• Tidak ada hasil yang ditemukan

Colonization of Coral Communities in the Krakatau Strict Marine Nature Reserve, and Management Implications

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Colonization of Coral Communities in the Krakatau Strict Marine Nature Reserve, and Management Implications"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

KOLONISASI KOMUNITAS KARANG DI CAGAR ALAM

LAUT KRAKATAU, DAN IMPLIKASI PENGELOLAANNYA

SINGGIH AFIFA PUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kolonisasi Komunitas Karang di Cagar Alam Laut Krakatau, dan Implikasi Pengelolaannya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014

Singgih Afifa Putra

(4)
(5)

RINGKASAN

SINGGIH AFIFA PUTRA. Kolonisasi Komunitas Karang di Cagar Alam Laut Krakatau, dan Implikasi Pengelolaannya. Dibimbing oleh ARIO DAMAR dan AGUSTINUS M SAMOSIR.

Pada tanggal 26-28 Agustus 1883, setelah tiga bulan menunjukkan akitivitas vulkanik minor, letusan katastrofis menghancurkan lebih dari dua per tiga Pulau Krakatau dan menyisakan sebagian kecil di bagian selatan dari Gunung Rakata. Akibat letusan tersebut cukup untuk men-sterilisasikan ekosistem Pulau Krakatau (di atas dan bawah permukaan laut); dan pulau-pulau sekitar seperti Pulau Sebesi, Sebuku dan Legundi. Pulau-pulau Krakatau memiliki dinamika secara geomorfologi, dan perubahan fisik memberikan efek pada biota, dan pada tingkat pergantian suksesi cukup menarik untuk diamati. Selain itu, biota-biota tropis yang dijumpai di Krakatau dapat memberikan kesempatan langka untuk studi ekologi, khususnya interaksi antar masing-masing komunitas yang berkembang di kawasan ini.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan kondisi dan proses kolonisasi komunitas karang, termasuk status kerusakan komunitas karang dan disturbansi lingkungan yang mempengaruhinya. Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang relevan dan terkini tentang kondisi komunitas karang di Krakatau, serta dapat menjelaskan implikasi terhadap pengelolaan kawasan terumbu karang di Cagar Alam Laut Krakatau.

Suksesi atau perkembangan komunitas (i.e. kolonisasi) karang yang dijumpai di Pulau Anak Krakatau masih mengindikasikan tahap awal kolonisasi, berbeda dengan komunitas karang yang dijumpai di Pulau Rakata dan Panjang. Diversifikasi komunitas karang di kedua pulau tersebut, menunjukkan dominansi spesies oportunis dan pioner (i.e. Pocillopora dan Seriatopora) yang umum dijumpai di Anak Krakatau sudah tergantikan. Kondisi lifeform komunitas karang dijumpai bervariasi antar stasiun pengamatan, dimana lifeform sub-massive

dijumpai mendominasi di Pulau Anak Krakatau, sedangkan lifefrom massive dan

branching lebih mendominasi di Pulau Rakata dan Panjang. Dominansi dari beberapa spesies karang telah mengindikasikan terjadinya proses eksklusi kompetitif di antara komunitas karang. Tiga tipe komunitas karang yang dijumpai dapat dibedakan menurut karakteristik masing-masing kawasan, yaitu komunitas kawasan terpapar, semi terpapar/terlindung, dan terlindung.

Kerusakan komunitas karang di Krakatau berdasarkan nilai CMI secara rata-rata rendah, namun cukup tinggi dijumpai pada komunitas karang kawasan terpapar. Sedangkan menurut kriteria CDI, kondisi kerusakan di Krakatau sudah termasuk kedalam kategori wilayah “hot spot”, dimana sangat memerlukan

(6)
(7)

SUMMARY

SINGGIH AFIFA PUTRA. Colonization of Coral Communities in the Krakatau Strict Marine Nature Reserve, and Management Implications. Supervised by ARIO DAMAR and AGUSTINUS M SAMOSIR.

The eruption and near-total destruction of the volcano Krakatau on the 26 – 28 August 1883 was completely exterminating all ecosystems life in the Krakatau Islands and surrounding area (i.e. Sebesi, Sebuku and Legundi). After three months of minor activity, that catastrophic eruption destroyed over two thirds of Krakatau, only a fraction of Rakata remaining. The islands diversity is geomorphologically dynamic, and the effects of physical changes on the biota, and on the rate of successional turnover, are considerable interesting. In addition, the islands discrete, definable, tropical biota provides a rare opportunity for ecological studies, particularly of communities interactions that has develop in this area.

The purposes of this research were to determine the condition and describe the colonization development of coral communities in the Krakatau Islands after total destruction, including disturbances from natural environment. Benefit was to provide amount recent information of composition, distribution, and structure of coral communities in the Krakatau Islands. Also for explain the extent of coral damage, and the implications for management of coral reefs in the Krakatau Strict Nature Reserve.

This study showed that succession or development of coral communities (i.e. colonization) that found in Anak Krakatau indicated earlier stage of colonization. Where have different with coral communities that found in Rakata and Panjang. The diversification of coral communities on both islands, showed that opportunistic and pioneer species (i.e. Pocillopora and Seriatopora) that generally found in Anak Krakatau has been replaced. Lifeform of coral communities found varied between sites, where sub-massive is dominated lifeform that found in Anak Krakatau, but massive and branching lifeform are more dominant in Rakata and Panjang. There are indication of dominance may already take place through competitive exclusion in coral communities. Three community types were distinguished based on characteristics for each sites, as follows: communities of wave-exposed habitats, communities of semi- exposed to sheltered habitats, and communities of sheltered habitats.

The extent of coral damage that found in Krakatau based on CMI value is low, in average, but high value found in the community of wave-exposed habitat. While, following CDI criteria, the extent of coral damage covered all six sites. This suggests that of the all transects were "hot spots'' that required management action. Although Krakatau Strict Marine Nature Reserve has been declared part of Ujung Kulon National Park in 1983, it is not managed as such because it falls under a different province. Furthermore, it has been managed subsequently by BKSDA Lampung since 1990.

(8)
(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tujuan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

KOLONISASI KOMUNITAS KARANG DI CAGAR ALAM

LAUT KRAKATAU, DAN IMPLIKASI PENGELOLAANNYA

SINGGIH AFIFA PUTRA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Judul Tesis : Kolonisasi Komunitas Karang di Cagar Alam Laut Krakatau, dan Implikasi Pengelolaannya

Nama : Singgih Afifa Putra

NIM : C252100051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Ario Damar, MSi Ketua

Ir Agustinus M Samosir, MPhil Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr Ir Luky Adrianto, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 ini ialah Kolonisasi Komunitas Karang di Cagar Alam Laut Krakatau, dan Implikasi Pengelolaannya.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Ario Damar MSi dan Ir Agustinus M Samosir MPhil selaku komisi pembimbing; Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi MSc selaku penguji luar komisi pembimbing pada ujian tesis, dan Prof Dr Ir Mennofatria Boer DEA selaku ketua program studi ketika ujian tesis dilaksanakan, serta Dr Ir Luky Adrianto MSc selaku ketua program studi yang baru; perizinan melakukan riset di kawasan Krakatau dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung dan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia; serta Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Lampung Selatan untuk penyediaan peralatan SCUBA Diving. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada M Awaluddin dan Bambang Ari Wibowo (Polisi Hutan BKSDA Lampung), tujuh orang kru (anak buah kapal) Kapal Patroli BKSDA Lampung dalam penyediaan logistik dan tranportasi, serta Maulana Sahrin (Ebeng), Pandu Sedya Mada Putra, dan Santia Gardenia Widyaswari SPi MSi yang telah membantu sebagai asisten peneliti selama observasi dilakukan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2014

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xix

DAFTAR GAMBAR xix

DAFTAR LAMPIRAN xxi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Batasan Penelitian 6

2 METODE PENELITIAN 8

Lokasi Penelitian 8

Rancangan Penelitian 8

Rancangan Sampling 10

Peralatan Penelitian 13

Pengumpulan Data 13

Persiapan lapangan 13

Data komunitas karang 13

Data lingkungan perairan 16

Analisis Data 16

Kolonisasi komunitas karang 16

Kondisi komunitas karang 17

Kerusakan komunitas karang 18

Pengelolaan kawasan terumbu karang 19

Analisis statistik 19

3 HASIL 21

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 21

Geografis kawasan pesisir Pulau-pulau Krakatau 21

Iklim dan cuaca di Krakatau dan lokasi sekitarnya 26

Hidro-oseanografi perairan Selat Sunda 27

Kualitas lingkungan perairan di Krakatau 28

Aktivitas antropogenik 31

Kondisi Komunitas Karang 33

Persen tutupan komponen bentik 33

Persen tutupan dan kekayaan generik komunitas karang 38

Biodiversitas komunitas karang 39

Densitas dan ukuran koloni karang 40

Komposisi komunitas karang 45

Kategori komunitas karang 46

Kerusakan Komunitas Karang 51

4 PEMBAHASAN 53

(18)

Disturbansi utama (major) rekolonisasi komunitas karang 53 Mekanisme sebaran (dispersal) komunitas karang 56

Perkembangan Temporal Komunitas Karang 56

Distribusi Komunitas Karang 59

Kolonisasi Komunitas Karang 63

Relasi Ekologis 67

Kompetisi komunitas karang 67

Dominansi komunitas karang 70

Kerusakan Komunitas Karang 72

Pengelolaan Kawasan Konservasi Krakatau 75

Regulasi pengelolaan kawasan Krakatau 75

Permasalahan pengelolaan kawasan terumbu karang di Krakatau 77 Rekomendasi terhadap pengelolaan kawasan Krakatau 80

5 SIMPULAN DAN SARAN 84

Simpulan 84

Saran 84

DAFTAR PUSTAKA 85

(19)

DAFTAR TABEL

1 Stasiun pengamatan komunitas karang dan kondisi lingkungan

perairan di Krakatau 11

2 Klasifikasi komponen bentik (modifikasi dari English et al. 1994) 15 3 Klasifikasi kategori lifeform (English et al. 1994) 15

4 Parameter kualitas lingkungan perairan 16

5 Kualitas lingkungan perairan pada masing-masing stasiun

pengamatan 29

6 Persen tutupan (%), kekayaan/jumlah genus (S), indeks keanekaragaman (H'), evenness (e) dan dominansi (D) komunitas karang (generik) Scleractinia pada masing-masing stasiun pengamatan, angka dalam kurung menjelaskan kedalaman 39 7 Komposisi dan persen tutupan (%) genera karang Octocorallia pada

masing-masing stasiun pengamatan 40

8 Kategori komponen biotik (persen tutupan) untuk analisis AHC 46 9 Rangkuman tutupan bentik (%) dan Coral Mortality Index (CMI)

pada masing-masing stasiun pengamatan di Krakatau 51 10 Kategori substrat dasar (%) untuk kriteria Coral Damage Index

(CDI) disetiap stasiun pengamatan di Krakatau 52

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi penelitian dan kawasan sekitarnya (Thornton dan Rosengren

1988) 8

2 Diagram alur penelitian 10

3 Lokasi stasiun pengamatan terumbu karang dan kondisi lingkungan 11 4 Ilustrasi beberapa metode observasi kuantitatif ekosistem terumbu

karang (i.e. Point Intercept Transect/PIT, Line Intercept Transect/LIT, dan Chain Intercept Transect/CIT) (Hill dan Wilkinson 2004), dimana pada penelitian ini digunakan metode LIT

(dalam kotak). 14

5 Entitas Pulau-pulau Krakatau pada Tahun 1985 (Zabka dan Nentwig 2002 modifikasi dari Thornton dan Rosengren 1988) 21 6 Morfologi dan Pertumbuhan Gunung Anak Krakatau (Sutawidjaja

2006) 23

7 Aktivitas antropogenik yang dijumpai di kawasan Krakatau. (A, B) kapal nelayan yang sedang berteduh; C) beberapa kapal wisatawan yang berkunjung; (D) aktivitas wisatawan di Pantai Anak Krakatau; (E, F) aktivitas wisatawan ketika mendaki puncak Gunung Anak Krakatau (G) tenda yang digunakan wisatawan untuk menginap (H) aktivitas wisata snorkelling di kawasan terumbu karang Legon Cabe 32 8 Persen tutupan komponen substrat dasar perairan (bentik) pada

masing-masing stasiun pengamatan. A) pada kedalaman 10 m, B)

(20)

9 Persen tutupan komponen live coral/karang hidup (AC, NA dan SC) pada masing-masing stasiun pengamatan. A) pada kedalaman 10 m,

B) pada kedalaman 5 m 35

10 Persen tutupan lifeform karang hidup kategori non-Acropora (NA) pada masing-masing stasiun pengamatan. A) pada kedalaman 10 m,

B) pada kedalaman 5 m 36

11 Persen tutupan lifeform karang hidup kategori Acropora (AC) pada masing-masing stasiun pengamatan. A) pada kedalaman 10 m, B)

pada kedalaman 5 m 36

12 Persen tutupan lifeform komponen karang mati (i.e. DC, DCA, R) pada masing-masing stasiun pengamatan. A) pada kedalaman 10 m,

B) pada kedalaman 5 m 37

15 Histogram frekuensi densitas koloni karang Scleractinia (tanpa famili Fungiidae) pada masing-masing stasiun pengamatan, dengan

bin (interval koloni) 5 cm 41

16 Total densitas koloni setiap marga karang dari famili Fungiidae (i.e.

kelompok free-living coral) yang dijumpai di lokasi penelitian 42 17 Histogram frekuensi densitas koloni free-living coral dari famili

Fungiidae pada masing-masing stasiun pengamatan, dengan bin

(interval koloni) 5 cm 43

18 Histogram frekuensi densitas koloni karang Octocorallia pada masing-masing stasiun pengamatan, dengan bin (interval koloni) 5

cm 44

19 Komposisi komunitas karang berdasarkan urutan rangking rata-rata persentase tutupan (±SD) generik dari 8 transek pengamatan di

lokasi penelitian 45

20 Dendrogram pengklusteran 8 titik transek dari 6 stasiun pengamatan. Analisis Agglomerative Hierarchical Clustering (AHC) berdasarkan jarak Sorensen (Bray-Curtis) dan fungsi flexible linkage (β = -0.25). St: Stasiun. Kluster 1 (St 1; 10 m), St 2; 5,10 m), kluster 2 (St 3, 5,

dan 6; 5 m), dan kluster 3 (St 4; 5, 10 m) 49

21 Frekuensi (%) dari masing-masing komponen uji berdasarkan distribusi nilai centroid masing-masing kluster menurut analisis

AHC 49

22 Dokumentasi deskripsi kategori komunitas, A) Komunitas kawasan terpapar, B) komunitas kawasan semi-terpapar/terlindung, C)

Komunitas kawasan terlindung 50

23 Frekuensi jumlah spesies karang keras (Scleractinia) pada beberapa tahun pasca Letusan 1883 di Krakatau. Data berdasarkan observasi Sluiter (1890) untuk Tahun 1889; Salm et al. (1982) in Tomascik et al. (1997a) untuk Tahun 1981-1982; Widiastuti (2002) untuk Tahun

(21)

24 Interaksi kompetitif antar komunitas karang yang di jumpai di lokasi penelitian. Kompetisi antara massive Porites sp. dengan branching Acropora sp. (A), dan Montipora sp. (B); antara branching Porites

sp. dengan Montipora sp. (C); antara massive Porites sp. dengan spons (D); campuran antar beberapa spesies seperti Porites sp,

encrusting Millepora sp. dan Palythoa sp. (Zoantharia: Sphenopidae) (E); antara branching Montipora sp. dengan

Heteractis sp. (Actinairia: Stichodactylidae) (F); dan antar beberapa jenis Octocorallia seperti, famili Xeniidae (G), dan Alcyoniidae (H,

I) dengan beragam karang Scleractinia 69

25 Dominansi Octocorallia (Famili: Xeniidae) pada komunitas karang di Pulau Rakata (A), Xeniidae berkembang pada substrat sedimen

(B) dan dead coral / rubble (C) 71

26 Kerusakan koloni karang yang dijumpai di Krakatau yang diakibatkan oleh Acanthaster planci (A), tube former (B), predasi ikan / fish bite (C), overgrowth alga (D), sediment damage (E), perubahan warna tissue seperti pigmentation response pada koloni

Fungia sp. (F), dan penyakit karang seperti black band disease pada koloni Montipora sp. (G), serta infeksi tidak teridentifikasi pada beberapa koloni karang Acropora spp. (H, I, J) 74 27 Design kawasan konservasi yang diajukan oleh Genolagani (1983),

kemudian disetujui menjadi kawasan suaka alam (i.e. cagar alam) berdasarkan SK MenHut No. 85/Kpts-II/1990, dengan batasan sejauh 3 km dari titik terluar Pulau-pulau Krakatau 82

DAFTAR LAMPIRAN

1 Daftar dan distribusi komunitas karang yang dikenali di setiap

Stasiun pengamatan 97

2 Persen tutupan komponen komunitas karang di Krakatau 100 3 Hasil uji ANOVA (single factor) terhadap data biodiversitas

komunitas karang Scleractinia (i.e. PT, S, H’, e, dan D) antar kedalaman (i.e. 5 dan 10 m) dan antar pulau (i.e. Pulau Anak Krakatau, Rakata dan Panjang) di lokasi penelitian (Alpha = 0.05). 101 4 Hasil uji ANOVA (single factor) terhadap set data persen tutupan

genera karang Octocorallia di lokasi penelitian. Alpha = 0.05 102 5 Hasil uji ANOVA (two factor without replication) antara set data

stasiun pengamatan dan interval koloni komunitas karang Scleractinia (tanpa famili Fungiidae). Alpha = 0.05 103 6 Hasil uji ANOVA (two factor without replication) antara set data

stasiun pengamatan dan interval koloni komunitas karang

Scleractinia famili Fungiidae. Alpha = 0.05 104

7 Hasil uji ANOVA (two factor without replication) antara set data stasiun pengamatan dan interval koloni komunitas karang

Octocorallia. Alpha = 0.05 105

(22)

9 Hasil uji ANOVA (two factor without replication) antara set data persen tutupan masing-masing lifeform komunitas karang dan

stasiun pengamatan. Alpha = 0.05 110

10 Hasil uji ANOVA (single factor) antara set data persen tutupan masing-masing komponen karang hidup dan stasiun pengamatan.

(23)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kawasan Krakatau pada awalnya merupakan sebuah pulau vulkanik besar dengan tiga gunung berapi aktif yaitu Rakata, Danan dan Perbuwatan. Pada tanggal 26-28 Agustus 1883, setelah tiga bulan menunjukkan akitivitas vulkanik minor, terjadi letusan katastrofis yang menghancurkan lebih dari dua per tiga pulau dan menyisakan sebagian kecil di bagian selatan dari badan Gunung Rakata (Simkin dan Fiske 1983). Selama 18 jam, erupsi menghasilkan deposit material vulkanik sekitar 14 km3 dalam radius 15 km (Mandeville et al. 1996). Aliran piroklastik bawah laut memiliki ketebalan rata-rata 20 m (Sigurdsson et al. 1991) menutupi dasar laut dengan temperatur 475-550 °C (Mandeville et al. 1994), dan men-sterilisasikan entitas Pulau Krakatau (di atas dan bawah permukaan laut); dan pulau-pulau sekitar seperti Pulau Sebesi, Sebuku dan Legundi (Hurlbut dan Verbeek 1887).

Pertanyaan tentang pemusnahan total dari fauna di entitas Pulau-pulau Krakatau pada tahun 1883 tidak dapat disimpulkan secara absolut, tetapi dari semua bukti yang pasti diduga 99% dari fauna yang hidup sekarang merupakan pendatang (invaders) baru (Dammerman 1922). Sebelum Tahun 1929-1930, kawasan Krakatau terdiri atas Pulau Rakata, Sertung, dan Panjang. Sebuah pulau gunung berapi baru yaitu Anak Krakatau muncul di bekas kaldera Pulau Krakatau sejak Agustus 1930, dan pada 2010 telah berdiri sekitar 450 mdpl. Terumbu karang tepi (fringing reef) telah terbentuk kemudian di Anak Krakatau, pulau-pulau sisa Krakatau (i.e. Pulau Rakata, Sertung, dan Panjang), dan daerah sekitarnya yang terkena dampak letusan dan tsunami (Starger et al. 2010), kondisi ini menyajikan kesempatan unik untuk mempelajari perakitan dan perkembangan ekosistem bentik setelah pemusnahan total sebelumnya.

Kajian bidang biologi di kawasan Krakatau menyangkut dua eksperimen alami jangka panjang yang terpisah (nested). Pertama, adalah kondisi yang disebabkan oleh letusan katastrofis Tahun 1883, dimana diduga telah menghilangkan biota-biota di Rakata, sisa-sisa Pulau Krakatau, dan pulau-pulau yang berdekatan (i.e. Pulau Sertung dan Panjang). Survei botani dan zoologi telah dilakukan secara berjeda (interval) sejak Tahun 1883, dalam upaya untuk memantau perekrutan ulang (reassembly) dari komunitas hutan hujan tropis muson di pulau-pulau ini, dari titik awal nol (t0). Kemunculan Pulau Anak Krakatau pada Tahun 1930 sebagai pulau ke-empat dari entitas Pulau-Pulau Krakatau adalah kondisi awal dari eksperimen alami jangka panjang yang kedua. Kolonisasi Anak Krakatau dilakukan baik oleh hewan dan tumbuhan, meskipun diduga dari sumber populasi yang cukup dekat (pulau-pulau lainnya yang berjarak 3–5 km), namun sampai batas tertentu menyebabkan “ulangan” dari proses yang telah terjadi, dibandingkan pulau-pulau di sekitar yang lebih tua > 50 tahun (i.e.

Pulau Rakata, Panjang, dan Sertung).

(24)

secara geomorfologi (Bird dan Rosengren 1983, Sumartadipura 1985, Sudradjat 1983, Whittaker et al. 2000, Sutawidjaja 2006), dan perubahan fisik memberikan efek pada biota, dan pada tingkat pergantian suksesi, cukup menarik untuk diamati. Selain itu, biota-biota tropis di kepulauan ini dapat memberikan kesempatan langka untuk studi ekologi, khususnya interaksi tanaman dan hewan (Thornton dan Rosengren 1988).

Perekrutan dan struktur komunitas karang secara umum telah intensif dipelajari (Pearson 1981; Huston 1985; Wood 1998), termasuk perbandingan rekolonisasi karang setelah disturbansi bencana pasut rendah alami (unpredicted) dengan gangguan akibat manusia (man-made) di Teluk Eilat, Laut Merah (Loya 1976). Perekrutan dan suksesi ekologis komunitas karang pada gunung berapi pernah diteliti dalam beberapa studi kasus. Grigg dan Maragos (1974) mengamati hamparan karang pada rendaman lava selama kurang dari dua tahun di Hawaii. Tomascik et al. (1996) melaporkan komunitas karang yang sangat beragam pada lava umur lima tahun setelah letusan katastrofis Gunung Api di Laut Banda (Indonesia bagian timur), yang mana membentuk tempat perlindungan baru dan sumber larva untuk daerah sekitarnya. Namun, rekolonisasi yang terjadi di Gunung Api Banda dan Hawaii berasal dari sumber-sumber terdekat yang langsung berbatasan dengan aliran lava bersangkutan. Sedangkan akibat tingkat kerusakan di Krakatau, semua proses kolonisasi Krakatau diduga berasal dari lokasi lain.

Suharsono et al. (2003) kemudian melanjutkan pengamatan suksesi karang di bekas muntahan lahar Gunung Api di Laut Banda tersebut. Keanekaragaman jenis karang yang ditemukan relatif rendah jika dibandingkan dengan lokasi lain yang sama-sama terletak dalam kawasan coral triangle (coral triangle merupakan pusat dari keanekaragaman jenis karang dunia. 223 jenis yang mewakili 63 genera dari 17 famili karang dijumpai). Rendahnya keanekaragaman tersebut diduga akibat rendahnya variasi habitat, pola arus dan karena adanya up welling serta posisi pulau yang berada di ujung timur laut dari Laut Banda.

Kajian rekolonisasi komunitas karang hermatifik di Pulau Besar Hawaii oleh Grigg dan Maragos (1974) menjelaskan bahwa terumbu karang di sana dapat mencapai kematangan suksesi (successional maturity) hanya dalam waktu 50 tahun rekolonisasi. Namun, pada kajian selanjutnya (Grigg 1983) disimpulkan bahwa proses tersebut biasanya dapat saja terganggu. Kondisi puncak suksesi hanya dijumpai di daerah yang terlindung dari disturbansi gelombang. Skala waktu untuk perkembangan fitur morfologi skala besar ada diurutan ribuan hingga jutaan tahun. Waktu/umur dari dasar (batuan basal) di pulau-pulau yang lebih tua secara progresif meunjukkan bahwa sistem spur and groove (formasi habitat yang secara bergantian antar pasir dan karang dimana berorientasi tegak lurus dari pantai atau beting karang) dapat berkembang setidaknya 6.000 hingga 9.000 tahun, fringing reef (karang tepi) dalam 2.5 juta tahun dan sistem barrier reef-atoll (karang penghalang dan atol) sekitar 12 juta tahun.

Recovery atau pemulihan komunitas di daratan Krakatau telah dikaji dengan sangat lengkap (e.g. Wheeler 1924; Thornton et al. 1988; Partomihardjo et al.

(25)

Namun, karang-karang pertama ini kemudian juga terkena dampak aktivitas vulkanik (Dammerman 1922, Umbgrove 1930 in Starger et al. 2010).

Kajian survei genetik terkini di Pulau-pulau Krakatau dari hasil penelitian Barber et al. (2002), menunjukkan tingkat keanekaragaman haplotypic dan nukleotida yang sangat tinggi dari 2 populasi udang mantis, Haptosquilla pulchella dan Haptosquilla glyptocercus (Stomatopoda: Protosquillidae). Tingkat keanekaragaman tersebut sebanding dengan populasi lain yang tidak terganggu di seluruh Indo-Pasifik. Sumber larva untuk Krakatau dimana terbatas dari terumbu karang bagian selatan Jawa dan Laut Flores. Rekolonisasi dan pemulihan yang cepat dari keanekaragaman genetik dalam populasi Krakatau menunjukkan bahwa penyebaran larva dari sumber populasi yang berganda dan beragam memberi kontribusi besar terhadap demografi komunitas lokal pada tahap intermediate, baik dalam skala waktu (puluhan hingga ratusan tahun) maupun skala spasial (puluhan hingga ratusan kilometer). Selanjutnya, berdasarkan kajian Starger et al.

(2010), menunjukkan bahwa sebagian besar keanekaragaman genetik karang

Pocillopora damicornis dan Seriatopora hystrix (Scleractinia: Pocilloporidae) di Krakatau telah pulih. Perhitungan dan perkiraan aliran gen menunjukkan bahwa rekolonisasi karang tersebut terutama berasal dari sistem terumbu alirah hulu (upstream) terdekat, yaitu Kepulauan Seribu, dengan catatan masukan larva dari daerah lain juga dapat terjadi. Hal tersebut menjelaskan bahwa pemulihan keanekaragaman genetik pada hewan karang pembentuk terumbu (i.e.

Scleractinia) dapat terjadi pada urutan puluhan (decades) dan ratusan tahun (centuries) daripada jangka waktu ribuan tahun (millenia).

Sejalan dengan itu, menurut Pearson (1981) komunitas karang setidaknya membutuhkan beberapa dekade untuk pulih dari disturbansi alami utama (i.e.

badai siklon, aktivitas vulkanik, pasang surut katastrofis, disturbansi oleh manusia, dan serangan Acanthaster planci). Pemulihan dapat berlangsung dengan regenerasi sebagian dari koloni karang rusak dan fragmen yang dihasilkan oleh kerusakan mekanis selama terjadinya badai. Namun, dalam hampir setiap studi kasus pemulihan banyak terjadi dengan rekolonisasi daerah kosong (denuded) oleh kolonisasi atau settlement larva karang. Kolonisasi karang dipengaruhi oleh proses suksesi dan disturbansi. Dimana, sebelum larva karang dapat menetap pada permukaan substrat baru diduga diperlukan periode setidaknya satu tahun dimana substrat tersebut dapat terkondisikan.

Perumusan Masalah

(26)

kedalaman, salinitas dan faktor pengendapan baik di dalam air maupun di atas permukaan karang yang dapat berpengaruh negatif terhadap kondisi karang (Nybakken 1988). Thamrin (2006) menambahkan faktor pembatas lain yaitu kondisi cahaya, pergerakan air (arus), substrat dan kecerahan perairan.

Lebih detil menurut Bengen (2013) bahwa disturbansi utama terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang berasal dari beragam kegiatan pembangunan baik langsung dan tidak langsung berpengaruh pada ekosistem terumbu karang, seperti; konversi lahan atas dan pesisir, pencemaran laut, overfishing

(penangkapan ikan berlebih), destructive fishing (pengkapan ikan dengan cara merusak), dan perubahan iklim global. Disebutkan juga disturbansi lain yang cukup menonjol terhadap degradasi ekosistem terumbu karang lebih disebabkan oleh pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebagai sumber pangan (ikan-ikan karang), sumber bahan bangunan (galian karang), komuditas perdagangan (ikan hias), dan obyek wisata (keindahan dan keanekaragaman hayati). Degradasi akibat pemanfaatan sebagai sumber pangan dan ikan hias sebagian besar dikarenakan oleh penggunaan bahan peledak, tablet potas dan sianida. Sebagai obyek wisata, degradasi ekosistem terumbu karang terlihat dari kerusakan-kerusakan fisik karang yang disebabkan oleh pembuangan jangkar kapal/perahu yang membawa wisatawan ke lokasi terumbu karang. Kerusakan juga dapat diakibatkan oleh perilaku wisatawan, misalnya penginjakan terumbu karang oleh penyelam yang kurang berpengalaman maupun oleh penyelam yang memburu ikan. Sedangkan disturbansi akibat perubahan iklim terlihat dari konsekuensi nyata dari perubahan iklim itu sendiri, diantaranya yaitu dari rata-rata naiknya suhu permukaan laut, perubahan keasaman laut (Bengen 2013) dan penurunan pH, perubahan pola arus laut, perubahan curah hujan dan aliran sungai, serta frekuensi dan intensitas cuaca ekstrim (Jompa 2013), yang pada akhirnya memberikan dampak negatif pada kehidupan karang, seperti meningkatnya kerentanan karang terhadap tekanan lingkungan dan menurunnya tutupan karang hidup akibat pemutihan karang (bleaching) (Bengen 2013). Semua faktor-faktor tersebut mempengaruhi proses biologis mulai dari gen, spesies tertentu, kelompok hewan sampai ekosistem laut skala besar dan pada akhirnya juga mempengaruhi nelayan, penduduk pesisir, dan ketahanan pangan manusia secara umum (Jompa 2013).

(27)

Dampak dari polusi daratan, praktik penangkapan ikan yang merusak dan perubahannya sepanjang waktu di Indonesia menurut Edinger et al. (1998) dapat menyebabkan degradasi terumbu dan keanekaragaman hayati karang. Tekanan dari polusi daratan diikuti dengan penurunan (reduction) sekitar 40-70 % keanekaragamn spesies karang pada setiap kedalaman, dengan pengaruh terbesar pada perairan dalam (i.e. 10 m) dibandingkan pada perairan dangkal (i.e. 3 m). Sedangkan kerusakan mekanis terhadap terumbu karang secara umum mengurangi 50 % keanekaragaman spesies karang pada perairan dangkal, dengan efek minor pada perairan yang lebih dalam. Pengurangan keanekaragaman pada kawasan perairan dangkal kurang lebih hampir sama dengan pengurangan yang disebabkan kerusakan mekanis alami, seperti badai atau bertumbuh pada dasar substrat yang tidak stabil, tetapi kerusakan mekanis dalam bentuk alamiah ini juga dapat mengurangi keanekaragaman pada perairan yang lebih dalam.

Selain dari destructive fishing, overfishing, pencemaran, sedimentasi dan eutrofikasi, serta makroalga yang invasif terhadap karang, Jompa (2013) menjelaskan penyebab lainnya dari kerusakan karang adalah bencana alam (e.g.

tsunami, gempa bumi, dan badai tropis), penambangan batu karang sebagai bahan bangunan dan kapur, kerusakan akibat rekreasi, pemangsaan karang oleh bintang laut berduri (Acanthaster planci) dan Drupella spp., serta infeksi berbagai penyakit karang. Dampak ekologis dari setiap penyebab kerusakan karang tersebut juga bervariasi yang pada dasarnya memiliki implikasi penting terhadap kemampuan terumbu karang tersebut untuk dapat memulihkan diri secara alami.

Huston (1985) menjelaskan bahwa terumbu karang merupakan sistem yang tidak seimbang (non-equilibrium system), dimana eksklusi kempetitif (i.e.

Gause’s principle) dipengaruhi oleh frekuensi disturbansi, seperti dugaan dari hipotesis disturbansi menengah atau intermediate. Ditekankan juga bahwa pentingnya disturbansi (i.e. mortalitas secara periodik) tersebut dalam membatasi dominansi kompetitif, yang mana selanjutnya dapat mempertahankan keanekaragaman spesies. Disturbansi yang mempengaruhi terumbu karang menurut Huston adalah disturbansi abiotik (e.g. paparan pasang surut, aksi gelombang dan sedimentasi), biotik (e.g. herbivora dan koralivora) dan gradien kedalaman.

Menurut Huston (1985), asumsi dasar dari pandangan umum atau paradigma dari sistem non-equilibrium, adalah faktor kompetisi (terhadap sumberdaya yang relevan seperti ruang, cahaya, plankton, etc) disebutkan intensif, dan jika interaksi kompetitif memberikan dampak terhadap proses akhir, hasilnya proses tersebut biasanya akan mengeliminasi hampir setiap spesies dan dominansi oleh satu atau beberapa spesies, dengan asosiasi pengurangan keanekaragaman. Faktor-faktor yang dapat menghambat proses eksklusi kompetitif tersebut akan menghasilkan keanekaragaman yang tinggi. Tingkat pertumbuhan yang cepat akan mempercepat proses jika kompetisi berhubungan dengan pertumbuhan. Jadi, keanekaragaman tertinggi diekspektasikan pada tingkat pertumbuhan yang rendah dimana masih memadai untuk dugaan kelangsungan hidup. Demikian juga, dengan absennya proses disturbansi yang kompetitif akan mengarah pada rendahnya keanekaragaman, sehingga keanekaragaman tertinggi diekspektasikan ketika mortalitas periodik membatasi dominansi beberapa spesies.

(28)

komunitas karang mencampai nilai puncak sebelum tahap klimaks tercapai. Penurunan keanekaragaman saat mendekati klimaks diduga karena kompetisi interspesifik terhadap ruang, dimana mengarah terhadap monopoli sumberdaya. Perbandingan struktur komunitas dengan terumbu karang tropis lainnya mengungkapkan bahwa pola tersebut diduga hanya berlaku untuk komunitas yang terkendali secara fisik. Disturbansi berselang (intermittent), baik biotik maupun abiotik yang telah dibahas sebelumnya, dapat menyimpulkan mekanisme peningkatan kekayaan spesies karang. Menurut Tomascik et al. (1996), hubungan berlawanan (invers) antara keanekaragaman dan persen tutupan diduga adalah fungsi dari stabilitas fisik dalam jangka panjang, serta kondisi hidrologi yang mendukung monopoli sumberdaya oleh beberapa spesies kompetitif superior. Hasil kajian Tomascik et al. (1996) tersebut menunjukkan komunitas karang pada tahap awal suksesi ekologi di aliran lava terlindung, yang mana ditandai dengan tutupan dan kekayaan spesies karang yang tinggi.

Berdasarkan ulasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka indikasi keberlanjutan komunitas karang di kawasan Krakatau diduga sangat rentan terhadap disturbansi yang terdapat di sekitar kawasan. Terumbu karang di Krakatau termasuk ke dalam kelompok fringing reef (Sluiter 1890; Starger et al.

2010; Tomascik et al. 1997b) dimana ekosistem terumbu karang tumbuh di tepi-tepian pulau atau di sepanjang pantai yang luas menghadap langsung ke laut. Mempelajari proses suksesi dan kolonisasi komunitas karang setelah pemusnahan total di entitas Pulau-pulau Krakatau diperlukan sebagai acuan dasar dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang Krakatau.

Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk:

1 Menjelaskan proses kolonisasi komunitas karang di Krakatau 2 Menentukan kondisi komunitas karang di Krakatau

3 Menilai status kerusakan komunitas karang, dan pengelolaan kawasan terumbu karang di Krakatau.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang relevan dan terkini tentang kondisi komunitas karang di Krakatau, serta menjelaskan implikasinya terhadap pengelolaan kawasan konservasi terumbu karang di Krakatau.

Batasan Penelitian

(29)

1 Keterbatasan data perkembangan komunitas karang selama proses rekolonisasi pasca letusan katastrofis Tahun 1883. Sehingga, penelitian ini tidak sampai mengkaji pola sukesi komunitas karang, namun hanya terbatas hingga deskripsi diversifikasi komunitas.

2 Keterbatasan data hidro-oseanografi yang lebih relevan dan representatif (e.g. salinitas, aktivitas gelombang, arus permukaan, pasang surut, sedimentasi, padatan total tersuspensi (TSS), padatan total terlarut (TDS), dan kedalaman/ batimetri)

(30)

2 METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Pulau-pulau Krakatau terletak di kawasan Selat Sunda (i.e. di antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa), atau secara geografis terletak di antara koordinat 06°03’15” LS - 06°10’30” dan 105°21’15” - 105°25’16.5” BT. Secara umum, kawasan konservasi di Krakatau terbagi menjadi dua bagian, yaitu kawasan konservasi daratan (i.e. cagar alam) dan kawasan konservasi laut (i.e. cagar alam laut). Terdapat empat pulau yang termasuk ke dalam entitas Pulau-pulau Krakatau yaitu Pulau Rakata, Panjang, Sertung dan Anak Krakatau. Pada penelitian ini hanya dapat diobservasi tiga pulau, karena alasan efisiensi waktu, dana, dan kondisi alam di lapangan. Ketiga pulau tersebut adalah Pulau Anak Krakatau, Rakata dan Panjang. Komunitas karang yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah terumbu tepi (fringing reef) yang dijumpai di ketiga pulau tersebut. Lokasi Pulau-pulau Krakatau dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Lokasi penelitian dan kawasan sekitarnya (Thornton dan Rosengren 1988)

Rancangan Penelitian

(31)

sebelumnya telah dilakukan survei untuk deskripsi lokasi penelitian dan penentuan lokasi stasiun pengamatan. Survei pendahuluan telah dilakukan sebelumnya (Agustus 2011 dan Oktober 2012) untuk penentuan lokasi stasiun dan pengumpulan data lainnya (i.e. deskripsi lokasi penelitian). Pengamatan lapangan telah dilakukan antara tanggal 31 Desember 2012 – 6 Januari 2013.

Penjelasan proses suksesi atau kolonisasi komunitas karang dalam penelitian ini dirancang menggunakan data temporal dan spasial. Data temporal didapatkan melalui literatur dan kajian-kajian terdahulu, terutama untuk mengetahui indikasi rekolonisasi kedua komunitas karang di Pulau Anak Krakatau pasca timbul Tahun 1929-1930. Sedangkan data spasial merupakan hasil observasi lapang pada penelitian ini, yang mana digunakan untuk menjelaskan kondisi komunitas karang terkini / terbaru (recent). Terkait dengan penyebaran (dispersal) komunitas karang, pemilihan lokasi stasiun pengamatan didasarkan pada paparan terhadap dugaan habitat sumber populasi komunitas karang, dimana menurut Starger et al. (2010), berasal dari Kepulauan Seribu, atau dari arah timur laut Pulau-pulau Krakatau. Stasiun-stasiun yang diduga terpapar langsung berada di bagian timur Pulau Panjang dan Rakata, sedangkan stasiun yang lebih terlindung berada di bagian barat pulau Anak Krakatau, dan Rakata. Penjelasan lebih detil tentang stasiun pengamatan dijelaskan pada subbab rancangan sampling.

Kajian proses kolonisasi di lakukan pada kawasan dimana diduga terjadi rekolonisasi awal, yaitu pada daerah-daerah terlindung dan berteluk di Pulau Rakata dan Panjang. Sedangkan, kolonisasi yang terdapat di Pulau Anak Krakatau diamati sebagai acuan pembentukan karang yang lebih muda (i.e. tahap awal proses rekolonisasi yang ke-2). Tahap kolonisasi pertama ditentukan di tiga stasiun pengamatan Pulau Rakata yaitu di sekitar Pantai Zwarte Hoek, Pasir Panjang dan Owl Bay, serta dua stasiun pengamatan di Pulau Panjang yaitu Pantai Karang Ampar dan Tanjung Lesung. Selanjutnya tahap kolonisasi kedua diamati di sekitar Pantai Legokan pada bagian barat Pulau Anak Krakatau. Sejak kemunculan pada Tahun 1929-1930, Anak Krakatau telah memberikan tekanan yang cukup berarti terhadap komunitas biotik yang mengalami perekrutan ulang. Menurut Sutawidjaja (2006), pembentukan leleran lava padat di sebelah barat-selatan (south-west) Pulau Anak Krakatau berkisar antara Tahun 1973-1996. Sedangkan, leleran lava baru yang teramati pada Tahun 2012 terbentuk pada bagian selatan Anak Krakatau, dan menutupi sebagian leleran lava Tahun 1993 dari kawah bagian luar ke arah laut.

(32)

Analisis statistika deskriptif digunakan untuk melihat deskripsi komunitas karang, sedangkan siginifikansi antar parameter dianalisis dengan menggunakan uji Analisis Varian (ANOVA). Selanjutnya, untuk melihat hubungan antar stasiun pengamatan digunakan analisis kluster dengan teknik Agglomerative Hierarchical Clustering (AHC). Data-data hasil analisis tersebut kemudian dijadikan acuan untuk medeskripsikan implikasi terhadap penatakelolaan kawasan konservasi di lokasi penelitian. Gambar 2 merupakan ringkasan dari rancangan penelitian, dan proses untuk mengetahui kolonisasi dan proses suksesi, kondisi komunitas karang, dan implikasi terhadap pengelolaan terumbu karang di Pulau-pulau Krakatau.

Gambar 2 Diagram alur penelitian

Rancangan Sampling

Pengumpulan data lapangan dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data komunitas karang yang mencakup kekayaan spesies/genera, keanekaragaman, persentase tutupan, dan data kondisi lingkungan. Lokasi pengamatan lapangan dirancang untuk mewakili kawasan penelitian dengan metode purposive sampling (i.e. berdasarkan hasil observasi dan pengamatan

Deskripsi lokasi penelitian

Sampling sistematik

Analisis deskriptif dan

uji ANOVA

Hubungan antar lokasi stasiun

dengan analisis kluster

Komunitas karang Lingkungan perairan

Penentuan lokasi stasiun

Implikasi bagi pengelolaan

(33)

terhadap kondisi geomorfologi pesisir dimana ditemukan rataan terumbu karang). Lokasi pemgamatan terdiri dari enam stasiun, dimana pengamatan kondisi komunitas karang dilakukan pada kedalaman 5 m dan 10 m. Pengamatan kualitas air dilakukan pada permukaan perairan, sementara kondisi fisik kawasan (bentuk pantai, substrat dan geomorfologi terumbu karang) dilakukan secara visual. Perbedaan kondisi substrat dan bentuk pantai menyebabkan beberapa lokasi stasiun memiliki titik sampling kedalaman yang berbeda. Peta dan titik stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 3 dan Tabel 1.

Gambar 3 Lokasi stasiun pengamatan terumbu karang dan kondisi lingkungan

Tabel 1 Stasiun pengamatan komunitas karang dan kondisi lingkungan perairan di Krakatau

Nomor Stasiun Kedalaman

(m)

Koordinat

(derajat desimal, akurasi ±30 m)

1 Legokan 10 S 06,09136° E 105,41795°

2 Legon Tuan / Zwarte Hoek

5 dan 10 S 06,14285° E 105,42282°

3 Pasir Panjang 5 S 06,13561° E 105,45014°

4 Legon Cabe / Owl Bay 5 dan 10 S 06,14657° E 105,46241°

5 Tanjung Lesung 5 S 06,09782° E 105,46046°

6 Karang Ampar 5 S 06,09729° E 105,46157°

(34)

1 Pulau Anak Krakatau (Stasiun 1)

Stasiun pengamatan di Anak Krakatau berada di bagian pantai barat pulau atau dikenal juga oleh penduduk lokal sebagai Legokan, dan diduga hanya merupakan satu-satunya sisi pulau yang dapat dijumpai terumbu karang. Pantai yang landai dan datar tidak ditemui di lokasi ini karena kontur berupa tubir mendominasi dari garis pasang surut. Berliuk-liuk mengikuti bentuk garis pantai dan substrat berupa batu besar vulkanik sisa letusan. Batu besar vulkanik yang terdeposit di bagian barat ini diduga merupakan substrat yang baik untuk kolonisasi komunitas karang di pesisir Anak Krakatau.

2 Pulau Rakata (Stasiun 2, 3 dan 4)

Stasiun 2 diambil pada Teluk Zwarte Hoek atau dikenal juga dengan Legon Tuan merupakan teluk yang melebar dan terpapar langsung oleh aktivitas Anak krakatau. Lokasi teluk berada di utara Rakata dengan pantai berpasir sempit, sedangkan dibelakangnnya merupakan tebing bervegatasi lebat berupa tanjung (headland) yang menjorok ke utara. Di sebelah barat tanjung berupa tebing terjal yang melindungi teluk dari pengaruh langsung gelombang, kemudian lebih terbuka dibagian timur laut. Rataan terumbu landai menuju tubir dengan substrat berupa pasir, karang mati dan bebatuan. Terumbu karang dijumpai hingga kedalaman 9-11 m. Jika diamati dari letak geografisnya, karang hidup di lokasi ini diduga dalam keadaan tertekan karena mendapat pengaruh langsung dari aktivitas vulkanik Anak Krakatau.

Stasiun 3 pada lokasi Pasir Panjang merupakan teluk yang berada disisi lain Rakata, sekitar 2 km ke arah timur laut dari Stasiun 2. Dijumpai pantai berpasir sempit sekali di depan stasiun pengamatan, batu besar dan tebing cadas lebih dominan menutupi garis pantai dengan vegetasinya yang lebat termasuk tanjung (headland) dikedua sisinya. Rataan terumbu landai menuju tubir dengan substrat berupa pasir, karang mati dan bebatuan. Terumbu karang hanya dijumpai hingga kedalaman 4-6 m, sedangkan setelahnya hanya hamparan pasir dan beberapa pecahan karang yang diduga hanyut terbawa arus.

Stasiun 4 pada Owl Bay atau dikenal juga dengan Legon Cabe, merupakan teluk kecil di bagian selatan dan memanjang (terbuka) ke utara, berada di sisi timur Rakata dengan pantai pasir yang relatif landai disekitar tanjung. Daerah ini sering dijadikan tempat turis berwisata, baik snorkelling maupun diving. Terdapat

terrace berpasir sebelum menemui rataan terumbu di depan pantai berpasir dekat tanjung, sedangkan pada bagian pantai berbatu sedikit ke utara, terumbu karang dapat dijumpai mulai dari zona intertidal. Rataan terumbu sedikit landai, dan langsung curam seperti tebing setelah tubir. Substrat berupa pasir, pecahan karang dan bebatuan lebih dominan semakin ke utara.

3 Pulau Panjang (Stasiun 5 dan 6)

(35)

stasiun 5 dan 6 beberapa terpisah oleh komponen abiotik seperti pasir dan bebatuan. Kondisi pantai serupa dengan Stasiun 5 demikian juga substrat dan geomorfologi karangnya. Kondisi karang hidup di sekitar lokasi ini adalah sekitar 33.640 % (Bakosurtanal 2007).

Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari penanda lokasi (satu unit GPS Garmin GPSmap 76CSx), transportasi (kapal patroli BKSDA dan kapal Jukung), survei terumbu karang yaitu perangkat penyelaman (SCUBA), transek garis (meteran rol 1000 cm), dokumentasi gambar dan video (kamera bawah air Olympus TG-1 + Housing underwater PT-053; Canon G12 + Housing underwater WP-DC34), papan tulis bawah air dan buku panduan identifikasi karang (Allen dan Steene 1994; Fabricius dan Alderslade 2001, Suharsono 2010 dan Veron 2000a; 2000b; 2000c) serta pengukuran kualitas air (kompas, botol contoh, secchi disc, pH indikator dan refraktometer).

Pengumpulan Data

Persiapan lapangan

Persiapan lapangan dilakukan terlebih dahulu dengan mencari informasi lokasi penelitian melalui studi pustaka dan hasil penelitian sebelumnya. Kemudian, melakukan kunjungan pra-survey lokasi untuk menentukan lokasi stasiun dan rencana waktu pengambilan data selanjutnya. Pra-survey dilakukan menggunakan Kapal Patroli BKSDA Lampung dan bantuan beberapa staf Polisi Hutan, kru kapal dan asisten peneliti. Pada kunjungan ini juga dilakukan pengamatan aktivitas antropogenik di lokasi penelitian sebagai upaya pengumpulan informasi pendukung. Pengurusan berkas dan izin penelitian di Kantor BKSDA Lampung dilakukan untuk pengurusan Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) Cagar Alam Krakatau. Izin penelitian di kawasan ini sesuai dengan SIMAKSI Nomor: SI.800/BKSDA.L-1.Prl/2012. Data komunitas karang

Pengumpulan data komunitas karang dilakukan dengan pengukuran dan kalkulasi jumlah kategori komponen bentik, persentase tutupan masing-masing kategori, dan jumlah genera/spesies karang (genera dan species richness). Terdapat beberapa metode yang umum digunakan dalam monitoring terumbu karang (Gambar 4), diantaranya adalah Line Intercept Transect (LIT), Point Intercept Transect (PIT), Chain Intercept Transect (CIT), Video Transect dan

Quadrate Transect (Ohlhorst et al. 1988; Carleton dan Done 1995; English et al.

(36)

reliable, untuk peneliti yang berpengalaman sedikit, dan penggunaan equipment

yang juga sedikit (English et al. 1994). Penggunaan video sampling dinilai dapat mengurangi faktor ketidakpastian dan besar kesalahan ketika pencatatan di lapangan.

Gambar 4 Ilustrasi beberapa metode observasi kuantitatif ekosistem terumbu karang (i.e. Point Intercept Transect/PIT, Line Intercept Transect/LIT,

dan Chain Intercept Transect/CIT) (Hill dan Wilkinson 2004), dimana pada penelitian ini digunakan metode LIT (dalam kotak).

Panjang transek yang digunakan adalah 100 m, karena menurut Brown et al.

(2004) transek yang lebih panjang (e.g. 25, 50 dan 100 m) memiliki variabilitas yang lebih tinggi daripada transek yang lebih pendek (e.g. 10 m). Transek garis dengan penanda jarak hingga cm (i.e. meteran gulung) tersebut dibentangkan secara hati-hati pada rataan terumbu karang, sesuai dengan titik sampling dan kedalaman. Lokasi stasiun ditandai dengan GPS Garmin GPSmap 76CSx, sebagai referensi pemetaan stasiun pengamatan. Semua objek (i.e. komponen bentik) dibawah transek garis, berikut jarak transisi antar objek direkam dengan menggunakan kamera digital bawah air Olympus TG-1 + PT-053, baik gambar (still image) dan video. Kemudian, dilakukan pengamatan ulang menggunakan komputer untuk mencatat jumlah dan panjang transisi (i.e. per koloni) komponen bentik yang direkam. Interval masing-masing koloni ini nanti juga digunakan sebagai deskripsi densitas dan ukuran koloni komunitas karang. Daftar kategori komponen bentik yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Klasifikasi kondisi komunitas karang mengikuti kategori komponen bentik dan lifeform karang sesuai dengan English et al. (1994). Identifikasi spesies karang dilakukan dengan metode visual tanpa pengoleksian spesimen dan perlakuan laboratorium berdasarkan petunjuk dan referensi rujukan spesies karang (Allen dan Steene 1994; Fabricius dan Alderslade 2001; Suharsono 2010; Veron 2000a, 2000b, 2000c; Veron dan Stafford-Smith 2011). Komponen karang hidup (LC) terdiri dari kategori Acropora, Non-Acropora dan Softcoral. Apabila komponen LC dijumpai pada garis transek, akan diidentifikasi lifeform dan genus, serta dicatat ukuran koloninya.

(37)

coralline algae, dan algal assemblage, serta jenis biota lainnya (OT) seperti megabenthos, anemon, lili laut, ascidian dan sebagainya. Sedangkan komponen abiotik merupakan substrat dasar yang tidak ditumbuhi komunitas karang yaitu terdiri dari pasir (S), substrat dasar keras/cadas/bebatuan (RCK), dan apabila jarak antara substrat dan garis transek sejauh > 1 m (WA).

Tabel 2 Klasifikasi komponen bentik (modifikasi dari English et al. 1994)

Komponen Kategori Kode Keterangan

Karang hidup Acropora AC karang Acropora Non Acropora NA karang Non-Acropora Soft Coral SC karang bentuk lunak, akar

bahar

Karang Mati Dead Coral DC karang mati yang masih berwarna putih

Dead Coral with Alga

DCA karang mati yang warnanya berubah karena ditumbuhi alga

Rubble R patahan karang bercabang

Lainnya Sponge SP spons

Alga AA jenis-jenis makroalga

Others OT biota lainnya (megabenthos,

anemon, lili laut, Ascidian dsb)

Abiotik Sand S pasir

Rock RCK substrat dasar yang keras

(cadas)

Water WA jarak substrat >1 m dibawah

transek Tabel 3 Klasifikasi kategori lifeform (English et al. 1994)

Kategori Kode Keterangan

Acropora Branching ACB setidaknya memiliki 2° percabangan, e.g. Acropora palmate, Acropora formosa Encrusting ACE biasanya merupakan lempeng dasar dari

bentuk Acropora yang belum dewasa, e.g. Acropora palifera, Acropora cuneata Submassive ACS kokoh dengan tonjolan (knob) atau

berbentuk seperti baji (wedge), e.g. Acropora palifera

Digitate ACD tidak terdapat percabangan 2°, biasanya dari jenis Acropora humilis, Acropora digitifera and Acropora gemmifera Tabulate ACT lempeng pipih (rata) dan horizontal e.g.

(38)

Sambungan Tabel 3

Kategori Kode Keterangan

Non-Acropora Branching CB setidaknya memiliki 2° percabangan, e.g. Seriatopora hystrix

Encrusting CE sebagian besar menempel pada substrat sebagai plat berlapis (laminar), e.g. Porites vaughani, Montipora undata Foliose CF karang yang menempel pada satu tempat

atau lebih, dengan penampakan seperti daun, e.g. Merulina ampliata, Montipora aequituberculata

Massive CM bongkahan padat atau seperti gundukan, e.g. Platygyra daedalea

Submassive CS cenderung membentuk kolom-kolom kecil, tonjolan, atau baji, e.g. Porites lichen, Psammocora digitata

Mushroom CMR karang soliter atau free-living dari famili Fungiidae

Millepora CME fire coral Heliopora CHL blue coral Data lingkungan perairan

Pengumpulan data parameter lingkungan perairan merupakan informasi terhadap kualitas lingkungan perairan sekitar lokasi penelitian. Lokasi sampling pengambilan contoh mengikuti lokasi pengamatan terumbu karang yang dilakukan secara purposive dan representatif terhadap wilayah kajian. Contoh air kemudian dianalisis di Laboratorium Produktivitas Lingkungan (Proling) IPB. Tabel 4 menjelaskan parameter lingkungan yang diukur serta alat dan metode analisis yang digunakan.

Tabel 4 Parameter kualitas lingkungan perairan

Parameter Satuan Metode Keterangan

TSS mg/L APHA 2540-D ex situ

Kekeruhan NTU APHA 2540-C ex situ

Suhu °C Termometer in situ

Arah Arus ° Kompas in situ

Kecerahan m atau % Tali berskala in situ

Salinitas ‰ Refraktometer in situ

pH - APHA 4500 -H+ -B ex situ

Fosfat mg/L APHA 4500 P-E ex situ

Nitrat mg/L APHA 4500 NO3 –E ex situ

Analisis Data

Kolonisasi komunitas karang

(39)

komunitas karang secara spasial yang dijumpai dalam kajian ini. Kajian kolonisasi tidak menjelaskan tentang pola suksesi, namun hanya sampai pada deskripsi kolonisasi dan tahap komunitas yang dicapai berdasarkan data yang didapatkan. Pembahasan lebih detil pada status atau kondisi komunitas karang.

Kondisi komunitas karang

Kondisi komunitas karang dianalisis berdasarkan persen tutupan, kekayaan generik dan indeks biodiversitas/keanekaragaman hayati karang (i.e. indeks keanekaragaman, evenness dan dominan genus). Serta densitas dan ukuran koloni komunitas karang yang diukur berdasarkan interval komunitas karang hidup (NA, AC dan SC) yang dijumpai pada garis transek.

Persentase tutupan dan kekayaan spesies/generic/lifeform

Setelah mendapatkan data jumlah dan jarak transisi antar objek komponen bentik dari hasil rekaman gambar (still image) dan video pada garis transek LIT, maka akan didapatkan segmen lifeform dan jumlah genera dan spesies karang. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori lifeform dihitung dengan Rumus 1 (English et al. 1994), yaitu rasio panjang masing-masing lifeform

dengan panjang total transek dikali seratus. Sedangkan, kekayaan spesies / generik / lifeform (S) diketahui berdasarkan jumlah yang dijumpai di sepanjang transek.

100

Indeks Shannon menginterpretasikan keanekaragaman generik dan lifeform,

yang dihitung dengan Rumus 2 (Krebs 1989; Odum 1996; Bengen 2000; Magurran 2004), dimana pi adalah persen tutupan dari genera / lifeform ke-i (ni) di sepanjang garis transek (N). Indeks keseragaman Shannon (evenness atau

equitability) dihitung dengan Rumus 3 (Krebs 1989; Bengen 2000; Magurran 2004), dimana S adalah kekayaan spesies / generik / lifeform. Sedangkan untuk melihat dominansi antar lifeform dan generik menggunakan Indeks Dominansi Simpson yang dihitung dengan Rumus 4 (Odum 1996; Magurran 2004).

)

(40)

karang terkecil yang terukur adalah 5-10 cm, dengan asumsi rata-rata diameter pertumbuhan bulanan koloni karang Scleractinia (kecuali famili Fungiidae) sekitar 1-3 mm (Bak dan Engel 1979; van-Morsel 1988), karang dengan ukuran koloni 5-10 cm berumur sekitar 1-8 tahun. Sedangkan koloni karang dengan ukuran > 50 cm, diduga sudah berumur lebih dari 40 tahun.

Sedangkan koloni dari kelompok free-living (CMR) analisisnya dipisahkan dari koloni karang Scleractinia sesil, karena menurut Bosch (1967), rata-rata kelajuan pertumbuhan tahunan untuk individu karang yang lebih kecil dari spesies

Fungia scutaria, diduga empat hingga enam kali lebih cepat dibandingkan individu karang F. scutaria yang lebih besar. Dengan kata lain, pertumbuhan karang CMR ini tidak memiliki kurva linier. Koloni karang dari kelompok free living di lokasi penelitian dijumpai dari marga Fungia, Ctenactis, Halomitra, Sandalolitha, dan Heliofungia.

Demikian juga dengan koloni karang Octocorallia, menurut Fabricius (1995) rata-rata pertumbuhan radial koloni karang dari marga Sinularia dan

Sarcophyton (famili: Alcyoniidae) adalah berkisar 0.5 cm-1, dan laju pertumbuhan relatif tergantung dari ukuran masing-masing. Pada kedua jenis karang tersebut, laju pertumbuhan relatif menurun dengan peningkatan diameter koloni. Pada

Sinularia, perubahan ukuran koloni dijumpai hanya sedikit setelah berumur 3.5 tahun. Mortalitas kamatian karang tersebut sangat rendah (0.0014 tahun-1) dan tergantung dengan ukuran, serta mengindikasikan ketahanan dari koloni. Dimana, koloni dengan perpanjangan ukuran hingga 10×10 m berpotensi berumur ratusan tahun.

Kerusakan komunitas karang

Tingkat kerusakan komunitas karang dapat dikaitkan dengan perbandingan kondisi karang hidup dan karang mati (Zamani dan Maduppa 2011), yang mana dapat menunjukkan tingkat resiko kematian atau mortalitas karang. Terdapat beberapa indeks yang diajukan sebagai rujukan untuk mengetahui tingkat mortalitas karang, diantaranya seperti Gomez et al. (1994), Jameson et al. (1999), dan Lasagna et al. (2014). Pada kajian ini hanya digunakan Coral Mortality Index

(CMI) menurut Gomez et al. (1994) dan Coral Damage Index (CDI) menurut Jameson et al. (1999), karena sudah banyak diaplikasikan dan parameter yang digunakan sudah termasuk kedalam komponen kajian. Berdasarkan Gomez et al.

(41)

menentukan apakah terumbu karang terancam, dan juga untuk memperkirakan intensitas kerusakan fisik. Stasiun dengan persentase Broken Coral Colony (BCC) ≥ 4% dan/atau persen tutupan Coral Rubble (CR) ≥ 3% ditandai sebagai "hot dilakukan kajian pengelolaan KKL terumbu karang berdasarkan ulasan (review) ilmiah, dari beberapa hasil kajian yang sudah banyak dan berhasil dilakukan di kawasan lain. Ulasan ini mengkaji tentang, regulasi pengelolaan, permasalahan dan rekomendasi terhadap upaya peningkatan pengelolaan kawasan terumbu karang di Krakatau.

Analisis statistik

Analisis statistika deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan data yang relevan terhadap kondisi komunitas karang di kawasan Krakatau. Data dianalisis dengan perhitungan sederhana. Hasil dari perhitungan disajikan dalam bentuk tabel biasa atau distribusi frekuensi, grafik garis atau batang, diagram lingkaran, dan variasi kelompok melalui rentang dan simpangan baku. Deskripsi meliputi kondisi dan proses kolonisasi komunitas, berdasarkan data yang telah disajikan sebelumnya.

ANOVA (analysis of variance) atau analisis ragam digunakan untuk menguji hipotesis komparatif rata-rata k sampel bila datanya berbentuk interval atau rasio (Sugiyono 2011). ANOVA digunakan terhadap masing-masing set data yang dihasilkan (i.e. jumlah spesies/genera, persen tutupan, dan indeks biodiversitas). Dilakukan untuk pengujian hipotesis nol (null) umum, dimana tidak terdapat perbedaan dalam data set komunitas karang di antara stasiun pengamatan, dan sebaliknya. ANOVA (one-way single factor) digunakan untuk rancangan set data satu faktor yang tidak seimbang, sedangkan ANOVA ( two-factor without replication) digunakan untuk rancangan data tanpa ulangan yang memiliki dua faktor uji yang berbeda. Uji ANOVA dijalankan dengan menggunakan opsi data analysis pada Microsoft Excel.

Analisis kluster digunakan untuk mengetahui hubungan antar stasiun pengamatan berdasarkan kategori/karakteristik yang akan diuji nantinya. Pengelompokan atau peng-kluster-an (clustering) adalah sebuah operasi dari analisis multidimensional yang berupa pembagian (partitioning) dari kumpulan (collection) objek-objek (atau beberapa deskriptor) dalam suatu penelitian (Legendre dan Rogers 1972; Legendre dan Legendre 1998). Klasifikasi objek (atau deskriptor) yang dihasilkan dari pengklusteran diduga mengandung pembagian tunggal, atau beberapa pembagian tersarang berhirarki dari beberapa objek (Legendre dan legendre 1998).

(42)

substrat. Analisis AHC merupakan analisis yang berguna untuk hampir setiap kelompok yang dicari dari data multivariat ekologi. Sifat-sifat metode linkage

("sorting strategies") tergantung pada jenis ukuran dissimilarity yang digunakan (ukuran jarak busur metrik Euclidean (i.e. jarak absolut dan relatif) dan koefisien proporsi (i.e. Sorensen dan Jaccard)). Ada tiga sifat umum strategi hirarkis, yaitu kombinatorial atau tidak, kompatibel atau tidak, dan space-conserving atau tidak (McCune dan Grace 2002). Analisis pada penelitian ini berdasarkan jarak Sorensen (Bray-Curtis) dengan fungsi flexible linkage (β = -0,25). Dimana, menurut McCune dan Grace(2002) flexibel beta linkage kompatibel dengan jarak euclidean meskipun sifat ketat euclidean hilang.

Fleksibel beta linkage sangat fleksibel karena pengguna dapat mengontrol sifat-sifat distorsi ruang. Ketika β mendekati +1, maka akan semakin meningkatkan pengkerutan (contracting) ruang. Keterikatan (chaining) akan mendekati 100% ketika β mendekati +1. Ketika β mendekati nol dan kemudian menjadi negatif, metode tidak lagi menjadi pengkerutan ruang melainkan menjadi semakin memperluas (expanding) ruang dan unsur-unsur yang lebih intens dikelompokkan. Nilai β = -0.25 memberikan hasil yang sama dengan metode Ward (Lance dan Williams 1967a, 1967b). Flexibel beta dengan nilai β = -0,25 merupakan metode space-conserving yang digunakan untuk menghindari distorsi dan memiliki kurang kecenderungan untuk berkaitan (chain) (Reese et al. 2005; Hannak et al. 2011).

(43)

3 HASIL

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Geografis kawasan pesisir Pulau-pulau Krakatau

Pulau-pulau Krakatau secara geografis terletak di antara koordinat 06°03’15” LS - 06°10’30” dan 105°21’15” - 105°25’16.5” BT (Gambar 5). Kepulauan ini terdiri atas 4 pulau yaitu Pulau Rakata (dikenal juga Krakatau atau Rakata Besar), Pulau Panjang (dikenal juga Rakata Kecil, Lang, Danan atau Majeti), Pulau Sertung (dikenal juga Verlaten) dan Pulau Anak Krakatau (dikenal juga Anakrakata atau Child of Krakatoa). Pulau-pulau Krakatau merupakan kawasan suaka alam dengan status cagar alam dan cagar alam laut yang dikelola oleh BKSDA Lampung dan secara administratif berada di bawah pemerintahan Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung.

Gambar 5 Entitas Pulau-pulau Krakatau pada Tahun 1985 (Zabka dan Nentwig 2002 modifikasi dari Thornton dan Rosengren 1988)

Pulau Anak Krakatau

(44)

oleh erosi laut dan pergeseran dasar laut (de Neve 1985b). Pulau keempat, muncul pada tanggal 12 Agustus 1930, 47 tahun setelah letusan Krakatau, tidak terkikis, dan diberi nama Anak Krakatau IV. Pada tahun berikutnya sudah setinggi 47 mdpl dengan kawah berdiameter 700 m, dan sepuluh tahun setelah kemunculannya sudah memiliki ketinggian 125 m dan kawah yang terbuka ke laut berdiameter 680 m. Kawah menjadi tertutup dari laut pada tahun 1952 ketika pulau tertekan dan terjadi letusan sterilisasi. Aliran lava pertama kali muncul pada Tahun 1960-1963, sehingga dipastikan pulau itu permanen dengan adanya rampart di bagian selatan dan barat untuk melawan aliran arus laut. Letusan telah terjadi cukup teratur sejak saat itu, pada interval sekitar 2-3 tahun, yang terakhir pada 1982. Pulau ini pada Ekspedisi Zoologi Krakatau (Thornton dan Rosengren 1988) tercatat setinggi 195 m dengan diameter 2 km, dan masih aktif, hanya pantai bagian timur laut dan tanjung curam bagian utara dan timur yang bervegetasi, suksesi berada di tahap awal, dengan dominanansi pohon Casuarina equisetifolia. Tinggi puncak Gunung Api Anak Krakatau dari tahun 1930 hingga 2005, selama 75 tahun, mencapai 315 mdpl. Estimasi percepatan pertumbuhannya rata-rata empat meter per tahun. Berdasarkan perhitungan, volume tubuhnya dari dasar laut sejak tahun 1927 sampai dengan 1981 mencapai 2.35 km3, kemudian tahun 1983 menjadi 2.87 km3 dan tahun 1990 mencapai 3.25 km3. Pengukuran terakhir tahun 2000 volume tubuhnya mencapai 5.52 km3. Kegiatan letusan Gunung Api Anak Krakatau tahun 1992 sampai 2001 terjadi hampir setiap hari, sehingga dalam sembilan tahun, gunung api ini bertambah tinggi lebih dari 100 meter, dan penambahan luas areanya sebanyak 378.527 m2. Apabila pertambahan tinggi dan volume konsisten, maka diperkirakan pada tahun 2020 volume Gunung Api Anak Krakatau sudah melebihi volume Gunung Api Rakata, Gunung Api Danan, dan Gunung Api Perbuatan (11.01 km3) menjelang letusan katastrofis 1883.

Sejak tumbuhnya gunung api ini di permukaan air laut (Tahun 1930), kondisi vegetasinya selalu mengalami suksesi tumbuhan yang tidak pernah klimaks, tetapi beberapa tumbuhan seperti gelagah (Saccharum sp.) dan cemara laut (Casuarina sp.) sebagai tumbuhan pionir, terutama di tepi pantai timurnya dapat tumbuh cukup cepat setelah letusan terhenti. Terumbu karang tumbuh pada leleran lava yang masuk ke dalam laut sepuluh tahun lalu, pertumbuhannya sangat lamban dibandingkan dengan yang tumbuh di sekitar Pulau Rakata, Pulau Panjang, dan Pulau Sertung. Hal tersebut kemungkinan karena pendinginan lava memakan waktu cukup lama, walaupun permukaan lava tersebut berbongkah (Sutawidjaja 2006).

Gambar

Gambar 1 Lokasi penelitian dan kawasan sekitarnya (Thornton dan Rosengren
Gambar 2 Diagram alur penelitian
Gambar 3 Lokasi stasiun pengamatan terumbu karang dan kondisi lingkungan
Tabel 2 Klasifikasi komponen bentik (modifikasi dari English et al. 1994)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil kajian IPCC menyatakan bahwa produksi pangan terutama padi, jagung, dan kedelai dalam beberapa dekade terakhir mengalami penurunan akibat meningkatnya frekuensi kejadian

Menurut Syafrida Hani (2015:81) “laba merupakan hasil aktivitas operasi yang mengukur perubahan kekayaan pemegang saham selama satu periode dan mencerminkan

Pada PDM terdapat 15 (lima belas) tabel dengan tipe data dan panjangnya, yaitu tabel anggota, petugas, koleksi bahan pustaka, stock koleksi bahan pustaka, denda, hari libur,

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari analisa data menunjukkan bahwa akhir minggu rata-rata volume penjualan lebih tinggi yaitu 36 perawatan dibandingkan pada hari

Beban kerja yang akan dibahas dalam penelitian ini berasal dari lingkungan psikis pekerjaan karena beban kerja yang berasal dari lingkungan fisik pekerjaan di bank bjb

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah pada sektor pendidikan, kesehatan dan pembentukan modal tetap

Banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh siswa akan berpengaruh terhadap kemajuan dan prestasi belajar siswa di sekolah.Hal ini terjadi juga pada siswa di SMK Karya

Seperti yang disampaikan Aisyah (2010:1) bahwa “salah satu faktor yang jadi sebab timbulnya perilaku agresif adalah kecendrungan pola asuh tertentu dari orang tua”.Orang tua