BAB I PENDAHULUAN
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah.
Selain itu, penelitian juga dapat digunakan untuk menentukan, mengembangkan dan
29Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
30Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hal. 1398
31Lihat Pasal 38 jo Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
32Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hal. 947
33Lihat Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
menguji kebenaran. Dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapat jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis, metodelogi yang merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Seseorang dalam melakukan penelitian harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.34 Pada penelitian ini, jelas bahwa bidang ilmu hukum yang menjadi landasan ilmu pengetahuan induknya. Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum.
Menurut “Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau gejala hukum tertentu dengan jelas menganalisanya”.35
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian mengenai, “Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri Dan Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia Yang Beragama Non Muslim (Kajian Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn)”, merupakan penelitian hukum normatif atau yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang sesuai atau berkaitan dengan peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat, seperti yang terdapat dalam
34Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumateri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2006), hal. 9
35Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal. 43
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.36
Penelitian yuridis normatif merupakan prosedur penelitian untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai suatu sistem norma yang digunakan untuk memberikan justifikasi prespektif tentang suatu peristiwa hukum.
Penelitian ini dilakukan dengan maksud memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu, apakah sesuatu penstiwa sudah benar atau salah serta bagaimana sebaliknya peristiwa itu menurut hukum.37 Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute Aprroach). Pendekatan peraturan perundangan (Statute Aprroach) adalah penelaahan semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani38, yaitu “Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri Dan Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia Yang Beragama Non Muslim (Kajian Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn)”.
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek
36Zainuddin Ali, Metode Penelitian hukum, (Jakata: Sinar Grafika, 2010), hal. 12-105
37Ronny Hanintijo Soemitro, Op.Cit, hal. 146
38 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 93
penelitian.39 Deskriptif analitis merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.40 Penulisan ini akan memberikan gambaran atau suatu fenomena yang berhubungan dengan tanggung jawab suami terhadap nafkah anak dan istri untuk yang beragama non Islam.
2. Sumber data
Dalam penelitian hukum normatif data yang digunakan adalah data sekunder41, maka didalam penelitian hukum normatif yang termasuk data sekunder, yaitu:
a. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang mengikat dengan permasalahan dan tujuan penelitian42, antara lain :
1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan
39Ronny Hanintijo Soemitro, Op.Cit, hal. 105
40Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hal.78
41Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 23-24
42Ibid, hal. 13
pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer43 yang terdiri dari :
1) Buku-buku;
2) Jurnal;
3) Majalah;
4) Artikel;
5) dan berbagai tulisan lainnya.
c. Bahan hukum tertier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder44, seperti:
1) Kamus;
2) Ensiklopedi dan lain sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber data, karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan (library research).45 Studi kepustakaan digunakan terutama untuk mengumpulkan data-data
43Ibid
44Ibid
45Studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai keperluan, misalnya:
a) Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan yang digunakan;
b) Sebagai sumber data sekunder;
c) Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan yang digunakan;
d) Mendapatkan Informasi tentang cara evaluasi atauanalisis data yang dapat digunakan;
e) Memperkaya ide-ide baru;
melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan pakar hukum, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penulisan ini.
Selain itu, juga akan dilakukan wawancara kepada informan yang pelaksanaannya secara terarah (directive interview).46 Pemilihan informan dilakukan dengan mengutamakan segi kompetensi ilmu yang diperkirakan sarat dengan informasi yang dibutuhkan. Dalam hal ini yang dianggap sesuai, yaitu : hakim di Pengadilan Negeri Medan dan Kasubag Penyusunan Program Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Medan.
4. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disaran oleh data.47 Analisis data yang akan dilakukan secara kualitatif. Kegiatan ini diharapkan akan dapat memudahkan dalam menganalisis permasalahan yang akan dibahas, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan. Peraturan perundang-undangan dianalisis secara kualiatif dengan menggunakan logika berfikir dalam menarik kesimpulan yang dilakukan secara deduktif48, pada akhirnya dapat menjawab permasalahan penelitian ini.
f) Mengetahui siapa saja peneliti lain dibidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut.
Lihat Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hal. 112-113
46Ronny Hanitijo Soemitro,Op .Cit, hal. 55
47 Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategoridan satuan uraian dasar. Analisa berbeda dengan penafsiran yang memberikan arti yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara dimensi. Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 280
48Penarikan kesimpulan yang dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang konkret. Lihat Jhonny Ibrahim, Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu Media, 2005), hal. 393
BAB II
PENGATURAN DAN TANGGUNG JAWAB SUAMI TERHADAP NAFKAH ANAK SERTA ISTRI PASCA PERCERAIAN BAGI WARGA NEGARA
INDONESIA YANG NON MUSLIM
A. Perkawinan Di Indonesia 1. Pengertian Perkawinan
Keberadaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah membawa Indonesia ke arah pembaharuan hukum.49 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan keberadaannya telah menghapus hukum kolonial dan sekaligus implementasi dari Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hukum kolonial yang dihapus dengan keberadaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu :50
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) secara khusus buku I Tentang Orang,
b. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74),
c. Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemengde Huwelijke S. 1898 No. 158),
d. Dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.
49Ermansjah Djaja menyebutkan pembaharuan hukum dengan kata Pembaru hukum adalah seperti 2 (dua) sisi mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan dan saling mendukung, sisi yang satu ialah fungsi pembaru hukum bagi hukum-hukum positif yang sudah kadaluarsa atau yang sudah ketinggalan zaman yang memerlukan pembaruan dengan disesuaikan pada situasi dan kondisi perkembangan dan kemajuan masyarakat pada waktu itu, sedangkan sisi satu lagi adalah fungsi pembaru hukum dengan membentuk hukum-hukum positif yang baru yang disebabkan oleh aspek-aspek pembaruan hukum. Ermansjah Djaja, Penyelesaian Sengketa Hukum Teknologi Informasi Dan Transaksi Elektrik : Kajian Yuridis Penyelesaian Secara Non Litigasi Melalui Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Yogyakarta: Pustaka Timur, 2010), hal. 2
50Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Keberadaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan implementasi dari Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berbunyi :
”Segala peraturan perundang-undangan yang masih ada tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Artinya, peraturan perundang-undangn yang telah ada sejak zaman kolonial tetap berlaku selama belum diterbitkan/diadakan yang baru dimana keberlakuan undang-undang zaman kolonial didasari oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum atau ketidakpastian hukum.51 Dengan terbitnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka berdasarkan aturan peralihan di atas hukum kolonial dinyatakan tidak berlaku lagi sehingga dapat dikatakan dibidang perkawinan Indonesia telah memiliki aturan hukum sendiri.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan pengertian perkawinan yang termuat dalam Pasal 1, berbunyi :52
51Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai Dengan Urutan Bab, Pasal, Dan Ayat, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2010), hal. 132. Keberadaan sebuah aturan atau hukum harus memiliki 3 (tiga) nilai dasar seperti yang dinyatakan oleh Gustav Radbruch, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Saiful Anwar & Marzuki Lubis, Op.Cit, hal. 7. Tidak hanya sebatas pada keadilan, kemanfaatan dan kepastian saja keberadaan sebuah peraturan perundang-undangan juga harus melihat tindakan penguasa dimana tindakan yang dimaksud ialah tindak untuk menyelamatkan negara/bangsa dari ancaman bahaya yang disebut salus populisupreme lex atau kepentingan rakyat merupakan hukum yang tertinggi. Saiful Anwar, Sendi-Sendi Hukum Tata Negara (Era Reformasi), (Medan: Gelora Madani Press, 2004), hal. 39-40
52Berbanding terbalik dengan penyebutan perkawinan didalam KUH Perdata dimana disana perkawinan hanya dianggap hubungan perdata. Artinya, dapat dilihat bahwa tidak ada nilai-nilai lain selain individualis yang termuat didalamnya dan ini sangat bertentangan dengan Pancasila. Hal
”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pengertian di atas yang tercantum dalam undang-undang merupakan rumusan yang wajib dirujuk dalam setiap pembahasan mengenai perkawinan terutama dari segi hukum. Namun, keberadaan pengertian di atas juga harus didukung atau dilihat pendapat-pendapat ahli mengenai pengertian perkawinan secara khusus ahli hukum agar lebih jelas pengggambaran mengenai perkawinan jika dilihat dari segi pengertian atau arti.
Berikut beberapa pengertian perkawinan menurut para ahli, yaitu :
a. Anwar Harjono menyebut perkawinan dengan menggunakan istilah pernikahan dan mengatakan, ”pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan Perempuan untuk membentuk keluarga bahagia”.53 b. Wirjono Prodjodikoro mengatakan, ”perkawinan adalah hidup bersama dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan”.54
c. K. Wantjik Saleh mengatakan, ”perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan materiil, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu seharusnyalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas pertama dalam Pancasila”.55
tersebut tercantum didalam Pasal 26 KUH Perdata, berbunyi : ”Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”.
53R. Abdul Djamali, Hukum Islam, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 47
54Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 3
55Ibid, hal. 6
d. Hilman Hadikusuma mengatakan, ”perkawinan adalah perbuatan suci, yaitu suatu perikatan jasmani dan rohani antara 2 (dua) pihak dalam memenuhi perintah Tuhan Yang Maha Esa yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai dan tidak dibenarkan terjadinya perkawinan beda agama agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta bertetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing”.56
e. Mardani mengatakan, ”perkawinan atau nikah adalah akad yang membolehkan terjadinya istimta’ (melakukan perbuatan yang menyenangkan) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan”.57
f. Saidus Syahar mengatakan, ”perkawinan adalah suatu perbuatan hukum dimana setiap perbuatan hukum yang sah ialah yang menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak (suam-istri) dan atau juga bagi pihak lain/ketiga dengan siapa salah satu pihak atau kedua-duanya-suami istri mengadakan hubungan hukum tertentu”.58
g. Pengertian perkawinan pada bagian ini dirujuk berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang juga dikenal sebagai pelaksana Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dimana aturan tersebut berlaku untuk warga negara Indonesia yang beragama Islam,
”Perkawinan menurut agama Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah”.59
56Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat Dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hal. 10
57Mardani, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hal. 4
58Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya (Ditinjau dari Segi Hukum Islam), (Bandung: Alumni, 1981), hal. 18
59Pasal 2 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Kedudukan Inpres No.
1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam jelas merupakan aturan pelaksana dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dimana undang-undang tersebut merupakan aturan pokok yang berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia. Kompilasi Hukum Islam jelas tidak
Berdasarkan uraian di atas maka pengertian perkawinan adalah ikatan yang sangat kuat baik lahir maupun batin antara pria dan wanita dimana tujuan hubungan tersebut untuk memperoleh kebahagian dunia maupun akhirat sebagai suami isteri dan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta agama yang dianut oleh masing-masing pihak (sama). Artinya, pelaksanaan perkawinan yang akan dilaksanakan oleh pria dengan wanita harus juga dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dimana agama antara calon mempelai laki-laki dan wanita harus memiliki agama yang sama. Dengan demikian, dapat dikatakan perkawinan yang dilakukan antara agama yang berbeda tidak dapat dilaksanakan karena tidak satupun agama yang ada di Indonesia yang mengizinkan perkawinan beda agama.
Merujuk pada pengertian yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka unsur-unsur yang tercantum didalamnya, yaitu :
a. Ikatan lahir batin,
b. Antara seorang pria dengan seorang wanita, c. Sebagai suami isteri,
memiliki kekuatan layaknya undang-undang perkawinan karena hanya terletak atau tercantum dalam Inpres, hal ini disebabkan karena ini merupakan persoalan yang sangat sensitif untuk dilakukan di Negara Indonesia yang sangat plural dari sisi agama atau teologi. Ramlan Yusuf Rangkuti, Zakiah Dan Aisyah, Hukum Islam, (Medan: Bartongjaya, 2014), hal. 103. Namun secara teoritis Instruksi baik Presiden maupun Menteri tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan karena sifat instruksi itu merupakan individual dan konkret serta harus ada hubungan atasan dan bawahan secara organisatoris sedangkan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan adalah umum, abstrak dan berlaku terus-menerus. Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi Dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal. 79
d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Unsur-unsur yang termuat dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak jauh berbeda dengan pengertian perkawinan yang diuraikan pada alinea sebelumnya di atas. Hal itu dapat dilihat sebagai berikut :
a. Ikatan lahir batin, didalam pengertian di atas diungkapkan dengan kalimat ikatan yang sangat kuat baik lahir maupun batin.
b. Antara seorang pria dengan seorang wanita sama dengan pria dan wanita.
c. Sebagai suami isteri sama dengan suami isteri.
d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal sama dengan memperoleh kebahagian dunia maupun akhirat.
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sama dengan agama yang dianut oleh masing-masing pihak (sama).
f. Perbedaannya terletak pada bagian terakhir yakni berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dimana didalam pengertian menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak tercantum.
2. Pengaturan Perkawinan Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ialah pada tanggal diundangkan, yakni tanggal 2 Januari 197460 menjadikan perkawinan
60 Hal tersebut sesuai dengan sesuai dengan Pasal 67 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :
mutlak mengacu pada undang-undang tersebut sedangkan undang-undang yang pernah berlaku sampai sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pengaturan terhadap perkawinan yang tercantum dalam Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 terdiri atas beberapa bab, yaitu : a. Bab I Dasar Perkawinan
b. Bab II Syarat-Syarat Perkawinan c. Bab III Pecegahan Perkawinan d. Bab IV Batalnya Perkawinan e. Bab V Perjanjian Perkawinan
f. Bab VI Hak Dan Kewajiban Suami Istri g. Bab VII Harta Benda Dalam Perkawinan h. Bab VIII Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya i. Bab IX Kedudukan Anak
j. Bab X Hak Dan Kewajiban Antara Orang Tua Dan Anak k. Bab XI Perwalian
l. Bab XII Ketentuan-Ketentuan Lain m. Bab XIII Ketentuan Peralihan n. Bab XIV Ketentuan Penutup
(1) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya yang pelaksaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Hal-hal dalam undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bab-bab yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menggambarkan secara jelas proses berlangsungnya perkawinan di Indonesia.
Perkawinan di Indonesia dalam proses pelaksanaanya harus dilakukan dengan ketentutan agama atau kepercayaan masing-masing dari calon mempelai dimana setelah proses secara agama selesai maka perkawinan tersebut harus dicatatkan oleh pejabat yang berwenang.61 Ikatan yang telah terjalin tersebut atau perkawinan di Indonesia memberi hak kepada seorang pria hanya memiliki seorang wanita sebagai istri begitu juga sebaliknya seorang wanita hanya dapat memiliki seorang pria sebagai suaminya.62 Namun, terkait dengan hal tersebut seorang pria tidak menutup kemungkinan untuk memiliki istri lebih dari 1 (satu) dengan beberapa syarat, yaitu :63
61Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi : (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa hukum yang keadaannya secara kuat dapat dibuktikan melalui surat dalam hal ini pencatatan, sehingga jika terjadi suatu sengketa dalam perkawinan atau permasalahan yang muncul dari perkawinan maka dengan adanya surat peristiwa hukum, yakni perkawinan dapat lebih mudah dibuktikan dan petugas pencatatan ialah pegawai pencatatan sipil atau pegawai kantor urusan agama. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta:
Liberty, 2006), hal. 147-151
62Sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi : (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang
wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
63 Sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat, sebagai berikut :
a. adanya perjanjian dari istri/istri-istri,
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri dan anak-anak mereka,
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
a. Adanya persetujuan atau perjanjian dari istri sebelumnya,
b. Adanya jaminan kemampuan dari suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak (termasuk dalam hal ini kepentingan jasmani dan rohani),
c. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap anak dan istri-istrinya.
Persyaratan di atas muncul dari beberapa sebab, yaitu :64 a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya,
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Konsep seorang pria dapat memperoleh istri lebih dari satu di atas harus melalui penetapan pengadilan baik pengadilan agama maupun pengadilan negeri yang berwenang mengadili.65 Dengan adanya uraian di atas mengenai seorang pria hanya bisa memiliki seorang istri dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ditambah seorang pria ternyata dapat memiliki istri lebih dari 1 (satu) ialah melalui penetapan pengadilan, maka keadaan demikian disebut dengan monogami tidak mutlak.
Selanjutnya jika seorang pria atau wanita belum pernah menikah atau pernah menikah harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :66
64 Sesuai dengan dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan