• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

S U A I B 147011162/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

S U A I B 147011162/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)

182/PDT.G/2014/PN.MDN) Nama Mahasiswa : SUAIB

Nomor Pokok : 147011162

Program Studi : KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing Pembimbing

(Dr.Idha Aprilyana Sembiring,SH,MHum) (Dr.Utary Maharany Barus,SH,MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum)

Tanggal lulus : 07 February 2017

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum

2. Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Rosnidar Sembiring, SH, MHum

(5)

Nama : SUAIB

Nim : 147011162

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : TANGGUNG JAWAB SUAMI TERHADAP NAFKAH

ISTRI DAN ANAK PASCA KEPUTUSAN

PERCERAIAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG BERAGAMA NON MUSLIM (PUTUSAN

PENGADILAN NEGERI MEDAN NO.

182/PDT.G/2014/PN.MDN)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : SUAIB Nim : 147011162

(6)

Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn tidak tercantum mengenai nafkah yang wajib diberikan kepada mantan istri. Ini membawa kepada perlu dikaji mengenai Pengaturan dan tanggung jawab suami terhadap nafkah anak serta istri pasca perceraian bagi warga negara Indonesia yang non muslim, Upaya hukum bagi anak dan istri terhadap nafkah yang tidak diberikan oleh suami pasca perceraian bagi warga negara Indonesia yang non muslim dan Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pemberian nafkah istri dan anak di dalam putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif, dan bersifat deskriptif analitis yang memaparkan sekaligus menganalisis suatu fenomena yang berhubungan dengan tanggung jawab suami terhadap nafkah istri dan anak pasca putusan perceraian bagi warga negara Indonesia yang beragama non muslim (kajian putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn).

Hasil penelitian menunjukkan, perihal Pengaturan dan Tanggung jawab suami terhadap nafkah kepada anak dan istri pasca perceraian bagi warga negara Indonesia yang non muslim tercantum dalam Peraturan perundang-undangan Pasal 45 dan Pasal 47 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil jo Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Namun, pengaturan dalam peraturan perundang-undangan itu tidak termuat besarnya jumlah nafkah dan jenis-jenis nafkah yang harus dibebankan kepada suami kecuali untuk anak tercantum jelas tentang biaya pendidikan dan pemeliharaan sedangkan kepada istri hanya diatur hak istri dari seorang suami yang berprofesi sebagai PNS yang mendapat ½ dari gaji dan jika ada anak maka akan dibagi 1/3 atas masing-masing pihak sampai istri menikah lagi dengan laki-laki lain akan tetapi untuk anak tetap diberi nafkah. Perihal Upaya hukum jika suami tidak memberikan nafkah kepada istri dan anak pasca perceraian bagi warga negara Indonesia yang non muslim ialah melakukan permohonan eksekusi ke pengadilan negeri karena putusan perceraian disertai nafkah didalamnya termasuk kedalam putusan comdemnatoir yang mana jelas bahwa objek eksekusi yang dimaksud ialah nafkah yang tidak dibayar oleh mantan suami. Perihal Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pemberian nafkah istri dan anak di dalam putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn dimana hakim dalam pertimbangannya tidak memasukkan unsur nafkah dan tidak memutus persoalan nafkah disebabkan penggugat dalam gugatannya tidak menguraikan persoalan tuntutan nafkah hanya perceraian dan hak penguasaan anak sehingga sesuai dengan asas ultra ne petita, hakim hanya memutus berdasarkan tuntutan dalam

(7)

Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sehingga persoalan nafkah bagi mantan istri jelas pengaturannya terutama jenis-jenis nafkah yang dapat diberikan kepada mantan istri seperti yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam.

Diharapkan agar lebih mempertegas persoalan nafkah yang tidak ingin dibayarkan oleh mantan suami terhadap anak dan mantan istrinya selain upaya eksekusi disusun klausula atau aturan pidana sehingga tidak ada lagi mantan suami yang enggan memenuhi nafkah kepada mantan istri dan anak dan Diharapkan para pihak yang ingin melakukan gugatan perceraian dan benar-benar ingin bercerai secara khusus istri harus melakukan tuntutan nafkah dalam petitum surat gugatan dikarena hakim peradilan belum berani untuk memutus keluar dari asas ultra ne petita dimana hakim hanya memutus berdasarkan tuntutan dari para pihak bukan diluar tuntutan para pihak.

Kata Kunci : Perkawinan, Perceraian Dan Nafkah

(8)

182/Pdt.G/2014/PN.Mdn not listed on the living that must be given to the ex-wife.

This led to the need to be assessed on the setting and the husband's responsibility towards living children and wife after divorce for Indonesian citizens are non- Muslims, remedy for children and a wife to make a living is not given by the husband after the divorce for Indonesian citizens that non-Muslims and Considerations law judges in decisions about the delivery of my wife and child living in the Medan District Court No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn.

This study is normative, descriptive and analytical explained as well as analyzing a phenomenon associated with the husband's responsibility to make a living wife and children after the divorce ruling for Indonesian citizens who are non- Muslims (the study of the Medan District Court decision No.

182/Pdt.G/2014/PN.Mdn).

The results showed, on Regulation and responsibility of the husband to the wife and child maintenance to post-divorce for Indonesian citizens that non-Muslims are listed in the legislation of Article 45 and Article 47 of Law No. 1 Year 1974 About Marriage in conjunction with Article 8 of Government Regulation No. 10 1983 About Licensed Marriage And Divorce For Civil Servants in conjunction with Article 8 of Government Regulation No. 45 of 1990 on Amendment of Government Regulation No. 10 of 1983 About Licensed Marriage And Divorce For Civil Servants. However, the setting in legislation was not included the large number of providers and the types of income that must be charged to the husband except for children listed clearly on the cost of education and maintenance, while the wife is only regulated the right of the wife of a husband who is a civil servant who gets ½ of salary and if children will be divided 1/3 on each side until his wife remarried with another man's child but still be living. Regarding legal action if the husband does not give maintenance to his wife and children after divorce for Indonesian citizens that non-Muslims are doing the petition to the district court for the verdict of divorce is accompanied living in it belongs to the ruling comdemnatoir that where it is clear that the object of execution which mean that the living are not paid for by ex-husband. Considerations regarding judges in decisions about the delivery of my wife and child living in the Medan District Court No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn which the judge in the judgment did not include elements of a living and did not decide the issue of living due to the plaintiff in the lawsuit did not elaborate on the issue of divorce and the demands of living is only right to control the child so in accordance with the principle of ne ultra petita, judges only decide based on the demands in the lawsuit petition.

It is expected the legislature to amend Act No. 1 Year 1974 On the issue of living for the marriage so that the former wife of clear regulation, especially the types of income that can be given to ex-wife as listed in the Compilation of Islamic

(9)

wife must do the demands of living in the lawsuit petition dikarena judicial magistrate has not dared to break out of the principle of ne ultra petita where judges only decide based on the demands of the parties is not beyond the demands of the parties.

Keywords: Marriage, Divorce And Livelihoods

(10)

Alhamdulillah Puji dan Syukur kehadirat Allah S.W.T karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulisan tesis yang berjudul “TANGGUNG JAWAB SUAMI TERHADAP NAFKAH ISTRI DAN ANAK PASCA PUTUSAN PERCERIAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG BERAGAMA NON MUSLIM (PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NO.182/PDT.G/2014/PN.mdn)”, telah dapat diselesaikan. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, ucapan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD., Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, S.H, M.Hum., dan Ibu Dr. Utary Maharany Barus, S.H, M.Hum., selaku komisi pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M. Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan selama menyelesaikan

(11)

Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan selama menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A. SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan serta arahan yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti proses kegiatan perkuliahan.

6. Seluruh staff/ pegawai di Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama ini dalam menjalankan pendidikan.

7. Pihak Pengadilan Negeri Medan dan Kantor catatan Sipil Kota Medan yang telah membantu mengumpulkan data serta semua pihak yang telah berkenan memberi

(12)

8. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi di Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya Ely yusnita,Beby muhasnah,Salawaty suyetno, Sofiyati,Erlina Napitupiluh,Ramadan Putera Bakti,Hasan Salam T,Fauzi Aldy,dan Deo Andika,serta rekan-rekan MKn USU yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis baik berupa masukan dan dukungan dalam penulisan tesis ini, sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih baik.

Kemudian juga Motivator terbesar dalam hidup penulis yang selalu memberikan doa, cinta, kasih sayang, semangat serta dukungan yang tidak henti- hentinya kepada penulis, yaitu Ayahanda (Alm) H.Usman Bancin. Walaupun sudah 1(satu) Tahun yang lalu meninggalkan kami pesan dan perkataan mu akan selalu kami ingat serta doa kami akan selalu menyertaimu, Ibunda Hj.Salimah Limbong, Abanganda Supardi Bancin S.E,M.M.,Al Hidayat S.T.,DR.Al Hilal M.Kes., kakaknda Hj. Siti Asiah.,(Almh) Nurhayati,yang 6(enam) bulan lalu juga telah meninggalkan kami terima kasih atas dukungan mu selama ini doa kami akan selalu menyertaimu., Mislaini A.md., dan adinda Usda Yani S.E,. ucapan terimakasih juga kepada yang tersayang DRG. Ayuni Alfiyanda Pane,.

(13)

Wassalammu’alaikum Wr. Wb.

Medan, Februari 2017 Penulis,

(Suaib)

(14)

Nama : Suaib

Tempat/ Tanggal Lahir : Gunung Lagan,21 Februari 1990

Alamat : Jln. Karya Kasih.Komplek Bukit Johor

Mas Blok F.No.6, Kelurahan Pangkalan Mansyur, Medan Johor.

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Umur : 27 Tahun

Kewarganegaraan : Indonesia

Nama Ayah : (Alm) H.Usman Bancin

Nama Ibu : Hj. Salimah Limbong

II. PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : SD Negeri 1 Rimo (1997-2003)

Sekolah Menengah Pertama : SLTP Negeri 1 Gunung Meriah (2003- 2006) Sekolah Menengah Atas : SMA Plus Swasta Al-Azhar Medan (2006-

2009)

Universitas : S1 Fakultas Hukum UMSU Medan (2009-2013) Universitas : S2 Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara (2014- 2017)

(15)

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Konsepsi ... 15

G. Metode Penelitian ... 16

BAB II PENGATURAN DAN TANGGUNG JAWAB SUAMI TERHADAP NAFKAH ANAK SERTA ISTRI PASCA PERCERAIAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG NON MUSLIM ... 22

A. Perkawinan Di Indonesia ... 22

B. Tanggung Jawab Suami Pasca Perceraian Terhadap Nafkah Kepada Anak Dan Istri Bagi Warga Negara Indonesia Yang Non Muslim ... 40

BAB III UPAYA HUKUM BAGI ANAK DAN ISTRI TERHADAP NAFKAH YANG TIDAK DIBERIKAN SUAMI PASCA PERCERAIAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG NON MUSLIM ... 59

A. Hak Anak Dan Perempuan Di Indonesia ... 59

(16)

PUTUSAN TERHADAP PEMBERIAN NAFKAH ISTRI DAN ANAK DI DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI

MEDAN NO. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn ... 84

A. Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn ... 84

1. Gugatan ... 84

2. Jawaban ... 88

3. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan No.182/Pdt.G/2014/PN.Mdn ... 89

4. Analisa Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan No.182/Pdt.G/2014/PN.Mdn ... 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

A. Kesimpulan ... 104

B. Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 107

(17)

Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn tidak tercantum mengenai nafkah yang wajib diberikan kepada mantan istri. Ini membawa kepada perlu dikaji mengenai Pengaturan dan tanggung jawab suami terhadap nafkah anak serta istri pasca perceraian bagi warga negara Indonesia yang non muslim, Upaya hukum bagi anak dan istri terhadap nafkah yang tidak diberikan oleh suami pasca perceraian bagi warga negara Indonesia yang non muslim dan Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pemberian nafkah istri dan anak di dalam putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif, dan bersifat deskriptif analitis yang memaparkan sekaligus menganalisis suatu fenomena yang berhubungan dengan tanggung jawab suami terhadap nafkah istri dan anak pasca putusan perceraian bagi warga negara Indonesia yang beragama non muslim (kajian putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn).

Hasil penelitian menunjukkan, perihal Pengaturan dan Tanggung jawab suami terhadap nafkah kepada anak dan istri pasca perceraian bagi warga negara Indonesia yang non muslim tercantum dalam Peraturan perundang-undangan Pasal 45 dan Pasal 47 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil jo Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Namun, pengaturan dalam peraturan perundang-undangan itu tidak termuat besarnya jumlah nafkah dan jenis-jenis nafkah yang harus dibebankan kepada suami kecuali untuk anak tercantum jelas tentang biaya pendidikan dan pemeliharaan sedangkan kepada istri hanya diatur hak istri dari seorang suami yang berprofesi sebagai PNS yang mendapat ½ dari gaji dan jika ada anak maka akan dibagi 1/3 atas masing-masing pihak sampai istri menikah lagi dengan laki-laki lain akan tetapi untuk anak tetap diberi nafkah. Perihal Upaya hukum jika suami tidak memberikan nafkah kepada istri dan anak pasca perceraian bagi warga negara Indonesia yang non muslim ialah melakukan permohonan eksekusi ke pengadilan negeri karena putusan perceraian disertai nafkah didalamnya termasuk kedalam putusan comdemnatoir yang mana jelas bahwa objek eksekusi yang dimaksud ialah nafkah yang tidak dibayar oleh mantan suami. Perihal Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pemberian nafkah istri dan anak di dalam putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn dimana hakim dalam pertimbangannya tidak memasukkan unsur nafkah dan tidak memutus persoalan nafkah disebabkan penggugat dalam gugatannya tidak menguraikan persoalan tuntutan nafkah hanya perceraian dan hak penguasaan anak sehingga sesuai dengan asas ultra ne petita, hakim hanya memutus berdasarkan tuntutan dalam

(18)

Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sehingga persoalan nafkah bagi mantan istri jelas pengaturannya terutama jenis-jenis nafkah yang dapat diberikan kepada mantan istri seperti yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam.

Diharapkan agar lebih mempertegas persoalan nafkah yang tidak ingin dibayarkan oleh mantan suami terhadap anak dan mantan istrinya selain upaya eksekusi disusun klausula atau aturan pidana sehingga tidak ada lagi mantan suami yang enggan memenuhi nafkah kepada mantan istri dan anak dan Diharapkan para pihak yang ingin melakukan gugatan perceraian dan benar-benar ingin bercerai secara khusus istri harus melakukan tuntutan nafkah dalam petitum surat gugatan dikarena hakim peradilan belum berani untuk memutus keluar dari asas ultra ne petita dimana hakim hanya memutus berdasarkan tuntutan dari para pihak bukan diluar tuntutan para pihak.

Kata Kunci : Perkawinan, Perceraian Dan Nafkah

(19)

182/Pdt.G/2014/PN.Mdn not listed on the living that must be given to the ex-wife.

This led to the need to be assessed on the setting and the husband's responsibility towards living children and wife after divorce for Indonesian citizens are non- Muslims, remedy for children and a wife to make a living is not given by the husband after the divorce for Indonesian citizens that non-Muslims and Considerations law judges in decisions about the delivery of my wife and child living in the Medan District Court No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn.

This study is normative, descriptive and analytical explained as well as analyzing a phenomenon associated with the husband's responsibility to make a living wife and children after the divorce ruling for Indonesian citizens who are non- Muslims (the study of the Medan District Court decision No.

182/Pdt.G/2014/PN.Mdn).

The results showed, on Regulation and responsibility of the husband to the wife and child maintenance to post-divorce for Indonesian citizens that non-Muslims are listed in the legislation of Article 45 and Article 47 of Law No. 1 Year 1974 About Marriage in conjunction with Article 8 of Government Regulation No. 10 1983 About Licensed Marriage And Divorce For Civil Servants in conjunction with Article 8 of Government Regulation No. 45 of 1990 on Amendment of Government Regulation No. 10 of 1983 About Licensed Marriage And Divorce For Civil Servants. However, the setting in legislation was not included the large number of providers and the types of income that must be charged to the husband except for children listed clearly on the cost of education and maintenance, while the wife is only regulated the right of the wife of a husband who is a civil servant who gets ½ of salary and if children will be divided 1/3 on each side until his wife remarried with another man's child but still be living. Regarding legal action if the husband does not give maintenance to his wife and children after divorce for Indonesian citizens that non-Muslims are doing the petition to the district court for the verdict of divorce is accompanied living in it belongs to the ruling comdemnatoir that where it is clear that the object of execution which mean that the living are not paid for by ex-husband. Considerations regarding judges in decisions about the delivery of my wife and child living in the Medan District Court No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn which the judge in the judgment did not include elements of a living and did not decide the issue of living due to the plaintiff in the lawsuit did not elaborate on the issue of divorce and the demands of living is only right to control the child so in accordance with the principle of ne ultra petita, judges only decide based on the demands in the lawsuit petition.

It is expected the legislature to amend Act No. 1 Year 1974 On the issue of living for the marriage so that the former wife of clear regulation, especially the types of income that can be given to ex-wife as listed in the Compilation of Islamic

(20)

wife must do the demands of living in the lawsuit petition dikarena judicial magistrate has not dared to break out of the principle of ne ultra petita where judges only decide based on the demands of the parties is not beyond the demands of the parties.

Keywords: Marriage, Divorce And Livelihoods

(21)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk sosial.1 Artinya manusia tidak mungkin hidup sendiri dalam menjalani langkah demi langkah kehidupan. Salah bentuk keterikatan manusia dengan manusia lain ialah perkawinan. Perkawinan tidak hanya bersifat privat atau pribadi saja akan tetapi terdapat keterlibatan agama dalam proses perkawinan.2 Hal ini dapat dilihat didalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :

”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Perkawinan yang merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3 Hal

1Manusia adalah zoon politicon, artinya manusia ebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat. Dan oleh karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain maka manusia disebut makhluk sosial. C.S.T.

Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hal. 29

2 Didalam perkawinan menurut agama islam kalimat ijab kabul sangat mudah untuk diucapkan oleh calon suami dan wall calon istri. Ijab kabul seperti ini oleh Rasulullah disebut sebagai Khafifatani fi al-Lisan Saqilatani fi al-Mizan (ringan untuk diciptakan oleh lidah, tetapi berat pada timbangan). Artinya, bahwa ucapan ijab dan kabul sungguh gampang diucapkan, namun berat dalam pelaksanaanya, karena memerlukan perhatian yang serius dan terus-menerus. Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 96

3 Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. dilaksanakannya perkawinan adalah untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna yang merupakan jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan anak-anak yang akan dilahirkan sebagai satu pertalian yang amat teguh guna memperkokoh pertalian persaudaraan antara kaum kerabat suami dengan kaum kerabat istri yang pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa kepada saling menolong antara satu kaum dengan yang lain, dan akhirnya rumah tangga tersebut menjadi sendi dasar dari

(22)

tersebut dapat dimaknai sebagai kebutuhan fitrah setiap manusia.4 Perkawinan sekalipun memang bagian dari kebutuhan manusia bukan berarti menutup kemungkinan tidak terjadi masalah yang mungkin menyebabkan perkawinan tersebut berakhir.5Perkawinan yang berakhir disebabkan karena alasan-alasan tertentu disebut perceraian. Perceraian harus diajaukan prosesnya ke hadapan proses peradilan baik pengadilan agama maupun pengadilan negeri.

Terdapat beberapa alasan yang dapat diajukan ke pengadilan apabila salah satu pihak yang terikat perkawinan atau kedua belah pihak baik suami atau istri ingin mengajukan gugatan perceraian, yaitu :6

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan,

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selam 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya,

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung,

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayajan pihak yang lain,

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri,

6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

susunan masyarakat. Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak perdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 69

4Hasim Purba, Pentingnya Amandemen UU Perkawinan Dan Isu-isu Kritis Dalam Naskah Akademik RUU perkawinan, Seminar dan Workshop di Madani Hotel Medan pada tanggal 31 Oktober 2013

5 Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan keputusan pengadilan. Pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

6Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(23)

Keenam alasan di atas bersifat umum, artinya alasan tersebut berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa melihat kepada agama yang dianut termasuk pada umat Katolik.7 Akan tetapi, terdapat aturan khusus yang hanya berlaku kepada pemeluk agama Islam atau khusus muslim, dimana dalam pengajuan gugatan perceraian didasarkan beberapa alasan (alasan yang menjadi dasar pengajuan gugatan oleh pemeluk agama Islam sama seperti yang tercantum didalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan namun terdapat 2 (dua) alasan yang menjadi tambahan, yaitu :8

1. Suami melanggar taklik talak;

2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Perceraian yang terjadi antara pasangan suami dan istri tentu akan memiliki dampak besar, tidak hanya terbatas pada kemungkinan pecahnya atau terputusnya hubungan kekeluargaan antara keluarga suami dengan keluarga istri. Dampak yang cukup besar muncul apabila dalam hubungan pernikahan telah dikaruniai seorang anak maka akan berdampak pada perkembangan seorang anak.

7 Menurut Katolik semua perkawinan adalah sah kecuali dapat dibuktikan kebalikannya sesuai dengan hukum Kanonik gereja Katolik yang mana bentuk yang membatalkan perkawinan ada 3 (tiga) aspek, yaitu : a. halangan menikah, yakni kurangnya umur, impotensi, adanya ikatan perkawinan terdahulu dan lain sebagainya, b. cacat konsensus, yakni kekurangan kemampuan menggunakan akal sehat, cacat yang parah dalam hal pertimbangan, ketidakmampuan mengambil kewajiban esensial perkawinan dan lain sebagainya, c. cacat forma kanonika, yakni pernikahan diadakan berdasarkan cara kanonik katolik, didepan otoritas gereja katolik dan 2 (dua) orang saksi. Anonim, Apakah Yang Membatalkan Perkawinan Menurut Hukum Kanonik?, www.katolisitas.org, diakses 9 April 2016

8Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam

(24)

Anak yang berada dalam keluarga dimana kedua orang tuanya telah bercerai ditambah belum mencapai usia dewasa (usia dewasa diasumsikan seorang anak telah mampu berpikir lebih bijaksana dalam menyikapi segala hal dan cakap menurut hukum) cenderung akan memiliki perasaan tidak adanya rasa aman. Munculnya rasa tidak aman dari seorang anak akan menimbulkan kegoncangan batin pada anak sehingga kemungkinan anak akan tumbuh menjadi seseorang yang cenderung frustasi dan dendam terhadap lingkungan atau penyebab terjadinya kenakalan anak atau remaja.9

Putusan perceraian yang diberikan oleh pengadilan kepada sepasang suami istri juga memiliki dampak kepada anak yang mereka miliki. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :

”Akibat putusnya perkawinan kerena perceraian ialah :

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi keputusannya.

2. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, dan bila ternyata dalam kenyataannya bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul kewajiban tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri”.

Bunyi pasal di atas mencerminkan konsep pemeliharaan anak oleh orang tua walaupun telah berpisah karena perceraian. Pemeliharaan anak selanjutnya pengaturannya di atur dalam Pasal 45 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :

9Sofyan S. Willis, Remaja & Masalahnya : Mengupas Berbagai Bentuk Kenakalan Remaja, Narkoba, Free Sex dan Pemecahannya, (Bandung: Alfabeta, 2014), hal. 48-50

(25)

(1)Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.

(2)Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Kewajiban pemeliharaan anak oleh orang tuanya walaupun telah terputus perkawinan harus dipahami tidak hanya sebatas memberi nafkah lahir saja akan tetapi juga nafkah batin juga dimana perwujudannya harus dilakukan dengan sebaik- baiknya. Terkait salah satu orang tua atau kedua orang tua anak lalai melakukan kewajibannya sebagai orang tua dapat dilakukan pengajuan gugatan terhadap orang tua yang lalai sehingga kekuasaannya terhadap anak dapat dicabut. Hal ini sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :

(1)Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya, b. Ia berkelakuan buruk sekali.

(2)Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

Bunyi pasal di atas senada dengan pendapat Hilman Hadikusuma mengatakan, yakni :10

”Pengadilan agama atau pengadilan negeri dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orangtuanya tidak mampu, Oleh karena itu bila terjadi kealpaan ataupun kelalaian oleh orang tuanya dengan sengaja atau tidak melakukan tanggung jawabnya sebagai orang tua maka dia dapatlah dituntut dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan”.

10Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung : CV Mandar Maju, 1990), hal. 14

(26)

Tidak hanya sebatas pada pemeliharaan anak saja dalam setiap terjadi perceraian juga terdapat hak istri berupa nafkah. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 41 huruf c Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :

”Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri”.

Putusan pengadilan yang memutus perkara perceraian dan telah berkekuatan hukum tetap tentu termasuk juga perihal pemeliharaan anak, dimana dalam hal ini putusan pemeliharaan anak yang berasal dari pengadilan negeri dianggap lebih menarik dikaji. Hal ini disebabkan karena pada pengadilan negeri (Pengadilan Negeri Medan) putusan pemeliharaan anak yang dijatuhkan ditujukan untuk pasangan suami istri non muslim tidak disebutkan jenis-jenis hak pembiayaannya didalam peraturan perundang-undangan berbanding terbalik dengan pengadilan agama yang secara khusus putusan perceraian ditujukan untuk pasangan suami istri muslim, misalnya seorang anak yang belum dewasa berhak mendapat hadhnah.11

Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn berisi tentang kehidupan rumah tangga penggugat dan tergugat yang awalnya harmonis pada tahun 2012 mulai sering terjadi percekcokan terus menerus, suami/tergugat pergi dari rumah tidak pamit dan jika ditanyai istri/penggugat maka suami/tergugat akan marah-marah. Puncaknya suami/tergugat tidak lagi memberi nafkah anak dan istri/penggugat sehingga istri/penggugat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri

11Lihat Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam

(27)

Medan. Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn dalam salah satu amar putusan, berbunyi :

”Hak asuh anak yang masih dibawah umur jatuh kepada penggugat selaku ibu kandungnya sampai anak-anak tersebut dewasa”.

Namun, perlu dipahami didalam Putusan Pengadilan Negeri Medan No.

182/Pdt.G/2014/PN.Mdn tidak ditentukan jumlah besaran nafkah yang harus diberi oleh ayah kedua anak hanya sebatas hak asuh anak berada ditangan ibunya. Bahkan didalam Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn tidak tercantum mengenai nafkah yang wajib diberikan kepada mantan istri.

Berdasarkan uraian di atas, penting untuk dikaji persoalan hukum mengenai tanggung jawab suami terhadap nafkah istri dan anak pasca putusan perceraian bagi warga negara Indonesia yang beragama non muslim (kajian putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah- masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan dan tanggung jawab suami terhadap nafkah anak serta istri pasca perceraian bagi warga negara Indonesia yang non muslim?

2. Bagaimana upaya hukum bagi anak dan istri terhadap nafkah yang tidak diberikan oleh suami pasca perceraian bagi warga negara Indonesia yang non muslim?

(28)

3. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pemberian nafkah istri dan anak di dalam putusan Pengadilan Negeri Medan No.

182/Pdt.G/2014/PN.Mdn?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan dan tanggung jawab suami terhadap nafkah anak serta istri pasca perceraian bagi warga negara Indonesia yang non muslim.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya hukum bagi anak dan istri terhadap nafkah yang tidak diberikan oleh suami pasca perceraian bagi warga negara Indonesia yang non muslim.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pemberian nafkah istri dan anak di dalam putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Secara teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan atau informasi pengembangan ilmu hukum tentang tanggung jawab suami terhadap nafkah istri dan anak pasca putusan perceraian bagi warga negara Indonesia yang beragama non muslim.

(29)

2. Secara Praktis

Penelitian ini bermanfaat secara praktis bagi masyarakat, aparat penegak hukum, seperti hakim dan advokat, sehingga dengan adanya penelitian ini dapat menjadi referensi dalam menangani permasalahan untuk tanggung jawab suami terhadap nafkah istri dan anak pasca putusan perceraian bagi warga negara Indonesia yang beragama non muslim.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan secara khusus di Universtias Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri Dan Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia Yang Beragama Non Muslim (Kajian Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn)”, belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama.

Dari hasil penelusuran keaslian penelitian, penelitian yang menyangkut:

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri Dan Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia Yang Beragama Non Muslim (Kajian Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn) yang pernah dilakukan Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu:

1. Tesis atas nama Yuli Suchi Warina, NIM: 117011138, dengan judul,”Istsbat Nikah Untuk Melegalisasi Perkawinan (Studi Putusan PA. Stabat Nomor : 219/PDT.G/2011/PA.STB)”. Fokus masalah yang dikaji ialah

a. Mengapa suatu perkawinan dapat di itsbatkan di Pengadilan Agama?

(30)

b. Hal-hal apakah yang menjadi pertimbangan hakim dalam menetapkan itsbat nikah dalam putusan nomor : 219/PDT.G/2011/PA.STB?

c. Apakah akibat hukum yang dilahirkan setelah putusan nomor : 219/PDT.G/2011/PA.STB?

2. Tesis atas nama Linda Rahmita Panjaitan, NIM: 0870110009, dengan judul,”Perkawinan Anak Dibawah Umur Dan Akibat Hukumnya”. Fokus masalah yang dikaji ialah :

a. Bagaimana pengaturan perkawinan anak dibawah umur dalam sistem hukum di Indonesia?

b. Apa akibat hukum dari perkawinan anak dibawah umur?

c. Bagaimana sanksi terhadap pelanggaran perkawinan anak dibawah umur?

3. Tesis atas nama Fitriyani, NIM: 117011044, dengan judul,”Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”. Fokus masalah yang dikaji adalah : a. Bagaimana pengaturan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan

ditinjau dari KUHPerdata?

b. Apakah tujuan pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan?

c. Apakah akibat hukum yang timbul dari perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan?

Namun demikian penelitian-penelitian tersebut di atas berbeda dengan penelitian yang akan dilaksanakan ini, sehingga penelitian yang akan dilaksanakan ini

(31)

adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan apabila dikemudian hari ternyata dapat dibuktikan adanya plagiat dalam hasil penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah bagian penting dalam penelitian. Artinya, teori hukum harus dijadikan dasar dalam memberikan preskripsi atau penilaian apa yang seharusnya memuat hukum. Teori juga bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Teori hukum dalam penelitian berguna sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.12Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain tergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.13

Landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.14

Kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut:15

12Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 146

13Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2005), hal. 6. Teori adalah serangkaian proposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel. Maria S.W Sumardjono, Pembuatan Usulan Penelitian, (Yogyakarta : PT.

Gramedia, 1989), hal. 19

14 Kaelan MS., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma Bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum, Dan Seni), (Yogyakarta: Paradigma, 2005), hal. 239

(32)

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi.

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang diteliti.

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor- faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

Teori yang dipergunakan sebagai alat untuk melakukan analisis di dalam penelitian ini adalah liability atau teori pertanggungjawaban.

Teori pertangungjawaban ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang merujuk hampir semua karakter resiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya, atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan Undang- Undang. Dalam pengertian Praktis istilah liability menunjukan pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum.16

Menurut teori ini tanggung jawab orang tua setelah bercerai terhadap nafkah anak, yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 41 huruf (b) Undang-Undang Perkawinan No.l Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :

15Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal. 121

16 Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hal.335-337

(33)

”Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, dan bila ternyata dalam kenyataanya bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul kewajiban tersebut”.

Adapun yang dimaksud dengan tanggung jawab pendidikan adalah kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan anak tersebut menjadi manusia yang mempunyai kemampuan dan dedikasi hidup yang dibekali dengan kemampuan dan kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut yang akan dikembangkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai landasan hidup dan penghidupannya setelah anak tersebut lepas dari tanggung jawab orang tuanya.17

Selanjutnya teori kedua yang digunakan untuk mendukung penelitian ialah teori keadilan.18 H.L.A Hart menyatakan bahwa keadilan adalah nilai kebajikan yang paling legal (the most legal of virtues), atau dengan meminjam istilah cicero, keadilan adalah habitus animi, yakni keadilan merupakan atribut pribadi (personal attribute).19 keadilan berisi sebuah tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan

17M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : Zahir Trading, 1975), hal.205- 206.

18Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum selain dari kemanfaatan dan kepastian hukum sebagaimana diutarakan oleh Gustav Radbruch kemudian terdapat pendapat lain yang mengutarakan bahwa tujuan hukum ialah mengabdi pada tujuan negara. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis, (Jakarta: Chandra Pratama, 1996), 95-96, Saiful Anwar & Marzuki Lubis, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, (Medan: Gelora Madani Press, 2004), hal. 6-7 dan Noviyanti Wulandari Sitepu & Muhammad Iqbal Tarigan, Pengantar Tata Hukum Indonesia (Suatu Rangkuman), (Yogyakarta: Leutikaprio, 2016), hal. 21-23

19Megarita, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Saham Yang Digadaikan, (Medan: Usu Press, 2008), hal. 13

(34)

hak dan kewajibannya, perlakukan tersebut tidak pandang bulu atau pilih kasih;

melainkan, semua orang diperlakukan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya.20 Pada bagian lain dari buku republic dari plato mengatakan bahwa karena keadilan sebenarnya merupakan masalah ”kesenangan” (convenience) dari seseorang, yang saling berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan antara satu orang dengan orang lainnya, maka akhirnya keadilan hanyalah suatu bentuk kompromi.21

Plato, filosof yunani terkenal lainnya yaitu aristoteles menyatakan bahwa ukuran keadilan adalah bahwa:22

1. seorang tidak melanggar hukum yang berlaku, sehingga keadilan berarti ”law full” yaitu hukum tidak boleh di langgar dan aturan hukum harus di ikuti, dan

2. seorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga keadilan berarti persamaan hak (equal).

Salah satu cara pembagian keadilan oleh filosofi aristoteles adalah seperti yang terdapat dalam bukuya Etika, aristoteles membagi keadilan ke dalam dua golongan sebagai berikut:23

1) keadilan distributif, yakni dalam hal pendistribusian kehormatan atau kekayaan apapun kepemilikan lainnya kepada masing-masing anggota masyarakat dan

20Rahman, Teori Keadilan, https://rahmanjambi43.wordpress.com/2015/02/06/makalah-teori- keadilan/, diakses 10 April 2016

21Megarita, Loc.Cit

22Ibid, hal. 14

23Ibid

(35)

2) keadilan korektif yakni keadilan yang bertujuan untuk mengkoreksi terhadap kejadian yang tidak adil.

Para filosof yunani memandang keadilan sebagai suatu kebijakan individual (individual virtue). Sehingga dalam institute of justinian, diberikanlah defenisi keadilan yang sangat terkenal itu, yang mengartikan keadilan sebagai tujuan yang kontinu dan konstan untuk memberikan kepada setiap haknya, ”justice is the constant and continual purpose which gives to everyone his own”.24

2. Konsepsi

Penggunaan konsepsi dalam suatu penelitian adalah untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang dipergunakan dalam merumuskan konsep dengan menggunakan model definisi operasional.25Adapun definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

a. Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa.26 b. Suami adalah pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang perempuan

atau istri.27

c. Istri adalah wanita atau perempuan yang telah menikah atau yang bersuami.28

24Ibid

25 Universitas Sumatera Utara, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, (Medan:

Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 72

26 Lihat Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

27Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 1343

28Ibid, hal. 552

(36)

d. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.29

e. Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya sehingga bila terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakandan lain sebagainya.30

f. Perceraian adalah putusnya perkawinan yang hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.31

g. Nafkah adalah belanja untuk hidup atau pendapat suami yang diberikan kepada istri.32

h. Pasangan non muslim adalah sepasang suami istri yang bukan memeluk agama Islam.

i. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.33

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah.

Selain itu, penelitian juga dapat digunakan untuk menentukan, mengembangkan dan

29Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

30Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hal. 1398

31Lihat Pasal 38 jo Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

32Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hal. 947

33Lihat Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

(37)

menguji kebenaran. Dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapat jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis, metodelogi yang merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Seseorang dalam melakukan penelitian harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.34 Pada penelitian ini, jelas bahwa bidang ilmu hukum yang menjadi landasan ilmu pengetahuan induknya. Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum.

Menurut “Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau gejala hukum tertentu dengan jelas menganalisanya”.35

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian mengenai, “Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri Dan Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia Yang Beragama Non Muslim (Kajian Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn)”, merupakan penelitian hukum normatif atau yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang sesuai atau berkaitan dengan peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat, seperti yang terdapat dalam

34Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumateri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2006), hal. 9

35Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal. 43

(38)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.36

Penelitian yuridis normatif merupakan prosedur penelitian untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai suatu sistem norma yang digunakan untuk memberikan justifikasi prespektif tentang suatu peristiwa hukum.

Penelitian ini dilakukan dengan maksud memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu, apakah sesuatu penstiwa sudah benar atau salah serta bagaimana sebaliknya peristiwa itu menurut hukum.37 Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute Aprroach). Pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute Aprroach) adalah penelaahan semua undang- undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani38, yaitu “Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri Dan Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia Yang Beragama Non Muslim (Kajian Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182/Pdt.G/2014/PN.Mdn)”.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek

36Zainuddin Ali, Metode Penelitian hukum, (Jakata: Sinar Grafika, 2010), hal. 12-105

37Ronny Hanintijo Soemitro, Op.Cit, hal. 146

38 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 93

(39)

penelitian.39 Deskriptif analitis merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.40 Penulisan ini akan memberikan gambaran atau suatu fenomena yang berhubungan dengan tanggung jawab suami terhadap nafkah anak dan istri untuk yang beragama non Islam.

2. Sumber data

Dalam penelitian hukum normatif data yang digunakan adalah data sekunder41, maka didalam penelitian hukum normatif yang termasuk data sekunder, yaitu:

a. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang mengikat dengan permasalahan dan tujuan penelitian42, antara lain :

1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;

2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang- undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan

39Ronny Hanintijo Soemitro, Op.Cit, hal. 105

40Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hal.78

41Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 23-24

42Ibid, hal. 13

(40)

pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer43 yang terdiri dari :

1) Buku-buku;

2) Jurnal;

3) Majalah;

4) Artikel;

5) dan berbagai tulisan lainnya.

c. Bahan hukum tertier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder44, seperti:

1) Kamus;

2) Ensiklopedi dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber data, karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan (library research).45 Studi kepustakaan digunakan terutama untuk mengumpulkan data-data

43Ibid

44Ibid

45Studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai keperluan, misalnya:

a) Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan yang digunakan;

b) Sebagai sumber data sekunder;

c) Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan yang digunakan;

d) Mendapatkan Informasi tentang cara evaluasi atauanalisis data yang dapat digunakan;

e) Memperkaya ide-ide baru;

(41)

melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan pakar hukum, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penulisan ini.

Selain itu, juga akan dilakukan wawancara kepada informan yang pelaksanaannya secara terarah (directive interview).46 Pemilihan informan dilakukan dengan mengutamakan segi kompetensi ilmu yang diperkirakan sarat dengan informasi yang dibutuhkan. Dalam hal ini yang dianggap sesuai, yaitu : hakim di Pengadilan Negeri Medan dan Kasubag Penyusunan Program Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Medan.

4. Metode Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disaran oleh data.47 Analisis data yang akan dilakukan secara kualitatif. Kegiatan ini diharapkan akan dapat memudahkan dalam menganalisis permasalahan yang akan dibahas, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan. Peraturan perundang-undangan dianalisis secara kualiatif dengan menggunakan logika berfikir dalam menarik kesimpulan yang dilakukan secara deduktif48, pada akhirnya dapat menjawab permasalahan penelitian ini.

f) Mengetahui siapa saja peneliti lain dibidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut.

Lihat Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hal. 112- 113

46Ronny Hanitijo Soemitro,Op .Cit, hal. 55

47 Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategoridan satuan uraian dasar. Analisa berbeda dengan penafsiran yang memberikan arti yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara dimensi. Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 280

48Penarikan kesimpulan yang dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang konkret. Lihat Jhonny Ibrahim, Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu Media, 2005), hal. 393

(42)

BAB II

PENGATURAN DAN TANGGUNG JAWAB SUAMI TERHADAP NAFKAH ANAK SERTA ISTRI PASCA PERCERAIAN BAGI WARGA NEGARA

INDONESIA YANG NON MUSLIM

A. Perkawinan Di Indonesia 1. Pengertian Perkawinan

Keberadaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah membawa Indonesia ke arah pembaharuan hukum.49 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan keberadaannya telah menghapus hukum kolonial dan sekaligus implementasi dari Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hukum kolonial yang dihapus dengan keberadaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu :50

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) secara khusus buku I Tentang Orang,

b. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74),

c. Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemengde Huwelijke S. 1898 No. 158),

d. Dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.

49Ermansjah Djaja menyebutkan pembaharuan hukum dengan kata Pembaru hukum adalah seperti 2 (dua) sisi mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan dan saling mendukung, sisi yang satu ialah fungsi pembaru hukum bagi hukum-hukum positif yang sudah kadaluarsa atau yang sudah ketinggalan zaman yang memerlukan pembaruan dengan disesuaikan pada situasi dan kondisi perkembangan dan kemajuan masyarakat pada waktu itu, sedangkan sisi satu lagi adalah fungsi pembaru hukum dengan membentuk hukum-hukum positif yang baru yang disebabkan oleh aspek- aspek pembaruan hukum. Ermansjah Djaja, Penyelesaian Sengketa Hukum Teknologi Informasi Dan Transaksi Elektrik : Kajian Yuridis Penyelesaian Secara Non Litigasi Melalui Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Yogyakarta: Pustaka Timur, 2010), hal. 2

50Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(43)

Keberadaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan implementasi dari Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berbunyi :

”Segala peraturan perundang-undangan yang masih ada tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

Artinya, peraturan perundang-undangn yang telah ada sejak zaman kolonial tetap berlaku selama belum diterbitkan/diadakan yang baru dimana keberlakuan undang-undang zaman kolonial didasari oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum atau ketidakpastian hukum.51 Dengan terbitnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka berdasarkan aturan peralihan di atas hukum kolonial dinyatakan tidak berlaku lagi sehingga dapat dikatakan dibidang perkawinan Indonesia telah memiliki aturan hukum sendiri.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan pengertian perkawinan yang termuat dalam Pasal 1, berbunyi :52

51Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai Dengan Urutan Bab, Pasal, Dan Ayat, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2010), hal. 132. Keberadaan sebuah aturan atau hukum harus memiliki 3 (tiga) nilai dasar seperti yang dinyatakan oleh Gustav Radbruch, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Saiful Anwar & Marzuki Lubis, Op.Cit, hal. 7. Tidak hanya sebatas pada keadilan, kemanfaatan dan kepastian saja keberadaan sebuah peraturan perundang- undangan juga harus melihat tindakan penguasa dimana tindakan yang dimaksud ialah tindak untuk menyelamatkan negara/bangsa dari ancaman bahaya yang disebut salus populisupreme lex atau kepentingan rakyat merupakan hukum yang tertinggi. Saiful Anwar, Sendi-Sendi Hukum Tata Negara (Era Reformasi), (Medan: Gelora Madani Press, 2004), hal. 39-40

52Berbanding terbalik dengan penyebutan perkawinan didalam KUH Perdata dimana disana perkawinan hanya dianggap hubungan perdata. Artinya, dapat dilihat bahwa tidak ada nilai-nilai lain selain individualis yang termuat didalamnya dan ini sangat bertentangan dengan Pancasila. Hal

(44)

”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pengertian di atas yang tercantum dalam undang-undang merupakan rumusan yang wajib dirujuk dalam setiap pembahasan mengenai perkawinan terutama dari segi hukum. Namun, keberadaan pengertian di atas juga harus didukung atau dilihat pendapat-pendapat ahli mengenai pengertian perkawinan secara khusus ahli hukum agar lebih jelas pengggambaran mengenai perkawinan jika dilihat dari segi pengertian atau arti.

Berikut beberapa pengertian perkawinan menurut para ahli, yaitu :

a. Anwar Harjono menyebut perkawinan dengan menggunakan istilah pernikahan dan mengatakan, ”pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan Perempuan untuk membentuk keluarga bahagia”.53 b. Wirjono Prodjodikoro mengatakan, ”perkawinan adalah hidup bersama dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan”.54

c. K. Wantjik Saleh mengatakan, ”perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan materiil, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu seharusnyalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas pertama dalam Pancasila”.55

tersebut tercantum didalam Pasal 26 KUH Perdata, berbunyi : ”Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”.

53R. Abdul Djamali, Hukum Islam, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 47

54Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 3

55Ibid, hal. 6

(45)

d. Hilman Hadikusuma mengatakan, ”perkawinan adalah perbuatan suci, yaitu suatu perikatan jasmani dan rohani antara 2 (dua) pihak dalam memenuhi perintah Tuhan Yang Maha Esa yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai dan tidak dibenarkan terjadinya perkawinan beda agama agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta bertetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing- masing”.56

e. Mardani mengatakan, ”perkawinan atau nikah adalah akad yang membolehkan terjadinya istimta’ (melakukan perbuatan yang menyenangkan) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan”.57

f. Saidus Syahar mengatakan, ”perkawinan adalah suatu perbuatan hukum dimana setiap perbuatan hukum yang sah ialah yang menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak (suam-istri) dan atau juga bagi pihak lain/ketiga dengan siapa salah satu pihak atau kedua- duanya-suami istri mengadakan hubungan hukum tertentu”.58

g. Pengertian perkawinan pada bagian ini dirujuk berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang juga dikenal sebagai pelaksana Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dimana aturan tersebut berlaku untuk warga negara Indonesia yang beragama Islam,

”Perkawinan menurut agama Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah”.59

56Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat Dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hal. 10

57Mardani, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hal. 4

58Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya (Ditinjau dari Segi Hukum Islam), (Bandung: Alumni, 1981), hal. 18

59Pasal 2 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Kedudukan Inpres No.

1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam jelas merupakan aturan pelaksana dari Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dimana undang-undang tersebut merupakan aturan pokok yang berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia. Kompilasi Hukum Islam jelas tidak

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menyebutkan bahwa faktor penyebab suami menarik kembali nafkah mad{iah istri akibat perceraian di Kelurahan Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya adalah

Dalam kasus perceraian, suami tidak lupa untuk memberikan nafkah iddah kepada istrinya karena nafkah iddah merupakan hak daripada seorang istri yang telah ditalak.. Selama

Menurut mazhab Syafi’i kewajiban seorang suami adalah memberi nafkah kepada istri baik dalam keadaan mampu atau tidak, Syafi’i membolehkan perceraian lewat putusan hakim apabila

Tinggi Rendahnya Pengaruh Keterbatasan Pendidikan Agama Islam terhadap Tingkat Perceraian Pasangan Suami Istri di Desa Tanjung Siram Dusun Aek Batu Kecamatan Bilah

Dari hasil penelitian yang dilakukan diambil kesimpulan bahwa Prosedur pelaksanaan wasiat dihadapan Notaris untuk Warga Negara Asing dalam membuat akta memperhatikan jangka waktu

Penulisan dalam penelitian ini mengkaji tentang Pertimbangan Putusan hakim mengenai kewajiban dan tanggung jawab mantan suami istri terhadap pemenuhan hak-hak anak pasca perceraian

Oleh karena itu yang menjadi permasalahan bagaimana kewenangan Pemerintah Kota Pematangsiantar dalam pemungutan BPHTB pasca berlakunya Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 Tentang

Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan istri/anak dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah