• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

Metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja untuk memehami suatu objek atau objek penelitian sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan termasuk keabsahanya.29

Penelitian adalah sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten, karena melalui proses penelitian tersebut diadakan

28 Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah, Diktum kedua.

29 Rosady Ruslan, Metode Peneltian relation dan komunikasi, (Jakarta, rajawali pers, 2003) h.24

metode penelitian yang menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, yang mana dilakukan dengan usaha menggunakan metode ilmiah sebagai berikut :

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat deskriptifanalisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rincian sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan.30 Mengenai Akibat Hukum Suatu Peralihan Hak Atas Tanah Yang didasarkan Kuasa Mutlak.

Dalam penelitian ini menggunakan Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.31 2. Sumber Data

Pada penelitian hukum normatif ini, bahan pustaka merupakan dasar yang digolongkan sebagai data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

30 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung, Alumni, 1994), h.101.

31 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, h.13.

a. Bahan Hukum Primer

bahan hukum yang mengikat dimana dalam peneltian ini data dari bahan hukum primer akan diperoleh melalui pembahasan tentang peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, makalah, majalah dan lain sebagainya, serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan kuasa mutlak.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang berupa kamus baik itu kamus Bahasa Indonesia maupun Kamus Hukum.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan Studi Kepustakaan (Library Research). Studi Kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini.

4. Alat Pengumpulan Data

Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan, maka alat pengumpulan data dilakukan dengan Studi Dokumen, mempelajari dan menganalisis literatur/buku-buku, peraturan Perundang-undangan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan

penulisan tesis yang selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada peneltian lapangan.

5. Analisis Data

Setelah pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisa secara kualitatif yakni dengan mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Karena penelitian ini normatif, dilakukan interpretasi dan konstruksi hukum dengan menarik kesimpulan menggunakan cara deduktif menjawab dari permasalahan dan tujuan penelitian yang ditetapkan.32

32 Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h.10.

BAB II

KEDUDUKAN KUASA MUTLAK SEBAGAI DASAR PEMBUATAN AKTA JUAL BELI HAK ATAS TANAH BERSERTIFIKAT

A. Pemberian Kuasa

Penggunaan surat kuasa saat ini sudah umum dipergunakan ditengah masyarakat. Pemberian Kuasa adalah suatu perbuatan hukum yang bersumber pada perjanjian yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena bermacam-macam alasan, disamping kesibukan sehari-hari sebagai anggota masyarakat yang demikian kompleks.33 Dijaman sekarang ini yang penuh kesibukan, maka banyak orang yang tidak dapat menyelesaikan sendiri urusan-urusannya, karena itu mereka menyelesaikannya dengan melakukan pemberian kuasa. Pemberian kuasa adalah suatu perrjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan (wewenang) kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.34

Orang yang diberikan kuasa melakukan perbuatan hukum atas nama orang yang memberikan kuasa, artinya adalah bahwa apa yang dilakukan itu adalah “atas tanggungan ” sipemberi kuasa dan segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya itu menjadi hak dan kewajiban orang yang memberi kuasa.35 Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akte umum, dalam suatu tulisan dibawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan secara lisan. Menurut Pasal 1793 KUHPerdata, penerimaan suatu kuasa dapat juga terjadi secara diam - diam dan

33 Meliala Djaja s, Penuntun Praktis Perjanjian Pemberian Kuasa Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Bandung, Nuansa Aulia, 2008), h.1

34 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1792

35 R. Subekti , Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), h.141

disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa.36

Menurut Pasal 1792 KUHPerdata, pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Oleh karena pemberian kuasa adalah merupakan suatu perjanjian, maka pemberi kuasa dan penerima kuasa dapat membuat surat kuasa dengan kesepakatan selain yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Dari pengertian pemberian kuasa dalam Pasal 1892 KUHPerdata tersebut maka dapat diambil kesimpulan yaitu :

1. Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian 2. Untuk melakukan suatu perbuatan hukum

3. Adanya perwakilan, yaitu seseorang atas nama orang lain melakukan suatu urusan

Dengan demikian, maka suatu perjanjian pemberian kuasa haruslah memenuhi ketiga unsur pokok tersebut. Jika salah satu saja dari ketiga unsur pokok tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai perjanjian pemberian kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata.

1. Pemberian Kuasa adalah suatu perjanjian

Perjanjian pemberian kuasa yang diatur dalam Pasal 1792 sampai dengan pasal 1819 KUHPerdata terdapat dalam bab 16 buku ke III, sehingga merupakan bagian khusus. Hal ini berarti bahwa semua asas hukum perjanjian dari bagian umum yang terdapat dalam bab 1 sampai dengan bab 4 buku ke III KUHPerdata berlaku dan harus

36 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1793

diberlakukan pada perjanjian pemberian kuasa.37

Dalam perjanjian pemberian kuasa, pihak pemberi kuasa wajib memberikan wewenang dan kekuasaannya kepada pihak penerima kuasa agar untuk dan atas namanya, si penerima kuasa bertindak menyelenggarakan suatu urusan. Sedangkan penerima kuasa wajib melaksanakan urusan tersebut demi kepentingan pemberi kuasa.38

2. Pemberian Kuasa Untuk Melakukan Suatu Perbuatan Hukum

“Menyelenggarakan suatu urusan” sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1792 KUHPerdata adalah untuk melakukan suatu perbuatan hukum adapun perbuatan hukum yang dimaksudkan dalam Pasal ini adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh penerima kuasa, yaitu menyelenggarakan suatu urusan, yang diharapkan akan menghasilkan suatu akibat hukum demi kepentingan pemberi kuasa.39

Agar penerima kuasa dapat melakukan perbuatan hukum yang dimaksud, maka ia diberi kekuasaan atau wewenang oleh pemberi kuasa. Dengan kekuasaan atau wewenang yang ada pada penerima kuasa inilah yang membuat ia berwenang melakukan perbuatan hukum untuk kepentingan dan atas nama pemberi kuasa.40 Sehingga apa yang dilakukan oleh penerima kuasa adalah merupakan tanggung jawab dari pemberi kuasa, sepanjang perbuatan yang dilakukan oleh penerima kuasa tersebut sesuai dengan kuasa yang diberikan. Oleh karena itu, segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukan si penerima kuasa akan menjadi hak dan kewajiban dari si pemberi kuasa.

37 Vici Lesatari, Analisis Hukum Terhadap Penerapan Surat Kuasa dalam Praktek Jual Beli Tanah dan Pendaftaran Data. (Depok : Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program Magister Kenotariatan, 2008, bab 2, h.6

38 QiromSyamsudin Meliala, Pokok Pokok Hukum Perjanjian BesertaPerkembangannya, (Jogjakarta, Liberty, 1985), h 85

39 R. Subekti, Op,Cit, h.158

40 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung, Sumur Bandung, 1982), h.307.

Dengan demikian penerima kuasa dapat bebas menjalankan peranannya dalam batas-batas wewenang dan kekuasaannya, sebagaimana yang telah digariskan oleh pemberi kuasa dan sudah tentu penerima kuasa tidak boleh lupa bahwa ia bertindakatas nama dan mewakili pemberi kuasa. Perbuatan hukum ini akan terus berlangsungselama pemberi kuasa belum mencabut kuasanya atau sampai saat selesainya perbuatan hukum yang dimaksud atau dapat juga dengan meninggalnya salah satupihak.

Adanya perwakilan, yaitu seseorang atas nama orang lain melakukan suatu urusan. Pada bagian akhir dari Pasal 1792 KUHPerdata dinyatakan bahwa untuk “atas namanya” menyelenggarakan suatu urusan. Maksud dari kata-kata atas nama pada Pasal ini adalah mewakili yang berarti bahwa pemberi kuasa mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus dan melaksanakan kepentingan pemberi kuasa dan selanjutnya penerima kuasa bertindak/berbuat sebagai wakil atau mewakili pemberi kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa.41

Karena itulah pengertian pemberian kuasa pada pasal ini adalah penerima kuasa bertindak mewakili pemberi kuasa, yaitu penerima kuasa langsung bertindak untuk melakukan perbuatan hukum mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga. Orang yang diberi kuasa dalam melakukan perbuatan hukum itu adalah “atas nama” orang yang memberi kuasa, maka dikatakan ia mewakili pemberi kuasa.

Dengan demikian apa yang dilakukan penerima kuasa adalah atas tanggungan pemberi kuasa. Segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukan penerima kuasa akan menjadi hak dan kewajiban orang yang memberi kuasa. Sehingga,

41 Ibid., h.306.

jika perbuatan yang dilakukan penerima kuasa itu adalah membuat perjanjian, maka pemberi kuasa lah yang menjadi pihak dalam perjanjian tersebut.

1. Jenis Pemberian Surat Kuasa

Menurut jenisnya, pemberian kuasa dibedakan menjadi dua, yaitu kuasa dibawah tangan dan kuasa notariil. Ciri yang membedakan surat kuasa di bawah tangan dengan akta kuasa yang dibuat oleh Notaris dapat dilihat dari susunan dan redaksi surat kuasa tersebut.

a. Kuasa di bawah tangan

Pemberian kuasa di bawah tangan adalah suatu pemberian kuasa dalam bentuk tertulis yang suratnya dibuat sendiri oleh para pihak atau dengan kata lain tidak dibuat dihadapan pejabat Notaris.42 Pembuatan surat kuasa secara bawah tangan memiliki beberapa kelebihan, seperti lebih cepat dalam pembuatannya, lebih praktis bahasanya, serta rendah biaya karena hanya cukup menyediakan kertas, alat tulis, dan meterai tempel atau kertas segel sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea Meterai.

Masyarakat terbiasa membuat surat kuasa di bawah tangan yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka sehari-hari. Misalnya, surat kuasa untuk kepentingan pengurusan proses balik nama sertifikat jual beli rumah dan tanah, pembuatan surat kuasa untuk mengambil uang di bank, atau pembuatan surat kuasa untuk mengambil paket.

42 Frans Satriyo Wicaksono dan Agung Sugiarto, Op.Cit., h.19.

b. Kuasa Notariil (Akta Kuasa)

Pemberian kuasa notariil merupakan pemberian kuasa dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh pejabat Notaris. Kuasa notariil atau yang lazim disebut dengan akta kuasa adalah draft kuasa yang dibuat oleh dan atas buah pikiran dari pejabat Notaris itu sendiri atau dapat juga draft tersebut merupakan draft standar yang telah ada dan lazim digunakan oleh pejabat Notaris. Sebelum membuat akta kuasa, Notaris menanyakan untuk kepentingan apa akta kuasa tersebut dibuat dan meminta data identitas masing-masing pihak, yaitu kartu tanda penduduk (KTP) pemberi dan penerima kuasa, kartu tanda penduduk (KTP) suami atau isteripemberi kuasa, kartu susunan keluarga (KSK) pemberi kuasa, atau surat nikah.43

Permintaan dokumen-dokumen tersebut terkait dengan kepentingan legalitas dan persyaratan yang dituntut oleh ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ( Undang - undang Perkawinan ) yang mengatur bahwa

“Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. ” Dengan demikian, untuk melepaskan suatu hak kebendaan apabila hak kebendaan tersebut merupakan bagian dari harta bersama, suami atau istri hanya dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut dengan persetujuan dari pasangannya. Selain itu, Notaris akan menanyakan syarat-syarat khusus apa yang dibuat oleh para pihak, agar dapat dicantumkan didalam akta.44

Pemberian kuasa apabila dilihat dari sifat perjanjiannya dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu :

43 Ibid.,h.21

44 Ibid.,h.19

a. Pemberian kuasa umum, adalah pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum dan meliputi semua kepentingan pemberi kuasa.

b. Pemberian kuasa khusus, adalah pemberian kuasa hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Dalam hal ini pemberi kuasa menyebutkan apa yang harus dilakukan.

c. Kuasa istimewa

Diatur dalam Pasal 1796 KUHPerdata, yaitu kuasa untuk memindah tangankan benda, membebankan hak tanggungan, membuat perdamaian, atau perbuatan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik.

d. Kuasa Perantara

Di dalam dunia perdagangan sering disebut dengan makelar dimana pemberi kuasa memberi perintah kepada agen untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga yang pada pokoknya langsung mengikat pihak ketiga sepanjang tidak bertentangan dengan batas kewenangan yang diberikan.45 Kuasa pada dasarnya merupakan pengalihan wewenang dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Pengalihan wewenang tersebut dapat terjadi dikarenakan :

a. Karena tidak cakap hukum;

Pada dasarnya setiap orang cakap untuk melakukan suatu tindakan hukum,kecuali bagi mereka yang oleh Undang - undang dinyatakan tidak cakap.

Mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap hukum tidak dapat melakukan tindakan hukum tanpa bantuan orang lain.

45 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.46-47.

Contohnya : Orang yang belum dewasa dapat dibantu oleh orang tua atau walidan mereka yang berada di bawah pengampuan dapat dibantu oleh pengampu (kurator). Batasan usia dewasa yang digunakan oleh para Notaris dalam membuat suatu akta otentik adalah usia 21 (dua puluh satu) tahun.46

b. Bertindak dalam kapasitasnya sebagai kuasa;

Dalam beberapa hal sering dijumpai seseorang yang bertindak bukan untuk diri sendiri ataupun bertindak untuk orang lain secara perorangan melainkan bertindak untuk badan hukum karena kapasitas dan kedudukannya dalam badan hukum tersebut.

Orang - orang yang dalam kapasitas dan kedudukannya sebagai wakil atau kuasa badan hukum yang bersangkutan tidak memerlukan surat kuasa dari manapun karena sudah dicantumkan dalam anggaran dasar badan hukum tersebut maupun dalam undang-undang mengenai perwakilannya.

c. Tidak memiliki kewenangan bertindak.

Kewenangan bertindak seseorang dapat dilihat dari kecakapan hukumnya Namun tidak selalu orang yang cakap hukum mempunyai kewenangan bertindak. Orang dewasa yang menurut Undang-undang mempunyai kecakapan hukum belum tentu memiliki wewenang untuk bertindak mengenai suatu hal, karena kewenangan bertindak dapat berarti hak yang dimiliki seseorang untuk

46 Batasan usia dewasa 18 tahun bagi penghadap berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) UUJN hanya diterapkan dan dipakai apabila membuat akta-akta Notaris saja, yang bersifat umum misalnya akta Pendirian CV, Akta Pendirian PT, Akta Perjanjian Kerjasama dan akta-akta umum lainnya. Sedangkan terhadap akta-akta yang berkaitan dengan tanah, ketentuan batasan usia dewasa adalah harus sudah mencapai usia 21 tahun atau belum 21 tahun tetapi telah menikah terlebih dahulu. Sehingga setiap perbuatan hukum yang pada akhirnya bermuara pada masalah pertanahan, maka ketentuan dewasa yang harus dipakai dalam pembuatan akta tersebut, harus sudah berumur 21 tahun sebagaimana yang disyaratkan ketentuan Pasal 330 KUHPerdata.

melakukan suatu tindakan. Dalam hal lain dapat diartikan juga sebagai kekuasaan untuk bertindak.

Pasal 1793 ayat (1) KUHPerdata mengatur mengenai cara pemberian kuasa yaitu dengan :

a. Akta otentik

pemberian kuasa diberikan dalam bentuk akta. Untuk tindakan hukum tertentu seperti hibah dan pemberian hipotik harus dilakukan dengan akta otentik.47Adapun yang dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat mana akta dibuat.

Yang dimaksud dengan pegawai umum diatas adalah pejabat umum, yaitu selain notaris, adalah juga juru sita pegawai catatan sipil, panitera Pengadilan negeri.

“dibuat oleh” berarti akta tersebut dibuat oleh pejabat umum itu sendiri, yang mengetahui sendiri adanya suatu peristiwa, sehingga kebenaran formil dan materiil dari akta itu selalu ada.

b. Surat dibawah tangan.

Caranya dengan membuat persetujuan dalam suatu kertas meterai atau menggunakan meterai tempel yang ditandatangani para pihak. Jadi surat kuasa yang dibuat dibawah tangan ini adalah suatu persetujuan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Pasal 1867 KUHPerdata menyatakan, “pembuktian dengan tulisan dilakukandengan tulisan otentik maupun tulisan dibawah tangan”. Tulisan dibawah tangan ini dibuat

47Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1171

dengan tujuan untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa. Dalam Pasal 1874 KUHPerdata diberikan pengertian tentang surat dibawah tangan yaitu surat-surat atau tulisan-tulisan yang ditandatangani dan dibuat dengan sengaja untuk menjadi bukti dari suatu peristiwa tanpa melalui seorang pejabat umum.48

Karena surat dibawah tangan ini dibuat tanpa melalui seorang pejabat umum, maka ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1875 KUHPerdata berlaku yaitu, suatu tulisan dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871 KUHPerdata untuk tulisan itu.

Kekuatan surat dibawah tangan terletak pada pengakuan pihak yang membuatnya.Surat dibawah tangan baru mempunyai kekuatan pembuktian formal, jika tandatangan dibawah surat itu diakui/tidak disangkal kebenarannya.

Dengan diakuinya keaslian tanda tangan pada surat dibawah tangan tersebut, maka kekuatan pembuktian formal dari surat di bawah tangan itu sama dengan kekuatan pembuktian formal dari akta otentik.

c. Secara lisan

Pemberian kuasa dengan lisan ini dilakukan tanpa bukti apapun. Namun dalam hal ini biasanya dilakukan antara orang yang saling mengenal dan percaya.

Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian konsensual dalam arti sudah mengikat

48 Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1972), h.88.

(sah) pada detik tercapainya kata sepakat antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Oleh karena itu sesuai dengan Pasal 1793 ayat (1) tersebut diatas, maka pemberian kuasa dapat dilakukan secara lisan, yaitu pemberian kuasa yang dilakukan dengan diucapkan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa dan selanjutnya pemberian kuasa ini diterima baik oleh penerima kuasa. Pemberian kuasa lisan ini tidak dapat dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan hukum untuk mengalihkan hak, namun dapat dilakukan misalnya untuk membeli kendaraan bermotor, membeli rumah, dan kuasa lisan yang dilakukan dalam perkara perdatadi Pengadilan. Kuasa lisan dalam beracara di Pengadilan ini terjadi karena atau diangkat oleh salah satu pihak yang berperkara di Pengadilan.

Berarti pemberian kuasa lisan terlaksana di depan hakim. Jika penggugat tidak pandai membaca dan menulis sehingga tidak dapat membuat surat gugat, maka ketika penggugat memohon gugatan lisan kepada Ketua Pengadilan, maka seraya itu dia menunjuk kuasanya. Dapat pula kuasa tersebut disampaikan secara lisan di depan persidangan.

d. Secara diam-diam.

Artinya apabila seseorang melakukan suatu tindakan atas nama orang lain dan yang bersangkutan menerimanya walaupun tidak disampaikan secara formal.

2. Sifat Pemberian Kuasa

Berdasarkan KUHPerdata di dalam Bab XVI tentang pemberian kuasa (Pasal1792 - Pasal 1819 KUHPerdata) ada dua jenis sifat dari pemberian kuasa, yaitu :

a. Kuasa Umum

Kuasa umum adalah kuasa untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersifat umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa yang dirumuskan secara umum dan hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan. Dari segi hukum, kuasa umum tidak dapat digunakan di depan Pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 123 HIR/Pasal147 ayat (1) RBg, untuk dapat tampil didepan Pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, penerima kuasa harus mendapat kuasa khusus.

b. Kuasa khusus

Kuasa Khusus merupakan suatu pemberian kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang disebutkan secara tegas, seperti untuk memindah tangankan/mengalihkan barang, meletakkan hak tanggungan atas barang, untuk membuat suatu perdamaian, atau melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik.

Pengaturan mengenai surat kuasa khusus diatur dalam Pasal 1975 KUHPerdata, yaitu mengenai pemberian kuasa mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih.

Agar kuasa tersebut sah sebagai kuasa khusus di depan Pengadilan, kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 123 HIR/Pasal 147 ayat (1) RBg, yaitu penunjukan secara lisan tersebut dilakukan dengan kata-kata tegas, majelis hakim memerintahkan panitera untuk mencatatnya dalam berita acara sidang, kuasa yang ditunjuk dalam Surat Gugatan.49

49 Ibid., h.21.

Dalam praktek pemberian kuasa, dikenal adanya kuasa yang terbatas dan kuasa mutlak. Kuasa terbatas ini biasa disebut dengan nama kuasa khusus, yaitu kuasa yang diberikan hanya untuk kepentingan tindakan tertentu. Dalam kuasa khusus ini harus

Dalam praktek pemberian kuasa, dikenal adanya kuasa yang terbatas dan kuasa mutlak. Kuasa terbatas ini biasa disebut dengan nama kuasa khusus, yaitu kuasa yang diberikan hanya untuk kepentingan tindakan tertentu. Dalam kuasa khusus ini harus

Dokumen terkait