• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terdiri dari jenis penelitian, yaitu (pendekatan penelitian, metode penelitian, variabel penelitian, serta definisi konseptual dan operasional variabel). Pengambilan sampel, yang terdiri dari (populasi dan sampel, teknik pengambilan sampel, dan karakteristik subjek). Teknik pengumpulan data (alat ukur penelitian, uji validitas dan reliabilitas alat ukur), teknik analisis data, dan prosedur penelitian.

Bab 4 : Hasil Penelitian

Merupakan hasil penelitian yang terdiri dari gambaran umum subjek penelitian dan hasil uji hipotesis.

Bab 5 : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

BAB 2

LANDASAN TEORI

Dalam landasan teori ini akan dibahas teori-teori mengenai motivasi berprestasi, konsep diri, dan penerimaan orangtua, serta kerangka berpikir berdasarkan asumsi peneliti dan hipotesis-hipotesis yang akan diujikan.

2. 1. Motivasi Berprestasi

2. 1. 1 Definisi motivasi berprestasi

Konsep motivasi berprestasi diawali dari konsep Henry Murray (1938) tentang psychogenic need/motive. Konsep awal ini menjelaskan adanya perbedaan kecenderungan untuk berusaha mencapai tujuan tertentu antara satu orang dengan orang yang lain (Atkinson dan Raynor, 1974 dalam Santrock, 2003). Menurut McClelland dan Atkinson (1948) dalam Slavin (1994) salah satu jenis motivasi \yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah motivasi berprestasi. Motivasi berprestasi adalah keinginan untuk mencapai kesuksesan dan untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan dan kesuksesan tersebut tergantung pada usaha dan kemampuan orang yang bersangkutan (Slavin, 1994). Sedangkan menurut Santrock (2003) motivasi berprestasi adalah keinginan untuk menyelesaikan sesuatu, untuk mencapai suatu standar kesuksesan, dan untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan untuk mencapai kesuksesan.

Morgan-King (1987) motivasi berprestasi merupakan salah satu motif sosial yang menunjuk pada suatu dorongan yang merupakan hasil dari aktivitas manusia. Motif ini disebut motif sosial karena dipelajari dalam suatu kelompok sosial, dan biasanya melibatkan orang lain. Individu dengan motif (kebutuhan) untuk berprestasi memiliki kekuatan untuk mencari penyelesaian dan meningkatkan kinerja (performance) pada tugas yang sedang dihadapinya. Individu seperti ini berorientasi pada tugas dan lebih menyukai pekerjaan menantang kemampuannya, dimana kinerjanya akan dievaluasi menurut suatu aturan tertentu (Morgan-King, 1987, h: 283-284).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi adalah suatu dorongan yang akan mengarahkan individu untuk bertingkah laku tertentu dengan tujuan untuk mencapai tingkat prestasi tertentu pula. Pencapaian prestasi ini didasarkan pada suatu standar dan tingkah laku berprestasi ini akan muncul jika individu merasa bahwa dirinya akan dinilai.

2. 1. 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi

Semua motivasi sosial (termasuk motivasi berprestasi) merupakan hasil dari proses belajar. Individu tertentu memiliki motivasi berprestasi yang tinggi dikarenakan adanya perbedaan pengalaman yang diterima pada awal kehidupan individu yang menghasilkan variasi dalam derajat motivasi untuk berprestasi. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa anak-anak meniru tingkah laku orangtuanya atau orang dewasa lain yang dianggap ”penting” bagi anak, sebagai model. Melalui proses belajar observasi (Bandura dan Walters, 1963) anak

mengadopsi sejumlah karakteristik model, termasuk dorongan untuk berprestasi bila model tersebut memiliki motif untuk berprestasi dalam derajat tertentu (Parsons, 1983 dalam Morgan-King, 1987, h: 284).

Harapan orangtua terhadap anak menurut para ahli juga merupakan suatu hal yang penting untuk meningkatkan motivasi berprestasi anak. Orangtua yang berharap agar anaknya bekerja keras dan berusaha meraih kesuksesan merupakan suatu dukungan bagi anak untuk mengarahkan tingkah lakunya pada usaha mencapai hasil yang lebih baik. Suatu bentuk harapan orangtua yang berkaitan dengan motivasi berprestasi misalnya, membiarkan anak untuk melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, dan lain-lain (Morgan-King, 1987, h: 284).

Selain itu, penerimaan orangtua terhadap anak yang ditunjukkan dengan sikap hangat dan penuh kasih sayang juga berpengaruh pada motivasi anak. Efek penerimaan orangtua tersebut diperkenalkan oleh Radin (1971) melalui observasinya untuk melihat interaksi antara orangtua (khususnya) ibu kepada si anak (Jersild, et.al., 1975, h: 209).

Prestasi menjadi hal yang sangat penting bagi remaja, dan remaja mulai menyadari bahwa pada saat inilah mereka dituntut untuk menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Mereka mulai melihat kesuksesan atau kegagalan masa kini untuk meramalkan keberhasilan di kehidupan mereka nanti sebagai orang dewasa (Ishiyama dan Chasbassol, 1985; Sue dan Okazaki, 1990 dalam Santrock, 2003, h: 473).

Prestasi remaja tidak hanya ditentukan oleh kemampuan intelektual tetapi juga banyak ditentukan oleh faktor motivasi dan psikologis, termasuk konsep remaja mengenai dirinya. Walberg (1984) menyatakan bahwa adanya hubungan antara konsep diri secara umum dengan motivasi berprestasi walaupun tidak signifikan. Ia akan berkorelasi kuat jika konsep diri yang ingin diukur merupakan konsep diri yang lebih spesifik, seperti konsep diri matematika, konsep diri Bahasa Inggris, dan konsep diri tentang mata pelajaran yang lainnya (Marsh, 1992 dalam Eggen dan Kauchak, 2004). Selain itu, untuk melihat hubungan antara konsep diri dan motivasi berprestasi juga bisa merujuk pada teori konsep diri karir (career self-concept theory) dari Donald Super (1967, 1976), yang menyatakan bahwa konsep diri individu memainkan peranan utama dalam pemilihan karir seseorang. Super percaya bahwa masa remaja merupakan saat seseorang membangun konsep diri tentang karir (dalam Santrock, 2003, h: 484).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peran keluarga sebagai lingkungan terdekat anak, khususnya orangtua yang memberikan pengalaman pertama pada anak untuk bersosialisasi, memiliki andil yang besar dalam menumbuhkan dan meningkatkan motivasi berprestasi anak termasuk konsep dirinya sendiri. Diharapkan dengan sudah dimilikinya ”modal” motivasi berprestasi dan konsep diri yang ditumbuhkan orangtua sewaktu anak-anak melalui perilaku yang hangat, dalam kehidupan selanjutnya motivasi berprestasi para remaja dapat dikembangkan dalam area yang lebih luas dan lebih bervariasi sehingga mampu meraih apa yang diharapkan oleh remaja itu sendiri.

2. 1. 3 Karakteristik individu dengan motivasi berprestasi tinggi

Menurut McClelland (1987), beberapa ciri yang membedakan individu dengan motivasi berprestasi tinggi, yaitu dalam hal:

1. Resiko pemilihan tugas

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung memilih tugas dengan derajat kesulitan yang sedang, yang memungkinkan berhasil. Mereka menghindari tugas yang terlalu mudah karena sedikitnya tantangan atau kepuasan yang didapat. Mereka juga menghindari tugas yang sangat sulit karena kemungkinan untuk berhasil sangat kecil. Mereka menyesuaikan apa yang diharapkan dengan kemampuan yang dimilikinya (Morgan-King, 1987; McClelland, 1987).

2. Membutuhkan umpan-balik (feedback)

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi lebih menyukai tugas atau bekerja pada situasi dimana mereka dapat memperoleh umpan-balik tentang apa yang sudah mereka lakukan. Karena jika tidak, mereka tidak dapat mengetahui apakah mereka sudah melakukan sesuatu dengan baik atau belum dibandingkan dengan yang lain (Morgan-King, 1987; McClelland, 1987).

3. Tanggung jawab

dapat merasa puas saat dapat menyelesaikan suatu tugas dengan baik (McClelland, 1987).

4. Kesempatan untuk unggul

Individu dengan orientasi berprestasi yang tinggi lebih tertarik pada karir dan tugas-tugas yang melibatkan kompetisi dan kesempatan untuk unggul. Mereka juga lebih berorientasi pada tugas dan mencoba untuk mengerjakan dan menyelesaikan lebih banyak tugas daripada individu dengan motivasi berprestasi yang rendah (McClelland, 1987).

5. Inovatif

Melakukan sesuatu dengan lebih baik sering secara tidak langsung berarti melakukan sesuatu yang berbeda atau dengan cara yang berbeda dengan sebelumnya. Individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan lebih sering mencari informasi untuk menemukan cara yang lebih baik dalam melakukan suatu hal, dan mereka seharusnya lebih inovatif (McClelland, 1987).

2. 1. 4 Pengukuran motivasi berprestasi

Dari literatur yang ada, motivasi berprestasi dapat diukur melalui tiga cara, yaitu:

1. Tes Proyeksi

Tes ini didasarkan pada ide bahwa orang akan memproyeksikan perasaan dan kebutuhannya dalam materi yang ambigu atau tidak terstruktur (Morgan-King,

1987). Memakai teori dan pengukuran kepribadian dari Henry Murray, McClelland (dalam Santrock, 2003) menguji motivasi berprestasi dengan memperlihatkan kepada subjek gambar yang ambigu yang akan menstimulasi respon yang berhubungan dengan pencapaian prestasi.

2. Kuesioner

Inventori ini terdiri dari pertanyaan-pertanyaan tentang perilaku dan pilihan tertentu untuk dijawab yang berhubungan dengan apa yang akan atau dipilih untuk dilakukan dalam situasi tertentu (Morgan-King, 1987, h: 283).

3. Tes Situasional

Dalam tes ini dibuat suatu situasi dimana tindakan seseorang akan menampakkan motifnya yang dominan (Morgan-King, 1987, h: 283).

Dalam penelitian ini, cara yang digunakan untuk mengukur tingkat motivasi berprestasi subjek adalah dengan kuesioner. Hal ini disebabkan karena kuesioner dianggap lebih objektif dibanding cara pengukuran yang lain. Subjek memilih satu dari keempat pilihan jawaban yang dianggap paling tepat mengenai dirinya, sehingga tidak ada campur tangan peneliti atau orang lain.

2. 2. Konsep Diri

2. 2. 1 Definisi konsep diri

Menurut Atwater dan Duffy (2002) konsep diri adalah keseluruhan gambaran atau kesadaran yang dimiliki dari diri kita sendiri. Menyangkut tentang persepsi dari ”I” dan ”me”, bersama perasaan-perasaan, keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai yang ditanamkan olehnya. Konsep diri ini berpengaruh secara kuat pada cara seseorang mempersepsi, menilai, dan bertingkah laku.

Selain itu definisi dari konsep diri telah dikemukakan oleh beberapa tokoh, antara lain Hurlock (1978) yang menyatakan bahwa konsep diri adalah gambaran seseorang mengenai dirinya, gambaran ini merupakan gabungan kepercayaan orang tersebut mengenai diri sendiri yang meliputi karakteristik fisik, psikologik, sosial, emosi, aspirasi, dan prestasi-prestasinya.

Konsep diri ini terdiri dari aspek fisik dan psikologik. Aspek fisik terbentuk lebih dahulu daripada aspek psikologik dan merupakan penilaian seseorang tentang penampilan fisiknya, seperti daya tariknya, kesesuaian jenis kelamin, pentingnya bagian-bagian tubuh terhadap tingkah lakunya dan prestise yang diakibatkan oleh penampilan fisiknya di mata orang lain. Sedangkan aspek psikologik merupakan konsep mengenai karakteristik-karakteristik tertentu, kemampuan dan ketidakmampuannya, latar belakang, serta dalam berhubungan dengan orang lain (Hurlock, 1978: 372).

Fitts (1971) mengatakan bahwa konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri bukan

merupakan faktor bawaan, melainkan berkembang dari pengalaman yang terus-menerus dan terdiferensiasi. Dasar dari konsep diri individu ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya di kemudian hari.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah gambaran unik yang dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri dan persepsi terhadap diri dalam hubungannya dengan orang lain.

2. 2. 2 Elemen konsep diri

Setiap individu memiliki konsep yang berbeda-beda dalam menggambarkan dirinya. Pada umumnya konsep yang digunakan individu untuk menggambarkan dirinya adalah citra diri (Self-image), diri ideal (Ideal-self), dan diri sosial (Social selves) (Atwater dan Duffy, 2002). Berikut ini uraian dari ketiga konsep tersebut:

A. Citra diri (Self-image)

Citra diri (Self-image) yaitu cara seseorang melihat dirinya sendiri. Hal ini dibentuk oleh persepsi tentang diri seseorang yang diperoleh selama hidupnya, khususnya pada masa pertumbuhan (formative years). Persepsi tentang diri ini sangat dipengaruhi oleh bagaimana seseorang dipandang dan diperlakukan oleh orang-orang terdekat (significant others), terutama orangtua. Pikiran, penilaian, penerimaan, dan harapan orangtua pada anak akan segera

berubah melalui pengalaman-pengalaman hidup selanjutnya bersama dengan teman, guru, dan pasangan hidup (Atwater dan Duffy, 2002, h: 140).

B. Diri ideal (Ideal-self)

Diri ideal (Ideal-self) yaitu diri yang diharapkan oleh seseorang, meliputi aspirasi, idealisme moral, dan nilai-nilai. Menurut pandangan psikoanalisa, individu tidak benar-benar menyadari ideal-self-nya karena sebagian besar dari diri ideal tersebut diperoleh melalui identifikasi dengan keinginan dan larangan orangtua.

Diri ideal (Ideal-self) dapat menjadi suatu hal yang realistik ataupun tidak realistik, tergantung dari konsep diri real yang ada pada individu. Saat ideal-self memungkinkan untuk dicapai, hal ini dapat menjadi pendorong bagi dirinya untuk melakukan yang terbaik. Tetapi jika individu gagal memenuhi standar ideal-self maka sebaiknya ia menambah usaha untuk mencapai standar tersebut atau memodifikasi standar ideal-self-nya ke arah yang lebih memungkinkan. Biasanya seseorang akan mengubah citra diri dan tingkah lakunya agar sesuai dengan ideal-self. Tetapi bila aspirasinya terbukti terlalu berlebihan atau tidak realistis, maka sebaiknya individu tersebut memodifikasi ideal-self (Atwater dan Duffy, 2002, h: 141).

C. Diri Sosial (Social Selves)

Social selves yaitu perasaan seseorang tentang bagaimana orang lain melihat dirinya. Hal ini dapat merupakan representasi yang akurat atau tidak tentang pandangan orang lain. Bagaimana pun juga persepsi seseorang tentang bagaimana orang lain memandang dirinya akan sangat mempengaruhinya dalam memandang dirinya sendiri. James dalam Atwater dan Duffy (2002), menyatakan bahwa seseorang memiliki social selves yang berbeda-beda sebanyak sejumlah kelompok orang yang memiliki pendapat yang berarti baginya.

Cara seseorang memandang dirinya juga dipengaruhi oleh tingkah lakunya dalam berbagai peran dan situasi. Cara seseorang memandang dirinya akan mengarahkannya untuk bertindak dengan pola tertentu. Tetapi Tarvis dalam Atwater dan Duffy (2002) menyatakan bahwa tindakan seseorang dapat mengubah pandangannya terhadap diri sendiri dan juga pandangan orang lain terhadapnya. Hal ini menyebabkan kualitas-kualitas dalam diri seseorang dapat berubah dengan adanya perubahan di sekelilingnya. Peran dan hubungan sosial merupakan suatu hal yang penting karena sense of self dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya ketika seseorang sudah memutuskan untuk berhubungan dengan teman tertentu, memilih pasangan hidup, atau memasuki sebuah sekolah atau pekerjaan, maka orang-orang yang terlibat akan turut

2. 2. 3 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri

Burns (1993) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri pada seseorang, yaitu:

1. Diri fisik dan citra tubuh

Istilah-istilah ’citra tubuh’ dan ’skema tubuh’ dipergunakan untuk menyampaikan konsep tentang tubuh fisik yang dimiliki oleh masing-masing orang. Karenanya skema tubuh merupakan hal yang fundamental terhadap perkembangan citra diri yang merupakan citra yang dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri sebagai seorang makhluk yang berfisik. Sebagaimana yang akan dilihat, konsep remaja tentang dirinya sebagai sebuah pribadi menekankan pada kualitas-kualitas fisik, baik dari sifat maupun kekurangan-kekurangan dirinya. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan konsep dirinya secara keseluruhan (Burns, 1993, h. 189-190).

Richardson, Hastorf, dan Dornbusch dalam Burns (1993) memperoleh gambaran diri dari anak-anak yang mempunyai hambatan fisik dan yang tidak mempunyai hambatan fisik untuk melihat efek kecacatan tersebut pada konsepsi mereka tentang dirinya. Gambaran yang dihasilkan dari gambaran diri mereka yang mempunyai hambatan fisik dibandingkan dengan gambaran diri anak-anak yang tidak mempunyai hambatan menekankan pada terbatasnya fungsi fisik, pengaruh psikologis, kurangnya pengalaman sosial karena memiliki keterbatasan untuk terlibat di dunia sosial tersebut.

Kesimpulannya, penampilan fisik adalah agen yang sangat potensial untuk menarik perhatian respon sosial secara khusus. Umpan balik ini menciptakan sampai kepada tingkat yang cukup tinggi dari cara seseorang merasakan mengenai dirinya sendiri. Oleh karena itu, jangan menilai orang lain dengan dasar penampilan fisiknya saja agar dapat mengurangi pengaruh dalam mempelajari citra diri yang mereka anggap buruk.

2. Bahasa dan perkembangan konsep diri

Jelaslah perkembangan bahasa membantu perkembangan dari konsep diri, karena penggunaan ’me’, ’he’, atau ’them’ berguna untuk membedakan diri (self) dengan orang lain. Umpan balik dari orang-orang lain seringkali dalam bentuk verbal. Dengan kata lain konsep diri dipahami di dalam hubungannya dengan bahasa dan perkembangannya dibuat mudah oleh bahasa. Selain itu, bahasa tubuh atau komunikasi non-verbal juga dapat menyampaikan informasi kepada orang-orang lain tentang diri dan mencerminkan apa-apa yang dipikirkan oleh orang-orang lain tersebut tentang seseorang (Burns, 1993). Dengan kata lain, ’julukan’ yang diterima seseorang dari orang lain yang menggambarkan dirinya dan apa yang kita ketahui tentang diri kita itulah yang menjadi salah satu pembentuk konsep diri (Calhoun dan Acocella, 1990, h: 67).

3. Umpan balik dari orang-orang lain yang dihormati

Sumber utama lainnya dari konsepsi diri, selain citra tubuh dan keterampilan berbahasa, adalah umpan balik dari orang-orang lain yang dihormati. Orang-orang yang dihormati memainkan sebuah peranan menguatkan di dalam definisi diri. Orangtua dianggap menjadi orang-orang yang dihormati di dalam lingkungan si anak (Burns, 1993).

Semua manusia membutuhkan kasih sayang, perasaan diterima dan rasa aman. Penerimaan kasih sayang dan perasaan diterima adalah sangat memuaskan, tetapi untuk mengetahui apakah dia sedang menerima kasih sayang dan perasaan diterima tersebut seseorang tadi harus mengamati muka, isyarat-isyarat, verbalisasi-verbalisasi dan tanda-tanda lainnya dari orang-orang yang dihormatinya, biasanya adalah orangtua. Masing-masing pengalaman mengenai kasih sayang ataupun penolakan, mengenai persetujuan atau tidaknya dari orang lain menyebabkannya untuk memandang dirinya dan tingkah lakunya di dalam cara yang sama.

Peranan dari orang-orang lain yang dihormati, khususnya orangtua, sebagai sumber informasi yang sangat berpengaruh pada diri seseorang dalam pengembangan konsepsi diri (Burns, 1993, h. 204).

2. 2. 4 Konsep diri remaja penyandang tunadaksa

Dalam uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa pada masa remaja, penampilan tubuh mendapat perhatian yang besar. Menurut Hurlock (1974), ’kekurangan’ fisik yang dimiliki remaja dapat menjadi sumber kesulitan dan rasa rendah diri padanya. Adler, seorang tokoh psikologi, berpuluh tahun yang lalu telah mengemukakan teorinya mengenai perasaan rendah diri pada manusia. Menurut Adler, manusia cenderung untuk mengimbangi kekurangan yang dimilikinya dengan sesuatu yang lebih. Dorongan ini merupakan sesuatu yang bersifat alamiah pada manusia. Dalam hubungannya dengan rasa rendah diri ia menyatakan bahwa perasaan rendah diri ini timbul dari rasa ketidaksempurnaan seseorang dalam suatu segi kehidupan. Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa perasaan tersebut bukan suatu tanda ketidaknormalan. Tetapi diakuinya bahwa perasaan itu mungkin saja berlebihan disebabkan keadaan-keadaan tertentu, umpamanya anak yang ditolak. Bila perasaan tersebut timbul secara berlebihan maka akan berubah menjadi sesuatu yang tidak normal (Hall dan Lindzey, 1993).

Karena keadaan fisiknya yang tidak normal, maka mereka sering merasa takut untuk berhubungan dengan kelompok teman sebaya karena adanya perasaan takut diejek atau tidak diterima bila berhubungan dengan mereka. Akan tetapi menurut Powell (1963) teman-teman sebaya tersebut jarang mempersoalkan kekurangan-kekurangan yang ada pada temannya yang cacat dan mereka pun bersedia menerima teman tersebut dalam kelompoknya secara apa adanya.

Meskipun dari berbagai penelitian di atas cacat fisik seseorang tampaknya tidak terlalu mempengaruhi apakah ia diterima atau tidak oleh teman-teman sebayanya, tetapi kondisi tersebut mempunyai dampak pada si remaja sendiri, begitu pun reaksi yang ditunjukkan oleh orang-orang di sekitarnya. Reaksi-reaksi tersebut biasanya berupa perhatian yang berlebihan dari orangtua dan saudara-saudaranya atau dapat pula sebaliknya, terlalu ’dijaga’ oleh orangtuanya, mengalami penolakan, dan lain-lain sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi pembentukan konsep dirinya.

Dari uraian di atas terlihat bahwa perasaan-perasaan ’negatif’ yang diialami oleh remaja cacat lebih banyak disebabkan oleh perasaan-perasaan dari dalam diri si remaja cacat itu sendiri, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa situasi ini juga dapat disebabkan oleh reaksi-reaksi orang lain terutama orangtua terhadap kecacatannya.

2. 2. 5 Pengukuran konsep diri

Ada dua buah metode umum yang dapat dipakai untuk mengukur konsep diri individu, yaitu:

1. Metode kertas dan pensil (Paper and pencil method)

2. Dengan mengobservasi tingkah laku individu yang dilakukan oleh satu atau sejumlah pengamat untuk menduga konsep diri dari orang yang diamati tersebut. Pendekatan ini biasanya terbatas pada penilaian individual (Burns, 1993, h: 109).

Di bawah ini akan dijelaskan tentang metode-metode kertas dan pensil yang berkaitan dengan pelaporan diri yang dapat digunakan untuk mendapatkan suatu deskripsi diri individu, yaitu:

1. Skala penilaian

Skala-skala penilaian ini dapat berbentuk kuesioner, inventori, dan sikap terhadap skala-skala diri. Pada umumnya metode ini terdiri atas pemberian sekumpulan pernyataan dan untuk meresponnya subjek diminta untuk memilih derajat aitem yang paling sesuai dengan dirinya, misalnya Sangat Setuju, Setuju, Tidak Setuju, dan Sangat Tidak Setuju atau Tidak Pernah, Jarang, Kadang-kadang, Seringkali, dan Selalu. Nilai-nilai dari penilaian ini kemudian dipakai sebagai bobot berupa angka-angka untuk mendapatkan skor total bagi semua aitem. Pendekatan yang paling sering digunakan di dalam pengukuran konsep diri adalah teknik skala penilaian ini yang biasanya memakai skala model Likert, lebih disukai karena memberikan lebih banyak data tentang subjek/responden (Burns, 1993, h: 109-110).

2. Daftar pengecekan

Dengan metode ini individu semata-mata mengecek kata-kata sifat ataupun pernyataan-pernyataan yang sesuai untuk menggambarkan dirinya sendiri yang berbentuk pemberian respon ’ya/tidak’. Hanya aitem-aitem yang dicek yang berlaku pada subjek tersebut (Burns, 1993, h: 110).

3. Teknik penyortiran-Q (Q-Sort Technique)

Penyortiran pernyataan-pernyataan perihal konsep diri pada kartu-kartu yang sangat digemari, karena merupakan suatu tugas yang mudah, menarik, dan memberi motivasi yang telah digunakan oleh anak-anak (Staines, 1954) dan kasus-kasus klinis (Butler dan Haigh, 1954). Teknik penyortiran ini dikembangkan oleh Stevenson (1953) disebut dengan teknik penyortiran-Q (Q-Sort Technique). Aitem-aitem yang menjelaskan kepribadian ini cenderung menjadi pernyataan-pernyataan tegas yang umum dan tidak spesifik menurut keadaannya (misalnya, ’Saya malu’). Masing-masing aitem di dalam penyortiran ini dapat ditetapkan pada sebuah nilai dari satu sampai sembilan tergantung pada tumpukan yang ditempatkan oleh subjek tersebut. Sebagai sebuah teknik yang bersifat individual, teknik penyortiran-Q ini merupakan teknik yang tidak efektif dan efisien (Burns, 1993, h: 110-112).

4. Metode-metode respons yang bebas dan tidak berstruktur

Dalam metode ini subjek diminta untuk menyediakan bahan-bahan mengenai dirinya sendiri, biasanya dengan melengkapi kalimat atau membuat sebuah

Dokumen terkait