• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Penelitian

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

Pada penelitian hokum ini menjadikan ilmu hokum sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya. Menurut Soejono Soekanto, yang dimaksud dengan penelitian hokum adalah “kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hokum tertentu dengan jalan menganalisanya.” 27 Metode (Inggeris : method, Latin : Methodus, Yunani : methodos-meta berarti sesudah, di atas, sedangkan hodos, berarti suatu jalan, suatu cara).28 Metode merupakan suatu cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah maka metode menyangkut masalah

25Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam teori dan Praktek, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2017) hal. 134.

26Abd Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariat dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Gruop, 2010), hal. 191.

27SoerjonoSoekanto,Op.Cit., hal. 43.

28Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet IV, (Jawa Timur: BayuMedia Publishing, 2008), hal. 25.

cara kerja yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.29

Jadi metode penelitian yaitu cara-cara ilmiah atau alat tertentu yang digunakan untuk mengujisuatu kebenaran untuk memecahkan permasalahan yang ada dan turut menentukan hasil yangakan diperoleh.Supaya mendapat hasil yang lebih maksimal maka peneliti melakukan penelitian hokum dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah “metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.”30Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).31 Masalah hukum yang berkaitan dengan tesis ini berhubungan dengan akta pengakuan hutang yang berindikasi pada perbuatan peralihan dengan cara jual beli dan indikasi pemalsuan tandatangan sehingga menyebabkan beralihnya peralihan hak milik antara pemilik yang sah kepada pihak lain sehingga hak dan kewajiban yang seyogianya ada dalam klausula yang

29Husin Sayuti, Pengantar Metodologi Riset, (Jakarta: CV. Fajar Agung, 1989), hal. 32.

30Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 13-14.

31Hardijan Rusli, Jurnal: “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”, Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006, hal. 50.

diatur dalam akta pengakuan hutang dan penyerahan jaminan tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya hingga sampai pada gugatan perdata di Pengadilan.

Penelitian hokum normative atau kepustakaan tersebut mencakup penelitian terhadap perbuatan hokum Notaris yang dilakukan menurut kewenangan dalam membuat akta pengakuan hutang dan peralihan hak milik atas tanah para pihak.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini yaitu bersifat deskiptif analitis. Deskriptif maksudnya untuk mengetahui gambaran secara menyeluruh dan sistematis mengenai peraturan yang dipergunakan yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Analitis adalah mengungkapkan karakteristik objek dengan cara mengurai dan menafsirkan fakta fakta tentang pokok persoalan yang diteliti. Jadi penelitian ini mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian,32yang berkaitan dengan perbuatan Notaris yang membuat akta pengakuan hutang dan penyerahan jaminan yang berlandaskan pada ketentuan perundang-undangan dan akibat hukum bagi Notaris serta tentang kedudukan suatu akta dalam suatu gugatan perdata .

3. Sumber Data

Pengumpulan data adalah bagian penting dalam suatu penelitian, karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diterapkan. Dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan. 33 Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan

32Zainuddin Ali, Metode Penelitian hukum, (Jakarta : Sinar Grafika,2009), hal. 105.

33Bambang Sunggono, MetodologiPenelitianhukum,SuatuPengantar, (Jakarta:PT Raja GrafindoPersada, 2003), hal. 10.

atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukumsekunder dan bahan hokum tertier.34

Data Sekunder diperoleh melalui studi pustaka atau literatur, data sekunder tersebut meliputi:

a. Bahan Hukum Primer, yang merupakan bahan hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan antara lain dari:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2) UndangNomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang JabatanNotaris

3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan 4) Peraturan Menteri KeuanganNomor 27 Tahun 2016 Tentang Petunjuk

Pelaksanaan Lelang b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hokum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer, yang terdiri dari :

1) Buku-buku;

2) Jurnal-jurnal;

3) Majalah-majalah;

4) Artikel-artikel media;

5) Dan berbagai tulisan lainnya.

c. Bahan Hukum Tersier atau bahan non hukum, yaitu berupa kamus,ensiklopedia dan lain lain.35

34SoejonoSoekanto dan Sri Manudji,Penelitian Hukum NormatifSuatuTingkatanSingkat, (Jakarta: Raja Grafindo Indonesia, 1995), hal. 38.

4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Di dalam penelitian, pada umumnya dikenal 2 (dua) teknik pengumpulan data yaitu teknik pengumpulan data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data tersebut dapat dipakai secara bersamaan ataupun sendiri-sendiri.36 Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam peneltian tesis ini lebih diutamakan pada teknik pengumpulan data sekunder. Untuk memperoleh data sekunder pada peneliti tesis ini akan menggunakan teknik pengumpulan data berupa studi dokumen/ kepustakaan atau penelitian kepustakaan (library research) danpenelitianlapangan (field research).

Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literature literatur, tulisan tulisan para pakar hukum, bahan kuliah yang berkaitan dengan penelitian ini.37Sedangkan penelitian lapangan menurut Moh Nazir dalam bukunya berjudul Metode Penelitian adalah :“Penelitian lapangan yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mendatangi langsung tempat yang menjadi objek penelitian.”38

Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Studi dokumen-dokumen berkaitan dengan pembuatan akta pengakuan utang dan jaminan yang sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris dan ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata dan Undang-Undang tentang jaminan

35Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Jakarta:Pustaka Pelajar, 2010), hal. 156-159.

36Soerjono Soekanto,Op.Cit., hal. 21.

37Riduan,Metode & Teknik Menyusun Tesis, (Bandung : Bina Cipta, 2004), hal. 97.

38Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hal. 65.

2. Pedoman wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide). Wawancara dilakukan terhadap informan dengan menggunakan pedoman wawancara bebas dan mendalam (depth interview). Informan yang akan diwawancarai dalam penelitian ini adalah beberapa Notaris yang berada di Kota Medan dan sekitarnya.

5. Analisa Data

Analisa data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurai data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan data.39 Analisa data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisa data kualitatif. Penelitian dengan pendekatan kualitatif adalah penelitian yang tidak mengadakan perhitungan40. Contoh penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif adalah pengamatan dan studi kasus.41

Studi kasus merupakansuatu gambaran hasil penelitian yang mendalam dan lengkap sehingga dalam informasi yang disampaikannya tampak hidup sebagaimana adanya, bersifat grounded atau berpijak sesuai kenyataan yang ada sesuai dengan kejadian yang sebenarnya. Penelitian dengan studi kasus menyajiikan informasi yang terfokus dan berisikan pernyataan-pernyataan yang terfokus dan disajikan dengan bahasa biasa bukan dengan bahasa teknis.42 Kemudian dilakukan dengan penarikan kesimpulan deduktif. Penarikan

39 Lexi J Maleonf, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:Remaja Rosda karya,1993), hal . 103.

40Soejono dan H. Abdurrahman, Metode Penelitian : Suatu Pemikiran dan Penerapan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 26.

41Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), hal.

20-22.

42Ibid.

kesimpulan deduktif merupakan prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa umum atau teori menuju pada hal hal yang khusus atau kenyataan43, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini dengan diawali dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas pemasalahan dalam penelitian ini.

43Pupu Saeful Rahmat,” Jurnal Penelitian Kualitatif”, Equilibrium vol.5 no.9 diakese dari http://yusuf.staff.ub.ac.id/files/2012/11/Jurnal-Penelitian-Kualitatif.pdf pada tanggal 17 Juli 2017.

BAB II

PERALIHAN HAK ATAS TANAH HAK MILIK DENGAN DASAR AKTA PENGAKUAN HUTANG DAN PENYERAHAN JAMINAN

A. Tinjauan Umum Mengenai Akta Pengakuan Hutang

Pada dasarnya akta pengakuan hutang yang dibuat oleh Notaris merupakan akta pengakuan hutang yang dibuat dengan berpedoman kepada ketentuan undang-undang yang mengatur tentang pembuatan dan ketentuan tentang sifat dari akta pengakuan hutang tersebut. Akan tetapi dalam praktiknya dilapangan sering sekali atau masih terdapat akta pengakuan hutang dibuat bukan tidak berdasarkan ketentuan akta pengkuan hutang sebagaimana yang diatur dalam ketentuan undang-undang yang berlaku. Berikut akan dibahas lebih jauh mengenai akta pengakuan hutang.

1. Syarat Suatu Akta Pengakuan Hutang Sebagai Grosse Akta

Tentang grosse akta melalui Mahkamah Agung yang pada dasarnya memberikan pengertian grosse akta pengakuan utang sebagai surat yang ditujukan kepada Saudara Soetarno Soedja tanggal 16 April 1985 No 213/229/05/II/Um-Tu/Pdt. Menyebutkan pengertian Akta Grosse seperti yang dimaksud Pasal 224 RID (Reglemen Indonesia Diperbaharui atau HIRI) ialah suatu akta autentik yang berisi suatu pengakuan hutang dengan perumusan semata-mata suatu kewajiban untuk membayar/melunaskan sejumlah uang tertentu. Hal ini berarti bahwa suatu akta grosse tidak dapat ditambahkan persyaratan persyaratan lain, terlebih lagi persyaratan tersebut berbentuk perjanjian.44

44Gatot Supramono, Op.Cit., hal. 45.

Isi lengkap Pasal 224 HIR adalah “Surat asli dari pada surat hipotik dan surat utang, yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia dan yang memakai perkataan: "atas nama keadilan" di kepalanya, kekuatannya sama dengan surat putusan hakim. Dalam hal menjalankan surat yang demikian, jika tidak dipenuhi dengan jalan damai, maka dapat diperlakukan peraturan pada bagian ini, akan tetapi dengan pengertian, bahwa paksa badan hanya boleh dilakukan sesudah diizinkan oleh putusan Hakim. Jika hal menjalankan putusan itu harus dijalankan sama sekali atau sebagian di luar daerah hukum pengadilan negeri, yang ketuanya memerintahkan menjalankan itu, maka peraturan-peraturan pada pasal 195 ayat kedua dan yang berikutnya dituruti.”

Dalam perkembangannya suatu akta pengakuan hutang berfungsi pada saat hendak mengeksekusi jaminan, eksekusi grosse pengakuan hutang semakin dibatasi, dan syarat-syaratnya semakin diperketat. Sungguhpun kebutuhan praktek menginginkan sebaliknya. Dalam Keputusannya No 1520 K/PDT/1984 tanggal 3 Mei 1986, Mahkamah Agung memberikan syarat-syarat agar eksekusi grosse akta dapat dilakukan berupa:45

a. Syarat formal : Yakni berupa

1) Akta notaris dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;

2) Pada bahagian akhir akta disebutkan kata-kata “Diberikan sebagai grosse akta pertama.

3) Dicantumkan nama para pihak yang meminta penerbitan grosse akta 4) Tanggal pemberian grosse akta.

b. Syarat Material: Jumlah hutang yang harus dibayar oleh debitur haruslah pasti.

Dalam surat Mahkamah Agung No 213/229/86/UM-TU/PDT tanggal 16 April 1985 surat tersebut ditandatangani oleh Ketua Muda Mahkamah

45Munir Fuady, Op.Cit., hal. 55-57.

Agungdibidang Perdata tertulis, Z. Asikin Kusumah Atmadja, yang ditunjukkan ke Kantor Pengacara Gani Djemat, Grosse Akta Pengakuan Hutang haruslah merupakan pengakuan sepihak dari debitur kepada kreditur atas suatu hutang dengan jumlah yang pasti atau dapat dipastikan berdasarkan perjanjian hutang atau kredit yang telah ditandatangani terlebih dahulu. Demikian juga dalam suratnya kepada BKPH Perbanas No 147/168/86/IV/Um-Tu/PDT, tanggal 1 April 1986, menyatakan bahwa isi pengakuan hutang dimaksud oleh Pasal 224 HIR adalah pengakuan hutang dengan kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu secara pasti. Surat yang senada juga dikirim oleh Mahkamah Agung tertanggal 18 Maret 1946. Bahkan Mahkamah Agung berpendapat bahwa dewasa ini telah terjadi penyalahgunaan dari penggunaan grosse akta vide Pasal 224 HIR, seperti misalnya dipakai untuk perjanjian jual beli atau perjanjian kredit, dan karenanya perlu diluruskan. Sehingga akibatnya terjadilah penyempitan dan pengakuan grosse akta pengakuan hutang dan sangat menghambat perkembangan bisnis.

Tentang hutang yang pasti/ dapat dipastikan dapat disebutkan kreteria sebagai berikut:

a. Seluruh hutang disebut secara pasti.

b. Hutang pokok disebutkan secara pasti ditambah persentase bunga tetap bulan plus segala macam ganti rugi yang timbul karena wanprestasi.

c. Penyebutan jumlah seluruh hutang dikurangi pembayaran/cicilan yang dilakukan debitur.46

Jadi pertama sekali apabila menganalisis dari sisi akta pengakuan utang dalam bentuk grosse akta hal yang harus diperhatikan adalah semata-mata akta

46Ibid., hal. 57.

pengakuan utang dibuat hanya untuk mengakui utang saja. Perjanjian pokok tidak dapat dibuat dalam grosse akta, Mahkamah Agung dalam suratnya No 133/154/86/Um-Tu/Pdt tanggal 18 Maret 1986 yang ditujukan kepada Direksi Bank Negara Indonesia 1946 memberikan penegasan antara lain bahwa perjanjian kredit tidak dapat dibuat dalam bentuk pengakuan utang dengan judul “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” 47

Kemudian hal yang berikutnya adalah besarnya utang harus pasti artinya jika grosse akta pengakuan utang dengan perjanjian utang piutang dibuat dalam waktu yang bersamaan sehingga mencantumkan besarnya utang yang sama, sementara dalam perjalanan perjanjian tersebut pihak debitur pernah mengangsur utangnya yang berakibat jumlah utang menjadi menurun atau berkurang, sedangkan utang yang tercantum dalam grosse akta jumlahnya tidak berubah.

Apabila debitur tidak membayar lagi angsuran utangnya, maka yang akan terjadi pihak kreditur tidak akan dapat mengeksekusi grosse akta pengakan utang, karena kenyataannya besar utang tidak lagi seperti yang tercantum dalam grosse akta.

Pengadilan tidak akan dapat melaksanakan eksekusi grosse akta, karena terjadinya ketidakpastian besarnya utang.48

2. Dasar Hukum Eksekusi Menggunakan Akta Pengakuan Hutang

Salah satu cara eksekusi jaminan hutang adalah lewat apa yang disebut Parate Eksekusi. Parate eksekusi merupakan pelaksanaan eksekusi yang langsung dapat dilakukan tanpa perlu proses peradilan. Misalnya yang langsung dilaksanakan oleh Kantor Lelang tanpa perlu menunggu perintah pengadilan,

47Gatot Supramono., Op.Cit., hal. 49.

48Ibid., hal. 81-82.

setelah sebelumnya dilakukan permintaan bayar (somasi) yang sebaiknya dilakukan lewat pengadilan.

Secara yuridis teoritis, pelaksanaan parate eksekusi yang langsung oleh kantor lelang dapat dilakukan antara lain dalam beberapa hal salah satunya yakni dengan pengakuan hutang yaitu Eksekusi “Pernyataan Bersama” PUPN yang dilakukan oleh BUPLN, asal pernyataan bersama itu mempunyai irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam hal ini eksekusi dapat dilakukan langsung tanpa perlu campur tangan pengadilan negeri, karena

“Pernyataan Bersama” tersebut mempunyai kekuasaan eksekutorial, yakni dianggap berkekuatan sama dengan suatu keputusan pengadilan yang sudah berkekuatan tetap. Sementara Fiat Eksekusi (dengan bantuan Ketua Pengadilan Negeri) seperti dimaksud oleh Pasal 224 HIR hanya berlaku untuk Akta Hipotik dan Pengakuan Hutang. Karena Pasal 22 HIR tersebut hanya menunjuk kepada Akta Hipotik dan Pengakuan Hutang saja. PUPN didirikan berdasarkan Undang-Undang No 49 PRP 1960 sementara BUPLN lewat Keppres No 21 Tahun 1991.

Sebelumnya ada juga yang namanya Badan Urusan Piutang Negara (BUPN), yang dibentuk berdasarkan Kepres No 11 Tahun 1976, yang merupakan instansi dibawah Departemen Keuangan dan mempunyai tugas operasional bukan judisial.

Karena PUPN dimaksud sebagai pengganti pengadilan biasa maka pengurus piutang negara termasuk kredit macet di Bank Pemerintah, cukup dilaksanakan

oleh PUPN , bukan oleh pengadilan biasa, termasuk juga eksekusi jaminan hipotik/credit verbank, atau pengakuan hutang yang berkekuatan grosse akta.49

Sementara itu apabila dilihat dari sisi pelaksanaan eksekusi akta pengakuan utang maka dalam hal ini dapat dilihat dari sisi hukum acaranya.

Beberapa poin penting yang diatur dalam Rancangan Hukum Acara Perdata yang apabila nantinya disetujui menjadi Undang-Undang sebagaimana ada diatur tentang akta pengakuan utang diatur dalam Pasal 214 sampai Pasal 216. Secara garis besar dapat disimpulkan ketentuan dalam Pasal 214 ayat (1) mengatur tentang akta pengakuan utang pada dasarnya dibuat di hadapan Notaris memakai irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, dan dalam ayat (2) dijelaskan pengajuannya permohonan eksekusi dapat diajukan kepada Ketua Pengadilan di daerah hukum mana orang yang berutang itu bertempat tinggal, berdiam atau berdomisili. Sementara itu tindakan hukum lain yang dapat dimintakan oleh kreditor kepada pengadilan adalah Penyanderaan sebagaimana dalam hal ini diatur dalam Pasal 215, dimana penyanderaan diperintahkan oleh Ketua Pengadilan atas permohonan kreditor, dan Ketua Pengadilan akan mengabulkan permohonan tersebut bila memang terdapat alasan debitor dengan sengaja ingkar janji untuk membayar utangnya sedangkan ia mampu dan sengaja membayar utangnya kepada kreditor.50

49Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Kedua Volume 2, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 48-49.

50Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Hukum Acara Perdata diakses dari ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/RUU/2005/RUUAcaraPerdata.pdf diakses pada tanggal 8 Desember 2018

Syarat subjektif seseorang dapat disandera sebagaimana diatur dalam Pasal 216 adalah kreditor harus dapat membuktikan kewajiban debitor untuk membayar uang sejumlah Rp 20.000.000 (dua puluh juta) kepadanya selain itu debitor yang telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun, debitor belum dewasa dan berada dibawah pengampuan, wanita sedang hamil dan menyusui anaknya tidak dapat disandera. Penyanderaan dilakukan dalam gedung khusus dan paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan dengan biaya penyanderaan ditanggung oleh kreditor setiap kali untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan.51

B. Peraturan Pengikatan Jaminan Terhadap Suatu Jaminan Hak Atas Tanah

1. Dasar Hukum Yang Mengatur Tentang Jaminan

Membahas mengenai jaminan berkaitan dengan serangkaian janji-janji yang terangkum hak dan kewajiban para pihak dan janji-janji tersebut harus ditepati. Manakala dari antara mereka ada yang wanprestasi (ingkar janji), tentu akan menimbulkan kerugian bagi pihak lain yang mengadakan perjanjian. Untuk menjamin dipenuhinya kewajiban yang timbul dari perikatan, maka hukum yang diperlukan adanya suatu jaminan yang dapat dinilai dengan uang. Jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “zekerheid/cautie”, mencakup cara-cara kreditor menjamin dipenuhinya tagihannya, di samping pertanggung jawab umum debitor terhadap barang barangnya.52

51Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Hukum Acara Perdata diakses dari ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/RUU/2005/RUUAcaraPerdata.pdf diakses pada tanggal 8 Desember 2018

52Sutan Remy Sjahdeini dalam Ronald Saija dan Roger F.X.V Letsoin, Buku Ajar Hukum Perdata, (Yogyakarta: deepublish, 2012) , hal 67-68.

Menurut Hartono Hadisoeprapto, jaminan adalah “sesuatu yang diberikan kepada kreditor kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan” sedangkan menurut M Bahsan, jaminan adalah “sesuatu yang diterima kreditor dan diserahkan debitor untuk menjamin suatu hutang piutang dalam masyarakat.”53

Menurut jenisnya, jaminan dibagi atas 2 (dua) golongan yaitu jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan adalah jaminan berupa harta kekayaan dengan cara pemisahan bagian dari harta kekayaan, baik dari debitor maupun pihak ketiga, guna menjamina pemenuhan kewajiban-kewajiban debitor yang berangkutan cidera janji. Jaminan kebendaan ini menurut sifatnya dibagi menjadi 2 (dua) yakni: (1) jaminan dengan benda berwujud berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak; dan (2) jaminan dengan benda tidak berwujud yang dapat berupa hak tagih. Sedangkan jaminan perorangan adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seorang pihak ketiga guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitor kepada kreditor, apabila debitor yang bersangkutan wanprestasi (cidera janji).54

Jaminan kebendaan lahir dan bersumber dari perjanjian. Jaminan ini adaka karena diperjanjikan antara kreditor dengan debitor. Jaminan dalam bentuk hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1996, hipotik dalam buku II Pasal 1162-1170, 1173-1185, 1194, 1198-1232. KUHD: 314, gadai

53Ibid., hal. 68.

54Ibid., hal. 69.

dalam Pasal 1150-1160 BW dan fidusia tergolong jaminan, karena diperjanjian terlebih dahulu antara kreditor dan debitor.55

2. Jaminan Berupa Benda Tidak Bergerak

Jaminan kebendaan dibedakan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu:56

a. Jaminan benda tidak bergerak, berupa tanah (dengan atau tanpa bangunan dan tanaman diatasnya), mesin dan peralatan yang melekat pada tanah dan bangunan (satu kesatuan dengan tanah), bangunan rumah atau hak milik atas rumah susun bilamana tanahnya berstatus hak milik atau hak guna bangunan.

b. Jaminan benda bergerak, berupa (1) benda bergerak berwujud meliputi kendaraan bermotor, mesin-mesin, pesawat udara dan kapal laut yang telah terdaftar, persediaan barang: (2) benda bergerak tidak berwujud meliputi wesel, sertifikat deposito, obiligasi dan saham.

Berkaitan dengan penelitian ini maka fokus pengikatan jaminan yang dibahas adala terkait dengan jaminan benda tidak bergerak dalam hal ini berupa tanah. Pengikatan atas benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan pabrik, gedung-gedung dan lain-lainnya, pengikatannya sudah berdasarkan undang-undang khusus, yakni Undang-Undang No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah.

Dengan berlakunya undang-undang ini, ketentuan mengenai creditverbandsebagaimana tersebut dalam staatblad1908-542 jo staatblad 1909-586 dan staatblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan staatblad1937-190 jo staatblad1937-191 dan ketentuan mengenai hipotik sebagaimana tersebut dalam Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan

55Ibid., hal. 70.

56Ibid.

pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.57

Adapun hal yang perlu dicermati dari hak tanggungan atas tanah yang

Adapun hal yang perlu dicermati dari hak tanggungan atas tanah yang

Dokumen terkait