• Tidak ada hasil yang ditemukan

FA TASHUKUM SI AS un YANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FA TASHUKUM SI AS un YANA"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

KED

UKA H

DISASTERlNSURANCECOMPANY

DALAM RANG

MITIGASI D

REDUKSI

DAMPAKBENCA A

Pr0f. Dr. Putu Sudamla Sumadi SR. SD

NID.'f 0019045603

PROG~STunI~MUHUKUM

FA

TASHUKUM

SI AS

un

YANA

(2)

1. Judul Penenlitian : Kedudukan Hukurn Disaster Insurance Company Dalam Rangka Mitigasi Dan Reduksi Dampak Bencana

') Ketua Peneliti

a. Nama lengkap : Prof. Dr. Putu Sudanna Sumadi, SH, SU b. Jenis kelamin : laki~laki

c. NIPINIDN : 19560419198303100310019045603 d. Jabatan struktural :

e. Jabatan fungsional: Guru Besar

f. Fakultas : Hukum

g. Pusat Penelitian : Unit Penelitian dan Pengabdian Fakultas Hukum Unud h. Alamat : J1. Pulau Bali No. 1 Sanglah, Denpasar

1. Telpon : (0361) 222666

j. Alamat rumah : J1. Gatot Subroto I!X.X1II No. 23 Denpasar 80239 3. Jumlah anggota peneliti : 1(satu) orang

4. Pembiayaan : Mandiri

Denpasar, 18 Juli 2019

Mengetahui, Ketua Peneliti,

Ketua Bagian

(Dr. I Made Sarjana, SH.,MH.) SHSU

NIP. 196112311986011001

Mengetahui

Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

( Prof. Dr. I Made· SH. M.Hum.) NIP. 196502211990031005

(3)

KATAPENGANTAR

Tidak ada yang dapat diungkapkan selain ekspresi perasaan yang penuh

santtuthi (sukacita) karena akhimya Laporan Penelitian yang berjudul HKedudukan Hukuro Disaster Insurance Company Dalam Raogka Mitigasi Dan Reduksi Bencana" dapat

dirampungkan tepat pada waktunya. Akan tetapi seperti biasanya dan sudah tentu dengan berbagai kekurangan yang menyertainya.

Penelitian ini berusaha semaksimalnya mencan penjelasan atas permasalahanpokok pertama apakah risiko bencana seperti rasa aman yang terancam, mengungsi, dan terganggunya kegiatan dalam masyarakat dapat dipertanggungkan. Kedua apakah prinsip subrogasi dapat diterapkan dalam perjanjian asuransi bencana. Penjelasan tersebut sangat bermanfaat untuk menumbuhkembangkan kesadaran berasuransi.

Terbatasnya waktu yang dapat dialokasikan untuk melaksanakan penelitian iui secara mandiri dan terutama kemampuan dalam hal pemahaman merupakan faktor­ faktof yang menyebabkan kualitas laporan peneJitian ini kurang memadai. Kendala ini masih harus ditambah lagi dengan kesulitan memperoleh data. Akan tetapi hal ini kiranya dapat maklumi mengingat pengerjaannya yang dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan dengan kewajiban tulis-menulis yang lainnya.

Seperti sudah dikemukakan, penelitian ini masih jauh dari sempurna. Ragam dan jumlah materi berupa peristiwa dan/atau hubungan yang mengandung unsur perjanjian asuransi bencana yang berhasil dikumpulkan maslh sangat terbatas. Untuk itu setiap sumbang saran yang dapat melengkapi materi yang sudal1 ada sangatlah diharapkan. Akhir kata disampaikan permohonan maaf atas segala kekurangan dan terimakasih atas segala bantuan hingga rampungnya Iaporan ini.

D"Tar,

18 Juli 2019

(4)

DAFfARISI KATAPENGANTAR DAFTARISI RINGKASAN... I BAB I PENDAHULUAN... ... . 2 BABIITINJAUANPUSTAKA... 6

BAB III METODE PENELITIAN... ... 13

BABIVHASILDANPEMBAHASAN... 15

BAB V PENUTUP... 25

DAFTAR PUST AKA

(5)

1

RINGKASAN

Berdasarkan pandangan bahwa ….disaster insurance is a monetary agreement

between an insurance company and an individual, entitling the individual to compensation for losses incurred during disasters. A few common examples include natural disaster insurance, earthquake insurance, and tsunami insurance, dapat

dikemukakan perihal yang disebut dengan asuransi bencana atau disaster insurance itu sesungguhnya merupakan asuransi yang bersifat konvensional dalam pengertian memiliki prinsip-prinsip yang sama seperti asuransi-asuransi pada umumnya; asuransi kehilangan, asuransi kebakaran, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa.

Namun demikian apabila disimak lebih dalam memang terdapat perbedaan yang sangat karakteristik. Perbedaannya terletak pada risiko yang ditanggung. Risiko pada asuransi konvensional berkisar pada kehilangan, kerusakan, kerugian pada umumnya, kebakaran, kecelakaan dan peristiwa tertentu yang tidak dapat dipastikan kapan terjadinya (uncertainties). Sementara itu yang ditanggung dalam asuransi bencana adalah risiko bencana.

Asuransi merupakan suatu perjanjian dengan mana pihak pertama yang disebut Penanggung menyanggupi untuk memberikan kompensasi atas terjadinya risiko tertentu pada pihak kedua yang disebut Tertanggung yang menyanggupi untuk membayar premi kepada pihak pertama. Dengan demikian dapat dikemukakan asuransi pada dasarnya mengacu pada suatu bentuk transaksi untuk memperalihkan risiko tertentu dari pihak kedua kepada pihak pertama dengan partisipasi tertentu pihak kedua. Perilaku berasuransi dapat dipersamakan dengan perilaku dalam berinvestasi yang berorientasi pada masa yang akan datang sembari membuat persiapan-persiapan yang perlu dan relevan pada masa kini.

Penelitian ini memiliki tujuan jangka panjang dalam rangka meningkatkan

ko-dependensi melalui peningkatan kesadaran berasuransi sebagai langkah

pemahaman dan persiapan mitigasi dan reduksi dampak bencana. Ada pun tujuannya secara khusus adalah mencari kejelasan mengenai ruang lingkup obyek perjanjian asuransi bencana, dan relevansi prinsip subrogasi dalam asuransi yang mempertanggungkan risiko bencana. Kedua tujuan tersebut penting artinya bagi kedudukan perusahaan asuransi pada satu sisi dan bagi masyarakat yang bermukim dan mencari penghidupan di kawasan rawan bencana.

Penelitian mengenai kedudukan hukum disaster insurance company dalam rangka mitigasi dan reduksi dampak bencana ini dirancang sebagai penelitian hukum normatif yang berbasis pada bahan-bahan hukum baik primer (peraturan perundang-undangan, dll) maupun sekunder (bahan pustaka), yang dilengkapi dengan data empiris. Pendekatan yang dipergunakan terdiri dari statute approach,

conceptual approach dan comparative approach. Bahan dan data yang relevan

dianalisis secara interpretatif menurut langkah-langkah yang sesuai dan dideskripsikan karena hakikatnya penelitian hukum itu merupakan studi yang menjelaskan.

(6)

2

BAB I. PENDAHULUAN

Kondisi-kondisi yang merupakan akibat atau kemungkinan-kemungkinan akibat yang timbul baik secara alami maupun non-alam karena perbuatan tunggal atau bersegi dua (perjanjian) yang dilakukan oleh orang-orang pada dasarnya merupakan risiko yang dapat terjadi pada atau menimpa barang dan atau diri (fisik) setiap orang atau hampir segala sesuatu.

Sejalan dengan berkembangnya pemahaman berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana , pertama, bahwa bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Kedua, bahwa bencana alam merupakan merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor, maka kondisi-kondisi seperti cedera, kehilangan, kerusakan dll tersebut tidak cukup lagi untuk mendeskripsikan luas ruang lingkup pengertian risiko.

Pemahaman bahwa risiko atau risk ….the danger or hazard of a loss of the

property insured; the casualty contemplated in a contract of insurance; ….a specific contingency or peril;….the specific house, factory, ship, etc. covered by policy. Hazard, danger, peril, exposure to loss, injury, disadvantage or destruction, and comprises all elements of danger1, dalam perkembangan terakhir

ini harus disesuaikan dengan konteks dalam hal apa risiko tersebut menjadi pokok persoalan.

Undang-undang tentang Penanggulangan Bencana memiliki definisi sendiri mengenai “risiko bencana” yang dirumuskan sebagai potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan

1

(7)

3

masyarakat (Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007).

Dari uraian ringkas tersebut dapat diketahui bahwa risiko yang paling besar dan lengkap-menyeluruh itu dapat terjadi karena bencana baik alam mau pun non-alam. Bencana tidak saja menghancurkan segala sesuatu yang bersifat kebendanaan akan tetapi juga non-benda, bahkan peradaban yang telah berkembang dan diwariskan secara turun temurun juga dapat lenyap seketika.

Dengan demikian dapatlah dibayangkan betapa tingginya "ongkos" ekonomi dan sosial yang harus ditanggung akibat bencana. Ongkos bencana yang dimaksudkan dalam hal ini pada dasarnya adalah seluruh pengeluaran yang terjadi dan pendapatan yang tidak diperoleh selama berlangsungnya seluruh tahapan bencana.

Apabila mengacu pada tahapan atau level status gunung berapi yang terdiri dari empat tahap; 1. aktif normal ( gunung api yang diamati tidak ada perubahan aktivitas secara visual, seismik, dan kejadian vulkanik), 2. waspada ( aktivitas seismik meningkat dan mulai muncul kejadian vulkanik). 3. Siaga ( peningkatan seismik dan vulkaning yang dapat diamati dengan terjadinya perubahan visual dan aktivitas kawah.4. awas ( level yang paling memungkinkan terjadinya erupsi. Terjdi letusan utama yang dilanjutkan dengan letusan awal, diikuti semburan abu dan uap. Setelah itu akan diikuti dengan erupsi besar), maka setiap tahap tersebut sesungguhnya sudah menuntut dialokasikannya ongkos bencana.

Pada level aktif normal yang tampak adem-adem saja sejumlah ongkos bencana sudah harus dialoksikan tidak saja oleh pemerintah melalui "budget" dari institusi atau badan nasional terkait, akan tetapi juga oleh setiap orang atau pun korporasi terutama yang berlokasi pada kawasa rawan bencana berupa ongkos-ongkos yang dikeluarkan sebagai langkah antisipasi dan penanggulangan bencana.

Namun demikian sudah tentu ongkos yang terbesar akan terjadi pada dan pasca level awas. Pada level ini berlangsung evakuasi secara besar-besaran meliputi hampir seluruh penduduk dan properti termasuk hewan peliharaan yang

(8)

4

dapat dibawa, kecuali rumah, tempat usaha, sawah, ladang, pabrik dan ternah yang membutuhkan perhatian khusus.

Sebagai bahan perbandingan maka pada kesempatan ini disajikan kembali hasil penelusuran berkenaan dengan erupsi Gunung Agung di Kabupaten Karangasem Bali pada 2017. Penelusuran yang dilatarbelakangi oleh berbagai keterbatasan tersebut dilakukan dengan menyimak berita-berita seputar erupsi khususnya pada media online sebagai sumber bahan hukum tertier.

Berdasarkan penelusuran tersebut diperoleh informasi bahwa erupsi Gunung Agung yang tidak sampai mengeluarkan lava pijar dan menyebabkan banjir lahar dingin serta letusan yang sangat dahsyat, melainkan “hanya” asap tebal dan abu vulkanik pada waktu itu, telah menyebabkan timbulnya kerugian hingga belasan triliun rupiah.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, total kerugian akibat erupsi Gunung Agung, Bali selama 40 hari mencapai Rp 19 triliun. Kerugian terutama disebabkan anjloknya kunjungan wisata mancanegara (wisman) dan menyebabkan target kunjungan turis 2017 tak tercapai. Luhut mengatakan, erupsi Gunung Agung ini bahkan membuat Tiongkok memberikan peringatan perjalanan atau travel warning bagi warganya yang ingin berkunjung ke Indonesia. Akibatnya, tak ada satupun turis asal Tiongkok yang berkunjung ke Indonesia saat itu.2

Intinya dari erupsi yang diembel-embeli dengan predikat “hanya” seperti itu Indonesia mengalami kerugian dalam tiga bentuk; pertama, tidak terwujudnya harapan memperoleh keuntungan dari kedatangan wisatawan mancanegara, kedua, terganggunya agenda ekonomi karena target tahunan tidak tercapai, dan ketiga semacam sanksi sosial berupa travel warning. Negara yang menjadi sasaran dari warning tersebut akan merasakannya sebagai suatu langkah pengucilan dari hiruk-pikuknya dunia pariwisata.

Lebih inti lagi, ongkos bencana terutama apabila dinilai dari aspek finansialnya itu sangat tinggi. Dalam kebanyakan bencana

2

Dimas Jarot Bayu, 2018. Erupsi Gunung Agung Sebabkan Kerugian Hingga Rp 19 Triliun.

(9)

5

seringkali tampak pelaksanaan penanggungalannya seperti kekurangan biaya, belum lagi yang dialokasikan untuk yang bersangkutan dengan upaya "recovery" yang memang butuh biaya tidak sedikit kalau tidak boleh dikatakan besar.

Biaya recovery selama ini ditanggung oleh negara terutama untuk infrastruktur melalui pengalokasian secara khusus dana untuk penanggulangan bencana berdasarkan amanat undang-undang. Ini merupakan suatu bukti kesungguhan negara dalam menanggulangi bencana. Namun demikian negara juga harus memiliki dan melaksanakan kewajibannya itu sesuai dengan paradigm penanganan bencana.

Dalam paradigma mitigasi dan reduksi yang sedang dikembangkan dalam beberapa tahun belakangan ini, pola penanganan dampak bencana tidak lagi didominasi oleh institusi pemerintah, melainkan masyarakat umum melalui strategi kebudayaan didorong untuk turut berpartisipasi, dunia bisnis diberikan kesempatan untuk menyediakan jasa asuransi.

Urgensi penelitian ini pada dasarnya terfokus pada tujuan untuk memperoleh kejelasan pertama apakah risiko bencana dapat dijadikan obyek asuransi, dan kedua, apakah prinsip subrogasi berlaku bagi disaster

insurance company mengingat faktor-faktor penyebab bencana (risiko) sesuai

dengan paradigma pemahaman bencana seluruhnya bukan merupakan para pihak yang dapat dipertanggungjawabkan.

(10)

6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Bencana atau disaster (Bahasa Inggris) atau ramp (Bahasa Belanda) merupakan bagian dari kosakata dalam Bahasa Indonesia yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang berarti sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan; kecelakaan; bahaya. Dalam perspektif demikian, konsep bencana merujuk pada sesuatu sebagai sebab.

Dalam Wet rampen en sware ongenvallen 1985 atau Undang-Undang Belanda 1985 tentang Bencana ditentukan bahwa bencana merupakan

peristiwa yang menyebabkan gangguan serius pada keselamatan dan keamanan umum, yang membahayakan kehidupan dan kesehatan sejumlah besar orang atau sangat mengancam kepentingan material, dan memerlukan usaha terkoordinasikan dari layanan dan organisasi dari berbagai disiplin ilmu untuk menghilangkan ancaman atau membatasi efek yang membahayakan. Definisi tersebut pada dasarnya

bersifat lebih konkret dengan menekankan bencana-bencana (rampen) sebagai suatu peristiwa. Elizabeth A. Martin3 tidak menyinggung tentang disaster

(bencana) melainkan mendefinisikan acts of God ….an event due to natural causes

(storms, earthquake, flood, etc) exceptionally severe that no one could reasonably be expected to anticipate or guard against it. Selanjutnya penulis kamus ini

menghubungan act of God dengan force majeure. Oleh Karena itu dipandang layak untuk mengetengahkan seberapa perlu tentang konsep yang disebutkan terakhir itu.

Dalam tulisannya dikemukakan ….Force Majeure

(Franc) irresistible compulsion or coercion. The phrase is used and that are completely outside the parties control. Such events are normally listed in full to ensure their enforceability; they may include “act of God, fires, failure of suppliers or subcontractors to supply the supplier under the agreement, and strikes and other labor disputes that interfere with the supplier’s performance of an agreement. An express

3

(11)

7

clause would normally excuse both delay and a total failurs to performs the

agreement4. Berdasarkan

pengertian tersebut dapatlah diungkapkan bahwa konsep force majeure berasal dari Bahasa Perancis yang pada satu sisi merupakan padanan dari konsep disaster dan lebih mengandung nilai hukum, dan pada sisi lain mencakup aspek-aspek yang lebih luas. Konsep force amun mencakup juga bencana-bencana yang disebabkan karena perbuatan dan campur tangan manusia. Pada poin ini sudah mulai tampak ragam atau

jenis bencana yang dapat terjadi. Di

samping konsep force majeure, terdapat juga konsep force majesture akan tetapi keduanya harus dibedakan dengan tegas. Henry Campbell Black mengemukakan ….Force majesture including lightnings, earthquake, storms, flood, sunstrokes,

freezing, etc.where in later two can be considered hazards in contemplation of employer within compensation acts. Sedangkan force majeure…the law of insurance, superior or irresistible force. Such clauses is common in construction contracts to protect the parties in the event that a part of contract cannot be due causes are outside the control of the parties and could no be avoided by exercise of due care.5

Intinya, kerugian-kerugian yang ditimbulkan akibat dari sambaran petir, gempa bumi, badai, banjir, sengatan panas matahari, kedinginan, dll. termasuk dalam kategori force majesture. Menurut undang-undang Kompensasi (ganti rugi) dua item yang disebutkan terakhir itu dapat dipandang sebagai jenis-jenis bahaya yang melekat pada para pekerja, dalam pengertian dalam hal para pekerja mengalami bencana seperti itu, korban dapat menuntut ganti rugi.

Sementara itu berkenaan dengan force majeur pada dasarnya merupakan suatu klausul atau suatu ketentuan khusus yang dapat dicantumkan dalam berbagai hubungan hukum. Dalam hukum asuransi misalnya, force majeur memiliki fungsi yang sangat penting dalam rangka melindungi para pihak. Bagaimana pelaksanaaan hak dan kewajiban tertanggung dan penanggung dalam suatu perjanjian asuransi berkenaan dengan terjadinya bencana alam.

Tuntutan atau claim untuk memperoleh penggantian atas

4

Ibid. hal. 193.

5

(12)

8

risiko yang dialami pada umumnya terjadi dalam hubungan hukum yang tertuang dalam perjanjian asuransi. Perjanjian ini pada dasarnya memperlihatkan suatu Perspektif hukum memperlihatkan bahwa dalam asuransi terdapat interaksi yang melibatkan dua pihak, yaitu; yang satu sanggup menanggung atau menjamin, bahwa pihak lain akan mendapat penggantian suatu kerugian, yang mungkin ia akan derita sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi atau semula belum dapat ditentukan saat akan terjadinya.6

Peter Gillies dalam bukunya yang berjudul Business Law mengemukakan, Insurance law is concerned with the commercial relationship embodied in a contract, by which A (the insurer or underwriter) agrees with B (the insured), that, subject to the happening of a contingent, specified event involving loss to B or injury to B’s interests, A will pay B a sum of money calculated in acordance with their contract and the general law. B’s consideration is payment of a sum of money termed a premium...ditambahkannya pula.... Life is full of risks and uncertainties. Hazards such as accidents, fire, and illness pose a constant threat to our well-being. The principal protection against losses from such hazards is insurance.

(2003,hal. 716). Uraian-uraian tersebut pada dasarnya merupakan pandangan-pandangan yang dikemukakan berkenaan dengan asuransi yang bersifat umum. Sementara itu topik penelitian ini adalah mengenai kebencanaan yang tentunya memiliki sifat atau karakter yang berbeda dengan risiko-risiko yang dapat ditanggung dalam asuransi umum. Topik penelitian ini memiliki relevansi dengan pandangan tentang asuransi yang berkaitan dengan bencana.

Sehubungan dengan itu maka dipandang perlu untuk mengetengahkan pandangan tentang asuransi yang dimaksudkan. Untuk itu sebuah sumber bahan hukum tertier pada pokoknya mengemukakan…. Disaster

insurance is a monetary agreement between an insurance company and an individual, entitling the individual to compensation for losses incurred during disasters. A few common examples include natural disaster insurance, earthquake insurance, and tsunami insurance. (….2010, What Is Disaster Insurance?.

6

(13)

9 natural/2010/11/04/id/375966/)

Menyimak pandangan dari sumber bahan hukum tersebut dapatlah dikemukakan bahwa perihal yang disebut dengan asuransi bencana atau disaster insurance itu sesungguhnya merupakan asuransi yang bersifat konvensional dalam pengertian memiliki prinsip-prinsip yang sama seperti asuransi-asuransi pada umumnya; asuransi kehilangan, asuransi kebakaran, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa. Namun demikian apabila disimak lebih dalam memang terdapat perbedaan yang sangat karakteristik. Perbedaannya terletak pada risiko yang ditanggung. Risiko pada asuransi konvensional berkisar pada kehilangan, kerusakan, kerugian pada umumnya, kebakaran, kecelakaan dan peristiwa tertentu yang tidak dapat dipastikan kapan terjadinya (uncertainties). Sementara itu yang ditanggung dalam asuransi bencana adalah risiko bencana.

Dalam membangunan hubungan hukum asuransi terdapat beberapa prinsip dasar yang patut diperhatikan. Prinsip-prinsip yang dimaksudkan itu adalah sebagai berikut;

1. Insurable Interest (kepentingan yang diasuransikan)

Bahwa pihak yang mengansuransikan harus memiliki kepentingan (interest) atas harta benda yang dapat diasuransikan (insurable); kepentingan dan objek tersebut harus

legal dan equitable (tidak melawan hukum dan layak). Memiliki kepentingan atas

obyek yang diasuransikan apabila Anda menderita kerugian keuangan seandainya terjadi musibah yang menimbulkan kerugian atau kerusakan atas obyek tersebut. Pelanggaran prinsip ini bisa berakibat klaim tidak dapat dibayarkan. Apabila terjadi musibah atas obyek yang diasuransikan dan terbukti bahwa Anda tidak memiliki kepentingan keuangan atas obyek tersebut, maka Anda tidak berhak menerima ganti rugi.

2. Utmost Good Faith (itikad terbaik)

Tertanggung berkewajiban memberitahukan segala sesuatunya dengan sejelas-jelasnya dan teliti mengenai segala fakta-fakta penting yang berkaitan dengan obyek yang diasuransikan (fakta material yang akan mempengaruhi Penanggung dalam menerima atau menolak suatu permohonan asuransi). Sedangkan pihak Penanggung

(14)

10

berkewajiban menjelaskan risiko-risiko yang dijamin maupun yang dikecualikan, segala persyaratan dan kondisi pertanggungan secara jelas serta teliti. Kewajiban untuk memberikan fakta-fakta penting tersebut berlaku : Sejak perjanjian mengenai perjanjian asuransi dibicarakan sampai kontrak asuransi selesai dibuat, selama masa kontrak dan pada saat perpanjangan kontrak asuransi, dan pada saat terjadi perubahan pada kontrak asuransi dan mengenai hal-hal yang ada kaitannya dengan perubahan-perubahan itu.

Seharusnya prinsip seperti ini diterapkan juga terhadap penanggung yang berkewajiban menjelaskan setiap syarat dan ketentuan dalam perjanjian asuransi beserta akibat-akibat hukumnya kepada tertanggung. Dengan demikian tertanggung akan memiliki pegangan yang jelas selain bertumpu pada isi perjanjian tertulis yang seringkali kurang dipahaminya.

3. Indemnity (ganti rugi indemnitas)

Bertujuan mengembalikan posisi Tertanggung pada posisi sesaat sebelum terjadi kerugian yang dijamin polis. Apabila obyek yang diasuransikan terkena musibah sehingga menimbulkan kerugian maka kami akan memberi ganti rugi untuk mengembalikan posisi keuangan Anda setelah terjadi kerugian menjadi sama dengan sesaat sebelum terjadi kerugian. Dengan demikian Anda tidak berhak memperoleh ganti rugi yang lebih besar (mengambil keuntungan) daripada kerugian yang Anda derita.

Dalam hubungan ini dunia asuransi pada umumnya dapat memberlakukan beberapa cara pembayaran ganti rugi seperti ;

a. Pembayaran ganti rugi dengan uang tunai. Bentuk ini yang biasanya dilakukan oleh perusahaan asuransi, atau

b. Perbaikan, atau Penggantian, atau Pemulihan kembali. Dalam perjanjian

asuransi tidak tertutup kemungkinan memperjanjikan cara pembayaran yang bersifat rehabilitatif tersebut.

Prinsip-prinsip itulah yang antara lain menjadi landasan yang kuat untuk menjelaskan persoalan mengapa risiko bencana dapat dipertanggungkan atau menjadi tanggungan dalam perjanjian asuransi bencana (disaster insurance). Maknanya, risiko bencana itu bersifat insurable (dapat

(15)

11

diasuransikan), legal (tidak melawan hukum), dan equitable (layak).

Sehubungan dengan dampak bencana yang tidak pilih-pilih, ada yang mengemukakan; bagaimana pertimbangannya hingga disaster insurance company sampai pada keputusan menerima menjadi penanggung terhadap risiko bencana. Persoalan ini setara dengan pertanyaan yang berkisar pada kesediaan perusahaan asuransi menjadi penanggung untuk risiko yang tidak menyediakan upaya melakukan “subrogasi”.

Selain yang sudah diuraikan terdahulu, konsep yang disebutkan terakhir ini pada dasarnya juga merupakan salah satu prinsip dasar dalam hukum asuransi. Subrogasi (subrogation) adalah pengalihan hak (subrogasi) dari Tertanggung kepada Penanggung jika Penanggung telah membayar ganti rugi kepada Tertanggung. Subrograsi juga merupakan konsekuensi dari adanya prinsip Indemnity.

Prinsip subrogasi diatur dalam pasal 284 kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang berbunyi: “Apabila seorang penanggung telah membayar ganti rugi sepenuhnya kepada tertanggung, maka penanggung akan menggantikan kedudukan tertanggung dalam segala hal untuk menuntut pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian pada Tertanggung.

Prinsip subrogasi sangat penting diketengahkan mengingat selama ini dalam kasus-kasus yang merugikan tertanggung yang kendaraan bermotornya yang ditabrak misalnya. Pihak yang menabrak merasa tidak berkewajiban memberi ganti rugi karena kendaraan yang ditabraknya itu sudah diasuransikan. Fungsi prinsip subrogasi dalam hal ini adalah memberikan semacam edukasi bahwa pihak yang menabrak tetap harus bertanggungjawab. Apakah prinsip ini dapat diterapkan asuransi bencana.?

Dalam upaya memahami bencana terutama dari perspektif faktor penyebabnya, terdapat paradigma yang lazim dipergunakan untuk memahami peristiwa yang mengancam kehidupan dan penghidupan, korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda serta dampak psikologis itu. Ada pun paradigma yang dimaksudkan itu terdiri dari ;

(16)

12

God/divinity, nature/contingency, the social/vulnerability, dan change paradigm.

Menurut paradigma yang pertama, banyak bencana yang terjadi merupoakan hasil dari campur tangan Tuhan, dan ini dapat dijumpai dalam kitab suci Alkitab dan beberapa mitologi. Paradigma yang kedua,….disaster is a product of an unorderly and unforeseeable nature or,

rather, the disaster is an inherent part of a fundamentally contingent nature.

Paradigma yang ketiga berintikan bahwa ketiadaksiapan, ketidakberdayaan, kekurangtanggapan, dan segala bentuk kekurangmampuan masyarakat dalam memahami, mencegah serta menanggulangi bencana dan dampaknya sesungguhnya merupakan suatu bentuk bencana.7 Dalam paradigma yang keempat diilustrasikan….Energy, in its two forms of heat and cold, causes

many changes within the body and the environment. It is always in a state of flux, of continuous change and always seeking a balance. It is the law that govern changes in body, such a old age and illness, or in an ecological context, with respect to such things as climates, seasons and earth movements.8

Keempat paradigma tersebut ternyata tidak satu pun yang menyatakan tentang adanya para pihak yang dapat dijadikan sebagai sasaran subrogasi. Tuhan, alam, vulnerabilitas, dan perubahan jelas tidak dapat dimintai pertanggungan jawab. Namun demikian hukum kebencanaan sebagai sub system hukum kiranya masih menyediakan jalan untuk diterapkannya prinsip subrogasi dalam asunransi bencana.

7 Kristian Cedervall Lauta, 2015, Disaster Law. Routledge, Abingdon, Oxon. Hal. 15-18. 8

Sri Dhammananda Maha Nayaka Thera, 2005, The Anatomy of Disaster. The Buddhis Channel.

(17)

13

BAB III. METODE PENELITIAN

a. Jenis penelitian, pendekatan dan sumber bahan hokum

Penelitian yang dirancang sebagai penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal ini pada dasarnya merupakan suatu studi yang bertujuan untuk mencari kejelasan perihal ruang lingkup tanggungan (obyek yang dapat dipertanggungkan) dan keberlakuan prinsip subrogasi dalam asuransi bencana. Pendekatan-pendekatan yang dipergunakan meliputi statue approach, conceptual approach, dan comparative

approach.

Bahan hukum yang dikumpulkan dan dianalisis dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer yang diperoleh dari legislasi baik Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian maupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dilengkapi lagi dengan bahan dan informasi yang bersumber dari bahan hukum sekunder dan tertier. Namun demikian penelitian ini tidak menutup diri dari kebutuhan beberapa data empiris yang relevan. Data ini merupakan penunjang yang diperoleh dari sumber sekunder.

b. Teknik pengumpulan dan analisis bahan hukum

Pengumpulan bahan hukum dan beberapa data empiris dilaksanakan berdasarkan teknik pencatatan yang diadaptasi dari sistem kartu dan disesuaikan dengan perkembangan teknologi dokumentasi. Beberapa bahan yang diperoleh secara empirik namun demikian analisisnya didasarkan pada teknik-teknik yang pada umumnya dilakukan dalam penelitian hukum normatif. Berdasarkan teknik tersebut,

(18)

14

maka penentuan validitasnya tidak bertumpu pada penyebutan metode mutakhir yang canggih, melainkan sangat ditentukan oleh langkah-langkah baku yang ditempuh. Analisis dilakukan secara normatif; mencari kesesuaian antara yang tertuang dalam asas, teori, pendapat dan peraturan perundang-undangan dengan fakta atau peristiwa yang terjadi.

Teknik tersebut dapat dipahami sebagai implementasi metode deduktif yang beranjak dari asas, teori dan seterusnya untuk dicocokkan dengan peristiwa hukumnya. Dalam penelitian ini metode deduktif diterapkan untuk menganalisis kesesuaian perilaku menjalankan perusahaan asuransi bencana dengan asas dan teori hukumnya. Metode ini berangkat dari teori dan ketentuan mengenai badan hukum pada umumnya untuk diuraikan dalam perilaku berkenaan dengan asuransi.

BAGAN ALIR PENELITIAN

Tujuan penelitian Tinjauan Pustaka : diperoleh bahan-bahan mengenai berbagai pendapat, paradigm dan teori mengenai obyek perjanjian asuransi dan subrogasi. Seluruh bahan mengandung potensi untuk dapat mengidentifikasi risiko menerapkan prinsip subrogasi.

- Penelitian untuk memperoleh bahan hukum lanjutan berkenaan dengan kebencanaan dan penanggulangan-nya. Di samping itu juga diupayakan memperoleh data empiris mengenai keberadaan

disaster insurance company.

(19)

15

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Ruang Lingkup Asuransi Bencana

Sebelum menguraikan persoalan berkenaan dengan ruang lingkup atau obyek atau hal-hal apa saja yang dapat dipertanggungkan dalam asuransi bencana (disaster

insurance), maka terlebih dahulu bahkan yang sangat menentukan pada dasarnya

adalah memperoleh informasi apakah di Indonesia terdapat perusahaan asuransi yang memberikan pertanggungan terhadap korban bencana.

Di Indonesia terdapat sekitar 139 gunung api aktif yang keberadaannnya tersebar secara merata pada hampir seluruh provinsi.9 Jumlah ini hampir empat kali lipat jumlah provinsi yang ada. Namun demikian terdapat provinsi yang tidak memiliki gunung api, dan sebaliknya terdapat beberapa daerah memiliki lebih dari satu gunung api, misalnya Bali, sebuah pulau yang relatif kecil dengan Gunung Agung (sesekali erupsi dan masih berada dalam status siaga) dan Gunung Batur. Di samping gunung api yang dapat menimbulkan bencana melalui letusannya dan aliran lava sebagai susulannya, bumi Nusantara ini juga mencatatkan banyak daerah yang rawan banjir dan tanah longsor. Pada 2012 yang lalu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan 240 kabupaten/kota di Indonesia rawan banjir dan longsor.10

Erupsi gunung api, banjir dan tanah

9

Ralf Gertisser, Katie Preece, Sylvain Charbonnier, 2018, Gunung Api Indonesia ada di Daftar yang dipantau ilmuwan dunia. https://theconservation.com

10

2012, BNPB: 240 Kabupaten/Kota Rawan Banjir dan Longsor. https://voaindonesia.com Analisis bahan :

- Bahan-bahan diinterpretasikan dan dikonstruksi

(20)

16

longsor dapat dikemukakan sebagai bencana yang dapat atau pernah dialami oleh banyak negara, di Indonesia selain bencana-bencana yang "lumrah" juga memiliki potensi bencana yang lain dan agak spesifik. Saking khasnya bahkan sampai berhasil diciptakan konsep yang khas pula yaitu "Karhutla". Konsep ini merupakan singkatan dari "kebakaran hutan dan lahan". Yang dimaksudkan "lahan" disini adalah "lahan gambut" dan lahan seperti ini bisa mengalami kebakaran.

Intinya, disamping memiliki lahan yang subur, laut yang penuh dengan ragam ikan, hutan yang lebat (dahulu) dan berbagai bentuk properti yang masih tersimpan di perut bumi pertiwi (sekarang sudah berkurang) dan lain-lain yang pada pokoknya berhasil mengantarkan predikat sebagai negara yang berlimpah dengan kekayaan alam, pada dasarnya juga Indonesia itu juga kaya dengan potensi bencana. Oleh karena itu akan merupakan suatu hal yang ironis apabila di Indonesia tidak terdapat perusahaan asuransi bencana.

Kalau pun tidak ada disaster insurance

company yang beroperasi di Indonesia, kiranya ketidakhadiran asuransi tersebut

dapat dimaklumi. Betapa pun juga suatu usaha bisnis tentunya harus memperhitungkan faktor rugi-laba, sementara itu seperti telah diuraikan, kondisi geografis Indonesia yang juga kaya potensi bencana dapat mengundang kekhawatiran di samping datangnya banjir bandang juga munculnya banjir klaim. Apabila di kawasan rawan bencana seperti Indonesia setiap orang, setiap tempat tinggal, tempat usaha, kendaraan dan lain-lain yang pada pokoknya meliputi setiap benda baik bergerak maupun tidak bergerak diasuransikan, dapatlah dibayangkan betapa besarnya jumlah klaim yang harus dipenuhi atau dibayar oleh perusahaan asuransi. Hal ini sesungguhnya merupakan suatu kendala bagi perusahaan asuransi beroperasi di negara-negara yang memiliki potensi bencana yang tinggi pada umumnya.

Oleh karena itu pula kebanyakan pelaku bisnis asuransi memilih berada di zona nyaman dalam pengertian banyak yang hanya memusatkan bisnisnya pada bidang atau jenis asuransi yang sangat umum diselenggarakan. Jenis asuransi yang dimaksudkan ini adalah asuransi

(21)

17

jiwa, asuransi kebakaran, asuransi kecelakaan yang berkembang dengan relatif

cepat. Jangankan swasta,

negara sendiri melalui unit usaha yang didirikan, dimiliki dan dikelola berdasarkan fungsi state as entrepreneur pada dasarnya juga masih berkonsentrasi pada bidang “asuransi kecelakaan” melalui PT (Persero) Asuransi Kecelakaan Jasa Raharja. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini menyelenggarakan jasa

asuransi wajib yang sangat berkembang. Kiranya

kuranglah tepat apabila kawasan dengan ragam, jumlah, dan frekuwensi bencana yang relatif tinggi dijadikan sebagai dasar kekhawatiran mendirikan perusahaan asuransi bencana. Dari perspektif obyek, bidang asuransi ini sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan bidang-bidang asuransi yang lainnya, bahkan terdapat hubungan antara jenis yang satu dengan yang lainnya.

Asuransi jiwa misalnya atau juga yang disebut dengan “pertanggungan sejumlah uang” pada dasarnya merupakan perjanjian timbal-balik antara penutup (pengambil asuransi dengan penanggung , dimana penutup asuransi mengikatkan diri untuk membayar uang premi, sedangkan penanggung mengikatkan diri untuk membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan pada saat ditutupnya pertanggungan dan didasarkan atas hidup dan matinya seseorang yang ditunjuk.11

Dalam asuransi jiwa yang ditanggung atau yang diasuransikan itu bukanlah kerugian, melainkan sejumlah uang yang harus dibayar oleh perusahaan asuransi berdasarkan hidup atau matinya seseorang tertanggung. Sementara itu persoalan hidup-matinya seseorang sesungguhnya merupakan suatu kepastian dalam ketidakpastian (uncertainties) berkenaan dengan saat terjadinya peristiwa tersebut. Seseorang dapat saja meninggal karena menjadi korban keganasan dari suatu bencana. Apabila seseorang yang bersangkutan itu menjadi pihak tertanggung, maka dengan meninggalnya itu perusahaan asuransi berkewajiban untuk membayar sejumlah uang sesuai dengan yang diperjanjikan. Apakah dengan demikian asuransi jiwa dapat dikemukakan sebagai suatu asuransi bencana. Disimak dari isi polis asuransi jiwa yang terdiri dari a. hari

11

H.M.N. Purwosutjipto, 1983. Pengertian Pokok Hukum Dagang. Hukum Pertanggungan. Penerbit Djambatan, Jakarta. Hal. 116.

(22)

18

ditutupnya pertanggungan berkenaan dengan saat dimulainya dan jangka waktu dalam mana risiko menjadi beban penaggung, b. nama tertanggung, yaitu orang yang menutup atau mengambil asuransi, c. badan tertanggung – orang yang jiwanya dipertanggungkan, d. masa pertanggungan, e. jumlah pertanggungan, dan f. uang premi, jadi tidak ada disebutkan dalam polis tentang hal-hal yang membebaskan penanggung dari kewajibannya membayar sejumlah begitu peristiwa meninggalnya tertanggung terjadi.

Yang dimaksudkan dengan “bahaya” dalam pertanggungan jiwa adalah “matinya” orang yang jiwanya dipertanggungkan. Tentang matinya seseorang itu merupakan hal yang sudah pasti….yang belum pasti terjadinya ialah “kapan” mati itu mendatangi orang yang bersangkutan. Inilah yang disebut peristiwa tak tentu (oinzeker voorval). Peristiwa matinya orang yang jiwanya dipertanggungkan itu merupakan unsur yang mengakibatkan timbulnya kewajiban pada penanggung untuk melakukan prestasinya….dan karena peristiwa mati itu tidak mempunyai jenis lain, maka dalam polis tidak

perlu disebut.12 Di samping itu hukum

asuransi juga memperkenankan diadakannya “Klausul All Risk” terutama dalam perjanjian asuransi kerugian. Berdasarkan klausul tersebut penanggung harus mengganti kerugian atas seluruh kemungkinan kerusakan atau kehilangan benda yang dipertanggungkan baik karena cacat bawaan atau pun karena kesalahan tertanggung sendiri. Klausul ini dapat ditafsirkan secara luas hingga tanggung jawab penanggung atas kerusakan dan kehilangan bukan karena cacat bawaan mau pun kesalahan tertanggung. Bagaimana halnya dengan risiko bencana yang menurut Pasal 1 angka 17 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana merupakan potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Apakah seluruh risiko tersebut dapat dipertanggungkan dalam perjanjian asuransi.

Untuk dapat

12

(23)

19

menjelaskan persoalan tersebut maka terlebih dahulu harus ditelusuri prinsip-prinsip dalam perjanjian asuransi. Dalam kaitannya dengan hukum, prinsip-prinsip merupakan asas hukum yang tidak berupa peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut.13 Fungsi asas hukum itu pada intinya melandasi hukum yang konkret dan oleh karena itu asas hukum terdapat di belakang, di dalam dan bahkan mendahului norma hukumnya. Berkenaan dengan asas hukum asuransi dijumpai adanya 6 (enam) prinsip yang terdiri dari insurable interest, utmost good faith, indemnity, subrogation,

contribution, dan proximate cause.

Disimak dari prinsip-prinsip insurable interest, utmost good faith, indemnity, dan

contribution dapat dikemukakan beberapa jenis dari risiko bencana seperti kematian, luka, sakit, kerusakan, dan kehilangan harta memenuhi kriteria untuk menjadi obyek dalam perjanjian asuransi. Sementara itu risiko-risiko dalam bentuk jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, dan gangguan kegiatan masyarakat kiranya masih membutuhkan pemikiran yang lebih dalam untuk dapat sampai pada kedudukan sebagai obyek asuransi. Sampai sejauh ini bahasan ringkas tadi pada dasarnya sudah menguraikan bahwa perusahaan asuransi yang mengcover risiko bencana adalah layak dan legal dan oleh karena itu dapat pula dipertimbangkan sebagai partisipasi dunia bisnis dalam rangka mitigasi dan reduksi dampak bencana yang membutuhkan alokasi dana yang sangat besar.

Namun demikian hasil penelusuran berita-berita berkenaan dengan bencana yang terjadi memperlihatkan bahwa peranan disaster

insurance company di Indonesia sesungguhnya belum maksimal. Hal ini tampak

dari ketimpangan antara jumlah kerugian terjadi yang diperbandingkan dengan jumlah klaim yang dibayarkan oleh penanggung (perusahaan asuransi).

PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re mencatat, total klaim reasuransi umum akibat banyaknya bencana alam yang

13

(24)

20 menimpa Indonesia selama 2018 mencapai lebih dari Rp284 miliar berdasarkan data yang diterima hingga Desember 2018. Jumlah klaim tersebut berasal dari Gempa Lombok dengan total klaim sebesar Rp87,6 miliar dan Gempa Palu & Donggala sebesar Rp196,7 miliar.14 Sudah tentu jumlah kerugian diderita mencapai trilyunan rupiah karena meliputi kerusakan infrastruktur dan aset-aset yang tidak diasuransikan. Sebagai perbandingan dampak kerugian gempa bumi yang melanda Bali pada 16 Juli 2019 yang berkekuatan 5,8 SR adalah Rp.733,3 berupa kerusakan bangunan tempat suci dan rumah penduduk yang tidak diasuransikan.

2. Relevansi Prinsip Subrogasi dalam Asuransi Bencana

Menurut Pasal 1400 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, subrogasi pada dasarnya merupakan penggantian hak-hak oleh seorsng pihak ketiga yang membayar kepada kreditur baik karena perjanjian mau pun undang - undang. Subrogasi harus dinyatakan secara tegas karena subrogasi berbeda dengan pembebasan utang. Tujuan pihak ketiga melakukan pembayaran kepada kreditur adalah untuk menggantikan kedudukan kreditur lama, bukan membebaskan debitur dari kewajiban membayar utang kepada kreditur.

Pihak ketiga sebagai kreditur baru berhak melakukan penagihan utang terhadap debitur dan jika debitur wanprestasi, maka kreditur baru mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas benda-benda debitur yang dibebani dengan jaminan seperti gadai, hipotek, dan hak tanggungan. Keterangan ringkas ini mengandung relevansi dalam hubungan hukum perutangan menurut hukum

perdata umum.

Subrogasi juga dikenal dalam lapangan hukum dagang yang diatur dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang pada pokoknya menentukan bahwa "penanggung yang telah membayar ganti kerugian atas benda yang diasuransikan menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap pihak ketiga sehubungan dengan kerugian tersebutyang

14

(25)

21

telah menimbulka kerugian tersebut.

dan tertanggung bertanggungjawab untuk setiap perbuatqn yang dapat Dalam hubungan hukum asuransi, Subrogasi dapat diuraikan dengan ilustrasi yang menggambarkan misalnya si A mempertanggungkan sebuah mobil atas risiko kerusakan dan kehilangan pada perusahaan asuransi B. Ketika mobil A hilang karena dicuri, maka berdasarkan prinsip subrogasi, B berkewajiban mengganti kerugian A dan selanjutnya B memiliki hak untuk memperoleh penggantian atas pembayaran yang telah dilakukan dari si pencuri.

Subrogasi merupakan salah satu prinsip atau asas dalam hukum asuransi. Agar prinsip ini dapat diterapkan dibutuhkan suatu syarat yaitu agar pihak yang meyebabkan timbulnya kerugian itu diketahui dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Pengetahuan ini dibutuhkan untuk memudahkan pelaksanaan hak tagih atas segala sesuatu yang telah dibayarkan.

Pelaksanaan subrogasi membutuhkan dukungan prinsip proximate atau suatu pemahaman mengenai penyebab aktif, efisien yang menimbulkan rantaian kejadian yang menimbulkan suatu akibat tanpa adanya intervensi suatu yang mulai dan secara aktif dari sumber yang baru dan independen. Artinya untuk dapat mengklaim subrogasi harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang menyebabkan timbulnya bencana.

Dalam hubungan ini terdapat beberapa paradigma pemahaman bencana yang seluruhnya menguraikan tentang penyebab bencana itu sendiri. Ada pun paradigma yang dimaksudkan itu terdiri dari paradigma KeTuhanan, paradigma Alamiah, paradigma kerentanan, dan yang terakhir adalah paradigma perubahan yang merupakan penambahan terhadap paradigm-paradigma yang lazim dipergunakan dalam wacana pembahasan kebencanaan.

Paradigma KeTuhanan atau God/definity paradigm seperti sudah dikemukakan pada bagian tinjauan kepustakaan pada dasarnya memandang bahwa bencana-bencana merupakan hasil campur tangan Tuhan. Deskripsi yang paling jelas berkenaan dengan campur tangan tersebut tercantum dalam Alkitab

(Genesis Chapter 6-8). Dalam bab tersebut (6:7), dituliskan sabda Tuhan kepada

(26)

22

sendiri dan binatang-binatang, dan makhluk-makhluk yang merangkak di tanah, serta burung-burung di udara ; karena aku menyesal telah menciptakannya.

Campur tangan Tuhan berkenaan dengan terjadinya bencana tidaklah terbatas seperti yang tertuang dalam Alkitab saja. Campur tangan seperti itu dapat juga dijumpai dalam mitos banjir tertua di dunia menurut mitologi Mesopotamia. Menurut mitologi ini manusia diciptakan oleh para dewa untuk melakukan kerja keras; namun karena kegaduhan yang dihasilkan oleh manusia yang berkerja itu membuat para dewa mengubah pikiran mereka dan menghancurkan umat manusia dengan banjir selama tujuh hari.15

Paradigma KeTuhanan kiranya sangat lekat dengan nuansa “indeterminisme” yang menempatkan God/Divinity sebagai sebab awal. Dengan kekuatan yang digambarkan sangat dahsyat dan lengkap, sebab awal yang dimaksudkan itu mampu melakukan tindakan dua arah yaitu menciptakan dan menghancurkan segala sesuatunya. Namun demikian paradigma ini masih mengakui dan menghargai ikhtiar serta perbuatan baik.16

Intinya, paradigma KeTuhanan tidak sekadar “memperlakukan” Tuhan sebagai suatu konsep semata-mata, melainkan merupakan sesuatu yang aktif dalam segala hal. Tuhan tidak hanya bersemayam dalam pikiran dan hati sanubari manusia, akan tetapi juga menjadi perencana, intervensi dan sudah tentu melakukan pengawasan yang abadi. Tidak ada sesuatu pun yang sudah, sedang dan yang akan terjadi termasuk dalam bencana tanpa kehadiranNya.17

Paradigma alamiah atau paradigm kontingensi atau

nature/contingency paradigm merupakan paradigma yang usianya relatif muda

yang muncul setelah gempa bumi besar melanda Portugis pada 1775. Dalam menjelaskan paradigma kontingensi Seorang pencerah (aufklarung) bernama Francois-Marie Arouet atau yang populer sebagai Voltaire dengan menulis sebuah puisi yang bermakna…. dunia ini penuh dengan ketidakteraturan yang mengandung ketidakadilan. Dalam pandangannya, teratur sama dengan adil.

15

Putu Sudarma Sumadi, 2019. Hukum Bencana Dan Bencana Hukum. Zifatama, Surabaya. Hal. 34. Mengutip Kristian Cedervall Lauta.

16

Ibid. hal. 35.

17

(27)

23

Segala sesuatu yang tidak teratur adalah tidak adil. Pada suatu tempat, manusia mengalami penderitaan yang teramat sangat, tetapi di tempat lain di bumi ini manusia justru menikmati segala bentuk kesenangan. Voltaire tidak mengemukakan bahwa dunia ini lekat dengan ketidakpastian, melainkan penuh dengan berbagai kemungkinan yang seharusnya mengarahkan agar umat manusia

siap menghadapinya. Paradigma kontingensi pada

dasarnya memandang alam semesta yang tidak teratur dan penuh dengan berbagai kemungkinan itu merupakan penyebab terjadinya segala bencana di dunia. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa paradigma kontingensi mengejawantahkan perkembangan yang revolusioner berkenaan dengan penyebab bencana dari Tuhan ke alam. Namun demikian paradigma kontingensi diakui telah membawa pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan kebencanaan. Faktor inilah yang membedakannya dengan paradigma yang pertama.18 Dengan

bertumpu pada pemahaman kerentanan sosial yang mengacu pada ketidakmampuan orang, organisasi , dan masyarakat untuk menahan dampak negatif dari berbagai pemicu yang mereka hadapi. Dampak ini sebagian disebabkan oleh karakteristik yang melekat dalam interaksi sosial, lembaga, dan sistem nilai budaya. Dapatlah dijelaskanm betapa pun juga social vulnerability merupakan bagian dari bencana seperti halnya bencana alam. Perbedaannya, dua paradigma terdahulu menekankan pada faktor yang bersifat transcendental dan alam, sedangkan paradigm sosial/kerentanan menekankan pada faktor manusia pada umumnya dan lingkungan sosialnya.

Dari uraian yang ringkas tersebut apabila diringkas lagi diharapkan akan dijumpai inti dari pokok persoalan yang dibahas. Ada pun inti dari

social/vulnerability paradigm memperlihatkan bahwa ketidaksiapan, ketidakberdayaan, kekurangtanggapan, dan segala bentuk kekurangmampuan masyarakat dalam memahami, mencegah serta menanggulangi bencana dan dampaknya sesungguhnya merupakan suatu bentuk bencana.19

18

Ibid. hal. 36

19

(28)

24

Paradigma perubahan atau change paradigm pada pokoknya memandang bahwa keberadaan semua makhluk dan alam semesta sesungguhnya merupakan gabungan dari elemen-elemen dan energi. Elemen-elemen tersebut terdiri dari tanah, angin, air dan api. Dapat dikemukakan, tanah terdiri dari unsur-unsur yang tercakup dalam ruang lingkup tanah, sedangkan angin, air serta api merupakan energi. Elemen-elemen dan energi tersebut tunduk pada dan diatur oleh hukum alam yang bekerja dalam siklus abadi (perpetual cycle); lahir, tumbuh, hancur dan lenyap….this universe of animate and inanimate objects

exists on a basis of conditioning and the occurrence of mental and physical events that are governed by natural laws (Dhamma Niyama)20.

Terma Dhamma Niyama mengacu pada hukum alam versi Buddhis yang terdiri dari Utu Niyama, Bija Niyama, Kamma Niyama, Citta Niyama, dan

Dhamma Niyama. Aspek hukum alam Buddhis yang paling relevan dengan topik

ini adalah Utu Niyama yang pada dasarnya merupakan hukum tentang energy….Energy, in its two forms of heat and cold, causes many changes within

the body and the environment. It is always in a state of flux, of continuous change and always seeking a balance. It is the law that govern changes in body, such a old age and illness, or in an ecological context, with respect to such things as climates, seasons and earth movements.21

Dari pernyataan tersebut dapatlah diangkat sebuah kata kunci yaitu “perubahan” yang berlangsung secara terus-menerus. Perubahan tidak hanya terjadi di dunia fisik, akan tetapi juga pada alam metafisika, baik yang berupa benda beruwujud mau pun tidak berwujud. Seluruh elemen ini dapat mengalami perubahan. Energi yang berubah secara terus-meneru dapat dikemukakan sebagai suatu contoh. Panas dan dingin yang merupakan bentuk-bentuk energi telah banyak menimbulkan perubahan pada manusia dan lingkungannya. Penyakit, ketuaan, cuaca, musim dan

pergerakan-pergerakan bumi semuanya berkenaan dengan perubahan.

20

Sri Dhammananda Maha Nayaka Thera, 2005. The Anatomy Of Disaster. The Buddhist Channel.

https://www.buddhistchannel.tv. 24-2-2005

21

(29)

25

Apabila disimak kembali setiap paradigma yang telah diuraikan menunjuk masing-masing sebagai penyebab bencana. Namun demikian masing-masing penyebab tersebut bukanlah subyek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan di muka hukum. Sementara itu keberlakuan prinsip subrogasi membutuhkan adanya subyek hukum yang mampu bertanggungjawab. Oleh karena itu lalu apakah prinsip subrogasi sama sekali tidak berlaku dalam asuransi bencana. Ternyata hukum kebencanaan masih berbaik hati memberlakukannya kendati pun terbatas untuk asuransi bencana yang mengcover risiko bencana non-alam.

BAB V. P E N U T U P 1. Kesimpulan

potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang berupa kematian, luka, sakit, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat pada dasarnya merupakan risiko yang dapat dijadikan sebagai obyek perjanjian asuransi bencana. Risiko bencana termasuk terganggunya pendapatan masyarakat misalnya karena usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang digeluti tidak berjalan normal juga dapat dipertanggungkan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan, risiko bencana memenuhi kriteria menurut prinsip-prinsip hukum asuransi, terutama elemen insurable interest atau kepentingan yang diasuransikan layak dan tidak melawan hukum, utmost good faith atau itikad baik berkenaan dengan kewajiban baik tertanggung ma pun penanggung mengenai obyek yang diasuransikan dan risiko yang ditanggung, dan elemen

indemnity atau ganti rugi indemnitas yang bertujuan mengembalikan posisi

tertanggung pada posisi seperti saat sebelum terjadi kerugian. Di samping itu risiko bencana pada dasatnya merupakan uncertainties terutama dari perspektif waktu terjadinya. Dengan karakteristik demikian maka risiko

(30)

26

bencana semakin layak menjadi obyek pertanggungan.

Dalam hubungan asuransi bencana, subrogasi atau pelaksanaan hak penanggung untuk memperoleh penggantian biaya yang telah dikeluarkan dari pihak yang menyebabkan terjadinya kerugian menemui hambatan pokok sehubungan dengan faktor penyebab bencana yang tidak menunjukkan kualitas sebagai subyek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini dapat diketahui dari paradigma-paradigma KeTuhanan, Alamiah, Kerentanan Sosial dan paradigma perubahan yang sama sekali tidak menjelaskan bahwa faktor-faktor penyebab bencana merupakan pihak yang bertanggungjawab atas kerugian. Namun demikian subrogasi masih tetap mengandung relevansi dengan asuransi bencana terutama untuk risiko bencana yang merupakan bencana non-alam. Dalam jenis bencana yang disebutkan terakhir ini dapat diidentifikasi adanya peran aktif atau setidak-tidaknya campur tangan subyek hukum baik orang maupun badan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan atau memiliki legal standing yang sempurna dalam lalu lintas hukum. Terdapat beberapa bencana non-alam yang terjadi baik di luar negeri mau pun di Indonesia yang memperlihatkan bahwa terhadap kerugian yang ditimbulkannya dibebankan kepada subyek hukum.

2. Saran-saran

- mengingat recovery dampak bencana membutuhkan biaya yang sangat tinggi, maka kesadaran masyarakat untuk turut berpatisipasi baik dalam mitigasi maupun reduksi dan pemulihan sangat perlu ditingkatkan antara lain melalui program ko-dependensi.

- Salah satu bentuk partisipasi yang sangat diharapkan adalah kesiapan masyarakat bisnis menyelenggarakan asuransi bencana. Kalangan yang memiliki potensi mengelola investasi keuangan dapat mendirikan perusahaan asuransi bencana dan masyarakat bisnis memantapkan kesediaannya untuk mempertanggungkan entitas bisnis dalam perjanjian asuransi bencana.

(31)

27

- Perusahaan asuransi bencana tidak perlu mengkhawatirkan kondisi kawasan yang yang sering dilanda bencana berarti sering pula membayar klaim, karena selain adanya perusahaan Reasuransi yang siap menerima peralihan risiko, dalam asuransi bencana terutama yang non-alam juga masih dimungkinkan diterapkannya prinsip subrogasi yang dapat difungsikan untuk memperoleh penggantian klaim yang telah dikeluarkan.

DAFTAR PUSTAKA

Black, Henry Campbell, 1979. Black”s Law Dictionary. West Publishing Co., St. Paul Minn.

H.M.N. Purwosutjipto, 1983. Pengertian Pokok Hukum Dagang. Hukum

Pertanggungan. Penerbit Djambatan, Jakarta.

Martin, Elizabeth A. 1997, Oxford Dictionary of Law. Oxford University Press. Oxford, New York.

Lauta, Kristian Cedervall, 2015, Disaster Law. Routledge, Abingdon, Oxon.

Putu Sudarma Sumadi, 2019. Hukum Bencana Dan Bencana Hukum. Zifatama, Surabaya.

Sudikno Mertokusumo, 1987. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi Di Indonesia, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, 1979,

Internet

(32)

28

Dimas Jarot Bayu, 2018. Erupsi Gunung Agung Sebabkan Kerugian Hingga Rp

19 Triliun. https://katadata.co.id/berita/2018/01/09/erupsi-gunung-agung-sebabkan-kerugian-hingga-rp-19-triliumedia.

Gertisser, Ralf Katie Preece, Sylvain Charbonnier, 2018, Gunung Api Indonesia

ada di Daftar yang dipantau ilmuwan dunia. https://theconservation.com

https://finansial.bisnis.com/read/20190110/215/877474/total-klaim-asuransi-bencana-indonesia-re-rp284-miliar

Sri Dhammananda Maha Nayaka Thera, 2005, The Anatomy of Disaster. The Buddhis Channel. https://www.buddhistchannel.tv.24-2-2005.

KATA PENGANTAR

Tidak ada yang dapat diungkapkan selain ekspresi perasaan yang penuh

santtuthi (sukacita) karena akhirnya Laporan Penelitian yang berjudul “Kedudukan

Hukum Disaster Insurance Company Dalam Rangka Mitigasi Dan Reduksi Bencana” dapat dirampungkan tepat pada waktunya. Akan tetapi seperti biasanya dan sudah tentu dengan berbagai kekurangan yang menyertainya.

Penelitian ini berusaha semaksimalnya mencari penjelasan atas permasalahan pokok pertama apakah risiko bencana seperti rasa aman yang terancam, mengungsi, dan terganggunya kegiatan dalam masyarakat dapat dipertanggungkan. Kedua apakah prinsip subrogasi dapat diterapkan dalam perjanjian asuransi bencana. Penjelasan tersebut sangat bermanfaat untuk menumbuhkembangkan kesadaran berasuransi. Terbatasnya waktu yang dapat dialokasikan untuk melaksanakan penelitian ini secara mandiri dan terutama kemampuan dalam hal pemahaman merupakan faktor-faktor yang menyebabkan kualitas laporan penelitian ini kurang memadai. Kendala ini masih harus ditambah lagi dengan kesulitan memperoleh

(33)

29

data. Akan tetapi hal ini kiranya dapat maklumi mengingat pengerjaannya yang dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan dengan kewajiban tulis-menulis yang lainnya.

Seperti sudah dikemukakan, penelitian ini masih jauh dari sempurna. Ragam dan jumlah materi berupa peristiwa dan/atau hubungan yang mengandung unsur perjanjian asuransi bencana yang berhasil dikumpulkan masih sangat terbatas. Untuk itu setiap sumbang saran yang dapat melengkapi materi yang sudah ada sangatlah diharapkan. Akhir kata disampaikan permohonan maaf atas segala kekurangan dan terimakasih atas segala bantuan hingga rampungnya laporan ini.

Denpasar, 18 Juli 2019 Peneliti,

Putu Sudarma Sumadi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

RINGKASAN……… 1

BAB I PENDAHULUAN……… 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……… 6

(34)

30

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 15

BAB V PENUTUP……….. 25

DAFTAR PUSTAKA

KEDUDUKAN HUKUM DISASTER INSURANCE COMPANY

DALAM RANGKA MITIGASI DAN REDUKSI

DAMPAK BENCANA

(35)

31

NIDN 0019045603

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

Mei 2019

1. Judul Penenlitian : Kedudukan Hukum Disaster Insurance Company Dalam Rangka Mitigasi Dan Reduksi Dampak Bencana

2. Ketua Peneliti

a. Nama lengkap : Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH, SU b. Jenis kelamin : laki-laki

c. NIP/NIDN : 195604191983031003/0019045603 d. Jabatan struktural :

e. Jabatan fungsional: Guru Besar f. Fakultas : Hukum

g. Pusat Penelitian : Unit Penelitian dan Pengabdian Fakultas Hukum Unud h. Alamat : Jl. Pulau Bali No. 1 Sanglah, Denpasar

i. Telpon : (0361) 222666

j. Alamat rumah : Jl. Gatot Subroto I/XXIII No. 23 Denpasar 80239 3. Jumlah anggota peneliti : 1 (satu) orang

4. Pembiayaan : Mandiri

Denpasar, 18 Juli 2019

Mengetahui, Ketua Peneliti,

(36)

32

( Dr. I Made Sarjana, SH.,MH.) (Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH,SU) NIP . 196112311986011001 NIP. 195604191983031003 Mengetahui Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

( Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.Hum.) NIP. 196502211990031005

(37)
(38)

Referensi

Dokumen terkait

Yang bertujuan untuk memberi bekal kepada siswa secara langsung dengan praktek berkoperasi dalam pemenuhan berbagai kebutuhan sekolah, agar para siswa

Ruang lingkup yaitu beban yang bekerja adalah beban terpusat, perilaku yang ditinjau adalah tegangan lentur, regangan lentur, momen lentur dan lendutan maksimum, perangkat

Tuduhan Pengadu tim Bakir-Rully mendatangi ruangan Ketua KPU Kabupaten Buru dan dihadiri beberapa saksi atas nama Kamarudin,ST, Moktar Umar dan Lili Tan Ohorella untuk

Prior to 2006, the items in this basket of goods and services were classified according to Classification of Household Goods & Services (CHGS) with nine main groups as follows:.

Promosi merupakan salah satu variabel dari bauran pemasaran yang sangat penting, yang dilaksanakan oleh perusahaan dalam memasarkan produk atau jasanya.. Tanpa promosi

Tingkat respon yang sangat tinggi yaitu sebanyak 1,779 dari 2,142 alumni atau 83 persen pada Evaluasi Pascadiklat Fungsional Statistisi Tahun 2015 merupakan salah

 Melaksanakan kebijakan dan strategi daerah provinsi dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. dengan berpedoman pada

Tabel 4.12 Data Jumlah Operasi Yang Bergantung Pada Elemen Kerja 96 Tabel 4.13 Hasil Pengelompokan Stasiun Kerja Dengan Metode J-Wagon 98 Tabel 4.14 Pengelompokan