• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara penerimaan orangtua dan konsep diri dengan motivasi berprestasi remaja pernyandang Tunadaksa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara penerimaan orangtua dan konsep diri dengan motivasi berprestasi remaja pernyandang Tunadaksa"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN ORANGTUA

DAN KONSEP DIRI DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI

REMAJA PENYANDANG TUNADAKSA

Oleh: RIZKI FAUZIAH

106070002300

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan suatu periode penting dalam seluruh rentang kehidupan manusia. Sebagaimana masa yang lain dalam kehidupan, masa remaja

memiliki sesuatu yang unik, yang berperan penting bagi individu dalam menghadapi masa-masa mendatang. Segala sesuatu yang terjadi pada masa ini

akan berdampak pula pada kehidupannya di masa itu dan juga terhadap kehidupan selanjutnya. Para ahli menggambarkan masa remaja sebagai suatu masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Masa ini ditandai dengan adanya

perubahan-perubahan dalam aspek fisik, psikis, tingkah laku, dan interaksi sosial (Hurlock, 1980: h. 206).

Sebagai masa transisi menuju masa dewasa, banyak hal yang harus dipersiapkan oleh remaja. Perubahan yang terjadi pada masa ini pun sebenarnya merupakan suatu persiapan untuk memasuki masa dewasa. Remaja dituntut untuk

mempersiapkan kemandirian – belajar bertanggung jawab, yang tidak terbatas pada tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, tetapi juga tanggung jawab yang

lebih luas, yaitu tanggung jawab kepada keluarga dan tanggung jawab sosial sebagai anggota masyarakat.

(3)

harapan besar pada remajanya untuk memiliki rasa tanggung jawab dan mengusahakan agar bangsa dan negara ini mencapai kondisi yang lebih baik dari

yang sudah dimiliki saat ini. Oleh karena itu, dalam pembinaan dan pengembangan generasi muda termasuk pemupukan rasa tanggung jawab, merupakan tugas semua pihak (orangtua, keluarga, masyarakat, para pendidik,

pemerintah). Namun sebenarnya bagaimanapun juga sumber rasa tanggung jawab adalah dari individu itu sendiri. Upaya pembinaan dari berbagai pihak tidak akan

membawa hasil bila tidak ada kesadaran atau keinginan dari remaja itu sendiri. Dengan demikian, sangat diharapkan munculnya rasa tanggung jawab dari diri sendiri untuk terus berusaha mencapai hasil yang lebih baik dari saat ini.

Kalau kita bicara tentang dorongan atau keinginan untuk mencapai suatu hasil yang lebih baik, maka kita akan bicara tentang motivasi untuk berprestasi. Pengertian motivasi berprestasi adalah suatu keinginan atau kecenderungan untuk

mengatasi rintangan, melatih kekuatan, berusaha mengerjakan sesuatu yang sulit sebaik dan secepat mungkin (Murray seperti dikutip Franken, 2002 dalam Muhtar,

2005). Dalam rangka adanya motivasi berprestasi, tingkah laku individu akan dibandingkan dengan suatu standar keunggulan, baik yang menyangkut prestasi diri maupun orang lain. Tinggi rendahnya motivasi berprestasi menunjukkan

(4)

Mungkin hal tersebut akan lebih mudah jika dilakukan oleh kebanyakan remaja pada umumnya, akan tetapi bagaimana dengan para remaja yang

berkebutuhan khusus seperti penyandang tunadaksa? Remaja dengan gangguan fisik atau tunadaksa ini adalah remaja yang memiliki salah satu kelainan yang sifatnya gangguan dari fungsi otot dan urat syaraf yang disebabkan adanya

kerusakan otak atau bagian tubuh lainnya. Tunadaksa ditujukan kepada mereka yang memiliki anggota tubuh yang tidak sempurna, seperti adanya gangguan

koordinasi motorik, tangan satu, kaki satu, tanpa mempunyai kaki atau tangan, dan lainnya (Sujarwanto, 2004). Ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota

tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal, akibat luka (kecelakaan), penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna. Karakteristik fisik inilah yang membedakan remaja penyandang tunadaksa dengan remaja lainnya. Kondisi fisik

yang seperti ini menyebabkan remaja penyandang tunadaksa dapat langsung dikenali oleh masyarakat awam, sehingga ketidaksempurnaan fisik ini dapat

mempengaruhi seorang remaja penyandang tunadaksa dalam pembentukan konsep dirinya.

Menurut Sunaryo dikutip oleh Noviantari (2008) pada umumnya bagi

penyandang tunadaksa sulit untuk mencapai prestasi, baik dalam bidang pendidikan maupun bidang lainnya. Hal ini sering menimbulkan masalah

(5)

motivasi berprestasi yang tinggi untuk mencapai suatu keberhasilan. Dengan adanya motivasi berprestasi yang tinggi, remaja mempunyai keinginan untuk

meraih sukses, memiliki tanggung jawab, berani mengambil keputusan dan menanggung segala resikonya, memiliki tujuan yang realistik, dan selalu mencari kesempatan untuk mewujudkan cita-cita. Berdasarkan hasil penelitian kualitatif

(studi kasus) tentang “Motivasi Berprestasi Remaja Penyandang Tunadaksa” oleh Noviantari (2008), diketahui bahwa subjek (remaja penyandang tunadaksa) yang

diteliti memiliki motivasi berprestasi tinggi. Hal ini didukung oleh karakteristik orang yang mempunyai motivai berprestasi tinggi ada pada diri subjek serta faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, dalam motivasi berprestasi tingkah laku individu dibandingkan dengan suatu standar keunggulan tertentu. Penetapan standar ini bersifat subjektif, tergantung pemahaman individu yang

bersangkutan tentang sampai dimana individu tersebut sadar akan kemampuan atau potensi yang dimilikinya. Jika kita bicara tentang kemampuan yang dimiliki

individu, ada suatu konsep yang dapat menjelaskan hal tersebut, yaitu ‘konsep diri’. “Siapakah saya?” merupakan pertanyaan yang sangat mendasar dalam kehidupan seseorang. Siapa saya bagi diri saya sendiri? Siapa saya bagi orang

lain? Apa dan bagaimana lingkungan memandang saya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itulah yang kemudian dikenal dengan istilah konsep diri. Sehingga

(6)

Setiap manusia dilahirkan unik dan istimewa. Salah satu keunikan manusia adalah adanya kebutuhan pengakuan akan keberadaan dirinya dan

pemahaman individu tersebut tentang segala kelebihan serta kekurangannya. Penilaian dan pemahaman yang tepat akan menghasilkan rasa mampu yang tepat pula. Selanjutnya ketepatan ini akan sangat bermanfaat bagi penetapan standar

yang realistis dalam motivasi berprestasi. Oleh karena itulah bagaimana cara seseorang memandang dirinya sendiri inilah yang akan mempengaruhi orang

tersebut dalam berinteraksi dengan orang lain dan juga mempengaruhi tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari (Harter dalam Papalia, 2001; Dusek, 1996 seperti dikutip Moniaga, 2003, h: 2).

Seseorang akan mendeskripsikan dirinya dengan cara tertentu, bisa berdasarkan fisik, kepribadian, maupun dengan cara berhubungan dengan orang lain. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa komponen yang paling

penting pada remaja dalam mendeskripsikan dan mengevaluasi dirinya adalah penampilan fisik (Simmons dan Blyth; Zumpf dalam Dusek seperti dikutip

Moniaga, 2003). Ketika remaja menaruh perhatian yang besar pada penampilan fisik, maka remaja yang memiliki gambaran fisik yang tidak memuaskan akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dan merasa tidak bahagia. Jadi,

penampilan fisik merupakan salah satu faktor penting pada remaja dalam pembentukan konsep dirinya.

(7)

negatif tentang remaja penyandang tunadaksa karena keterbatasannya tersebut. Mereka menganggap bahwa segala keterbatasannya dapat menyulitkan

orang-orang di sekelilingnya. Sebaliknya jika mereka menerima keberadaan remaja penyandang tunadaksa dengan apa adanya, maka persepsi-persepsi negatif pun dapat diminimalisir. Oleh karena itu, persepsi seseorang tentang remaja

penyandang tunadaksa akan mempengaruhi sikap dan tindakannya terhadap remaja tersebut. Cooley dan Mead (dalam Pope, McHale, dan Craighead, 1988)

seperti dikutip Moniaga (2003), menyatakan bahwa seseorang memandang dirinya berdasarkan bagaimana mereka diperlakukan dan dipandang oleh orang lain. Hal-hal tersebutlah yang membebani mereka karena kondisi yang tidak

sempurna seperti remaja-remaja yang lain. Jadi persepsi dan tindakan orang lain juga akan mempengaruhi remaja penyandang tunadaksa dalam membentuk konsep dirinya.

Hal tersebut memang nyata, wawancara pada studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tiga remaja penyandang tunadaksa di Yayasan Anak Cacat

Nusantara, Kecamatan Beji, Kota Depok, menghasilkan gambaran bahwa mereka akan tumbuh dan berkembang dengan baik sejalan dengan sikap dan pandangan orang-orang di sekelilingnya. Memang pada awalnya mereka merasa

rendah diri karena kecacatan yang dimiliki akan menjadi sebuah penghambat bagi dirinya untuk melakukan banyak hal, terutama hal-hal yang membutuhkan

(8)

memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan dan patut diakui keberadaannya dan janganlah melihat mereka dari segi kekurangannya saja. Oleh karena itu,

pengertian dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk dapat mengerti keadaan mereka agar segala konsep buruk tentang diri mereka tadi bisa dirubah sehingga tidak menambah beban psikis mereka maupun keluarga, terutama orangtua.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, salah satu yang berpengaruh pada remaja dalam mempersepsikan dirinya adalah orangtua. Michaelis (1980),

menyatakan bahwa ada sesuatu yang sangat indah dan menyenangkan ketika mempunyai seorang anak, tapi ini akan berbeda jika anak yang lahir tersebut adalah anak cacat. Orangtua dari anak cacat menghadapi hal-hal yang tidak

menyenangkan. Menjadi orangtua bagi seorang anak yang cacat adalah menyulitkan, dan sering membingungkan dan merupakan tugas yang membingungkan (Wentworth dalam Gargiulo, 1985, h: 13).

Pada studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada Desember 2009, kepada lima orangtua yang memiliki anak penyandang tunadaksa, tiga dari lima

orangtua dengan anak penyandang tunadaksa atau cacat fisik mengalami reaksi dalam menghadapi keadaan anaknya saat pertama kali adalah perasaan shock, mengalami goncangan batin, terkejut, dan tidak mempercayai kenyataan

kecacatan yang diderita anaknya. Selain itu, orangtua akan merasa kecewa, sedih, dan mungkin merasa marah ketika mengetahui realita yang dihadapinya tersebut.

(9)

dipungkiri mereka yang memiliki anak tunadaksa atau kecacatan lainnya akan merasa bahwa dirinya berbeda dengan orangtua lainnya yang tidak memiliki anak

dengan hambatan fisik. Hal ini dipengaruhi oleh keterbatasan yang dimiliki si anak, seperti tidak dapat mengikuti rutinitas dan aturan yang ada dalam kehidupannya sehari-hari.

Penelitian yang dilakukan Hermiati seperti dikutip Ismartini (2001) terhadap sejumlah orangtua menyatakan bahwa sebagian besar orangtua telah

dapat menerima keadaan anaknya yang cacat, terbukti dalam caranya bersikap wajar pada anaknya, akan tetapi masih ada pula sikap orangtua yang ragu-ragu atau bahkan menolak anaknya. Hal ini bertentangan dengan fakta yang

diberitakan Kompas (Wajib, 1999 dan Mashuri, 2000 dalam Ismartini, 2001), yaitu masih banyak orangtua dan masyarakat yang sulit menerima kondisi anak dengan kecacatan yang bentuknya terlihat jelas seperti tunadaksa ini.

Menurut Jourard dan Remy (1955); Helper (1955) dalam Burns (1993), orangtua sangat berpengaruh dalam pembentukan konsep diri anak. Konsep diri

anak-anak tampaknya serupa dengan pandangan dari orangtua mereka kepadanya seperti yang mereka yakini. Pola orangtua membesarkan anak yang akan membentuk konsep diri yang positif pertama kali diteliti oleh Stott dalam Burns

(1993), yang melakukan penelitian pada 1800 anak remaja. Dia menemukan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang memiliki penerimaan, rasa

(10)

penerimaan orangtua, dan kesuksesan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang berada di dalam batas-batas kemampuan anak tersebut.

Untuk meningkatkan konsep diri remaja, orientasi kita harus pada proses terbentuknya konsep diri itu sendiri. Sikap orangtua terhadap remaja merupakan salah satu faktor yang mempunyai peranan penting terhadap pembentukan dan

perkembangan konsep diri. Sikap orangtua yang mempunyai anak yang cacat seperti telah diungkapkan di atas adalah kecewa dan sedih. Sikap dan perasaan ini

akan mempengaruhi penilaiannya terhadap anak itu. Sikap orangtua di sini dapat berupa penolakan, tidak memperhatikan, dan lain-lain yang akan sangat berpengaruh pada proses pembentukan konsep diri anak tunadaksa tersebut. Jika

sikap penolakan dari orangtua terus terjadi, maka konsep diri yang terbentuk pada anak tunadaksa itu adalah konsep diri yang negatif. Sebaliknya, dengan adanya penerimaan terhadap kenyataan ini akan mengubah penilaiannya terhadap sang

anak, sehingga dengan adanya penilaian yang positif terhadap anak tunadaksa tersebut maka akan mempengaruhi pembentukan konsep diri yang positif pula

pada anak itu.

Tentunya setiap orangtua menginginkan yang terbaik bagi anaknya walaupun si anak menyandang tunadaksa. Namun dalam proses ke arah sana

orangtua mempunyai tanggung jawab untuk dapat menerima keadaan anaknya dengan apa adanya secara keseluruhan, tanpa disertai persyaratan atau penilaian,

(11)

menyadari anak sebagai seorang individu yang memiliki perasaan, keinginan (cita-cita), dan kebutuhan yang sama dengan anak-anak normal lainnya.

Melihat kenyataan di atas, peneliti merasa tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai keterkaitan penerimaan orangtua dengan konsep diri pada anak penyandang tunadaksa atau cacat fisik khususnya pada remaja dan pembentukan

konsep diri yang seperti apa juga berpengaruh pada pembentukan motivasi berprestasi pada remaja tersebut. Berdasarkan asumsi tersebut, peneliti tertarik

untuk meneliti bagaimana penerimaan diri orangtua dapat mempengaruhi pembentukan konsep diri pada remaja penyandang tunadaksa dan bagaimana motivasi berprestasi mereka bisa terbentuk, serta bagaimana pengaruh keluarga,

khususnya orangtua pada terbentuknya atau berkembangnya motivasi berprestasi yang dimiliki oleh para remaja penyandang tunadaksa melalui penelitian dengan judul “Hubungan antara Penerimaan Orangtua dan Konsep Diri dengan

Motivasi Berprestasi Remaja Penyandang Tunadaksa”.

1. 2. Perumusan dan Pembatasan Masalah 1. 2. 1 Perumusan Masalah

Permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Apakah ada hubungan yang signifikan antara penerimaan orangtua dengan

(12)

2. Apakah ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan motivasi berprestasi remaja penyandang tundaksa?

3. Apakah ada hubungan yang signifikan antara penerimaan orangtua dan konsep diri dengan motivasi berprestasi remaja penyandang tundaksa?

1. 2. 2 Pembatasan Masalah

Berdasakan latar belakang, identifikasi, dan perumusan masalah maka

batasan masalahnya adalah sebagai berikut:

• Motivasi berprestasi adalah suatu dorongan yang akan mengarahkan individu

untuk bertingkah laku tertentu dengan tujuan untuk mencapai tingkat prestasi tertentu pula. Pencapaian prestasi ini didasarkan pada suatu standar dan tingkah laku berprestasi ini akan muncul jika individu merasa bahwa dirinya

akan dinilai.

• Konsep diri adalah gambaran unik yang dimiliki seseorang mengenai dirinya

sendiri dan persepsi terhadap diri dalam hubungannya dengan orang lain. • Penerimaan orangtua merupakan merupakan suatu proses aktif dimana

orangtua secara sadar berusaha untuk memahami dan menghargai anaknya yang berkebutuhan khusus, disertai adanya perasaan hangat, kasih sayang,

perhatian, mengasuh, mendukung yang diekspresikan secara fisik maupun verbal tanpa melihat kondisi anak tersebut.

(13)

penyandang tunadaksa rentang usia 13-20 tahun rentang usia remaja awal sampai remaja akhir. Dalam penelitian ini dipilih pada masa remaja karena

pada usia tersebut terjadi perubahan-perubahan yang besar dan cepat pada fisik mereka dan pada masa ini mereka mulai memperhatikan penampilan fisiknya.

1. 3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. 3. 1 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan, maka tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penerimaan orangtua dan konsep diri dengan

motivasi berprestasi pada remaja penyandang tunadaksa.

1. 3. 2. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap dunia Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, Psikologi Perkembangan, dan/atau Psikologi Anak dan Remaja dan juga hasil penelitian ini dapat menjadi

(14)

Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat dapat menjadi bahan masukan bagi

masyarakat umum, terutama yang berkaitan dengan anak penyandang tunadaksa, baik para professional agar dapat meningkatkan program-program untuk para

remaja dengan keterbatasan fisik, misalnya program-program keterampilan, program pendidikan formal dan informal, maupun program-program lain yang mempersiapkan mereka untuk hidup mandiri, serta dapat menjadi bahan acuan

bagi para orangtua sebagai penanggung jawab utama dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak. Diharapkan pula dengan penerimaan orangtua terhadap

kondisi anak dapat membantu agar program penanganan para remaja penyandang tunadaksa dapat dilakukan secara komperhensif sehingga dapat meningkatkan motivasi mereka untuk terus berprestasi.

1. 4. Sistematika Penelitian

Untuk mempermudah dalam membahas tema yang diteliti, peneliti membagi ke dalam lima bab, dengan sistematika sebagai berikut:

Bab 1 : Pendahuluan

Merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

(15)

motivasi berprestasi, dan karakteristik individu dengan motivasi berprestasi tinggi, dan pengukuran motivasi berprestasi. Definisi konsep diri, elemen konsep diri,

faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri, konsep diri pada remaja penyandang tunadaksa, dan pengukuran konsep diri. Definisi penerimaan orangtua dan proses penerimaan orangtua., serta kerangka berpikir dan hipotesis.

Bab 3 : Metode Penelitian

Terdiri dari jenis penelitian, yaitu (pendekatan penelitian, metode penelitian, variabel penelitian, serta definisi konseptual dan operasional variabel). Pengambilan sampel, yang terdiri dari (populasi dan sampel, teknik pengambilan

sampel, dan karakteristik subjek). Teknik pengumpulan data (alat ukur penelitian, uji validitas dan reliabilitas alat ukur), teknik analisis data, dan prosedur penelitian.

Bab 4 : Hasil Penelitian

Merupakan hasil penelitian yang terdiri dari gambaran umum subjek penelitian dan hasil uji hipotesis.

Bab 5 : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

(16)

BAB 2

LANDASAN TEORI

Dalam landasan teori ini akan dibahas teori-teori mengenai motivasi berprestasi, konsep diri, dan penerimaan orangtua, serta kerangka berpikir berdasarkan asumsi peneliti dan hipotesis-hipotesis yang akan diujikan.

2. 1. Motivasi Berprestasi

2. 1. 1 Definisi motivasi berprestasi

Konsep motivasi berprestasi diawali dari konsep Henry Murray (1938) tentang psychogenic need/motive. Konsep awal ini menjelaskan adanya perbedaan

kecenderungan untuk berusaha mencapai tujuan tertentu antara satu orang dengan orang yang lain (Atkinson dan Raynor, 1974 dalam Santrock, 2003). Menurut

McClelland dan Atkinson (1948) dalam Slavin (1994) salah satu jenis motivasi \yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah motivasi berprestasi. Motivasi berprestasi adalah keinginan untuk mencapai kesuksesan dan untuk

berpartisipasi dalam suatu kegiatan dan kesuksesan tersebut tergantung pada usaha dan kemampuan orang yang bersangkutan (Slavin, 1994). Sedangkan

(17)

Morgan-King (1987) motivasi berprestasi merupakan salah satu motif sosial yang menunjuk pada suatu dorongan yang merupakan hasil dari aktivitas

manusia. Motif ini disebut motif sosial karena dipelajari dalam suatu kelompok sosial, dan biasanya melibatkan orang lain. Individu dengan motif (kebutuhan) untuk berprestasi memiliki kekuatan untuk mencari penyelesaian dan

meningkatkan kinerja (performance) pada tugas yang sedang dihadapinya. Individu seperti ini berorientasi pada tugas dan lebih menyukai pekerjaan

menantang kemampuannya, dimana kinerjanya akan dievaluasi menurut suatu aturan tertentu (Morgan-King, 1987, h: 283-284).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi

berprestasi adalah suatu dorongan yang akan mengarahkan individu untuk bertingkah laku tertentu dengan tujuan untuk mencapai tingkat prestasi tertentu pula. Pencapaian prestasi ini didasarkan pada suatu standar dan tingkah laku

berprestasi ini akan muncul jika individu merasa bahwa dirinya akan dinilai.

2. 1. 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi

Semua motivasi sosial (termasuk motivasi berprestasi) merupakan hasil dari proses belajar. Individu tertentu memiliki motivasi berprestasi yang tinggi

dikarenakan adanya perbedaan pengalaman yang diterima pada awal kehidupan individu yang menghasilkan variasi dalam derajat motivasi untuk berprestasi.

(18)

mengadopsi sejumlah karakteristik model, termasuk dorongan untuk berprestasi bila model tersebut memiliki motif untuk berprestasi dalam derajat tertentu

(Parsons, 1983 dalam Morgan-King, 1987, h: 284).

Harapan orangtua terhadap anak menurut para ahli juga merupakan suatu hal yang penting untuk meningkatkan motivasi berprestasi anak. Orangtua yang

berharap agar anaknya bekerja keras dan berusaha meraih kesuksesan merupakan suatu dukungan bagi anak untuk mengarahkan tingkah lakunya pada usaha

mencapai hasil yang lebih baik. Suatu bentuk harapan orangtua yang berkaitan dengan motivasi berprestasi misalnya, membiarkan anak untuk melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, dan lain-lain (Morgan-King, 1987, h: 284).

Selain itu, penerimaan orangtua terhadap anak yang ditunjukkan dengan sikap hangat dan penuh kasih sayang juga berpengaruh pada motivasi anak. Efek penerimaan orangtua tersebut diperkenalkan oleh Radin (1971) melalui

observasinya untuk melihat interaksi antara orangtua (khususnya) ibu kepada si anak (Jersild, et.al., 1975, h: 209).

Prestasi menjadi hal yang sangat penting bagi remaja, dan remaja mulai menyadari bahwa pada saat inilah mereka dituntut untuk menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Mereka mulai melihat kesuksesan atau kegagalan masa kini

untuk meramalkan keberhasilan di kehidupan mereka nanti sebagai orang dewasa (Ishiyama dan Chasbassol, 1985; Sue dan Okazaki, 1990 dalam Santrock, 2003, h:

(19)

Prestasi remaja tidak hanya ditentukan oleh kemampuan intelektual tetapi juga banyak ditentukan oleh faktor motivasi dan psikologis, termasuk konsep

remaja mengenai dirinya. Walberg (1984) menyatakan bahwa adanya hubungan antara konsep diri secara umum dengan motivasi berprestasi walaupun tidak signifikan. Ia akan berkorelasi kuat jika konsep diri yang ingin diukur merupakan

konsep diri yang lebih spesifik, seperti konsep diri matematika, konsep diri Bahasa Inggris, dan konsep diri tentang mata pelajaran yang lainnya (Marsh, 1992

dalam Eggen dan Kauchak, 2004). Selain itu, untuk melihat hubungan antara konsep diri dan motivasi berprestasi juga bisa merujuk pada teori konsep diri karir (career self-concept theory) dari Donald Super (1967, 1976), yang menyatakan

bahwa konsep diri individu memainkan peranan utama dalam pemilihan karir seseorang. Super percaya bahwa masa remaja merupakan saat seseorang membangun konsep diri tentang karir (dalam Santrock, 2003, h: 484).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peran keluarga sebagai lingkungan terdekat anak, khususnya orangtua yang memberikan pengalaman

pertama pada anak untuk bersosialisasi, memiliki andil yang besar dalam menumbuhkan dan meningkatkan motivasi berprestasi anak termasuk konsep dirinya sendiri. Diharapkan dengan sudah dimilikinya ”modal” motivasi

berprestasi dan konsep diri yang ditumbuhkan orangtua sewaktu anak-anak melalui perilaku yang hangat, dalam kehidupan selanjutnya motivasi berprestasi

(20)

2. 1. 3 Karakteristik individu dengan motivasi berprestasi tinggi

Menurut McClelland (1987), beberapa ciri yang membedakan individu

dengan motivasi berprestasi tinggi, yaitu dalam hal: 1. Resiko pemilihan tugas

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung memilih tugas dengan

derajat kesulitan yang sedang, yang memungkinkan berhasil. Mereka menghindari tugas yang terlalu mudah karena sedikitnya tantangan atau

kepuasan yang didapat. Mereka juga menghindari tugas yang sangat sulit karena kemungkinan untuk berhasil sangat kecil. Mereka menyesuaikan apa yang diharapkan dengan kemampuan yang dimilikinya (Morgan-King, 1987;

McClelland, 1987).

2. Membutuhkan umpan-balik (feedback)

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi lebih menyukai tugas atau bekerja pada situasi dimana mereka dapat memperoleh umpan-balik tentang apa yang

sudah mereka lakukan. Karena jika tidak, mereka tidak dapat mengetahui apakah mereka sudah melakukan sesuatu dengan baik atau belum dibandingkan dengan yang lain (Morgan-King, 1987; McClelland, 1987).

3. Tanggung jawab

(21)

dapat merasa puas saat dapat menyelesaikan suatu tugas dengan baik (McClelland, 1987).

4. Kesempatan untuk unggul

Individu dengan orientasi berprestasi yang tinggi lebih tertarik pada karir dan

tugas-tugas yang melibatkan kompetisi dan kesempatan untuk unggul. Mereka juga lebih berorientasi pada tugas dan mencoba untuk mengerjakan dan

menyelesaikan lebih banyak tugas daripada individu dengan motivasi berprestasi yang rendah (McClelland, 1987).

5. Inovatif

Melakukan sesuatu dengan lebih baik sering secara tidak langsung berarti melakukan sesuatu yang berbeda atau dengan cara yang berbeda dengan

sebelumnya. Individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan lebih sering mencari informasi untuk menemukan cara yang lebih baik dalam melakukan

suatu hal, dan mereka seharusnya lebih inovatif (McClelland, 1987).

2. 1. 4 Pengukuran motivasi berprestasi

Dari literatur yang ada, motivasi berprestasi dapat diukur melalui tiga cara, yaitu:

1. Tes Proyeksi

(22)

1987). Memakai teori dan pengukuran kepribadian dari Henry Murray, McClelland (dalam Santrock, 2003) menguji motivasi berprestasi dengan

memperlihatkan kepada subjek gambar yang ambigu yang akan menstimulasi respon yang berhubungan dengan pencapaian prestasi.

2. Kuesioner

Inventori ini terdiri dari pertanyaan-pertanyaan tentang perilaku dan pilihan

tertentu untuk dijawab yang berhubungan dengan apa yang akan atau dipilih untuk dilakukan dalam situasi tertentu (Morgan-King, 1987, h: 283).

3. Tes Situasional

Dalam tes ini dibuat suatu situasi dimana tindakan seseorang akan menampakkan motifnya yang dominan (Morgan-King, 1987, h: 283).

Dalam penelitian ini, cara yang digunakan untuk mengukur tingkat

motivasi berprestasi subjek adalah dengan kuesioner. Hal ini disebabkan karena kuesioner dianggap lebih objektif dibanding cara pengukuran yang lain. Subjek memilih satu dari keempat pilihan jawaban yang dianggap paling tepat mengenai

(23)

2. 2. Konsep Diri

2. 2. 1 Definisi konsep diri

Menurut Atwater dan Duffy (2002) konsep diri adalah keseluruhan gambaran atau kesadaran yang dimiliki dari diri kita sendiri. Menyangkut tentang persepsi dari ”I” dan ”me”, bersama perasaan-perasaan, keyakinan-keyakinan, dan

nilai-nilai yang ditanamkan olehnya. Konsep diri ini berpengaruh secara kuat pada cara seseorang mempersepsi, menilai, dan bertingkah laku.

Selain itu definisi dari konsep diri telah dikemukakan oleh beberapa tokoh, antara lain Hurlock (1978) yang menyatakan bahwa konsep diri adalah gambaran seseorang mengenai dirinya, gambaran ini merupakan gabungan kepercayaan

orang tersebut mengenai diri sendiri yang meliputi karakteristik fisik, psikologik, sosial, emosi, aspirasi, dan prestasi-prestasinya.

Konsep diri ini terdiri dari aspek fisik dan psikologik. Aspek fisik

terbentuk lebih dahulu daripada aspek psikologik dan merupakan penilaian seseorang tentang penampilan fisiknya, seperti daya tariknya, kesesuaian jenis

kelamin, pentingnya bagian-bagian tubuh terhadap tingkah lakunya dan prestise yang diakibatkan oleh penampilan fisiknya di mata orang lain. Sedangkan aspek psikologik merupakan konsep mengenai karakteristik-karakteristik tertentu,

kemampuan dan ketidakmampuannya, latar belakang, serta dalam berhubungan dengan orang lain (Hurlock, 1978: 372).

(24)

merupakan faktor bawaan, melainkan berkembang dari pengalaman yang terus-menerus dan terdiferensiasi. Dasar dari konsep diri individu ditanamkan pada

saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya di kemudian hari.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah gambaran unik yang

dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri dan persepsi terhadap diri dalam hubungannya dengan orang lain.

2. 2. 2 Elemen konsep diri

Setiap individu memiliki konsep yang berbeda-beda dalam

menggambarkan dirinya. Pada umumnya konsep yang digunakan individu untuk menggambarkan dirinya adalah citra diri (Self-image), diri ideal (Ideal-self), dan diri sosial (Social selves) (Atwater dan Duffy, 2002). Berikut ini uraian dari ketiga

konsep tersebut:

A. Citra diri (Self-image)

Citra diri (Self-image) yaitu cara seseorang melihat dirinya sendiri. Hal ini dibentuk oleh persepsi tentang diri seseorang yang diperoleh selama hidupnya, khususnya pada masa pertumbuhan (formative years). Persepsi tentang diri ini

sangat dipengaruhi oleh bagaimana seseorang dipandang dan diperlakukan oleh orang-orang terdekat (significant others), terutama orangtua. Pikiran,

(25)

berubah melalui pengalaman-pengalaman hidup selanjutnya bersama dengan teman, guru, dan pasangan hidup (Atwater dan Duffy, 2002, h: 140).

B. Diri ideal (Ideal-self)

Diri ideal (Ideal-self) yaitu diri yang diharapkan oleh seseorang, meliputi

aspirasi, idealisme moral, dan nilai-nilai. Menurut pandangan psikoanalisa, individu tidak benar-benar menyadari ideal-self-nya karena sebagian besar

dari diri ideal tersebut diperoleh melalui identifikasi dengan keinginan dan larangan orangtua.

Diri ideal (Ideal-self) dapat menjadi suatu hal yang realistik ataupun tidak realistik, tergantung dari konsep diri real yang ada pada individu. Saat ideal-self memungkinkan untuk dicapai, hal ini dapat menjadi pendorong bagi

dirinya untuk melakukan yang terbaik. Tetapi jika individu gagal memenuhi standar ideal-self maka sebaiknya ia menambah usaha untuk mencapai standar

tersebut atau memodifikasi standar ideal-self-nya ke arah yang lebih memungkinkan. Biasanya seseorang akan mengubah citra diri dan tingkah lakunya agar sesuai dengan ideal-self. Tetapi bila aspirasinya terbukti terlalu

(26)

C. Diri Sosial (Social Selves)

Social selves yaitu perasaan seseorang tentang bagaimana orang lain melihat

dirinya. Hal ini dapat merupakan representasi yang akurat atau tidak tentang pandangan orang lain. Bagaimana pun juga persepsi seseorang tentang bagaimana orang lain memandang dirinya akan sangat mempengaruhinya

dalam memandang dirinya sendiri. James dalam Atwater dan Duffy (2002), menyatakan bahwa seseorang memiliki social selves yang berbeda-beda

sebanyak sejumlah kelompok orang yang memiliki pendapat yang berarti baginya.

Cara seseorang memandang dirinya juga dipengaruhi oleh tingkah lakunya dalam berbagai peran dan situasi. Cara seseorang memandang dirinya akan mengarahkannya untuk bertindak dengan pola tertentu. Tetapi Tarvis dalam

Atwater dan Duffy (2002) menyatakan bahwa tindakan seseorang dapat mengubah pandangannya terhadap diri sendiri dan juga pandangan orang lain

terhadapnya. Hal ini menyebabkan kualitas-kualitas dalam diri seseorang dapat berubah dengan adanya perubahan di sekelilingnya. Peran dan hubungan sosial merupakan suatu hal yang penting karena sense of self dipengaruhi oleh

faktor sosial dan budaya ketika seseorang sudah memutuskan untuk berhubungan dengan teman tertentu, memilih pasangan hidup, atau memasuki

(27)

2. 2. 3 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri

Burns (1993) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi

pembentukan konsep diri pada seseorang, yaitu: 1. Diri fisik dan citra tubuh

Istilah-istilah ’citra tubuh’ dan ’skema tubuh’ dipergunakan untuk

menyampaikan konsep tentang tubuh fisik yang dimiliki oleh masing-masing orang. Karenanya skema tubuh merupakan hal yang fundamental terhadap

perkembangan citra diri yang merupakan citra yang dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri sebagai seorang makhluk yang berfisik. Sebagaimana yang akan dilihat, konsep remaja tentang dirinya sebagai sebuah

pribadi menekankan pada kualitas-kualitas fisik, baik dari sifat maupun kekurangan-kekurangan dirinya. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan konsep dirinya secara keseluruhan (Burns, 1993, h. 189-190).

[image:27.595.121.513.187.531.2]

Richardson, Hastorf, dan Dornbusch dalam Burns (1993) memperoleh

gambaran diri dari anak-anak yang mempunyai hambatan fisik dan yang tidak mempunyai hambatan fisik untuk melihat efek kecacatan tersebut pada konsepsi mereka tentang dirinya. Gambaran yang dihasilkan dari gambaran

diri mereka yang mempunyai hambatan fisik dibandingkan dengan gambaran diri anak-anak yang tidak mempunyai hambatan menekankan pada terbatasnya

(28)

Kesimpulannya, penampilan fisik adalah agen yang sangat potensial untuk menarik perhatian respon sosial secara khusus. Umpan balik ini menciptakan

sampai kepada tingkat yang cukup tinggi dari cara seseorang merasakan mengenai dirinya sendiri. Oleh karena itu, jangan menilai orang lain dengan dasar penampilan fisiknya saja agar dapat mengurangi pengaruh dalam

mempelajari citra diri yang mereka anggap buruk.

2. Bahasa dan perkembangan konsep diri

Jelaslah perkembangan bahasa membantu perkembangan dari konsep diri, karena penggunaan ’me’, ’he’, atau ’them’ berguna untuk membedakan diri

(self) dengan orang lain. Umpan balik dari orang-orang lain seringkali dalam bentuk verbal. Dengan kata lain konsep diri dipahami di dalam hubungannya dengan bahasa dan perkembangannya dibuat mudah oleh bahasa. Selain itu,

bahasa tubuh atau komunikasi non-verbal juga dapat menyampaikan informasi kepada orang-orang lain tentang diri dan mencerminkan apa-apa yang

dipikirkan oleh orang-orang lain tersebut tentang seseorang (Burns, 1993). Dengan kata lain, ’julukan’ yang diterima seseorang dari orang lain yang menggambarkan dirinya dan apa yang kita ketahui tentang diri kita itulah yang

menjadi salah satu pembentuk konsep diri (Calhoun dan Acocella, 1990, h: 67).

(29)

3. Umpan balik dari orang-orang lain yang dihormati

Sumber utama lainnya dari konsepsi diri, selain citra tubuh dan keterampilan

berbahasa, adalah umpan balik dari orang-orang lain yang dihormati. Orang-orang yang dihormati memainkan sebuah peranan menguatkan di dalam definisi diri. Orangtua dianggap menjadi orang-orang yang dihormati di dalam

lingkungan si anak (Burns, 1993).

Semua manusia membutuhkan kasih sayang, perasaan diterima dan rasa aman. Penerimaan kasih sayang dan perasaan diterima adalah sangat memuaskan, tetapi untuk mengetahui apakah dia sedang menerima kasih sayang dan

perasaan diterima tersebut seseorang tadi harus mengamati muka, isyarat-isyarat, verbalisasi-verbalisasi dan tanda-tanda lainnya dari orang-orang yang dihormatinya, biasanya adalah orangtua. Masing-masing pengalaman

mengenai kasih sayang ataupun penolakan, mengenai persetujuan atau tidaknya dari orang lain menyebabkannya untuk memandang dirinya dan

tingkah lakunya di dalam cara yang sama.

Peranan dari orang-orang lain yang dihormati, khususnya orangtua, sebagai sumber informasi yang sangat berpengaruh pada diri seseorang dalam

(30)

2. 2. 4 Konsep diri remaja penyandang tunadaksa

Dalam uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa pada masa remaja,

penampilan tubuh mendapat perhatian yang besar. Menurut Hurlock (1974), ’kekurangan’ fisik yang dimiliki remaja dapat menjadi sumber kesulitan dan rasa rendah diri padanya. Adler, seorang tokoh psikologi, berpuluh tahun yang lalu

telah mengemukakan teorinya mengenai perasaan rendah diri pada manusia. Menurut Adler, manusia cenderung untuk mengimbangi kekurangan yang

dimilikinya dengan sesuatu yang lebih. Dorongan ini merupakan sesuatu yang bersifat alamiah pada manusia. Dalam hubungannya dengan rasa rendah diri ia menyatakan bahwa perasaan rendah diri ini timbul dari rasa ketidaksempurnaan

seseorang dalam suatu segi kehidupan. Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa perasaan tersebut bukan suatu tanda ketidaknormalan. Tetapi diakuinya bahwa perasaan itu mungkin saja berlebihan disebabkan keadaan-keadaan tertentu,

umpamanya anak yang ditolak. Bila perasaan tersebut timbul secara berlebihan maka akan berubah menjadi sesuatu yang tidak normal (Hall dan Lindzey, 1993).

Karena keadaan fisiknya yang tidak normal, maka mereka sering merasa takut untuk berhubungan dengan kelompok teman sebaya karena adanya perasaan takut diejek atau tidak diterima bila berhubungan dengan mereka. Akan tetapi

menurut Powell (1963) teman-teman sebaya tersebut jarang mempersoalkan kekurangan-kekurangan yang ada pada temannya yang cacat dan mereka pun

(31)

Meskipun dari berbagai penelitian di atas cacat fisik seseorang tampaknya tidak terlalu mempengaruhi apakah ia diterima atau tidak oleh teman-teman

sebayanya, tetapi kondisi tersebut mempunyai dampak pada si remaja sendiri, begitu pun reaksi yang ditunjukkan oleh orang-orang di sekitarnya. Reaksi-reaksi tersebut biasanya berupa perhatian yang berlebihan dari orangtua dan

saudara-saudaranya atau dapat pula sebaliknya, terlalu ’dijaga’ oleh orangtuanya, mengalami penolakan, dan lain-lain sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi

pembentukan konsep dirinya.

Dari uraian di atas terlihat bahwa perasaan-perasaan ’negatif’ yang diialami oleh remaja cacat lebih banyak disebabkan oleh perasaan-perasaan dari

dalam diri si remaja cacat itu sendiri, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa situasi ini juga dapat disebabkan oleh reaksi-reaksi orang lain terutama orangtua terhadap kecacatannya.

2. 2. 5 Pengukuran konsep diri

Ada dua buah metode umum yang dapat dipakai untuk mengukur konsep diri individu, yaitu:

1. Metode kertas dan pensil (Paper and pencil method)

2. Dengan mengobservasi tingkah laku individu yang dilakukan oleh satu atau sejumlah pengamat untuk menduga konsep diri dari orang yang diamati

(32)

Di bawah ini akan dijelaskan tentang metode-metode kertas dan pensil yang berkaitan dengan pelaporan diri yang dapat digunakan untuk mendapatkan

suatu deskripsi diri individu, yaitu: 1. Skala penilaian

Skala-skala penilaian ini dapat berbentuk kuesioner, inventori, dan sikap

terhadap skala-skala diri. Pada umumnya metode ini terdiri atas pemberian sekumpulan pernyataan dan untuk meresponnya subjek diminta untuk memilih

derajat aitem yang paling sesuai dengan dirinya, misalnya Sangat Setuju, Setuju, Tidak Setuju, dan Sangat Tidak Setuju atau Tidak Pernah, Jarang, Kadang-kadang, Seringkali, dan Selalu. Nilai-nilai dari penilaian ini kemudian

dipakai sebagai bobot berupa angka-angka untuk mendapatkan skor total bagi semua aitem. Pendekatan yang paling sering digunakan di dalam pengukuran konsep diri adalah teknik skala penilaian ini yang biasanya memakai skala

model Likert, lebih disukai karena memberikan lebih banyak data tentang subjek/responden (Burns, 1993, h: 109-110).

2. Daftar pengecekan

Dengan metode ini individu semata-mata mengecek kata-kata sifat ataupun

pernyataan-pernyataan yang sesuai untuk menggambarkan dirinya sendiri yang berbentuk pemberian respon ’ya/tidak’. Hanya aitem-aitem yang dicek

(33)

3. Teknik penyortiran-Q (Q-Sort Technique)

Penyortiran pernyataan-pernyataan perihal konsep diri pada kartu-kartu yang

sangat digemari, karena merupakan suatu tugas yang mudah, menarik, dan memberi motivasi yang telah digunakan oleh anak-anak (Staines, 1954) dan kasus-kasus klinis (Butler dan Haigh, 1954). Teknik penyortiran ini

dikembangkan oleh Stevenson (1953) disebut dengan teknik penyortiran-Q (Q-Sort Technique). Aitem-aitem yang menjelaskan kepribadian ini cenderung

menjadi pernyataan-pernyataan tegas yang umum dan tidak spesifik menurut keadaannya (misalnya, ’Saya malu’). Masing-masing aitem di dalam penyortiran ini dapat ditetapkan pada sebuah nilai dari satu sampai sembilan

tergantung pada tumpukan yang ditempatkan oleh subjek tersebut. Sebagai sebuah teknik yang bersifat individual, teknik penyortiran-Q ini merupakan teknik yang tidak efektif dan efisien (Burns, 1993, h: 110-112).

4. Metode-metode respons yang bebas dan tidak berstruktur

Dalam metode ini subjek diminta untuk menyediakan bahan-bahan mengenai dirinya sendiri, biasanya dengan melengkapi kalimat atau membuat sebuah essai dengan tema ’Diri saya’. Namun kedua pendekatan ini juga terdapat

masalah dalam penganalisaan dan mengkuantifikasikan data-datanya. Selain itu, subjek dapat memberikan respon yang tidak akurat dalam merefleksikan

(34)

5. Teknik proyektif

Beberapa peneliti telah berusaha untuk menggunakan teknik-teknik proyektif

untuk mengukur konsep diri yang tidak sadar (unconscious selfconcept), misalnya Friedman, 1955; Mussen dan Jones, 1957; Linton dan Graham, 1959. Mereka menggunakan pendekatan ini karena mereka yakin aspek-aspek

tidak sadar berkaitan dengan teori ini. Akan tetapi, dalam segala hal teknik-teknik proyektif berada dalam keadaan yang jauh lebih tidak pasti daripada

penilaian-penilaian dan skala-skala sikap yang lebih umum digunakan untuk memberikan indeks sikap-sikap diri dalam hal reliabilitas, validitas, dan interpretasi (Burns, 1993, h: 112-113).

6. Wawancara

Metode ini sangat jelas di dalam konseling dan di dalam studi-studi

psikoterapi tentang konsep diri dan perubahan konsep diri. Pendekatan yang berpusat pada klien (client-centered) yang dilakukan oleh Carl Rogers dengan

encounter open-ended-nya merupakan sebuah contoh yang khas dalam metode wawancara untuk pengungkapan aspek penilaian konsep diri individu (Burns, 1993, h: 113).

Dalam penelitian ini, cara yang digunakan untuk mengukur konsep diri subjek adalah dengan skala penilaian model Likert. Hal ini disebabkan karena

(35)

2. 3. Penerimaan Orangtua

2. 3. 1 Definisi penerimaan orangtua

Penerimaan orangtua adalah suatu kondisi dimana seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya yang tidak sesuai dengan harapannya. Penerimaan merupakan tujuan akhir dari orangtua saat mengetahui

anaknya mengalami kecacatan (Kϋbler-Ross dalam Gargiulo, 1985).

Menurut Rogers, penerimaan juga merupakan dasar bagi setiap orang

untuk dapat menerima kenyataan hidupnya, semua pengalaman-pengalamannya, baik maupun buruk dan seseorang membutuhkan situasi yang menghormati dan menghargai tanpa adanya persyaratan. Situasi ini bisa tercapai jika seseorang

merasa diterima apa adanya tanpa ada penilaian atau persyaratan tertentu. Oleh karena itu, penerimaan orangtua merupakan aspek yang penting dalam kehidupan anak berkebutuhan khusus. Penerimaan akan tercapai jika orangtua mampu

membiasakan diri dan ia memulai untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang dialaminya tersebut (Wenworth dalam Gargiulo, 1985, h: 30).

Selain itu, penerimaan orangtua biasanya digambarkan sebagai orangtua penyayang dan penuh kehangatan. Tapi rasa sayang akan lebih efektif ketika orangtua tidak hanya menerima anaknya, tetapi juga menerima keadaan dirinya

sendiri. Orangtua bisa menjadi lebih bijak dalam melakukan penerimaan, jika orang tua bisa menjalankan hidup lebih realistik (sesuai kenyataan yang ada)

(36)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerimaan orangtua merupakan merupakan suatu proses aktif dimana orangtua secara sadar berusaha untuk

memahami dan menghargai anaknya yang berkebutuhan khusus, disertai adanya perasaan hangat, kasih sayang, perhatian, mengasuh, mendukung yang diekspresikan secara fisik maupun verbal tanpa melihat kondisi anak tersebut.

2. 3. 2 Proses penerimaan orangtua

Banyak sekali bentuk reaksi dari orangtua yang muncul ketika mengetahui anaknya mengalami kecacatan, sangat sulit memperkirakan tipe-tipe reaksi yang akan muncul. Pada kebanyakan keluarga, memiliki anak berkebutuhan khusus

merupakan suatu tragedi yang serius. Pada keluarga yang lain, hal ini merupakan sebuah krisis namun dapat diselesaikan (Begab, 1966 dalam Gargiulo, 1985). Namun tetap saja, pada umumnya orangtua tidak mempunyai pengalaman dengan

anak berkebutuhan khusus dan seringnya tidak mempersiapkan hal tersebut. Gargiulo dengan mengadaptasi teori yang dikemukakan oleh Kϋbler-Ross (1969 dalam Gargiulo, 1985) mengemukakan tahapan dari proses penyesuaian orangtua terhadap anaknya yang mempunyai keterbatasan tertentu, yaitu:

1. Fase pertama (Primary Phase)

a. Merasa terguncang (Shock)

Merupakan reaksi awal terhadap gangguan yang terjadi pada anaknya

(37)

menangis terus-menerus dan perasaan tidak berdaya. Orangtua sama sekali tidak siap untuk menghadapi kelainan anak (Gargiulo, 1985, h: 22).

b. Penolakan (Denial)

Orangtua menolak untuk mengenali gangguan pada anak dengan

merasionalisasikan kekurangan yang ada, atau dengan mencari penegasan dari ahli bahwa anak tidak mengalami gangguan (Gargiulo, 1985, h: 22).

c. Duka cita dan depresi (Grief and depression)

Merupakan reaksi yang alami dan tidak perlu dihindari karena dengan

perasaan ini orangtua mengalami masa transisi dimana harapan masa lalu mengenai “anak yang sempurna” disesuaikan dengan kenyataan yang terjadi saat ini. Dalam fase ini rasa duka disebabkan oleh perasaan kecewa

karena memiliki anak penyandang tunadaksa, sedangkan depresi merupakan perasaan marah pada diri sendiri karena telah gagal melahirkan

anak yang normal. Salah satu perilaku paling mungkin muncul pada fase ini adalah penarikan diri dari lingkungan (Gargiulo, 1985, h: 23).

2. Fase kedua (Secondary Phase)

a. Pertentangan perasaan (Ambivalence)

(38)

besar waktunya untuk anak, sedangkan sebagian lagi menolak untuk memberikan kasih sayang pada anak, dan menganggap anak tidak

berguna. Bagi orangtua yang mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk anak dapat menjauhkan orangtua dengan anggota keluarga lainnya, bahkan dapat berakibat perceraian. Sementara itu penolakan orangtua

dapat terlihat melalui sikap orangtua yang menolak untuk mengakui kelainan pada diri anak (Gargiulo, 1985, h: 24).

b. Rasa bersalah (Guilt)

Orangtua mungkin saja merasa bersalah dengan gangguan yang ada pada

anak karena menganggap dialah yang menyebabkan gangguan tersebut atau dihukum karena dosanya di masa lalu. Sehingga wajar saja jika mencoba untuk “membayar” kesalahan tersebut pada anak agar perasaan

bersalah orangtua berkurang. Saat berada pada tahap ini, orangtua biasanya memiliki pemikiran “kalau saja” (Gargiulo, 1985, h: 26).

c. Rasa marah (Anger)

Perasaan ini dapat ditunjukkan dengan dua cara, pertama dengan timbulnya

pertanyaan “Mengapa saya?” dan kedua melalui displacement, dimana rasa

marah ditunjukkan kepada orang lain seperti dokter, suami atau istri atau anak

(39)

d. Keadaan yang memalukan (Shame and embarrasment)

Perasaan ini timbul saat orangtua menghadapi lingkungan sosial yang

menolak, mengasihani, atau mengejek gangguan yang dimiliki oleh si anak. Sikap lingkungan yang seperti ini dapat menurunkan harga diri orangtua, karena beberapa orangtua menganggap anak merupakan penerus

dirinya. Kehadiran anak yang cacat dapat mengancam harga dirinya (Gargiulo, 1985, h: 28).

3. Fase ketiga (Tertiary Phase)

a. Melakukan penawaran (Bargaining)

Merupakan salah satu tahapan akhir proses penyesuaian yang bersifat individual dan jarang terlihat oleh orang lain. Tahapan ini merupakan strategi dimana orangtua berharap membuat “perjanjian” dengan Tuhan,

ilmu pengetahuan atau pihak manapun yang dapat membuat anaknya kembali normal. Misalnya, orangtua membuat pernyataan, “Jika Engkau

dapat menyembuhkan anakku, aku akan mengabdikan diriku pada-Mu” (Gargiulo, 1985, h: 29).

b. Pembiasaan diri dan penataan kembali (Adaptation and reorganization) Dimana adaptasi merupakan proses bertahap yang membutuhkan waktu

(40)

perasaannya, dimana orangtua semakin percaya sendiri dalam berinteraksi dengan anaknya (Gargiulo, 1985, h: 29).

c. Penerimaan dan penyesuaian diri (Acceptance and adjustment)

Proses penerimaan merupakan tujuan akhir, merupakan proses aktif

dimana orangtua secara sadar berusaha mengenali, memahami, dan memecahkan masalah. Tetapi perasaan negatif sebelumnya tidak akan

pernah hilang sama sekali. Pada tahap ini, orangtua menyadari bahwa proses penerimaan tidak hanya menerima kondisi anaknya tetapi juga menerima dirinya sendiri. Selanjutnya orangtua akan melakukan

penyesuaian terhadap perubahan yang dialaminya (Gargiulo, 1985, h: 30).

Menurut Gargiulo (1985) ada beberapa perilaku yang ditunjukkan

berkaitan dengan ketiga tahap penerimaan orangtua, diantaranya sebagai berikut: 1. Kepedihan yang mendalam (Chronic sorrow)

Olhansky (1962, 1966 dalam Gargiulo, 1985) menjelaskan bahwa kepedihan yang mendalam merupakan reaksi yang alami dan reaksi yang dapat dimengerti ketika mengetahui bahwa anaknya mengalami kecacatan. Reaksi

(41)

Olhansky juga menyarankan penerimaan orangtua khususnya ibu akan terjadi ketika dapat mengatasi rasa sedihnya tersebut dan jika ada pelayanan yang

konkrit untuk ibu mengatur dan hidup dengan anaknya yang menyandang tunadaksa.

2. Perilaku mencoba-coba (Shopping behavior)

Anderson (1971 dalam Gargiulo, 1985) menyatakan bahwa perilaku

mencoba-coba ini merupakan sebagai respon yang dipelajari. Perilaku menmencoba-coba-mencoba-coba ini didefinisikan sikap orangtua yang mengunjungi terapis yang sama atau beberapa terapis yang berbeda karena merasa masalah sang anak tidak dapat

diselesaikan oleh terapis yang terdahulu. Respon ini akan bersifat maladaptif karena menghabiskan banyak waktu, energi, dan uang. Perilaku mencoba-coba ini biasanya dipandang sebagai reaksi dari perasaan bersalah dari

orangtua.

3. Penolakan (Rejecting parents)

Orangtua terkadang memiliki penilaian negatif dengan melakukan penolakan terhadap anak yang berkekurangan secara terus-menerus (Gallagher, 1956

dalam Gargiulo, 1985) yang ditandai dengan:

• Memiliki harapan yang rendah terhadap prestasi anak, dimana orangtua

(42)

kurang mampu menghargai kemampuan anak, serta membuat tujuan yang tidak realistis bagi anak dan karenanya tidak memiliki masa depan.

• Membuat tujuan yang tidak realistis dalam hal kematangan sosial dan

emosional. Jika anak tidak mampu mencapai suatu tujuan, orangtua yang

mengetahui ini perasaan negatifnya terhadap anak dapat meningkat lalu menghukum anak tersebut atas ketidakmampuannya itu.

Escape, ditandai dengan mengabaikan anak dan orangtua

merasionalisasikan perilakunya berdasar pada ketidakmampuan mereka untuk merawat anak secara tepat, misalnya menyekolahkan anak di

sekolah khusus (SLB) dan ditempatkan di dalam asrama.

Reaction formation, orangtua mengingkari adanya perasaan negatif pada

anak, dan mengatakan pada orang lain bahwa mereka mencintai dan menerima kondisi anaknya. Reaksi ini menunjukkan adanya mekanisme

pertahanan yang kompleks. Yaitu jika orangtua jujur dan mengakui perasaan negatif mereka akan menjadi orangtua yang menolak. Di sisi lain, jika ibu menutupi perasaannya dan menunjukkan rasa cinta pada anak,

maka ini merupakan reaksi formasi.

4. Kompensasi (Compensating parents)

(43)

anak yang ketiga, yaitu kompensasi, dimana hal tersebut dibangun berdasarkan kombinasi antara penerimaan dan penolakan terhadap kecacatan

anak dan lebih menekankan perilaku dibandingkan dengan perasaan. Orangtua yang kompensasi akan berusaha mengganti sikap penolakan dengan penerimaan. Tetapi hasil yang ditampilkan akan menyebabkan perilaku yang

berbahaya untuk anaknya.

Selain itu, Porter (dalam Jersild, et.al., 1975) menyatakan bahwa terdapat empat bentuk penerimaan orangtua, yaitu:

1. Menunjukkan perasaannya dan respek kepada anak, mengakui bahwa anak

memang berhak untuk mendapatkan perasaan tersebut

2. Menilai bahwa setiap anak itu unik walaupun dalam keterbatasannya

3. Mengakui bahwa seorang anak butuh untuk mandiri dan bisa menjadi

“sesuatu” nantinya

4. Cintai dan sayangi anak tanpa pamrih

2. 4. Kerangka Berpikir

Masa remaja adalah masa persiapan individu untuk memasuki masa

dewasa, yang digambarkan sebagai masa dimana individu sudah harus mencapai kemandirian dan memikul tanggung jawab sendiri terhadap kehidupan

(44)

meningkatkannya – mencapai suatu kondisi yang lebih baik dari yang sudah dimilikinya saat ini. Keinginan untuk mencapai suatu kondisi/keadaan yang lebih

baik ini merupakan suatu motif untuk berprestasi.

Motivasi berprestasi sebagai suatu dorongan atau keinginan untuk mencapai suatu hasil yang lebih baik, memerlukan standar atau patokan sebagai

ukuran keberhasilan. Standar ini sifatnya sangat subjektif, karena ukuran berprestasi bagi individu tertentu belum tentu sama dengan individu lain.

Bagaimana individu mampu mengetahui dan memahami segala kelebihan dan kekurangan diri merupakan salah satu cara untuk dijadikan sebuah patokan untuk pencapaian prestasi. Oleh karena itu, setiap individu seharusnya memiliki

gambaran atau konsep mengenai dirinya. Konsep ini dapat diperoleh dari perumusan individu tentang konsep dirinya.

Akan tetapi, konsep diri yang baik/positif yang mampu memunculkan

tingkah laku untuk mencapai suatu prestasi tidak akan tumbuh dan berkembang jika tidak didukung oleh lingkungan yang baik pula. Lingkungan remaja yang

terdekat selain teman sebaya adalah keluarga, terutama orangtua. Bagaimana sikap orangtua terhadap sang anak sejak kecil mempengaruhi pembentukan konsep diri dan motivasinya hingga ia tumbuh menjadi remaja dan akan

berpengaruh sepanjang hidupnya kelak.

Pada dasarnya tidak ada satu pun orangtua yang meninginkan anaknya

(45)

menginginkan yang terbaik bagi anaknya walaupun anak tersebut berkebutuhan khusus. Dan setiap orangtua dalam menerima keadaan ini berbeda-beda, bisa jadi

reaksi pertama kali ketika tahu bahwa anaknya tidak normal, yaitu ada yang terkejut dan malu, bahkan ada yang menolak dan ada pula yang menerima keadaan anaknya dengan ikhlas dan berlapang dada. Secara umum dalam

menerima anaknya yang mengalami hambatan ini para peneliti mengasumsikan bahwa mereka akan melewati beberapa tahap dalam penerimaan dan penyesuaian

terhadap anak tersebut (Gargiulo, 1985).

Dengan menerima anak berarti menyadari anak sebagai seorang individu yang memiliki perasaan, keinginan, dan kebutuhan yang sama dengan anak-anak

lainnya dan dalam proses ke arah sana orangtua mempunyai tanggung jawab untuk dapat menerima keadaan anaknya dengan apa adanya secara keseluruhan, karena penerimaan orangtua ini akan sangat berpengaruh terhadap keadaan

psikologis mereka, diantaranya adalah dalam pembentukan konsep diri dan motivasi. Dimana segala sikap yang diterima oleh anak tersebut bisa membentuk

pola pikir mereka tentang dirinya. Jika yang diterimanya adalah penerimaan ataupun penolakan dari orangtuanya, maka apakah konsep diri yang dibentuk oleh si anak mengarah pada konsep diri yang baik atau tidak. Begitu pula dengan

motivasi, motivasinya akan berkembang dengan baik jika orangtua mampu memperlakukan anak penuh kehangatan dan cinta kasih. Dengan begitu anak

(46)

semakin buruk atau ia bisa merasa rendah diri sehingga membuat kehidupannya semakin terpuruk dan semakin tidak menumbuhkan rasa/keinginan untuk terus

[image:46.595.115.560.194.669.2]

berprestasi sepanjang hidupnya.

Gambar 2.1.

Bagan Kerangka Berpikir

Remaja Penyandang Tunadaksa

Penerimaan Orangtua - Shock

- Denial

- Grief and depression - Ambivalence

- Guilt - Anger

- Shame and embarrassment - Bargaining

- Adaptation and reorganization

- Acceptance and adjustment

Konsep Diri - Self-image

- Ideal-self - Social selves

Motivasi Berprestasi - Berani mengambil

resiko dalam pemilihan tugas - Membutuhkan

umpan-balik dari orang lain

- Bertanggung jawab - Memiliki kesempatan

(47)

2. 5. Hipotesis

H1 : Ada hubungan yang signifikan antara penerimaan orangtua dengan

motivasi berprestasi remaja penyandang tunadaksa (rx1 > ry)

H2 : Ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan motivasi

berprestasi remaja penyandang tunadaksa (rx2 > ry)

H3 : Ada hubungan yang signifikan antara penerimaan orangtua dan konsep

diri dengan motivasi berprestasi remaja penyandang tunadaksa (rx1x2 > ry)

H0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara penerimaan orangtua dengan

motivasi berprestasi remaja penyandang tunadaksa.

H0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan motivasi

berprestasi remaja penyandang tunadaksa.

H0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara penerimaan orangtua dan

(48)

BAB 3

METODE PENELITIAN

Dalam metode penelitian ini diuraikan mengenai pendekatan dan jenis penelitian yang digunakan, jenis variabel dan definisi operasional dari variabel yang diteliti, populasi dan sampel, alat ukur pengumpulan data, uji validitas dan

reliabilitas alat ukur penelitian, teknik analisa data, dan prosedur penelitian.

3. 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, dimana data yang dihasilkan dari hasil penelitian ini adalah berupa

data kuantitatif yakni data yang berbentuk bilangan. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian korelasional. Jenis penelitian korelasional

digunakan karena penelitian ini dirancang untuk menentukan hubungan antara penerimaan orangtua dan konsep diri dengan motivasi berprestasi remaja penyandang tunadaksa.

3. 2. Jenis Variabel dan Definisi Operasional Variabel 3. 2. 1 Variabel Dependen (Motivasi Berprestasi)

(49)

Definisi operasional: Motivasi berprestasi adalah suatu dorongan yang akan mengarahkan individu untuk bertingkah laku tertentu (mengambil

resiko dalam pemilihan tugas, membutuhkan umpan-balik, bertanggung jawab, memiliki kesempatan untuk unggul, dan inovatif) dengan tujuan

agar dapat mencapai tingkat prestasi tertentu. Dan tingkah laku berprestasi ini akan muncul jika individu merasa bahwa dirinya akan dinilai.

3. 2. 2 Variabel Independen

A. Variabel Independen Pertama (Konsep Diri)

Definisi konseptual: Konsep diri adalah keseluruhan gambaran atau kesadaran yang dimiliki dari diri kita sendiri. Menyangkut tentang persepsi

dari ”I” dan ”me”, bersama perasaan-perasaan, keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai yang ditanamkan olehnya (Atwater dan Duffy, 2002, h: 139). • Definisi operasional: Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki

seseorang tentang dirinya yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri ini

berpengaruh secara kuat pada cara seseorang mempersepsi, menilai, dan bertingkah laku, yang terdiri dari tiga elemen yaitu citra diri (self-image),

(50)

B. Variabel Independen (Penerimaan Orangtua)

Definisi konseptual: Penerimaan orangtua adalah suatu kondisi dimana seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya yang tidak sesuai dengan harapannya. Penerimaan merupakan tujuan akhir dari

orangtua saat mengetahui anaknya mengalami kecacatan (Gargiulo, 1985). • Definisi operasional: Penerimaan yaitu ditandai dengan sikap menerima

atau menolak, yaitu sikap orangtua yang menerima anaknya dengan proses-proses tertentu yang menyandang tunadaksa dengan apa adanya secara menyeluruh, tanpa adanya persyaratan dan tetap menghargai serta

memahaminya sebagai individu yang berbeda dan mendukung perkembangannya.

3. 3. Populasi dan Sampel 3. 3. 1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang setidaknya memiliki sifat atau jenis yang sama. Populasi pada penelitian ini adalah 35 orang siswa,

yaitu 15 orang siswa binaan Panti Sosial Bina Daksa (PSBD) Budi Bhakti, Cengkareng, Jakarta Barat. Populasi yang kedua para siswa SLB-D Yayasan Pengembangan Anak Cacat (YPAC), Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang

(51)

Karena keterbatasan sampel, maka sampel dalam penelitian ini merupakan bagian dari keseluruhan populasi yang ada, yaitu para siswa binaan Panti Sosial

Bina Daksa (PSBD) Budi Bhakti sebanyak 15 orang dan para siswa SLB-D Yayasan Pengembangan Anak Cacat (YPAC) sebanyak 20 orang.

3. 3. 2 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan

teknik sensus, dimana keseluruhan populasi dijadikan sebagai responden penelitian.

3. 4. Alat Ukur Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk pengumpulan data adalah dengan menggunakan skala, yaitu suatu metode pengambilan data yang di dalamnya

berisi daftar pernyataan-pernyataan tertulis yang diajukan kepada subjek (responden). Selain menggunakan skala, dipergunakan juga kuesioner untuk

mendapatkan data pribadi setiap subjek (responden), seperti jenis kelamin, usia, latar belakang keluarga, jenis kecacatan, penyebab kecacatan, serta awal kecacatan guna melihat gambaran umum sampel.

Alat ukur pengumpulan data yang digunakan adalah skala motivasi berprestasi, skala konsep diri, dan skala penerimaan orangtua yang dipersepsikan

(52)

Ketiga skala ini menggunakan skala model Likert yang terdiri dari empat pilihan jawaban, yaitu:

1. Sangat Setuju (SS), jika pernyataan sangat sesuai dengan keadaan diri saya 2. Setuju (S), jika pernyataan sesuai dengan keadaan diri saya

3. Tidak Setuju (TS), jika pernyataan tidak sesuai dengan keadaan diri saya

4. Sangat Tidak Setuju (STS), jika pernyataan sangat tidak sesuai dengan keadaan diri saya

3. 5. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian 3. 5. 1 Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengetahui kelayakan butir-butir pernyataan dari setiap variabel. Validitas setiap item dalam alat ukur ini diuji dengan menggunakan formula Pearson’s Product Moment;

x i x i i x i x x i) (x i

s

s

r

s

s

s

s

r

r

2

2

2

+

=

dimana;

ri(x-I) = Koefisien korelasi

rix = Koefisien korelasi sebelum dikorelasi

Si = Deviasi standar butir ke-i

(53)

3. 5. 2 Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas ini digunakan untuk melihat konsistensi subjek (responden)

dalam menjawab setiap butir-butir pernyataan dari setiap variabel. Uji reliabilitas ini perhitungannya menggunakan koefisien Alpha Cronbach, dengan menggunakan formula sebagai berikut:

+

=

x i

s

s

s

2 22

1

2

α

dimana :

si2 dan s22 = Varian skor belahan 1 dan varian skor belahan 2

sx2 = Varian skor skala

Untuk penghitungannya digunakan perangkat lunak SPSS 17.0 for Windows.

3. 5. 3 Hasil Uji Coba Alat Ukur Penelitian 3. 5. 3. 1 Alat Ukur Motivasi Berprestasi

Alat ukur motivasi berprestasi yang dikembangkan dalam penelitian ini mengukur lima indikator motivasi berprestasi, yaitu:

1. Berani mengambil resiko dalam pemilihan tugas 2. Membutuhkan umpan-balik dari orang lain

3. Bertanggung jawab

(54)

Dari kelima indikator tersebut dibuat enam puluh pernyataan, dengan dua belas pernyataan pada setiap indikatornya.

Tabel 3.1. menyajikan sebaran butir pernyataan tiap indikator motivasi berprestasi yang diukur ketika diujicobakan. Total pernyataan yang dipergunakan dalam uji coba adalah 60 butir pernyataan.

Dari uji coba tersebut didapat butir-butir pernyataan yang memiliki daya beda (validitas) tinggi, yang dapat dipergunakan dalam penelitian. Butir-butir

[image:54.595.113.517.196.689.2]

tersebut adalah butir-butir yang memiliki skor lebih dari batas nilai r tabel (α=0,05, n=35) = 0,334 (Lihat lampiran). Reliabilitas pada skala ini didapat koefisien Alpha sebesar 0,8110.

Tabel 3.1.

Kisi-kisi Alat Ukur Motivasi Berprestasi Nomor Butir

No Aspek Indikator

F UF Jumlah

1 Kognisi

Inovatif 10, 19,

23, 38, 56, 60 25, 12, 21, 34, 48, 58 12 Memiliki kesempatan untuk unggul

28, 4, 20, 33, 49, 47 27, 22, 11, 37, 46, 57 12 2 Afeksi Membutuhkan umpan-balik dari orang lain

2, 4, 15, 31, 42, 54

5, 18, 29,

39, 51, 43 12 Berani mengambil resiko

dalam pemilihan tugas

1, 17, 30, 35, 41, 52

9, 3, 14,

40, 53, 44 12 3 Psikomotor

Bertanggung jawab 28, 13, 6, 36, 45, 59

7, 26, 16,

32, 55, 50 12

(55)

Setelah dipilah butir yang memiliki validitas tinggi dan rendah, diperoleh 20 butir pernyataan valid yang dapat dipergunakan dalam penelitian (Lihat

[image:55.595.114.518.237.605.2]

lampiran). Empat puluh butir pernyataan tidak memenuhi syarat (tidak valid) untuk dipergunakan dalam penelitian, karena skor yang dihasilkan pada ke-40 pernyataan tersebut kurang dari batas nilai r tabel (α=0,05, n=35) = 0,334. Kisi-kisi alat ukur motivasi berprestasi yang bisa dipergunakan dalam penelitian diperlihatkan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2.

Butir-butir Pernyataan Alat Ukur Motivasi Berprestasi Nomor Butir

No Aspek Indikator

F UF Jumlah

1 Kognisi

Inovatif 10, 19,

23*, 38*, 56, 60 25, 12, 21*, 34*, 48, 58 8 Memiliki kesempatan untuk unggul 8*, 24*, 20*, 33*, 49*, 47 27*, 22*, 11*, 37*, 46*, 57 2 2 Afeksi Membutuhkan umpan-balik dari orang lain

2*, 4*, 15*, 31, 42, 54* 5*, 18*, 29*, 39, 51, 43* 4 Berani mengambil resiko dalam pemilihan tugas 1*, 17*, 30*, 35*, 41, 52* 9*, 3*, 14*, 40*, 53, 44* 2 3 Psikomotor

Bertanggung jawab 28*, 13*, 6*, 36, 45*, 59 7*, 26*, 16*, 32, 55*, 50 4

(56)

3. 5. 3. 2 Alat Ukur Konsep Diri

Alat ukur konsep diri yang dikembangkan dalam penelitian ini mengukur

tiga dimensi konsep diri, yaitu: 1. Citra diri (Self-image) 2. Diri ideal (Ideal-self)

3. Diri sosial (Social selves)

[image:56.595.112.515.189.561.2]

Dari ketiga dimensi tersebut dibuat enam puluh pernyataan, dengan dua puluh pernyataan pada setiap indikatornya.

Tabel 3.3. menyajikan sebaran butir pernyataan tiap dimensi dari konsep diri yang diukur ketika diujicobakan. Total pernyataan yang dipergunakan dalam

uji coba adalah 60 butir pernyataan.

Dari uji coba tersebut didapat butir-butir pernyataan yang memiliki daya beda (validitas) tinggi, yang dapat dipergunakan dalam penelitian. Butir-butir

(57)
[image:57.595.114.519.143.622.2]

Tabel 3.3.

Kisi-kisi Alat Ukur Konsep Diri Nomor Butir

No Dimensi Indikator

F UF Jumlah

1 Citra diri (Self-image)

• Persepsi diri • Pengaruh

significant other

• Perlakuan dan pandangan orangtua

1, 2, 4, 16, 17, 19, 31, 44, 48, 56

3, 5, 18, 20, 32, 33, 38, 51, 53, 59

20

2

Diri ideal (Ideal-self)

• Melakukan sesuatu sesuai dengan harapan orang lain • Nilai-nilai yang ditanamkan orang lain • Aspirasi diri

6, 7, 9, 21, 22, 24, 34, 42, 50, 52

8, 10, 23, 25, 35, 36, 40, 47, 55, 58

20

3

Diri sosial (Social selves)

• Perasaan seseorang tentang bagaimana orang lain melihat dirinya • Pengaruh cara

pandang orang lain

• Kualitas diri yang terbentuk dari

lingkungan

11, 12, 26, 27, 28, 37, 39, 46, 54, 60

13, 14, 15, 29, 30, 41, 43, 45, 49, 57

20

Jumlah 60 60 60

Setelah dipilah butir yang memiliki validitas tinggi dan rendah, diperoleh

(58)

pernyataan tersebut kurang dari batas nilai r tabel (α=0,05, n=35) = 0,334. Kisi-kisi alat ukur konsep diri yang bisa dipergunakan dalam penelitian diperlihatkan

[image:58.595.114.517.189.685.2]

pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4.

Butir-butir Pernyataan Alat Ukur Konsep Diri Nomor Butir

No Dimensi Indikator

F UF Jumlah

1 Citra diri (Self-image)

• Persepsi diri • Pengaruh

significant other

• Perlakuan dan pandangan orangtua

1*, 2, 4*, 16, 17*, 19, 31, 44, 48*, 56

3*, 5, 18*, 20, 32*, 33, 38, 51, 53*,

59

12

2

Diri ideal (Ideal-self)

• Melakukan sesuatu sesuai dengan harapan orang ain • Nilai-nilai yang

ditanamkan orang lain • Aspirasi diri

6*, 7*, 9, 21*, 22*, 24*, 34*, 42*, 50*, 52

8*, 10*, 23, 25*, 35*, 36*, 40*, 47*, 55*, 58

4

3

Diri sosial (Social selves)

• Perasaan seseorang tentang bagaimana orang lain melihat dirinya • Pengaruh cara

pandang orang lain

• Kualitas diri yang terbentuk karena lingkungan 11*, 12*, 26*, 27*, 28*, 37*, 39, 46*, 54*, 60 13*, 14*, 15*, 29*, 30*, 41*, 43, 45*, 49*, 57 4

(59)

3. 5. 3. 3 Alat Ukur Penerimaan Orangtua

Alat ukur penerimaan orangtua yang dikembangkan dalam penelitian ini

mengukur sepuluh dimensi penerimaan orangtua, yaitu: 1. Merasa tergu

Gambar

gambaran diri dari anak-anak yang mempunyai hambatan fisik dan yang tidak
Gambar 2.1.
Tabel 3.1.
Tabel 3.2.
+7

Referensi

Dokumen terkait

TERHADAP PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK KELOMPOK B DI TK PERTIWI 1 SINE SRAGEN.. TAHUN

[r]

[r]

Oleh sebab itu dosa dan kerajaan maut sudah tidak memiliki tempat dan masa depan lagi karena orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus tidak akan menikmati kerajaan

Aplikasi desktop kasir adalah aplikasi desktop yang digunakan admin untuk memasukkan, menghapus, memperbaharui transaksi, retur barang, pegawai, dan pelanggan.. Dari

Berbeda dengan metode perkolasi, pada metode reperkolasi kecepatan alir perkolator yang digunakan adalah kecepatan maksimal, kemudian ekstraksi dilakukan berulang selama

Tujuan Penelitian: Merancang corporate identity MONK sebagai brand lokal produk sepatu handmade dan custom berupa identitas visual tetap yang berkarakter dan media

Pembagian beban kerja yang tidak seimbang mengakibatkan banyak waktu tenaga, biaya yang terbuang karena terjadi stagnasi pada operasi- operasi tertentu, misalnya pada stasiun