• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan dalam acara Tatap Mata di Trans 7 sebagai wahana menciptakan humor verbal lisan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan dalam acara Tatap Mata di Trans 7 sebagai wahana menciptakan humor verbal lisan."

Copied!
316
0
0

Teks penuh

(1)

viii

Cahyaprastya, Vicky Puri. 2015.Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Prinsip

Kesopanan dalam Acara Tatap Mata di Trans 7 sebagai Wahana Menciptakan Humor Verbal Lisan. SKRIPSI. Yogyakarta: PBSI, JPBS,

FKIP Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini membahas pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan dalam acara Tatap Mata di Trans 7 sebagai wahana menciptakan humor verbal lisan. Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara Tatap Mata di Trans 7 sebagai wahana menciptakan humor verbal lisan, dan (2) untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kesopanan dalam acara Tatap Mata di Trans 7 sebagai wahana menciptakan humor verbal lisan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian berupa tuturan-tuturan dalam acara Tatap Mata di Trans 7 dari bulan April sampai bulan Mei 2014. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Metode pengumpulan data menggunakan metode simak catat. Analisis data menggunakan metode padan ekstralingual.

Simpulan dari penelitian ini adalah: pertama, ditemukan wujud pelanggaran prinsip kerja sama, yaitu (1) maksim kuantitas berupa informasi berlebihan dan informasi kurang informatif, (2) maksim kualitas berupa informasi salah dan informasi tidak logis, (3) maksim relevansi berupa informasi tidak relevan dengan masalah pembicaraan, dan (4) maksim pelaksanaan berupa kesalahan dalam menafsirakan maksud mitra tutur, informasi implisit, kesalahan menafsirkan arti kata berbahasa Inggris, penghilangan dan penanbahan bunyi, kesalahan substitusi bunyi, dan pengembalian stimulus. Kedua, ditemukan wujud pelanggaran prinsip kesopanan, yaitu (1) maksim kebijaksanaan berupa perintah yang mempermalukan mitra tutur, informasi membingungkan mitra tutur, dan merugikan mitra tutur secara nyata., (2) maksim kemurahan berupa pemanfaatan ketidaktahuan mitra tutur dan permintaan sesuatu kepada mitra tutur., (3) maksim penerimaan berupa merendahkan mitra tutur, mencela dan mencemooh mitra tutur, dan pemutarbalikan fakta., (4) maksim kerendahan hati berupa bangga terhadap diri sendiri, (5) maksim kecocokan berupa informasi tidak sebenarnya, dan (6) maksim kesimpatian berupa sikap antipati terhadap kesusahan mitra tutur.

(2)

ix

ABSTRACT

Cahyaprastya, Vicky Puri. 2015.The Violation of Cooperative and Politeness

Principles in Tatap Mata Show Trans 7 As A Mean of Creating Verbal Humor. THESIS. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP Universitas Sanata

Dharma.

This research study discusses the violation of cooperative and politenessprinciples in tatap mata show trans 7 as a mean of creating verbal humor. The aims of the research are; (1) to describe the types of the the violation of cooperative principles in tatap mata show trans 7as a mean of creating verbal humor, and (2) to describe the types of the the violation of politeness principles in tatap mata show trans 7as a mean of creating verbal humor.

This research study belongs to descriptive qualitative research. The data of the research were in the form of excerpts in tatapmata show trans 7 taken from april to mei 2014. The research instrument was the researcher. The data collection technique was note-taking. The data analysis technique applied extralingual comparative method.

The results of the research study were: firstly, there were violations of cooperative principles; (1) the violations of maxim of quantity are in the form of excessive information and less-informative information, (2) the violations maxim of quality are in the form of wrong information and illogical information, (3) the violation of maxim of relation is in the form of irrelevant information with the topic being discussed, and (4) the violations maxim of manner are in the form of misinformation communication in understanding partners’ talks, implicit information, misunderstanding in identifying English words, the omission and addition of sound, the mistakes of sound substitution, and stimulus feedback. Secondly,there were violations of politeness principles; (1) the maxim of tact is in the form orders which embarrass partners, information which confuse partners, and to harm partners, (2) the violations of maxim of generosity are in the form of taking advantages in partners’ ignorance and requesting of something to partners, (3) the violations of maxim approbationare in the form of humiliating, bullying and degrading partners, and twisting facts, (4) the violations of maxim of modesty is in the form of pride of their own, (5) the violations of maxim of agreement is in the form of unreal information, and (6) the violations of maxim of sympathy is in the form of being antipathy with partners’ difficulties.

(3)

DALAM ACARA TATAP MATA DI TRANS 7

SEBAGAI WAHANA MENCIPTAKAN HUMOR VERBAL LISAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh

Vicky Puri Cahyaprastya 101224093

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

i

PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DAN PRINSIP KESOPANAN DALAM ACARA TATAP MATA DI TRANS 7

SEBAGAI WAHANA MENCIPTAKAN HUMOR VERBAL LISAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh

Vicky Puri Cahyaprastya 101224093

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(5)
(6)
(7)

iv

Selalu berpikir positif dan berdoa kepada Allah S.W.T.

dalam menghadapi setiap cobaan yang menghampiri .

(Vicky Puri Cahyaprastya)

Berprinsiplah seperti pohon Kelapa, di mana pun tempatnya akan selalu

membawa manfaat. Dan berprilakulah seperti pohon Beringin yang selalu

berbaik hati memberikan kesejukan bagi siapa pun yang berteduh di bawahnya .

(Vicky Puri Cahyaprastya)

Oleh karena itu, jangan pernah merasa cemas karena kamu tidak bisa

mempercepatnya. Jika kamu berjalan perlahan kamu akan mencapai lebih

dari mereka yang bergerak terlalu cepat .

(8)

v

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan untuk;

(9)

vi

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 13 April 2015 Penulis,

(10)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,

nama : Vicky Puri Cahyaprastya NIM : 101224093

demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DAN PRINSIP KESOPANAN DALAM ACARA TATAP MATA TRANS 7

SEBAGAI WAHANA MENCIPTAKAN HUMOR VERBAL LISAN

dengan demikian, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademik tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 13 April 2015 Penulis,

(11)

viii

Cahyaprastya, Vicky Puri. 2015.Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Prinsip

Kesopanan dalam Acara Tatap Mata di Trans 7 sebagai Wahana Menciptakan Humor Verbal Lisan. SKRIPSI. Yogyakarta: PBSI, JPBS,

FKIP Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini membahas pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan dalam acara Tatap Mata di Trans 7 sebagai wahana menciptakan humor verbal lisan. Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara Tatap Mata di Trans 7 sebagai wahana menciptakan humor verbal lisan, dan (2) untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kesopanan dalam acara Tatap Mata di Trans 7 sebagai wahana menciptakan humor verbal lisan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian berupa tuturan-tuturan dalam acara Tatap Mata di Trans 7 dari bulan April sampai bulan Mei 2014. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Metode pengumpulan data menggunakan metode simak catat. Analisis data menggunakan metode padan ekstralingual.

Simpulan dari penelitian ini adalah: pertama, ditemukan wujud pelanggaran prinsip kerja sama, yaitu (1) maksim kuantitas berupa informasi berlebihan dan informasi kurang informatif, (2) maksim kualitas berupa informasi salah dan informasi tidak logis, (3) maksim relevansi berupa informasi tidak relevan dengan masalah pembicaraan, dan (4) maksim pelaksanaan berupa kesalahan dalam menafsirakan maksud mitra tutur, informasi implisit, kesalahan menafsirkan arti kata berbahasa Inggris, penghilangan dan penanbahan bunyi, kesalahan substitusi bunyi, dan pengembalian stimulus. Kedua, ditemukan wujud pelanggaran prinsip kesopanan, yaitu (1) maksim kebijaksanaan berupa perintah yang mempermalukan mitra tutur, informasi membingungkan mitra tutur, dan merugikan mitra tutur secara nyata., (2) maksim kemurahan berupa pemanfaatan ketidaktahuan mitra tutur dan permintaan sesuatu kepada mitra tutur., (3) maksim penerimaan berupa merendahkan mitra tutur, mencela dan mencemooh mitra tutur, dan pemutarbalikan fakta., (4) maksim kerendahan hati berupa bangga terhadap diri sendiri, (5) maksim kecocokan berupa informasi tidak sebenarnya, dan (6) maksim kesimpatian berupa sikap antipati terhadap kesusahan mitra tutur.

(12)

ix

ABSTRACT

Cahyaprastya, Vicky Puri. 2015.The Violation of Cooperative and Politeness

Principles in Tatap Mata Show Trans 7 As A Mean of Creating Verbal Humor. THESIS. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP Universitas Sanata

Dharma.

This research study discusses the violation of cooperative and politenessprinciples in tatap mata show trans 7 as a mean of creating verbal humor. The aims of the research are; (1) to describe the types of the the violation of cooperative principles in tatap mata show trans 7as a mean of creating verbal humor, and (2) to describe the types of the the violation of politeness principles in tatap mata show trans 7as a mean of creating verbal humor.

This research study belongs to descriptive qualitative research. The data of the research were in the form of excerpts in tatapmata show trans 7 taken from april to mei 2014. The research instrument was the researcher. The data collection technique was note-taking. The data analysis technique applied extralingual comparative method.

The results of the research study were: firstly, there were violations of cooperative principles; (1) the violations of maxim of quantity are in the form of excessive information and less-informative information, (2) the violations maxim of quality are in the form of wrong information and illogical information, (3) the violation of maxim of relation is in the form of irrelevant information with the topic being discussed, and (4) the violations maxim of manner are in the form of misinformation communication in understanding partners’ talks, implicit information, misunderstanding in identifying English words, the omission and addition of sound, the mistakes of sound substitution, and stimulus feedback. Secondly,there were violations of politeness principles; (1) the maxim of tact is in the form orders which embarrass partners, information which confuse partners, and to harm partners, (2) the violations of maxim of generosity are in the form of taking advantages in partners’ ignorance and requesting of something to partners, (3) the violations of maxim approbationare in the form of humiliating, bullying and degrading partners, and twisting facts, (4) the violations of maxim of modesty is in the form of pride of their own, (5) the violations of maxim of agreement is in the form of unreal information, and (6) the violations of maxim of sympathy is in the form of being antipathy with partners’ difficulties.

(13)

x

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat ramhat dan kemurahan-Nya, skripsi yang berjudul Pelanggaran Prinsip

Kerja Sama dan Prinsip Kesopanan dalam Acara Tatap Mata Trans 7 Sebagai

Wahana Menciptakan Humor Verbal Lisan dapat selesai dan tersusun dengan

baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi sesuia dengan kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penulis skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan sekaligus selaku dosen pembimbing kedua yang telah senan tiasa memberikan bimbingan, arahan, nasehat, dan motivasi kepada penulis selama proses penyususn hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., selaku dosen pembimbing pertama yang telah memberikan bimbingan, nasehat, dan motivasi kepada penulis dari awal penyusunan skripsi hingga skripsi ini terselesaikan dengan baik.

(14)

xi

6. Robertus Marsidiq, selaku staf sekretaris Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang selalu sabar dalam memberikan pelayanan administrasi kepada penulis.

7. Bapak Ponidi (Alm.) dan Ibu Katini, selaku orang tua penulis yang telah memberikan kepercayaan, dukungan, doa, dan semangat kepada penulis selama menyusun skripsi ini hingga selesai dengan baik.

8. Bapak Mulyono dan Ibu Mulyono yang telah merawat penulis selama di Yogyakarta.

9. Ivana Tunggal Dewi yang telah memberikan dukungan, semangat, serta telah membantu dalam pengumpulan data.

10. Dimas Saefan Samudra, L. Yudi Kristianto, Kristin Anggraini, Ade Supiyanto, Gusti Dinda Damarsasi, Andrius Akun, Stefanus Andri, Florentinus Joni, Florentinus Apin, Desti Jumaryani, Eko Prasetyo, dan seluruh teman-teman PBSI Angkatan 2010 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yag telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdabat banyak kesalahan dan kekurangan. Namun, penulis tetap berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan memberikan inspirasi bagi penelitian selanjutnya.

Yogyakarta, 13 April 2015 Penulis,

(15)

xii

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN KEASLIAN KARYA ... vi

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR BAGAN DAN TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Batasan Istilah ... 5

1.6 Sistematika Penyajian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI ... 9

2.1 Penelitian Terdahuluan ... 9

2.2 Landasan Teori ... 13

2.2.1 Pragmatik ... 13

2.2.2 Konteks ... 15

2.2.3 Implikatur Percakapan ... 22

(16)

xiii

2.2.5 Prinsip Kesopanan ... 29

2.2.6 Humor ... 34

2.3 Kerangka Berpikir ... 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 40

3.1 Jenis Penelitian ... 40

3.2 Sumber dan Data Penelitian ... 41

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 42

3.4 Instrumen Pengumpulan Data ... 43

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ... 44

3.6 Teknik Validasi Data ... 44

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1 Deskripsi Data ... 47

4.2 Hasil Analisis Data ... 47

4.3 Pembahasan ... 48

4.3.1 Wujud Pelanggaran Maksim Kuantitas ... 49

4.3.1.1Informasi Berlebihan ... 50

4.3.1.2Informasi Kurang Informatif ... 52

4.3.2 Wujud Pelanggaran Maksim Kualitas ... 54

4.3.2.1Informasi Salah ... 55

4.3.2.2Informasi Tidak Logis ... 57

4.3.3 Wujud Pelanggaran Maksim Relevansi ... 59

4.3.4 Wujud Pelanggaran Maksim Pelaksanaan ... 61

4.3.4.1Kesalahan dalam Menafsirkan Maksud Mitra Tutur ... 61

4.3.4.2Informasi Implisit (Tersembunyi) ... 63

4.3.4.3Kesalahan Menafsirkan Arti Kata Berbahasa Inggris ... 65

4.3.4.4Penghilangan dan Penambahan Bunyi ... 67

4.3.4.5Kesalahan Substitusi Bunyi ... 69

4.3.4.6Pengembalian Stimulus ... 71

4.3.5 Wujud Pelanggaran Maksim Kebijaksanaan ... 72

4.3.5.1Perintah yang Mempermalukan Mitra Tutur ... 72

(17)

xiv

4.3.6 Wujud Pelanggaran Maksim Kemurahan ... 77

4.3.6.1Pemanfaatan Ketidaktahuan Mitra Tutur ... 78

4.3.6.2Permintaan sesuatu Kepada Mitra Tutur ... 79

4.3.7 Wujud Pelanggaran Maksim Penerimaan ... 80

4.3.7.1Merendahan Status Mitra Tutur ... 80

4.3.7.2Mencela dan Mencemooh Mitra Tutur ... 82

4.3.7.3Pemutarbalikan Fakta ... 84

4.3.8 Wujud Pelanggaran Maksim Kerendahan Hati ... 85

4.3.8.1Bangga terhadap Kemampuan Diri Sendiri ... 86

4.3.9 Wujud Pelanggaran Maksim Kecocokan ... 87

4.3.9.1Informasi Berupa Hal yang Tidak Sebenarnya ... 87

4.3.10 Wujud Pelanggaran Maksim Kesimpatian ... 89

4.3.10.1 Sikap Antipati terhadap Mitra Tutur ... 89

BAB V PENUTUP ... 91

5.1 Kesimpulan ... 91

5.2 Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94

LAMPIRAN ... 95

LAMPIRAN 1 ... 95

LAMPIRAN 2 ... 205

(18)

xv

DAFTAR BAGAN DAN TABEL

(19)

xvi

(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia dan bahasa bisa diibaratkan sebagai laut dan pantai, apabila tidak ada bahasa manusia tidak akan bisa menyampaikan ide, gagasa, perasaan, pengalaman, dan mengidentifikasikan dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat para ahli bahasa yang mengatakan, bahwa bahasa merupakan sistem lambang bunyi bersifat arbriter yang digunakan oleh sekelompok manusia untuk berinteraksi dan mengidentifikasikan dirinya (Chaer, 2010:30). Bila dilihat dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa definisi tersebut menyiratkan fungsi bahasa dilihat dari segi sosilanya, yaitu bahwa bahasa itu adalah alat interkasi atau alat komunikasi di dalam masyarakat.

(21)

lepas dari kehidupan manusia. Humor meruapakan sarana yang paling kuat untuk mengkritik orang. Hal ini senada dengan pendapat Wuri Sudjatmiko (1991) dalam makalahnya, bahwa humor termasuk dalam salah satu sarana komunikasi seperti menyampaikan informasi, menyatakan rasa senang, marah, jengkel, kritik, simpati, dan sebagainya (PELBA ke-5, 1991). Wuri juga menambahkan bahwa sebagai sarana komunikasi, apabila digunakan secara tepat, humor dapat berfungsi macam-macam. Humor dapat berfungsi sebagai penyelamat atau dapat mengendurkan ketegangan. Fungsi humor lainnya adalah sebagai alat kritik yang ampuh, karena yang dikritik tidak merasakannya sebagai suatu konfrontasi.

Humor juga bisa dikatakan sebagai penyeimbang jiwa dan kesatuan sosial dalam menghadapi kadaan yang tidak tersangka-sangka atau perpecahan masyarakat. Danandjaja (1989) mengatakan bahwa di dalam situasi masyarakat yang telah memburuk pun humor juga menampakkan peranannya yang sangat besar. Humor dapat mebebaskan diri manusia dari bebean kecemasan, kebingungan, kekejaman, dan kesengsaraan. Dengan humor manusia dapat menghadapi ketimpangan masyarakat dengan canda dan tawa. Jadi, humor sebenarnya dapat dijadikan alat psikoterapi, terutama bagi masyarakat yang sedang berada dalam proses perubahan kebudayaan secara cepat, seperti negara kita, yaitu negara Indonesia (dalam Wijana, 2004: 04).

(22)

nonhumor. Apabila dalam kaidah-kaidah pragmatik yang terjabar dalam berbagai maksim dipatuhi secara ketat oleh bahasa nonhumor, oleh bahasa humor kaidah-kaidah disimpangkan. Munculnya humor seperti ini dapat dijelaskan secara linguis. Secara tekstual dilakukan dengan pelanggaran prinsip kerja sama (cooperative principle). Secara interpersonal dilakukan dengan pelanggaran prinsip kesopanan (politeness principle). Pelanggaran tersebut dilakukan dengan maksud untuk membebaskan para pembaca atau pendengar dari beban kejenuhan, keseriusan, dan sebagainya (Wijana, 2004: 5-6).

(23)

Canda”. Inilah yang menjadikan peneliti tertarik untuk menjadikan tuturan dalam acara Tatap Mata di Trans 7 sebagai objek kajiannya dengan judul penelitiannya “Pelanggarann Prinsip Kerja Sama dan Prinsip Kesopanan dalam Acara Tatap

Mata di Trans 7 sebagai Wahana Menciptakan Humor Verbal Lisan”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah tersebut, maka rumusan masalah utama dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah pelanggaran prinsip kerja sama dan

prinsip kesopanan dalam acara Tatap Mata di trans 7 sebagai wahana

menciptakan humor verbal lisan?” dengan sub-rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah wujud pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara Tatap

Mata di trans 7 untuk menciptakan humor?

2. Bagaimanakah wujud pelanggaran prinsip kesopanan dalam acara Tatap Mata di tarns 7 untuk menciptakan humor?

1.3 Tujuan Penelitian

Berangkat dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mendeskripsikan wujud pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara Tatap Mata di trans 7 sebagai wahana menciptakan humor.

(24)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoris

Hasil temuan penelitian ini diharapkan dapat menyingkap pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan dalam acara Tatap Mata di trans 7. Selain itu, hasilnya diharapkan pula dapat menambah perbendaharaan penelitian di bidang pragmatik. Dan dapat menjadi salah satu rujukan dalam penelitian-penelitian selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Temuan dari penelitan ini diharapkan dapat memberikan informasi bahwa menggunakan tuturan yang melanggar dari prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan untuk menyampaikan maksud tertentu akan lebih menarik disimak, karena percakapan tidak kaku dan tidak monoton.

1.5 Batasan Istilah

Supaya penelitian ini tidak melewati batasan-batasannya, peneliti memberi batasan-batasan pada istilah yang digunakan dalam mengkaji tuturan-tuturan dalam acara Tatap Mata di Trans 7 sebagai berikut.

1.5.1 Pragmatik

(25)

Konteks adalah semua latar belakang pengetahuan (backround knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur. Konteks sediri terdiri dari beberapa aspek situasi ujar, yaitu penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal.

1.5.3 Implikatur Percakapan

Implikatur adalah ujaran atau pernyataan yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan.

1.5.4 Prinsip Kerja Sama

Prinsip kerja sama adalah sebuah asumsi tentang kerja sama yang terjadi antara penutur dan mitra tutur saat melakukan percakapan. Prinsip kerja sama ini terbagi atas empat subprinsip yang disebut maksim, yaitu maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim cara.

1.5.5 Prinsip Kesopanan

Prinsip kesopanan adalah piranti yang digunakan untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya.

1.5.6 Humor

(26)

1.6 Sistematika Penyajian

Sistematika penelitian dalam penelitian ini perlu dijabarkan untuk mempermudah penguraian masalah. Adapun sistematika penelitian dalam penelitian ini terbagi menjadi lima bab yaitu, Bab I Pendahuluan, Bab II Kajian Pustaka, Bab III Metode Penelitian, Bab IV Analisis Data, dan Bab V Penutup.

(27)

teori. Tinjauan studi terdahulu berisikan perbedaan antara penelitian sejenis yang dilakukan penulis dengan penelitian terdahulu. Landasan teori berisikan sejumlah teori yang secara langsung berkaitan dengan masalah yang diteliti dan dikaji sebagai dasar atau landasan dalam menganalisis masalah penelitian.

Bab III Metodologi Penelitian, menjelaskan mengenai jenis penelitian, data dan sumber data, metode dan teknik pengumpulan data, intrumen penelitian, dan metode dan teknik analisis data.

Bab IV Analisis Data, yang menguraikan data-data yang menjadi objek penelitian berdasarkan data yang tersedia dan membahasnya secara terstruktur serta sesuai dengan teori yang digunakan.

(28)

9 BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan telah banyak dilakukan oleh banyak mahasiswa diberbagai universitas. Namun, di Universitas Sanata Dharma sendiri khususnya Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia belum pernah dilakukan penelitian tentang pelanggaran terhadap kedua prinsip ini. Hal ini yang mendasari peneliti melakukan penelitian tentang pelanggaraan terhadap prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan yang dikaitkannya dengan pembentukan wacana humor verbal lisan.

Dalam hal ini, I Dewa Putu Wijana (1995) dalam disertasi pengukuhan guru besarnya yang berjudul “Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia”, menyatakan

(29)

pragmatik lainnya.

Secara kebahasaan, kelucuan dalam menciptakan humor dapat dilihat dari aspek-aspek kebahasaan dari tataran yang terendah sampai pada tataran tertinggi. Dan secara kebahasaan ini didapatkan hasil bahwa dalam menciptakan humor juga dapat memanfaatkan aspek-aspek kebahasaan yang meliputi pelanggaran ortografis, fonologis, ketaksaan, motonimi, sinonimi, antonimi, eufenisme, name, deiksis, kata ulang, pertalian kata dalam frasa, pertalian elemen intra klausa, konstruksi aktif pasif, pertalian antarklausa, dan pertalian antarproposisi.

Selanjutnya, penelitian yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan juga berlanjut sampai sekarang. Salah duanya adalah penelitian yang dilakukan oleh Waluyo pada tahun 2009 dengan judul

penelitiannya “Pelanggaran Prinsip Kerja sama dan Prinsip Kesopanan dalam

Percakapan Lum Kelar di Radio Sam FM”. Dalam penelitiannya, Waluyo

(30)

Pertama, ditemukan adanya pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dalam tuturan Lum Kelar. Pelanggaran prinsip kerja sama terjadi terhadap empat maksim, yaitu (a) pelanggaran maksim kuantitas, (b) pelanggaran maksim kualitas, (c) pelanggaran maksim relevansi, dan (d) pelanggaran maksim pelaksanaan. Pelanggaran prinsip kerja sama paling banyak terjadi terhadap maksim kualitas. Kedua, ditemukan adanya pelanggaran terhadap prinsip kesopanan dalam percakapan Lum Kelar. Pelanggaran hanya terjadi terhadap lima maksim dari enam maksim yang tercakup dalam prinsip ini. Pelanggaran-pelanggaran yang dimaksud adalah (a) Pelanggaran-pelanggaran maksim kebijaksanaan, (b) pelanggaran maksim penerimaan, (c) pelanggaran maksim kemurahan, (d) pelanggaran maksim kerendahan hati, dan (e) pelanggaran maksim kecocokan. Pelanggaran terhadap maksim kesimpatian tidak ditemukan dalam penelitian ini. Ketiga, tuturan dalam Lum Kelar mengandung beberapa macam implikatur percakapan. Implikatur-implikatur tersebut digunakan antara lain untuk (a) menegaskan, (b) mengeluh, (c), menciptakan humor, (d) menyindir, (e) memastikan, (f) menolak, (g) menyombongkan diri, (h) mengejek, dan (i) menyatakan rasa kesal. Dalam percakapan Lum Kelar, implikatur percakapan terbanyak digunakan untuk humor. Hal ini merupakan salah satu strategi untuk menarik minat pendengar, agar mau mendengarkan Lum Kelar dari awal hingga akhir.

Berbeda dengan Waluyo, penelitian yang dilakukan oleh Dwi Ariyani pada

tahun 2010 dengan judul penelitiannya “Pelanggaran Prinsip Kesantunan dan

(31)

bentuk pelanggaran prinsip kesantunan dalam OVJ, (2) mendeskripsikan prinsip ironi dalam OVJ, dan (3) mendeskripsikan implikatur yang muncul dalam OVJ. Dengan hasil yang dicapai adalah (1) ditemukan pelanggaran terhadap prinsip kesantunan. Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan ditemukan pada banyak data dan meliputi semua maksimnya. Pelanggaran paling banyak ialah pada maksim pujian, yang diikuti oleh maksim kearifan, simpati, kesepakatan, pertimbangan, kerendahan hati, dan terakhir maksim kedermawanan. (2) terdapat prinsip ironi dalam OVJ. Hanya sedikit data yang mengandung penerapan prinsip ironi. Hal tersebut karena kemungkinan para pemain OVJ akan merasa lebih puas jika menghina/mengecam orang lain secara terang-terangan. Pemain OVJ kelihatan bahagia jika berhasil menghina orang lain, hal ini dapat dilihat dari raut muka mereka yang tersenyum. Dan (3) ditemukan beberapa implikatur percakapan dalam acara OVJ. Implikatur tersebut terdiri dari sembilan (9) macam implikatur yang berbeda. Kesembilan macam implikatur tersebut ialah, implikatur menghina, memancing amarah, tidak suka dengan kedatangan orang lain, mempengaruhi, tidak suka, ingin menyiksa, tidak sayang kepada istri, menyuruh, dan merayu. Dalam acara OVJ implikatur yang terjadi dominan adalah implikatur menghina.

(32)

Letak perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu ada pada objek penelitiannya. Objek dalam penelitian ini berupa percakapan yang diperoleh dari acara Talk Show, yang berjudul Tatap Mata, yang ditayangkan oleh stasiun televisi Tran 7. Selain itu, pelanggaran prinsip kesopanan tidak dikaji sama dalam dengan penelitian terdahulu. Oleh karena itu, penelitian ini juga akan mengkaji pelanggaran prinsip kesopanan. Adanya ruang lingkup pemakaian bahasa yang diteliti berbeda, maka kemungkinan hasil yang diperoleh pun akan berbeda. Dengan demikian, penelitian ini akan membahas pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan dengan sumber data penelitian yang berbeda dari penelitian terdahulu.

2.2 Landasan Teori

Teori yang dipergunakan oleh peneliti sebagai acuan dasar dalam penelitian ini meliputi: (1) teori pragmatik, (2) teori konteks, (3) teori implikatur percakapan, (4) teori prinsip kerja sama, (5) teori prinsip kesopanan, dan (6) teori humor.

2.2.1 Pragmatik

(33)

itu digunakan dalam berkomunikasi.

Definisi pragmatik yang diajukan oleh Levinson (1983: 21) adalah “pragmatics is the study of the relation between language and context that are

basic to an account of language understanding”, yang dapat diartikan bahwa

pragmatik adalah ilmu tentang hubungan antara bahasa dan konteks yang didasarkan pada perhitungan pemahaman bahasa. Definisi ini menegaskan bahwa konteks adalah dasar dari pemahaman bahasa. Jadi, dalam menganalisis bahasa, konteks harus selalu diperhitungkan.

Jacob L. Mey (1993: 42) mendefinisikan “pragmatics is the study of the

conditions of human language uses as these are determined by the context of

society”, artinya bahwa pragmatik adalah ilmu tentang kondisi-kondisi penggunaan bahasa manusia yang ditentukan oleh konteks masyarakat. Definisi ini menguatkan pendapat bahwa analisis bahasa tidak bisa terlepas dari konteks.

(34)

Verhaar mengemukakan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstra lingual” yang dibicarakan (Verhaar, 2001: 14). Gunarwan (1994) menyatakan bahwa pragmatik adalah bidang di dalam linguistik yang mengkaji maksud ujaran, bukan makna kalimat yang diujarkan itu (dalam PELLBA 7, 1994: 83-84).

Definisi pragmatik dalam Kamus Linguistik ada dua, yaitu pertama, pragmatik adalah syarat-syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi. Kedua, pragmatik adalah aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran (Harimurti Kridalaksana, 2001: 176-177).

Berdasarkan beberapa definisi pragmatik yang telah diuraikan di atas dapat disumpulkan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji penggunaan bahasa dalam komunikasi yang terikat oleh konteks.

2.2.2 Konteks

(35)

seseorang dalam menginterpretasikan isi dan bentuk tuturan. Masuknya konteks dalam memahami dan atau menghasilkan ujaran dimaksudkan untuk membangun prinsip‐prinsip kerjasama dan sopan santun dalam proses komunikasi, sehingga tujuan komunikasi dapat dicapai secara efektif. Konteks itu sendiri terkait erat dengan budaya, yang berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Apa yang dianggap sebagai topik pembicaraan yang wajar oleh masyarakat Arab misalnya, mungkin dianggap sebagai topik pembicaraan yang absurd oleh masyarakat Indonesia, atau sebaliknya.

Werth (1999) telah mengembangkan sebuah konsep sangat terinci dan akurat tantang konteks. Dia memandang bahwa konteks adalah sesuatu yang diciptakan secara dinamis dan bersama-sama oleh para peran dari wacana (ini berlaku untuk wacana lisan dan tulis). Menurut Werth juga bahwa pencarian untuk mendapatkan sebuah koherensi adalah ditentukan oleh teks. Biarpun situasi yang paling umum dalam sebuah wacana adalah interaksi tatap muka, namun dapat diperkirakan bahwa hal semacam ini juga terjadi dalam teks tertulis (dalam Elizabeth, 2011: 4).

(36)

kendali pendengar, yang diawali dari asumsi bahwa ucapan itu adalah relevan. Konteks adalah sebuah konstruk psikologis, yaitu subhimpunan dari asumsi-asumsi pendengar tentang dunia. Sperber dan Wilson memperhatikan bahwa asumsi-asumsi yang tidak akurat pun tetap bisa mempengaruhi penafsiran terhadap ucapan (Elizabeth, 2011: 179).

Leech (1983: 13) mengartikan konteks sebagai:

context has been understood in various ways, fro example to include

‘relevant’ aspects of the physical or social setting of an utterance. I shall

consider context to be any background knowledge assumed to be shared by s and h and which contributes to h’s interpretation os what s means by a given utterance‟.

Jadi, konteks menurut Leech tersebut adalah aspek fisik maupun sosial antara penutur dan mitra tutur di dalam tuturan. Latar belakang pengetahuan mengenai konteks yang tercermin dalam jadi diri penutur dan mitra tutur dalam pentuturan akan membantunya dalam menafsirkan pesan atau maksud yang hendak disampaikan pada setiap pentuturan. Maka dapat dikatakan bahwa kehadiran konteks situasi menjadi mutlak dalam upaya menjadikan tuturan itu benar-benar bermakna, dan tuturan itu tidak akan bermakna tampa kehadiran konteks apapun di dalamnya.

(37)

penryataan tersebut, Yule membedakan antara konteks dan ko-teks. Konteks ia definisikan sebagai lingkungan fisik di mana sebuah kata dipergunakan, sedangkan ko-teks adalah bahan linguistik yang membantu untuk memahami sebuah ekspresi atau ungkapan.

Sehubungan dengan adanya berbagai maksud yang memungkinkan dikomunikasikan oleh penutur dalam sebuah tuturan, Leech (1983) mengajukan aspek-aspek situasi tutur atau speech situation itu dibagi menjadi lima macam, yaitu (1) penutur dan mitra tutur, (2) konteks tuturan, (3) tujuan tuturan, (4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal (melalui Wijana dan Rohmadi, 2010: 12-16).

2.2.2.1 Penutur dan Mitra Tutur

Konsep penutur dan mitra tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca apabila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulis. Adapun aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan mitra tutur ini adalah usia, latar belakang, sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.

2.2.2.2 Konteks Tuturan

(38)

terdiri atas kalimat-kalimat atau tutran-tuturan yang mendahului dan mengikuti tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi. Konteks linguistik disebut pula dengan istilah koteks. Keempat, konteks sosial yaitu relasi sosial dan latar (setting) yang melengkapi hubungan antara penutur dan mitra tutur.

Jadi, dapat dikatakan bahwa konteks tuturan dalam penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau seting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Namun, dalam pragmatik, konteks ini pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (backround knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur.

2.2.2.3 Tujuan Tuturan

Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama.

(39)

tubuh yang berperan berbeda. Pada tindakan mencubit tanganlah yang berperan, sedangkan pada tindakan bertutur alat ucaplah yang berperan.

2.2.2.5 Tuturan sebagai Produk Tindak Verbal

Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Tuturan itu merupakan hasil suatu tindakan. Tindakan manusia itu dibedakan menjadi dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Berbicara atau bertutur itu adalah tindakan verbal. Karena tercipta melalui tindakan verbal, tuturan itu merupakan produk tindak verbal. Tindak verbal adalah tindak mengekpresikan kata-kata atau bahasa.

Oleh karena itu, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal. Berpijak dari hal tersebut, tuturan dapat dibedakan dari kalimat. Kalimat adalah entitas gramatika sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaannya dalam situasi tertentu.

(40)

1) orang yang mengutarakan dan situasi pengutaraan tuturan itu harus sesuai, yaitu siapa yang mengutarakan, di mana diutarakan, dan kapan waktu tuturan itu diutarakan. Apabila syarat-syarat atau salah satu syarat itu tidak dipenuhi, maka tuturan tersebut tidak valid (infelicitous).

2) Tindakan itu harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh penutur dan mitra tutur.

3) Penutur dan mitra tutur harus memiliki niat yang sungguh-sungguh untuk melakukan tindakan itu. Misal, tuturan Selamat ya, atas prestasinya merupakan tidak performatif bila penutur mengucapkan tuturannya dilandasi dengan niat atau maksud yang sungguh-sungguh memberi ucapan selamat. Dan sebaliknya, apabila penutur tidak mempunyai niat seperti itu, ia sebenarnya tidak senang dengan prestasi yang dicapai oleh mitra tuturnya, maka tindak tutur itu tidak valid.

Lain halnya menurut John Searle, sebagai salah satu murid Austin, Searle memperluas syarat-syarat validitas tindak tutur yang diajukan oleh gurunya tersebut. Lima syarat tindak performatif menurut Searle adalah:

1) Penutur harus memiliki niat yang sungguh-sungguh terhadap apa yang dijanjikannya.

2) Penutur harus berkeyakinan bahwa mitra tutur percaya bahwa tuturan itu benar-benar akan dilaksanakan.

3) Penutur harus berkeyakinan bahwa ia mampu melaksanakan tindakan itu. 4) Penutur harus memprediksi tuturan yang akan dituturkan (future verbal),

(41)

tuturan yang dilakukan oleh orang lain. (Wijana, 1996: 24-27).

2.2.3 Implikatur Percakapan

Dalam rangka memahami apa yang disampaikan oleh penutur, mitra tutur diharuskan selalau melakukan interpretasi terhadap tuturan-turan penutur. Jadi

dibedakan antara “apa yang dikatakan” (what is said), dengan “apa yang

dikomunikasikan” (what is communicated), dan implikatur termasuk dalam apa

yang dikomunikasikan (Pranowo, 2012: 102).

Kata implikatur berasal dari bahasa Inggris “implicature”, yang berasal

dari kata kerja “to imply”. Secara etimologi, “to imply” berarti membungkus

sesuatu ke dalam sesuatu yang lain. Merujuk pada keterangan tersebut, implikatur percakapan, dapat diartikan sesuatu yang diimplikasikan dalam percakapan‟ (Mey, 1993:99).

Selain itu, banyak pula ahli bahasa yang mengemukakan pendapatnya tentang implikatur percakapan ini. Beberapa di antaranya adalah Grice dan Gazdar, yang menyatakan:

(42)

Wijana dan Rohmadi berpendapat dalam bukunya bahwa implikatur adalah ujaran atau pernyataan yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Pemahaman terhadap implikatur akan lebih mudah jika penulis/penutur dan pembaca/mitra tutur telah berbagi pengalaman. Pengalaman dan pengetahuan tentang berbagai konteks tuturan yang melingkupi kalimat/tuturan yang dilontarkan oleh penulis/penutur (2010: 227). Pembaca/mitra tutur tidak akan menangkap dan memahami maksud penulis/penutur yang terimplikasi/tersirat dari tuturan penulis/penutur jika tidak memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman tentang dunia sekitar. Hal ini akan memudahkan pembaca/mitra tutur dalam memahami maksud penulis/penutur apabila pembaca/mitra tutur dapat memanfaatkan pengetahuannya tentang dunia sekitar.

(43)

tersirat dalam suatu percakapan. Implikatur nonkonvensional ini dikenal juga dengan implikatur percakapan. Implikatur percakapan merupakan implikasi pragmatis yang dikandung suatu tuturan percakapan akibat adanya pelanggaran prinsip percakapan (Rustono, 1991:80). Dapat dikatakan pula bahwa implikatur percakapan adalah implikatur yang muncul akibat dari konteks tuturan. Implikatur percakapan akan berbeda jika konteks tuturannya berbeda. Dengan kata lain, implikatur percapakan sangat dipengaruhi dengan keberadaan konteks dalam suatu tuturan dan implikatur percakapan ini dilatar belakangi oleh adanya prinsip kerja sama (Yule, 2006: 69-78).

Singkatnya, implikatur percakapan adalah tuturan atau pernyataan yang selalu terikat dengan konteks tuturan. Dalam implikatur konvensional, tuturan atau pernyataan tidak memperhatikan atau menghiraukan keberadaan konteks.

Praanggapan dapat diartikan sebagai “sesuatu yang dijadikan oleh si

penutur sebagai dasar penuturannya” (Abdul Rani, Bustanul Arifin, Martutik,

(44)

lagi, bahwa implikatur percakapan ini timbul sebagai akibat adanya pelanggaran prinsip percakapan (Rustono, 1991:81-82).

2.2.4 Prinsip Kerja Sama

Wijana dan Rohmadi (2009: 41-42) menyatakan bahwa di dalam komunikasi yang wajar agaknya dapat diasumsikan bahwa seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada lawan tuturnya dan berharap lawan tuturnya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu, penutur selalu berusaha agat tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami, padat dan ringkas, dan selalu pada persoalan sehingga tidak menghabiskan waktu lawan tuturnya. Apabila terjadi penyimpangan ada implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya. Dan apabila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan kerja sama atau tidak bersifat kooperatif. Secara ringkasnya dapat diasumsikan bahwa ada semacam prinsip kerja sama yang harus dilakukan penutur dan lawan tutur agar proses komunikasi itu berjalan secara lancar. Dalam prinsip kerja sama terdapat maksim yang merupakan landasan manusia dapat berkomunikasi. Menurut KBBI (2005: 704), maksim adalah pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran umum tentang sifat-sifat manusia.

(45)

mematuhi empat macam maksim percakapan yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.

2.2.4.1 Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity)

Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Lebih lanjut Rahardi (2008: 53) menyatakan bahwa jawaban yang diberikan oleh penutur kepada lawan tuturnya tidak boleh melebihi jawaban yang sebenarnya dibutuhkan lawan tutur. Tuturan yang tidak mengandung jawaban yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung jawaban yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. Ada dua submaksim yang menopang maksim ini, yaitu;

1. Sumbangan informasi Anda harus seinformatif yang dibutuhkan. 2. Sumbangan informasi Anda jangan melebihi yang dibutuhkan.

Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh di bawah ini. (01) + Siapa namanu?

- Ani.

(02) + Rumahmu di mana? - Klaten, tepatnya di Pedan. (03) + Sudah bekerja?

- Belum, masih mencari-cari.

(46)

Namun, pada wacana (02) dan (03) melanggar karena memberikan kontribusi yang berlebihan dalam komunikasi.

2.2.4.2 Maksim Kualitas (Maxim of Quality)

Maksim percakapan ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Lebih lanjut Rahardi (2008: 55) menyatakan bahwa dalam komunikasi sebenarnya, penutur dan lawan tutur umumnya menggunakan tuturan dengan maksud yang tidak senyatanya dan tidak disertai dengan bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang terlalu langsung dan tanpa basa basi dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa adanya justru akan membuat tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan perkataan lain, untuk bertutur yang santun, maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi dan tidak dipenuhi. Dalam maksim ini ada dua submaksim yang mendukung, yaitu;

1. Jangan katakan yang Anda yakini salah.

2. Jangan katakan sesuatu tanpa bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.

Untuk itu dapat diperhatikan contoh wacana di bawah ini: (04) + Apa ibu kota Jawa Tengah?

- Semarang.

(47)

Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Mengenai maksim ini, Levinson (1983:102) menyatakan “make your contributions relevant”, artinya buatlah kontribusi yang relevan atau sesuai dengan topik pembicaraan‟ . Lebih lanjut Rahardi (2008: 56) menyatakan bahwa bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak memenuhi dan melanggar maksim relevansi. Berkenaan untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menunjukkan kesantunan tuturan, ketentuan yang ada pada maksim relevansi seringkali tidak dipenuhi oleh penutur. Untuk itu dapat diperhatikan contoh wacana di bawah ini:

(05) + Ani, ada telepon.

- Saya lagi di kamar kecil, Bu.

Pada wacana tersebut, (-) sepintas memberikan jawaban yang tidak berhubungan dengan pernyataan (+). Namun, sebenarnya jawaban (-) memberikan kontribusi yang relevan yang menyatakan bahwa dirinya tidak dapat menerima telepon karena sedang berada di kamar kecil.

2.2.4.4 Maksim Pelaksanaan (Maxim of Manner)

(48)

(2008: 57-58) menyatakan bahwa orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal tersebut dikatakan melanggar maksim pelaksanaan. Dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya pada masyarakat bahasa Indonesia, ketidakjelasan, kekaburan, dan ketidaklangsungan merupakan hal yang wajar dan umum terjadi. Pada masyarakat tutur ini, justru ketidaklangsungan merupakan salah satu kriteria kesantunan seseorang dalam bertutur. Maksim ini mempunyai empat submaksim sebagai berikut.

1. Hindari ketidakjelasan tuturan. 2. Hindari ketaksaan (ambiguitas).

3. Berbicaralah secara singkat atau ringkas (hindari uaraian panjang-lebar yang berlebihan).

4. Berbicaralah dengan tertib dan teratur.

Untuk itu dapat diperhatikan contoh wacana di bawah ini: (06) + Masak Peru ibu kotanya Lima... banyak amat. - Bukan jumlahnya, tetapi namanya.

Dalam wacana tersebut, tokoh (-) memberikan kontribusi yang tidak taksa bahwa kata “Lima” yang dimaksud bukanlah nama bilangan, tetapi merupakan nama ibu kota Peru.

2.2.5 Prinsip Kesopanan

(49)

untuk melengkapi prinsip kerja sama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat penerapan prinsip kerja sama.

Sopan satun merupakan mata rantai yang hilang antara prinsip kerja sama dengan masalah bagaimana mengaitkan antara daya dan makna. Sebenarnya, banyak ahli yang mengemukakan tentang prinsip kesantunan ini. Akan tetapi, karena beberapa alasan penelitian ini menggunakan prinsip kesopanan yang dikemukakan oleh Leech. Leech (1983) memandang sopan satu dari sudut pandang mitra tutur dan bukan dari sudut pandang penutur. Leech menanbahkan bahwa tuturan yang sopan bagi penutur dan pihak ketiga bukan merupakan tuturan yang sopan bagi mitra tutur, begitu pula dengan sebaliknya. Prinsip kesopanan Leech berkaitan dengan dua pihak dalam pentuturan, yaitu diri dan

lain. Diri merupakan penutur dan lain adalah mitra tutur, dalam hal ini, lain juga

termasuk pihak ketiga baik yang hadir maupun tidak dalam situasi pentuturan. Secara lengkap Leech (1983) mengemukakan enam maksim, yang termasuk dalam prinsip kesopanan ini (dalam Wijana, 1996: 56-61). Keenam maksim tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Maksim Kebijaksanaan (dalam ilokusi direktif dan komisif) a. Manimalkan kerugian terhadap orang lain.

b. Maksimalkan keuntungan terhadap orang lain. 2. Maksim Penerimaan (dalam ilokusi ekspresif dan asetif)

(50)

3. Maksim Kemurahan (dalam ilokusi direktif dan komisif) a. Maksimalkan kerugian terhadap diri sendiri.

b. Minimalkan keuntungan terhadap diri sendiri.

4. Maksim Kerendahan hati (dalam ilokusi ekspresif dan asetif) a. Maksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri.

b. Minimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

5. Maksim Kecocokan (dalam ilokusi ekspresif dan asetif)

a. Usahakan untuk memaksimalkan kecocokan diantara penutur dan mitra tutur.

b. Usahakan untuk meminimalkan ketidakcocokan diantara penutur dan mitra tutur.

6. Maksim Kesimpatian (dalam ilokusi asetif dan ekspresif) a. Maksimalkan rasa simpati pada orang lain.

b. Meminimalkan rasa antipati pada orang lain.

2.2.5.1 Maksim Kebijaksanaan (Taxt maxim)

Maksim kebijaksanaan berorientasi pada penutur. Maksim ini memiliki dua segi, yaitu segi negatif yang berupa „minimalkan kerugian pada orang lain‟

dan segi positif yang berupa „maksimalkan keuntungan pada orang lain‟. Segi

(51)

perhatikan contoh berikut:

(1) Tutup pintunya! (2) Tolong tutup pintunya!

(3) Sudikah Anda menutup pintu itu!

Dari tiga contoh di atas, dapat dilihat bahwa tuturan (1) memiliki tingkat kesopanan yang lebih rendah dibandingkan tuturan (2) dan (3). Jadi, dapat dikatakan semakin panjang tuturan seseorang, maka semakin sopanlah tuturannya. Apabila di dalam berbicara penutur berusaha memaksimalkan keuntungan orang lain, maka mitra tutur juga wajib memaksimalkan kerugian dirinya, bukan sebaliknya. Fenomena seperti ini lazin disebut sebagai paradog pragmatik. Perhatikan contoh berikut:

(4) + Mari saya bawakan tas Anda. - Jangan, tidak usah.

(5) + Mari saya bawakan tas Anda. - Ini, begitu dong jadi teman.

2.2.5.2 Maksim Penerimaan (Approbation Maxim)

Maksim penerimaan ini memiliki orientasi untung rugi kepada penutur sendiri. Berdasarkan maksim ini, tuturan „Saya akan meminjami Anda buku.‟

lebih sopan daripada tuturan „Saya ragu apakah saya bisa meminjami Anda buku‟.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa penutur harus mengutarakan tuturan dengan tuturan yang bersifat langsung jika bermaksud ingin memberi “biaya” bagi diri

sendiri. Hal tersebut dilakukan agar tidak menciptakan kemungkinan bahwa mitra

(52)

2.2.5.3 Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)

Berbeda dengan maksim kebijaksanaan dan maksim penerimaan, yaitu orientasinya yang berpusat pada diri penutur. Maksim kemurahan orientasinya lebih pada orang lain. Sebab, pada maksim ini yang lebih diutamakan adalah submaksim yang „minimalkan keuntungan pada diri sendiri‟. Berdasarkan maksim

ini pula, tuturan „Masakanmu sungguh enak.‟ lebih sopan dibandingkan dengan

tuturan „Masakanmu tidak enak.‟

2.2.5.4 Maksim Kerendahan Hati (Modisty Maxim)

Maksim kerendahan hati berorientasi pada penutur. Memuji diri sendiri merupakan tuturan yang tidak sopan. Jika seseorang dipuji dengan tuturan „Kamu

sangat pandai‟, akan lebih sopan apabila menjawab denga tuturan „Ah tidak,

biasa-biasa saja. itu hanya kebetulan.‟ daripada tuturan „Ya, saya memang pandai.‟

2.2.5.5 Maksim Kecocokan (Agreement Maxim)

(53)

„Mudah.‟

Dalam konteks lain, apabila penutur tidak menyetujui apa yang dinyatakan oleh mitra tuturnya, penutur dapat membuat pernyataan yang mengandung ketidaksetujuan atau ketidakcocokan. Perhatikan tuturan „Bahasa

Inggris sukar, ya?‟ ketika dijawab dengan tuturan „Ya, tetapi tata bahasanya tidak

begitu sukar untuk dipelajari.‟ Terkesan lebih sopan daripada contoh pada tuturan sebelumnya.

2.2.5.6 Maksim Kesimpatian (Sympathy Maxim)

Maksim simpati menjelaskan bahwa ucapan selamat dan belasungkawa merupakan tindak tutur yang satun, meskipun ucapan belasungkawa mengungkapkan keyakinan negatif penutur tentang keyakinan negatif mitra tuturnya (Leech, 1983: 218). Tuturan „Aku turut berduka cita atas meninggalnya

bibimu‟ merupakan tuturan yang satun daripada „Aku sangat senang mendengar

kabar bahwa bibimu meninggal‟. Akan tetapi terdapat sesuatu yang berat dalam

mengutarakan ucapan belasungkawa, karena dengan demikian penutur meyakini sesuatu yang tidak sopan, yaitu keyakinan yang merugikan mitra tutur (Leech, 1983:218).

2.2.6 Humor

(54)

rekreasi, tetapi bagi anak-anak adalah sebagian dari proses belajar (Allan (1989) dalam Wijana, 2004: 03). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa humor memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia, yakni sebagai ssarana hiburan dan pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas hidup manusia. Wilson (1979) (dalam Wijana, 2004: 03) mengemukakan bahwa humor tidak selamanya bersifat agresif dan radikal yang memfrustasikan sarana agresifnya dan memprovokasikan perubahan, tetapi dapat pula bersifat konservatif yang memiliki kecenderungan untuk mempertahankan sistem sosial dan struktur kemasyarakatan yang telah ada.

Humor dapat disajikan dalam berbagai bentuk, seperti dongeng, teka-teki, puisi rakyat, nyanyian rakyat, julukan, kartun, bahkan nama makanan yang lucu, serta dalam percakapan baik percakapan sehari-hari maupun dalam sebuah acara televisi sekalipun.

Dikatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV (2008: 512) bahwa humor adalah sesuatu yang lucu, keadaan (dalam cerita dan sebagainya) yang menggelikan hati, kejenakaan, dan kelucuan. Humor adalah salah satu bentuk budaya yang bersifat universal.

(55)

pragmatik bahasa baik secara tekstual maupun interpersonal. Secara tekstual pelanggaran dilakukan dengan penyimpangan prinsip kerja sama (cooperationtive

principle), sedangkan secara interpersonal dilakukan dengan cara penyimpangan

prinsip kesopanan (politeness principle) (2004: 06). Dengan kata lain, penyimpangan ini dilakukan dengan maksud untuk membebaskan pembaca/pendengar dari beban kejenuhan, keseriusan, dan sebagainya.

Menurut Wilson (1979), teori pembebasan ini merupakan dampak dari sudut emosional. Lelucon tidak lain adalah tipu daya dari emosional yang kelihatan seolah mengancam, tetapi pada akhirnya terbukti tidak ada apa-apanya. Teori konflik memberikan tekanan pada implikasi perilaku humor, yaitu konflik antara dua dorongan yang saling bertentangan. Greig (1923) menyatakan bahwa humur merupakan hasil dari pertentangan antara keramahan dan kebisingan. Menurut Knox (1952), pertentangan yang terjadi dalam humor itu adalah pertentangan antara main-main dan keseriusan. Winterstein (1934) dengan lebih tegas mengatakan bahwa humor merupakan akibat dari benturan antara “mania”

(antusiasme yang berlebihan) dan “depresi” (kemurungan, kesedihan) (Wuri,

1992: 71).

(56)

dapat disatukan dengan bunyi yang sama, dan dapat pula salah satu diinferensikan dari yang lainnya, atau keduanya dibayangkan dapat terjadi dalam kenyataan (Wijana, 2004: 21).

Fenomena penghubungan dua kerangka acuan yang berbeda dengan satu ide yang dibayangkan sama ini menurut Kostler disebut bisosiaso (via Wilson, 1970: 12 dalam Wijana, 2004). Sementara menurut Bergson (1960) dan Freud (via Wilson, 1970: 17) secara berturt-turut menyebutkan sebagai interferensi resiprokal (reciprocal interference) dan kondensasi (condensatin). Sesuatu yang tidak sejajar menurut paham ketidaksejajaran, oleh penganut paham pertentangan dipandang sebagai fenomena yang bertentangan (dalam Wijana, 2004: 22).

Ketidaksejajaran atau pertentangan di dalam wacana kartun dikreasikan oleh para kartunis untuk menanggapi kondisi masyarakat atau sekedar bersandagurau yang pada akhirnya diharapkan dapat melepas khalayak pembaca dari keseriusan dan berbagai beban kehidupan. Dengan kata lain penciptaan humor diharapkan dapat membawa pembaca dari keadaan telis (telic state) ke keadaan paratelis (paratelic state).

(57)

kaidah-(dalam Wijana, 2004: 31) mengenai sifat-sifat bahasa humor yang dikatakan secara pragmatik atau informatif jauh menyimpang dari pemakaiannya yang wajar walaupun diekspresikan dengan bahasa percakapan sehai-hari, berikut kutipannya:

Jokes, though encountered fairly frequently in everyday conversation, represent tightening or heightening of language of a kind that is unnecessary to, and sometimes actively distuptive of, the normal pragmatic and informational function of language. Many perpheps most, jokes will be found to arise from a phenomenon which is in pragmatic terms a potential source of confusion (1990: 123-124).

2.3 Kerangka Berpikir

(58)

Tuturan dalam Acara Diskusi Tatap Mata Trans 7

Banyak Tuturan yang Melanggar Prinsip Kerja Sama dan Prinsip Kesopanan

Prinsip Kerja Sama Grice

Prinsip Kesopanan Leech

Wujud Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dalam Acara Tatap Mata di

Trans 7 sebagai Wahana Menciptakan HumorVerbal Lisan

(59)

40

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini, penelitin akan membahasan tentang: 1) jenis penelitian, 2) sumber dan data penelitian, 3) metode dan teknik pengumpulan data, 4) instrumen pengumpulan data, 5) metode dan teknik analisis data, dan 6) teknik validasi data. Keenam hal tersebut diuraikan sebagai berikut.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif, yang bersifat deskriptif. Bogdan dan Taylor (1975) mendefinisikan “metode kualitatif sebagai

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati” (dalam Lexy J. Moleong, 2007: 4). Dengan kata lain, penelitian kualitatif adalah penenlitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain sebagainya secara holistik dan dengan cara desskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

(60)

disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti (dalam Lexy J. Moleong, 2007: 11)

3.2 Sumber Data dan Data Penelitian 3.2.1 Sumber Data

Seperti penelitian pada umumnya, penelitian linguistik juga memerlukan data, termasuk penelitian ini. Data dapat diartikan sebagai bahan-jadi penelitian, bukan bahan-mentah atau calon data. Data tersebut tidak muncul dari suatu ketiadaan, tetapi ada sumbernya atau ada asalnya. Asal data disebut sumber data. Sumber data pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni sumber data substantif dan sumber data lokasional (Sudaryanto, 1990). Yang dimaksud dengan sumber data substantif adalah bongkahan data yang berupa tuturan yang dipilih karena dipandang mewakili. Adapun yang dimaksud dengan sumber data lokasional adalah sumber data yang merupakan asal-muasal data lingual yang biasa disebut dengan istilah narasumber.

(61)

Data dalam penelitian ini berupa tuturan-tuturan para panelis dan narasumber yang diundang atau hadir dalam acara talk show Tatap Mata di trans 7 yang dirasa mengandung pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan.

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penyediaan data pada penelitian ini adalah metode simak, karena cara yang digunakan untuk mengumpulkan data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Metode simak ini kemudian dilengkapi dengan teknik sadap, yaitu penenliti dalam upaya mendapatkan data dilakukan dengan cara menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang yang menjadi informannya. Dan selanjutnya, di dalam praktiknnya teknik sadap ini diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik simak libat cakap, teknik simak bebes libat cakap, catat, dan teknik rekam.

(62)

3.4 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen penelitain ini adalah peneliti sendiri dengan bekal pengetahuan tentang linguistik, sosiolinguistik, dan pragmatik. Dengan harapan bahwa data yang diteliti tidak ada yang terlewatkan atau pun tertinggal dalam prosesnya dan didapatkan hasil yang akurat.

Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan datanya dengan cara; 1) mengumpulkan video-video acara Tatap Mata Trans 7 antara bulan April-Mei 2014, 2) mentranskipkan percakapan yang ada dalam video Tatap Mata Trans 7, 3) memilah-bedakan tuturan yang melanggar prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan dalam kartu data. Dalam from kartu data terdapat kode-kode seperti maksim yang dilanggar, nomor data, kode data (seperti TMT7/DY/5-April-2014), tuturan yang melanggar maksim, konteks, dan keterangan. Berikt contoh dari ontoh kartu data yang dipergunakan.

Maksim

melanggar maksim Konteks Keterangan

Maksim

Akbar : Kalah menang itu sudah biasa.

Komeng : Iye, harus begitu.

Akbar : Faktanya ya, kalau mau bertanding jangan dipikirkan ngapain bertanding!

Itu faktanya.

(63)

Metode analisis data dalam penelitian ini adalah bertolak dari metode analisi bahasa yang dikemukakan oleh Sudaryanto (1993). Dan teknik ini kemudian dikembangkan lagi oleh peneliti sesuai dengan objek kajian peneliti. Adapun metode analisis data yang digunakan oleh peneliti adalah metode pada ekstralingual. Metode padan ekstralingual ini digunakan untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual, seperti menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa (dalam Mahsun, 2012: 120).

Adapun langkah-langkah dalam analisis data adalah sebagai berikut, yaitu langkah pertama yang dilakukan setelah terkumpulnya video acara talk show Tatap Mata Trans 7 adalah mentranskrip percakapan yang terdapat di dalam acara tersebut. Tahapan selanjutnya adalah melakukan pemilahan terhadap tuturan yang memiliki unsur kelucuan dan mana yang tidak yang didasarkan pada aspek pelanggaran prinsip dalam pragmatik. Tahapan selanjutnya adalah tahapan analisis data, yaitu peneliti akan melakukan pembandingan tuturan-tuturan yang dihasilkan dan mengelompokkannya dengan prinsip menyamakan yang sama dan membedakan yang beda. Dan dalam hal ini unsur penentunya adalah konteks (dalam Mahsun, 2012: 122).

3.6 Teknik Validasi Data

(64)

dengan tuntutan pengetahuan, kriteria dan paradigmanya. Dalam paradigma kualitatif untuk memperoleh keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan. Teknik tersebut antara lain meliputi; perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamat, dan triangulasi.

Teknik pemeriksaan dalam penelitian ini menggunakan triangulasi dan

informant review. Moleong (dalam Nugrahani, 2010:142-143) menjelaskan bahwa

trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data yang bersangkutan.

Menurut Moleong (dalam Nugrahani, 2010:142-143) membagi teknik trianggulasi menjadi empat macam yang digunakan yaitu: 1) terianggulasi sumber atau data, 2) trianggulasi metode, 3) trianggulasi peneliti, dan 4) trianggulasi teori. Jenis trianggulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi teori dan peneliti. Trianggulasi teori adalah trianggulasi yang dapat ditempuh melalui penggunaan beberapa teori yang relevan dalam proses penelitian. Data yang dianalisis dengan teori tertentu kemudian dianalisis dengan teori yang lainya, sehingga ditemukan simpulan yang mantap. Teori yang digunakan dalam penelitian ini terkait dengan pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan sebagai wahana menciptakan humor verbal lisan dan teori lain yang relvan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini.

(65)

Referensi

Dokumen terkait

Kelompok Bimbingan Ibadah Haji yang biasa disebut dengan KBIH adalah lembaga/yayasan sosial Islam yang bergerak dibidang Bimbingan Manasik Haji terhadap calon

[r]

Setelah langkah diatas maka akan tampil informasi berupa biodata lengkap, absensi, kartu hasil studi, transkrip nilai, tagihan pembayaran dan lain sebagainya, yang bertujuan agar

Tingkat kesenjangan digital yang terjadi masyarakat di kota pekalongan dilihat dari aspek perilaku penggunaan internet berada dalam kategori rendah dengan persentase 60,2 %..

Pauline Weetman, Department of Accounting & Finance, University of Glasgow, West Quadrangle, Main Building, University Avenue, Glasgow G12 8QQS.

Motivasi penyuluh yang diukur dari variabel kematangan pribadi, tingkat pendidikan, keinginan kerja, kelelahan dan kebosanan, kepuasan kerja, lingkungan kerja,

Bagi lembaga yang diteliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan motivasi dan dorongan kepada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) DKI Jakarta dan

mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa untuk pelaksanaan kegiatan (setelah perubahan) Tahun Anggaran 2013, seperti tersebut di bawah ini :. PERUBAHAN ANGGARAN