• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Pendekatan Masalah

Dalam dokumen Skripsi Kajian Perang Sibernetika Cyber (Halaman 22-77)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan Masalah

C. Metode Pengumpulan Data D. Metode Analisa Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas Hasil Penelitian dan Pembahasan yang menguraikan secara jelas dan lengkap tentang hasil penelitian. Dalam bab ini akan disajikan data-data yang diperoleh pada saat pelaksanaan penelitian yang dilakukan melalui penelitian studi pustaka (library research) sesuai dengan pokok-pokok permasalahan yang telah ditentukan. Bab ini terdiri dari sub bab sebagai berikut:

A. Cyber-Warfare sebagai Konflik Bersenjata Internasional 1. Cyber/Cyberspace sebagai Domain Perang Masa Depan 2. Aktor Cyber-Warfare

3. Ancaman dan Dampak Cyber-Warfare terhadap Keamanan dan Perdamaian Dunia

B. Relevansi Hukum Humaniter Internasional Terhadap Cyber-Warfare

4. Pengaruh Kemajuan Teknologi dalam Bidang Persenjataan dalam Hubungannya dengan Hukum Humaniter

5. Aplikasi Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap

Cyber-Warfare

6. Urgensi Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap

Cyber-Warfare

BAB V PENUTUP

Bab ini terdiri dari sub bab sebagai berikut:

A. Kesimpulan B. Saran

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Hukum Humaniter Internasional

Presiden Palang Merah Internasional (International Committee of Red Cross/ICRC) yang bernama Dr. Jakob Kellenberger menyatakan bahwa:5

The laws of war were born of confrontation between armed forces on the battle-field. Until the mid-nineteenth century, these rules remained customary in nature, recognised because existed since time immemorial and because they corresponded to the demands of civilisation. All civilisations have developed rules aimed at minimising violence – even this institutionalised form of violence that we call war – since limiting violence is the very essence of civilisation

Kutipan pernyataan kata pengantar yang disampaikan Dr. Jakob Kellenberger itu mewakili sekian banyak cerita lahirnya hukum humaniter internasional. Peradaban (civilisation) manusia yang tak pernah lepas dari perang yang membuat manusia selalu berpikir bagaimana cara meminimalisasi kekerasan yang terjadi dalam perang dengan dasar manusia yang beradab. Paling tidak perang dilakukan secara fair atau ada semacam ‘aturan main’ untuk para pihak yang berperang, untuk menjaga konflik yang ada tidak sampai melebar dan berdampak ke pihak lainnya yang tidak ikut berperang.

5

Jean-M arie Henckaert s and Louise Dosw ald-Beck, Customary International Humanitarian Law: Volume I Rules, (Cambridge: Cambridge Universit y Press, 2005), halaman ix.

Pemikiran-pemikiran seperti itu mengilhami lahirnya hukum perang (the law of war) sampai dengan perkembangannya hingga periode modern saat ini. Perlu pula ditegaskan dalam studi ini, bahwa akhir-akhir ini timbul istilah baru dalam khasanah hukum internasional yaitu

international humanitarian law yang diterjemahkan menjadi hukum humaniter internasional, atau hukum internasional humaniter.6 Istilah ini merupakan suatu istilah yang masih relatif baru di Indonesia, sebab selama ini orang hanya mengenal dengan sebutan hukum perang (the law of war), dan oleh karena itu tidak mengherankan apabila khalayak ramai belum mengenalnya.7

Dalam sub bab ini penulis memaparkan tinjauan umum mengenai hukum humaniter internasional dengan melihat pada aspek pengertian, perkembangan, sumber hukum, asas hukum, prinsip hukum, dan ruang lingkupnya. Selain itu dikerucutkan lagi ke dalam pembahasan mengenai konflik bersenjata dengan melihat pada pengertian dan jenis konflik bersenjata.

1. Pengertian Hukum Humaniter Internasional

Istilah hukum humaniter internasional atau lengkapnya disebut dengan International Humanitarian Law Applicable in

6

Syahmin AK, Hukum Internasional Humaniter Bagian Umum, (Bandung: Amrico, 1985), halam an 6.

7

Armed Conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini lazim dikenal dengan hukum humaniter internasional (international humanitarian law). Selain istilah hukum humaniter internasional beberapa ahli menggunakan istilah lainnya seperti hukum sengketa bersenjata internasional, atau hukum kemanusiaan internasional. Istilah yang berbeda-beda tersebut bermacam-macam karena istilah tersebut berubah-ubah seiring dengan perkembangan hukum humaniter internasional melalui upaya-upaya internasional yang akan dibahas secara lebih rinci pada pembahasan perkembangan hukum humaniter internasional. Namun terlepas dari perbedaan penggunaan istilah-istilah tersebut, pengertiannya memiliki makna yang sama.

Berikut ini beberapa sarjana atau ahli mencoba memberikan definisi atau pengertian mengenai hukum humaniter internasional atau hukum perang atau hukum sengketa bersenjata:

a. Oppenheim-Lauterpacht mendefinisikan law of war are the rules of law of nations respecting warfare.8 Pendapat beliau hanya terbatas pada hukum yang harus ditaati bangsa-bangsa yang berperang.

8

b. Sedangkan JG Starke memberikan batasan yang lebih luas daripada pendapat Oppenheim-Lauterpacht. JG Starke

mengatakan bahwa, “Hukum Perang terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional dalam mana kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan dan prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya perang dan konflik-konflik bersenjata.”9

c. Jean Pictet mendefinisikan “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being”.10 Pendapatnya sama sekali tidak menyebutkan perang, pendapat beliau hanya mendefinisikan situasi formal bagaimana hukum itu ada serta menitik beratkan pada penghargaan Hak Asasi Manusia setiap individu manusia. Terlihat jelas bahwa Jean Pictet adalah seorang yang menganut paradigma hukum positivisme.

d. Geza Herzeg berpendapat, “International humanitarian law is part of the rule of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit

9

JG St arke, Pengantar Hukum Int ernasional 2 Edisi Kesepuluh, (Jakart a: Sinar Grafika, 2007), halam an 727.

10

being different.”11 Pendapat Geza Herzeg agak mirip dengan pendapat Jean Pictet, perbedaannya adalah pendapat Geza Herzeg ini sudah membahas tentang korelasi hukum humaniter internasional dengan konflik bersenjata internasional.

e. Knut Dormann berpendapat “International Humanitarian Law is applicable only in times of armed conflict and composed of the two following types of rules; first is rules which limit the right of the parties to use means and methods of war; and second is rules which protect the persons and property in times of armed conflict.” 12 Pendapat Knut Dormann tidak memberikan definisi hukum humaniter internasional, tetapi pendapatnya menjelaskan mengenai kapan hukum humaniter internasional tersebut diaplikasikan dan mengenai sifat dari hukum humaniter internasional itu sendiri.

f. Prof. Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa “Hukum Humaniter Internasional adalah sebagian dari hukum perang yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur peperangan itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut

11

Ibid.

12

Knut Dorm ann, Comput er Netw ork Attack and International Humanitarian Law, (Art ikel

Ilmiah, International Commit t ee of Red Cross, diakses dari

cara-cara melakukan perang itu sendiri.”13 Selanjutnya beliau memberikan terminologi dalam hukum perang, yaitu:

1) Hukum tentang perang (jus ad bellum), yang mengatur dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata.

2) Hukum yang berlaku dalam perang (jus in bello), yang kemudian terbagi dua lagi menjadi:

a) Yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war) yang kemudian disebut hague laws.

b) Yang mengatur perlindungan bagi orang-orang yang menjadi korban perang, yang kemudian disebut

geneva laws. 14

Agaknya beberapa pendapat ahli/sarjana diatas, JG. Starke

dan Prof. Mochtar Kusumaatmadja lebih memberikan pengertian yang lebih spesifik dan mendalam mengenai hukum humaniter internasional, karena kedua ahli ini menurut penulis sudah menyinggung mengenai sumber dan prinsip dalam hukum humaniter internasional yang mana fundamental dalam kajian hukum humaniter internasional. Selain itu, di Indonesia pembahasan dalam lingkup hukum internasional khususnya hukum humaniter internasional lebih merujuk atau lebih dipengaruhi pada pendapat kedua ahli tersebut.

Dengan mencermati pengertian dan/atau definisi hukum humaniter internasional, maka ruang lingkup hukum humaniter

13

Ibid.

14

internasional dapat dikelompokan dalam tiga kelompok yaitu aliran luas, aliran tengah, dan aliran sempit.15 Jean Pictet misalnya menganut pengertian hukum humaniter dalam arti pengertian yang luas yaitu bahwa hukum humaniter mencakup baik hukum Jenewa, hukum Den Haag, dan hukum terhadap Hak Asasi Manusia.16 Sedangkan Geza Herzegh menganut aliran sempit, menurutnya hukum humaniter hanya menyangkut hukum Jenewa.17 Sedangkan

Starke menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa hukum humaniter terdiri atas hukum Jenewa dan hukum Den Haag.18

2. Perkembangan Hukum Humaniter Internasional

Hukum humaniter internasional seperti diketahui sebelumnya bahwa perkembangannya dimulai sejak selama peradaban manusia di bumi ada. Sebelum istilah hukum humaniter internasional muncul, hukum yang mengatur para pihak yang berperang lebih dikenal dengan hukum perang. Hukum perang yang dikenal sejak lama itu mengatur etika-etika dan kebiasaan yang diterima universal mengenai perang.

Sejak sebelum tahun masehi pada saat itu diketahui sejarah manusia sudah ada dan diketahui pula sejarah perang. Manusia

15

Haryomat aram , Hukum Humaniter, (Jakart a: CV Radjaw ali, 1994), halaman 15-25.

16 Ibid. 17 Ibid. 18 Ibid.

sudah berkelompok dalam satu bangsa dan saling menaklukan manusia di bangsa lainnya yang biasanya melalui cara-cara kekerasan seperti perang.

Sejak zaman kuno, kerajaan-kerajan yang terlibat perang mempunyai kebiasaan untuk melakukan pernyataan perang (declaration of war) sebelum dilakukan serangan terhadap musuh. Hal ini dilakukan agar musuh dapat mempersiapkan diri sebelum terjadi perang, yang mana persiapan itu seperti mengungsikan warga sipil khususnya wanita dan anak-anak ke tempat yang aman dari zona perang dan melakukan wajib militer (conscription) terhadap warga sipil pria jika dibutuhkan. Dalam bukunya

Development and Principles of International Humanitarian Law, Jean Pictet mengisahkan bahwa para panglima tentara Bangsa Mesir ketika pecah perang akan memerintahkan prajuritnya untuk menyediakan kebutuhan para musuh yang tertangkap, juga mengobati luka-luka mereka.19

Pada zaman pertengahan, agama dan kepercayaan sudah pesat berkembang dan diyakini oleh banyak masyarakat terutama di benua Eropa dan Asia. Maka dari itu, hukum yang ada dalam agama dan kepercayaan banyak mempengaruhi perkembangan

19

Jean Pictet , Development and Principles of International Humanitarian Law, (Geneva: Henry Dunant Inst it ute, 1985), halam an 7.

hukum perang pada saat itu melalui kitab suci atau pemuka agama.20

Dalam kitab Al-Qur’an yang diyakini oleh para pemeluk agama Islam dituliskan dalam: Al-Baqarah ayat 190 “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”21 Implementasi dari Al-Baqarah ayat 190 tersebut terkandung dalam prinsip hukum perang modern (hukum humaniter internasional) seperti dalam prinsip pembatasan (limitation principle), dan prinsip proporsionalitas (proportionally principle).

Adapula dalam Al-Qur’an diatur mengenai pengaturan tawanan perang yaitu pada Al-Taubah ayat 5 “Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik dimana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”22Implementasi Al-Taubah ayat 5 tersebut terkandung dalam asas hukum perang modern (hukum humaniter

20

Arlina Permanasari, Op.Cit., halaman 13.

21

Al-Qur’an, Al-Baqarah 190.

22

internasional) seperti asas kemanusiaan (humanity principle) dan asas kesatrian (chivalry principle).

Bagi warga Eropa khususnya Eropa barat yang mayoritas penduduknya beragama Kristiani, hukum perang tidak dikenal dalam kitab suci pengikut Kristiani. Akan tetapi institusi gereja (Katholik Roma saat itu sangat berpengaruh terhadap setiap pengambilan keputusan politik negara-negara di eropa khususnya eropa barat. Begitupula terhadap ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi prajurit ketika berperang. Meskipun demikian, belum ada kodifikasi peraturan hukum perang yang memadai dan berlaku universal, saat itu masih berlaku hukum kebiasaan dan berdasarkan doktrin militer dari masing-masing negara.

Setelah masa abad pertengahan dimana agama dan/atau kepercayaan sangat berpengaruh, muncul suatu peradaban baru yaitu era pencerahan dimana gaya pemikiran logis/masuk akal (rasional) sudah mulai berkembang dan meninggalkan pemikiran yang sifatnya keilahian. Di era inilah hukum perang mulai berlaku universal di dunia dan mulai dikodifikasikan dan bersifat mengikat negara-negara yang meratifikasinya (legaly binding).

Di benua Eropa terobosan perkembangan itu diawali dari pendirian organisasi internasional yang bernama International Committee of Red Cross (ICRC) pada tahun 1863 yang dipelopori

oleh seseorang berkebangsaan Swiss yang bernama Henry Dunant. Pertempuran antara pasukan Perancis dan Austria di Solferino,Italia pada tahun 1859 mengilhami Henry Dunant

membentuk ICRC. Konsep awal fungsi organisasi ini adalah untuk menangani prajurit yang terluka dan sakit di medan perang (darat).

Pada tahun 1863, di Amerika Serikat muncul Instruction For The Government of Armies of The United States in The Field

atau yang lebih dikenal dengan Lieber Code yang memuat aturan-aturan perang bagi prajurit Amerika Serikat. Kodifikasi peraturan-aturan hukum perang yang memuat 157 article ini secara garis besar berisi ketentuan rinci pada keadaan perang di darat, tindakan-tindakan dalam perang yang dibenarkan serta perlakuan terhadap warga sipil.23 Meskipun peraturan ini diciptakan hanya untuk pasukan Amerika Serikat pada perang saudara di Amerika Serikat, kodifikasi ini merupakan salah satu terobosan hukum dan kebiasaan perang yang ada pada saat itu. Liber Code sangat mempengaruhi kodifikasi hukum perang di dunia dimana banyak diadopsi oleh negara-negara lain saat itu. The Lieber Code formed the origin of the project of an international convention on the laws of war presented to the Brussels Conference in 1874 and

23

Dinindya Lint ang Sekar M ayang, Penggunaan Senjata Clust er Pada Konflik Bersenjata Non-Int ernasional Suriah dan Hubungannya dengan Pelanggaran Hukum Humaniter Non-Int ernasional, (Skripsi Sarjana Hukum, Fakult as Hukum Universit as Diponegoro, 2014), halaman 9-10.

stimulated the adoption of the Hague Conventions on land warfare of 1899 and 1907.24

Setelah sukses dari Konferensi Jenewa 1863, Dewan Federal Swiss, atas prakarsa Komite Jenewa pada tahun 1864, mengundang pemerintah semua negara Amerika Eropa dan beberapa negara untuk mengadakan konferensi diplomatik yang bertujuan mengadopsi sebuah konvensi untuk perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang terluka dan sakit di medan perang di darat. Kemudian dikodifikasikanlah Geneva Convention For The Amelioration of The Condition of The Wounded and Sick In Armed Forces in The Field yang dikenal dengan Konvensi Jenewa I. Konvensi ini secara garis besar memiliki substansi hukum perang sebagai berikut:

1) Perlindungan dan perawatan terhadap prajurit yang terluka dan sakit tanpa membedakan pihak-pihak yang berperang;

2) Perlindungan terhadap sarana dan unit medis;

3) Emblem, lambang, dan tanda identifikasi khusus untuk sarana dan unit medis

Pada tahun 1899 diadakan The Hague Convention II: Laws and Customs War on Land yang lalu dikenal dengan Konvensi Den Haag 1899. Tujuan diadakannya konvensi ini adalah untuk

24

D. Schindler dan J. Toman, The Law s of Armed Conflicts, (Leiden: M art inus Nihjoff Publisher, 1988), halaman 23.

merevisi deklarasi mengenai hukum dan kebiasaan perang yang diuraikan pada Konferensi Brussels 1874. Secara garis besar, substansi yang diatur terdiri atas 4 bagian utama dan 3 deklarasi tambahan sebagai berikut:

1) Penyelesaian damai atas sengketa internasional (pacific settlement of international disputes);

2) Hukum dan kebiasaan perang di darat (law and customs of war on land);

3) Penyesuaian prinsip-prinsip Konvensi Jenewa I mengenai perang di laut (adoption to maritime warfare of principles of Geneva Convention of 1864);

4) Deklarasi tambahan mengenai larangan peluncuran proyektil dan bahan peledak dari balon udara (on the launching of projectiles and explosives from ballons);

5) Deklarasi tambahan mengenai larangan penggunaan proyektil yang tujuannya menyebarkan gas pencekik atas gas perusak (on the use of projectiles the object of which is the diffusion of asphyxiating or deleterious gases);

6) Deklarasi tambahan mengenai larangan penggunaan peluru yang mengembang atau merata dengan mudah dalam tubuh manusia (on the use of bullets which expand or flatten easily in the human body).

Pada tahun 1906 diadakan Konvensi Jenewa II untuk merevisi/mengamandemen dan pengembangan Konvensi Jenewa I dengan nama Geneva Convention For The Amelioration of The Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea. Dengan 33 Article dibagi menjadi delapan bab, Konvensi Jenewa II 1906 lebih rinci dan lebih tepat dalam terminologi dibanding Konvensi Jenewa I 1864. Ketentuan baru yang dimasukkan antara lain:25

1) Mengenai penguburan orang mati dan transmisi informasi; 2) Bantuan sukarela warga sipil terhadap korban perang yang

untuk pertama kalinya diakui secara tegas;

3) Hak istimewa penduduk membawa bantuan untuk korban luka dikurangi menjadi proporsi yang lebih masuk akal;

4) Kewajiban untuk memulangkan prajurit yang terluka yang tidak bisa melanjutkan tugas.

Pada tahun 1907 diadakan The Hague Conventions IV: Law and Customs of War on Land yang lalu dikenal sebagai Konvensi Den Haag 1907. Konvensi Den Haag 1907 merupakan konvensi keempat yang diadakan untuk merevisi substansi pada konvensi Den Haag sebelumnya. Hanya terdapat perbedaan tipis dari konvensi Den Haag 1899, karena konvensi Den Haag 1907 ini

25

hanya melengkapi ketentuan yang sudah ada sebelumnya seperti membahas hukum dan kebiasaan perang di laut.

Pada tahun 1919 Presiden Komite Palang Merah Amerika Serikat (American Red Cross Committee) Henry Davison

menggagas sebuah organisasi yang mirip dengan ICRC yaitu Liga Masyarakat Palang Merah atau League of Red Cross Societes. Organisasi ini kemudian pada tahun 1983 berganti nama menjadi Liga Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (League of Red Cross and Red Crescent Societes), dan kemudian pada November 1991 berganti nama lagi menjadi Federasi Internasional Palang Merah dan Masyarakat Bulan Sabit Merah (International Federation of Red Cross and Red Crescent Societes/IFRC). Tujuan utama organisasi ini adalah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat di negara-negara yang telah mengalami perang dengan bersatu dan memperkuat kerjasama antar negara dalam bidang kesehatan seusai perang untuk membangun lagi tatanan kehidupan yang baru pasca kehancuran akibat perang.26

Pada tahun 1928 terbentuk Statues of International Red Cross. Ini merupakan sebuah konstitusi dari pendirian organisasi palang merah dunia yaitu Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Diadopsi dari Konferensi Internasional ke-25 Palang Merah di

26

The History of IFRC, diakses dari ht t p:/ / w w w.ifrc.org/ en/ w ho-w e-are/ hist ory/ , pada 22 Februari 2015 pukul 13.17 WIB.

Jenewa pada bulan Oktober 1986 dan telah diubah dengan Konferensi Internasional ke-26 Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di Jenewa pada bulan Desember 1995 dan oleh Konferensi Internasional ke-29 Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di Jenewa pada Juni 2006.27

Pada tahun 1929 diadakan Geneva Convention Relative to The Treatment of Prisoners of War yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa III. Adanya kekurangan ketentuan mengenai perlakuan tawanan perang sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Den Haag 1899 dan Konvensi Den Haag 1907 yang dirasakan selama perang dunia I, mengilhami dibentuknya suatu konvensi khusus mengenai perlakuan tawanan perang. Berdasarkan pemikiran tersebut disidangkanlah suatu konferensi diplomatik di Jenewa pada tahun 1929. Hasil dari konferensi diplomatik ini adalah suatu ketentuan yang melengkapi ketentuan dalam Konvensi Den Haag 1899 dan Konvensi Den Haag 1907 yang bernama Geneva Convention Relative to The Protection of Civilian Persons in Time of War. Menurut D.Schindler and J.Toman dalam bukunya The Laws of Armed Conflict inovasi yang dihasilkan adalah “consisted in the prohibition of reprisals and collective penalties, the organization of prisoners work, the designation, by

27

Statutes of the International Red Cross and Red Crescent M ovement, diakses dari

ht t ps:/ / w w w .icrc.org/ eng/ resources/ document s/ misc/ st at ut es-movement -220506.htm , pada 22 Februari 2015 pukul 13.42 WIB.

the prisoners, of representatives and the control exercised by protecting Powers.”28

Pada tahun 1965 di Wina,Austria diadakan Proclamation of The Fundamental Principles of The Red Cross: Humanity, Impartiality, Neutrality, Independence, Voluntary Service, Unity, Universality. Proklamasi ini merupakan proklamasi bersama antara ICRC dan IFRC yang mana memiliki pokok untuk menjamin keberlangsungan gerakan dan misi kemanusiaan internasional. Hal ini tercermin dalam tujuh prinsip dasar yaitu: kemanusiaan (humanity), tidak memihak (impartiality), kenetralan (neutrality), kebebasan/kemerdekaan (independence), pelayanan sukarela (voluntary service), kesatuan (unity), keuniversalan (universality). Proklamasi ini menjadi dasar gerakan kemanusiaan yang dilakukan oleh ICRC dan IFRC.

Pada tahun 1977 diadakan Protocol Additional to The 1949 Geneva Conventions yang pada pembahasannya berintikan ketentuan perlindungan terhadap korban konflik bersenjata. Protokol ini mengakomodasi dua situasi yaitu pada situasi konflik bersenjata internasional (international armed conflict) dan konflik bersenjata non-internasional (non-international armed conflict) yaitu sebagai berikut:

28

1) Protocol Additional To The Geneva Conventions of 12 August 1949 and Relating to The Protection of Victims of International Armed Conflicts atau yang dikenal dengan Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949.

2) Protocol Additional to The Geneva Conventions of 12 August

Dalam dokumen Skripsi Kajian Perang Sibernetika Cyber (Halaman 22-77)

Dokumen terkait