• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research) yakni penelitian yang memperoleh data dari bahan-bahan referensi berupa ayat-ayat al-Quran pada surah Al-Kahfi . Penelitian ini juga merupakan penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006 : 4) penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.

Peneliti menganalisis data dengan menggunakan Metode Deskriptif Analisis yaitu menggambarkan keadaan subjek dan objek dalam penelitian dapat berupa orang, lembaga, masyarakat dan yang lainnya yang ada pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta dengan

apa adanya ( Moleong, 2006 : 11 ). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori Al-Ghulayaini sebagai landasan teori.

Sistem penulisan yang digunakan untuk memindahkan tulisan Arab ke dalam tulisan latin peneliti berpedoman pada transliterasi Arab-Latin berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No.158/1987. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Al-Qur’an dalam surah Al-Kahfi. Objek penelitian ini adalah na’at mufrad yang terdapat di dalam Al-Qur’an surah Al-Kahfi.

Adapun tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengumpulkan referensi (buku-buku) yang berkaitan dengan penelitian.

2. Membaca dan memahami tentang na`at

3. Mengumpulkan data yang diperoleh dari Al-Qur`an pada surah Al-Kahfi 4. Mengklasifikasikan data yang diperoleh dari Al-Qur`an pada surah Al-Kahfi

5. Menganalisis data dengan menguraikan dan menjelaskan menjadi sebuah laporan ilmiah berupa skripsi.

6. Jadwal Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan dengan jadwal sebagi berikut:

NO KEGIATAN BULAN

I II III IV V V1

1 Persiapan X

2 Pengumpulan data X

3 pengolahan data X X

4 Penyusunan laporan X X

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Terdahulu

Penelitian tentang na`at sebelumnya sudah pernah dikaji oleh Eli Dayanti. Dayanti (2005) dengan judul “Analisis Na’at pada Surah An-Nur”, penelitiannya merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan analisis deskriptif. Adapun hasilnya diketahui bahwa di dalam surah An-Nur terdapat 36 na’at, 33 diantaranya berjenis mufrad yang terdiri atas 29 dari isim mustaq dan 4 dari isim jamid. Adapun dari jumlah fi’liyah hanya terdapat 1 na’at begitu juga dengan syibhul jumlah terdapat 2 na’at. Beberapa ayat yang mencakup 2 na’at didalamnya, yaitu pada ayat 16, 23, 40, 62. Dalam ayat 23 dan 62 kedua na’atnya berbentuk isim mustaq. Dalam ayat 16 na’atnya berbentuk mustaq dan berbentuk jamid. Pada ayat 40 terdapat bentuk jamid dan bentuk jumlah. Sementara satu ayat pada surah An-Nur ini terdapat 3 bentuk na’at yaitu pada ayat 35. Dalam ayat ini terdapat 2 na’at berbentuk jamid dan 1 na’at berbentuk syibhul jumlah.

Kemudian penelitian tentang na’at ini pernah dikaji oleh Nur Rohmatul Ummah.

Ummah

Adapun perbedaan dan persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian saat ini adalah pada penelitian dahulu dan penelitian saat ini sama sama mengkaji tentang na’at.

Sedangkan perbedaannya peneliti hanya meneliti satu jenis na’at saja yaitu na’at mufrad, kemudian pada objek penelitian dan pada penganalisisan data.

(2016) dengan judul “Analisis Na’at pada Surah As-Saba’ dan Faidahnya”, penelitiannya merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Adapun hasilnya diketahui bahwa di dalam surah Saba’ terdapat macam-macam Na’at dan faidahnya yakni na’at haqiqi sebanyak 33 ayat, na’at mufrad sebanyak 31 ayat, naat jumlah sebanyak 4 ayat, dan naat sibhul jumlah sebanyak 6 ayat, yang macam-macam dari na’at tersebut terdapat beberapa faidah dalam penggunaannya yaitu idhafah sebanyak 5 ayat dan takhsis 31 ayat.

2.2Landasan Teori 2.2.1 Pengertian Nahwu

Sintaksis dalam bahasa Arab disebutdenganNahwu. Al-Hasyimi (Tanpa Tahun :6) mengatakanbahwa pengertian Naḥwuadalah :

ﺐﻴﻛﺮﺘﺑ ﺖﻠﺼﺣ ﻲﺘﻟﺍ ﺔﻴﺑﺮﻌﻟﺍ ﺕﺎﻤﻠﻜﻟﺍ ﺮﺧﺍﻭﺍ ﻝﺍﻮﺣﺍ ﺎﻬﺑ ﻑﺮﻌﻳ ﺪﻋﺍﻮﻗ ﻮﻫ ﺡﻼﻄﺻﺇ ﻲﻓ: ﻮﺤﻨﻟﺍﻭ ﺎﻤﻬﻌﺒﺘﻳ ﺎﻣﻭ ءﺎﻨﺑﻭ ﺏﺍﺮﻋﺍ ﻦﻣ ﺾﻌﺑ ﻊﻣ ﺎﻬﻀﻌﺑ

/wa ˋan -naḥwu:fῑ ˋiṣṭilāḥi huwa qawā’idu yu’rafu bihā ˋahwālu ˋawākhiri ˋal -kalimāti

ˋal-‘arabiyyati ˋal -latῑ ḥaṣalat bitarkῑbi ba’ḍuhā ma’a ba’ḍa min i‘rābin wa bināˋin wamā yatba’uhumā/ “Secara etimologi, Nahwu merupakan kaidah-kaidah untuk mengetahui lambang bunyi akhir (harakat) dari bahasa Arab yang dapat menghasilkan susunan antara satu kata dengan kata yang lainnya, serta apa saja yang mengikuti suatu kata sehingga dapat merubah bentuk kata dan kasusnya”.

Menurut Al-Ghulayaini (2013 : 28)Naḥwu adalah:

ﺔﺒﻛﺮﻣ ﻭ ﺓﺩﺮﻔﻣ ﺔﻴﺑﺮﻌﻟﺍ ﺕﺎﻤﻠﻜﻟﺍ ﻝﺍﻮﺣﺍ ﻪﺑ ﻑﺮﻌﺗ ﻢﻠﻋ ﻮﻫ ﻮﺤﻨﻟﺍ

/An-naḥwu huwa ‘ilmun tu’rafu bihi aḥwālu al-kalimāti al-‘arabiyati mufradatan wa murakkabatan/ ‘Ilmu nahwu adalah ilmu yang mempelajari keadaan kata-kata Arab baik mufrād (tunggal) atau yang tersusun (jumlah).’

2.2.2 Pengertian Na’at

Secara leksikal na’at berasal dari kata

ﺖﻌﻧ

/na`ata/ ‘menyifatkan’ yang bentuk masdarnya

ﺖﻌﻨﻟﺍ

/al-na`tu/ maknanya sama dengan

ﺔﻔﺼﻟﺍ

/as-ṣifatu/ ‘sifat’. W.Wright dalam Bahrum (1999 : 11) menyebutkan bahwadalam Theoritical Linguitics, na’at memiliki makna ajektif dan menyebutnya dengan the description, descriptive words, qualicative atau adjective.

Menurut al- Ghulayaini (1991 : 315), definisi na’at adalah :

ﻪﺑ ﻖﻠﻌﺘﻳ ﺎﻣ ﻝﺍﻮﺣﺃ ﻭﺃ ﻪﻟﺍﻮﺣﺃ ﺾﻌﺑ ﻦﻴﺒﻴﻟ ﻢﺳﺍ ﺪﻌﺑ ﺮﻛﺬﻳ ﺎﻣ ﻮﻫ : ( ﺎﻀﻳﺃ ﺔﻔﺼﻟﺍ ﻲﻤﺴﻳﻭ ) ﺖﻌﻨﻟﺍ

/an-na`tu (wa yusammā aṣ-ṣifatu ayḍan) :huwa yużkiru ba`da ismin liyubayyina ba`ḍa aḥwāl hi aw aḥwāli mā yata`allaqubihi/ “Na’at juga disebut sifat, ialah lafaz yang disebutkan

setelah suatu isim untuk menjelaskan sebagian keadaannya, atau beberapa keadaan yang berkaitan dengannya”.

Ni’mah (Tanpa Tahun : 51) definisi na’at adalah :

ﻪﻠﺒﻗ ﻢﺳﺍ ﻲﻓ ﺔﻔﺻ ﻲﻠﻋ ﻝﺪﻳ ﻊﺑﺎﺗ ﻮﻫ ﺖﻌﻨﻟﺍ

/an’atu huwa tābi’un yadullu ‘alā ṣifatin fῑ ismin qablahu/ “Na’at itu mengikuti atas sifat isim sebelumnya”

ﻭ ﻞﻗﺎﻌﻟﺍ ﺍﺪﻳﺯ ﺖﻳﺍﺭﻭ ﻞﻗﺎﻌﻟﺍ ﺪﻳﺯ ﻡﺎﻗ ﻝﻮﻘﺗ ﻩﺮﻴﻜﻨﺗ ﻭ ﻪﻀﻔﺧ ﻭ ﻪﺒﺼﻧ ﻭ ﻪﻌﻓﺭ ﻲﻓ ﺕﻮﻌﻨﻤﻟﺍ ﻊﺑﺎﺗ ﺖﻌﻧﺍﺍ ﻞﻗﺎﻌﻟﺍ ﺪﻳﺰﺑ ﺕﺭﺮﻣ

/an-na`tu tābi`un lilman`ūti fῑ raf`ihi wa naṣbihi wa khafḍihi wa tankῑrihi wa taqūlu qāma zaidun al’āqilu wa ra’itu zaidan al-`āqilu wa mar’artu bi zaidin al-`āqili/ “Na’at (sifat) ialah lafaz yang mengikuti kepada makna lafaz yang diikutinya, baik dalam hal rafa’, nasab, khafadh (jar), ma’rifat, maupun nakirah nya, seperti :

ﻞﻗﺎﻌﻟﺍ ﺪﻳﺯ ﻡﺎﻗ

/qāmazaidun al-`āqilu/ ( Zaid yang berakal telah berdiri)

ﻞﻗﺎﻌﻟﺍ ﺪﻳﺰﺑ ﺖﻳﺃﺭ ﻭ

/wara’aitu bi zaidin al-`āqili/ (aku telah melihat Zaid yang berakal).

ﻞﻗﺎﻌﻟﺍ ﺍﺪﻳﺯ ﺕﺭﺮﻣ

/marartuzaidan al-`āqila/ (aku telah bertemu dengan Zaid yang berakal).

Na’at menurut istilah Nahwu ialah :

ﻪﺑ ﻖﻘﻠﻌﺘﻳ ﺎﻣ ﺔﻔﺻ ﻭﺍ ﻪﺗﺎﻔﺻ ﻦﻣ ﺔﻔﺻ ﻥﺎﻴﺒﺑ ﻪﻋﻮﺒﺘﻣ ﻢﻤﺘﻳ ﻱﺬﻠﻟﺍ ﻊﺑﺎﺘﻟﺍ

/at-tābi`u allażῑ yutammimu matbū`ihi bi bayānin ṣifatin min ṣifātihi aw ṣifati mā yata`allaqu bihi/ “tabi’ yang menyempurnakan pengikutnya dengan keterangan sifat dan sifatnya atau sifat yang bergantung kepadanya”. Contoh yang menjelaskan sifat matbu’nya (yang diikutinya) :

ﻞﻓﺎﻌﻟﺍ ﺪﻳﺯ ءﺎﺟ

/jā’ā zaidun al-`āqila/ “Zaid yang berakal telah datang”.

Menurut Ghulayaini (2012 : 319) Kaidah pada na’at ialah bahwasannya na’at itu wajib mengikuti man’utnya pada aspek i’rabnya, mufradnya, tasniyahnya, jama’nya, muannas, muzakkar, ma’rifat dan nakirahnya.

Anwar (2012:102) dalam bukunya menjelaskan bahwa na’at harus disesuaikan dengan man’utnya dalam hal i’rab, nakirah atau ma’rifatnya, mudzakkar atau muannatsnya, mufrad atau jamaknya.

Menurut Wahyoedin (2011:197) na’at wajib mengikuti man’ut dalam hal : 1. I’rabnya, contoh :

ﺪﻳﺪﺟ ﺎﺳﺭﺪﻣ – ﺪﻳﺪﺟ ﺱﺭﺪﻣ

/mudarrisun jadῑdun – mudarrisan jadῑdan/ ‘murid baru – murid baru’

2. Mudzakkar dan Muanatsnya,

contoh

ﻞﺟﺭ

:

ﺔﺤﻟﺎﺻ ﺓﺃﺮﻣﺍ – ﺢﻟﺎﺻ

/rajulun ṣāliḥun – imra’atun ṣāliḥatun/ ‘laki-laki shalih – perempuan shalihah.

3. Ma’rifah dan nakirahnya, contoh :

ﺖﻴﺒﻟﺍ ﺮﻴﺒﻛ ﺖﻴﺑ – ﺮﻴﺒﻜﻟﺎﺘﻴﺒﻟﺍ

/al-baitu al-kabῑru – baitun kabῑrun/ ‘Rumah yang besar’

4. Mufrad, Mutsanna dan jamaknya, contoh :

ﻥﻮﻨﻣﺆﻣ ﻝﺎﺟﺭ – ﻥﺎﻨﻣﺆﻣ ﻥﻼﺟﺭ – ﻦﻣﺆﻣ ﻞﺟﺭ

/rajulun mu’minun – rajulāni mu’mināni-

rijālun mu’minūna/ ‘seorang laki-laki yang beriman- dua orang laki-laki yang beriman. Beberapa orang laki-laki yang beriman’.

2.2.3. Kategori Na’at

Al-Ghulayaini dalam Bahrum (1999 : 14) Na’at dibentuk berdasarkan kaidah tata bahasa Arab dibagi pada 3 kategori, yaitu :

a. Na’at yang berkategori mufrad (berkategori kata)

Kategori mufrad (kata) identitas internalnya terdiri dari dua jenis kata (isim musytaq dan isim jamid) yang disebut dengan isim ṣifat yang meliputi :isim fa`il, isim maf`ul, sifat musyabbahat, isim tafdhil, masdar, isim jamid, yang menyimpan makna sifat dan isim yang dinisbatkan. Adapun na’at yang terdiri dari isim jāmid adalah ditakwilkan yaitu dipahami musytaq yang isim-isimnya adalah :isim isyarah, isim mauṣul, isim

`adad, isim manṣub ilaihi, isim jāmid, yang menunjukkan makna musytaq dan zū.

b. Na’at yang berkategori syibhul jumlah (berkategori frase)

Kategori shibhul jumlah adalah kategori yang terdiri dari kelompok kata jār majrur dan ẓaraf yang dalam satuan internalnya memiliki sifat eksosentris.

c. Na’at yang berkategori jumlah (berkategori klausa)

Kategori jumlah yang dalam struktur internalnya dapat berupa jumlah fi’liyah dan jumlah ismiyah.

2.2.4 Pengertian Na`at Mufrad

Al-Ghulayaini (2013 : 244) mengatakan bahwa na`at mufrad adalah na`at yang tidak berupa jumlah atau klausa dan tidak syibhul jumlah, walaupun berupa dual atau jamak. Na’at dalam kategori mufrad ditinjau dari segi struktur internal kemufradannya dan dapat dibagi dalam dua sub kategori yaitu : kategori mufrad dari isim musytaq dan kategori mufrad dari isim jamid.

a. Isim Musytaq

. ﺔﻔﺼﺑ ﻑﻮﺻﻮﻣ ,ﺊﺷ ﻰﻠﻋ ﻝﺩ ﻭ ﻩﺮﻴﻏ ﻦﻣ ﺬﺧﺃ ﺎﻣ ﻮﻫ ﻖﺘﺸﻤﻟﺍ ﻢﺳﻻﺍ

/Al- ismu al- musytaq huwa mā `akhaźa min gairihi wa dalla ‘ala syai`in, mauṣuf biṣifatin/

“Ism yang diambil dari kata selainnya dan menunjukkan kepada sesuatu yang disifati dengan sifat”.

ﻢﺳﺍ ,ﻞﻋﺎﻔﻟﺍ ﻢﺴﻟﺎﺑ ﺔﻬﺒﺸﻤﻟﺍ ﺔﻔﺼﻟﺍ ,ﻝﻮﻌﻔﻤﻟﺍ ﻢﺳﺍ ,(ﺔﻐﻟﺎﺒﻤﻟﺍ ﻎﻴﺻﻭ) ﻞﻋﺎﻔﻟﺍ ﻢﺳﺍ : ﻲﻫﻭ ﺔﻌﺒﺳ ﺕﺎﻘﺘﺸﻤﻟﺍﻭ . ﺔﻟﻻﺍ ﻢﺳﺍ ,ﻥﺎﻜﻤﻟﺍ ﻢﺳﺍ ,ﻥﺎﻣﺰﻟﺍ ﻢﺳﺍ ,ﻞﻴﻀﻔﺘﻟﺍ

/Wal- musytaqātu sab’ata wahiya: ism al- fā’il (wasīga al- mubālagah), ism al- maf’ūl, aṣ- ṣifatu al- musyabbahah bismi al- fā’il, ism at- tafḍīl, ism aż- żamān, ism al- makān, ism al- ālat/ “Isim musytaq ada tujuh yaitu : ism fa’il (sigah mubalagah), ism maf’ul, sifat musyabbahah bismil fa’il, ism tafdil, ism zaman, ism makan, ism alat”.

2.2.5. Kategori Na’at Mufrad

2.2.5.1. Kategoriﻖﺘﺸﻤﻟﺍ ﻢﺳﺍ/Isim Musytaq/

Adapun struktur internal na’at mufrad yang berkategori isim musytaq adalah sebagai berikut :

(1) Isim Fā`il

ﻞﻌﻔﻟﺍ ﻪﻨﻣ ﻊﻗﻭ ﻦﻣ ﻰﻠﻋ ﺔﻟﻻﺪﻠﻟ ﻖﺘﺸﻣ ﻢﺳﺍ : ﻞﻋﺎﻔﻟﺍ ﻢﺳﺍ

/Ism al- fa’il : ismun musytaq liddalālati ‘ala man waqa’a minhu al- fi’li/ “Ism fa’il adalah ism musytaq yang menunjukkan kepada pihak yang melakukan fi’l”.

Isim fā`il ialah sifat yang diambil dari kata kerja pasif dimana sifat tersebut menunjukkan adanya makna yang terdapat pada isim yang disifati dalam hal perbuatan atau kejadian bukan keadaan yang tetap.

Contoh :

-

ﺮﺼﻧ

/naṣara/‘menolong’menjadi

ﺮﺻﺎﻧ

/nāṣirun/ ‘orang yang menolong’

Jika ‘ain fi’lnya terdiri ats huruf illat, maka huruf tersebut pada ‘ain fi’lnya dapat ditukar menjadi hamzah.

Contoh :

-

ﻡﺎﺻ

/ṣāma/ ‘berpuasa’ menjadi

ﻢﺋﺎﺻ

/ṣā`imun/ ‘orang yang berpuasa’

Contoh :

ﻼﺿﺎﻓ ﻼﺟﺭ ﺖﻳﺃﺭ

/ra`aitu rajulanfāḍilan/ ‘Saya melihat seorang lelaki yang mempunyai kelebihan’

Na’at terletak pada kata

ﻼﺿﺎﻓ

/fāḍilan/ ‘yang mempunyai kelebihan’

Isim fa’il dari fi’l selain tsulasiy, maka cukup dengan menggantikan huruf mudhara`ahnya dengan huruf mim yang didammahkan dan mengkasrahkan barishurufsebelum akhir, maka timbangan

ﻞﻌﻓﺃ

/af’ala/ menjadi

ﻞﻌﻔﻣ

/muf’ilun/,

ﻞﻌﺘﻓﺍ

/ifta’ala/ menjadi

ﻞﻌﺘﻔﻣ

/mufta’ilun,

ﻞﻌﻓ

/fa’a’la/ menjadi

ﻞﻌﻔﻣ

/mufa’ilun/,

ﻞﻌﻔﺗ

/tafa’ala/ menjadi

ﻞﻌﻔﺘﻣ

/mutafa'ilun/,

ﻞﻌﻔﺘﺳﺍ

/istaf'ala/ menjadi /mustaf'ilun/.

Pola-pola isim fa’il tersebut merupakan isim sifat yang apabila menempati posisi untuk menjelaskan kata sebelumnya, maka kata tersebut menjadi na’at. Contoh :

ﺐﻟﺎﻁ ﺎﻧﺍ ﻦﺴﺤﻣ

/anā ṭāibun muḥsinun/ ‘Saya seorang murid laki-laki yang baik’.Na’at terletak pada kata

ﻦﺴﺤﻣ

/muḥsinun/ ‘yang baik’

(2) Isim Maf`ul

. ﻞﻌﻔﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻊﻗﻭ ﺎﻣ ﻰﻠﻋ ﺔﻟﻻﺪﻠﻟ ﻝﻮﻬﺠﻤﻠﻟ ﻲﻨﺒﻤﻟﺍ ﻞﻌﻔﻟﺍ ﻦﻣ ﻖﺘﺸﻣ ﻢﺳﺍ : ﻝﻮﻌﻔﻤﻟﺍ ﻢﺳﺍ

/ism al- maf’ul :ismun musytaq min al- fi’li al- mabni lil majhul liddalālati ‘ala mā waqa’a

‘alaihi al- fi’li/ “Isim maf’ul : isim musytaq dari fi’il mabni lil majhul untuk menunjukkan kepada pihak yang dikenai fi’il”. Seperti

ﺏﺮﺿ

/ḍaraba/ ‘memukul’

menjadi

ﺏﻭﺮﻀﻣ

/maḍrūbun/ ‘yang dipukul’.

Isim maf’ul dari fi’l selain tsulasiy, maka cukup dengan menggantikan huruf mudharaahnya dengan huruf mim yang didammahkan dan memfatahkan baris huruf sebelum akhir, maka :

- Timbangan

ﻞﻌﻓﺍ

/af’ala/menjadi

ﻞﻌﻔﻣ

/muf’ilun/

Seperti :

ﻡﺮﻛﺍ

/akrama/ ‘mulia’ menjadi

ﻡﺮﻜﻣ

/mukrimun/ ‘orang yang dimuliakan’

- Timbangan

ﻞﻌﺘﻓﺍ

/ifta’ala/ menjadi

ﻞﻌﺘﻔﻣ

/mufta’ilun/

Seperti :

ﺪﻌﺘﺑﺍ

/ibta’ada/ ‘jauh’menjadi

ﺪﻌﺘﺒﻣ

/mubta’idun/ ‘yang jauh’

- Timbangan

ﻞﻌﻔﺘﺳﺍ

/istaf’ala/ menjadi

ﻞﻌﻔﺘﺴﻣ

/musta’alun/

Seperti :

ﺝﺮﺨﺘﺳﺍ

/istakhraja/ ‘keluar’ menjadi

ﺝﺮﺨﺘﺴﻣ

/mustakhrijun/ ‘dikeluarkan’

Isim maf’ul dapat dikategorikan menjadi na’at tergantung posisi atau letaknya dalam kalimat.

Contoh :

ﺎﺑﻮﺒﺤﻣ ﺍﺪﻟﺎﺧ ﻡﺮﻛﺃ

/akrim khālidan maḥbūban/ ‘Muliakanlah Khalid yang dicintai’.

Na’at terletak pada kata

ﺎﺑﻮﺒﺤﻣ

/maḥbūban/ ‘yang dicintai’

(3) Sifat Musyabbahat bi ismin fa’il

( ﻪﺑ ﻝﻮﻌﻔﻣ ﻪﻟ ﺲﻴﻟ ﻱﺬﻟﺍ ﻱﺃ) ﻡﺯﻻﺍ ﻰﺛﻼﺜﻟﺍ ﻞﻌﻔﻟﺍ ﻦﻣ ﻻﺇ ﻍﺎﺼﻳ ﻻ ﻖﺘﺸﻣ ﻢﺳﺍ ﻞﻋﺎﻔﻟﺍ ﻢﺳﺎﺑ ﺔﻬﺒﺸﻤﻟﺍ ﺔﻔﺼﻟﺍ

/Aṣ- ṣifatu al- musyabbahatu bismi al- fa’ili ismun musytaqun lā yuṣāgu `illā min al- fi’li aś- śulāśi al- lāżimu (ayyu al- laźi laisa lahu maf’ulun bih)/ “Sifat musyabbahah bismil fa’il adalah ism musytaq yang tidak dibentuk kecuali dari fi’il tsulatsi lazim (yaitu yang tidak mempunyai maf’ul bih)”

- Sifat Musyabbahah dari fi’l tsulasiy berwazan

ﻞﻌﻓ

/fa’ilun/

Seperti :

ﺡﺭﺎﻓ

/farihun/ ‘bahagia’

- Sifat Musyabbahah selain tsulasiy berwazan

ﻞﻌﻓﺍ

/af’alu/

Seperti :

ﺮﻤﺣﺍ

/ahmarun/ ‘merah’ dan

ﺝﺮﻋﺍ

/a’rajun/ ‘yang pincang’

- Berwazan

ﻥﻼﻌﻓ

/fa’lānun,/ seperti :

ﻱﺪﺻ

/ṣadiya/ ‘dahaga’ menjadi

ﻥﺎﻳﺪﺻ

/ṣadyānun/

‘yang dahaga’

- Wazan

ﻞﻴﻌﻓ

/fa’ῑlun/, seperti :

ﻢﻠﺳ

/salima/ ‘selamat’menjadi

ﻢﻴﻠﺳ

/salῑmun/ ‘yang selamat’

- Wazan

ﻞﻌﻓ

/fa’lun/, seperti :

ﺐﻌﺻ

/ṣa’bun/ ‘sulit’

- Wazan

ﻝﺎﻌﻓ

/fu’ālun/, seperti :

ﻉﺎﺠﺷ

/syujā’un/ ‘berani’

- Wazan

ﻞﻌﻓ

/fu’lun/, seperti :

ﻮﻠﺣ

/ḥulwun/ ‘manis’

- Wazan

ﻞﻌﻓ

/fa’alun/, seperti :

ﻦﺴﺣ

/ḥasanun/ ‘baik’

- Wazan

ﻝﺎﻌﻓ

/fa’ālun/, seperti :

ﻥﺎﺒﺟ

/jabānun/ ‘penakut’

Sifat Musyabbahah selalu menjadi na’at jika selalu ada isim yang diikutinya, contoh :

ﺍﺬﻫ ﺩﺭﻭ

ﺮﻤﺣﺍ

/hażā wardun aḥmarun/ ‘ini bunga mawar yang merah’.Na’at terletak pada kata

ﺮﻤﺣﺍ

/aḥmarun/ ‘yang merah’.

(4) Isim Tafdhil

ﻦﻋ ﺎﻤﻫﺪﺣﺃ ﺩ ﺍﺯﻭ ﺔﻔﺻ ﻲﻓ ﺎﻛﺮﺘﺷﺍ ﻦﻴﺌﻴﺷ ﻥﺃ ﻰﻠﻋ ﺔﻟﻻﺪﻠﻟ (ﻞﻌﻓﺃ) ﻥﺯﻭ ﻰﻠﻋ ﻖﺘﺸﻣ ﻢﺳﺍ ﻞﻴﻀﻔﺘﻟﺍ ﻢﺳﺍ . ﺔﻔﺼﻟﺍ ﻩﺬﻫ ﻲﻓ ﺮﺧﻷﺍ

/Ismu at- tafḍilu ismun musytaqu ‘ala ważni (`af’ala) liddalālati ‘ala `an syai`īna istarakan fi ṣifati ważādi `aḥaduhumā ‘ani al- `akhir fi haźihi aṣ- ṣifati/ ‘ism musytaq berwazan ﻞﻌﻓﺃ/`af’ala/ yang menunjukkan kepada dua perkara yang sama-sama mempunyai suatu sifat dan salah satunya melebihi yang lain dalam sifat ini’. Contoh :

ﻲﻨﻣ ﺮﺒﻛﺍ ﻞﺟﺭ ﻚﻟﺍﺫ

/żālika rajulun akbaru minnῑ/ ‘Lelaki itu lebih besar daripada saya’. Na’at terletak pada lafaz

ﺮﺒﻛﺍ

/akbaru/ ‘lebih besar’

Ciri-ciri struktur isim tafdhil :

a. Isim tafdhil tanpa

ﻝ ﺍ

/alif lam/ dan tidak diidhafahkan b. Isim tafdhil yang disertai

ﻝ ﺍ

/alif lam/

c. Isim tafdhil yang diidhafahkan d. Isim jamid

2.2.5.2. Kategori ﺪﻣﺎﺠﻟﺍ ﻢﺳﺍ/Ismul Jāmid/

Adapun struktur internal na’at mufrad yang berkategori isim jamid adalah sebagai berikut:

(1). Isim isyarah

Isim isyarah ialah isim yang menunjukkan pengertian makna tertentu baik secara nyata dengan tangan atau dengan yang lain apabila yang ditunjuk itu berada dihadapan orang yang menunjuk. Isim isyarah ini masuk kepada kelompok isim jamid karena tidak dapat ditashrifkan juga tidak diturunkan dari bentuk kata lain. Beberapa dari isim isyarah ada yang menunjukkan makna tempat, seperti :

ﺎﻨﻫ

/hunā/ ‘disini’ : untuk menunjuk sesuatu yang dekat

ﻙﺎﻨﻫ

/hunāka/ ‘disana’ : untuk menunjuk sesuatu yang tidak terlalu jauh

ﻚﻟﺎﻨﻫ

/hunālika/ ‘disana’ : untuk menunjukkan sesuatu yang jauh

ﻢﺛ

/ṣumma/ ‘kemudian’ : untuk menunjukkan sesuatu yang jauh

Ada pula beberapa isim isyarat yang didahului

ﺎﻫ

/hā/ yang bermakna tanbih (peringatan) seperti:

ﺍﺬﻫ

/hāżā/ ‘ini’ : menunjukkan bentuk maskulin

ﻩﺬﻫ

/hażihi/ ‘ini’ : menunjukkan bentuk feminin

ﻥﺎﺘﻫ

/hatāni/ ‘ini’ : menunjukkan dua bentuk feminin

ءﻻﺆﻫ

/hā’ulā`i/ ‘mereka itu’ : menunjukkan tiga orang atau lebih

Isim-isim isyarah tersebut merupakan isim jamid dan dapat dijadikan sebagai na`at yang ditakwilkan dengan musytaq, contoh :

ﺬﻫ ﺎﻴﻠﻋ ﻡﺮﻛﺍ

/akrim `aliyyan haża/ ‘Muliakanlah si Ali yang ini’

Isim isyarah yang menjadi unsur na`at pada contoh adalah ﺍ /hażā/ ‘ini’ yang ditakwilkan

ﺬﻫ

sebagai

ﻪﻴﻟﺍ ﺭﺎﺸﻤﻟﺍ

/al-musyāru ilaihi/.

(2). Isim mausul yang dibarengi (ﻝﺍ) /alif lam/

Isim mausul dapat ditungalkan, ditaṡniyahkan, dijamakkan, difemininkan, maupun dimaskulinkan sesuai dengan keadaan. Contoh:

ﺪﻬﺘﺟﺍ ﻱﺬﻟﺍ ﻞﺟﺮﻟﺍ ءﺎﺟ

/jā`a ar-julu allżῑ ijtahada/ “Lelaki yang rajin telah datang”. Jadi, isim mausul yang menjadi unsur na’at pada contoh tersebut adalah

ﻱﺬﻟﺍ

/allażῑ/ yang ditakwilkan bersama kata unsur sesudahnya yaitu

ﺪﻬﺘﺟﺍ

/ijtahada/ yang takwilnyaadalah

ﺪﻬﺘﺠﻤﻟﺍ

/al-mujtahidu/ “yang rajin”.

(3). Isim adad

Isim ‘adad adalah jenis isim nakirah yang bertujuan untuk memperjelas isim mubham (samar). Isim ‘adad ada dua jenis, yaitu : sharih dan mubham. Isim ‘adad yang dapat menjadi na’at hanya isim ‘adad yang sharih karena isim ‘adad sharih dapat dimaklumi kadarnya, seperti : sepuluh, sebelas, dua puluh dan lain-lain. Contohnya :

ﺔﻌﺑﺭﺃ ﻝﺎﺟﺭ ءﺎﺟ

/jā`a rijālun arba’atun/ ‘Lelaki yang empat orang telah datang/. Jadi, isim ‘adad yang menjadi unsur na’at adalah

ﺔﻌﺑﺭﺍ

/arba’atun/ ‘empat’ ditakwilkan

ﺩﺪﻌﻟﺍ ﺍﺬﻬﺑ ﺩﻭﺪﻌﻣ

/ma’dūdun bihāżal ‘adadi/.

(4). Ya’ nisbat

Nisbat ialah memberi sufiks

/ya’/ yang bertasydid di akhir isim dan huruf sebelumnya dibaca kasrah dengan tujuan membangsakan kepada yang lain. Contoh

ﺖﻳﺃﺭ

:

ﻼﺟﺭ

ﺎﻴﻘﺸﻣﺩ

/ra`aitu rajulan dimisyqiyyan/ ‘Aku melihat seorang lelaki yang berkebangsaan

Damsyiq’. Na’at pada contoh ini adalah

ﺎﻴﻘﺸﻣﺩ

/dimisyqiyyan/ ‘orang Damsyiq’ yang takwilnya

ﻖﺸﻣﺩ ﻲﻟﺍ ﺏﻮﺴﻨﻣ

/mansūbun ilā damsyiqin/.

(5). Isim jamid yang menunjukkan pengertian musytaq

Adapun yang dimaksud dengan isim ini ialah isim jamid yang dapat dianggap memiliki pengertian dalam isim musyatq, isim ini biasanya digunakan dalam pengertian kiasan atau tasybih, seperti :

ﺪﺳﺃ ﻼﺟﺭ ﺖﻳﺃﺭ

/ra`aitu rajulan asadan/ ‘Aku melihat lelaki yang seperti harimau’. Na’at pada contoh ini adalah pada kata

ﺪﺳﺃ

/asadan/ ‘harimau’ yang ditakwilkan sebagai

ﺎﻋﺎﺠﺷ

/syujjā’an/ ‘pemberani’.

(6). Kata

ﻭﺫ

/żū/ dan

ﺕﺍﺫ

/żāta/

Kata

ﻭﺫ

/żū/ dan

ﺕﺍﺫ

/żāta/ dapat diinterprestasikan sebagai isim musytaq yang maknanya menjadi

ﺐﺣﺎﺻ

. Contohnya :

ﻝﺎﻣ ﻭﺫ ﻞﺟﺭ ءﺎﺟ

/jā`a rajulun żū mālin/ ‘Telah datang lelaki yang mempunyai harta’. Kata

ﻝﺎﻣ ﻭﺫ/

żū mālin/ ‘yang mempunyai harta’pada contoh ini ditakwilkan sebagai

ﺐﺣﺎﺼﻟﺎﻣ

/ṣāḥibun mālin/ ‘yang mempunyai harta’.

(7). Mashdar

Mashdar yang dimaksud adalah mashdar yang berbentuk ṡulasiy yang tidak berawalan dengan huruf

/mim/ (Mashdar ghairu mimi). Contohnya :

ﻞﺟﺭ ﻮﻫ ﺔﻘﺛ

/huwa rajulun ṡiqatun/

‘Dia adalah lelaki yang dipercaya’. Kata

ﺔﻘﺛ

/ṡiqatun/ ‘yang dipercaya’ ditakwilkan sebagai musytaq yaitu

ﻕﻮﺛﻮﻣ

/mauṡūqun/ ‘yang dipercaya’ dan kata tersebut merupakan na’at.

(8). Lafaz

ﺎﻣ

/mā/ nakirah yang dimaksudkan ibham

Kata

ﺎﻣ

/mā/ nakirah yang disifati ini tidak dapat dijadikan sebagai isim mausul sebab isim mausul harus bertemu dengan jumlah sebagai penghubungnya. Na’at dari lafaz

ﺎﻣ

/mā/

adalah isim jamid dan ditakwilkan musytaq yaitu

ﺎﻣ ﺔﻔﺼﺑ ﺪﻴﻘﻣ ﺮﻴﻏ ﺎﻘﻠﻄﻣ ﻼﺟﺭ

/rajulan muṭlaqan gairu muqayyidin bi ṣifatin mā/ ‘Laki-laki yang semata-mata tidak terikat dengan sifat manapun.

(9). Lafaz

ﻱﺍ

/ayyu/ dan

ﻞﻛ

/kullu/

Lafaz

ﻱﺍ

/ayyu/ dan

ﻞﻛ

/kullu/ adalah isim jamid dapat menjadi na’at yang diinterprestasikan musytaq untuk menunjukkan sifat bagi mausufnya. Contoh

ﻞﻛ

/kullu/ :

ﺖﻧﺃ

ﻞﺟﺮﻟﺍ ﻞﻛ ﻞﺟﺭ

/anta rajulun kullu ar-juli/ ‘Engkau adalah lelaki yang sempurna

kelelakiannya’. Contoh

ﻱﺍ

/ayyu/ :

ﻞﺟﺭ ﻱﺍ ﻞﺟﺭ ﻲﻧءﺎﺟ

/jā`anῑ rajulun ayyu rajulin/ ‘Telah datang kepadaku seorang lelaki yang sempurna kelelakiannya’.

2.2.6. Kesesuaian Na’at dengan Man’ut

Dalam hal kesesuaian dengan man’ut dibagi dua macam, yaitu : a. Na’at Hakiki

Al- Ghulayaini (2013 : 243) mengatakan na’at hakiki adalah :

ﻪﻋﻮﺒﺘﻣ ﺕﺎﻔﺻ ﻦﻣ ﺔﻔﺻ ﻦﻴﺒﻳ ﺎﻣ ﻮﻫ ﻲﻘﻴﻘﺤﻟﺍ ﺖﻌﻨﻟﺍ

/an-na`tu al-haqīqiyyu huwa mā yubayyinu ṣifatun min ṣifāti matbū`ihi/ “Na’at Hakiki adalah na’at yang menjelaskan suatu sifat dari beberapa sifat man’utnya”

Nikmah (Tanpa Tahun : 51) mengatakan :

ﻪﻋﻮﺒﺘﻣ ﺲﻔﻧ ﻲﻓ ﺔﻔﺻ ﻲﻠﻋ ﻝﺩ ﺎﻣ ﻮﻫ ﻲﻘﻴﻘﺤﻟﺍ ﺖﻌﻨﻟﺍ

/an-na`tu al-haqīqiyyu huwa mā dalla `alā ṣifatin fī nafsi matbū`ihi/ “Na’at hakiki adalah na’at yang menunjukkan sifat yang sebenarnya pada matbu’nya (yang disifatinya)”.

b. Na’at Sababi

Al-Ghulayaini (2013 : 243) mendefinisikan na’at sababi adalah :

ﺏ ﻁﺎﺒﺗﺭﺇﻭ ﻪﻋﻮﺒﺘﻤﺑ ﻖﻠﻌﺗ ﻪﻟ ﺎﻣ ﺕﺎﻔﺻ ﻦﻣ ﺔﻔﺻ ﻦﻴﺒﻳ ﺎﻣ ﻮﻫ ﻲﺒﺒﺴﻟﺍ ﺖﻌﻨﻟﺍ

/an-na`tu as-sabābiyyu huwa māyubayyinu ṣifatun min ṣifātin mā lahu ta`allaqu bi matbū`ihi wa irtibāṭin bihi/ “Na’at Sababi adalah na’at yang menjelaskan suatu sifat dari sifat-sifatnya hal yang berhubungan dengan man’utnya”

Menurut Ni’mah (Tanpa Tahun : 52) na’at sababi adalah :

ﻉﻮﺒﺘﻤﻟﺍﺎﺑ ﺎﻣ ﻁﺎﺒﺗﺭﺇ ﻪﻟ ﻢﺳﺇ ﻲﻓ ﺔﻔﺻ ﻲﻠﻋ ﻝﺪﻳ ﺎﻣﻮﻫ ﻲﺒﺒﺴﻟﺍ ﺖﻌﻨﻟﺍ

/an-na`tu as-sababiyyu huwa mā dalla `alā ṣifatin fī ismin lahu irtibāṭin bi al-matbū`i/

“Na’at Sababi adalah na’at yang menunjukkan sifat pada isim yang ada baginya hubungan dengan matbu’nya (yang diikutinya)”.

Kesesuaian Na`at Sababi terhadap man’ut nya sama halnya dengan syarat-syarat na’at hakiki, yaitu harus sesuai dalam hal i`rab nya, mufrad, mutsanna, atau jamak nya, dan ma’rifat atau nakirah nya. Kecuali jika na’at sababi itu memuat dhamir yang kembali kepada man’ut nya, maka ia hanya sesuai dalam hal i`rab, ma’rifat atau nakirah nya, dan na`at tersebut selamanya berbentuk mufrad dan wajib sesaui dalam hal muzakkar atau muannas kepada lafaz sesudahnya dan bukan sebelumnya.

Al-Ghulayaini (1991 : 319) mengatakan bahwa kaidah na’at ialah bahwasannya na’at itu wajib mengikuti man`ut nya dalam aspek i`rab nya, mufrad nya, tasniyah nya, jamak nya, muannas, muzakkar. Ma’rifat, dan nakirah nya kecuali kepada man’ut. Jika demikian keadannya, na’at ini wajib mengikuti dalam aspek i’rab, ma’rifat dan nakirah nya saja. Na’at semacam ini wajib menjadi segi muannas dan muzakkar terhadap lafaz sesudahnya dan selamanya berbentuk mufrad.

Jadi, kesesuaian dalam na’at sababi dapat dibagi 2, yaitu :

1. Na’at Sababi yang disertai dhamir yang kembali kepada man’utnya a. Selamanya berbentuk mufrad

b. Muzakkar terhadap lafaz sesudahnya c. Muannas terhadap lafaz sesudahnya

Contoh :

ﺎﻤﻫﻮﺑﺍ ﻢﻳﺮﻜﻟﺍ ﻥﻼﺟﺮﻟﺍ ءﺎﺟ

/jā’a ar-julāni al-karūīmu abūhumā/ “Telah datang dua orang laki-laki yang mulia ayah keduanya”

ﻢﻫﻮﺑﺃ ﻢﻳﺮﻛ ﻢﻫ

/ hum karīmun abūhum/ “Mereka laki-laki itu mulia bapak-bapaknya”

ﻢﻬﺗﺎﻬﻣﺃ ﺔﻤﻳﺮﻛ ﻢﻫ /

hum karīmatun ummahātuhum/ “Mereka laki-laki itu mulia ibu-ibu mereka”

ﺐﻬﻧﺎﺑﺃ ﻢﻳﺮﻛ ﻦﻫ

/hunna karīmun abānuhunna/ “Mereka perempuan itu mulia ayah-ayah mereka”

2. Na’at Sababi yang tidak disertai dhamir yang kembali kepada man’ut nya, maka sama

2. Na’at Sababi yang tidak disertai dhamir yang kembali kepada man’ut nya, maka sama

Dokumen terkait