• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

Dalam dokumen FA TASHUKUM SI AS un YANA (Halaman 17-38)

a. Jenis penelitian, pendekatan dan sumber bahan hokum

Penelitian yang dirancang sebagai penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal ini pada dasarnya merupakan suatu studi yang bertujuan untuk mencari kejelasan perihal ruang lingkup tanggungan (obyek yang dapat dipertanggungkan) dan keberlakuan prinsip subrogasi dalam asuransi bencana. Pendekatan-pendekatan yang dipergunakan meliputi statue approach, conceptual approach, dan comparative

approach.

Bahan hukum yang dikumpulkan dan dianalisis dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer yang diperoleh dari legislasi baik Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian maupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dilengkapi lagi dengan bahan dan informasi yang bersumber dari bahan hukum sekunder dan tertier. Namun demikian penelitian ini tidak menutup diri dari kebutuhan beberapa data empiris yang relevan. Data ini merupakan penunjang yang diperoleh dari sumber sekunder.

b. Teknik pengumpulan dan analisis bahan hukum

Pengumpulan bahan hukum dan beberapa data empiris dilaksanakan berdasarkan teknik pencatatan yang diadaptasi dari sistem kartu dan disesuaikan dengan perkembangan teknologi dokumentasi. Beberapa bahan yang diperoleh secara empirik namun demikian analisisnya didasarkan pada teknik-teknik yang pada umumnya dilakukan dalam penelitian hukum normatif. Berdasarkan teknik tersebut,

14

maka penentuan validitasnya tidak bertumpu pada penyebutan metode mutakhir yang canggih, melainkan sangat ditentukan oleh langkah-langkah baku yang ditempuh. Analisis dilakukan secara normatif; mencari kesesuaian antara yang tertuang dalam asas, teori, pendapat dan peraturan perundang-undangan dengan fakta atau peristiwa yang terjadi.

Teknik tersebut dapat dipahami sebagai implementasi metode deduktif yang beranjak dari asas, teori dan seterusnya untuk dicocokkan dengan peristiwa hukumnya. Dalam penelitian ini metode deduktif diterapkan untuk menganalisis kesesuaian perilaku menjalankan perusahaan asuransi bencana dengan asas dan teori hukumnya. Metode ini berangkat dari teori dan ketentuan mengenai badan hukum pada umumnya untuk diuraikan dalam perilaku berkenaan dengan asuransi.

BAGAN ALIR PENELITIAN

Tujuan penelitian Tinjauan Pustaka : diperoleh bahan-bahan mengenai berbagai pendapat, paradigm dan teori mengenai obyek perjanjian asuransi dan subrogasi. Seluruh bahan mengandung potensi untuk dapat mengidentifikasi risiko menerapkan prinsip subrogasi.

- Penelitian untuk memperoleh bahan hukum lanjutan berkenaan dengan kebencanaan dan penanggulangan-nya. Di samping itu juga diupayakan memperoleh data empiris mengenai keberadaan

disaster insurance company.

15

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Ruang Lingkup Asuransi Bencana

Sebelum menguraikan persoalan berkenaan dengan ruang lingkup atau obyek atau hal-hal apa saja yang dapat dipertanggungkan dalam asuransi bencana (disaster

insurance), maka terlebih dahulu bahkan yang sangat menentukan pada dasarnya

adalah memperoleh informasi apakah di Indonesia terdapat perusahaan asuransi yang memberikan pertanggungan terhadap korban bencana.

Di Indonesia terdapat sekitar 139 gunung api aktif yang keberadaannnya tersebar secara merata pada hampir seluruh provinsi.9 Jumlah ini hampir empat kali lipat jumlah provinsi yang ada. Namun demikian terdapat provinsi yang tidak memiliki gunung api, dan sebaliknya terdapat beberapa daerah memiliki lebih dari satu gunung api, misalnya Bali, sebuah pulau yang relatif kecil dengan Gunung Agung (sesekali erupsi dan masih berada dalam status siaga) dan Gunung Batur. Di samping gunung api yang dapat menimbulkan bencana melalui letusannya dan aliran lava sebagai susulannya, bumi Nusantara ini juga mencatatkan banyak daerah yang rawan banjir dan tanah longsor. Pada 2012 yang

lalu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan

240 kabupaten/kota di Indonesia rawan banjir dan longsor.10

Erupsi gunung api, banjir dan tanah

9

Ralf Gertisser, Katie Preece, Sylvain Charbonnier, 2018, Gunung Api Indonesia ada di Daftar yang dipantau ilmuwan dunia. https://theconservation.com

10

2012, BNPB: 240 Kabupaten/Kota Rawan Banjir dan Longsor. https://voaindonesia.com

Analisis bahan :

- Bahan-bahan diinterpretasikan dan dikonstruksi

16

longsor dapat dikemukakan sebagai bencana yang dapat atau pernah dialami oleh banyak negara, di Indonesia selain bencana-bencana yang "lumrah" juga memiliki potensi bencana yang lain dan agak spesifik. Saking khasnya bahkan sampai berhasil diciptakan konsep yang khas pula yaitu "Karhutla". Konsep ini merupakan singkatan dari "kebakaran hutan dan lahan". Yang dimaksudkan "lahan" disini adalah "lahan gambut" dan lahan seperti ini bisa mengalami kebakaran.

Intinya, disamping memiliki lahan yang subur, laut yang penuh dengan ragam ikan, hutan yang lebat (dahulu) dan berbagai bentuk properti yang masih tersimpan di perut bumi pertiwi (sekarang sudah berkurang) dan lain-lain yang pada pokoknya berhasil mengantarkan predikat sebagai negara yang berlimpah dengan kekayaan alam, pada dasarnya juga Indonesia itu juga kaya dengan potensi bencana. Oleh karena itu akan merupakan suatu hal yang ironis apabila di Indonesia tidak terdapat perusahaan asuransi bencana.

Kalau pun tidak ada disaster insurance

company yang beroperasi di Indonesia, kiranya ketidakhadiran asuransi tersebut

dapat dimaklumi. Betapa pun juga suatu usaha bisnis tentunya harus memperhitungkan faktor rugi-laba, sementara itu seperti telah diuraikan, kondisi geografis Indonesia yang juga kaya potensi bencana dapat mengundang kekhawatiran di samping datangnya banjir bandang juga munculnya banjir klaim. Apabila di kawasan rawan bencana seperti Indonesia setiap orang, setiap tempat tinggal, tempat usaha, kendaraan dan lain-lain yang pada pokoknya meliputi setiap benda baik bergerak maupun tidak bergerak diasuransikan, dapatlah dibayangkan betapa besarnya jumlah klaim yang harus dipenuhi atau dibayar oleh perusahaan asuransi. Hal ini sesungguhnya merupakan suatu kendala bagi perusahaan asuransi beroperasi di negara-negara yang memiliki potensi bencana yang tinggi pada umumnya.

Oleh karena itu pula kebanyakan pelaku bisnis asuransi memilih berada di zona nyaman dalam pengertian banyak yang hanya memusatkan bisnisnya pada bidang atau jenis asuransi yang sangat umum diselenggarakan. Jenis asuransi yang dimaksudkan ini adalah asuransi

17

jiwa, asuransi kebakaran, asuransi kecelakaan yang berkembang dengan relatif

cepat. Jangankan swasta,

negara sendiri melalui unit usaha yang didirikan, dimiliki dan dikelola berdasarkan fungsi state as entrepreneur pada dasarnya juga masih berkonsentrasi pada bidang “asuransi kecelakaan” melalui PT (Persero) Asuransi Kecelakaan Jasa Raharja. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini menyelenggarakan jasa

asuransi wajib yang sangat berkembang. Kiranya

kuranglah tepat apabila kawasan dengan ragam, jumlah, dan frekuwensi bencana yang relatif tinggi dijadikan sebagai dasar kekhawatiran mendirikan perusahaan asuransi bencana. Dari perspektif obyek, bidang asuransi ini sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan bidang-bidang asuransi yang lainnya, bahkan terdapat hubungan antara jenis yang satu dengan yang lainnya.

Asuransi jiwa misalnya atau juga yang disebut dengan “pertanggungan sejumlah uang” pada dasarnya merupakan perjanjian timbal-balik antara penutup (pengambil asuransi dengan penanggung , dimana penutup asuransi mengikatkan diri untuk membayar uang premi, sedangkan penanggung mengikatkan diri untuk membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan pada saat ditutupnya pertanggungan dan didasarkan atas hidup dan matinya seseorang yang ditunjuk.11

Dalam asuransi jiwa yang ditanggung atau yang diasuransikan itu bukanlah kerugian, melainkan sejumlah uang yang harus dibayar oleh perusahaan asuransi berdasarkan hidup atau matinya seseorang tertanggung. Sementara itu persoalan hidup-matinya seseorang sesungguhnya merupakan suatu kepastian dalam ketidakpastian (uncertainties) berkenaan dengan saat terjadinya peristiwa

tersebut. Seseorang dapat saja meninggal karena menjadi korban keganasan

dari suatu bencana. Apabila seseorang yang bersangkutan itu menjadi pihak tertanggung, maka dengan meninggalnya itu perusahaan asuransi berkewajiban untuk membayar sejumlah uang sesuai dengan yang diperjanjikan. Apakah dengan demikian asuransi jiwa dapat dikemukakan sebagai suatu asuransi

bencana. Disimak dari isi polis asuransi jiwa yang terdiri dari a. hari

11

H.M.N. Purwosutjipto, 1983. Pengertian Pokok Hukum Dagang. Hukum Pertanggungan. Penerbit Djambatan, Jakarta. Hal. 116.

18

ditutupnya pertanggungan berkenaan dengan saat dimulainya dan jangka waktu dalam mana risiko menjadi beban penaggung, b. nama tertanggung, yaitu orang yang menutup atau mengambil asuransi, c. badan tertanggung – orang yang jiwanya dipertanggungkan, d. masa pertanggungan, e. jumlah pertanggungan, dan f. uang premi, jadi tidak ada disebutkan dalam polis tentang hal-hal yang membebaskan penanggung dari kewajibannya membayar sejumlah begitu peristiwa meninggalnya tertanggung terjadi.

Yang dimaksudkan dengan “bahaya” dalam pertanggungan jiwa adalah “matinya” orang yang jiwanya dipertanggungkan. Tentang matinya seseorang itu merupakan hal yang sudah pasti….yang belum pasti terjadinya ialah “kapan” mati itu mendatangi orang yang bersangkutan. Inilah yang disebut peristiwa tak tentu (oinzeker voorval). Peristiwa matinya orang yang jiwanya dipertanggungkan itu merupakan unsur yang mengakibatkan timbulnya kewajiban pada penanggung untuk melakukan prestasinya….dan karena peristiwa mati itu tidak mempunyai jenis lain, maka dalam polis tidak

perlu disebut.12 Di samping itu hukum

asuransi juga memperkenankan diadakannya “Klausul All Risk” terutama dalam perjanjian asuransi kerugian. Berdasarkan klausul tersebut penanggung harus mengganti kerugian atas seluruh kemungkinan kerusakan atau kehilangan benda yang dipertanggungkan baik karena cacat bawaan atau pun karena kesalahan tertanggung sendiri. Klausul ini dapat ditafsirkan secara luas hingga tanggung jawab penanggung atas kerusakan dan kehilangan bukan karena cacat bawaan

mau pun kesalahan tertanggung. Bagaimana halnya dengan

risiko bencana yang menurut Pasal 1 angka 17 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana merupakan potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Apakah seluruh risiko tersebut dapat dipertanggungkan dalam perjanjian asuransi.

Untuk dapat

12

19

menjelaskan persoalan tersebut maka terlebih dahulu harus ditelusuri prinsip-prinsip dalam perjanjian asuransi. Dalam kaitannya dengan hukum, prinsip-prinsip merupakan asas hukum yang tidak berupa peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat

umum dalam peraturan konkret tersebut.13 Fungsi asas

hukum itu pada intinya melandasi hukum yang konkret dan oleh karena itu asas hukum terdapat di belakang, di dalam dan bahkan mendahului norma hukumnya. Berkenaan dengan asas hukum asuransi dijumpai adanya 6 (enam) prinsip yang terdiri dari insurable interest, utmost good faith, indemnity, subrogation,

contribution, dan proximate cause.

Disimak dari prinsip-prinsip insurable interest, utmost good faith, indemnity, dan

contribution dapat dikemukakan beberapa jenis dari risiko bencana seperti kematian, luka, sakit, kerusakan, dan kehilangan harta memenuhi kriteria untuk menjadi obyek dalam perjanjian asuransi. Sementara itu risiko-risiko dalam bentuk jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, dan gangguan kegiatan masyarakat kiranya masih membutuhkan pemikiran yang lebih dalam untuk dapat sampai pada kedudukan sebagai obyek asuransi. Sampai sejauh ini bahasan ringkas tadi pada dasarnya sudah menguraikan bahwa perusahaan asuransi yang mengcover risiko bencana adalah layak dan legal dan oleh karena itu dapat pula dipertimbangkan sebagai partisipasi dunia bisnis dalam rangka mitigasi dan reduksi dampak bencana yang membutuhkan alokasi dana yang sangat besar.

Namun demikian hasil penelusuran berita-berita berkenaan dengan bencana yang terjadi memperlihatkan bahwa peranan disaster

insurance company di Indonesia sesungguhnya belum maksimal. Hal ini tampak

dari ketimpangan antara jumlah kerugian terjadi yang diperbandingkan dengan jumlah klaim yang dibayarkan oleh penanggung (perusahaan asuransi).

PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re mencatat, total klaim reasuransi umum akibat banyaknya bencana alam yang

13

20 menimpa Indonesia selama 2018 mencapai lebih dari Rp284 miliar berdasarkan data yang diterima hingga Desember 2018. Jumlah klaim tersebut berasal dari Gempa Lombok dengan total klaim sebesar Rp87,6 miliar dan Gempa Palu & Donggala sebesar Rp196,7 miliar.14 Sudah tentu jumlah kerugian diderita mencapai trilyunan rupiah karena meliputi kerusakan infrastruktur dan aset-aset yang tidak diasuransikan. Sebagai perbandingan dampak kerugian gempa bumi yang melanda Bali pada 16 Juli 2019 yang berkekuatan 5,8 SR adalah Rp.733,3 berupa kerusakan bangunan tempat suci dan rumah penduduk yang tidak diasuransikan.

2. Relevansi Prinsip Subrogasi dalam Asuransi Bencana

Menurut Pasal 1400 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, subrogasi pada dasarnya merupakan penggantian hak-hak oleh seorsng pihak ketiga yang membayar kepada kreditur baik karena perjanjian mau pun undang - undang. Subrogasi harus dinyatakan secara tegas karena subrogasi berbeda dengan pembebasan utang. Tujuan pihak ketiga melakukan pembayaran kepada kreditur adalah untuk menggantikan kedudukan kreditur lama, bukan membebaskan debitur dari kewajiban membayar utang kepada kreditur.

Pihak ketiga sebagai kreditur baru berhak melakukan penagihan utang terhadap debitur dan jika debitur wanprestasi, maka kreditur baru mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas benda-benda debitur yang dibebani dengan jaminan seperti gadai, hipotek, dan hak tanggungan. Keterangan ringkas ini mengandung relevansi dalam hubungan hukum perutangan menurut hukum

perdata umum.

Subrogasi juga dikenal dalam lapangan hukum dagang yang diatur dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang pada pokoknya menentukan bahwa "penanggung yang telah membayar ganti kerugian atas benda yang diasuransikan menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap pihak ketiga sehubungan dengan kerugian tersebutyang

14

21

telah menimbulka kerugian tersebut.

dan tertanggung bertanggungjawab untuk setiap perbuatqn yang dapat Dalam hubungan hukum asuransi, Subrogasi dapat diuraikan dengan ilustrasi yang menggambarkan misalnya si A mempertanggungkan sebuah mobil atas risiko kerusakan dan kehilangan pada perusahaan asuransi B. Ketika mobil A hilang karena dicuri, maka berdasarkan prinsip subrogasi, B berkewajiban mengganti kerugian A dan selanjutnya B memiliki hak untuk memperoleh penggantian atas pembayaran yang telah dilakukan dari si pencuri.

Subrogasi merupakan salah satu prinsip atau asas dalam hukum asuransi. Agar prinsip ini dapat diterapkan dibutuhkan suatu syarat yaitu agar pihak yang meyebabkan timbulnya kerugian itu diketahui dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Pengetahuan ini dibutuhkan untuk memudahkan pelaksanaan hak tagih atas segala sesuatu yang telah dibayarkan.

Pelaksanaan subrogasi membutuhkan dukungan prinsip proximate atau suatu pemahaman mengenai penyebab aktif, efisien yang menimbulkan rantaian kejadian yang menimbulkan suatu akibat tanpa adanya intervensi suatu yang mulai dan secara aktif dari sumber yang baru dan independen. Artinya untuk dapat mengklaim subrogasi harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang menyebabkan timbulnya bencana.

Dalam hubungan ini terdapat beberapa paradigma pemahaman bencana yang seluruhnya menguraikan tentang penyebab bencana itu sendiri. Ada pun paradigma yang dimaksudkan itu terdiri dari paradigma KeTuhanan, paradigma Alamiah, paradigma kerentanan, dan yang terakhir adalah paradigma perubahan yang merupakan penambahan terhadap paradigm-paradigma yang lazim dipergunakan dalam wacana pembahasan kebencanaan.

Paradigma KeTuhanan atau God/definity paradigm seperti sudah dikemukakan pada bagian tinjauan kepustakaan pada dasarnya memandang bahwa bencana-bencana merupakan hasil campur tangan Tuhan. Deskripsi yang paling jelas berkenaan dengan campur tangan tersebut tercantum dalam Alkitab

(Genesis Chapter 6-8). Dalam bab tersebut (6:7), dituliskan sabda Tuhan kepada

22

sendiri dan binatang-binatang, dan makhluk-makhluk yang merangkak di tanah, serta burung-burung di udara ; karena aku menyesal telah menciptakannya.

Campur tangan Tuhan berkenaan dengan terjadinya bencana tidaklah terbatas seperti yang tertuang dalam Alkitab saja. Campur tangan seperti itu dapat juga dijumpai dalam mitos banjir tertua di dunia menurut mitologi Mesopotamia. Menurut mitologi ini manusia diciptakan oleh para dewa untuk melakukan kerja keras; namun karena kegaduhan yang dihasilkan oleh manusia yang berkerja itu membuat para dewa mengubah pikiran mereka dan menghancurkan umat manusia dengan banjir selama tujuh hari.15

Paradigma KeTuhanan kiranya sangat lekat dengan nuansa “indeterminisme” yang menempatkan God/Divinity sebagai sebab awal. Dengan kekuatan yang digambarkan sangat dahsyat dan lengkap, sebab awal yang

dimaksudkan itu mampu melakukan tindakan dua arah yaitu menciptakan

dan menghancurkan segala sesuatunya. Namun demikian paradigma ini masih mengakui dan menghargai ikhtiar serta perbuatan baik.16

Intinya, paradigma KeTuhanan tidak sekadar “memperlakukan” Tuhan sebagai suatu konsep semata-mata, melainkan merupakan sesuatu yang aktif dalam segala hal. Tuhan tidak hanya bersemayam dalam pikiran dan hati sanubari manusia, akan tetapi juga menjadi perencana, intervensi dan sudah tentu melakukan pengawasan yang abadi. Tidak ada sesuatu pun yang sudah, sedang dan yang akan terjadi termasuk dalam bencana tanpa kehadiranNya.17

Paradigma alamiah atau paradigm kontingensi atau

nature/contingency paradigm merupakan paradigma yang usianya relatif muda

yang muncul setelah gempa bumi besar melanda Portugis pada 1775. Dalam menjelaskan paradigma kontingensi Seorang pencerah (aufklarung) bernama Francois-Marie Arouet atau yang populer sebagai Voltaire dengan menulis sebuah puisi yang bermakna…. dunia ini penuh dengan ketidakteraturan yang mengandung ketidakadilan. Dalam pandangannya, teratur sama dengan adil.

15

Putu Sudarma Sumadi, 2019. Hukum Bencana Dan Bencana Hukum. Zifatama, Surabaya. Hal. 34. Mengutip Kristian Cedervall Lauta.

16

Ibid. hal. 35.

17

23

Segala sesuatu yang tidak teratur adalah tidak adil. Pada suatu tempat, manusia mengalami penderitaan yang teramat sangat, tetapi di tempat lain di bumi ini manusia justru menikmati segala bentuk kesenangan. Voltaire tidak mengemukakan bahwa dunia ini lekat dengan ketidakpastian, melainkan penuh dengan berbagai kemungkinan yang seharusnya mengarahkan agar umat manusia

siap menghadapinya. Paradigma kontingensi pada

dasarnya memandang alam semesta yang tidak teratur dan penuh dengan berbagai kemungkinan itu merupakan penyebab terjadinya segala bencana di dunia.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa paradigma kontingensi

mengejawantahkan perkembangan yang revolusioner berkenaan dengan penyebab bencana dari Tuhan ke alam. Namun demikian paradigma kontingensi diakui telah membawa pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan kebencanaan. Faktor inilah yang

membedakannya dengan paradigma yang pertama.18 Dengan

bertumpu pada pemahaman kerentanan sosial yang mengacu pada

ketidakmampuan orang, organisasi , dan masyarakat untuk menahan dampak negatif dari berbagai pemicu yang mereka hadapi. Dampak ini sebagian disebabkan oleh karakteristik yang melekat dalam interaksi sosial, lembaga, dan sistem nilai budaya. Dapatlah dijelaskanm betapa pun juga social vulnerability

merupakan bagian dari bencana seperti halnya bencana alam. Perbedaannya,

dua paradigma terdahulu menekankan pada faktor yang bersifat transcendental dan alam, sedangkan paradigm sosial/kerentanan menekankan pada faktor manusia pada umumnya dan lingkungan sosialnya.

Dari uraian yang ringkas tersebut apabila diringkas lagi diharapkan akan dijumpai inti dari pokok persoalan yang dibahas. Ada pun inti dari

social/vulnerability paradigm memperlihatkan bahwa ketidaksiapan,

ketidakberdayaan, kekurangtanggapan, dan segala bentuk kekurangmampuan masyarakat dalam memahami, mencegah serta menanggulangi bencana dan

dampaknya sesungguhnya merupakan suatu bentuk bencana.19

18

Ibid. hal. 36

19

24

Paradigma perubahan atau change paradigm pada pokoknya memandang bahwa keberadaan semua makhluk dan alam semesta sesungguhnya merupakan gabungan dari elemen-elemen dan energi. Elemen-elemen tersebut terdiri dari

tanah, angin, air dan api. Dapat dikemukakan, tanah terdiri dari

unsur-unsur yang tercakup dalam ruang lingkup tanah, sedangkan angin, air serta api merupakan energi. Elemen-elemen dan energi tersebut tunduk pada dan diatur oleh hukum alam yang bekerja dalam siklus abadi (perpetual cycle); lahir, tumbuh, hancur dan lenyap….this universe of animate and inanimate objects

exists on a basis of conditioning and the occurrence of mental and physical events that are governed by natural laws (Dhamma Niyama)20.

Terma Dhamma Niyama mengacu pada hukum alam versi Buddhis yang terdiri dari Utu Niyama, Bija Niyama, Kamma Niyama, Citta Niyama, dan

Dhamma Niyama. Aspek hukum alam Buddhis yang paling relevan dengan topik

ini adalah Utu Niyama yang pada dasarnya merupakan hukum tentang energy….Energy, in its two forms of heat and cold, causes many changes within

the body and the environment. It is always in a state of flux, of continuous change and always seeking a balance. It is the law that govern changes in body, such a old age and illness, or in an ecological context, with respect to such things as climates, seasons and earth movements.21

Dari pernyataan tersebut dapatlah diangkat sebuah kata

kunci yaitu “perubahan” yang berlangsung secara terus-menerus.

Perubahan tidak hanya terjadi di dunia fisik, akan tetapi juga pada alam metafisika, baik yang berupa benda beruwujud mau pun tidak berwujud. Seluruh elemen ini dapat mengalami perubahan. Energi yang berubah secara terus-meneru dapat dikemukakan sebagai suatu contoh. Panas dan dingin yang merupakan bentuk-bentuk energi telah banyak menimbulkan perubahan pada manusia dan

lingkungannya. Penyakit, ketuaan, cuaca, musim dan

pergerakan-pergerakan bumi semuanya berkenaan dengan perubahan.

20

Sri Dhammananda Maha Nayaka Thera, 2005. The Anatomy Of Disaster. The Buddhist Channel.

https://www.buddhistchannel.tv. 24-2-2005

Dalam dokumen FA TASHUKUM SI AS un YANA (Halaman 17-38)

Dokumen terkait