• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Pada Fakultas Syariah OLEH : SYUKRIYA HUSNI NIM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BUKITTINGGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Hukum Pada Fakultas Syariah OLEH : SYUKRIYA HUSNI NIM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BUKITTINGGI"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 JUNCTO PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990

DALAM PERKARA CERAI TALAK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA

(STUDI ANALISIS PUTUSAN NOMOR 1560/PDT.G/2018/PA.PBG) SKRIPSI

Di ajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Syariah

OLEH : SYUKRIYA HUSNI

NIM 1117.021

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

BUKITTINGGI 2020 / 2021

(2)

ABSTRAK

Skripsi ini ditulis oleh Syukriya Husni, Nim: 1117.021 dengan judul:

Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Dalam Perkara Cerai Talak Pegawai Negeri Sipil Di Pengadilan Agama Purbalingga (Studi Analisis Putusan Nomor 1560/Pdt.G/2018/Pa.Pbg) Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah, IAIN Bukittinggi.

“Nafkah tidak hanya suatu pemberian yang diberikan seorang suami kepada”istrinya,”namun juga merupakan kewajiban antara bapak dengan anaknya dan juga memiliki tanggung jawab antara seorang pemilik dengan sesuatu yang dimilikinya.”Nafkah berarti sebuah kewajiban yang mesti dilaksanakan berupa pemberian belanja terkait dengan kebutuhan pokok baik suami terhadap istri dan bapak kepada anak ataupun”keluarganya.”Begitu pentingnya nafkah dalam kajian Hukum”Islam,”bahkan seorang istri yang sudah ditalak oleh suaminya masih berhak memperoleh nafkah untuk dirinya berserta”anaknya.”Kewajiban nafkah tersebut telah tercantum dalam sumber Hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan”Hadits, diantaranya terdapat dalam Surat Ath-Thalaq ayat (6), Al-Baqarah ayat 233, dan lainnya.”Di samping itu,”meskipun nafkah merupakan suatu kewajiban untuk dipenuhi namun menyangkut kadar”nafkahnya,”harus terlebih dahulu meihat batas kemampuan si pemberi”nafkah.

“Penelitian ini menyimpulkan bahwa”:”Pertama,”Hukum Islam mengatur tentang kewajiban nafkah yang diberikan seorang suami terhadap bekas istri pasca perceraian adanya mut’ah yakni pemberian hiburan kepada bekas istrinya serta memberikan nafkah iddah yaitu nafkah yang diberikan bekas suami kepada bekas istri selama bekas istri menjalankan masa iddah dalam talak”raj’i.”Kedua kewajiban tersebut disesuaikan dengan kemampuan bekas suami dan kadar kepantasan yang berlaku di masyarakat agar tidak memberatkan beban bekas”suami.”Tidak ada kewajiban memberikan nafkah lagi bagi bekas suami setelah bekas istri melewati masa”iddah.”Kedua,”kewajiban bekas suami PNS untuk memberikan 1/3 gajinya setelah bercerai kepada bekas istrinya sampai bekas istri tersebut menikah lagi, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45 Tahun 1990 bertentangan dan bertolak belakang dengan ketentuan Hukum Islam karena dalam Islam kewajiban bekas suami untuk memberikan nafkah kepada bekas istri hanya dalam masa iddah karena memang pemberian 1/3 gaji kepada bekas istri hingga bekas istri menikah lagi akan menimbulkan mudharat baik bagi bekas suami itu sendiri maupun keluarga baru bekas suami”tersebut.

Kata kunci : nafkah, cerai talak.

(3)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

“Kekuasaan..kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Pada Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia menyatakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawanya dalam lingkungan peradilan”umum,”ling kungan peradilan”agama,”lingkungan peradilan”militer,”lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah”Konstitusi.

“Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan”Umum,”Peradilan”Agama,”Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha”Negara.”Semua badan peradilan tersebut memiliki cakupan dan batasan kekuasaan masing-masing dan pemberian kekuasaan untuk mengadili ditentukan oleh yurisdiksi yang dilimpahkan Undang- Undang”kepadanya.1

“Kekuasaan pengadilan pada masing-masing lingkungan terdiri atas kekuasaan relatif (Relative Competentie) dan kekuasa an mutlak”(Absolute Competentie).2”Kekuasaan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu”pengadilan,”baik pengadilan pada tingkat pertama maupun pengadilan tingkat”banding.”Singkatnya kekuasaan relatif adalah kekuasaan yang mengadili berdasarkan wilayah suatu”daerah,”sedangkan dengan kekuasaan mutlak suatu

1 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama Di Indonesia, (Bandung:PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.217

2 Cik Hasan Bisri, Op.cit., hlm.218

(4)

pengadilan artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan”pengadilan.3

“Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama sebagai pengadilan pada tingkat pertama yang berwenang dalam”memeriksa,”menerima,”

mengadili,”memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu dikalangan orang-orang yang beragama islam yang dilakukan berdasarkan hukum”islam.4”Dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan pertama atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa Pengadilan Agama berwenang”menerima,”memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama islam”dibidang :

a. Perkawinan b. Wakaf c. Wasiat d. Hibah e. Wakaf f. Zakat g. Infaq

h. Shadaqah; dan i. Ekonomi Syariah

3 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Pengadilan Agama, (Jakarta:PT Raja Grafindo, 1991), hlm.195

4 Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), hlm.162

(5)

“Ketika Pengadilan Agama telah menyelesaian perkara maka secara

otomatis produk yang dihasilkan untuk perkara permohonan adalah penetapan”(Beschikking),”sedangkan untuk perkara gugatan produk akhirnya berupa putusan”(Vonis).”Putusan disebut “Vonis” (Bahasa Belanda) atau al- Qadha’u”(Bahasa Arab).”Putusan juga diistilahkan dengan produk pengadilan yang sesungguhnya atau Jurisdictio Contentiosa. Perkara Contentiosa adalah perkara gugatan yang didalamnya mengandung sengketa anatara pihak-pihak yang”berlawanan.”Adapun pihak yang berlawanan ini terdapat dua pihak atau”lebih,”yaitu Penggugat untuk pihak yang mengajukan sebuah perkara dan istilah tergugat adalah untuk pihak yang”digugat. 5

“Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk”umum,”sebagai produk Pengadilan Agama dan hasil suatu pemeriksaan perkara gugatan berdasarkan adanya suatu”sengketa.6”Putusan pengadilan diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar putusan yang”jelas,”juga memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan sebagai dasar untuk mengadili suatu”perkara.

“Pasal 62 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1898 jo Undang-undang

Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama terhadap segala penetapan dan putusan”pengadilan,”selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga

5 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor:Ghalia Indonesia, 2014), Cet.II, hlm.98

6 Sulaikin Lubis, Wismar’Ain M, dan Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama di Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2006), Edisi I, Cet.II, hlm.152

(6)

memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk”mengadili.”Dalam Pasal tersebut adanya suatu asa motivating plicht atau basic”reason,”ini menandakan bahwa hakim wajib mencatumkan dasar pertimbangan yang cukup dan matang dalam setiap putusan”pengadilan.7”Salah satu perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama adalah”Perkawinan.

“Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang”Perkawinan,”perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, hal ini berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Sedangkan dalam Pasal 38 Undang- Undang Perkawinan atau Pasal 8 dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwasanya Penyebab dari putusnya suatu perkawinan adalah karena”kematian,”perceraian dan putusan”pengadilan.”Jenis perceraian ada”dua,”cerai karena ditalak dan cerai”fasakh.

“Perceraian baik cerai gugat maupun cerai talak adalah klasifikasi perkara

terbanyak didaftarkan di Pengadilan Agama Tingkat Pertama di Lingkugan Peradilan”Agama.”Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun”20188,”terdapat 327.814 perkara cerai gugat dan”119.603 perkara cerai talak yang didaftarkan di Pengadilan Tingkat Pertama di Lingkungan Peradilan Agama selama tahun”2018.9”Terhadap perkara cerai talak yang dimohonkan oleh

7 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No 7 Tahun 1989, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), Edisi II, Cet.5, hlm.313

8 Pada saat penelitian ini mulai ditulis, Laporan Tahunan Tahun 2018 belum diterbitkan

9Mahkamah Agung Republik Indonesia’114 https://www .mahkamahagung.go.id/id/

summary-laporan-tahunan -mahkamah-agung- ri,

(7)

seorang”suami,”salah satu konsekuensi hukum yang muncul adalah kewajiban nafkah ‘iddah dan mut’ah terhadap”istri.”Majelis yang mengadili dihadapkan pada suatu sederet fakta kejadian dan hukum dalam memutuskan kewajiban seorang suami yang akan menceraikan”istrinya.

“Ketentuan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam”(KHI)10,”menentukan bahwa jika perkawinan putus karena”talak,”maka bekas suami wajib untuk memberikan beberapa”hal.”Satu,”memberikan mut’ah yang layak kepada bekas”istrinya,”kecuali bekas istri tersebut dalam keadaan belum dicampuri

“(qablaad-dukhul).”Dua,”bekas suami wajib memberikan nafkah, tempat tinggal dan pakaian selama dalam masa iddah kecuali bekas istri dijatuhi talak”bain,”istri melakukan durhaka terhadap suami (nusyuz) dan dalam keadaan tidak”hamil.”Tiga, melunasi mahar yang masih”terhutang,”separuh untuk bekas istri”qablaad- dukhul.”Empat,”memberikan biaya pemeliharaan/hadhanah untuk anak-anak yang belum mencapai usia”dewasa.

“KHI menentukan usia dewasa pemeliharaan anak-anak adalah 21 tahun.

Relevan terhadap pembahasan dalam penelitian”ini,”ketentuan KHI tersebut dapat disimpulkan sebagai”berikut.”Bekas suami wajib memberikan nafkah yang juga meliputi tempat tinggal dan sandang kepada bekas istri dengan syarat tidak ada”kedurhakaan,”bukan talak bain dan setelah”dicampuri.”Point tersebut menjadi ketentuan umum kewajiban nafkah dalam pemeriksaan perkara permohonan cerai talak di Lingkungan Peradilan”Agama.

10 Berlaku berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam

(8)

“Hanya saja,”Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983

tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PP 10/1983) sebagaimana diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas PP 10/1983 (PP 45/1990) menentukan bahwa jika terjadi perceraian atas inisiatif Pegawai Negr Sipili (PNS) pria, maka PNS tersebut wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan”anaknya.”Ayat (2) kemudian menentukan pembagian tersebut sepertiga untuk PNS”tersebut, sepertiga untuk bekas istrinya dan sepertiga untuk anaknya.

“Terdapat perbedaan krusial terhadap dua ketentuan”tersebut.”Kewajiban KHI berlaku secara”umum,”sementara ketentuan PP 10/1983 hanya berlaku untuk PNS pria yang menceraikan”istrinya.”Kemudian kewajiban KHI secara jelas mengatur batas waktu bagi nafkah”‘iddah.”Bekas suami tidak lagi menafkahi setelah masa ‘iddah”berakhir.”Mut’ah juga hanya diberikan”sekali.”Berbeda dengan ketentuan PP 10/1983 yang hanya menyatakan wajib memberikan sepertiga gaji PNS nya kepada bekas istrinya tanpa ada batasan rentang”waktu.

“Sejauh”ini,”hubungan antara Pasal 8 ayat (1) dan (2) PP 10/1983 dan Pasal 149 KHI dapat dilihat dari beberapa”kacamata.”Majelis hakim yang mempertimbangkan pemberian nafkah bagi bekas istri dapat menjadikan ketentuan KHI sebagai norma umum yang”berlaku.”Di sisi”lain,”ketentuan KHI menjadi norma khusus yang berlaku untuk PNS yang mengajukan cerai”talak.”Namun terdapat Majelis Hakim yang juga menganggap bahwa ketentuan nafkah PP 10/1983 bagi PNS tidak dapat secara literal diterapkan dalam perceraian PNS di Lingkungan Peradilan”Agama.”Terdapat beberapa putusan Pengadilan Tingkat

(9)

Pertama yang tetap menggunakan ketentuan nafkah ‘iddah KHI bagi PNS Pria yang mengajukan cerai”talak.11”Majelis pada perkara tersebut mengesampingkan ketentuan”PP 10/1983.

“Perbedaan implementasi norma yang berlaku pada cerai talak yang

diajukan oleh PNS tersebut merupakan poin pembahasan pada peda penelitian”ini.”Penelitian ini memulai pembahasan topik tersebut dengan mendasarkan pada Putusan Cerai Talak Pengadilan Agama Purbalingga Nomor 1560/Pdt.G/2018/PA.Pbg.”Pemohon adalah seorang PNS pria yang mengajukan cerai talak di Pengadilan Agama Purbalingga sebagai Pemohon. Termohon kemudian mengajukan gugatan rekonvensi yang salah satu tuntutannya adalah pembagian gaji Pemohon sebagai PNS sepertiga untuk dirinya sebagai bekas istri.

Termohon mendasarkan tuntutannya kepada Pasal 8 Ayat (1) dan (2) PP 10/1983.

Dalam”putusannya,”Majelis menolak tuntutan”tersebut.

“Pertimbangan Majelis tersebut menarik untuk diteliti dan mendalami

terhadap implementasi dua norma hukum yang berbeda pada sebuah pemeriksaan”perkara.”Penelitian ini mengambil”judul:”“Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Dalam Perkara Cerai Talak Pegawai Negeri Sipil Di Pengadilan Agama Purbalingga”(Studi Analisis Putusan Nomor 1560/Pdt.G/2018/Pa.Pbg)”.

B. Rumusan Masalah

11 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/AG/2011, Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor 0137/Pdt.G/2012/PA.Srg dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 184K/Ag/2015.

(10)

“Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini”yaitu:

1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 1560/Pdt.G/2018/PA.Pbg tentang Cerai Talak PNS ?

2. Apa yang menjadi landasan hukum hakim dalam putuan Nomor 1560/Pdt.G/2018/PA.Pbg tentang Cerai Talak PNS ?

3. Apa yang menjadi metode penemuan hukum hakim dalam putusan Nomor 1560/Pdt.G/2018/PA.Pbg tentang Cerai Talak PNS ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 1560/Pdt.G/2018/PA.Pbg tentang Cerai Talak PNS

2. Untuk mengetahui apa yang menjadi landasan hukum hakim dalam putuan Nomor 1560/Pdt.G/2018/PA.Pbg tentang Cerai Talak PNS

3. Untuk mengetahui apa yang menjadi metode penemuan hukum hakim dalam putusan Nomor 1560/Pdt.G/2018/PA.Pbg tentang Cerai Talak PNS ?

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Kegunaan Teoritis

“Penelitian ini diharapkan berguna dan bermanfaat untuk memberikan

sumbangan pemikiran dalam rangka mengembangkan dan memperkaya ilmu pengetahuan umumnya dibidang hukum Islam khususnya bidang hukum perkawinan yang berlaku di”Indonesia.

(11)

2. Kegunaan Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi lembaga pengadilan terkait Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Terkait Kewajiban Nafkah Bekas Suami Pegawai Negeri Sipil.

b. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat terkait masalah Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Terkait Kewajiban Nafkah Bekas Suami Pegawai Negeri Sipil.

c. Penelitian ini diharapkan menjadi suatu teori menarik khususnya dikalangan mahasiswa Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyah) untuk dikembangkan dan menjadi penelitian lanjutan tentang masalah yang serupa.

E. Batasan Masalah

“Penelitian ini menganalisis putusan PA Purbalingga terhadap tuntutan pembagian sepertiga gaji PNS bekas suami untuk bekas”isteri.”Dari redaksi”tersebut,”terdapat beberapa poin yang menjadi batasan lingkup penelitian”ini.

Satu, penelitian ini hanya membahas mengenai cerai talak yang diajukan oleh PNS.”Penelitian ini mengecualikan permohonan cerai talak yang diajukan oleh selain”PNS.”Karena dua norma yang berbeda dalam kajian penelitian”ini,”yaitu Pasal 149 KHI dan Pasal 8 ayat (1) dan (2) PP 10/1983 hanya berlaku jika cerai diajukan oleh PNS”pria.”Jika diajukan oleh seorang pria namun bukan”PNS,”maka PP 10/1983 tidak berlaku dan tidak ada norma berbeda yang dihadapi dalam

(12)

pertimbangan”hukum.”Jika diajukan oleh PNS wanita atau wanita secara umum, maka putusannya berupa talak bain atau khul’i yang mengecualikan adanya kewajiban nafkah untuk suami baik itu PNS atau”bukan.

Dua,”dalam penelitian ini tidak membahas mengenai”mut’ah.”Meskipun mut’ah adalah salah satu kewajiban bekas suami terhadap bekas isterinya akibat cerai”talak,”namun kewajiban mut’ah adalah unsur kewajiban yang berbeda dari nafkah ‘iddah dan nafkah yang dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1) dan (2) PP”10/1983.”Penelitian ini hanya membahas nafkah ‘iddah dan kewajiban pembagian sepertiga”gaji.

Tiga, penelitian ini kemudian mengakui sistematika penelitian yang mendasarkan penelitian pada analisa kasus. Artinya penelitian ini akan memaparkan landasan teori secara umum tentang kewajiban nafkah ‘iddah berdasarkan KHI dan Hukum Islam secara”umum.”Penelitian ini kemudian juga memaparkan mengenai kewajiban pembagian sepertiga gaji PNS berdasar PP”10/1983.”Dua landasan teori tersebut menjadi dasar bagi analisa perkara PA Purbalingga Nomor 1560/Pdt.G/2018/PA.Pbg.”Itupun analisa hanya terbatas pada fakta kejadian dan hukum yang relevan pada penelitian”ini.”Yaitu fakta terkait keberadaan tuntutan pembagian sepertiga gaji dan pertimbangan Majelis yang menjadi dasar penolakan tuntutan”tersebut.

F. Tinjauan Pustaka

“Dalam penelitian yang dilakukan penulis, sudah banyak yang melakukan penelitian tentang cerai talak suami”PNS.”Hasil penelitian ini dapat ditemukan dalam berbagai”bentuk,”baik makalah,”artikel,”mini

(13)

riset,”maupun”skripsi.”Berikut beberapa hasil penelitian tentang cerai talak suami”PNS:

“Pertama,”Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Furqon (2016) dengan

judul”“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewajiban Memperoleh izin pejabat dalam Perceraian Pegawai Negri Sipil (Studi Pasal 3 Ayat (1) PP No. 10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS) hasil dari penelitian ini ialah bahwasanya mengenai peraturan perceraian di dalam Undang-Undang Pokok Perkawinan atau hukum acara perdata tidak ada yang menyatakan bahwa salah satu syarat perceraian adalah harus adanya kewajiban memperoleh izin atasan atau”pejabat.

“Kedua,”Skripsi yang ditulis oleh M.Samsul Arifin (IAIN Salatiga, 2018)

dengan judul”“Putusan Hakim Dalam Pemenuhan Nafkah Perceraian Pegawai Negri Sipil( Stusi kasus di PA Salatiga Perspektif PP Nomor 45 Tahun 1990)” Hasil dari penelitian ini adalah hakim mengesampingkan PP Nomor 45 Tahun 1990 yang mengatur tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS dengan alasan bahwa PP tersebut merupakan produk dari pejabat Tata Usaha Negara dan tidak termasuk dalam Hukum Acara Peradilan”Agama.

“Hakim tetap menggunakan pada dasar pertimbangan nafkah pada status PNS walaupun bukan dengan asas keadilan untuk suami dan”istri.”Padahal ada peraturan yang mengikat PNS bahwa dalam perceraian ada pembagian gaji yang mana bertumpu pada kenusyuzan seorang istri dan yang berhak memberikan pertimbangan tentang nusyuz atau todaknya seorang istri adalah hakim yang

(14)

memeriksa”perkara.”Maka perlu adanya hubungan antara putusan hakim tersebut dengan aturan perundang-undangan tentang perceraian”PNS.

“Ketiga,”Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Izzi Naufal Al-Thofina

(UIN Sunan Ampel, 2018) dengan judul “ Analisis Yuridis Terhadap Perceraian Pegawai Negeri Sipil Tanpa Izin Atasan (Studi Putusan Nomor:3957/Pdt.G/2016/PA.SDA) ” Hasil penelitian adalah bahwasanya pertimbangan hakim dalam memutus perkara perceraian Pegawai Negri Sipil Tanpa Izin Atasan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 18 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu tidak ada lagi kecocokan di antara kedua belah pihak yang merupakan tujuan”perkawinan.”Selain”itu, walaupun tanpa adanya surat izin dari atasan, atas peringatan dari hakim pemohon telah menyatakan siap menanggung segala resiko yang telah ditulis sesuai surat keterangan bertanggal 17 Mei”2017.

“Keempat,”Skripsi yang ditulis oleh Ayu Rozza (UIN Sumatera”Utara,

2020) dengan judul “Pandangan Hakim Terhadap Perceraian PNS Tanpa izin Atasan di Pengadilan Agama Lubuk Pakam Pada Tahun 2018””Hasil dari penelitian ini yaitu berdasarkan putusan hakim di Pengadilan Agama Lubuk Pakam tentang perceraian PNS tanpa izin atasan adalah aturan yang mengatur disiplin Pegawai Negri Sipil dan bukan merupakan bagian hukum materil perkawinan yang wajib diterapkan oleh”hakim,”kemudian bagi hakim tentang peraturan izin perceraian PNS itu tidaklah”mengikat.”Walaupun PNS sudah memiliki izin dari atasan untuk”bercerai,”akan tetapi majelis hakim tidaklah terikat untuk harus

(15)

menceraikan PNS”tersebut,”bahkan majelis hakim bisa saja menolak perkara perceraian PNS walau pun dia sudah memiliki izin dari atasannya apabila alasan perceraian tidaklah”sesuai.

“Kelima,”Skripsi yang ditulis oleh Alwi Arafat (2005) dengan judul “

Analisis Hukum Islam terhadap Pasal 8 PP No.10 Tahun 1983 tentang Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil dan Penerapannya di”Surabaya”, dimana fokus penelitian ini ada pada praktek penerapan Pasal 8 PP”No.10 Tahun Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian PNS di lapangan atau dalam kenyataan masyarakat terutama mengenai pemberian nafkah suami kepada mantan istri PNS di”Surabaya.

“Keenam,”Skripsi yang ditulis oleh Chisolil Karom (UIN Walisongo

Semarang, 2016) dengan”judul “Gugat Cerai Perempuan PNS”. Hasil penelitian ini yaitu pada praktiknya perceraian perempuan PNS dibedakan dengan adanya surat izin dari atasan dimana tempat PNS tersebut bekerja yang harus dilampirkan saat akan akan mengajukan gugat cerai, jika perempuan PNS tersebut belum mendapatkan surat izin maka perempuan PNS tersebut harus menunggu selama 6”bulan.

“Berdasarkan karya-karya ilmiah tersebut, dapat dilihat penelitian mengenai cerai talak suami PNS memang sudah banyak”dikaji,”akan tetapi penelitian- penelitian sebelumnya kebanyakan hanya terfokus kepada cerai talak suami PNS tanpa izin atasan atau”pejabat.”Adapun pada penelitian ini penulis akan membahas tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jucto Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Dalam Perkara Cerai Talak Pegawai Negeri

(16)

Sipil Di Pengadilan Agama Purbalingga (Studi Analisis Putusan Nomor 1560/Pdt.G/2018/Pa.Pbg).

G. Metode Penelitian

“Metode penelitian adalah suatu cara yang dipergunakan dalam sebuah penelitian untuk mencapai tujuan”penelitian.”Pada penelitian ini metode yang di gunakan adalah metode penelitian Content”Analysis.”Penelitian ini menganalisis putusan Nomor 1560/Pdt.G/2018/PA.Pbg yang menjadi data”primer.”Content Analysis digunakan berdasarkan karakteristik yang disesuaikan dengan”masalah, tujuan dan kerangka berfikir pada penelitian ini yang mana terfokus pada isi”putusan.

1. Jenis Data

“Penelitian ini menggunakan jenis data kualitatif yang diperoleh dari sumber data baik primer maupun”sekunder.”Adapun yang menjadi jenis data dalam penelitian ini adalah”:

1. Data mengenai dasar pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 1560/Pdt.G/2018/PA.Pbg tentang Cerai Talak PNS

2. Data mengenai landasan hukum hakim dalam putuan Nomor 1560/Pdt.G/2018/PA.Pbg tentang Cerai Talak PNS

3. Data mengenai metode penemuan hukum hakim dalam putusan Nomor 1560/Pdt.G/2018/PA.Pbg tentang Cerai Talak PNS

2. Sumber Data a. Sumber Data Primer

(17)

Sumber data primer pada penelitian ini adalah Salinan Putusan No.

1560/PDT.G/2018/PA.PBG di Pengadilan Agama Purbalingg dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PP 10/1983) sebagaimana diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas PP 10/1983 (PP 45/1990).

b. Sumber Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari studi perpustakaan berupa buku-buku hukum, jurnal dan artikel yang berkaitan dengan jenis penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

“Menurut Cik Hasan Bisri dalam menentukan metode pengumpulan data tergantung pada jenis sumber data yang”diperlukan.12”Disamping itu prosedur yang dituntut oleh setiap metode pengumpulan data yang digunakan harus dipenuhi secara tertib.13 Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

a. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi yaitu mengumpulkan dokumen dan data-data yang diperlukan dalam permasalahan penelitian, setelah itu ditelaah secara mendalam sehingga dapat mendukung dan menambah kepercayaan dan pembuktian pada suatu kejadian.14 Studi dokumentasi dilakukan dengan mengkaji Putusan Pengadilan Agama Kota Purbalingga Nomor 1560/Pdt.G/2018/PA.Pbg tentang kewajiban nafkah suami Pegawai Negri Sipil (PNS)

b. Studi Kepustakaan

12 Cik Hasan Bisri.Ibid.hlm.60

13 Sumandi Suryabrata.Metodologi Penelitian.(Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.1998). hlm.84

14 Wahidmurni, Cara Mudah Menulis Proposal Dan Laporan Penelitian Lapangan:Pendekatan Kualitatif Dan Kuantitatif, (Malang:Ikip Malang,2018), hlm.35

(18)

Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data sekunder dengan melakukan pengolahan data yang diambil dari berbagai literatur berupa buku-buku, makalah ilmiah, jurnal, dan catatan serta berbagai laporan yang ingin dipecahkan.

4. Teknik Analisis

Analisis data yang yang digunakan yaitu analisis data kualitatif.15 Sehingga penelitian ini lebih banyak mendasarkan pada pengumpulan data kualitatif yang disajikan dalam bentuk kata verbal, bukan dalam bentuk angka.

Yang mana tujuannya untuk mengungkap kaitan data secara jelas sehingga menjadi pemahaman umum dan sebagai upaya untuk mengungkap makna dari data penelitian dengan cara mengumpulkan data sesuai dengan klasifikasi tertentu.

Adapun tahapan analisis data tersebut sebagai berikut :

a. Seleksi dan klasifikasi data yang telah didapatkan, dalam hal ini adalah Putusan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor 1560/Pdt.G/2018/PA.Pbg tentang kewajiban nafkah terhadap cerai talak suami PNS.

b. Menghubungkan data yang telah diseleksi dengan klasifikasi kemudian dianalisis dan ditafsirkan dengan merujuk kerangka berfikir.

c. Menarik kesimpulan dari data yang telah dianalisis H. Sistematika Penulisan

Bab I memaparkan mengenai latar belakang masalah dalam penelitian penelitian ini. Latar belakang tersebut mendiskusikan mengenai adanya perbedaan ketentuan norma hukum pada kewajiban bekas suami PNS yang mengajukan cerai

15 H.M.Burhan Bungin.Penelitian Kualitatif. (Jakarta:Prenada Media Group, 2011), hlm.248

(19)

talak. Perbedaan norma tersebut kemudian ditemukan dalam Putusan PA Purbalingga nomor 1560/Pdt.G/2018/PA.Pbg. Bab I juga memaparkan mengenai rumusan masalah yang menjadi fokus diskusi penelitian ini. Di akhir penelitian ini, Bab I juga memaparkan tujuan dan kegunaan penelitian yang diharapkan. Selain itu, penting bagi sebuah penelitian untuk membatasi ruang lingkup penelitian sehingga dapat sampai pada tujuan penelitian yang diharapkan tanpa keluar lingkupnya.

Bab II kemudian mendiskusikan mengenai landasan teori kewajiban nafkah bagi suami secara umum berdasarkan KHI dan Fiqh. Kemudian Bab II melanjutkan dengan ketentuan yang berlaku secara khusus untuk PNS pria yang mengajukan cerai talak. Landasan teori ini menjadi dasar Penulis dalam menganalisis Putusan Majelis Hakim yang menolak tuntutan pembagian sepertiga gaji PNS.

Bab III selanjutnya memaparkan putusan PA Purbalingga Nomor 1560/Pdt.G/2018/PA.Pbg dan pertimbangan hukumnya terhadap gugatan rekonvensi pembagian sepertiga gaji.

Bab IV adalah bab inti penelitian ini. Penulis mendiskusikan fakta kejadian dan fakta hukum yang relevan dalam tuntutan pembagian sepertiga gaji PNS.

Kemudian penulis juga mendiskusikan ketentuan yang berlaku sebagaimana landasan teori yang sudah dipaparkan di Bab II. Rumusan masalah yang ingin dijawab adalah bagaimana Majelis mempertimbangkan fakta-fakta relevan yang ada dalam persidangan sehingga mengesampingkan Pasal 8 ayat (1) dan (2) dan

(20)

menolak tuntutan pembagian gaji. Penulis juga berpendapat apakah hal tersebut merupakan pertimbangan yang tepat dalam perkara tersebut.

Bab V kemudian menyimpulkan pertimbangan hukum yang paling tepat ketika dihadapkan pada dua ketentuan yang berbeda dalam memutus tuntutan pembagian sepertiga gaji secara khusus. Simpulan pertimbangan hukum tersebut juga tidak menutup kemungkinan berlaku sebagai pedoman dalam memutus perkara dengan dua norma hukum berbeda yang berlaku.

(21)

BAB II

NAFKAH ISTRI SETELAH PERCERAIAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG

A. Pengertian dan Dasar Hukum Nafkah

“Kata “Nafkah” yag sudah populer di dalam Bahasa Indonesia berasal ari

bahasa Arab yaitu

“ ةقفن”

yang berarti”nafkah,”barang-barang yang dibelanjakan

seperti”uang.16 Nafkah diambil dari kata “Al-Infaq” yang artinya adalah mengeluarkan.

“Nafkah juga berarti”belanja,”yaitu sesuatu yang diberikan oleh seorang suami kepada seorang”isteri,”seorang bapak kepada anak, dan juga kerabat dari miliknya sebagai keperluan pokok bagi”mereka.17”Kata nafkah juga mempunyai makna yaitu segala biaya hidup marupakan hak seorang isteri dan anak-anak dalam hal”makanan,”pakaian dan tempat kediaman serta beberapa kebutuhan pokok”lainnya,”bahkan sekaligus si isteri itu seorang wanita yang”kaya.18

“Dapat disimpulkan nafkah adalah sebuah kewajiban seseorang untuk mengeluarkan nafkah kepada siapa yang berhak”menerimanya,”seperti suami berhak untuk memberi nafkah kepada”isterinya,”anak-anaknya bahkan nafkah yang utama diberi itu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok”kehidupan, yaitu”makanan,”pakaian dan tempat”tinggal.”Kewajiban dalam memberi nafkah tentunya diberikan oleh seorang suami berdasarkan”kesanggupannya,”hal ini dapat

16 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1989)m hlm.

463

17 Aliy As'ad, Terjemahan Fat-Hul Mu'in, Jilid 3, (Jakarta : Menara Kudus), hlm.197

18 Abdurrahman, Perkawinan Dalam Syari'at Islam, Cet.I, (Jakarta:Rineka Cipta, 1992), hlm.121

(22)

disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan agar selaras dengan keadaan dan standar”kehidupannya.”Begitu juga terhadap kerabat yang”miskin,”dan anak- anak”terlantar.

“Sebuah keluarga sampai pada taraf atau tingkat tertentu wajib memberikan nafkah oleh yang bertanggung jawab terhadap keluarga”itu,”hal ini sesuai dengan pendapat Imam Hanafi”"Setiap keluarga sampai pada derajat atau tingkat tertentu berhak untuk”dinafkahi,”seandainya dia masih kanak-kanak dan miskin, lemah atau buta dan melarat”".”Kewajiban memberikan nafkah oleh suami kepada istrinya yang berlaku dalam fiqih didasarkan pada prinsip pemisahan harta antara suami dan”istri.

“Prinsip ini mengikuti alur pikir bahwa suami itu adalah pencari”rezeki,

rezeki yang telah diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan untuk selanjutnya suami berkedudukan sebagai pemberi”nafkah.”Sebaliknya istri bukan pencari rezeki dan untuk memenuhi kebutuhannya ia berkedudukan sebagai penerima”nafkah.”Oleh karena”itu,”kewajiban nafkah tidak relevan dalam komunitas yang mengikuti prinsip penggabungan harta dalam rumah”tangga.19 Ulama fiqih sepakat bahwa nafkah minimal yang harus dikeluarkan adalah yang dapat memenuhi kebutuhan”pokok,”yakni”makanan,”pakaian,”dan tempat tinggal .”Untuk kebutuhan yang terakhir ini, menurut ulama fiqih tidak harus milik sendiri,”melainkan boleh dalam bentuk”kontrakan,”apabila tidak mampu untuk memiliki”sendiri.20

19 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Mnakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm 165-166

20 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru, 1996), hlm.

1281

(23)

“Jadi,”pengertian nafkah menurut yang disepakati ulama adalah belanja

untuk keperluan makan yang mencakup sembilan bahan pokok pakaian dan perumahan atau dalam bahsa sehari-hari disebut”sandang,”pangan dan”papan.

Selain dari tiga hal pokok tersebut jadi perbincangan dikalangan “ulama.

Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT QS. At-Thalaq (65) Ayat 7 :

ُيۡلَف ۥُهُق ۡز ِر ِهۡيَلَع َرِدُق نَم َو ۖۦِهِتَعَس نِ م ٖةَعَس وُذ ۡقِفنُيِل ٓاَم َّلَِإ اًسۡفَن ُ َّللّٱ ُفِ لَكُي َلَ ُُۚ َّللّٱ ُهٰىَتاَء ٓاَّمِم ۡقِفن

ا ٗر ۡسُي ٖر ۡسُع َدۡعَب ُ َّللّٱ ُلَع ۡجَيَس ُۚاَهٰىَتاَء

Artinya : Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.

“Maksud dari ayat di atas bahwa seorang suami wajib memberi nafkah atau pembelanjaan untuk”istrinya,”menurut”kemampuannya.”Jika ia orang yang mampu berikanlah menurut”kemampuannya.”Dan orang yang terbatas”rezkinya, yaitu orang yang terhitung tidak"mampu.”Mereka yang berkemampuan terbatas juga wajib memberi nafkah menurut”keterbatasannya.”Dari definisi di atas dapat dipahami”bahwa,”nafkah adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai manfaat atau nilai materi yang dapat diberikan suami terhadap”istri,”anak dan anggota keluarga lainnya sebagai tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan orang yang ditanggungnya.”Pemberian nafkah berupa”sandang,”pangan dan”papan.”Pemberi an tersebut berlangsung setelah terjadinya akad pernikahan yang”sah.

“Sedang pengertian nafkah dalam perceraian sebagaimana terdapat dalam tafsir”as-Sabuni,”bahwa nafkah itu diartikan sebagai”mut’ah,”yang berarti pemberian seorang suami kepada istrinya yang”diceraikan,”baik itu berupa”uang,

(24)

pakaian atau pembekalan apa saja sebagai bantuan dan penghormatan kepada istrinya itu serta menghindari dari kekejaman talak yang dijatuhkannya”itu. Mut’ah juga berarti sesuatu yang dengannya dapat diperoleh suatu (beberapa) manfaat dan”kesenangan.21

“Berdasarkan uaraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tujuan

pemberian mut’ah seorang suami terhadap istri yang telah diceraikannya adalah dengan adanya pemberian tersebut diharapkan dapat menghibur atau menyenangkan hati istri yang telah diceraikan dan dapat menjadu bekal hidup bagi mantan istri”tersebut,”dan juga untuk membersihkan hati kaum wanita dan menghilangkan kekhawatiran terhadap penghinaan kaum pria”terhadapnya.

Dalil-dalil yang mewajibkan nafkah sebagai berikut : a. Al-Quran

Firman Allah SWT Surat Ath-Thalaq ayat 6 dan 7 sebagai berikut:

ُتنَكَس ُثۡيَح ۡنِم َّنُهوُنِك ۡسَأ ٖل ۡمَح ِتَٰل ْوُأ َّنُك نِإ َو َُّۚنِهۡيَلَع ْاوُقِ يَضُتِل َّنُهو ُّرٓاَضُت َلَ َو ۡمُكِد ۡج ُو نِ م م

َف ۡمُكَل َنۡعَض ۡرَأ ۡنِإَف َُّۚنُهَل ۡمَح َنۡعَضَي ٰىَّتَح َّنِهۡيَلَع ْاوُقِفنَأَف مُكَنۡيَب ْاو ُرِمَتۡأ َو َّنُه َروُجُأ َّنُهوُتا َٔ ٔ

ۡز ِر ِهۡيَلَع َرِدُق نَم َو ۖۦِهِتَعَس نِ م ٖةَعَس وُذ ۡقِفنُيِل ٰى َر ۡخُأ ٓۥُهَل ُع ِض ۡرُتَسَف ۡمُت ۡرَساَعَت نِإ َو ٖۖفو ُرۡعَمِب ۥُهُق

َّلَِإ اًسۡفَن ُ َّللّٱ ُفِ لَكُي َلَ ُُۚ َّللّٱ ُهٰىَتاَء ٓاَّمِم ۡقِفنُيۡلَف ا ٗر ۡسُي ٖر ۡسُع َدۡعَب ُ َّللّٱ ُلَع ۡجَيَس ُۚاَهٰىَتاَء ٓاَم

Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”

b. Hadits

21 Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta, Raja Grafindo, 2009) hlm. 167

(25)

“Selain firman Allah yang menjelaskan tentang wajibnya nafkah terhadap”isteri,”terdapat juga dalam Sunnah Nabi,”yaitu Rasulullah SAW bersabda :

مكل ناو الله ةملكب نهجورف متللحتساو الله ةنامبا نهوتمذخا مكنإف ءاسنلا في الله اوقتاف يرغ بارض نهوبرض اف كلذ نلعف نإف هن وه مكت ادحا مككرف ننئ ْطوي لا نا نهيلع مكيلع نلهو حبرم فورعلم ا ب نته وسكو نهقزر

) هجام نبا هاور (

B. Nafkah Istri Pasca Perceraian Perspektif Imam Madzhab

“Istri yang ditalak oleh suaminya masih mendapatkan hak-hak dari mantan suaminya selama berada dalam masa”iddah,”karena dalam masa itu dia tidak boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki”lain.”Fuqaha telah sependapat bahwa talak itu ada dua macam, yaitu talak ba’in dan talak”raj’i. Talak raj’i adalah talak yang suami masih berhak untuk rujuk kepada”istrinya, meskipun istri tidak menghendaki kembali selama masih dalam masa iddah tanpa ada mahar dan akad yang”baru.22”Sedangkan talak ba’in adalah talak yang memutuskan tali pernikahan antara suami dan istri secara total atau sering disebut dengan talak”tiga.23

“Istri yang diceraikan oleh suaminya masih berhak mendapatkan hak selama masa”iddah.”Bentuk hak yang diterima tidak tergantung pada lama masa iddah yang”dijalaninya,”tetapi bergantung pada bentuk perceraian yang dialaminya.24”Para fuqaha telah sepakat bahwa wanita yang sedang dalam masa iddah talak raj’i berhak atas nafkah dari bekas”suami.

22 Muhammad Ya’qub Thalib Ubaidi, Nafkah istri, terj. M. Ashim, (Jakarta: Darus Sunnah, 2007), hlm. 181.

23 Muhammad At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Insan Kamil, terj. Achmad Munir Badjeber dkk, qJakarta: Darus Sunnah Press, 2012), hlm. 1059.

24 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007), hlm. 322.

(26)

“Nafkah yang dimaksud di sini adalah nafkah seperti yang diberikan sebelum terjadi”perceraian.25”Wanita dalam masa iddah talak raj’i berhak menerima tempat tinggal dan nafkah baik berupa pakaian maupun pangan26 mengingat bahwa statusnya masih sebagai istri yang sah dan memiliki hak-hak sebagai”istri.”Kecuali apabila istri tersebut dianggap nusyuz maka ia tidak berhak apa-apa. Allah SWT berfirman dalam Surat at-Talaq ayat 6 yang berkenaan dengan talak raj’i dan talak wanita yang sedang”hamil.

َح ِتَٰل ْوُأ َّنُك نِإ َو َُّۚنِهۡيَلَع ْاوُقِ يَضُتِل َّنُهو ُّرٓاَضُت َلَ َو ۡمُكِد ۡج ُو نِ م مُتنَكَس ُثۡيَح ۡنِم َّنُهوُنِك ۡسَأ ٖل ۡم

َلَع ْاوُقِفنَأَف َف ۡمُكَل َنۡعَض ۡرَأ ۡنِإَف َُّۚنُهَل ۡمَح َنۡعَضَي ٰىَّتَح َّنِهۡي

مُكَنۡيَب ْاو ُرِمَتۡأ َو َّنُه َروُجُأ َّنُهوُتا َٔ ٔ

ٰى َر ۡخُأ ٓۥُهَل ُع ِض ۡرُتَسَف ۡمُت ۡرَساَعَت نِإ َو ٖۖفو ُرۡعَمِب

Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”

“Ayat ini merupakan dasar bagi suami untuk memberikan tempat tinggal

bagi istri yang ditalaknya selama mereka masih dalam iddah dan tidak diperbolehkan bagi istri untuk keluar atau pindah ketempat lain kecuali suami telah bersikap yang tidak”baik.”Ayat ini juga memberikan pengertian yang tegas tentang kewajiban lainnya yang harus dipenuhi oleh suami yaitu memberikan biaya kepada

25 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hlm. 97.

26 Musthafa Dib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap, terj. D.A Pakihsati, (Surakarta: Media Zikir, 2009), hlm. 400.

(27)

istri yang ditalak sebagai upah menyusui”anak-anaknya.27”Namun untuk wanita yang menjalani talak”ba’in,”Imam”Hanafi,”Imam”Malik,”Imam Syafi’i dan Imam Hambali berbeda”pendapat.

1. Imam Hanafi

“Menurut Imam”Hanafi,”perempuan dalam iddah talak ba’in berhak juga atas nafkah baik dalam keadaan hamil maupun”tidak.”Sebab selama menjalani iddah istri harus tetap tingal di rumah bekas”suami.28”Imam Hanafi menganggap surat at-Talaq ayat 6 itu bersifat umum dan dalam ayat tersebut tidak mengandung pengkhususan. Berbeda dengan surat a-Talaq ayat 1 :

َّنُهوُقِ لَطَف َءٓاَسِ نلٱ ُمُتۡقَّلَط اَذِإ ُّيِبَّنلٱ اَهُّيَأ ٓٔ

َّنُهوُج ِر ۡخُت َلَ ۖۡمُكَّب َر َ َّللّٱ ْاوُقَّتٱ َو َۖةَّدِعۡلٱ ْاوُص ۡحَأ َو َّنِهِتَّدِعِل

َّدَعَتَي نَم َو َُِّۚللّٱ ُدوُدُح َكۡلِت َو ُٖۚةَنِ يَبُّم ٖةَش ِحَٰفِب َنيِتۡأَي نَأ ٓ َّلَِإ َن ۡج ُر ۡخَي َلَ َو َّنِهِتوُيُب ۢنِم َمَلَظ ۡدَقَف ِ َّللّٱ َدوُدُح

َلَ ُۚۥُهَسۡفَن ا ٗر ۡمَأ َكِلَٰذ َدۡعَب ُثِد ۡحُي َ َّللّٱ َّلَعَل ي ِر ۡدَت

Artinya : “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum- hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.

Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”

“Ayat di atas menyebutkan bahwa Allah memerintahkan agar memberikan tempat tinggal kepada wanita yang”ditalak.”Ayat di atas ditujukan kepada wanita yang ditalak raj’i karena terdapat pengkhususan yang menunjukkan ayat tersebut ditujukan kepada wanita yang ditalak”raj’i. Pengkhususan yang dimaksud adalah :

27 Mahmoud Syaltout, Perbandingan Madzhab Dalam Masalah Fiqih, terj. Ismuha, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987), hlm. 235-236

28Basyir, Hukum Perkawinan, hlm. 97-98

(28)

حثِدْحيُ اَّللَّا َّلاعال يِرْدات الا اًرْماأ اكِلَٰاذ ادْعا ب

“Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”

“Potongan ayat tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan adanya ruju’

setelah terjadi”perceraian.”Talak yang boleh diruju’ setelah terjadi perceraian tanpa syarat adalah talak”raj’i.”Pengkhususan terhadap surat at-Talaq ayat satu juga ditunjukkan pada ayat 2 :

ٖل ۡدَع ۡي َوَذ ْاوُدِه ۡشَأ َو ٖفو ُرۡعَمِب َّنُهوُق ِراَف ۡوَأ ٍفو ُرۡعَمِب َّنُهوُكِس ۡمَأَف َّنُهَلَجَأ َنۡغَلَب اَذِإَف ْاوُميِقَأ َو ۡمُكنِ م

َع ۡجَي َ َّللّٱ ِقَّتَي نَم َو ُِۚر ِخٓ ۡلۡٱ ِم ۡوَيۡلٱ َو ِ َّللّٱِب ُنِم ۡؤُي َناَك نَم ۦِهِب ُظَعوُي ۡمُكِلَٰذ َُِّۚ ِللّ َةَد َٰهَّشلٱ ا ٗج َر ۡخَم ۥُهَّل ل

Artinya : “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya

Jalan keluar”

“Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang suami mendapatkan pilihan antara

ingin melakukan ruju’ atau melepaskan pengkhususan dari ayat 1 untuk menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa surat at-Talaq ayat 1 menunjukkan talak”raj’i.”Surat at-Talaq ayat 1 ini dijadikan dasar oleh Imam Hanafi yang menyatakan keumuman dari surat at-Talaq ayat 6.

“Seandainya surat at-Talaq ayat 6 hanya ditujukan kepada wanita yang

ditalak raj’i dan talak ba’in yang sedang hamil, maka seharusnya terdapat pengkhususan yang menunjukkan”demikian.”Tetapi,”Imam Hanafi memandang tidak ada pengkhususan di dalam surat at-Talaq ayat 6 sehingga ayat tersebut

(29)

ditujukan kepada semua wanita yang tertalak baik talak”raj’i,”talak ba’in yang sedang hamil atau talak ba’in dalam keadaan tidak”hamil.29

2. Imam Malik dan Imam Syafi’i

“Sementara menurut Imam Malik dan Imam”Syafi’i, suami hanya berkewajiban menyediakan tempat”tinggal.”Hal itu didasarkan pada firman Allah dalam Surat at-Talaq ayat 6 di”atas.”Dalam ayat”itu,”suami”diwajibkan menyediakan tempat tinggal bagi istri secara mutlak, apakah ia dalam keadaan hamil atau”tidak.”Menurut”mereka,”suami tidak berkewajiban memenuhi nafkah makanan dan”pakaian.”Hal itu berangkat dari pemahaman terhadap surat at-Talaq ayat 6”(di atas).”Secara pemahaman,”Ayat ini tidak menunjukkan adanya kewajiban memberi nafkah terhadap istri yang tidak”hamil.

“Gugurnya kewajiban nafkah ini juga berdasarkan hadits yang

diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al- Muwattha’serta Imam Muslim dari hadits Fatimah binti”Qais.”Nabi SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatan oleh Imam Muslim :

ةاقافا ن ِهْيالاع ِكال اسْيال

“Tidak wajib atasnya untukmu nafkah”

“Hadits tersebut menjelaskan bahwa Nabi menyuruh Fatimah binti Qais beriddah di rumah Ibnu Ummi”Maktum.”Nabi tidak menyebut gugurnya hak perumahan, maka terpakailah surat at-Talaq ayat 6 menurut”keumumannya.30

29 Abu Bakar Al-Kasani Al-Hanafi, Badai’ ash-Shanai’, Juz III (Cet. II; Beirut: Dar al- Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1986), hlm. 186.

30Syaltout, Perbandingan Madzhab, hlm. 235-236

(30)

Namun jika diteliti”kembali,”hadits di atas justru menunjukkan bahwa tidak adanya hak nafkah dan tempat tinggal bagi istri yang telah”ditalak.

“Hadits tersebut berkisah tentang Fatimah binti Qais yang ditalak ba’in oleh suaminya yaitu Abu ‘Amr bin”Hafs.”Setelah”diceraikan,”Abu ‘Amr bin Hafs melalui wakilnya masih mengirimkan gandum untuk Fatiman binti”Qais.”Setelah itu Fatimah binti Qais menadukan perihal tersebut kepada Rasulullah SAW terkait pemberian gandum oleh Abu ‘Amr bin Hafs. Rasulullah pun bersabda bahwa tidak hak nafkah bagi Fatimah binti Qais yang kemdian memerintahkannya untuk beriddah di rumah Ummi”Maktum.

“Jika Fatimah binti Qais tetap mendapatkan hak tempat”tinggal,”maka

seharusnya Rasulullah memerintahkan Abu ‘Amr bin Hafs untuk menyediakannya.

Tetapi yang terjadi Rasulullah memerintahkan Fatimah untuk beriddah di rumah Ummi Maktum sampai selesai masa”iddahnya.”Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dibicarakan pada ayat 6 tersebut berkaitan dengan wanita yang dicerai dengan talak”raj’i.”Hukum-hukum yang diterangkan dalam ayat 6 itu diperuntukkan bagi para suami dan istri yang ditalak”raj’i.

3. Imam Hanbali

“Menurut Imam”Hanbali,”suami tidak berkewajiban memberi nafkah dan tempat”tinggal,”karena ketika Fatimah binti Qais ditalak (talak ba’in) oleh suaminya,”Rasulullah tidak membebankannya dengan nafkah dan tempat”tinggal.

(31)

Beliau hanya mengatakan nafkah dan tempat tinggal menjadi hak seorang perempuan jika suaminya masih memiliki hak”rujuk.”Pendapat Imam Hanbali ini telah sesuai dengan beberapa riwayat tentang Fatimah binti Qais yang berbicara tentang hak nafkah dan tempat tinggal bagi wanita yang ditalak”ba’in.

“Dengan terjadinya talak”ba’in,”maka dengan itu pula telah putus

hubungan antara suami istri serta gugurnya hak dan kewajiban yang disebabkan oleh”pernikahan.”Jika wanita yang ditalak ba’in masih mendapat tempat tinggal bersama”suami,”berarti suami tersebut melakukan perbuatan yang terlarang karena mempersilahkan seorang wanita yang asig yang tidak memiliki hubungan apapun tinggal selama masa”iddahnya.

“Menurut Amir Syarifuddin dalam bukunya yang berjudul Garis-Garis Besar”Fiqih,”istri yang telah bercerai dengan suaminya masih mendapatkan hak- hak dari bekas suaminya itu selama dia masih menjalani masa”iddah.”Tetapi, bentuk hak yang diterima tidak tergantung pada lama masa iddah yang dijalaninya,”hanya tergantung pada bentuk perceraian yang”dialaminya.”Adapun hak-hak yang didapatkan adalah sebagai”berikut :

1. Istri yang dicerai dalam bentuk talaq”raj’i,”hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana yang berlaku sebelum”dicerai,”baik dalam bentuk pembelanjaan untuk”pangan,”untuk pakaian dan juga tempat”tinggal.

2. Istri yang dicerai dalam bentuk talaq”ba’in,”baik ba’in sughra atau ba’in qubra,”dia berhak atas tempat”tinggal,”bila ia tidak dalam keadaan”hamil.

Apabila ia sedang dalam keadaan”hamil,”maka ulama sepakat bahwa ia mendapatkan nafkah dan tempat tinggal selama masa”kehamilannya.

(32)

3. Istri yang ditinggal mati suaminya.”Hal yang disepakati bahwa ia berhak mendapatkan tempat tinggal selama dalam masa”iddah,”kerena ia harus menjalani masa iddah di rumah suaminya dan tidak dapat kawin selama”itu.

Adapun nafkah dan pakaian kebanyakan ulama menyamakannya dengan cerai dalam bentuk”ba’in.31

“Dengan adanya sebuah hak yang berupa pemberian nafkah kepada bekas istri yang dicerai talaq selama masa”iddah,”maka bekas istri juga mempunyai kewajiban selama masa”iddah,”yang mana ia harus menjaga”dirinya, tidak menerima pinangan orang lain,”tidak keluar dari rumah selama masa iddah dan idak menikah dengan orang”lain.”Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam Fiqih Islam Wa Adillatuhu juga menjelaskan tentang hak dan kewajiban istri dalam menjalani masa”iddah.”Adapun hak dan kewajiban istri :

a. Pengharaman untuk melakukan lamaran,

“Selain suami tidak boleh melamar secara terang-terangan perempuan yang tengah menjalani masa”iddah,”tanpa memperdulikan apakah perempuan ini adalah istri yang ditalak atau yang ditinggal mati”suami,”karena perempuan yang ditalak raj’i masih berada dalam”perkawinan,”maka tidak boleh”melamarnya.

b. Pengharaman untuk melakukan perkawinan dengan”laki-laki.

“Orang lain selain suami tidak boleh menikahi perempuan yang tengah

menjalani masa”iddah,”karena masih adanya ikatan perkawinan dalam talak raj’i c. Pengharaman keluar dari”rumah.

31 Amir Syarifuddin,Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta Timur : Prenada Media, 2003)hlm. 144

(33)

“Bagi perempuan yang menjalani masa iddah akibat talak tiga atai talak ba’in,”atau talak”raj’i,”tidak boleh keluar dari rumahnya yang menjadi tempat iddah akibat”perjalanan.

d. Tinggal di rumah dan nafkah. Nafkah adalah hak yang harus dipenuhi oleh suami kepada istri sedangkan tinggalnya istri yang tengah menjalani masa iddah di rumah perkawinan adalah suatu”kewajiban.32

C. Jumlah Nafkah Iddah

“Terkait jumlah nafkah yang harus dikeluarkan oleh suami selama masa iddah,”Al-Quran dan hadits tidak menjelaskannya secara”rinci.”Al-Quran hanya memberikan gambaran secara umum bahwa nafkah yang dikeluarkan oleh suami kepada istrinya hendaknya sesuai dengan keperluan sehari-hari serta sebanding dengan penghasilan yang didapat oleh”suami.”Para fuqaha pun berbeda pendapat mengenai kadar nafkah secara spesifik. Dalam hal ini terdapat tiga pendapat tentang apa yang dijadikan ukuran penetapan”nafkah, yaitu :33

“Pertama,”pendapat Imam Ahmad yang mengatakan bahwa yang

dijadikan ukuran dalam menetapkan nafkah adalah status sosial ekonomi suami dan istri secara”bersama-sama.”Jika keduanya memiliki status sosial-ekonomi yang”berbeda,”maka diambil standar menengah di antara”keduanya.”Kedua, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik mengatakan yang dijadikan standar adalah kebutuhan”istri.”Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi :

32 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Penerjemah : Abdul Hayyie al- Kattani,dkk), (Jakarta : Gema Insani, 2011), hlm. 561

33 Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 170.

(34)

ۡرُي ُت َٰدِل َٰوۡلٱ َو َّنُهُق ۡز ِر ۥُهَل ِدوُل ۡوَمۡلٱ ىَلَع َو َُۚةَعاَض َّرلٱ َّمِتُي نَأ َدا َرَأ ۡنَمِل ِۖنۡيَلِماَك ِنۡيَل ۡوَح َّنُهَدَٰل ۡوَأ َنۡع ِض

َّل ٞدوُل ۡوَم َلَ َو اَهِدَل َوِب ُۢةَدِل َٰو َّرٓاَضُت َلَ ُۚاَهَع ۡس ُو َّلَِإ ٌسۡفَن ُفَّلَكُت َلَ ُِۚفو ُرۡعَمۡلٱِب َّنُهُت َو ۡسِك َو ُۚۦِهِدَل َوِب ۥ ُه

ِإَو َۗاَمِهۡيَلَع َحاَنُج َلََف ٖر ُواَشَت َو اَمُهۡنِ م ٖضا َرَت نَع ًلَاَصِف اَدا َرَأ ۡنِإَف ََۗكِلَٰذ ُلۡثِم ِث ِرا َوۡلٱ ىَلَع َو ۡن

َمۡلٱِب مُتۡيَتاَء ٓاَّم مُت ۡمَّلَس اَذِإ ۡمُكۡيَلَع َحاَنُج َلََف ۡمُكَدَٰل ۡوَأ ْا ٓوُع ِض ۡرَت ۡسَت نَأ ۡمُّتد َرَأ ْا ٓوُمَل ۡعٱ َو َ َّللّٱ ْاوُقَّتٱ َو َِۗفو ُرۡع

ٞري ِصَب َنوُلَمۡعَت اَمِب َ َّللّٱ َّنَأ

Artinya :“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.

Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

“Pengertian ma’ruf dalam ayat ini dipahami ulama mazhab Hanafiyyah

dan mazhab Malikiyyah dengan arti”mencukupi.”Ketiga,”Imam Syafi’I dan pengikutnya berpendapat bahwa yang dijadikan standar dalam ukuran nafkah istri adalah status sosial dan kemampuan ekonomi”suami.”Pendapat ini juga berlaku dikalangan ulama Syi’ah”Imamiyah.”Dasar yang dijadikan landasan oleh ulama ini adalah firman allah dalam surat at-Talaq ayat”7.”Selanjutnya para ulama Syafi’iyah merinci kewajiban suami pada tiga”tingkatan.”Bagi suami yang kaya kewajibannya adalah dua mud (1 mud = 1 kati atau 800 gram).”Kewajiban suami yng miskin adalah satu”mud,”dan yang pertengahan adalah satu setengah”mud.

D. Hak-Hak Istri Pasca Perceraian Perspektif Undang-Undang 1. Hak-Hak Istri Pasca Perceraian dalam KHI

Istri yang diceraikan oleh suaminya masih memiliki hak-hak yang biasa diajukan kepada suami yang”menceraikan.”Islam mengatur hak-hak yang biasa

(35)

diperoleh mantan istri selama masa iddah dengan tujuan agar istri tersebut tidak begitu saja terlantar akibat”perceraian.”Hak-hak yang diatur oleh Islam ini tertuang dalam KHI pasal 149 tentang akibat putusnya perkawinan sebagai berikut :

a. Pemberian Mut’ah

“Makna mut’ah adalah sejumlah harta ynang wajib diserahkan suami

kepada istrinya yang telah diceraikan semasa hidupnya dengan cara talak atau cara semakna”dengannya.”Muhammad ath-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan bahwa mut’ah adalah sesuatu yang dapat menyenangkan berupa”pakaian,”nafkah pelayan atau lainnya yang dapat menghibur”hatinya.34”Tujuan dari nafkah mut’ah ini adalah sebagai penghibur dan penghormatan kepada istri yang ditalak oleh suaminya.”Pemberian tersebut diharapkan dapat menghibur atau menyenangkan hati istri yang telah diceraikan dan dapat menjadi bekal hidup bagi mantan istri tersebut,”serta untuk membersihkan hati kaum wanita dan menghilangkan kekhawatiran terjadinya penghinaan kaum pria”terhadapnya.35

“Jumlah besarnya nafkah mut’ah yang diberikan kepada mantan istri

disesuaikan dengan kemampuan mantan suaminya sebagaimana telah tertulis dalam KHI pasal 160 yaitu”“”besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan”suami”.”Nafkah mut’ah wajib diberikan oleh mantan suami sebagaimana terdapat dalam KHI pasal 158 dengan”syarat :

1. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al-dukhul

34 Abu Ja’far Muhammad Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Juz IV, terj. Ahsan Askan, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 268.

35Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta Timur: Prenanda Media, 2003), hlm.

92-93.

(36)

2. Perceraian itu atas kehendak suami b. Nafkah Iddah, Maskan dan Kiswah

“Istri yang ditalak oleh suaminya berhak mendapat nafkah iddah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah”(pakaian).”Hal ini disebutkan dalam KHI pasal 149 b yaitu”:”“memberi”nafkah,”maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah,”kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak”hamil.

“Mengenai kadar nafkah yang”diberikan,”KHI pasal 80 ayat 2 mengatakan”suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan”kemampuannya.”Pasal tersebut tidak menetapkan secara pasti mengenai ketetapan berap kadar nafkah yang harus dikeluarkan suami terhadap”istri.

c. Hak Tatas Mahar Yang Belum Dibayar

“Mahar secara etimologi adalah”maskawin.”Sedangkan secara terminolgi

ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.”Mahar bisa juga didefinisikan sebagai pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon”istrinya,”baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).36

“Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita

dengan memberikan hak-hak kepadanya dan salah satu bentuk hal tersebut adalah

36 Sohari Sahrani dkk, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), hlm. 36-37

(37)

hak menerima”mahar.”Islam menjadikan mahar sebagai salah satu tanda penghormatan kepada”wanita.”Mahar tersebut menjadi hak mutlak seorang wanita tanpa ada siapaun yang boleh menggunakannya tanpa seizin wanita tersebut meskipun itu suaminya”sendiri.”Namun,”hal tersebut tidak berlaku bagi istri yang melakukan khulu’ atau perceraian yang terjadi karena permintaan istri. Ketika seorang istri melakukan”khulu’,”makai dia harus mengembalikan semua bagian mahar yang telah dibayarkan”kepadanya.37

“Pembayaran mahar oleh pihak suami sebaiknya disesuaikan dengan permintaan calon”istri,”karena calon istri tersebutlah yang kelak menjadi pemilik mahar yang diberikan”tersebut.”Mahar yang dibayarkan hendaknya juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai”berikut :

a. Barangnya suci dan bisa diambil”manfaatnya.”Tidak sah mahar dengan memberikan”khamr,”babi atau”darah,”karena semua itu haram dan tidak berharga.

b. Barang tersebut bukanlah barang”ghasab.”Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya”kelak.”Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah namun akadnya tetap”sah.

c. Bukan barang yang tidak jelas”keadaannya.”Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas”keadaannya,”atau tidak disebutkan jenisnya.38

37Abdur Rahman I., Shari’ah The Islamic Law, terj. Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi.

(Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm. 67

38 Sahrani, Fikih Munakahat, hlm. 40

(38)

“Jika ternyata mahar tersebut belum dibayarkan namun telah terjadi talak dimana

suami yang mengajukan perceraian, maka suami tetap wajib untuk melunsi mahar tersebut.”Ketetapan ini tertuang dalam KHI pasal 149 c yaitu”“melunasi mahar yang masih terhutang”seluruhnya,”dan separoh apabila”qabla al-dukhul.”

d. Hak Pemeliharaan Anak (Hadhanah)

“Hadhanah berasal dari Bahasa arab yang mempunyai arti antara”lain :

hak”memelihara,”mendidik,”mengatur,”mengurus segala kepentingan / urusan anak-anak yang belum”mumayyiz.39”Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus”perkawinan.40”Para ulama sepakat bahwa hadhanah atau pemeliharaan anak adalah bersifat wajib sebagaimana pemeliharaan ketika masih dalam ikatan”perkawinan.

“Ketika ikatan perkawinan masih”berlangsung,”maka ayah dan ibu wajib melakukan pemeliharaan anak tersebut secara”bersama-sama.”Pemeliharaan atau pengasuhan tersebut melibatkan kedua belah”pihak,”yaitu antara orang tua dan anak yang”diasuh.”Namun ketika terjadi perceraian dimana ayah dan ibu tersebut harus”berpisah,”maka antara ayah atau ibu berkewajiban memelihara anak tersebut secara”sendiri-sendiri.”Hendaklah ia orang yang”mukallaf,”yaitu orang yang telah baligh, berakal, dan tidak terganggu”ingatannya.Kewajiban untuk membiayai anak yang masih kecil tersebut dibebankan kepada ayah anak”tersebut.

“Perihal ini tercantum dalam KHI pasal 156 d yaitu”:”“semua biaya

hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut

39 Sahrani, Fikih Munakahat, hlm. 215

40 Syarifuddin, Hukum Perkawinan, hlm. 327

Referensi

Dokumen terkait

Penulis mengikuti program S-1 pada jurusan Hukum Ekonomi Syariah (HES), Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam (FSEI) pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh

Penulis mengikuti program S1 pada Fakultas Syariah Program Studi Hukum Ekonomi Syariah di Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon, dan mengambil

Penulis mengikuti program S-1 pada jurusan Hukum Ekonomi Syariah (HES), Fakultas Syariah (FS) pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon,

Penulis mengikuti program S-1 pada jurusan Hukum Ekonomi Syariah (HES) Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam (FSEI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon

Penulis mengikuti program S-1 pada jurusan Hukum Ekonomi Syariah (HES), Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam (FSEI) pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Peneliti mengikuti program S-1 pada jurusan Hukum Ekonomi Syariah (HES), Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam (FSEI) pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati

Skripsi yang disusun oleh Kholifatun Ni’mah, Nim : 3221113006, tahun 2015 dari Institut Agama Islam negeri Tulungagung, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum yang berjudul

Keberadaan vila yang menjadi suatu fenomena dalam industri pariwisata di Kabupaten Badung dan Bali pada umumnya, secara tidak langsung telah memberikan nilai lebih bagi