikan istri kedua, ketiga, dan keempat adalah janda yang mempunyai anak yatim. Hal ini didasarkan atas hubungan sebab akibat antara ayat poligami

(11)

dengan ayat tentang anak yatim, yaitu surat al-Nisa1 (4): 2-4. Muhammad Syahrur melihat masalah poligami berdasarkan atas konsep kemanusiaan, yakni hati nurani kepada anak-anak yatim, dengan cara menunaikan hak-haknya, memberi perlindungan dan pengurusan.

Sebetulnya, pemahaman Muhammad Syahrur ini masih terdapat celah kelemahan. Jika Muhammad Syahrur melihat ayat ketiga dari surat al-Nisa' (4), masih berhubungan dengan ayat sebelumnya dalam surat yang sama, yaitu ayat kedua dari surat al-Nisa' (4): 4

                         

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu memakan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (memakan dan menukar) itu, adalah dosa besar.

Hal itu memang benar, dalam kaitannya memperhatikan nasib anak yatim yang bersentuhan dengan harta benda mereka, baik dalam keadaan mereka diampu di luar nikah seperti dalam surat al-Nisa' (4): 2 atau berlanjut di jenjang pernikahan seperti dalam Surat al-Nisa' (4): 3. Namun, bukan hubungan anak yatim yang dinikahi ibunya seperti yang dinyatakan Syahrur di atas, karena tidak sesuai dengan asbab al-nuzul turunnya ayat tersebut.

Sebab turunnya ayat tersebut berkaitan dengan riwayat ‘Aisyah istri Rasulullah saw., ketika menjawab pertanyaan ‘Urwah bin Zubair, anak Asma kakak ‘Aisyah, yang sering bertanya kepadanya tentang masalah agama yang musykil. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu ‘Abdi Allah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari (tt., III: 237-238):

ﺎﻨﺛﺪﺣ ﮫﻧأ ةوﺮﻋ ﻲﻧﺮﺒﺧأ لﺎﻗ يﺮـھﺰﻟا ﻦﻋ ﺪﯾﺰﯾ ﻦﺑ ﺲﻧﻮﯾ ﻦﻋ ﻢﯿھاﺮﺑإ ﻦﺑ نﺎـﺴﺣ ﻦﻋ ﻲﻠﻋ ﺔﺸﺋﺎﻋ لﺄﺳ ﻲﻟﺎﻌﺗ ﮫﻟﻮﻗ ﻦﻋ :        ﻲﻓ نﻮﻜﺗ ﺔـﻤﯿﺘﯿﻟا ﻲﺘـﺧأ ﻦﺑا ﺎﯾ ﺖﻟﺎـﻗ اﻮـﮭﻨﻓ ﺎﮭﻗاﺪـﺻ ﺔﻨـﺳ ﻦﻣ ﻰﻧدﺄﺑ ﺎﮭﺟوﺰﺘﯾ نأ ﺪﯾﺮﯾ ﺎﮭﻟﺎﻤﺟو ﺎﮭﻟﺎﻣ ﻲﻓ ﺐﻏﺮﯿﻓ ﺎﮭـﯿﻟو ﺮـﺠﺣ ﻦﻣ حﺎﻜﻨﺑ اوﺮـﻣأو قاﺪـﺼﻟا اﻮﻠﻤﻜﯿﻓ ﻦﮭﻟ اﻮﻄــﺴﻘﯾ نأ ﻻإ ﻦھﻮـﺤﻜﻨﯾ نأ ﻦﻣ ﻦھاﻮﺳ ءﺎــﺴﻨﻟا . يرﺎـﺨﺒﻟا ﮫـﺟﺮـﺧأ .

(12)

Ali meriwayatkan (hadis) kepada kita dari Hasan Ibn Ibrahim dari Yunus Ibn Yazid dari al-Zuhfi, dia berkataUrwah menceritakan kepadanya bahwa dia bertanya kepadaAisyah (tentang sebab turunnya ayat)Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap hak-hak anak perempuan yang yatim (apabila kamu hendak menikahi), maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga atau empat, kemudian jika kamu takut tidak dapat berbuat adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat dengan tidak berbuat aniaya.Aisyah menjawab: Wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang dalam penjagaan walinya, kemudian, si wali tertarik kepada harta dan kecantikan anak itu, lalu ia bermaksud menikahinya dengan membayar mahar di bawah kelaziman. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi mereka (perempuan yatim), kecuali jika bisa berbuat adil dengan memberi mereka secara sempurna. Dan mereka diperintah untuk menikahi wanita selain anak yatim.

Keterangan di atas menjelaskan tentang wanita yang akan dinikahi untuk menjadi istri kedua, yaitu seorang anak yatim, bukan wanita yang memiliki anak yatim (janda).

Dalam surat al-Nisa’ (4): 3, Muhammad Syahrur (2000: 599) juga mengatakan, bahwa adil adalah antara anak-anaknya dan anak-anak dari istri yang dinikahinya. Hal ini juga kurang tepat, sebab yang dimaksud adil dari ayat tersebut adalah adil di antara istri-istrinya, seperti yang ditegaskan dalam ayat lain dari surat al-Nisa’ (4): 129, yaitu:                            

Dan kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan). maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Tentunya, masih banyak hal yang harus dikritisi mengenai metode dan pemahaman yang ditawarkan oleh Muhammad Syahrur dalam menganalisis masalah poligami.

(13)

BAB II

METODE TAFSIR AL-QUR’AN A. Pengertian Tafsir

Allah swt menurunkan kitab suci al-Qur'an kepada Nabi Muhammad saw. sebagai petunjuk bagi manusia dalam mengarungi kehidupannya. Petunjuk yang terdapat di dalam al-Qur'an menjelaskan segala sesuatu yang harus dilakukan manusia, yang boleh dilakukan, dan yang tidak boleh dilakukan, sebagai sumber pengetahuan bagi manusia, serta menjelaskan segala sesuatu yang esensial bagi manusia.

Oleh sebab itu, perlu pemahaman yang mendalam tentang isi kandungan al-Qur'an, agar manusia mengerti dan memahami pesan yang disampaikan al-Qur'an. Sebab, al-Qur'an bukan hanya merupakan sebuah kitab suci yang dibaca dan diulang-ulang dengan suara yang indah, tetapi yang lebih penting adalah manusia mempelajari, memahami, dan melaksanakan petunjuk yang diberikan al-Qur'an. Allah swt. berfirman dalam surat al-Nahl (16) ayat 44:                 

Dan Kami turunkan kepada kamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.

Untuk mempelajari dan memahami makna yang terkandung di dalam al-Qur'an, dibutuhkan suatu disiplin ilmu. Disiplin ilmu yang lazim dipakai untuk memahami makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur'an adalah ilmu tafsir. Usaha ini disebut juga dengan penafsiran al-Qur'an atau ilmu penelitian al-Qur'an (Baidan, 1998: 2).

Tafsir merupakan suatu usaha untuk memahami secara komprehensif tentang isi kandungan kitab Allah swt. yang diwahyukan kepada nabi Muhammad saw. dan menjelaskan makna-maknanya yang dalam, mengeluarkan hukum-hukumnya, serta

(14)

mengambil hikmah-hikmah, dan pelajaran-pelajaran (Qattan, 1980:323).

Pengertian tafsir, menurut sebagian mufassir disamakan dengan pengertian ta’wil. Menurut sebagian yang lain, ia berbeda dengan pengertian ta’wil, tafsir lebih umum dari pada ta’wil. Ta’wil ialah memalingkan makna ayat al-Qur'an dari berbagai kemungkinan makna lainnya. Ta’wil merujuk pada makna yang tersembunyi dari ayat-ayat al-Qur'an. Sedang tafsir selalu kembali kepada makna zahir dan makna batin ayat al-Qur'an (Ushama, 2000: 4, Zarqani, 1996, II: 6-7).

B. Sejarah Perkembangan Tafsir

Al-Qur'an merupakan sebuah petunjuk untuk seluruh umat manusia. Sebagai petunjuk dari Tuhan semesta alam untuk seluruh hamba-Nya, maka kebenaran al-Qur'an tidak dapat diragukan lagi. Ketentuan ini telah ditetapkan oleh Allah SWT. sendiri dalam kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril. Ketetapan ini termaktub dalam surat al-Baqarah (2): 2, yaitu:               

Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan di dalamnya,sebagai petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.

Sebagai sebuah kitab suci yang berlaku hingga akhir zaman, maka petunjuk yang diberikan oleh al-Qur'an juga berlaku sampai akhir zaman di manapun umat Islam berada. Meski secara kuantitatif, jumlah kebahasaan al-Qur'an tidak dapat bertambah lagi, namun isi kandungan al-Qur'an tidak pernah habis dan selesai untuk dipelajari. Langkah untuk mempelajari al-Qur'an ini lazim di sebut dengan penafsiran al-Qur'an. Penafsiran terhadap al-Qur'an dilakukan sejak masa Nabi Muhammad saw. sampai sekarang. Hal ini dilakukan agar isi kandungan al-Qur'an tetap eksis dan dapat dijadikan petunjuk bagi seluruh manusia sampai kapanpun dan dapat dilakukan di manapun mereka berada.

(15)

Dengan demikian, hubungan al-Qur'an dengan penafsirnya selalu dinamis. Seorang mufasir selalu berusaha menelusuri dan memahami isi kandungan al-Qur'an. Maka tidak heran, jika Muhammad Syahrur (2004: 42) menyatakan, bahwa kelebihan teks al-Qur'an atas teks-teks lainnya terletak pada usaha penafsirannya yang tidak pernah habis dan berhenti sepanjang waktu.

Usaha untuk menafsirkan al-Qur'an, telah dilakukan sejak masa awal Islam. Pada masa Rasulullah saw. masih hidup, semua persoalan yang dihadapi oleh umat Islam selalu dikembalikan kepada Rasulullah saw. Demikian halnya jika umat Islam menemui kesulitan dalam memahami al-Qur'an, maka mereka meminta penjelasan dari Rasulullah saw. mengenai kesulitan tersebut. Rasulullah saw. merupakan mufassirpertama (Salih, 1988: 289).1 Dalam konteks ini, Nabi Muhammad saw. berposisi sebagai seorang mubayyin (penjelas) bagi umatnya dalam memahami al-Qur'an. Firman AHah SWT. surat al-Nahl (16) ayat 44:

               

Dan Kami turunkan kepada kamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.

Penafsiran yang dilakukan oleh Rasulullah saw., sering disebut dengan metode tafsir bi al-manqul ataubi al-riwayah (bi 'ma'sur), yaitu penafsiran ayat-ayat Qur'an terhadap ayat-ayat al-Qur'an lainnya, dan atau penafsiran ayat-ayat al-al-Qur'an melalui hadis.

Selanjutnya, penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur'an dilakukan oleh para sahabat Nabi Muhammad saw. Pada masa ini, penafsiran al-Qur'an dilakukan dengan cara sangat hati-hati, sebab para sahabat Nabi tidak berani gegabah untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an. Mereka bertanya kepada sahabat lainnya yang mempunyai kemampuan menerjemahkan al-Qur'an, seperti 'Afi Ibn 'Abi Talib, Ubay Ibn Ka'ab, Ibnu Mas'ud, dan Ibnu 'Abbas.

1

Menurut Komaruddin Hidayat (2004: 18), mufassir pertama adalah malaikat Jibril sebagai penyampai dan penerjemah al-Qur'an dari Allah kepada Nabi Muhammad saw. Sedang Nabi Muhammad saw. merupakan mufassir kedua setelah malaikat Jibril.

(16)

Dalam keadaan tertentu, sebagian sahabat menanyakan kepada ahlu al-Kitab yang telah masuk Islam (seperti 'Abd Allah Ibn Salam dan Ka'ab al-Ahbar) perihal sejarah nabi-nabi terdahulu atau kisah-kisah yang tercantum dalam al-Qur'an. Hal ini dilakukan oleh sebagian sahabat jikasangat diperlukan (Shihab, 2002: 71). Cerita-cerita yang disampaikan oleh ahlu al-Kitabtersebut merupakan benih lahirnya cerita israiliyat.

Penafsiran al-Qur'an selanjutnya dilakukan oleh umat Islam pada masa tabi’in (murid-murid dari para sahabat Nabi Muhammad saw.). Menurut Hasbi ash-Shiddieqy (2000: 207), tabi’in yang terkenal sebagai mufassir al-Qur'an ialah murid-murid sahabat Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud.

Mufassir yang meriwayatkan tafsir dari Ibnu 'Abbas di antaranya: Mujahid Ibn Jabr, 'Ikrimah maula Ibnu 'Abbas, dan 'Atha' Ibn Abl Rabih. Sedang mufassir yang meriwayatkan tafsir dari Ibnu Mas'ud di antaranya: 'Alqamah Nakhal, 'Ubaidah Ibn 'Amr al-Silmani, dan al-Aswad ibn Yazid al-Nakha’i. Selain mereka, masih banyak dari tabi’in yang menjadi mufassir al-Qur'an, baik dengan corak tafsir yang bersandarkan hanya pada al-Qur'an dan hadis, maupun corak tafsir yang bersandarkan pada akal.

Quraish Shihab (2002: 71-72) menyebut penafsiran yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saw. sampai dengan masa tabi’in sebagai periode pertama perkembangan tafsir. Periode kedua perkembangan tafsir terjadi setelah tahun 150 H. Pada periode kedua, penafsiran al-Qur'an tumbuh bersama beredarnya hadis lemah dan palsu. Penafsiran pada periode ini juga dilakukan secara luas di semua disiplin ilmu, tidak hanya pada aspek kebahasaan. Berbeda dengan metode tafsir pada periode pertama yang lebih menekankan pada aspek kebahasaan.

Dengan munculnya berbagai disiplin ilmu sebagai penunjang dalam menafsirkan al-Qur'an, maka lahirlah berbagai bentuk penafsiran dengan corak dan metode yang berbeda pula. Bentuk penafsiran al-Qur'an yang lazim digunakan oleh para mufassir ada dua macam, yakni tafsir bi al-ma'surdan tafsir bi al-ra’yi(Qattan, 1980: 347).

Sedang corak yang digunakan mufassir untuk memahami maksud kandungan ayat al-Qur'an sesuai dengan keinginan dan

(17)

disiplin ilmu yang dimiliki masing-masing mufassir. Corak penafsiran ini antara lain; tafsir fiqhi, tafsir adabi ijtima’i, tafsir sufi, dan tafsir kalami (Shihab, M. Quraish, dkk, 1999: 179-182). Bagi Nashruddin Baidan (2005: 388), corak penafsiran al-Qur'an dibedakan menjadi tiga, yaitu corak umum, corak khusus, dan corak kombinasi. Sementara itu, metode penafsiran al-Qur'an yang digunakan oleh mufassirun adalah: metode tablili, muqaran, ijmali, dan maudu’i(Baidan, 2000: 61).

Sejarah perkembangan tafsir ini diambil secara umum mengenai metode penafsiran al-Qur'an, yakni ada dua periode. Pengambilan secara umum dilakukan dengan melihat peta kecenderungan yang ada pada masa tertentu, sehingga tidak menampilkan perkembangan pada setiap masa atau abad. Periode pertama tafsir terjadi pada masa Rasulullah saw. sampai masa tabi’in. Bentuk penafsiran pada periode ini didominasi oleh tafsir bi al-ma'sur dengan penekanan pada aspek bahasa. Sedang pada periode kedua yang terjadi setelah masa tabi’in, bentuk penafsiran al-Qur'an tidak hanya tafsir bi al-ma’sur tetapi juga dengan bentuk tafsir bi al-ra'yi.

C. Bentuk dan Corak Penafsiran al-Qur'an a. Bentuk Penafsiran al-Qur'an

Dalam penafsiran al-Qur'an, terdapat beberapa bentuk penafsiran yang berbeda satu sama lain. Di antara bentuk penafsiran yang sering dikemukakan para mufassir adalah tafsir bi al-ma'sur dan tafsir bi al-ra'yi.

1) Tafsir bi al-Ma'sur

Tafsir bi al-Ma'sur merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam khazanah intelektual Islam. Quraish Shihab (2002: 71-72) mengemukakan, bahwa tafsir bi al-ma’surtermasuk metode pemahaman al-Qur'an yang tumbuh pada periode awal dari perkembangan ilmu tafsir. Tafsirbi al-ma'sur merujuk pada penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dengan ayat-ayat al-Qur'an lainnya, melalui hadis, atau melalui penuturan para sahabat (Zarqani, 1996, II: 14). Sebagian mufassir memasukkan

(18)

penafsiran yang dilakukan akbar al-tabi’in terhadap al-Qur'an ke dalam tafsirbi al-ma'sur (Qattan, 1980: 347).

Metode tafsirbi al-ma'sur mempunyai kedudukan yang penting, sehingga para mufassir wajib mengetahuinya ketika melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur'an. Tafsir bi alma 'sur yang dilakukan oleh sahabat atau Nabi Muhammad saw. merupakan bagian dari usaha yang secara langsung menyaksikan peristiwa saat turunnya wahyu (Qattan, 1980: 350).

Muhammad‘Abdal-‘Azim al-Zarqani (1996, II: 14-15) memberi contoh penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an, yaitu surat al-Maidah (5) ayat 1 :

                         

Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang dibacakan kepadamu.

Ayat pengecualian makanan (yang diharamkan) tersebut dijelaskan (ditafsirkan) dengan surat yang sama al-Maidah (5) pada ayat setelahnya, yaitu ayat 3:

             

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.

Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam metode ini di antaranya: Jami’al-Bayan ti Tafsir al-Qur'an karya Ibn Jarir al-Tabari dan Tafsir al-Qur'an al-Azim karya Ibn Kasir. 2) Tafsir bi al-Ra’yi

Tafsir bi al-Ra'yi adalah penafsiran al-Qur'an yang dilakukan oleh mufassir sesuai dengan ijtihad atau istinbat-nya (Qattan, 1980:351). Istilah ra'y dekat maknaistinbat-nya dengan ijtihad dalam segi penggunaan akal. Oleh karena itu, mufassir mengharamkan tafsir yang hanya berdasarkan atas kebebasan akal dan tidak didasarkan atas peraturan penafsiran al-Qur'an

(19)

yang telah ditetapkan oleh paramufassir. Di antara peraturan-peraturan itu ialah; harus memahami ilmu bahasa Arab, 'ulum al-Qur'an, dan 'ulum hadis (Sabuni, 1981: 155).

Penafsiran al-Qur'an dengan bentuk tafsir bil ra'yi yang tidak sesuai dengan standar ketentuan para mufassir, disebut dengan tafsir bil ra'yi yang tercela. Tafsir semacam ini tidak boleh dilakukan (Sabuni, 1981: 155). Sebagaimana larangan Allah untuk mengikuti sesuatu tanpa didasari ilmunya. Larangan Allah ini terdapat dalam surat al-Isra' (17) ayat 36:

         

Dan Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.

Larangan ini juga dituturkan oleh Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh al-Turmuzi, al-Nasa'i, dan Abu Dawud:

ﺎـﻤﺑ وأ ﮫــﯾأﺮﺑ نآﺮــﻘﻟا ﻲﻓ لﺎــﻗ ﻦﻣ رﺎــﻨﻟا ﻦﻣ هﺪـﻌــﻘﻣ أﻮـﺒﺘﯿﻠـﻓ ﻢـﻠﻌﯾ ﻻ

Barang siapa yang berkata (tentang) al-Qur'an dengan pendapatnya atau dengan sesuatu yang tidak ia ketahui maka tempatnya ada di neraka.

Ayat-ayat al-Qur'an juga menganjurkan kepada manusia untuk memikirkan dan memahami kandungan al-Qur'an (Salih, 1977: 292). Seperti terdapat dalam surat Sad (38): 29 dan surat Muhammad (47): 24, yaitu:

            

Ini adalah sebuah) kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.

(20)

            

Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur'an atau hati mereka terkunci.

Tentunya, salah satu langkah untuk memikirkan dan memahami isi kandungan al-Qur'an adalah dengan metode tafsir yang menggunakan nalar (akal).

Selain itu, mufassir membolehkan untuk memakai bentuk tafsir ini karena (Ushama, 2000: 23):

a. Jika tafsir bi al-ijtihad (tafsir bil ra'yi) tidak dibenarkan atau tidak dibolehkan, berarti melakukan ijtihad juga termasuk kategori yang tidak dibolehkan.

b. Rasulullah bersabda memohon do'a khusus untuk Ibnu Abbas: Allahumma faqqihu fi al-din wa 'allimhu al-ta’wil, yang artinya “ya Allah berilah pemahaman kepadanya dalam masalah agama dan ajarilah dia al-ta'wil. Jika al-ta'wil dibatasi pada al-sama' (dalam periwayatan wahyu) dan al-naql (dalam penyampaian wahyu), maka tidak ada alasan sedikitpun memohonkan do'a khusus untuk Ibnu 'Abbas. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa al-ta'wil mengacu kepada tafsir bi al-ra'yi wa al-ijtihad (tafsir yang berdasarkan atas pikiran dan ijtihad).

Dengan demikian, tafsir bi ra'yi dalam menafsirkan al-Qur'an dibolehkan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan para mufassir. Al-Sabuni (1981: 156) menyimpulkan dari kitab al-Burhan yang telah dinukil dari al-Suyuti (tt., II: 178), perkara induk yang menjadi sandaran ra'yi dalam menafsirkan al-Qur'an itu ada empat:

a. Apa yang datang dari Nabi Muhammad saw. selain hadis dan da’ifdan maudu'.

a. Penafsiran sahabat, karena penafsiran sahabat setingkat dengan hadis marfu', jika penafsiran tersebut berdasarkan asbab al-nuzul.

b. Berpegang pada petunjuk bahasa.

(21)

Al-Sabuni (1981: 157) dan al-Suyuti (tt., II: 180) menyebutkan ilmu yang harus dimiliki oleh mufassir, pada umumnya secara ringkas ada 7, yaitu:

1. Mengetahui bahasa Arab dengan kaidah-kaidahnya (Nahwu, Saraf dan Isytiqaq).

2. Mengetahui ilmu Balagah atau retorika (Ma'ani, Bayan, dan Badi').

3. Mengetahui ilmu Usul al-Fiqh (Khas, 'Am, Mujmal, Mufassal, Mutlaq, Muqayyad, dan lain sebagainya).

4. Mengetahui asbab al-nuzul. 5. Mengetahui nasikh mansukh. 6. Mengetahui ilmu qira'at. 7. Ilmu mauhibah.

Tanpa pemahaman secara mendalam tentang peraturan bahasa al-Qur'an, maka besar kemungkinan bagimufassir akan melakukan penyimpangan (distorsi) dan kesalahan interpretasi. Sebagai contoh, finnan Allah surat al-Baqarah (2) ayat 187 :

        

Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka.

Ayat tersebut bersifat metaforik yang mempunyai nilai seni yang agung, yakni kata (pakaian) mengandung makna jenis kelamin manusia dan menghiasinya, maka orang laki-laki dan perempuan masing-masing mereka seperti pakaian bagi pasangannya, menghiasi dan menyempurnakan satu sama lainnya. Jika seseorang menafsirkan ayat ini dengan makna zahir, maka akan terjadi pergeseran makna,“mereka celana panjang kamu dan kamu celana panjang bagi mereka”.

Selain kedua bentuk penafsiran al-Qur'an di atas, masih terdapat bentuk penafsiran Qur'an yang lain, yakni Tafsir bi al-Isyari. Bentuk penafsiran ini hanya populer bagi umat Islam yang mengedepankan zauq (perasaan) dalam menjalankan agama Islam, sehingga bentuk penafsiran ini hanya dipegangi oleh kaum batiniyah atau kaum sufi. Penafsiran ini kurang dikenal atau

(22)

dikenal tetapi tidak dipakai oleh fukaha, ahli kalam, dan pemikir keislaman yang mengedepankan akal.

Tafsir bi al-Isyari adalah penafsiran ayat al-Qur'an yang mengabaikan makna zahir-nya (Ushama, 2000: 24). Penafsiran ini berusaha men-ta’wil-kan ayat-ayat al-Qur'an berdasarkan indikasi atau isyarat-isyarat tersembunyi dan hanya dapat diterima oleh para sufi yang sedang melakukan suluk. Tafsir ini diberikan secara langsung oleh Allah swt. dengan jalan intuisi mistik melalui zikir yang terus menerus kepada Allah swt. dan tidak diperoleh melalui penelitian, tetapi melalui ketakwaan, istiqamah, dan salat seseorang (Qattan, 1980: 357, Zarqani, 1996: 86). Sebagaimana Firman Allah swt. surat al-Baqarah (2) ayat 282:

          

Dan bertakwalah kepada Allah. Allah mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

b. Corak Penafsiran al-Qur'an

Corak penafsiran al-Qur'an ditentukan sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki seorang mufassir, atau sesuai dengan keinginan yang akan dilakukan seorang mufassir, adalah sebagai berikut:

1) Al-Tafsir al-Fiqhi

Al-Qur'an merupakan sebuah teks Illahiyang berisi tentang peraturan-peraturan yang harus diperhatikan makhluk berakaldalam mengarungi kehidupannya. Seyogyanya makhluk berakal -dalam hal ini adalah manusia – mempelajari, memahami, dan melaksanakan peraturan-peraturan tersebut. Sebab ia berkaitan dengan kehidupan yang harus dijalaninya.

Alasan inilah yang membuat para pakar hukum Islam (fukaha) untuk melakukan ijtihad ataupun istinbat al-ahkam. Usaha yang dilakukan oleh para pakar hukum Islam tersebut ditempuh dengan cara memahami isi kandungan Qur'an. Dengan menjelaskan atau menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan hukum (ayat-ayat ahkam), usaha ini lazim disebut dengan al-tafsiral-fiqhi.

(23)

Al-Tafsir al-fiqhi sudah dilakukan sejak Nabi Muhammad saw. membangun dan membina peradaban masyarakat Madinah. Hal ini terlihat ketika umat muslim mendapat kesulitan dalam memahami hukum Islam, mereka selalu bertanya kepada Rasulullah saw. (Zahabi, 2000, II: 319).

Perjalanan al-tafsir al-fiqhi selanjutnya dilakukan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in. Mereka melanjutkan dan mewarisi apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. untuk selalu menegakkan hukum Islam dengan berpegang pada peraturan-peraturan yang terdapat di dalam al-Qur'an.

Corak tafsir ini berkembang pesat pada saat lahirnya mazhab-mazhab fikih. Ulama menafsirkan ayat-ayat ahkam sesuaidengan teori istinbat yang mereka pegangi. Bahkan, terkadang penafsiran yang dilakukan fukaha terkesan untuk membela pendapat-pendapat mereka (Shihab, dkk., 1999: 179-180).

Di antara kitab-kitab tafsir yang bercorak tafsir al-fiqhl adalah: Ahkam al-Qur'an karangan Abu Bakr Ahmad Ibn 'Ali Razi atau lebih dikenal dengan Jassas; Ahkam Qur'an karya Ibn 'Arabi; Jami' li Ahkam Qur'an karya al-Qurtubi; dan Tafsir Ayat Ahkam karya Muhammad al-Sayis (Qattan, 1980: 277).

2) Al-Tafsir al-Sufi

Tafsir corak ini terkadang disebut dengan tafsir al-isyari, yaitu tafsir yang dilakukan oleh kaum sufi dengan cara menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur'an tidak dalam makna zahirnya, tetapi lebih menitik beratkan pada makna batinnya (Suryadilaga, dkk., 2005: 44, dan Buchori, 2005: 214).

Di antara kitab-kitab tafsir yang memakai corak al-tafsir al-sufi adalah Tafsir al-Qur'an al-Azim karya Abu Muhammad Sahl Ibn 'Abd Allah al-Tusturi, Haqaiq al-Tafsir karya Abu 'Abd al-Rahman Muhammad Ibn al-Husain al-Uzdi al-Salmi, dan al-Bayan fi Haqaiq al-Qur'an karya Abu Muhammad Ruzbahan Ibn Abl al-Nasr al-Baqli al-Syirazi (Shihab, dkk., 1999: 182).

(24)

3) Al-Tafsir al-Falsafi

Al-Tafsir al-Falsafiadalah tafsir ayat-ayat al-Qur'an yang dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat, baik yang menerima persoalan-persoalan filsafat Yunani atau yang tidak menerima pemikiran filsafat namun mempunyai pemikiran filsafat (Shihab, dkk., 1999: 182-183).

Sayangnya tidak ditemukan kitab-kitab tafsir corak al-tafsir al-falsafi yang membahas secara lengkap, atau dalam kata lain, tidak ada seorang ahli pikir (filosuf) yang berhasil menyusun satu kitab tafsir dengan corak tafsir al-falsafi(Buchori, 2005:215).

4) Al-TAfsir al-‘Ilmi

Al-Tafsir al-'Ilmi berkaitan dengan ayat-ayat kawniyah(kejadian-kejadian alam) yang terdapat di dalam al-Qur'an (Suryadilaga, dkk., 2005: 45). Tentunya, tafsir jenis ini selalu memperhatikan gejala alam dan bantuan ilmu teknologi dan sains yang selalu berkembang.

Pada perkembangan awalnya, tafsir ini tidak memiliki suatu fokus terhadap gejala alam, ia hanya menafsirkan ayat-ayat kawniyah tanpa memperhatikan gejala alam. Namun perkembangan selanjutnya berbeda, yakni penafsiran al-Qur'an dilakukan dengan cara memperhatikan gejala-gejala alam kemudian dipilih suatu topik tertentu (termasuk kategori al-tafsiral-maudu’i) lalu ayat-ayat al-Qur'an dihimpun sampai melahirkan teori baru (Buchori, 2005: 216).

Kitab-kitab tafsir yang termasuk golongan ini di antaranya: Mafatih Gaib karya Fakhr Din Razi dan al-Tafsir al-‘Ilmi lial-Ayat al-Kawniyah fial-Qur'an al-Karim karya Hanafi Ahmad (Shihab, dkk., 1999: 183-184).

5) Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i

Tafsir al-adabi al-ijtima’i adalah penafsiran al-Qur'an yang diterapkan pada tatanan sosial untuk memecahkan masalah-masalah umat Islam dengan bangsa sejalan dengan perkembangan masyarakat (Shihab, dkk., 1999: 184). Tafsir corak ini muncul pada masa modern.

(25)

Termasuk kitab tafsir corak adabi al-ijtima’iadalah kitab al-Manar karya Muhammad 'Abduh tokoh pembaharu asal Mesir. Kitab ini ditulis bersama murid sekaligus teman seperjuangannya Rasyid Rida (Suryadilaga, dkk., 2005: 45). D. Metode Penafsiran Ayat-ayat Hukum

Keberadaan al-Qur'an di tengah-tengah umat muslim sebagai jaminan petunjuk yang benar. Hal ini terlihat dari ayat al-Qur'an yang menjadikannya sebagai hudan yang berarti petunjuk yang benar, atau sebagai pemisah antara perkara yang benar dan salah. Firman Allah swt. dalam surat al-Baqarah (2): 185, yaitu:

                  

(beberapa hari yang telah ditentukan itu ialah) bulan Ramadan bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan bathil).

Dengan keinginan yang kuat dari umat muslim untuk memahami petunjuk yang terdapat di dalam al-Qur'an, maka manusia berusaha untuk menemukan suatu disiplin ilmu dalam memahami isi kandungan al-Qur'an secara komprehensif. Disiplin ilmu tentang cara yang memudahkan manusia dalam memahami al-Qur'an, lazim disebut dengan metode penafsiran al-Qur'an.

Sampai saat ini, ada empat metode penafsiran al-Qur'an yang dilakukan oleh para mufassir, fukaha, dan pemikir keislaman lainnya. Keempat metode itu adalah: metode tafsir ijmali, tahlili, maudu’i, dan metode muqaran.

a. Metode Tafsir Ijmali

Metode ijmali adalah metode penafsiran al-Qur'an yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an secara global (Shihab, M. Quraish, dkk., 1999: 18S). Penafsiran al-Qur'an dengan metode ini menyajikan penafsiran ayat-ayat al-Qur'an secara ringkas dengan bahasa yang popular, mudah dimengerti, dan mencakup

(26)

hal-hal sebatas artinya tanpa menyinggung selain arti yang dikandungnya (Suryadilaga, dkk., 2005: 45).

Sistematika penulisan tafsir dengan metode ijmali sesuai dengan susunan ayat-ayat yang terdapat di dalam mushafal-Qur'an. Sistem penyajiannya juga tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur'an, sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur'an padahal yang didengarnya adalah tafsirannya.

Ciri metode tafsir ini adalah setiap mufassir langsung menafsirkan al-Qur'an dari awal hingga akhir tanpa perbandingan (muqaran) dan penetapan judul (maudu’i). Pola serupa ini hampir mirip dengan metode tafsir analitis (tahlili), namun uraian di dalam metode analitis lebih rinci dan mendalam dari pada metode global (ijmali).

Dalam metode analitis, mufassir dapat mengemukakan banyak pendapatnya dari berbagai disiplin ilmu yang dimilikinya. Berbeda dengan metode global (ijmali) yang tidak memberi ruang bagi mufassir-nya, penafsiran dilakukan secara ringkas dan umum, sehingga kita seakan-akan masih membaca al-Qur'an.

Kitab tafsir yang memakai metode ini di antaranya: Kitab Tafsir al-Qur'an al-Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, seorang ulama kontemporer asal Mesir, Tafsir al-Jalalain karangan Jalal al-Din al-Suyuti dan Jalal al-Din al-Mahali, dan kitab Tafsir Wasif karya Tim Majma' Buhus al-Islamiyah, sebuah komite ulama al-Azhar Mesir (Baidan, 1998: 13, (Suryadilaga, dkk., 2005: 46).

Metode tafsir ijmali mempunyai kelebihan, yaitu: penafsiran yang dilakukan dapat mudah dipahami, praktis, bebas dari penafsiran israiliyat, dan akrab dengan bahasa al-Qur'an.

Selain memiliki beberapa kelebihan, metode tafsir ini juga mempunyai beberapa kekurangan, misalnya metode ini menjadikan petunjuk al-Qur'an bersifat parsial, yakni pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur'an dilakukan secara sepotong-potong. Didalam metode ini juga tidak ada ruangan

(27)

untuk mengemukakan analisis yang mendalam, sehingga tidak ditemukan munasabat al-Qur'an.

b. Metode Tafsir Tahlili

Metode tahlili atau metode analitis merupakan usaha untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan, mcnerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir (Baidan, 1998: 31). Penafsiran al-Qur'an dengan metode analitis ini ditempuh dengan menguraikan kosa kata ayat-ayat al-Qur'an dari sisi sintaksis bahasa, ilmu balagah, ilmu usul al-fiqh, serta menjelaskan makna yang dikandungnya dari beberapa disiplin ilmu, terutama kecenderungan dan keahlian mufassir.

Sistematika penulisan dalam tafsir tahlili adalah sesuai dengan susunan ayat-ayat yang terdapat di dalam mushafal-Qur'an. la mirip dengan metode ijmali, hanya saja metode tahlili lebih mendalam dan luas pembahasannya.

Dari sistematika di atas, dapat diketahui sebuah ciri yang terdapat di dalam metode tafsir tahlili, yaitu penafsiran al-Qur'an yang dikemukakan secara analitis ayat per ayat, surat per surat. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek, kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya ayat (asbab al-nuzul), kaitannya dengan ayat lain (munasabat), dan kaitannya dengan tafsir-tafsir ulama lainnya.

Kecenderungan dan keahlian mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an menjadi ciri lain dari metode ini. Dengan demikian, kitab tafsir ini mempunyai beberapa corak penafsiran al-Qur'an, seperti corak fiqhi, adabi lijtima’i, sufi, falsafi dan kalami.

Penafsiran al-Qur'an dengan metode tafsir tahlili dapat mengambil bentuk tafsir bi al-ma'sur atau tafsir bi ra'yi. Di antara kitab-kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk tafsir bi al-ma'sur adalah Jami' al-Bayan 'an Ta’wil ayi al-Qur'an karangan Ibn Jarir al-Tabari, kitab Ma'alim al-Tanzil karangan al-Bagawi, al-Durr al-Mansurfi Tafsir bi al-Ma'sur karya al-Suyuti, dan

(28)

Tafsir al-Qur'an al-'Azim (yang terkenal dengan Tafsir Ibn kasir) karangan Ibn Kasir.

Sementara itu, kitab-kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk tafsir bi ra'yi di antaranya: Tafsir Khazin karya al-Khazin, kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan Baidawi, kitab Kasysyafkarya Zamakhsyari, Tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Mahalli, dan Jalal al-Din al-Suyuti, kitab Tafsir al-Manar karangan Muhammad Rasyid Rida (al-Sabuni, 1981: 191, Baidan, 1998:32).

Metode tafsir tahlili ini mempunyai kelebihan, yaitu ruang lingkup yang luas untuk memahami isi kandungan al-Qur'an dari berbagai sisi dan disiplin keilmuan. Sedang kekurangan metode tafsir ini terlihat pada metode penafsiran yang subyektif. Seorang mufassir dengan suatu disiplin, ilmu tertentu dan kecenderungan yang dimilikinya, ia dapat menafikan penafsiran mufassir lainnya. Juga, tafsir israiliyat dapat masuk ke dalam metode tafsir tahlili.

c. Metode TafsirMaudu’i

Tafsir maudu’i adalah suatu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an secara integral dan komprehensif mengenai tema tertentu dengan mengambil ayat-ayat al-Qur'an yang mempunyai maksud yang sama dengan tema tersebut (Buchori, 2005: 222). Tafsir maudu’i menetapkan satu topik tertentu dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat yang berbicara topik tersebut, untuk kemudian dikaitkan satu dengan lainnya, lalu diambil kesimpulan secara menyeluruh tentang masalah dalam topik tersebut menurut pandangan al-Qur'an (Shihab, 2002: 114).

Dalam praktiknya, metode tafsir ini ada dua macam, yaitu:

1) Tafsir yang membahas satu surat al-Qur'an secara menyeluruh, utuh, dan cermat. Metode ini menganggap bahwa satu surat dalam al-Qur'an pada hakikatnya merupakan satu tema dan mengarah pada satu tujuan. Jalan yang ditempuh adalah dengan menghubungkan antara satu ayat dengan ayat lainnya dalamsatu surat, dan menguraikan

(29)

makna-makna atau maksud-maksud yang terkandung di dalamnya, sampai diketahui maknanya secara umum dan utuh dari surat tersebut. Ulama yang menempuh cara ini di antaranya adalah Mahmud Syaltut dalam Tafsir Qur'an al-Karim.

2) Penafsiran dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Qur'an yang mempunyai maksud yang sama dalam satu tema atau topik. Model penafsiran yang kedua lebih banyak dan umum dipakai oleh para mufassir dan ulama (Shihab, dkk., 1999: 192-193, Buchori, 2005: 222-223).

Ciri metode tafsir ini adalah penonjolan tema, judul atau topik pembahasan. Terkadang metode ini disebut sebagai metode topikal (Baidan. 1998: 152). Meski penafsiran al-Qur'an dilakukan dengan cara menentukan tema dan kemudian mencari dalil-dalil atau teks al-Qur'an yang sesuai dengan tema tersebut, namun kaidah-kaidah umum penafsiran ayat al-Qur'an tetap dipakai.

Dalam penerapan metode ini ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh mufassir, yaitu:

1) Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik);

2) Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan topik tersebut;

3) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul-nya. Hal ini diperlukanuntuk mengetahui kemungkinan ayat yang mansukh dan lain sebagainya;

4) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing (munasabat);

5) Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama kosa kata yang menjadi pokok permasalahan di dalam ayat tersebut. Kemudian mengkajinya dari berbagai aspek, baik bahasa, budaya, sejarah, dan lain sebagainya;

6) Mengkaji pemahaman ayat-ayat itu dari pemahaman berbagai aliran dan pendapat para mufassir, baik yang klasik maupun yang kontemporer;

7) Semua itu dikaji secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah

(30)

tafsir yang mu’tabar, serta didukung oleh fakta (kalau ada), dan argumen-argumendari hadis,sehingga mufassir dapat menghindarkan diri dari pemikiran-pemikiran yang subyektif (Baidan, 1998: 152-153, Shihab, 2002: 114-115, dan Suryadilaga, dkk.,2005:47-48).

Kitab-kitab tafsir yang masuk kategori maudu’iantara lain: al-Insan fi al-Qur'an dan al-Mar'ah fi al-Qur'an, keduanya karangan Mahmud 'Aqqad, Riba fi Qur'an karangan al-Maududi.

Metode tafsir tematik (maudu’i) ini berbeda dengan metode tafsir analitis (tahlili) ataupun dengan metode tafsir komparatif (muqaran). Perbedaan metode tafsir tematik dengan metode analitis antara lain terlihat dari:

1) Sistematika penafsiran.

Metode tematik tidak terikat dengan susunan urutan mushafal-Qur'an sebagaimana terdapat dalam metode tafsir analitis, tetapi terikat pada kronologi kejadian atau urutan turunnya ayat;

2) Obyek pembahasan.

Dalam metode tematik, seorang mufassir tidak membahas segala segi permasalah yang dikandung oleh ayat, namun ia hanya berkaitan dengan tema yang dipilih. Sebaliknya, metode tafsir analitis tidak membahas dalam satu sisi, namun ia membahas dari berbagai sisi;

3) Permasalahan.

Seorang mufassir dari metode tematik berusaha untuk menuntaskan permasalahan yang menjadi pokok bahasannya. Sedang mufassir yang menggunakan metode analitis biasanya hanya mengemukakan penafsiran ayat-ayat sendiri-sendiri, sehingga permasalahannya belum tuntas (Shihab, 2002: 117-118).

Perbedaan yang terdapat antara metode tematik dengan metode komparatif terlihat pada cakupan wilayah yang dibidik. Dalam tafsir yang menggunakan metode komparatif, wilayah pembahasannya lebih sempit, yakni hanya menyangkut

(31)

perbedaan redaksional, yang membandingkan perbedaan redaksi ayat dengan ayat atau dengan al-Hadis. Sementara dalam tafsir yang memakai metode tematik, seorang mufassir selain menghimpun hal-hal tersebut, ia juga membahas persamaan-persamaan, serta segala petunjuk yang dikandungnya yang sesuai dengan tema yang dibahas (Shihab, 2002: 119).

Penafsiran al-Qur'an yang menggunakan metode tematik mempunyai kelebihan, di antaranya: menjawab permasalahan dan tantangan zaman; sistematis; dinamis; dan membuat pemahaman menjadi utuh. Sedangkan kekurangannya seperti: memenggal ayat al-Qur'an dan membatasi pemahaman ayat. Kelebihan dan kekurangan merupakan suatu hal yang terdapat dalam segala hal, tidak ada yang sempurna selain Allah swt

d. Metode Tafsir Muqaran

Metode tafsir muqaran adalah usaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an atau surat-surat tertentu dengan cara membandingkan ayat dengan ayat atau antara ayat dengan hadis, atau antara pendapat-pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dan obyek yang dibandingkan (Ihwan, 2004: 3).

Ciri metode muqaran adalah adanya perbandingan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, baik dengan membandingkan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, atau antara pendapat ulama satu dengan ulama lainnya (Baidan, 2005: 66).

Dari keterangan di atas, dapat diketahui obyek kajian dalam metode tafsir perbandingan ada tiga, yaitu: perbandingan ayat al-Qur'an dengan ayat lainnya, perbandingan ayat al-Qur'an dengan hadis, dan perbandingan antara penafsiran mufassir dengan mufassir lainnya.

Contoh perbandingan ayat al-Qur'an dengan ayat lainnya dari sisi redaksi yang hampir mirip, yaitu surat al-Kafirun (109) ayat kedua dengan ayat keempat dari surat yang sama:

       

(32)

Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.        

Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Sedang contoh perbandingan ayat al-Qur'an dengan ayat lainnya dari sisi perbedaan tata letak kata dalam kalimat, yaitu antara surat al-Baqarah (2): 120 dengan surat al-An'am (3): 71.

         

Katakanlah sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk         

Katakanlah sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) adalah petunjuk Allah.

Dengan demikian, langkah yang harus diambil dalam metode tafsir muqaran adalah:menghimpun redaksiyang mirip; membandingkan redaksi tersebut (membandingkan pendapat para mufasir, bagiperbandingan muqaran antar penafsir); dan menganalisisnya.

Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah kitab Durrah Tanzil wa Gurrah Ta'wil karya al-Iskafi yang membandingkan antara ayat dengan ayat, dan kitab al-Jami' li Ahkam al-Qur'an karangan al-Qurtubi yang membandingkan antara pendapat mufassir satu dengan mufassir lainnya (Shihab, dkk., 1999: 191-192).

Metode ini mempunyai kelebihan, di antaranya: memberikan pengetahuan yang lebih luas bagi para penafsir; membuka sikap toleran; dan mengetahui pendapat penafsir lain. Sayangnya, metode ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Hal itu disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah.

(33)

BAB III

PENAFSIRAN AYAT-AYAT POLIGAMI

Ulama menuangkan pikirannya ke dalam karya-karyanya. Karya-karya ini merupakan salah satu langkah yang dapat menjadi pelajaran bagi orang lain. Berikut ini merupakan contoh penafsiran ulama yang dijelaskan dalambeberapa kitab tafsir tentang ayat poligami. Kitab-kitab tersebut ditelaah dan diteliti metode penafsirannya, bentuk penafsiran, dan aplikasi penafsirannya dalam ayat poligami.

Ayat poligami yang dimaksud adalah ayat 3 dari surat al-Nisa' (4).                                        

Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap hak-hak anak perempuan yang yatim (apabila kamu hendak menikahi), maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga, atau empat, kemudian jika kamu takut tidak dapat berbuat adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat dengan tidak berbuat aniaya.

Namun, jika ada hubungan antara ayat per ayat atau surat dengan surat, maka ayat-ayat atau surat-surat yang berhubungan tersebut akan dipaparkan juga.

A. Al-Jami'li Ahkamal-Qur'an

Kitab al-Jami' li Ahkam al-Qur'an ditulis oleh Abu 'Abdillah Muhammad Ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtubi. Kitab ini terdiri dari 20 juz untuk membahas semua surat dan ayat dalam al-Qur'an.

Bentuk penafsiran dalam kitab ini menggunakan bentuk tafsir bi al-riwayah. Bentuk bi al-riwayah yang terdapat dalam kitab ini tidak hanya berasal dari keterangan atau tafsir hadis Nabi

(34)

Muhammad saw. dan para sahabatnya, tetapi juga pendapat tabi’in, dan pendapat para mufaassir lain, serta pendapat para imam mazhab.

Metode yang dipakai dalam kitab ini adalah metode tafsir tahlili. Melalui penekanan pada aspek ilmu bahasa Arab, metode tahlili diterapkan untuk menelaah seluruh isi al-Qur'an. Kata-kata maupun kalimat-kalimat dalam suatu ayat maupun surat dibahas satu per satu dengan bantuan Ilmu nahwu, saraf, ilmu asbab al-nuzul, ilmu munasabat, dan ilmu-ilmu yang menunjang dalam pendekatan bahasa Arab.

Dengan bentuk penafsiran dan metode tersebut, ayat poligami yang menjadi tema pokok penelitian ini diutarakan dengan teliti. Kalimat wa in khiftum dalam ayat poligami di atas merupakan kata syarat, dan kata jawab dari kata syarat tersebut adalah kata fankihu. Kalimat                                        

diartikan sebagai suatu jawaban atas peristiwa yang menimpa masyarakat Arab ketika itu. Orang Islam yang sebagai wali bagi anak perempuannya ingin menikahi anak-anak perempuan yatim yang dalam perlindungannya, dengan tidak memberikan mahar nikah pada anak-anak yatim ala kadarnya, dan mereka masih meniru kebiasaan pendahulunya yang menikahi beberapa orang wanita lebih dari 4 orang.

Ayat ini turun agar umat Islam memberi tempat yang layak kepada anak-anak yatim, sebagaimana mereka memberikan tempat kepada wanita-wanita merdeka. Jika hendak menikahi anak-anak yatim, maka syarat pernikahan harus sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku bagi wanita-wanita lainnya.

Ayat ini juga memberikan batasan jumlah istri kepada umat muslim. Jika mereka tidak takut akan berbuat tidak adil dan mampu memberi nafkah kepada para istri-istri mereka, maka mereka boleh

(35)

menikah sebanyak 4 orang wanita yang baik, tidak boleh melebihi dariketentuan tersebut.

Wanita-wanita yang baik dalam ayat ini maksudnya adalah wanita-wanita yang halal untuk dinikahi, bukan wanita yang tidak boleh dinikahi.

Meski dibolehkan untuk menikahi wanita yang baik sebanyak 4 orang, namun apabila tidak dapat berbuat adil dalam pembagian harta dan tidak dapat berbuat baik dalam pergaulan, maka ia hanya boleh memiliki satu orang istri. Sebab, dengan memiliki seorang wanita, maka ia akan terhindar dari berbuat aniaya atau tidak adil kepada istri-istrinya (Qurtubi, 1967, V: 11-21).

B. Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan

Kitab Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan ditulis oleh 'Abd al-Rahman Ibn Nasir al-Sa'di. Kitab ini merupakan kitab yang dibagi-bagikan ke berbagai negara, termasuk Indonesia oleh kerajaan Saudi Arabia. Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapat pembagian kitab ini.

Kitab ini merupakan kitab tafsir yang menggunakan bentuk penafsiran bi al-riwayah. Penafsiran bi al-riwayah ini menggunakan penafsiran dari Nabi Muhammad saw. Metode tafsir yang dipakai dalam kitab ini ialah metode tafsir tahlili.

Penafsiran dilakukan secara runtut, dari awal surat al-Fatihah (1) sampai akhir surat al-Nas (114). Kata per kata, atau kalimat per kalimat yang terdapat dalam suatu ayat, ditafsirkan sesuai ilmu yang dimiliki oleh mufassir-nya dengan bantuan hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Namun, analitis yang terdapat dalam, kitab ini tidak terlalu detail, yang mengungkapkan dari berbagai bidang ilmu.

Dalam menafsirkan ayat poligami yang terdapat dalam surat al-Nisa' (4) ayat 3 di atas, kitab ini mengemukakan kalimat-kalimat tertentu dari ayat tersebut. Kalimat-kalimat tersebut adalah:

      

(36)

Islam membolehkan poligami dengan menunjuk pada calon istri yang disukai oleh laki-laki yang akan menikahinya. Istri-istriyang disukai oleh suami maksudnya adalah, supaya umat Islam memilih calon istrinya sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad saw., yaitu dari sisi agamanya, hartanya, kecantikannya, dan nasabnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw. yang ditujukan pada laki-laki dalam memilih calon istrinya, yaitu (Sa'di, 2002: 164). ﺎـﻤﻟ ﻊــﺑرﻷ ةأﺮــﻤﻟا ﺢــﻜﻨـﺗ تاﺬﺑ ﺮــﻔظﺎﻓ ﺎﮭــﻨﯾﺪــﻟو ﺎﮭﺒـــﺴﺤﻟو ﺎﮭــﻟﺎـﻤﺠﻟو ﺎﮭــﻟ كاﺪـﯾ ﺖﺑﺮﺗ ﻦﯾﺪﻟا Selanjutnya kata:    

dua, tiga, atau empat

Kalimat ini sangat jelas maknanya, yaitu mengenai batasan dibolehkannya melakukan poligam. Istri yang dipoligami tidak boleh lebih dari empat orang.

     

Jika kamu takut tidak dapat berbuat adil, maka nikahilah seorang saja Kalimat ini mengisyaratkan jika seseorang tidak mampu berbuat adil kepada istri dalam segi nafkah, maka orang tersebut tidak dibolehkan melakukan poligami, ia cukup mempunyai seorang istri.

Kitab tafsir ini (Sa'di, 2002: 164) membolehkan poligami, dengan dua, tiga, sampai empat orang istri. Syarat yang diajukan hanya mampu secara materi dan adil dalam pembagiannya. Istri-istri yang dipoligami boleh dari seorang gadis, janda yang ditinggal mati suaminya, maupun janda yang dicerai oleh suaminya, baik mempunyai anak atau tidak mempunyai anak.

(37)

C. Al-Asas fi al-Tafsir

Kitab al-Asas fi al-Tafsir ditulis oleh Sa’id Hawwa. Sistematika penafsiran yang digunakan dalam kitab ini adalah: pertama, mengungkapkan makna ayat yang ditafsirkan secara global; kemudian kedua. menafsirkan ayat tersebut sesuai dengan tafsir kata per kata (harfi); dan ketiga, mengungkapkan beberapa faidah dari ayat yang ditafsirkan.

Makna global atau makna umum yang terdapat dalam kitab tafsir merupakan usaha pengarangnya dalam memahami ataupun menyimpulkan makna yang terkandung di dalam ayat yang ditafsirkan. Dalam konteks ayat poligami di atas, makna global yang terdapat dalam kitab tafsir ini adalah:

- Sesungguhnya Allah melarang berbuat zalim kepada anak yatim, tidak memberikan mahar nikah, dan tidak berlaku adil terhadapnya.

- Allah memberi kemudahan kepada laki-laki untuk berbuat adil terhadap istri-istrinya sampai 4 orang. Tetapi, jika tidak dapat berbuat adil, maka ia cukup menikahi seorang saja (Hawwa, 1999: 988-989).

Sedangkan makna harfi yang terdapat dalam kitab tafsir ini tidak berbeda jauh dengan kitab-kitab tafsir lainnya, yaitu dengan cara menafsirkan penggalan kalimat per kalimat dan kata per kata yang terdapat dalam ayat tersebut. Jika diperlukan, kitab tafsir ini juga memakai hadis yang berhubungan dengan penggalan kalimat-kalimat atau kata-kata tersebut. Dalam konteks pemahaman ayat poligami di atas, makna harfi yang terdapat dalam kitab ini tidak berbeda jauh dengan terjemahan dari ayat tersebut (Hawwa, 1999: 990).

Faedah-faedah yang diungkapkan dalam kitab tafsir ini merupakan pokok utama pemikiran penafsirnya dari ayat yang dimaksud. Kitab ini juga memberikan hadis Rasulullah saw. yang berhubungan dengan pembahasan ayat tersebut. Pada ayat poligami di atas, penafsir mempunyai kesimpulan, bahwa ayat tersebut mengharamkan untuk menikahi wanita lebihdari seorang jika ia tidak dapat berbuat adil, atau ia hendak menyakitinya (Hawwl, 1999: 991).

(38)

D. Tafsiral-Jalalain

Kitab tafsir ini ditulis oleh dua orang Imam, Imam Jalal Din Ibn AhmadMahalli dan Imam Jalal Din Ibn Abi Bakr al-Suyuti. Metode tafsir yang dipakai dalam tafsir ini ialah metode ijmali, dengan mengambil bentuk penafsiran bi al-dirayah (al-ra'yi).

Aplikasi penafsiran dari kitab ini hampir mirip dengan terjemahan al-Qur'an secara bahasa. Poligami dibolehkan kepada umat muslim untuk menikahi wanita-wanita yang mereka senangi sebanyak 4 orang. Wanita-wanita tersebut tidak ditentukan apakah ia gadis, maupun janda yang ditinggal mati suaminya, janda yang dicerai suaminya, baik yang sudah mempunyai anak, maupun belum memiliki anak. Dengan catatan, umat muslim yang akan menikah lebih dari satu orang, mereka harus mampu dalam finansial, baik nafkah (materi) maupun pembagiannya (harus secara adil). Jika mereka tidak mampu akan kedua hal tersebut, maka mereka harus memiliki satu istri (Mahalli dan Suyuti, 2002: 77).

E. Tafsir al-Misbah

Tafsir al-Misbah ditulis mufassir Indonesia, dan pernah menjabat sebagai rektor perguruan tinggi negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu M. Quraish Shihab. Kitab Tafsir al-Misbah merupakan sebuah kitab tafsir yang menggunakan metode tahlili. Setiap kata ataupun kalimat dari ayat maupun surat yang terdapat dalam al-Qur'an, ditelaah secara rinci sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki mufassir-nya. Dari sisi bahasa,hubungan sebab-akibat,sebabturunnya wahyu, sampai pada penerapannya pada masa sekarang.

Dalam menelaah sebuah ayat ataupun surat, kitab tafsir ini menggunakan penalaran maupun periwayatan. Penalaran yang terdapat dalam Tafsir al-Misbah, ingin melihat maksud yang dikehendaki oleh Allah SWT. pada waktu diturunkan dan penerapannya pada masa sekarang (konteks masa kini). Tentunya, hal ini didukung oleh sumber-sumber yang dapat dijadikan rujukan ayat yang dikehendaki, seperti hadis Nabi Muhammad saw. dan pendapat para sahabat Nabi.

(39)

Ayat ketiga dari surat al-Nisa', merupakan sebuah ayat yang berhubungan dengan ayat sebelumnya. Ayat sebelumnya melarang umat muslim untuk mengambil dan memanfaatkan harta anak yatim secara aniaya. Selanjutnya ayat ini juga melarang untuk berlakuaniaya terhadap pribadi anak yatim tersebut. Umat muslim dilarang menikahi anak-anak yatim yang mereka inginkan karena harta dan kecantikannya tetapi tidak berbuat adil terhadap mereka (anak-anak yatim).

Selanjutnya, dibolehkannya orang muslim nikah lebih dari satu istri (batas maksimalnya 4 orang istri), karena ia dapat berlaku adil dalam harta dan perlakuan lahiriyah, bukan berlaku adil dalam cinta. Mereka boleh memilih wanita yang mereka senangi, tidak harus wanita janda yang memiliki anak, tetapi boleh gadis, janda karena dicerai (baik yang memiliki anak maupun yang tidak memiliki anak), dan janda yang ditinggal mati suaminya dengan tanpa meninggalkan anak.

Yang perlu diperhatikan ialah, M. Quraish Shihab (2005, II: 339-345) tidak menyatakan ayat ketiga surat al-Nisa' sebagai ayat yang membuat peraturan poligami. Ayat tersebut tidak menganjurkan untuk melakukan poligami. Sebab sebelum ayat tersebut turun, poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh berbagai penganut agama. Ayat tersebut hanya membolehkan poligami dengan berbagai syarat yang tidak ringan. Poligami dibolehkan dengan melihat situasi dan kondisi maupun alasan secara logis

Referensi

Dokumen terkait

kebanyakan dialog yang bertebaran sepanjang keseluruhan durasi film ini memiliki kekuatan di atas rata-rata & menurut saya ini adalah salah satu film dengan bahasa berat

o Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip

Sifat yang khas dari tanah lempung yaitu dalam keadaan kering akan bersifat keras.. dan jika basah akan bersifat lunak piastis dan kohesif, mengembang dan menyusutnya cepat

Mengingat banyaknya permintaan pengolahan ban yang berada di Kelurahan Karang Joang, maka dari itu kegiatan pengabdian masyarakat yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu

Tabel 4.3 Ringkasan uji BNJ 1% dari pengaruh lama pemberian tepung Lumbricus rubellus tingkat kerusakan vili usus halus pada Rattus novergicus yang terinfeksi Salmonella.

Penelitian ini berfokus kepada bagaimana potensi yang dimiliki smartphone dengan platform android dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk memperlancar proses akademik

sebuah media. Tujuannya merangsang motif minat para pembeli atau pemakai. Karena akibat iklan telah merangsang pembeli melalui daya tariknya yang besar maka iklan

Seperti kita ketahui di Yogyakarta banyak perguruan tinggi seperti UGM, UII, UMY, UIN SUKA dan masih banyak lagi yang membuka program studi ekonomi Islam disamping itu