• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI Halaman

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat... Alat dan Bahan... Data yang Diukur... Prosedur Pengumpulan Data... Analisis Data...

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keanekaragaman Jenis Rumput-Rumputan... vi viii ix 1 3 4 6 6 6 7 7 8 9 10 11 12 13 28 29 29 30 32 33 33 33 35 35 35 37 43 45

Palatabilitas Rumput... Produktivitas Rumput... Daya Dukung Lahan Penggembalaan... Kandungan Nutrisi Rumput... Palatabilitas Pakan Tambahan...

Pengelolaan Pakan Tambahan... Kandungan Nutrisi Pakan Tambahan...

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan... Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN... 47 48 51 53 53 57 58 60 60 62 65

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Daerah penyebaran rusa timor (Cervus timorensis) di Indonesia... 9

2. Kandungan nutrisi dedak padi ... 21

3. Kandungan nutrisi berbagai jenis kulit pisang mentah dan masak, hasil analisis proksimat (% bahan kering)... 22

4. Kandungan nutrisi umbi ubi jalar dan singkong ...………. 25

5. Jenis-jenis pohon yang tumbuh di lokasi penangkaran ... 34

6. Kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan dalam penelitian 37

7. Komposisi pakan tambahan pada setiap perlakuan (% bahan

kering)... 40

8. Penempatan perlakuan (T) dan kelompok waktu pengamatan (K) dalam percobaan... 40

9. Jenis rumput dan leguminosa yang ditemukan di lokasi penelitian... 45

10. Jenis rumput dan leguminosa yang ditemukan di lokasi penelitian serta indeks palatabilitasnya (IP)... 47

11. Rata-rata produktivitas rumput pada setiap petak contoh di lokasi penelitian (bahan segar)... ... 49

12 Kandungan nutrisi beberapa jenis rumput yang tumbuh di lokasi penelitian... 53

13. Rata-rata jumlah pakan tambahan dari setiap perlakuan yang dikonsumsi rusa per hari (kg bahan kering )... 54

14. Indeks palatabilitas pakan tambahan dari setiap perlakuan pada rusa... 55

15. Hasil uji LSD indeks palatabilitas pakan tambahan... 56

16. Perbandingan antara kebutuhan pakan tambahan dan konsumsi pakan tambahan dari keempat perlakuan yang dicobakan... 58

17 Perhitungan konsumsi pakan tambahan dan kebutuhan pakan tambahan per tahun (kg bahan kering) ... 58

18 Hasil perhitungan kandungan nutrisi pakan tambahan yang digunakan dalam penelitian... 59

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1.

Kerangka pemikiran penelitian.………... 5

2.

Prosedur perijinan penangkaran satwaliar dan tumbuhan alam

berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 07/Kpts/DJ-VI/1988... 13

3.

Kulit pisang nangka mentah (limbah dari pabrik keripik pisang) yang digunakan sebagai salah satu bahan pakan dalam penelitian... 36

4.

Distribusi petak contoh pemanenan rumput pada lahan penggembalaan... 38

5.

Petak contoh dipagar, supaya rumput tidak diganggu/dimakan rusa selama pengukuran produktivitas... 39

6.

Bahan pakan tambahan sebelum dicacah... 41

7.

Bahan pakan tambahan setelah dicacah... 41

8

Bahan-bahan pakan tambahan setelah dicampur... 42

9

Tempat pakan tambahan yang dilengkapi dengan papan bersilang

agar pakan tidak mudah ditumpah oleh rusa... 42

10

Suasana rusa mengkonsumsi pakan tambahan... 43

11

Diagram batang jumlah pakan tambahan dari setiap perlakuan yang

dikonsumsi rusa per hari untuk 15 ekor (kg bahan kering)... ... 54

12

Grafik indeks palatabilitas (IP) pakan tambahan dari setiap perlakuan pada rusa... 55

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1.

Denah lokasi penangkaran rusa PPPG Pertanian Cianjur... 65

2.

Surat hasil analisis proksimat bahan pakan tambahan dan rumput... 66

3.

Data palatabilitas rumput pada 20 petak contoh ... 68

4.

Data produktivitas rumput ... 70

5.

Konsumsi pakan tambahan (kg bahan kering)... 74

6.

Indeks palatabilitas pakan tambahan (Nilai 0-1)... 75

7.

Analisis statistik indeks palatabilitas pakan tambahan ... 76

8.

Perhitungan kandungan nutrisi pakan perlakuan ... 89

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang dimiliki bangsa Indonesia pada hakekatnya mempunyai peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai modal dasar bagi pembangunan nasional yang berkelanjutan. Oleh karena itu keberadaannya harus dikelola dengan baik serta dimanfaatkan secara lestari demi kesejahteraan bangsa Indonesia khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa mendatang.

Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan satu kesatuan sistem kehidupan yang saling tergantung dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sehingga terjadinya kerusakan atau kepunahan pada salah satu komponen akan berakibat terganggunya ekosistem secara keseluruhan. Untuk menjaga sumberdaya alam hayati dan ekosis temnya dari kerusakan dan agar dapat dimanfaatkan secara lestari, maka diperlukan upaya-upaya konservasi melalui tiga kegiatan yaitu (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan (2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya (3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Thohari, 2005)

Kegiatan konservasi, dalam pelaksanaannya dapat dilakukan melalui dua program, yaitu konservasi in situ, merupakan kegiatan konservasi yang dilaksanakan di habitatnya dan konservasi ex situ, merupakan kegiatan konservasi yang dilaksanakan di luar habitatnya. Salah satu bentuk konservasi ex situ adalah penangkaran. Penangkaran menjadi sangat penting karena memiliki dua fungsi utama, yaitu (1) fungsi ekologis (perlindungan dan pengawetan jenis dan plasma nutfah dalam menunjang peningkatan populasi alami melalui pemulihan populasi /restocking hasil pembiakan), (2) fungsi sosio ekonomi dan sosio budaya (pemanfaatan bagi kesejahteraan umat manusia) (Thohari, 2005).

Rusa timor (Cervus timorensis), merupakan salah satu dari keanekaragaman hayati yang dimiliki bangsa Indonesia, yang kondisinya di alam mendapat tekanan demikian besar sebagai akibat kegiatan manusia, baik dalam bentuk perburua n liar maupun pengrusakan habitat. Rusa timor (Cervus timorensis) merupakan satwa liar yang daya adaptasinya sangat tinggi, mudah

dalam hal reproduksi serta mudah dalam penyediaan pakannya. Namun karena di alam terjadi pemanfaatan yang berlebihan, sehingga dikhawatirkan terjadi kepunahan, maka dengan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999, rusa timor termasuk salah satu jenis satwa liar yang dilindungi.

Di sisi lain, sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, meningkat pula tuntutan kebutuhan penduduk yang salah satunya adalah kebutuhan protein hewani. Atas dasar itulah maka dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam hayati, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 404 / Kpts / DT. 210 / 6 / 2002, rusa dimasukkan sebagai salah satu jenis satwa liar yang potensial untuk dikembangkan sebagai hewan ternak. Pemanfaatan yang dapat dikembangkan adalah sebagai obyek rekreasi, karkas/dagingnya sebagai sumber protein hewani, ranggah keras sebagai barang hiasan, ranggah muda/velvet sebagai bahan obat-obatan dan kulitnya sebagai bahan baku industri kerajinan.

Dalam rangka pengembangan pemanfaatan dan mencegah rusa timor dari kepunahan, maka dapat dilakukan dengan cara penangkaran”. Penangkaran merupakan upaya pengembangbiakan yang bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan tetap memperhatikan kemurnian jenisnya, sehingga kelestarian populasi di alam dapat dipertahankan (Thohari, 1987).

Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Pertanian adalah Instansi di bawah Departemen Pend idikan Nasional yang bertugas dalam bidang peningkatan kualitas sumberdaya manusia bagi guru SMK Pertanian khususnya dan masyarakat luas pada umumnya melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan. Dalam rangka pengembangan materi diklat dan sebagai bentuk peranserta PPPG Pertanian dalam upaya pelestarian rusa timor serta pengembangan pemanfaatannya, maka salah satu langkah yang telah dilakukan dan tengah dikembangkan adalah kegiatan usaha penangkaran.

Keberhasilan usaha penangkaran rusa salah satunya ditentukan oleh faktor pakan. Rusa termasuk golongan satwa ruminansia dengan pakan utama berupa hijauan/rumput, oleh karena itu ketersediaan rumput dalam suatu usaha penangkaran menjadi sangat penting. Penangkaran rusa dengan sistem pedok, kebutuha n rumput sebagai pakan utama disediakan dalam bentuk lahan penggembalaan dan rusa dibiarkan merumput sepanjang waktu.

Perumusan Masalah

Permasalahan yang sering dihadapi dalam usaha penangkaran rusa adalah ketersediaan pakan baik kualitas maupun kuantitasnya. Agar kegiatan usaha penangkaran dapat berjalan dengan efisien maka faktor pakan harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Berkaitan dengan ketersediaan pakan, maka rumput sebagai pakan utama yang tumbuh di lahan penggembalaan perlu diketahui tingkat produktivitasnya. Dengan mengetahui tingkat produktivitasnya maka dapat diketahui jumlah pakan hijauan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan pakan rusa yang ditangkarkan.

Sebagaimana umumnya rumput di daerah tropis, rumput liar yang tumbuh di dalam lahan penggembalaan memiliki tingkat produktivitas dan kandungan nutrisi yang rendah. Rendahnya produktivitas menyebabkan adanya keterbatasan dalam penyediaan pakan. Untuk menanggulangi kekurangan pakan tersebut dapat dilakukan dengan cara pemberian pakan tambahan. Beberapa jenis bahan pakan tambahan antara lain umbi- umbian, sayur-sayuran, limbah industri dan limbah pertanian. Pemberian pakan tambahan hanya memperhatikan jumlah dan kandungan nutrisi saja belum cukup, tetapi juga perlu memperhatikan faktor palatabilitasnya. Palatabilitas merupakan aspek makan yang lebih menentukan dari pada nilai gizinya (McIlroy, 1964).

Pemberian pakan tambahan hendaknya memanfaatkan keanekaragaman bahan pakan yang terdapat di lingkungan sekitar, sesuai dengan potensi wilayah masing- masing ditempat usaha penangkaran rusa dijalankan. Pemanfaatan bahan pakan tersebut merupakan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap pakan hijauan yang tidak kontinyu sepanjang tahun sebagai akibat keterbatasan dalam tingkat produktivitasnya. Oleh karena itu penggunaan bahan pakan tambahan harus memperhatikan pada beberapa pertimbangan antara lain palatabilitas, mudah dalam memperolehnya, harga relatif murah, tersedia dalam jumlah yang cukup secara kontinyu sepanjang tahun serta nilai gizinya.

Selama ini di lahan penggembalaan usaha penangkaran rusa milik PPPG Pertanian-Cianjur belum pernah dilakukan penghitungan produktivitas, sehingga belum dapat diketahui daya dukungnya. Pakan tambahan yang diberikan berupa dedak dengan campuran ubi kayu dan atau ubi jalar dengan komposisi yang

tidak standar, sehingga cenderung menyebabkan biaya pakan yang relatif tinggi. Sementara itu di daerah sekitar PPPG Pertanian banyak terdapat limbah industri pertanian, yang cukup potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan rusa. Salah satu jenis limbah industri pertanian tersebut adalah kulit pisang nangka (limbah dari perusahaan keripik pisang). Selama ini kulit pisang nangka tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dan hanya dibuang begitu saja. Dari kandungan nutrisinya kulit pisang sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan alternatif. Namun pemanfaatan kulit pisang sebagai pakan memiliki kendala karena adanya zat tanin yang dapat mengurangi palatabilitasnya.

Kerangka Pemikiran

Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha penangkaran. Mengingat bervariasinya jenis serta tingkat produktivitas rumput (sebagai pakan utama) yang tumbuh di dalam lahan penggembalaan, maka sebagai sumber pakan utama, hijauan yang tumbuh di lahan penggembalaan perlu diketahui produktivitas serta daya dukungnya. Dengan adanya keterbatasan dalam hal produktivitas hijauan, maka kekurangan pakan hijauan harus dipenuhi dengan cara pemberian pakan tambahan.

Kulit pisang nangka, merupakan salah satu jenis limbah industri pertanian yang ketersediaannya cukup melimpah dan memiliki nilai gizi cukup tinggi, sehingga memungkinkan untuk mendukung penyediaan pakan bagi usaha penangkaran rusa. Pemanfaatan kulit pisang nangka sebagai salah satu bahan pakan untuk campuran pakan tambahan, berarti menambah keanekaragaman jenis bahan pakan yang dapat diberikan, diharapkan disatu sisi dapat meningkatkan daya guna limbah industri pertanian, mengurangi ketergant ungan terhadap jenis bahan pakan yang lain serta dapat menghemat biaya pakan. Mengingat palatabilitas merupakan hal yang sangat penting, maka sebelum dimanfaatkan perlu dikaji tingkat palatabilitas pakan tambahan dengan campuran kulit pisang.

Berdasarkan uraian, maka di lokasi penangkaran rusa timor, PPPG Pertanian Cianjur, perlu dilakukan studi tentang produktivitas hijauan pakan yang tumbuh di dalam lahan penggembalaan dan daya dukungnya serta tingkat palatabilitas pakan tambahan dengan tingkat campuran kulit pisang yang berbeda . Alur kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Pakan Tambahan Pakan Utama hijauan/rumput Palatabilitas, Produktivitas, Nilai Gizi Daya Dukung Ubi Jalar 5% Ubi Kayu 5% D. Padi 90% K. Pisang 0% Ubi Jalar 5% Ubi Kayu 5% D. Padi 80% K. Pisang 10% Palatabilitas Nilai Gizi

Teknis Penangkaran

Lokasi, Perkandangan, Bibit,

Reproduksi, Kesehatan, Recording, Pemanenan

Pakan

Ubi Jalar 5% Ubi Kayu 5% D. Padi 70% K. Pisang 20% Ubi Jalar 5% Ubi Kayu 5% D. Padi 60% K. Pisang 30% Palatabilitas dan nilai Gizi Pakan

Cukup

PENANGKARAN

RUSA

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengukur tingkat produktivitas rumput di lahan penggembalaan serta daya dukungnya.

2. Mengukur tingkat palatabilitas pakan tambahan dengan campuran kulit pisang nangka

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pentingnya produktivitas rumput yang tumbuh di lokasi penangkaran serta palatabilitas pakan tambahan yang terdiri atas campuran kulit pisang, dedak, ubi kayu dan ubi jalar, dalam mendukung usaha penangkaran rusa timor. Berdasarkan hal tersebut hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang pakan rusa timor dan dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam kebijakan pengelolaan penangkaran rusa timor di PPPG Pertanian khususnya dan penangkaran rusa pada umumnya.

Hipotesis

Tingkat kandungan kulit pisang dalam campuran pakan tambahan berbanding terbalik dengan tingkat palatabilitasnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Bio-Ekologi Rusa Timor (Cervus timorensis)

Sistematika

Menurut Schroder (1976), rusa merupakan satwa yang termasuk anggota Phillum Chordata, Sub Phillum Vertebrata, Klas Mamalia, Ordo Artiodactyla, Sub Ordo Ruminansia dan Famili Cervidae. Famili Cervidae terbagi menjadi 6 Sub Famili, yaitu Rangiferinae, Alcinae, Hydropotinae, Odocoilinae, Cervinae dan Muntiacinae. Dua Sub Famili yang disebut terakhir merupakan Sub Famili yang terdapat di Indonesia. Sub Famili Cervinae terbagi menjadi dua Genus yaitu Genus Cervus dan Genus Axis. Genus Cervus terdiri dari dua species yaitu

Cervus timorensis (rusa timor) dan Cervus unicolor (rusa sambar), sedangkan Genus Axis adalah Axis kuhlii. Genus dari Sub Famili Muntiacinae adalah Muntiacus terdiri dari dua spesies, yaitu Muntiacus muntjak (kijang) dan

Muntiacus atherodes (kijang kuning). Saat ini rusa timor yang ada di Indonesia dikenal ada 8 sub spesies, yaitu (1) C. t. russa Muller & Schlegal, 1839, (2) C. t. laronesiotis nov, (3) C. t.renschi Sody, 1932, (4) C. t.timorensis Blainville, 1822, (5) C. t. macassarius Heude, 1896, (6) C. t.djongga nov, (7) C. t. molucentis Quoi et Gaimard, 1830 dan (8) C. t.floresiensis Heude, 1896.

Morfologi

Menurut Semiadi dan Nugraha (2004), rusa timor merupakan rusa tropis terbesar kedua setelah rusa sambar. Dibandingkan dengan rusa tropis Indonesia lainnya, rusa timor memiliki banyak keunikan yaitu sebagai kelompok rusa yang mempunyai banyak anak jenis (sub spesies), sebagai rusa dengan nama daerah yang cukup beragam dan sebagai rusa yang paling luas tersebar di luar negeri. Dikatakan juga bahwa pemberian nama lokal yang cukup beragam ini tergantung pada daerah asalnya. Di pulau Jawa dikenal sebagai rusa jawa, di pulau Timor dikenal sebagai rusa timor, di Sulawesi dikenal dengan nama rusa jonga dan di kepulauan Maluku dikenal sebagai rusa maluku. Namun nama yang paling umum dipakai dalam bahasa Indonesia adalah rusa timor.

Menurut Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (1991), rusa timor dewasa memiliki panjang badan dengan kepala kira-kira 120-130 cm, panjang ekor 10-30 cm, tinggi bahu dapat mencapai 100 cm untuk rusa betina dan 110 cm rusa jantan, sedangkan bobot badannya dapat mencapai 100 kg. Dradjat (2002), mengatakan bahwa rusa timor memiliki warna bulu coklat dengan warna bagian bawah perut dan ekor berwarna putih. Berat badan rusa jantan dapat mencapai 103-155 kg dan berat badan rusa betina adalah 45-50 kg. Menurut Semiadi dan Nugraha (2004), rusa timor memiliki warna bulu yang bervariasi antara coklat kemerahan hingga abu-abu kecoklatan. Berat badan bervariasi antara 40-120 kg, tergantung pada anak jenisnya (sub spesiesnya). Dikatakan juga bahwa setelah melalui seleksi dan sistem pemeliharaan yang optimal di tingkat peternakan, rusa timor yang diimpor dari Kaledonia Baru ke Malaysia mampu mencapai berat badan 120-140 kg pada yang jantan dan 70-90 kg pada yang betina.

Menurut Dradjat (2002), untuk membedakan rusa jantan dan rusa betina, ciri utamanya adalah rusa jantan memiliki ranggah sedangkan rusa betina tidak memiliki ranggah, ranggah tumbuh pertama kali pada umur 8 bulan. Rusa dewasa memiliki ranggah yang bercabang tiga, dengan ujung-ujungnya yang runcing, kasar dan beralur memanjang dari pangkal hingga ke ujung ranggah. Panjang ranggah rata-rata 80-90 cm, tapi ada yang mencapai 111,5 cm (Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 1991).

Daerah Penyebaran

Rusa timor yang dikenal di Indonesia terdiri atas 8 sub spesies, memiliki daerah penyebaran yang luas, serta nama lokal yang cukup beragam tergantung daerah habitatnya berada. Penyebarannya hampir di seluruh wilayah Indonesia. Di Kalimantan, Irian dan Kepulauan Maluku, Rusa Timor merupakan rusa yang diintroduksikan. Pada tahun 1680, diintroduksikan dari Jawa ke Kalimantan, sedangkan pada tahun 1913-1920, diintroduksikan dari Halmahera ke Irian dan pada tahun 1855, diintroduksikan dari pulau Seram ke Pulau Aru (Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (1991). Daerah penyebaran rusa timor di Indonesia, tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Daerah penyebaran rusa timor (Cervus timorensis) di Indonesia

No Sub spesies Daerah penyebaran

1. C. t. Timorensis Timor, roti, Alor, Pantar, Semau, P. Rusa dan P. Kambing.

2. C. t. Russa Jawa, Kalimantan Selatan, Sulawesi dan Ambon (Introduksi)

3. C. t. laronesiotes P. Peucang (Ujung Kulon).

4. C. t. Renschi Bali

5. C. t. Floresiensis Lombok, Sumbawa, Rinca, Komodo, Flores, Adonare, Solor dan Sumba.

6. C. t. macassaricus Sulawesi, Bangai dan Selayar

7. C. t. Jonga Muna dan Buton

8. C. t. moluccensis Sula, Ternate, Mareh,

Sumber: Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (1991)

Menurut Semiadi dan Nugraha (2004), pada jaman penjajahan Belanda, rusa timor banyak disebar ke luar habitat aslinya. Disamping diintroduksikan ke pulau Papua dan pulau-pulau kecil di Indonesia bagian timur, rusa timor juga dikirim ke luar negeri, diantaranya ke Australia (1868-1912), Brasil (akhir abad ke 19), Kepulauan Komoro (1870), Madagaskar (1928), Selandia Baru (1907; melalui negara Kaledonia Baru), Mauritius (1639), Kaledonia Baru (1870), Kepulauan Reunion (abad 17), Papua New Guinea (1990), Malaysia (1985) dan Thailand (1990). Kenyataan ini menjadikan rusa timor merupakan rusa yang paling luas tersebar di luar negeri. Dikatakan juga bahwa di habitat baru tersebut, sebagian besar rusa timor dapat berkembang sangat baik, bahkan mampu menjadi tulang punggung industri peternakan rusa asal daerah tropis.

Habitat

Menurut Alikodra (2002), habitat adalah kawasan yang terdiri atas komponen fisik dan biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiak bagi satwaliar. Dikatakan pula bahwa satwa liar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Habitat bagi satu jenis belum tentu sesuai untuk jenis yang lain, setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda.

Habitat rusa timor berupa hutan, dataran terbuka serta padang rumput dan savanna. Rusa timor diketemukan di dataran rendah hingga pada ketinggian 2600 m di atas permukaan laut (Schroder, 1976). Padang rumput dan daerah terbuka merupakan tempat mencari makan, hutan serta semak belukar merupakan tempat berlindung. Rusa di habitat alami memerlukan tempat berlindung untuk berteduh dari panas dan hujan, untuk melindungi diri dari predator serta untuk istirahat dan tidur. Dibanding jenis rusa yang lain, rusa timor lebih mampu beradaptasi di daerah kering, karena ketergantungan terhadap ketersediaan air relatif lebih kecil. Dengan kemampuan adaptasi yang baik rusa timor mampu berkembangbiak dengan baik di daerah-daerah yang bukan habitat aslinya.

Perilaku

1. Perilaku Berkelompok

Rusa timor umumnya hidup berkelompok antara 3-4 ekor sampai 20 ekor, namun jika berada di padang penggembalaan terkadang dapat membentuk kelompok besar sampai jumlah 75-100 ekor. Kelompok rusa timor sering terdiri atas induk dan anak baik yang masih kecil maupun yang sudah remaja, serta rusa- rusa muda. Menjelang musim kawin rusa jantan berangsur-angsur mendekati kelompok rusa betina (Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 1991).

Di dalam kelo mpok rusa timor biasanya dijumpai dua pemimpin. Dalam keadaan normal pemimpin kelompok adalah rusa jantan dewasa, biasanya memimpin kelompoknya dalam rangka perpindahan tempat untuk mencari makan dan penjelajahan wilayah secara periodik. Dalam keadaan darurat atau menghadapi ancaman bahaya, pemimpin kelompok akan diambil alih oleh induk. Dalam keadaan terdesak induk lebih bertanggung jawab terhadap kelompoknya, sedangkan pejantan umumnya panik dan menyelamatkan diri masing- masing. meninggalkan kelompoknya (Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 1991).

2. Perilaku Makan

Rusa adalah satwa yang aktif baik siang maupun malam hari. Namun untuk rusa timor lebih aktif pada siang hari. Meskipun bukan satwa nocturnal,

rusa timor mampu berubah sifat menjadi nocturnal dalam proses adaptasinya (Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 1991). Aktivitas harian rusa meliputi perjalanan dari dan ke tempat mencari makanan dan air, makan serta beristirahat. Sebagaimana herbivora pada umumnya, rusa menghabiskan waktu berjam-jam untuk makan dan diselingi perjalanan- perjalanan pendek untuk beristirahat maupun menuju ke tempat air. Rusa digolongkan sebagai intermediate feeders, yaitu satwa pemakan tumbuhan jenis semak (browser) dan rerumputan (grazer). Bagian tumbuhan yang dapat dimakan rusa antara lain dedaunan, batang atau ranting yang lunak, rumput, umbi-umbian dan buah-buahan (Ever, 2001) dalam Feriyanto (2002).

Aktivitas makan dimulai ketika rusa menemukan makanan dan memakannya sampai berhenti melakukan aktivitas tersebut. Kegiatan makan dapat dilakukan bersama-sama dengan pergerakan dari satu tempat ke tempat lainnya. Untuk aktivitas makan, rusa timor lebih banyak menghabiskan waktunya pada pagi dan sore hari. Sedangkan siang hari cenderung mencari perlindungan dari teriknya sinar matahari, beristirahat sambil memamah biak. Pada malam hari aktivitas makan juga berlangsung, tetapi tidak begitu aktif (Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 1991).

Menurut Tanudimadja dan Kusumamihardja (1985), hewan ruminansia memiliki pola merumput yang berkorelasi dengan tidak adanya gigi seri bagian atas. Rumput dililit dengan lidah dan akhirnya tergigit antara gigi seri bagian bawah dan rahang atas, kemudian kepala disentakkan ke depan sehingga rumput terpotong. Dikatakan juga bahwa setelah makan biasanya akan berbaring dan berulang-ulang mengeluarkan rumput dari lambungnya ke rongga mulut, kemudian dikunyah dan ditelan lagi.

Penangkaran Rusa Timor Landasan Kebijakan

Penangkaran adalah suatu kegiatan untuk mengembangbiakkan jenis-jenis satwa liar dan tumbuhan alam, bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan mempertahankan kemurnian jenisnya, sehingga kelestarian populasi di alam dapat dipertahankan (Thohari, 1987).

Peraturan perundangan yang menjadi dasar kebijakan dalam kegiatan penangkaran satwa liar umumnya dan penangkaran rusa timor khususnya adalah : 1. Undang-Undang No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam

Hayati dan Ekosistemnya

2. Undang-Undang No. 4 tahun 1994, tentang Keanekaragaman Hayati

3. Undang-Undang No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 4. Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL

5. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 86/Kpts/II/1983, yang mengatur tentang pemberian ijin menangkap/mengambil, memiliki, memelihara dan mengangkut baik di dalam negeri maupun ke luar negeri satwa liar dan

Dokumen terkait