• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi Penelitian

Pulau-pulau Krakatau terletak di kawasan Selat Sunda (i.e. di antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa), atau secara geografis terletak di antara koordinat 06°03’15” LS - 06°10’30” dan 105°21’15” - 105°25’16.5” BT. Secara umum, kawasan konservasi di Krakatau terbagi menjadi dua bagian, yaitu kawasan konservasi daratan (i.e. cagar alam) dan kawasan konservasi laut (i.e. cagar alam laut). Terdapat empat pulau yang termasuk ke dalam entitas Pulau-pulau Krakatau yaitu Pulau Rakata, Panjang, Sertung dan Anak Krakatau. Pada penelitian ini hanya dapat diobservasi tiga pulau, karena alasan efisiensi waktu, dana, dan kondisi alam di lapangan. Ketiga pulau tersebut adalah Pulau Anak Krakatau, Rakata dan Panjang. Komunitas karang yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah terumbu tepi (fringing reef) yang dijumpai di ketiga pulau tersebut. Lokasi Pulau-pulau Krakatau dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Lokasi penelitian dan kawasan sekitarnya (Thornton dan Rosengren 1988)

Rancangan Penelitian

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Keseluruhan langkah metodologis dari penelitian ini dapat dijelaskan berikut ini. Tahap pertama penelitian adalah persiapan lapangan, dimana

sebelumnya telah dilakukan survei untuk deskripsi lokasi penelitian dan penentuan lokasi stasiun pengamatan. Survei pendahuluan telah dilakukan sebelumnya (Agustus 2011 dan Oktober 2012) untuk penentuan lokasi stasiun dan pengumpulan data lainnya (i.e. deskripsi lokasi penelitian). Pengamatan lapangan telah dilakukan antara tanggal 31 Desember 2012 – 6 Januari 2013.

Penjelasan proses suksesi atau kolonisasi komunitas karang dalam penelitian ini dirancang menggunakan data temporal dan spasial. Data temporal didapatkan melalui literatur dan kajian-kajian terdahulu, terutama untuk mengetahui indikasi rekolonisasi kedua komunitas karang di Pulau Anak Krakatau pasca timbul Tahun 1929-1930. Sedangkan data spasial merupakan hasil observasi lapang pada penelitian ini, yang mana digunakan untuk menjelaskan kondisi komunitas karang terkini / terbaru (recent). Terkait dengan penyebaran (dispersal) komunitas karang, pemilihan lokasi stasiun pengamatan didasarkan pada paparan terhadap dugaan habitat sumber populasi komunitas karang, dimana menurut Starger et al. (2010), berasal dari Kepulauan Seribu, atau dari arah timur laut Pulau-pulau Krakatau. Stasiun-stasiun yang diduga terpapar langsung berada di bagian timur Pulau Panjang dan Rakata, sedangkan stasiun yang lebih terlindung berada di bagian barat pulau Anak Krakatau, dan Rakata. Penjelasan lebih detil tentang stasiun pengamatan dijelaskan pada subbab rancangan sampling.

Kajian proses kolonisasi di lakukan pada kawasan dimana diduga terjadi rekolonisasi awal, yaitu pada daerah-daerah terlindung dan berteluk di Pulau Rakata dan Panjang. Sedangkan, kolonisasi yang terdapat di Pulau Anak Krakatau diamati sebagai acuan pembentukan karang yang lebih muda (i.e. tahap awal proses rekolonisasi yang ke-2). Tahap kolonisasi pertama ditentukan di tiga stasiun pengamatan Pulau Rakata yaitu di sekitar Pantai Zwarte Hoek, Pasir Panjang dan Owl Bay, serta dua stasiun pengamatan di Pulau Panjang yaitu Pantai Karang Ampar dan Tanjung Lesung. Selanjutnya tahap kolonisasi kedua diamati di sekitar Pantai Legokan pada bagian barat Pulau Anak Krakatau. Sejak kemunculan pada Tahun 1929-1930, Anak Krakatau telah memberikan tekanan yang cukup berarti terhadap komunitas biotik yang mengalami perekrutan ulang. Menurut Sutawidjaja (2006), pembentukan leleran lava padat di sebelah barat-selatan (south-west) Pulau Anak Krakatau berkisar antara Tahun 1973-1996. Sedangkan, leleran lava baru yang teramati pada Tahun 2012 terbentuk pada bagian selatan Anak Krakatau, dan menutupi sebagian leleran lava Tahun 1993 dari kawah bagian luar ke arah laut.

Kajian kondisi komunitas karang dilakukan dengan mangamati kondisi komponen bentik, termasuk identifikasi hewan karang dan persentase tutupannya. Observasi lapangan terhadap komponen bentik dilakukan dengan teknik transek video pada Line Intercept Transect (LIT). Setiap stasiun pengamatan dilakukan pengambilan data pada dua kedalaman yaitu pada 5 m dan 10 m, serta pengukuran parameter kualitas perairan dan pengambilan contoh air untuk keperluan analisis di laboratorium. Data kualitas perairan merupakan gambaran terhadap kondisi lingkungan yang diduga dapat berpengaruh terhadap ekosistem terumbu karang di kawasan Pulau-pulau Krakatau. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan kajian pustaka. Data sekunder komunitas karang didapatkan dari hasil penelitian sebelumnya, sebagai tambahan data khususnya untuk Pulau Anak Krakatau dan Sertung.

Analisis statistika deskriptif digunakan untuk melihat deskripsi komunitas karang, sedangkan siginifikansi antar parameter dianalisis dengan menggunakan uji Analisis Varian (ANOVA). Selanjutnya, untuk melihat hubungan antar stasiun pengamatan digunakan analisis kluster dengan teknik Agglomerative Hierarchical Clustering (AHC). Data-data hasil analisis tersebut kemudian dijadikan acuan untuk medeskripsikan implikasi terhadap penatakelolaan kawasan konservasi di lokasi penelitian. Gambar 2 merupakan ringkasan dari rancangan penelitian, dan proses untuk mengetahui kolonisasi dan proses suksesi, kondisi komunitas karang, dan implikasi terhadap pengelolaan terumbu karang di Pulau-pulau Krakatau.

Gambar 2 Diagram alur penelitian Rancangan Sampling

Pengumpulan data lapangan dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data komunitas karang yang mencakup kekayaan spesies/genera, keanekaragaman, persentase tutupan, dan data kondisi lingkungan. Lokasi pengamatan lapangan dirancang untuk mewakili kawasan penelitian dengan metode purposive sampling (i.e. berdasarkan hasil observasi dan pengamatan

Deskripsi lokasi penelitian

Sampling sistematik

Analisis deskriptif dan uji ANOVA

Hubungan antar lokasi stasiun dengan analisis kluster

Komunitas karang Lingkungan perairan

Penentuan lokasi stasiun

Implikasi bagi pengelolaan kawasan Krakatau

terhadap kondisi geomorfologi pesisir dimana ditemukan rataan terumbu karang). Lokasi pemgamatan terdiri dari enam stasiun, dimana pengamatan kondisi komunitas karang dilakukan pada kedalaman 5 m dan 10 m. Pengamatan kualitas air dilakukan pada permukaan perairan, sementara kondisi fisik kawasan (bentuk pantai, substrat dan geomorfologi terumbu karang) dilakukan secara visual. Perbedaan kondisi substrat dan bentuk pantai menyebabkan beberapa lokasi stasiun memiliki titik sampling kedalaman yang berbeda. Peta dan titik stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 3 dan Tabel 1.

Gambar 3 Lokasi stasiun pengamatan terumbu karang dan kondisi lingkungan Tabel 1 Stasiun pengamatan komunitas karang dan kondisi lingkungan perairan di

Krakatau

Nomor Stasiun Kedalaman

(m)

Koordinat

(derajat desimal, akurasi ±30 m)

1 Legokan 10 S 06,09136° E 105,41795°

2 Legon Tuan / Zwarte Hoek

5 dan 10 S 06,14285° E 105,42282°

3 Pasir Panjang 5 S 06,13561° E 105,45014°

4 Legon Cabe / Owl Bay 5 dan 10 S 06,14657° E 105,46241°

5 Tanjung Lesung 5 S 06,09782° E 105,46046°

6 Karang Ampar 5 S 06,09729° E 105,46157°

Deskripsi kondisi stasiun pengamatan pada masing-masing pulau diuraikan sebagai berikut;

1 Pulau Anak Krakatau (Stasiun 1)

Stasiun pengamatan di Anak Krakatau berada di bagian pantai barat pulau atau dikenal juga oleh penduduk lokal sebagai Legokan, dan diduga hanya merupakan satu-satunya sisi pulau yang dapat dijumpai terumbu karang. Pantai yang landai dan datar tidak ditemui di lokasi ini karena kontur berupa tubir mendominasi dari garis pasang surut. Berliuk-liuk mengikuti bentuk garis pantai dan substrat berupa batu besar vulkanik sisa letusan. Batu besar vulkanik yang terdeposit di bagian barat ini diduga merupakan substrat yang baik untuk kolonisasi komunitas karang di pesisir Anak Krakatau.

2 Pulau Rakata (Stasiun 2, 3 dan 4)

Stasiun 2 diambil pada Teluk Zwarte Hoek atau dikenal juga dengan Legon Tuan merupakan teluk yang melebar dan terpapar langsung oleh aktivitas Anak krakatau. Lokasi teluk berada di utara Rakata dengan pantai berpasir sempit, sedangkan dibelakangnnya merupakan tebing bervegatasi lebat berupa tanjung (headland) yang menjorok ke utara. Di sebelah barat tanjung berupa tebing terjal yang melindungi teluk dari pengaruh langsung gelombang, kemudian lebih terbuka dibagian timur laut. Rataan terumbu landai menuju tubir dengan substrat berupa pasir, karang mati dan bebatuan. Terumbu karang dijumpai hingga kedalaman 9-11 m. Jika diamati dari letak geografisnya, karang hidup di lokasi ini diduga dalam keadaan tertekan karena mendapat pengaruh langsung dari aktivitas vulkanik Anak Krakatau.

Stasiun 3 pada lokasi Pasir Panjang merupakan teluk yang berada disisi lain Rakata, sekitar 2 km ke arah timur laut dari Stasiun 2. Dijumpai pantai berpasir sempit sekali di depan stasiun pengamatan, batu besar dan tebing cadas lebih dominan menutupi garis pantai dengan vegetasinya yang lebat termasuk tanjung (headland) dikedua sisinya. Rataan terumbu landai menuju tubir dengan substrat berupa pasir, karang mati dan bebatuan. Terumbu karang hanya dijumpai hingga kedalaman 4-6 m, sedangkan setelahnya hanya hamparan pasir dan beberapa pecahan karang yang diduga hanyut terbawa arus.

Stasiun 4 pada Owl Bay atau dikenal juga dengan Legon Cabe, merupakan teluk kecil di bagian selatan dan memanjang (terbuka) ke utara, berada di sisi timur Rakata dengan pantai pasir yang relatif landai disekitar tanjung. Daerah ini sering dijadikan tempat turis berwisata, baik snorkelling maupun diving. Terdapat

terrace berpasir sebelum menemui rataan terumbu di depan pantai berpasir dekat tanjung, sedangkan pada bagian pantai berbatu sedikit ke utara, terumbu karang dapat dijumpai mulai dari zona intertidal. Rataan terumbu sedikit landai, dan langsung curam seperti tebing setelah tubir. Substrat berupa pasir, pecahan karang dan bebatuan lebih dominan semakin ke utara.

3 Pulau Panjang (Stasiun 5 dan 6)

Stasiun 5 pada Tanjung Lesung merupakan pantai yang berada di sisi timur Pulau Panjang. Hamparan karang hanya dijumpai hingga kedalaman 4-6 m, dengan substrat dasar berupa pasir dan pecahan karang, dan bebatuan sebagai substrat dominan penemplen karang. Kondisi rataan terumbu landai hingga menuju tubir. Tubir tidak terlalu terjal hingga kedalaman 9-12 m, dengan substrat dominan pasir. Stasiun 6 pada Karang Ampar adalah pantai di sisi yang sama dengan stasiun 5 tetapi sedikit ke utara sekitar 500 m. Rataan terumbu antara

stasiun 5 dan 6 beberapa terpisah oleh komponen abiotik seperti pasir dan bebatuan. Kondisi pantai serupa dengan Stasiun 5 demikian juga substrat dan geomorfologi karangnya. Kondisi karang hidup di sekitar lokasi ini adalah sekitar 33.640 % (Bakosurtanal 2007).

Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari penanda lokasi (satu unit GPS Garmin GPSmap 76CSx), transportasi (kapal patroli BKSDA dan kapal Jukung), survei terumbu karang yaitu perangkat penyelaman (SCUBA), transek garis (meteran rol 1000 cm), dokumentasi gambar dan video (kamera bawah air Olympus TG-1 + Housing underwater PT-053; Canon G12 + Housing underwater WP-DC34), papan tulis bawah air dan buku panduan identifikasi karang (Allen dan Steene 1994; Fabricius dan Alderslade 2001, Suharsono 2010 dan Veron 2000a; 2000b; 2000c) serta pengukuran kualitas air (kompas, botol contoh, secchi disc, pH indikator dan refraktometer).

Pengumpulan Data Persiapan lapangan

Persiapan lapangan dilakukan terlebih dahulu dengan mencari informasi lokasi penelitian melalui studi pustaka dan hasil penelitian sebelumnya. Kemudian, melakukan kunjungan pra-survey lokasi untuk menentukan lokasi stasiun dan rencana waktu pengambilan data selanjutnya. Pra-survey dilakukan menggunakan Kapal Patroli BKSDA Lampung dan bantuan beberapa staf Polisi Hutan, kru kapal dan asisten peneliti. Pada kunjungan ini juga dilakukan pengamatan aktivitas antropogenik di lokasi penelitian sebagai upaya pengumpulan informasi pendukung. Pengurusan berkas dan izin penelitian di Kantor BKSDA Lampung dilakukan untuk pengurusan Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) Cagar Alam Krakatau. Izin penelitian di kawasan ini sesuai dengan SIMAKSI Nomor: SI.800/BKSDA.L-1.Prl/2012. Data komunitas karang

Pengumpulan data komunitas karang dilakukan dengan pengukuran dan kalkulasi jumlah kategori komponen bentik, persentase tutupan masing-masing kategori, dan jumlah genera/spesies karang (genera dan species richness). Terdapat beberapa metode yang umum digunakan dalam monitoring terumbu karang (Gambar 4), diantaranya adalah Line Intercept Transect (LIT), Point Intercept Transect (PIT), Chain Intercept Transect (CIT), Video Transect dan

Quadrate Transect (Ohlhorst et al. 1988; Carleton dan Done 1995; English et al.

1994; Brown et al. 2004; Hill dan Wilkinson 2004). Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hal akurasi, efisiensi waktu dan biaya, keanekaragaman generik/spesies, presisi dan sampling. Pada penelitian ini, kami menggunakan LIT dengan bantuan video sampling sebagai metode pengumpulan data keanekaragaman hayati komunitas karang. Pertimbangannya, dimana LIT merupakan metode sampling yang efisien, menghasilkan data kuantitif yang

reliable, untuk peneliti yang berpengalaman sedikit, dan penggunaan equipment

yang juga sedikit (English et al. 1994). Penggunaan video sampling dinilai dapat mengurangi faktor ketidakpastian dan besar kesalahan ketika pencatatan di lapangan.

Gambar 4 Ilustrasi beberapa metode observasi kuantitatif ekosistem terumbu karang (i.e. Point Intercept Transect/PIT, Line Intercept Transect/LIT,

dan Chain Intercept Transect/CIT) (Hill dan Wilkinson 2004), dimana pada penelitian ini digunakan metode LIT (dalam kotak).

Panjang transek yang digunakan adalah 100 m, karena menurut Brown et al.

(2004) transek yang lebih panjang (e.g. 25, 50 dan 100 m) memiliki variabilitas yang lebih tinggi daripada transek yang lebih pendek (e.g. 10 m). Transek garis dengan penanda jarak hingga cm (i.e. meteran gulung) tersebut dibentangkan secara hati-hati pada rataan terumbu karang, sesuai dengan titik sampling dan kedalaman. Lokasi stasiun ditandai dengan GPS Garmin GPSmap 76CSx, sebagai referensi pemetaan stasiun pengamatan. Semua objek (i.e. komponen bentik) dibawah transek garis, berikut jarak transisi antar objek direkam dengan menggunakan kamera digital bawah air Olympus TG-1 + PT-053, baik gambar (still image) dan video. Kemudian, dilakukan pengamatan ulang menggunakan komputer untuk mencatat jumlah dan panjang transisi (i.e. per koloni) komponen bentik yang direkam. Interval masing-masing koloni ini nanti juga digunakan sebagai deskripsi densitas dan ukuran koloni komunitas karang. Daftar kategori komponen bentik yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Klasifikasi kondisi komunitas karang mengikuti kategori komponen bentik dan lifeform karang sesuai dengan English et al. (1994). Identifikasi spesies karang dilakukan dengan metode visual tanpa pengoleksian spesimen dan perlakuan laboratorium berdasarkan petunjuk dan referensi rujukan spesies karang (Allen dan Steene 1994; Fabricius dan Alderslade 2001; Suharsono 2010; Veron 2000a, 2000b, 2000c; Veron dan Stafford-Smith 2011). Komponen karang hidup (LC) terdiri dari kategori Acropora, Non-Acropora dan Softcoral. Apabila komponen LC dijumpai pada garis transek, akan diidentifikasi lifeform dan genus, serta dicatat ukuran koloninya.

Komponen karang mati terdiri dari kategori karang mati yang masih berwarna putih/bleaching (DC), karang mati yang warnanya berubah karena ditumbuhi alga (DCA), dan patahan karang bercabang (R). Komponen lainnya terdiri dari spons (SP), Jenis-jenis alga seperti makro-alga, turf alga, Halimeda,

coralline algae, dan algal assemblage, serta jenis biota lainnya (OT) seperti megabenthos, anemon, lili laut, ascidian dan sebagainya. Sedangkan komponen abiotik merupakan substrat dasar yang tidak ditumbuhi komunitas karang yaitu terdiri dari pasir (S), substrat dasar keras/cadas/bebatuan (RCK), dan apabila jarak antara substrat dan garis transek sejauh > 1 m (WA).

Tabel 2 Klasifikasi komponen bentik (modifikasi dari English et al. 1994)

Komponen Kategori Kode Keterangan

Karang hidup Acropora AC karang Acropora Non Acropora NA karang Non-Acropora Soft Coral SC karang bentuk lunak, akar

bahar

Karang Mati Dead Coral DC karang mati yang masih berwarna putih

Dead Coral with Alga

DCA karang mati yang warnanya berubah karena ditumbuhi alga

Rubble R patahan karang bercabang

Lainnya Sponge SP spons

Alga AA jenis-jenis makroalga

Others OT biota lainnya (megabenthos,

anemon, lili laut, Ascidian dsb)

Abiotik Sand S pasir

Rock RCK substrat dasar yang keras

(cadas)

Water WA jarak substrat >1 m dibawah

transek Tabel 3 Klasifikasi kategori lifeform (English et al. 1994)

Kategori Kode Keterangan

Acropora Branching ACB setidaknya memiliki 2° percabangan, e.g. Acropora palmate, Acropora formosa Encrusting ACE biasanya merupakan lempeng dasar dari

bentuk Acropora yang belum dewasa, e.g. Acropora palifera, Acropora cuneata Submassive ACS kokoh dengan tonjolan (knob) atau

berbentuk seperti baji (wedge), e.g. Acropora palifera

Digitate ACD tidak terdapat percabangan 2°, biasanya dari jenis Acropora humilis, Acropora digitifera and Acropora gemmifera Tabulate ACT lempeng pipih (rata) dan horizontal e.g.

Sambungan Tabel 3

Kategori Kode Keterangan

Non-Acropora Branching CB setidaknya memiliki 2° percabangan, e.g. Seriatopora hystrix

Encrusting CE sebagian besar menempel pada substrat sebagai plat berlapis (laminar), e.g. Porites vaughani, Montipora undata Foliose CF karang yang menempel pada satu tempat

atau lebih, dengan penampakan seperti daun, e.g. Merulina ampliata, Montipora aequituberculata

Massive CM bongkahan padat atau seperti gundukan, e.g. Platygyra daedalea

Submassive CS cenderung membentuk kolom-kolom kecil, tonjolan, atau baji, e.g. Porites lichen, Psammocora digitata

Mushroom CMR karang soliter atau free-living dari famili Fungiidae

Millepora CME fire coral Heliopora CHL blue coral Data lingkungan perairan

Pengumpulan data parameter lingkungan perairan merupakan informasi terhadap kualitas lingkungan perairan sekitar lokasi penelitian. Lokasi sampling pengambilan contoh mengikuti lokasi pengamatan terumbu karang yang dilakukan secara purposive dan representatif terhadap wilayah kajian. Contoh air kemudian dianalisis di Laboratorium Produktivitas Lingkungan (Proling) IPB. Tabel 4 menjelaskan parameter lingkungan yang diukur serta alat dan metode analisis yang digunakan.

Tabel 4 Parameter kualitas lingkungan perairan

Parameter Satuan Metode Keterangan

TSS mg/L APHA 2540-D ex situ

Kekeruhan NTU APHA 2540-C ex situ

Suhu °C Termometer in situ

Arah Arus ° Kompas in situ

Kecerahan m atau % Tali berskala in situ

Salinitas ‰ Refraktometer in situ

pH - APHA 4500 -H+ -B ex situ

Fosfat mg/L APHA 4500 P-E ex situ

Nitrat mg/L APHA 4500 NO3 –E ex situ

Analisis Data Kolonisasi komunitas karang

Analisis kolonisasi atau perkembangan komunitas karang dilakukan berdasarkan deskripsi data temporal dan perbandingan hasil analisis kondisi

komunitas karang secara spasial yang dijumpai dalam kajian ini. Kajian kolonisasi tidak menjelaskan tentang pola suksesi, namun hanya sampai pada deskripsi kolonisasi dan tahap komunitas yang dicapai berdasarkan data yang didapatkan. Pembahasan lebih detil pada status atau kondisi komunitas karang.

Kondisi komunitas karang

Kondisi komunitas karang dianalisis berdasarkan persen tutupan, kekayaan generik dan indeks biodiversitas/keanekaragaman hayati karang (i.e. indeks keanekaragaman, evenness dan dominan genus). Serta densitas dan ukuran koloni komunitas karang yang diukur berdasarkan interval komunitas karang hidup (NA, AC dan SC) yang dijumpai pada garis transek.

Persentase tutupan dan kekayaan spesies/generic/lifeform

Setelah mendapatkan data jumlah dan jarak transisi antar objek komponen bentik dari hasil rekaman gambar (still image) dan video pada garis transek LIT, maka akan didapatkan segmen lifeform dan jumlah genera dan spesies karang. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori lifeform dihitung dengan Rumus 1 (English et al. 1994), yaitu rasio panjang masing-masing lifeform

dengan panjang total transek dikali seratus. Sedangkan, kekayaan spesies / generik / lifeform (S) diketahui berdasarkan jumlah yang dijumpai di sepanjang transek.

100 transek Panjang kategori masing -masing total Panjang upan Persen tut (1) Indeks biodiversitas

Indeks Shannon menginterpretasikan keanekaragaman generik dan lifeform,

yang dihitung dengan Rumus 2 (Krebs 1989; Odum 1996; Bengen 2000; Magurran 2004), dimana pi adalah persen tutupan dari genera / lifeform ke-i (ni) di sepanjang garis transek (N). Indeks keseragaman Shannon (evenness atau

equitability) dihitung dengan Rumus 3 (Krebs 1989; Bengen 2000; Magurran 2004), dimana S adalah kekayaan spesies / generik / lifeform. Sedangkan untuk melihat dominansi antar lifeform dan generik menggunakan Indeks Dominansi Simpson yang dihitung dengan Rumus 4 (Odum 1996; Magurran 2004).

) (log ' 10 1 i s i i p p H (2) S H EH 10 ' log ' (3) 2 N n D i dimana i i p N n (4)

Densitas dan ukuran koloni karang

Distribusi frekuensi ukuran koloni karang dibagi berdasarkan beberapa kelas yaitu; dari 5 cm hingga lebih besar dari 50 cm (i.e. interval Bin 5 cm). Ukuran

karang terkecil yang terukur adalah 5-10 cm, dengan asumsi rata-rata diameter pertumbuhan bulanan koloni karang Scleractinia (kecuali famili Fungiidae) sekitar 1-3 mm (Bak dan Engel 1979; van-Morsel 1988), karang dengan ukuran koloni 5-10 cm berumur sekitar 1-8 tahun. Sedangkan koloni karang dengan ukuran > 50 cm, diduga sudah berumur lebih dari 40 tahun.

Sedangkan koloni dari kelompok free-living (CMR) analisisnya dipisahkan dari koloni karang Scleractinia sesil, karena menurut Bosch (1967), rata-rata kelajuan pertumbuhan tahunan untuk individu karang yang lebih kecil dari spesies

Fungia scutaria, diduga empat hingga enam kali lebih cepat dibandingkan individu karang F. scutaria yang lebih besar. Dengan kata lain, pertumbuhan karang CMR ini tidak memiliki kurva linier. Koloni karang dari kelompok free living di lokasi penelitian dijumpai dari marga Fungia, Ctenactis, Halomitra, Sandalolitha, dan Heliofungia.

Demikian juga dengan koloni karang Octocorallia, menurut Fabricius (1995) rata-rata pertumbuhan radial koloni karang dari marga Sinularia dan

Sarcophyton (famili: Alcyoniidae) adalah berkisar 0.5 cm-1, dan laju pertumbuhan relatif tergantung dari ukuran masing-masing. Pada kedua jenis karang tersebut, laju pertumbuhan relatif menurun dengan peningkatan diameter koloni. Pada

Sinularia, perubahan ukuran koloni dijumpai hanya sedikit setelah berumur 3.5 tahun. Mortalitas kamatian karang tersebut sangat rendah (0.0014 tahun-1) dan tergantung dengan ukuran, serta mengindikasikan ketahanan dari koloni. Dimana, koloni dengan perpanjangan ukuran hingga 10×10 m berpotensi berumur ratusan tahun.

Kerusakan komunitas karang

Tingkat kerusakan komunitas karang dapat dikaitkan dengan perbandingan kondisi karang hidup dan karang mati (Zamani dan Maduppa 2011), yang mana dapat menunjukkan tingkat resiko kematian atau mortalitas karang. Terdapat beberapa indeks yang diajukan sebagai rujukan untuk mengetahui tingkat mortalitas karang, diantaranya seperti Gomez et al. (1994), Jameson et al. (1999), dan Lasagna et al. (2014). Pada kajian ini hanya digunakan Coral Mortality Index

(CMI) menurut Gomez et al. (1994) dan Coral Damage Index (CDI) menurut Jameson et al. (1999), karena sudah banyak diaplikasikan dan parameter yang digunakan sudah termasuk kedalam komponen kajian. Berdasarkan Gomez et al.

(1994) indeks mortalitas karang atau CMI didapatkan dari rasio tutupan karang mati (DCC) dengan jumlah tutupan karang keras hidup (HCC) dan karang mati (DCC) (Rumus 5), dimana karang mati merupakan komposit persen tutupan komponen DC dan DCA tanpa R (rubble). Sedangkan, karang hidup disini komposit dari persen tutupan hidup karang keras (Scleractinia) tanpa SC (soft coral).

DCC HCC

DCC

CMI (5)

Sedangkan menurut Jameson et al. (1999), dua bentuk karang yang rusak secara fisik yaitu gabungan degradasi atau kerusakan yang sudah lalu (rubble) dan baru saja terjadi (broken coral) dapat digunakan untuk menunjukkan indeks kerusakan karang atau Coral Damage Index (CDI). Hal tersebut dirancang untuk

menentukan apakah terumbu karang terancam, dan juga untuk memperkirakan intensitas kerusakan fisik. Stasiun dengan persentase Broken Coral Colony (BCC) ≥ 4% dan/atau persen tutupan Coral Rubble (CR) ≥ 3% ditandai sebagai "hot spot". Dalam hal ini, BCC dapat ditunjukkan sebagai komposit persen tutupan komponen DCA dan DC, sedangkan CR sama dengan persentase tutupan

Dokumen terkait