• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi Kajian Perang Sibernetika Cyber

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Skripsi Kajian Perang Sibernetika Cyber "

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

“KAJIAN PERANG SIBERNETIKA (CYBER-WARFARE) SEBAGAI KONFLIK BERSENJATA INTERNASIONAL BERDASARKAN HUKUM

HUMANITER INTERNASIONAL”

PENULISAN HUKUM

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan program Sarjana (S1) Ilmu Hukum

Oleh:

Nama : TRISUHARTO CLINTON NIM : 11010111130403

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

KAJIAN PERANG SIBERNETIKA (CYBER-WARFARE) SEBAGAI KONFLIK BERSENJATA INTERNASIONAL BERDASARKAN HUKUM

HUMANITER INTERNASIONAL

Penulisan Hukum (SKRIPSI)

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan Program Sarjana (S1) Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro

Disusun Oleh:

Nama : TRISUHARTO CLINTON NIM : 11010111130403

Penulisan Hukum dengan judul diatas telah disahkan dan disetujui untuk diperbanyak

Semarang, 10 Maret 2015 Mengetahui

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

(3)

HALAMAN PENGUJIAN

KAJIAN PERANG SIBERNETIKA (CYBER-WARFARE) SEBAGAI KONFLIK BERSENJATA INTERNASIONAL BERDASARKAN HUKUM

HUMANITER INTERNASIONAL

Dipersiapkan dan disusun oleh: TRISUHARTO CLINTON

NIM: 11010111130403

telah diujikan di depan Dewan Penguji pada tanggal 27 Maret 2014

Semarang.

Dewan Penguji

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum. Lapon Tukan Leonard, S.H., M.A

NIP. 196211101987031004 NIP. 195811301987031001 Penguji I Penguji II

Soekotjo Hardiwinoto, S.H., LLM. Dr. Joko Setiyono, S.H., M.Hum

NIP. 195310291980121001 NIP. 196606071992031001 Penguji III

(4)

HALAMAN

PERSEMBAHAN

Motto:

Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.

(Matius 7:7)

If you fail to prepare, you’re preparing to fall.

Persembahan:

Karya penulisan hukum ini, penulis persembahkan untuk:

1. Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan kasihNya;

2. Keluargaku Mama Darwati, Christopher Willianto, dan Dear Virgin Willona, dan seluruh keluarga besar saya, atas semua doa, kasih sayang, dan semua pengorbanan yang tidak terhingga kepada saya;

(5)

Hanjayani atas kasih dan dukungan, bantuan, dan kebersamaan yang telah terjalin selama ini;

4. Kawan-kawan seperjuangan GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) terutama kawan-kawan GMNI komisariat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro;

5. Kawan-kawan ALSA (Asian Law Students’ Association) Local Chapter Universitas Diponegoro;

6. Kawan-kawan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, serta kawan-kawan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas segala dukungan, bantuan, dan kebersamaan yang telah terjalin selama ini;

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karuniaNya-lah saya dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “KAJIAN PERANG SIBERNETIKA (CYBERWARFARE) SEBAGAI KONFLIK BERSENJATA INTERNASIONAL BERDASARKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL”. Adapun skripsi ini saya buat sebagai syarat pokok yang harus saya penuhi dalam rangka menyelesaikan studi S1 Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro guna memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Dengan selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materiil. Untuk itu, pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan cinta kasihnya sehingga penulisan hukum ini dapat terselesaikan dengan baik;

2. Prof. Sudarto, MES, Ph.D., sebagai Rektor Universitas Diponegoro;

3. Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro sekaligus selaku Dosen Wali saya;

4. Bapak Lapon Tukan Leonard, S.H., M.A., sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Diponegoro;

(7)

6. (Alm) Bapak Dadang Siswanto, S.H., M.Hum., sebagai mantan Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Diponegoro;

7. Ibu Peni Susetyorini, S.H., M.H., sebagai Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Diponegoro;

8. Bapak Nuswantoro Dwi Warno, S.H., M.H. sebagai Sekretaris Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Diponegoro;

9. Bapak Soekotjo Hardiwinoto, S.H., LLM., dan Bapak Dr. Joko Setiyono, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing I dan II bagi skripsi saya, atas segala waktu, bimbingan, dan bantuan yang telah diberikan selama penyusunan skripsi ini;

10.Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Diponegoro;

Sebagai manusia biasa, saya menyadari akan ketidaksempurnaan dari skripsi ini dan oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan. Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi segenap civitas akademika demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Semarang, 10 Maret 2015

(8)

ABSTRAK

Kemajuan teknologi informasi komunikasi menjadikan berbagai infrastruktur bergantung pada adanya teknologi sibernetika. Oleh karena itu, muncul ancaman-ancaman terhadap sistem tersebut. Salah satu ancaman-ancaman yang dibahas dalam kaitan studi hukum humaniter internasional adalah perang sibernetika, yang mana dilakukan oleh entitas-entitas tinggi seperti negara. Ancaman itu dikoordinasikan dengan angkatan bersenjata atau militer guna memperoleh keunggulan terhadap lawan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yaitu penelitian dengan menggunakan data sekunder yang meliputi konvensi-konvensi, keputusan-keputusan, kebiasaan-kebiasaan hukum internasional, teori hukum, serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan.

Serangan sibernetika yang dikoordinasikan dengan kepentingan militer memungkinkan munculnya perang sibernetika. Sampai saat ini belum ada ketentuan hukum internasional yang mengatur perang sibernetika sebagai sebuah konflik bersenjata internasional, namun terdapat analogi korelasi prinsip atau asas dalam hukum humaniter internasional terhadap perang sibernetika.

(9)

ABSTRACT

The advancement of information and communication technology have been make various infrastructure depend on cyber technology. Therefore, emerging threats to that system. One of the threats which discussed relating to study of international humanitarian law is cyber-warfare, which is done by high entities such as State. Threats coordinate with armed forces or military in order to gain an edge towards enemy.

The research methods used in this study is juridicial normative methods, that is a research that using secondary data which covers conventions, decisions, customary international law, law theory, and documents which related to the problems.

Cyber-attack that is coordinate with military objective allowing the emergence of cyber-warfare. Until this moment there are no international law regulation that regulate cyber-warfare as international armed conflict, however there is correlation of analogy with principal of international humanitarian law against cyber-warfare.

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PENGUJIAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

(11)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Hukum Humaniter Internasional ... 11

1. Pengertian Hukum Humaniter Internasional ... 12

2. Perkembangan Hukum Humaniter Internasional ... 17

3. Sumber, Asas, dan Prisip dalam Hukum Humaniter Internasional ... 28

4. Ruang Lingkup Hukum Humaniter Internasional ... 39

5. Pengertian dan Jenis Konflik Bersenjata ... 41

B. Tinjauan Umum Perang Sibernetika (Cyber-Warfare) ... 44

1. Pengertian Cyber-Warfare ... 45

2. Sejarah dan Perkembangan Munculnya Cyber-Warfare ... 52

3. Karakteristik Cyber-Warfare ... 54

4. Perkembangan Pengaturan Cyber-Warfare ... 54

BAB III METODE PENELITIAN ... 58

A. Metode Pendekatan Masalah ... 59

B. Spesifikasi Penelitian ... 60

C. Metode Pengumpulan Data ... 61

(12)

BAB IV PEMBAHASAN ... 64

A. Cyber-Warfare sebagai Konflik Bersenjata Internasional ... 66

1. Cyber/Cyberspace sebagai Domain Perang Masa Depan ... 69

2. Aktor Cyber-Warfare ... 77

3. Ancaman dan Dampak Cyber-Warfare Terhadap Keamanan dan Perdamaian Dunia ... 80

B. Relevansi Hukum Humaniter Internasional Terhadap Cyber-Warfare ... 88

1. Pengaruh Kemajuan Teknologi dalam Bidang Persenjataan dalam Hubungannya dengan Hukum Humaniter ... 88

2. Aplikasi Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap Cyber-Warfare ... 92

3. Urgensi Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap Cyber-Warfare ... 116

BAB V KESIMPULAN ... 126

A. Kesimpulan ... 126

B. Saran ... 127

(13)

LAMPIRAN

1. Protocol Additional To The Geneva Conventions of 12 August 1949, and

Relating To The Protection of Victims of International Armed Conflicts

(Protocol I), of 8 June 1977

2. United Nations General Assembly Resolution: Development In The Field

of Information and Telecommunications in The Context of International

Security.

a. A/RES/53/70, 4 Januari 1999 b. A/RES/55/28, 20 Desember 2000 c. A/RES/56/19, 7 Januari 2002 d. A/RES/57/53, 30 Desember 2002 e. A/RES/58/32, 18 Desember 2003 f. A/RES/59/61, 16 Desember 2004 g. A/RES/60/45, 6 Januari 2006 h. A/RES/61/54, 19 Desember 2006 i. A/RES/62/17, 8 Januari 2008 j. A/RES/63/67, 12 Januari 2009 k. A/RES/65/41, 11 Januari 2011 l. A/RES/67/27, 11 Desember 2012 m. A/RES/68/243, 27 Desember 2013

3. The Cyber Threat Landscape

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perang merupakan sebuah kenyataan sejarah manusia. Dalam setiap periode waktu, manusia saling berperang satu sama lain demi kepentingan suku, bangsa, agama, dan rasnya masing-masing. Banyak faktor penyebab terjadinya perang, antara lain persaingan ekonomi, penyebaran ideologi, kehormatan, dan kejayaan.

Perang secara umum dapat dipahami sebagai cara kekerasan yang ditempuh suatu bangsa atau negara untuk menyelesaikan masalah atau konflik dengan bangsa atau negara lainnya, baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil. Thomas Rid dalam bukunya “Think Again Cyberwar” menyatakan bahwa Seorang Jendral Prusia era Perang Napoleon yaitu Carl von Clausewitz mendefinisikan perang sebagai an act of violence to compel our opponent to fulfil our will atau yang berarti sebuah tindakan kekerasan untuk menundukan lawan atau musuh untuk memenuhi keinginan kita.1

Aktor dalam perang pada umumnya adalah negara melalui pemerintah yang berkuasa di dalamnya. Ketika perang pecah, pemerintah

1

(15)

tersebut akan memerintahkan militer atau kekuatan bersenjatanya atas nama perintah negara untuk bertempur dengan pihak lain yang menjadi musuhnya.

Setiap pihak yang berperang, tentunya menginginkan kemenangan untuk melindungi kepentingannya masing-masing. Untuk memenangkan perang, diperlukan strategi perang yang tepat dan sesuai dengan perkembangan zaman, yang mana perkembangan zaman tersebut bersamaan dengan adanya perkembangan teknologi, terutama dalam kaitan perang adalah perkembangan teknologi persenjataan.

Pada saat ini berkembang teknologi persenjataan sibernetika (cyber-weapon) yang memanfaatkan jaringan telekomunikasi internet dengan domain operasi yang dinamakan sibernetika (cyber-space). Berkat adanya teknologi cyber-space tersebut muncul suatu strategi perang baru yang mana perang tidak dilakukan secara konvensional yaitu dengan tembak menembak secara langsung, dan dapat dilakukan dari jarak jauh dengan akibat yang sifatnya merusak. Perang seperti itu kemudian dikenal dengan perang sibernetika (cyber-warfare).

(16)

tekomputerisasi dalam domain operasional internet yang disebut cyber-space.2

Hampir seluruh aktifitas manusia yang terkomputerisasi itu memunculkan suatu ancaman terhadap cyberspace yang disebut dengan

cyber-threat. Cyber-threat tersebut kemudian muncul dalam sebuah serangan terhadap cyber-space yang kemudian dikenal dengan cyber-attack. Aktor serangan (attackers) itu dapat berupa negara, organisasi/kelompok, dan orang perorangan. 3 Dan apabila serangan tersebut meluas lingkupnya dapat menjadi sebuah perang yang terjadi dalam cyber-space dan kemudian disebut dengan cyber-warfare. Cyber-warfare memungkinkan perang dilakukan dari jarak jauh, tanpa serangan langsung atau tembak menembak, dan cukup memanfaatkan domain internet cyber-space. Akibat yang ditimbulkan dapat bersifat psikis dan fisik yang biasanya terjadi ketika ada konflik yang sudah ada sebelumnya di beberapa negara.

Beberapa peristiwa yang pernah terjadi cyber-warfare di dunia diantaranya dalam perang Israel dengan kelompok Hezbollah pada tahun 2006, adapula pada konflik India dengan Pakistan (2010), kemudian konflik Iran dengan Amerika Serikat dan Israel (2010), serta pada konflik sengketa wilayah Crimea antara Rusia dengan Ukraina (2014).

2

Ivan Hilmi Aviant o, Tinjauan Cyber W arfare Berdasarkan Hukum Humaniter Internasional (Studi Kasus: Perang Antara Rusia dan Georgia pada 7 Agustus 2008), Art ikel Ilmiah, Fakult as Hukum Universit as Braw ijaya, (M alang: UNBRAW, 2013).

3

(17)

warfare yang terjadi dalam konflik-konflik diatas dapat dilihat bahwa

cyber-warfare disebabkan dari latar belakang politik para pihak yang berkonflik layaknya sebuah konflik bersenjata.

Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, China, Rusia sudah membekali militer atau angkatan bersenjatanya dengan unit khusus cyber-warfare. Hal ini menandai lahirnya kecenderungan cyber-warfare sebagai salah satu cara berperang di dunia saat ini. Dimungkinkan perang atau konflik-konflik yang terjadi di dunia pada masa mendatang akan mengurangi penggunaan tembak menembak secara langsung dan mulai menggunakan cyber-warfare sebagai cara melakukan serangan.

Dalam kaitan hukum internasional, terdapat disiplin ilmu yang membahas tentang ketentuan-ketentuan hukum internasional dalam peperangan atau konflik bersenjata yang dinamakan dengan hukum humaniter internasional. Sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 894 pada tahun 1994 mengatakan bahwa:4

Hukum kemanusiaan internasional (hukum humaniter internasional) berlaku dari permulaan konflik bersenjata dan berlanjut hingga gencatan senjata sampai tercapai penyelesaian damai umum; atau dalam kasus konflik internal, tercapai penyelesaian damai. Sampai saat itu, hukum humaniter internasional terus berlaku di seluruh teritori negara-negara yang sedang berperang, atau dalam hal konflik internal, seluruh teritori yang dikuasai oleh salah satu pihak yang berkonflik, entah pertempuran itu sendiri sungguh-sungguh terjadi atau tidak terjadi.

4

(18)

Namun sampai saat ini masih diperdebatkan oleh para ahli mengenai apakah cyber-warfare dapat dikategorikan sebagai tindakan perang (act of war) atau konflik bersenjata internasional (international armed conflict), oleh karena belum adanya definisi yang diakui secara universal tentang cyber-warfare. Ditambah lagi belum adanya semacam konvensi (convention), code of conduct, basic principles, mengenai cyber-warfare. Sejauh ini perkembangan hukum yang ada tentang hal ini hanyalah dalam bentuk kerjasama pertahanan (framework of defence) dari beberapa negara yang sudah memiliki kemampuan cyber-warfare.

Kondisi dimana belum adanya ketentuan hukum internasional yang mengatur cyber-warfare layaknya perang dalam hukum humaniter internasional, dapat merugikan negara-negara yang belum memiliki kemampuan bertahan dalam lingkup cyber-warfare. Apabila demikian dimungkinkan munculnya rasa saling curiga antar negara yang sangat mengganggu stabilitas politik internasional bahkan perdamaian dunia.

Berdasarkan paparan tersebut, perlu dilakukan suatu penelitian atau penulisan hukum yang berjudul KAJIAN PERANG SIBERNETIKA

(CYBER-WARFARE) SEBAGAI KONFLIK BERSENJATA

INTERNASIONAL BERDASARKAN HUKUM HUMANITER

(19)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa masalah terkait penelitian hukum ini, yaitu sebagai berikut:

1. Apakah cyber-warfare dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata internasional?

2. Apakah hukum humaniter internasional dapat diterapkan terhadap

cyber-warfare?

C. Tujuan Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian yang mendapatkan hasil maksimal serta tepat guna, maka penelitian harus memiliki tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan tujuan penelitian ini antara lain:

1. Untuk mengetahui apakah cyber-warfare dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata internasional.

2. Untuk mengetahui apakah hukum humaniter internasional dapat diterapkan terhadap cyber-warfare.

D. Manfaat Penelitian

(20)

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan pemahaman tentang cyber-warfare sebagai suatu cara baru yang digunakan dalam suatu konflik bersenjata.

b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi keilmuan hukum humaniter internasional yang harus terus berkembang seriring kemajuan teknologi.

c. Dapat memberikan bahan masukan serta referensi bagi penelitian yang dilakukan selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi mengenai kajian perang sibernetika (cyber-warfare) sebagai konflik bersenjata internasional berdasarkan hukum humaniter internasional.

b. Memberikan pedoman bagi penelitian di masa mendatang mengenai pengaturan hukum humaniter internasional terhadap

cyber-warfare.

(21)

E. Sistematika Penelitian

Dalam menyusun penulisan hukum ini. Penulis membaginya ke dalam 5 (lima) bab dimana setiap babnya terdapat sub-sub bab yang akan menjelaskan secara rinci dan detail dari bab-bab tersebut. Sedangkan sistematika bab-bab tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Penulis menguraikan hal-hal apa yang mendasari ditulisnya skripsi ini. Untuk lebih jelasnya, penulis membagi bab pendahuluan ini ke dalam beberapa sub bab sebagai berikut:

A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Sistematika Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini terdiri dari sub bab sebagai berikut:

A. Tinjauan Umum Hukum Humaniter Internasional 1. Pengertian Hukum Humaniter Internasional 2. Perkembangan Hukum Humaniter Internasional

(22)

5. Pengertian dan Jenis Konflik Bersenjata

B. Tinjauan Umum Perang Sibernetika (Cyber-Warfare) 1. Pengertian Cyber-Warfare

2. Sejarah dan Perkembangan Munculnya Cyber-Warfare

3. Karakteristik Cyber-Warfare

4. Perkembangan Pengaturan Cyber-Warfare

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini membahas Metode Penelitian yang digunakan dalam menyusun penulisan hukum ini. Bab ini terdiri dari sub bab sebagai berikut:

A. Metode Pendekatan Masalah B. Spesifikasi Penelitian

C. Metode Pengumpulan Data D. Metode Analisa Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(23)

A. Cyber-Warfare sebagai Konflik Bersenjata Internasional 1. Cyber/Cyberspace sebagai Domain Perang Masa Depan 2. Aktor Cyber-Warfare

3. Ancaman dan Dampak Cyber-Warfare terhadap Keamanan dan Perdamaian Dunia

B. Relevansi Hukum Humaniter Internasional Terhadap Cyber-Warfare

4. Pengaruh Kemajuan Teknologi dalam Bidang Persenjataan dalam Hubungannya dengan Hukum Humaniter

5. Aplikasi Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap

Cyber-Warfare

6. Urgensi Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap

Cyber-Warfare

BAB V PENUTUP

Bab ini terdiri dari sub bab sebagai berikut:

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Hukum Humaniter Internasional

Presiden Palang Merah Internasional (International Committee of Red Cross/ICRC) yang bernama Dr. Jakob Kellenberger menyatakan bahwa:5

The laws of war were born of confrontation between armed forces on the battle-field. Until the mid-nineteenth century, these rules remained customary in nature, recognised because existed since time immemorial and because they corresponded to the demands of civilisation. All civilisations have developed rules aimed at minimising violence – even this institutionalised form of violence that we call war – since limiting violence is the very essence of civilisation

Kutipan pernyataan kata pengantar yang disampaikan Dr. Jakob Kellenberger itu mewakili sekian banyak cerita lahirnya hukum humaniter internasional. Peradaban (civilisation) manusia yang tak pernah lepas dari perang yang membuat manusia selalu berpikir bagaimana cara meminimalisasi kekerasan yang terjadi dalam perang dengan dasar manusia yang beradab. Paling tidak perang dilakukan secara fair atau ada semacam ‘aturan main’ untuk para pihak yang berperang, untuk menjaga konflik yang ada tidak sampai melebar dan berdampak ke pihak lainnya yang tidak ikut berperang.

5

(25)

Pemikiran-pemikiran seperti itu mengilhami lahirnya hukum perang (the law of war) sampai dengan perkembangannya hingga periode modern saat ini. Perlu pula ditegaskan dalam studi ini, bahwa akhir-akhir ini timbul istilah baru dalam khasanah hukum internasional yaitu

international humanitarian law yang diterjemahkan menjadi hukum humaniter internasional, atau hukum internasional humaniter.6 Istilah ini merupakan suatu istilah yang masih relatif baru di Indonesia, sebab selama ini orang hanya mengenal dengan sebutan hukum perang (the law of war), dan oleh karena itu tidak mengherankan apabila khalayak ramai belum mengenalnya.7

Dalam sub bab ini penulis memaparkan tinjauan umum mengenai hukum humaniter internasional dengan melihat pada aspek pengertian, perkembangan, sumber hukum, asas hukum, prinsip hukum, dan ruang lingkupnya. Selain itu dikerucutkan lagi ke dalam pembahasan mengenai konflik bersenjata dengan melihat pada pengertian dan jenis konflik bersenjata.

1. Pengertian Hukum Humaniter Internasional

Istilah hukum humaniter internasional atau lengkapnya disebut dengan International Humanitarian Law Applicable in

6

Syahmin AK, Hukum Internasional Humaniter Bagian Umum, (Bandung: Amrico, 1985), halam an 6.

7

(26)

Armed Conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini lazim dikenal dengan hukum humaniter internasional (international humanitarian law). Selain istilah hukum humaniter internasional beberapa ahli menggunakan istilah lainnya seperti hukum sengketa bersenjata internasional, atau hukum kemanusiaan internasional. Istilah yang berbeda-beda tersebut bermacam-macam karena istilah tersebut berubah-ubah seiring dengan perkembangan hukum humaniter internasional melalui upaya-upaya internasional yang akan dibahas secara lebih rinci pada pembahasan perkembangan hukum humaniter internasional. Namun terlepas dari perbedaan penggunaan istilah-istilah tersebut, pengertiannya memiliki makna yang sama.

Berikut ini beberapa sarjana atau ahli mencoba memberikan definisi atau pengertian mengenai hukum humaniter internasional atau hukum perang atau hukum sengketa bersenjata:

a. Oppenheim-Lauterpacht mendefinisikan law of war are the rules of law of nations respecting warfare.8 Pendapat beliau hanya terbatas pada hukum yang harus ditaati bangsa-bangsa yang berperang.

8

(27)

b. Sedangkan JG Starke memberikan batasan yang lebih luas daripada pendapat Oppenheim-Lauterpacht. JG Starke

mengatakan bahwa, “Hukum Perang terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional dalam mana kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan dan prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya perang dan konflik-konflik bersenjata.”9

c. Jean Pictet mendefinisikan “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, whether

written and customary, ensuring respect for individual and his

well being”.10 Pendapatnya sama sekali tidak menyebutkan perang, pendapat beliau hanya mendefinisikan situasi formal bagaimana hukum itu ada serta menitik beratkan pada penghargaan Hak Asasi Manusia setiap individu manusia. Terlihat jelas bahwa Jean Pictet adalah seorang yang menganut paradigma hukum positivisme.

d. Geza Herzeg berpendapat, “International humanitarian law is part of the rule of public international law which serve as the

protection of individuals in time of armed conflict. Its place is

beside the norm of warfare it is closely related to them but

must be clearly distinguish from these its purpose and spirit

9

JG St arke, Pengantar Hukum Int ernasional 2 Edisi Kesepuluh, (Jakart a: Sinar Grafika, 2007), halam an 727.

10

(28)

being different.”11 Pendapat Geza Herzeg agak mirip dengan pendapat Jean Pictet, perbedaannya adalah pendapat Geza Herzeg ini sudah membahas tentang korelasi hukum humaniter internasional dengan konflik bersenjata internasional.

e. Knut Dormann berpendapat “International Humanitarian Law is applicable only in times of armed conflict and composed of

the two following types of rules; first is rules which limit the

right of the parties to use means and methods of war; and

second is rules which protect the persons and property in times

of armed conflict.” 12 Pendapat Knut Dormann tidak memberikan definisi hukum humaniter internasional, tetapi pendapatnya menjelaskan mengenai kapan hukum humaniter internasional tersebut diaplikasikan dan mengenai sifat dari hukum humaniter internasional itu sendiri.

f. Prof. Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa “Hukum Humaniter Internasional adalah sebagian dari hukum perang yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur peperangan itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut

11

Ibid.

12

Knut Dorm ann, Comput er Netw ork Attack and International Humanitarian Law, (Art ikel

Ilmiah, International Commit t ee of Red Cross, diakses dari

(29)

cara-cara melakukan perang itu sendiri.”13 Selanjutnya beliau memberikan terminologi dalam hukum perang, yaitu:

1) Hukum tentang perang (jus ad bellum), yang mengatur dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata.

2) Hukum yang berlaku dalam perang (jus in bello), yang kemudian terbagi dua lagi menjadi:

a) Yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war) yang kemudian disebut hague laws.

b) Yang mengatur perlindungan bagi orang-orang yang menjadi korban perang, yang kemudian disebut

geneva laws. 14

Agaknya beberapa pendapat ahli/sarjana diatas, JG. Starke

dan Prof. Mochtar Kusumaatmadja lebih memberikan pengertian yang lebih spesifik dan mendalam mengenai hukum humaniter internasional, karena kedua ahli ini menurut penulis sudah menyinggung mengenai sumber dan prinsip dalam hukum humaniter internasional yang mana fundamental dalam kajian hukum humaniter internasional. Selain itu, di Indonesia pembahasan dalam lingkup hukum internasional khususnya hukum humaniter internasional lebih merujuk atau lebih dipengaruhi pada pendapat kedua ahli tersebut.

Dengan mencermati pengertian dan/atau definisi hukum humaniter internasional, maka ruang lingkup hukum humaniter

13

Ibid.

14

(30)

internasional dapat dikelompokan dalam tiga kelompok yaitu aliran luas, aliran tengah, dan aliran sempit.15 Jean Pictet misalnya menganut pengertian hukum humaniter dalam arti pengertian yang luas yaitu bahwa hukum humaniter mencakup baik hukum Jenewa, hukum Den Haag, dan hukum terhadap Hak Asasi Manusia.16 Sedangkan Geza Herzegh menganut aliran sempit, menurutnya hukum humaniter hanya menyangkut hukum Jenewa.17 Sedangkan

Starke menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa hukum humaniter terdiri atas hukum Jenewa dan hukum Den Haag.18

2. Perkembangan Hukum Humaniter Internasional

Hukum humaniter internasional seperti diketahui sebelumnya bahwa perkembangannya dimulai sejak selama peradaban manusia di bumi ada. Sebelum istilah hukum humaniter internasional muncul, hukum yang mengatur para pihak yang berperang lebih dikenal dengan hukum perang. Hukum perang yang dikenal sejak lama itu mengatur etika-etika dan kebiasaan yang diterima universal mengenai perang.

Sejak sebelum tahun masehi pada saat itu diketahui sejarah manusia sudah ada dan diketahui pula sejarah perang. Manusia

15

Haryomat aram , Hukum Humaniter, (Jakart a: CV Radjaw ali, 1994), halaman 15-25.

16

Ibid.

17

Ibid.

18

(31)

sudah berkelompok dalam satu bangsa dan saling menaklukan manusia di bangsa lainnya yang biasanya melalui cara-cara kekerasan seperti perang.

Sejak zaman kuno, kerajaan-kerajan yang terlibat perang mempunyai kebiasaan untuk melakukan pernyataan perang (declaration of war) sebelum dilakukan serangan terhadap musuh. Hal ini dilakukan agar musuh dapat mempersiapkan diri sebelum terjadi perang, yang mana persiapan itu seperti mengungsikan warga sipil khususnya wanita dan anak-anak ke tempat yang aman dari zona perang dan melakukan wajib militer (conscription) terhadap warga sipil pria jika dibutuhkan. Dalam bukunya

Development and Principles of International Humanitarian Law, Jean Pictet mengisahkan bahwa para panglima tentara Bangsa Mesir ketika pecah perang akan memerintahkan prajuritnya untuk menyediakan kebutuhan para musuh yang tertangkap, juga mengobati luka-luka mereka.19

Pada zaman pertengahan, agama dan kepercayaan sudah pesat berkembang dan diyakini oleh banyak masyarakat terutama di benua Eropa dan Asia. Maka dari itu, hukum yang ada dalam agama dan kepercayaan banyak mempengaruhi perkembangan

19

(32)

hukum perang pada saat itu melalui kitab suci atau pemuka agama.20

Dalam kitab Al-Qur’an yang diyakini oleh para pemeluk agama Islam dituliskan dalam: Al-Baqarah ayat 190 “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”21 Implementasi dari Al-Baqarah ayat 190 tersebut terkandung dalam prinsip hukum perang modern (hukum humaniter internasional) seperti dalam prinsip pembatasan (limitation principle), dan prinsip proporsionalitas (proportionally principle).

Adapula dalam Al-Qur’an diatur mengenai pengaturan tawanan perang yaitu pada Al-Taubah ayat 5 “Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik dimana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”22Implementasi Al-Taubah ayat 5 tersebut terkandung dalam asas hukum perang modern (hukum humaniter

20

Arlina Permanasari, Op.Cit., halaman 13.

21

Al-Qur’an, Al-Baqarah 190.

22

(33)

internasional) seperti asas kemanusiaan (humanity principle) dan asas kesatrian (chivalry principle).

Bagi warga Eropa khususnya Eropa barat yang mayoritas penduduknya beragama Kristiani, hukum perang tidak dikenal dalam kitab suci pengikut Kristiani. Akan tetapi institusi gereja (Katholik Roma saat itu sangat berpengaruh terhadap setiap pengambilan keputusan politik negara-negara di eropa khususnya eropa barat. Begitupula terhadap ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi prajurit ketika berperang. Meskipun demikian, belum ada kodifikasi peraturan hukum perang yang memadai dan berlaku universal, saat itu masih berlaku hukum kebiasaan dan berdasarkan doktrin militer dari masing-masing negara.

Setelah masa abad pertengahan dimana agama dan/atau kepercayaan sangat berpengaruh, muncul suatu peradaban baru yaitu era pencerahan dimana gaya pemikiran logis/masuk akal (rasional) sudah mulai berkembang dan meninggalkan pemikiran yang sifatnya keilahian. Di era inilah hukum perang mulai berlaku universal di dunia dan mulai dikodifikasikan dan bersifat mengikat negara-negara yang meratifikasinya (legaly binding).

(34)

oleh seseorang berkebangsaan Swiss yang bernama Henry Dunant. Pertempuran antara pasukan Perancis dan Austria di Solferino,Italia pada tahun 1859 mengilhami Henry Dunant

membentuk ICRC. Konsep awal fungsi organisasi ini adalah untuk menangani prajurit yang terluka dan sakit di medan perang (darat).

Pada tahun 1863, di Amerika Serikat muncul Instruction For The Government of Armies of The United States in The Field

atau yang lebih dikenal dengan Lieber Code yang memuat aturan-aturan perang bagi prajurit Amerika Serikat. Kodifikasi peraturan-aturan hukum perang yang memuat 157 article ini secara garis besar berisi ketentuan rinci pada keadaan perang di darat, tindakan-tindakan dalam perang yang dibenarkan serta perlakuan terhadap warga sipil.23 Meskipun peraturan ini diciptakan hanya untuk pasukan Amerika Serikat pada perang saudara di Amerika Serikat, kodifikasi ini merupakan salah satu terobosan hukum dan kebiasaan perang yang ada pada saat itu. Liber Code sangat mempengaruhi kodifikasi hukum perang di dunia dimana banyak diadopsi oleh negara-negara lain saat itu. The Lieber Code formed the origin of the project of an international convention on the laws

of war presented to the Brussels Conference in 1874 and

23

(35)

stimulated the adoption of the Hague Conventions on land warfare

of 1899 and 1907.24

Setelah sukses dari Konferensi Jenewa 1863, Dewan Federal Swiss, atas prakarsa Komite Jenewa pada tahun 1864, mengundang pemerintah semua negara Amerika Eropa dan beberapa negara untuk mengadakan konferensi diplomatik yang bertujuan mengadopsi sebuah konvensi untuk perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang terluka dan sakit di medan perang di darat. Kemudian dikodifikasikanlah Geneva Convention For The Amelioration of The Condition of The Wounded and Sick

In Armed Forces in The Field yang dikenal dengan Konvensi Jenewa I. Konvensi ini secara garis besar memiliki substansi hukum perang sebagai berikut:

1) Perlindungan dan perawatan terhadap prajurit yang terluka dan sakit tanpa membedakan pihak-pihak yang berperang;

2) Perlindungan terhadap sarana dan unit medis;

3) Emblem, lambang, dan tanda identifikasi khusus untuk sarana dan unit medis

Pada tahun 1899 diadakan The Hague Convention II: Laws and Customs War on Land yang lalu dikenal dengan Konvensi Den Haag 1899. Tujuan diadakannya konvensi ini adalah untuk

24

(36)

merevisi deklarasi mengenai hukum dan kebiasaan perang yang diuraikan pada Konferensi Brussels 1874. Secara garis besar, substansi yang diatur terdiri atas 4 bagian utama dan 3 deklarasi tambahan sebagai berikut:

1) Penyelesaian damai atas sengketa internasional (pacific settlement of international disputes);

2) Hukum dan kebiasaan perang di darat (law and customs of war on land);

3) Penyesuaian prinsip-prinsip Konvensi Jenewa I mengenai perang di laut (adoption to maritime warfare of principles of Geneva Convention of 1864);

4) Deklarasi tambahan mengenai larangan peluncuran proyektil dan bahan peledak dari balon udara (on the launching of projectiles and explosives from ballons);

5) Deklarasi tambahan mengenai larangan penggunaan proyektil yang tujuannya menyebarkan gas pencekik atas gas perusak (on the use of projectiles the object of which is the diffusion of asphyxiating or deleterious gases);

(37)

Pada tahun 1906 diadakan Konvensi Jenewa II untuk merevisi/mengamandemen dan pengembangan Konvensi Jenewa I dengan nama Geneva Convention For The Amelioration of The Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed

Forces at Sea. Dengan 33 Article dibagi menjadi delapan bab, Konvensi Jenewa II 1906 lebih rinci dan lebih tepat dalam terminologi dibanding Konvensi Jenewa I 1864. Ketentuan baru yang dimasukkan antara lain:25

1) Mengenai penguburan orang mati dan transmisi informasi; 2) Bantuan sukarela warga sipil terhadap korban perang yang

untuk pertama kalinya diakui secara tegas;

3) Hak istimewa penduduk membawa bantuan untuk korban luka dikurangi menjadi proporsi yang lebih masuk akal;

4) Kewajiban untuk memulangkan prajurit yang terluka yang tidak bisa melanjutkan tugas.

Pada tahun 1907 diadakan The Hague Conventions IV: Law and Customs of War on Land yang lalu dikenal sebagai Konvensi Den Haag 1907. Konvensi Den Haag 1907 merupakan konvensi keempat yang diadakan untuk merevisi substansi pada konvensi Den Haag sebelumnya. Hanya terdapat perbedaan tipis dari konvensi Den Haag 1899, karena konvensi Den Haag 1907 ini

25

(38)

hanya melengkapi ketentuan yang sudah ada sebelumnya seperti membahas hukum dan kebiasaan perang di laut.

Pada tahun 1919 Presiden Komite Palang Merah Amerika Serikat (American Red Cross Committee) Henry Davison

menggagas sebuah organisasi yang mirip dengan ICRC yaitu Liga Masyarakat Palang Merah atau League of Red Cross Societes. Organisasi ini kemudian pada tahun 1983 berganti nama menjadi Liga Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (League of Red Cross and Red Crescent Societes), dan kemudian pada November 1991 berganti nama lagi menjadi Federasi Internasional Palang Merah dan Masyarakat Bulan Sabit Merah (International Federation of Red Cross and Red Crescent Societes/IFRC). Tujuan utama organisasi ini adalah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat di negara-negara yang telah mengalami perang dengan bersatu dan memperkuat kerjasama antar negara dalam bidang kesehatan seusai perang untuk membangun lagi tatanan kehidupan yang baru pasca kehancuran akibat perang.26

Pada tahun 1928 terbentuk Statues of International Red Cross. Ini merupakan sebuah konstitusi dari pendirian organisasi palang merah dunia yaitu Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Diadopsi dari Konferensi Internasional ke-25 Palang Merah di

26

(39)

Jenewa pada bulan Oktober 1986 dan telah diubah dengan Konferensi Internasional ke-26 Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di Jenewa pada bulan Desember 1995 dan oleh Konferensi Internasional ke-29 Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di Jenewa pada Juni 2006.27

Pada tahun 1929 diadakan Geneva Convention Relative to The Treatment of Prisoners of War yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa III. Adanya kekurangan ketentuan mengenai perlakuan tawanan perang sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Den Haag 1899 dan Konvensi Den Haag 1907 yang dirasakan selama perang dunia I, mengilhami dibentuknya suatu konvensi khusus mengenai perlakuan tawanan perang. Berdasarkan pemikiran tersebut disidangkanlah suatu konferensi diplomatik di Jenewa pada tahun 1929. Hasil dari konferensi diplomatik ini adalah suatu ketentuan yang melengkapi ketentuan dalam Konvensi Den Haag 1899 dan Konvensi Den Haag 1907 yang bernama Geneva Convention Relative to The Protection of Civilian Persons in Time of War. Menurut D.Schindler and J.Toman dalam bukunya The Laws of Armed Conflict inovasi yang dihasilkan adalah “consisted in the prohibition of reprisals and collective penalties, the organization of prisoners work, the designation, by

27

Statutes of the International Red Cross and Red Crescent M ovement, diakses dari

(40)

the prisoners, of representatives and the control exercised by

protecting Powers.”28

Pada tahun 1965 di Wina,Austria diadakan Proclamation of The Fundamental Principles of The Red Cross: Humanity,

Impartiality, Neutrality, Independence, Voluntary Service, Unity,

Universality. Proklamasi ini merupakan proklamasi bersama antara ICRC dan IFRC yang mana memiliki pokok untuk menjamin keberlangsungan gerakan dan misi kemanusiaan internasional. Hal ini tercermin dalam tujuh prinsip dasar yaitu: kemanusiaan (humanity), tidak memihak (impartiality), kenetralan (neutrality), kebebasan/kemerdekaan (independence), pelayanan sukarela (voluntary service), kesatuan (unity), keuniversalan (universality). Proklamasi ini menjadi dasar gerakan kemanusiaan yang dilakukan oleh ICRC dan IFRC.

Pada tahun 1977 diadakan Protocol Additional to The 1949 Geneva Conventions yang pada pembahasannya berintikan ketentuan perlindungan terhadap korban konflik bersenjata. Protokol ini mengakomodasi dua situasi yaitu pada situasi konflik bersenjata internasional (international armed conflict) dan konflik bersenjata non-internasional (non-international armed conflict) yaitu sebagai berikut:

28

(41)

1) Protocol Additional To The Geneva Conventions of 12 August 1949 and Relating to The Protection of Victims of

International Armed Conflicts atau yang dikenal dengan Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949.

2) Protocol Additional to The Geneva Conventions of 12 August 1949 and Relating to The Protection of Non-International Armed Conflicts atau yang dikenal dengan Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1949.

Pada tahun 1980 diadakan Convention on Prohibitions or Restrictions on The Use of Certain Conventional Weapons Which

May be Deemed to be Excessively Injurious or to Have

Indiscriminate Effects. Tujuan dari Konvensi ini adalah untuk untuk melindungi warga sipil dari cedera dari senjata yang digunakan dalam konflik bersenjata dan juga untuk melindungi kombatan dari penderitaan yang tidak perlu. Senjata-senjata yang dilarang diantaranya adalah seperti ranjau darat (land mine), jebakan (booby traps), senjata pembakar, senjata yang mengeluarkan sinar yang membutakan mata, selain itu juga diatur mengenai pembersihan material bom atau proyektil seusai perang.

(42)

Court) pada 17 Juli 1998 dimana negara-negara yang berpartisipasi dalam United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on The Establishment of an International

Criminal Court membentuk sebuah peradilan yang mengadili kejahatan serius seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.29

Pada tahun 2005 dikodifikasikan Protocol Additional to The Geneva Conventions Relation to The Adoption of An

Additional Distinctive Emblem. Protokol ini mengatur mengenai tanda/lambang/simbol pembeda dari unit palang merah.

Perkembangan hukum perang yang sekarang dikenal dengan hukum humaniter internasional dalam kajian hukum internasional, mengalami kemajuan pesat sejak tahun 1863. Sejak saat itu, organisasi internasional dan kodifikasi peraturan mengenai hukum humaniter internasional mulai efektif berlaku dan mengikat negara-negara. Setidak-tidaknya perkembangan ini memberikan batasan-batasan tertentu untuk setiap tindakan dalam perang demi penghormatan hak asasi manusia dan simbol manusia yang beradab.

29

(43)

3. Sumber, Asas, dan Prinsip dalam Hukum Humaniter Internasional

Sumber Hukum Humaniter Internasional

Hukum humaniter internasional tidak dapat dilepaskan dari studi hukum internasional. Begitupun sumber hukum yang digunakan hukum humaniter internasional sama dengan sumber hukum yang ada pada hukum internasional. Berikut ini beberapa sumber hukum internasional:

a. Perjanjian internasional;

Perjanjian internasional merupakan sumber hukum berdasarkan sudut pandang kepositifannya. Perjanjian internasional adalah persetujuan internasional yang ditandatangani antara negara-negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dibuat dalam satu instrumen atau dua atau lebih instrumen yang saling berhubungan dan apapun namanya.30

b. Hukum kebiasaan internasional;

Tidak mudah menemukan atau menilai bahwa suatu norma hukum humaniter internasional telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Statuta Mahkamah Internasional, suatu aturan hanya dapat

30

(44)

dikategorikan hukum kebiasaan internasional apabila telah memenuhi beberapa syarat tertentu, yaitu telah dipraktikan secara umum oleh negara-negara dan telah memperoleh pendapat hukum yang mengakui ketentuan tersebut sebagai suatu keharusan. 31 Hukum kebiasaan internasional dapat membantu apabila suatu aturan dalam perjanjian internasional masih belum memperoleh pengesahan dari negara-negara.32 c. Prinsip-prinsip hukum umum;

Prinsip hukum umum merupakan sumber hukum berdasarkan sudut pandang fungsinya. Prinsip-prinsip hukum ini berguna untuk menemukan hukum bagi Hakim dalam hal belum adanya atau kurangnya kejelasan suatu peraturan mengenai suatu kasus. Prinsip hukum umum yang diterima oleh bangsa-bangsa yang beradab ini bersumber pada hukum Romawi yang melandasi sistem hukum modern yang dikembangkan dari Eropa Barat pada abad ke-19. Pada kenyataannya hanya sedikit prinsip-prinsip hukum umum yang dapat dijadikan sumber hukum humaniter internasional. Sebagai contoh prinsip itikad baik dan prinsip proporsional yang telah menjadi hukum kebiasaan internasional dan telah dikodifikasikan dalam perjanjian internasional.

d. Yurisprudensi atau keputusan pengadilan;

31

Ambarw ati, dkk, Hukum Humaniter Int ernasional: Dalam Studi Hubungan Int ernasional, (Jakart a: PT Raja Grafindo, 2012), halaman 38.

32

(45)

Keputusan pengadilan dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atas sumber primer yaitu Perjanjian Internasional, Kebiasaan Internasional, dan prinsip hukum umum. Tidak mengikat artinya tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum, misalnya dalam sistem peradilan menurut statuta ICJ tidak dikenal adanya asas keputusan pengadilan yang mengikat (keputusan mengikat hanya untukpihak yang bertikai).

e. Pendapat atau doktrin para ahli/sarjana di bidang hukum internasional;

Pendapat/doktrin para ahli/sarjana di bidang hukum internasional merupakan penelitian dan tulisan yang dilakukan oleh para sarjana hukum terkemuka sering dapat dipakai sebagai pedoman untuk menemukan hukum internasional, walaupun ajaran para sarjana ini tidak menimbulkan hukum. f. Keputusan organisasi internasional

(46)

Dari sumber hukum internasional diatas, dalam faktanya tidak ada ketentuan yang mengatur hierarki sumber hukum mana yang lebih penting atau didahulukan (lex superiori derogat lex generali). 33 Oleh karena itu dalam suatu kajian hukum internasional bergantung berdasarkan dari sudut pandang atau pangkal tolak sebuah konsep pemikiran.

Mengenai sumber hukum humaniter internasional terdapat dua sumber pokok yaitu hukum Den Haag dan hukum Jenewa. Tetapi juga tidak melupakan sumber-sumber hukum lainnya sebagai pelengkap. Berikut ini beberapa sumber hukum humaniter internasional yang dikelompokan berdasarkan sumber hukum internasional:

a. Perjanjian Internasional 1) Hukum Den Haag

a) Konvensi Den Haag 1899

Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dilahirkan dari hasil Konferensi Perdamaian I yang dilaksanakan pada 18 Mei – 29 Juli 189934. Dalam konferensi ini terdapat tiga konvensi dan tiga deklarasi yang dihasilkan yaitu:

33

Ibid.

34

(47)

i. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Atas Sengketa Internasional (The Pacific Settlement of International Disputes);

ii. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat (Laws and Customs of War on Land);

iii. Konvensi III tentang Penyesuaian Asas-Asas Konvensi Jenewa 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut (Adoption To Maritime Warfare of Principles of Geneva Convention of 22 August 1864);

iv. Deklarasi Tambahan I tentang Larangan Peluncuran Proyektil dan Bahan Peledak dari Balon (Prohibition on The Launching of Projectiles and Explosives From

Ballons).

v. Deklarasi Tambahan II tentang Larangan Penggunaan Proyektil yang Tujuannya Menyebarkan Gas Pencekik atau Gas Perusak (Prohibition on The Use of Projectiles The Object of Which Is The Diffusion of

Asphyxiating of Deleterious Gases).

vi. Deklarasi Tambahan III tentang Larangan Penggunaan Peluru yang Mengembang atau Merata dengan Mudah Dalam Tubuh Manusia (Prohibition on The Use of Bullets Which Expand or Flatten Easily In The Human

(48)

b) Konvensi Den Haag 1907

Konvensi ini merupakan hasil dari Konferensi Perdamaian II menyusul suksesnya Konferensi Perdamaian I pada tahun 1899 di Den Haag. Konvensi-konvensi tersebut adalah:

i. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;

ii. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata;

iii. Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan;

iv. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi dengan peraturan Den Haag;

v. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di Darat;

vi. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Perang;

vii. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang;

viii. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut;

(49)

x. Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut;

xi. Konvensi XI tentang Pembatasan tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut;

xii. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan; xiii. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral

dalam suatu Peperangan di Laut. 2) Hukum Jenewa

a) Konvensi Jenewa I 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat (Geneva Convention For The Amelioration of The Condition of The Wounded

and Sick in Armed Forces in The Field of 12 August

1949).

b) Konvensi Jenewa II 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Medan Pertempuran Laut (Geneva Convention For The Amelioration of The Condition of

Wounded, Sick, and Shipwrecked Members of Armed

(50)

c) Konvensi Jenewa III 1949 tentang Perlakuan Terhadap Tawanan Perang (Geneva Convention Relative To The Treatment of Prisoners of War of 12 August 1949). d) Konvensi Jenewa IV 1949 tentang Perlindungan

Orang-Orang Sipil di Waktu Perang (Geneva Convention Relative To The Protection of Civilian

Persons In Time of War of 12 August 1949).

e) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang Pada Konflik Bersenjata Internasional (Protocol Additional To The Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating To The

Protection of Victims of International Armed Conflicts

(Protocol I), of 8 June 1977).

f) Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang Pada Konflik Bersenjata Non-Internasional (Protocol Additional To The Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating To The

Protection Victims of Non-International Armed

Conflicts (Protocol II), of 8 June 1977).

g) Protokol Tambahan III Konvensi Jenewa 1949 tentang Pengadopsian Lambang Pembeda Tambahan (Protocol Additional To The Geneva Conventions of 12 August

(51)

Distinctive Emblem (Protocol III), of 8 December

2005)

3) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Charter)

4) Statuta Roma 1998 (Statute of The International Court of Justice)

b. Hukum Kebiasaan Internasional

Setelah Konvensi Jenewa 1864 dilahirkan, terdapat kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh para anggota peserta agung seperti menandai rumah sakit ataupun fasilitas medis lainnya dengan bendera khusus yang melambangkan bendera para pihak dalam sengketa. Kebiasaan ini akhirnya didaptasi sebagai lahirnya lambang Palang Merah untuk menandai fasilitas-fasilitas medis di kemudian hari. Kebiasaan internasional ini dibuat untuk melindungi para pihak ataupun korban dalam sengketa bersenjata dari hal-hal yang tidak diatur dalam perjanjian-perjanjian internasional dan dari para pihak dalam sengketa bersenjata yang tidak ikut menandatangani atau membuat reservasi dalam perjanjian internasional. Bahkan dalam beberapa system hukum, aturan kebiasaan internasional dapat diterapkan secara langsung dalam hukum domestik35.

Adapula beberapa hukum kebiasaan lainnya yaitu:

35

(52)

1) Customary International Humanitarian Law

2) Tallinn Manual on The International Law Applicable to Cyber Warfare.

Asas dan Prinsip dalam Hukum Humaniter Internasional

Tak berbeda dengan hukum lainnya, hukum humaniter berpegang teguh pada beberapa prinsip. Prinsip tersebut terbagi menjadi beberapa asas, yaitu 36:

a. Asas Kepentingan Militer (Military Necessity)

Asas ini membenarkan para pihak yang terlibat sengketa untuk menggunakan cara-cara kekerasan dalam usahanya untuk menundukan lawan agar dapat mencapai suatu kemenangan. Singkatnya, dalam suatu perang semua daya upaya dan alat dapat digunakan, selama alat tersebut tidak dilarang oleh hukum perang.

b. Asas Perikemanusiaan (Humanity)

Walaupun hukum humaniter menerapkan asas kepentingan militer, para pihak yang bersengketa harus menunjukkan rasa perikemanusiaan dan dilarang untuk menggunakan kekerasan yang akan menimbulkan luka berlebih dan penderitaan yang

36

(53)

tidak perlu. Salah satu contoh asas perikemanusiaan adalah kewajiban untuk memperlakukan para korban perang (baik anggota militer atau bukan) dengan berperikemanusiaan dan mereka berhak untuk mendapatkan perawatan medis37.

c. Asas Kesatriaan (Chivalry)

Selain harus menjunjung tinggi rasa kemanusiaan, para pihak bersengketa diwajibkan untuk mempunyai sifat kesatria. Sifat tersebut diharapkan dapat mencegah para pihak sengketa untuk melakukan cara tidak terhormat untuk memenangkan perang seperti menggunakan senjata terlarang dan melakukan pengkhianatan.

Selain asas-asas diatas, terdapat pula prinsip yang diakui dalam hukum humaniter yaitu38:

a. Prinsip proporsionalitas (Proportionality Principle)

Prinsip yang diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer dengan mensyaratkan akibat dari sarana dan metoda berperang yang digunakan tidak boleh tidak proposional dengan keuntungan militer yang diharapkan. b. Prinsip Pembatasan (Limitation Principle)

37

Geneva Convention 1949, Art icle 12

38

(54)

Prinsip ini membatasi penggunaan alat-alat dan cara-cara berperang yang dapat menimbulkan akibat yang luar biasa terhadap pihak musuh.

c. Prinsip Pembedaan (Distinction Principle)

Prinsip ini membagi penduduk dalam dua golongan yaitu penduduk atau warga dari Negara yang sedang berperang dan yang sedang terlibat dalam pertikaian senjata dalam perang tersebut. Singkatnya prinsip ini membagi penduduk yaitu golongan penduduk sipil dan kombatan39

d. Prinsip tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya (Prohibition of Causing Unnecessary Suffering Principle)

Prinsip ini merupakan aturan dasar yang berkaitan dengan metode dan alat perang. 40 Prinsip ini berkaitan dengan ketentuan yang menetapkan bahwa metode perang yang benar adalah metode yang dilaksanakan hanya untuk melemahkan kekuatan militer lawan.41

4. Ruang Lingkup Hukum Humaniter Internasional

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, hukum humaniter internasional dapat dibahas dalam beberapa prespektif dari para

39

Haryomat aram , KGPH. Pengantar Hukum Humanit er. Rajawali Press, Jakart a 2005. hal. 63

40

Ambarw ati, Op.Cit., halam an 46.

41

(55)

ahli/sarjana di bidang hukum internasional. Dari berbagai macam definisi tersebut, maka berdasarkan pendapat para ahli ruang lingkup hukum humaniter dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:42

a. Ruang lingkup aliran luas b. Ruang lingkup aliran sempit

c. Ruang lingkup aliran tengah (moderat)

Mereka yang menganut aliran atau ruang lingkup yang luas, pada umumnya mengatakan bahwa hukum humaniter tidak saja terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, melainkan juga mencakup Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, sebagaimana dikemukakan Jean Pictet. Walaupun demikian tidak semua ahli yang menganut aliran atau ruang lingkup luas berpendapat seperti itu. Ada juga yang memasukan ketentuan-ketentuan mengenai keabsahan suatu sengketa bersenjata atau lebih dikenal dengan konsep “jus ad bellum” sebagai hal yang dipelajari dalam kajian hukum humaniter internasional. Intinya, menurut golongan ini, ruang lingkup yang dicakup hukum humaniter internasional tidak selalu terpatok pada hukum Jenewa dan hukum Den Haag saja. Sedangkan mereka yang menganut ruang lingkup aliran sempit tentu saja berpendapat bahwa hukum humaniter internasional

42

(56)

hanya terbatas pada dua sumber ini saja, sedangkan golongan menengah berpendapat bahwa kedua sumber hukum yang ada (Konvensi Den Haag dan Konvensi Jenewa) merupakan sumber utama dari hukum humaniter namun bukanlah satu-satunya, terdapat sumber-sumber hukum lain yang dapat dijadikan dasar dan pegangan meskipun golongan ini sepakat bahwa rujukan utama tetaplah mengacu pada kedua konvensi diatas.43

Keberadaan ruang lingkup ini hanyalah untuk keperluan akademis saja, setidak-tidaknya dapat membantu memahami pemikiran-pemikiran yang lebih mendalam mengapa banyak perbedaan pendapat dari para ahli/sarjana. Menurut penulis, urgensi yang diperlukan adalah bagaimana aplikasi atau implementasi hukum humaniter internasional itu sendiri.

5. Pengertian dan Jenis Konflik Bersenjata

Konsep konflik bersenjata tidak didefinisikan di dalam konvensi-konvensi Jenewa atau protokol-protokol, meskipun sudah disebutkan bahwa “segala perbedaan yang timbul diantara negara-negara dan menimbulkan intervensi dari anggota angkatan bersenjata adalah konflik bersenjata” dan “konflik bersenjata terjadi setiap kali ada penggunaan angkatan bersenjata di antara

43

(57)

negara-negara atau kekerasan bersenjata yang berlarut-larut di antara otoritas pemerintah dan kelompok-kelompok bersenjata terorganisasi di dalam satu negara.44 Dapatlah dikatakan ketika angkatan bersenjata atau militer di suatu negara terlibat dalam suatu sengketa dapat dikatakan sebagai konflik bersenjata.

Mengenai konflik bersenjata diatur dalam Protokol Tambahan I dan II Konvensi Jenewa 1949. Protokol Tambahan I membahas perlindungan korban perang pada situasi konflik bersenjata internasional dan Protokol Tambahan II membahas perlindungan korban perang pada situasi konflik bersenjata non-internasional. Kedua protokol tersebut sama-sama membahas perlindungan korban pada konflik bersenjata, tapi perbedaannya adalah jenis konfliknya, jika Protokol Tambahan I diaplikasikan untuk konflik bersenjata internasional sedangkan Protokol Tambahan II diaplikasikan untuk konflik bersenjata non-internasional. Maka dari itu dapatlah diketahui bahwa terdapat dua jenis konflik bersenjata yaitu konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional.

Perbedaan itu didasarkan pada perbedaan diantara hubungan antar negara, yang menjadi fokus bagi hukum internasional, dan urusan intra negara yang secara tradisional termasuk yurisdiksi negara-negara sehingga secara teori tidak

44

(58)

terpengaruh hukum internasional.45 Namun pada praktiknya di lapangan pembedaan antara konflik bersenjata internasional dan non-internasional tersebut mulai memudar. Hal ini karena konflik bersenjata yang terjadi di dunia saat ini menjadi semakin sulit dikategorikan apakah itu termasuk konflik bersenjata internasional atau konflik bersenjata non-internasional.

Kasus yang pernah terjadi di Libya pada sekitar tahun 2012 sekiranya menggambarkan sulitnya membedakan konflik bersenjata internasional atau non-internasional yang terjadi di sana. Konflik bersenjata awalnya terjadi antara pasukan loyalis Presiden

Muammar Khadafi dan pasukan revolusi Libya, namun ditengah konflik itu NATO (North Atlantic Treaty Organization) yang notabene adalah organisasi pertahanan negara-negara Atlantik Utara turut campur tangan di Afrika yang bukan kewenangannya. Selain NATO adapula PBB yang juga memberlakukan larangan terbang di seluruh wilayah Libya serta memerintahkan melalui resolusi Dewan Keamanan agar jet-jet tempur negara NATO melakukan serangan udara (air raid) terhadap pasukan loyalis. Terlihat bahwa konflik bersenjata di Libya tersebut memiliki aspek internasional dan non-internasional karena sudah ada rezim hukum internasional yang masuk.

45

(59)

Perkembangan ini muncul sebagian dikarenakan tingginya frekuensi konflik internal (konflik bersenjata non-internasional) dan sebagian dikarenakan tingginya kebrutalan dalam pelaksanaannya.46 Semakin berkembangnya saling ketergantungan di antara negara-negara di dunia modern menjadikan semakin lama semakin sulit bagi negara pihak ketiga dan organisasi internasional untuk mengabaikan konflik sipil (konflik bersenjata non-internasional), terutama melihat lingkup dari desakan dari adanya komunikasi modern, sementara itu perkembangan hukum hak-hak asasi manusia internasional juga turut andil dalam menyudahi kepercayaan bahwa apapun yang terjadi di negara lain bukanlah urusan negara lain atau orang lain. 47 Maka kini masyarakat internasional semakin siap sedia menuntut penerapan hukum humaniter internasional untuk konflik internal (konflik bersenjata non-internasional).48

B. Tinjauan Umum Perang Sibernetika

Within a quarter hour, 157 major metropolitan areas have been

thrown into knots by a nationwide power blackout hitting during rush

hour. Poison gas clouds are wafting toward Wilmington and Houston.

Refineries are burning up oil supplies in several cities. Subways have

crushed, freight trains have derailed, and aircraft are literally falling out

46

Ibid

47

Ibid.

48

(60)

of the sky as a result of middair collisions across the country.... The

financial system has also frozen solid.... Several thousand Americans have

already died.” –Richard Clarke, Mantan Ketua Pengurus Perlindungan Infrastruktur Vital Gedung Putih Amerika Serikat (Former Chairman of The US White House Critical Infrastructure Protection Board).49

Kutipan itu adalah gambar kekacauan yang terjadi ketika sebuah sistem yang sudah terintegrasi, terkomputerisasi, dan saling terhubung diserang atau dirusak. Seluruh infrastruktur yang bergantung pada sistem tersebut akan terkena dampak sehingga menimbulkan efek kartu domino yaitu kekacauan masal.

Perkembangan teknologi yang begitu pesatnya memunculkan suatu istilah yang dikenal dengan sibernetika atau dalam Bahasa Inggris yaitu

cyber. Dengan domain operasional dunia maya (cyber-space), memungkinkan segala infrastruktur yang ada di dunia ini saling terintegrasi, terkomputerisasi, dan saling terhubung satu sama lain lintas daerah, lintas negara, lintas benua dengan kecepatan penyebaran informasi dan komunikasi instan.

Fungsi yang ada pada teknologi ini kemudian dapat dijadikan target oleh pihak-pihak musuh dalam kaitan konflik bersenjata. Konflik bersenjata yang mana memanfaatkan teknologi sibernetika/cyber sebagai sarana tempur atau domain tempur atau metode berperang dipahami sebagai perang sibernetika (cyber-warfare).

49

Gambar

Tabel 1. Negara Dengan Organisasi M iliter Cyber-Warfare
Gambar 1. Grafik Perbandingan Biaya dan Dampak Serangan98

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan pupuk hijau 30 ton/ha yang dengan peningkatan penggunaan PGPR 30 ml/tanaman menghasilkan pertumbuhan lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya

Izin gangguan adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau badan di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian dan

Pertumbuhan penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan semakin tingginya jumlah penduduk akan menghambat pembangunan karena akan menurunkan

Siti Fattimah berserta jajaran keluarga yang terletak berada diluar daerah Cilacap yang menginginkan terbentuknya suatu lembaga keuangan yang mekanisme dan operasional

Refleksi bertujuan untuk melihat kelebihan dan kekurangan berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan. Analisis data dilakukan dengan melihat tes setiap siklus,

JDIH Kementerian PUPR dana yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan, yang Jumlah dana yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan, yang Jumlah dana yang

Peristiwa-peristiwa ini memungkinkan Belanda dapat menanamkan pengaruhnya di Sumatera Selatan dengan memberikan angin segar berupa janji-janji, Sumatera Selatan akan

“Penerapan Strategi PQ4R ( Preview Question Read Reflect Recite Review ) untuk Meningkatkan Keterampilan Membaca Pemahaman Siswa Kelas