TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENARIKAN KEMBALI
NAFKAH
MAD{IAH
ISTRI OLEH SUAMI AKIBAT PERCERAIAN
(Studi Kasus di Kelurahan Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya)
SKRIPSI
Oleh Muhamad Romli NIM. C01213060
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan yang berjudul “Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Penarikan Kembali Nafkah Mad{iah Istri Akibat Perceraian (Studi
Kasus di Kelurahan Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya)”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan, apa faktor penyebab suami menarik kembali nafkah madia{h istri akibat perceraian di Kelurahan Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya? serta bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap penarikan kembali nafkah madia{h istri akibat perceraian di Kelurahan Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya? sedangkan data penulis kumpulkan dalam penelitian adalah dengan cara interview dan dokumentasi. Selanjutnya data tersebut dianalisis dengan metode deskriptif analitis.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa faktor penyebab suami menarik kembali nafkah mad{iah istri akibat perceraian di Kelurahan Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya adalah kerena suami pada waktu itu benar-benar kesulitan dalam hal ekonomi, serta suami merasa istri kurang setia pada masa menjalani rumah tangga bersama istri, kerena istri tidak menemani serta merawat suami ketika suami sakit di desa, dan suami melakukan hal itu tanpa melihat ketentuan yang berlaku, dalam hal ini baik suami atau istri kurang memahami masalah hukum akibat pengetahuan mereka yang kurang memadai sehingga tidak adanya kesadaran hukum.
Menurut analisis hukum Islam tentang penarikan kembali nafkah mad{iah istri akibat perceraian di Kelurahan Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 80 (4) huruf a KHI menyatakan bahwa
pemberian nafkah, kiswah, tempat kediaman merupakan kewajiban penuh suami
terhadap istri, bukan malah mengambil hak istrinya. Penariakan kembali nafkah mad{iah istri akibat perceraian tidak di perbolehkan kerena nafkah termasuk hibah
(pemberian), oleh kerena itu suami tidak boleh mengambil kembali nafkah mad{iah
yang sudah di berikan kepada istri.
Sejalan dengan uraian diatas, hendaknya mantan suami tidak melakukan
penarikan kembali nafkah mad}iah istri akibat perceraian kerena nafkah merupakan
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Kajian Pustaka ... 9
E. Tujuan Penelitian ... 10
F. Kegunaan Hasil Peneltian ... 11
G. Definisi Oprasional ... 12
H. Jenis Penelitian ... 12
I. Sistematika Pembahasan ... 17
BAB II NAFKAH MENURUT HUKUM ISLAM ... 19
A.Pengertian Nafkah ... 19
B.Dasar Hukum Nafkah ... 21
C.Hikmah Kewajiban Nafkah ... 23
D.Sebab-sebab yang Mewajibkan Nafkah ... 24
E. Hak da Kewajiban Suami Terhadap Istri ... 27
1. Hak Suami atas Istri ... 27
F. Hak dan Kewajiban Istri terhadap Suami ... 29
1. Hak Istri atas Suami ... 29
2. Kewajiban Istri terhadap Suami ... 34
G. Hak dan Kewajiban Suami Istri ... 36
1. Hak Bersama Suami Istri ... 37
2. Kewajiban Suami Istri ... 38
H. Harta Dalam Perkawinan ... 40
I. Hak dan Kewajiban Suami Terhadap Istri Setelah Perceraian ... 45
BAB III PENARIKAN KEMBALI NAFKAH MADIAH ISTRI AKIBAT PERCERAIAN DI KELURAHAN SEMOLOWARU KECAMATAN SUKOLILO KOTA SURABAYA ... 50
A. Deskripsi Tentang Kehidupan Rumah Tangga Bapak Slamet Romdhoni dengan Ibu Khoiril Ashwati ... 50
B. Faktor yang Menyebabkan Suami Menarik Kembali Nafkah Madiah Istri Akibat Perceraian ... 53
C. Pandangan Tokoh Masyarakat Terhadap Penarikan Kembali Nafkah Madiah Istri Akibat Perceraian ... 54
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENARIKAN KEMBALI NAFKAH MAD{IAH ISTRI AKIBAT PERCERAIAN DI KELURAHAN SEMOLOWARU KECAMATAN SUKOLILO KOTA SURABAYA ... 64
BAB V PENUTUP ... A. Kesimpulan ... 65
B. Saran-Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya pernikahan adalah fitrah dari manusia. Rasullulah saw
menyebut menikah adalah sunahnya. Kita paham betul bahwa setiap
pasangan muslim dan muslimah mempunyai tujuan yang utama dalam
menikah yaitu mendapatkan ridha Allah swt, dalam tujuan tersebut
tersimpan perwujudan membentuk keluarga yang saki@nah mawaddah
warah{mah. Keluarga sakinah merupakan dambaan setiap pasangan suami
istri dalam kehidupan rumah tangga. Kita juga menyadari bahwa setiap
keluarga sakinah dapat menciptakan kedamian, kebahagian serta
kesejahteraan.
Sebagaimana Firman Allah swt dalam QS. Ar-Ruum: 21, yang
berbunyi:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmuisteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berfikir.1
Upaya membentuk keluarga sakinah perlu adanya pemenuhan hak dan
kewajiban dari suami istri, dimana hak dan kewajiban itu memiliki makna
dalam diri masing-masing baik suami ataupun istri.
1Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro
2
Sepasang suami istri yang dipersatukan oleh ikatan pernikahan juga
sadar bahwa keluarga adalah organisasi kecil yang memiliki aturan dalam
pengelolahannya, oleh kerena itu sepasang suami istri harus bisa memahami
hak dan kewajiban dirinya atas pasangannya dan anggota keluarga lainnya.
Sepasang suami istri dalam berinteraksi di dalam rumah tangga sepatutnya
melandasi hubungan mereka dengan semangat mencari keseimbangan,
menegakkan keadilan, menebar kasih sayang dan mendahulukan menunaikan
kewajiban dari pada menuntut hak. Jika suami istri sama-sama sudah
menjalankan tanggung jawab masing-masing maka akan terwujudlah
ketentraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagian hidup
berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga akan terwujud
sesuai dengan tatanan agama, yakni Saki@nah, mawaddah, warah{mah.2
Dalam pasal 80 KHI disebutkan bahwa seorang suami berfungsi
sebagai pembimbing, pelindung, dan penanggung jawab atas segala
keperluan istri dan keluarga dalam rumah tangga, sedangkan dalam pasal 83
menjelaskan bahwa kewajiban seorang istri adalah berbakti lahir batin
kepada suami serta mengatur segala keperluan rumah tangga.3 Bahwa suami
patut memberikan nafkah lahir ataupun batin. Kaum muslimin sepakat
bahwa perkawinan merupakan salah satu penyebab adanya kewajiban
pemberian nafkah seperti halnya kekerabatan. Nafkah atas istri ditetapkan
Nash-nya dalam firman Allah surat al-Baqarah,ayat 233 :
2Slamet Abidin Aminuddin, Fiqih Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 146.
3Undang-Undang Perkawinan dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Surabaya:
3
"Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakian kepada ibu dengan cara yang ma’ruf".
Yang dimaksud para ibu di atas adalah istri-istri, sedangkan yang
dimaksud dengan ayah adalah para suami.4 Juga berdasarkan hadis yang
berbunyi :
هاور( ِفوُرْعَملاِب َنُهُ تَوْسِكَو َنُهُ قْزِر ْمُكْيَلَع َنُهَلو َ : عادولا ةجح يف م.ص ها لوسر لاق
)ملسم
“Rasullulah s.a.w bersabda pada haji wada’ (pengabisan) kewajiban suami terhadap istriny memberikan belanja dan pakian dengan cara yang ma’ruf. (H.R. Muslim)”.5
Berbagai persoalan perkawinan banyak timbul pada saat ini juga
banyak muncul pada masa sebelumnya, persoalan yang selalu menarik untuk
diperbincangkan, yaitu khususnya permasalahan pemenuhan hak dan
kewajiban suami kepada istri yang banyak diantara suami tidak memenuhi
hak dan kewajiban nafkah suami untuk istri baik lahir atau batin selama
perkawianan, kerena soal ini bukan hanya menyangkut akal, harkat dan
martabat hidup manusia, akan tetapi mempunyai nilai-nilai akhlak yang
luhur yang merupakan kunci utama dalam mewujudkan suatu keseimbangan
hak ataupun kewajiban, oleh kerena itu, perkawinan merupakan suatu
perjanjian yang kokoh (perikatan) antara suami dan istri, yang sudah barang
4
Muhammad Al Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab (Jakarta: Lentara, 2006), 400.
4
tentu akan mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban bagi kedua
belah pihak.6 Perkawinan disini merupakan perjanjian yang suci, apabila
didalam membina perkawian timbul adanya ketidaktahuan antara hak dan
kewajiban ataupun setelah adanya sutau perceraian yang diakibatkan unsur
kesalahan di antara kedua belah pihak, maka sebenarnya ketentuan hak dan
kewajiban seorang suami itu sudah ditentukan oleh agama dan
Undang-Undang.
Pada kali ini peneliti mengambil suatu permasalahan yang menyangkut
perilaku seorang suami yang tidak bisa dikatakan bahwa nilai-nilai tanggung
jawab tidak ada dalam diri suami yang tidak mencerminkan sikap seseorang
pemimpin, pembimbing, ataupun pelindung bagi seorang isteri dan
anak-anaknya, hal ini terjadi permasalahan yaitu nafkah mad>{iah yang diberikan
suami didalam perkawinan yang seharusnya patut dimiliki oleh istri diambil
kembali akibat adanya perceraian.
Nafkah disini berupa barang-barang berupa kebutuhan untuk istri
sendiri serta sebagian harta yang diberikan kepada istri selama perkawinan,
di sini jelas bahwa seorang suami tidak menempatkan istri dalam tanggung
jawabnya, kewajiban suami bagi seorang istri di pandang hanya sebuah teori
saja bukan norma dan kewajiban.
Pada permasalahan yang terjadi di Kelurahan Semolowaru Kecamatan
Sukolilo Kota Surabaya ini tentang penarikan nafkah mad{iah oleh suami
akibat adanya perceraian, hal ini dititik beratkan di dalam konteks nafkah
5
mad{iah selama perkawianan berlangsung, kerana nafkah itu diberikan selama
perkawinan dan tidak termasuk nafkah iddah yang terjadi setelah adanya
perceraian.
Peristiwa ini terjadi setelah adanya perceraian antara kedua belah
pihak suami istri, di mana sebagian barang-barang pemberian nafkah mad{iah
yang diberikan oleh suami selama perkawinan berlangsung ditarik kembali
akibat adanya percerian. Setelah peneliti bertanya kepada salah seorang
tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh didaerah tersebut yang bernama
H. Nurul Huda di kelurahan semolowaru kecamatan sukolilo kota surabaya,
dikatakan benar ada kejadian seperti itu yaitu suami yang menarik kembali
nafkah mad{iah yang berupa barang-barang dan sebagian harta yang telah
diberikan akibat adanya perceraian, beliau berkata “Memang ada kejadian
seperti itu, dikarenakan suami merasa bahwa pihak istri pada saat menjalani
rumah tangga tidaklah setia mendampingi suami yang pada waktu itu tengah
di timpa musibah,”7 maka dalam hal ini berdasarkan ketentuan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 149, apabila terjadi percearaian, maka
mantan suami masih memiliki kewajiban terhadap mantan istri, meliputi :
1. Pemberian mut’ah yang layak
2. Memberikan nafkah,maskan dan kiswah selama masa iddah
3. Melunasi mahar yang terhutang
4. Memberikan biaya hadhonah bagi anak yang belum berusia 21 tahun.8
7NurulHuda, Wawancara, Surabaya, 14 Oktober 2016.
8Undang-Undang Perkawinan dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
6
Barang pemberian atau nafkah oleh suami kepada istri akibat
perceraian seharusnya tidak boleh ditarik kembali dimaksudkan agar istri
dapat memenuhi semua kebutuhannya. Sepantasnya suami memikirkan
kewajiban yang ada dalam ketentuan di atas, bukan malah memikirkan
kepentingannya sendiri.
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka perlu diadakan
penelitian untuk mencari solusi penyelesaiannya bagi suami yang hanya
memikirkan kepentingannya sendiri dan tidak memandang hak dan
kewajiban suami, serta faktor apa yang melatarbelakangi suami menarik
kembali nafkah mad{iah istri akibat perceraian tersebut, khususnya pada
barang dan harta pemberian suami setelah perceraian, yaitu pemenuahan hak
dan kewajiban seorang suami terhadap istri yang tidak dipenuhi secara
sepenuhnya.
Penyelesaian permasalahan dikaji dan ditinjau melalui norma-norma
dan ketentuan hukum Islam, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dan membahasnya melalui skripsi dengan judul : “Tinjauan
Hukum Islam terhadap Penarikan Kembali Nafkah Mad{iah Istri Oleh Suami
Akibat perceraian (Studi Kasus di Kelurahan Semolowaru Kecamatan
7
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan paparan latar belakang masalah diatas dapat
diketahui timbulnya beberapa masalah sebagai berikut :
a. Deskripsi tentang penarikan kembali nafkah mad{iah istri oleh suami
setelah perceraian.
b. Pengertian nafkah mad{iah dan sebab-sebab suami mewajibkan nafkah
terhadap istri.
c. Kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan suami setelah adanya
perceraian.
d. Hak-hak apa saja yang harus diterima istri setelah adanya percerian.
e. Hak dan kewajiban suami istri selama perkawinan ataupun setelah
terjadinya perceraian.
f. Faktor-faktor yang mendasari suami menarik nafkah mad{iah akibat
perceraian.
g. Ketentuan Undang-Undang perkawinan atau hukum Islam mengenai
aturan tentang penarikan kembali nafkah mad{iah istri oleh suami
akibat perceraian.
2. Batasan Masalah
Sehubungan dengan adanya suatu permasalahan di atas, maka
untuk memberikan arah yang jelas dalam penelitian ini penulis
8
1. Faktor penyebab suami menarik kembali nafkah
mad{iah istri akibat perceraian di Kelurahan
semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya.
2. Menganalisis secara hukum Islam mengenai
penarikan kembali nafkah mad{iah istri oleh suami
akibat perceraian di Kelurahan Semolowaru
Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya.
C. Rumusan Masalah
Rumusan Masalah adalah kajian pokok dari suatu kegiatan penelitian
oleh sebab itu sebelum observasi dilakukan, agar peneliti ini lebih terarah
perlu diberikan rumusan masalah terlebih dahulu.9 Berdasarkan dari
pemaparan latar belakang masalah diatas, muncullah beberapa rumusan
masalah diantaranya:
1. Apa faktor penyebab suami menarik kembali nafkah mad{iah istri akibat
perceraian di Kelurahan Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota
Surabaya?
2. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap penarikan kembali nafkah
mad{iah istri oleh suami akibat perceraian di Kelurahan Semolowaru
Kecamatan Sukolilo kota Surabaya?
9
D. Kajian Pustaka
Permasalahan mengenai penarikan nafkah mad{iah ini adalah termasuk
masalah yang harus ditemukan kunci penyelesaiannya, kerena dampak pada
masyarakat Kelurahan Semolowaru atau masyarakat pada umumnya agar
nantinya tidak terulang lagi kasus serupa. Kajian pustaka pada penelitian ini
pada dasarnya adalah untuk mendapatkan gambaran hubungan topik yang
akan diteliti dengan penelitian sejenis yang mungkin pernah dilakukan oleh
peneliti lain sebelumnya sehingga diharapkan tidak ada pengulangan materi
penelitian secara mutlak.
Adapun penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan para peneliti
antara lain:
1. Skripsi Indrawati Lina, “Prespektif Hukum Islam Terhadap Penyelesaian
Perkara Banding Suami Tidak Memberi Nafkah Kepada Istri ” Putusan
no.164/pdt.g/2006/pta.sby, Tahun 2008. Pada intinya membahas tentang
suami yang tidak mau memberi nafkah kepada istri serta tidak
memandang tugas suami dalam rumah tangga adalah sebagai kepala
keluarga yang memenuhi segala keperluan istri dan kelalian suami akan
kewajibannya terhadap istri sebagai alasan perceraian.10
2. Skripsi Muhamad Fuad, “Prospektif Hukum Islam Terhadap Suami Yang
Lalai Dari Tanggung Jawab Akan Kewajibannya Serta Kelalian Itu
Dijadikan Alasan Untuk Bercerai” (Studi Kasus di Desa Jogoloyo
Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang)” Tahun 2002, pada intinya
10
10
membahas suami yang lalai akan tanggung jawab dijadikan alasan untuk
bercerai.11
3. Skripsi Joko Santosa, “Prespektif Hukum Islam Terhadap Kurang
Terpenuhinya Nafkah Sebagai Alasan Perceraian Di Masa Krisis
Ekonomi” (Studi Kasus Pengadilan Agama Bantul 2008-2009), yang
intinya membahas kurang terpenuhinya nafkah di masa krisis di gunakan
sebagai alasan perceraian.12
Dari kajian pustaka yang ada, titik perbedaan peneliti ini dengan
beberapa skripsi sebelumnya adalah pada pokok bahasannya. Skripsi ini lebih
menjelaskan tentang penarikan kembali nafkah mad{iah istri pasca percerian,
akan tetapi peneliti yang lain mengacu pada kelalian tanggung jawab
kewajiban suami terhadap istri, serta kurang terpenuhinya nafkah sebagai
alasan perceraian.
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitan yang dicapai adalah :
1. Mengetahui faktor penyebab suami menarik kembali nafkah mad{iah istri
akibat perceraian di Kelurahan Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota
Surabaya.
11
Muhamad Fuad, “Prospektif Hukum Islam Terhadap Suami Yang Lalai Dari Tanggung Jawab
Akan Kewajibannya Serta Kelalian Itu Dijadikan Alasan Untuk Bercerai” (Studi Kasus di Desa Jogoloyo Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang)” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2002), 10, pada intinya membahas suami yang lalai akan tanggung jawab, dan alasan tersebut dijadikan alasan perceraian.
12
11
2. Mengetahui dari sudut pandang hukum Islam tentang penarikan kembali
nafkah mad{iah oleh suami akibat perceraian di Kelurahan Semolowaru
Kecamatan Sukolio Kota Surabaya.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka peneliti yang peneliti
lakukan ini memiliki kegunaan hasil penelitian yaitu:
1. Secara Teoritis
a. Sebagai sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum
keluarga Islam atau ahwal as-syahsiyah.
b. Sebagai bahan informasi, masukan dan evaluasi bagi para mahasiswa
atau praktisi hukum dalam penyelesaian masalah tentunya mengenai
nafkah.
c. Sebagai penambah wawasan keilmuwan pengalaman bagi mahasiswa
ataupun masyarakat umum.
2. Secara Praktis
a. Untuk memberikan input dan Sosial yang tepat untuk mengatasi
masalah kesenjangan problamatika mengenai nafkah dalam bidang
hukum keluarga Islam.
b. Sebagai pedoman dan dasar bagi peneliti lain dalam mengkaji
12
G. Definisi Oprasional
Untuk memperjelas kemana arah pembahasan masalah yang diangkat,
maka penulis perlu memberikan defenisi dari judul tersebut yakni dengan
menguraikan sebagai berikut:
1. Hukum Islam: Hukum Islam disini adalah ketentuan yang berdasarkan
al-Qur’an, hadis dan fiqih para ulama, serta ketentuan-ketentuan yang
terkandung dalam KHI dan UU No.1 Tahun 1974.
2. Penarikan Kembali Nafkah Mad{iah Isteri oleh Suami: Nafkah mad{iah di
sini adalah nafkah terdahulu yang pernah diberikan oleh suami kepada
istri, penarikan nafkah terdahulu yang dilakukan oleh suami kepada istri
akibat perceraian ini, berupa barang dan uang pemberian yang diberikan
suami kepada istri selama perkawinan yang ditarik atau diambil kembali
oleh suami setelah adanya perceraian, barang pemberian itu seperti
nafkah dan barang bawaan selama perkawinan.
H. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah Field Research (penelitian lapangan) yaitu
penelitian yang langsung terjun kelapangan.13
1. Karakteristik Lokasi Penelitian: Tempat penelitian adalah Kelurahan
Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya. Adapun peneliti
memilih lokasi ini dengan dasar :
13
a. Di Kelurahan Semolowaru ini terdapat kasus tentang Suami yang
menarik kembali nafkah mad{iah istri akibat perceraian.
b. Bahwa Penarikan kembali nafkah mad{iah istri dikarenakan adanya
beberapa faktor, dan hal ini yang menarik peneliti untuk melakukan
penelitian.
2. Data yang dikumpulkan
a. Data tentang suami istri yang telah bercerai dan suami yang
menarik kembali nafkah mad{iah yang diberikan kepada istri akibat
perceraian di Kelurahan Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota
Surabaya.
b. Data berupa keterangan keseluruhan Kelurahan Semolowaru
Kecamatan Sukolilo mulai dari data demografi desa, keadaan
masyarakat, ekonomi, agama dan lain-lain.
3. Sumber Data
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, sumber yang
digunakan yaitu sumber primer dan sekunder, terdiri dari :
a. Sumber Primer: adalah sumber data yang bersifat utama dan
penting yang memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah
informasi yang diperlukan yang berkaitan dengan penelitian.14
Terdiri dari dua responden, yaitu:
14
1) Suami yang telah bercerai yaitu suami yang menarik kembali
nafkah mad{iah istri akibat perceraian di Kelurahan Semolowaru
Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya.
2) Tokoh Masyarakat dan warga Kelurahan Semolowaru yang
mengetahui permasalahan tentang penarikan kembali nafkah
mad{iah akibat perceraian di Kelurahan Semolowaru Kecamatan
Sukolilo Kota Surabaya.
b. Sumber Sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari buku-buku,
artikel, karya ilmiah yang memiliki hubungan dengan penelitian,
terdiri dari :
1) Kompilasi Hukum Islam.
2) Undang-Undang perkawianan No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan.
3) Sayyid sabiq, Fiqh as-Sunnah.
4) Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat.
5) Muhamad Jawad Mughninyah, fiqih lima madzhab .
6) Abdurrahman Dan Haris Abdulloh, Tarjamah Bida>yatul
Mujtahid.
4. Teknik Pengumpulan Data.
Proses memperoleh data ini menggunakan teknik pengumpulan
data sebagai berikut :
15
Interview (wawancara) merupakan sauatu percakapan yang
diarahkan pada suatu masalah tertentu, ini merupakan proses tanya
jawab lisan, dimana dua orang atau lebih
berhadap-hadapan.15Dilakukan pada tokoh masyarakat, serta pihak yang
bersangkutan.
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah metode pengumpulan data yang
memperoleh melalui dokumen-dokumen, atau menyelididki benda
tertulis seperti buku-buku, majalah, peraturan-peraturan, catatan
harian. Data yang dikumpulkan dengan metode ini merupakan data
sekunder.16 Metode ini digunakan peneliti untuk mengetahui data
suami istri yang bercerai, masyarakat dan gambaran atau keadaan di
Kelurahan Semolowaru Kecamatan Sukililo Kota Surabaya.
5. Teknik Pengumpulan Data
Data-data yang berhasil dihimpun selanjutnya diolah dengan
teknik pengolahan data sebagai berikut :
a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali seluruh data yang diperoleh
mengenai kejelasan data, kesesuaian data yang satu dan yang lainnya,
relevansi keseragaman satuan kelompok dengan data.
b. Pengorganisasian kelompok data, yaitu menyusun dan
mensistematikan data-data yang diperoleh dalam kerangka paparan
15
Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum (Surabaya: Hilal Pustaka, 2013) , 235.
16 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Hukum Suatu pendekatan Praktik (Jakarta: PT
16
yang sudah direncanakan sebelumnya,sehingga menghasilkan
bahan-bahan untuk merumuskan suatu diskripsi.
6. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah menganalisis
data. Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis data kualitatif,
dengan metode deksriptif kualitatif, yakni penelitian yang bertujuan
untuk menggambarkan keadaan atau fenomena hukum melalui sudut
pandang sosial.17 Dalam hal ini penulis ingin mengetahui hal-hal yang
berhubungan dengan penarikan kembali nafkah mad{iah isteri akibat
perceraian di Kelurahan Semolo waru Kecamatan Sukolilo Kota
Surabaya, serta bagaimanana masyarakat Kelurahan Semolowaru
Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya memandang hal tersebut.
Dalam mendeksripsikan data yang telah diperoleh, penulis
menggunakan pola berfikir induktif, yaitu berangkat dari premis-premis
minor atau fakta-fakta khusus atau empiris, kemudian fakta fakta khusus
digeneralisasikan ke dalam premis umum atau dituangkan dalam sebuah
teori baru.18
Dalam tahapan ini, peneliti akan menganalisis penarikan kembali
nafkah mad{iah isteri setelah perceraian berdasakan hukum Islam dengan
menggunakan pola pikir induktif, yaitu menggambarkan hasil penelitian
diawali dengan mengemukakan kenyataan yang bersifat khusus dari hasil
17 .Lexy J.Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rusdha Karya, 2006),
103.
17
penelitian tentang adanya penarikan kembali nafkah mad}iah isteri setelah
perceraian, serta kemudian dicocokkan dengan teori atau dalil yang
bersifat umum tentang penarikan kembali nafkah mad}iah isteri setelah
perceraian.
I. Sistematika Pembahasan
Sistemika pembahasan dipaparkan dengan tujuan untuk penulisan dan
pemahaman. Disusun dalam beberapa bab yang terdiri dari sub bab. Adapun
sistematika pembahasan ini adalah sebagai berikut :
Bab Pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan dan kegunaan penelitian, defenisi
oprasional, dan metode penelitian serta sistematika pembahasan.
Bab Kedua memuat tentang Landasan Teori mengenai pengertian
nafkah, dasar hukum nafkah, sebab-sebab mewajibkan nafkah, hak dan
kewajiban suami istri dalam perkawinan atau setelah perkawinan.
Bab Ketiga merupakan hasil penelitian atau data penelitian mengenai
penarikan kembali nafkah mad{iah istri akibat perceraian yaitu kondisi
geografis, demografis, pendidikan, sosial, ekonomi serta agama masyarakat
Kelurahan Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya.
Bab Keempat merupakan proses menganalisis secara mendetail, dan
fokusnya dalam segi hukum Islam terhadap penerikan kembali nafkah
mad{iah istri akibat perceraian di Kelurahan Semolowaru Kecamatan
18
Bab Kelima berisi Kesimpulan dan saran-saran, kesimpulan yang ada
akan menjawab dalam rumusan masalah, sedangkan saran-saran dapat
BAB II
NAFKAH MENURUT ISLAM
A. Pengertian Nafkah
Nafaqah merupakan kewajiban suami terhadap isterinya dalam bentuk
materi, karena kata nafaqah itu sendiri memiliki konotasi materi. Sedangkan
kewajiban dalam bentuk nonmateri, seperti memuaskan hajat seksual isteri tidak
termasuk dalam artian nafaqah, meskipun dilakukan oleh suami terhadap
isterinya. Selama ini digunakan secara tepat untuk maksud ini adalah nafkah
batin sedangkan dalam bentuk materi disebut nafkah lahir. Menurut bahasa
nafkah itu tidak ada lahir atau batin, yang ada adalah hal-hal lahiriyah atau
materi.1
Kata nafaqah yang berasal dari kata َ َ ْنا dalam bahasa Arab secara
etimologi mengandung arti :لقو ،صقن yang berarti berkurang. Juga berarti ،ىنف
بهدو yang berarti hilang atau pergi.2
Menurut Amir Syarifuddin, seseorang dikatakan memberikan nafaqah
apabila membuat harta yang dimilikinya menjadi sedikit kerena dilenyapkannya
atau dipergikannya untuk kepentingan orang lain. Bila kata nafaqah ini
dihubungkan dengan perkawinan mengandung arti “sesuatu yang di keluarkan
dari hartanya untuk kepentingan isterinya sehingga menyebabkan hartanya
1
M. Tholib, Perkawinan Menurut Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), 78. 2
20
menjadi berkurang”, dengan demikian nafaqah istri berarti pemberian yang
wajib dilakukan oleh suami pada istri dalam masa perkawinannya, setiap
kewajiban agama itu merupakan beban hukum, sedangkan prinsip pembebanan
hukum itu tergantung kemampuan subyek hukum untuk memikulnya.3
Berdasarkan firman Allah Swt dalam Surat Al-Baqarah, ayat 286 :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”.
Pada dasarnya yang berlaku dalam fiqh, kewajiban memberi nafkah oleh
suami kepada istrinya merupakan prinsip pemisahan harta anatara suami dan
istri. Yaitu seseorang suami adalah pencari rezeki yang berkedudukan sebagai
pemberi nafkah. Sebaliknya seseorang istri berkedudukan sebagai penerima
nafkah. Nafkah dapat dikatakan belanja kebutuhan pokok, maksudnya adalah
kebutuhan pokok yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya.4
Arti nafkah menurut yang disepakati ulama adalah belanja untuk
keperluan makan yang mencakup sembilan bahan pokok pakaian dan perumahan
atau dalam bahasa sehari-hari disebut sandang, pangan, dan papan, jadi nafkah
bisa diartikan memenuhi kebutuhan dan keperluan hidup meliputi makanan,
3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 165. 4
21
pakaian, tempat tinggal, serta biaya rumah tangga dan pengobatan bagi istri
sesuai dengan keadaan, termasuk juga biaya pendidikan anak.5
Pemberian nafkah merupakan kewajiban suami terhadap keluarga. Namun,
setelah melaksanakan kewajibannya memberi nafkah keluarga, semua
mempunyai hak-hak tertentu kepada istri dan anak-anaknya. Itulah makna hak
dan kewajiban dalam Islam yang menekankan tumbuhnya rasa keadilan. Tidak
bisa dipungkiri mencari nafkah untuk keluarga bukannya pekerjaan mudah bagi
suami. Kerena itu dalam Islam, upaya seorang suami menunaikan kewajibannya
memberi nafkah kepada anak dan istri masuk dalam kategori ibadah.
B. Dasar Hukum Nafkah
Adapun kewajiban memeberikan nafkah didasarkan pada Al-Quran
sebagai berikut :
“Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya”. (QS. Al-Baqarah: 233).6
Rizki yang di maksud dalam ayat ini ialah makanan secukupnya,
“pakaian” ialah baju atau penutup badan, dan ma’ru>f yaitu kebaikan sesuai
5 Slamet Abidin Aminudin, Fiqih Munakahat I (Bandung: CV Pustaka, 1999), 162.
6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro
22
dengan ketentuan agama, tidak berlebihan dan tidak pula berkekurangan. Juga
dijelaskan di dalam QS. At-Thalaq: 6-7:
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin”.
Firman Allah dalam QS. At-Thal>aq ayat 7 yaitu :
“Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.
ع ن
ع
ئا
ش ة
ر
ض
ي
لا
ع
ه
ا ا
ن
د با
ت
ع ت
ب ة
ق لا
ت
ي :
را
س و
ل
لا
ا
ن
س ف
ي
نا
ر
ج
ل
ش
ح
ي ح
:
و ل ي
س
ي ع
ط
ن
و و ل
د
ى
ا
ل
م
أ ا
خ
ذ
ت
م
. و
و
ل
ي ع
ل م
ق
لا
خ
ذ
ي
م يا
ك
ف ي
ك
و و
ل د
ك
ب لا
م ع
ر و
ف
ملسم و يراخبلا اور(
)Dari Aisyah bahwa Hindun binti Utbah pernah bertanya. “wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Syfyan adalah orang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepadaku dan anak-anakku, sehingga aku mesti mengambil dari padanya tanpa sepengetahuannya “Maka Rasulullah bersabda” Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik” (H.R.
Bukhari dan Muslim).7
7
Ab>u ‘Abdulloh Muhamad bin Isma>’i>l al-Bukhari, Sahih al-Bukhari Juz VII (Beirut: Dar Kutub
23
Agama menetapkan bahwa suami bertanggung jawab mengurus kehidupan
istrinya, kerena itu suami diberi derajat setingkat lebih tinggi dari istrinya,
sebagaimana firman Allah swt dalam QS. Al-Baqarah: 228 yaitu :
Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dan ayat ini, diketahui bahwasannya suami harus memenuhi hak dan
kewajiban terhadap istrinya, kerena suami mempunyai tanggung jawab dalam
rumah tangga.
C. Hikmah Kewajiban Nafkah
Syariat mewajibkan nafkah atas suami terhadap istrinya. Nafkah hanya
diwajibkan atas suami, kerena tuntutan akad nikah dan kerena keberlangsungan
bersenag-senang sebagaimana istri wajib taat kepada suami, selalu
menyertainya, mengatur rumah tangga, mendidik anak-anaknya. Ia tertahan
untuk melaksanakan haknya “Setiap orang yang tertahan untuk hak orang lain
dan manfaatnya, maka nafkahnya atas orang yang menahan kerenanya”.8
8Abdul Aziz Muhamad Azzam , Fiqih Munakahat Khitbah, Nikah, Talaq (Jakarta: Amzah, 2009),
24
D. Sebab yang Mewajibkan Nafkah
Di dalam sebuah perkawinan tentu adanya suatu hak dan kewajiban antara
suami dan istri dengan kebutuhan, tugas masing-masing serta prinsip dasar
membina ketentraman dalam rumah tangga. Kewajiban suami telah ditetapkan
agama dalam hal menanggung nafkah istri tidaklah bebas tanpa syarat, artinya
suami baru wajib memberikan nafkah istrinya apabila telah memenuhi beberapa
persyaratan.9
Beberapa persyaratan berkaitan dengan kewajiban pemberian nafkah,
bahwasannya di wajibkan suami terhadap istri, berdasarkan akad nikah yang
telah berlangsung kini terikat oleh kepentingan suaminya, dengan kewajiban
melayani kebutuhannya, bertanggung jawab atas pengolaan rumah tangganya
dan tidak lagi bebas bepergian atau bekerja di luar rumah untuk kepentingan
dirinya sendiri, kecuali dengan persetujuan suaminya, kerenanya, kewajiban
memberi nafkah seperti itu, bergantung pada terpenuhinya tiga hal yaitu :
1. Akad nikah antara suami dan istri telah berlangsung sah.
2. Si istri dalam keadaan siap untuk melangsungkan kehidupan suami istri
3. Tidak adanya hambatan dari pihak istri yang dapat menghilangkan atau
mengurangi hak suami untuk memperoleh layanan sewajarnya.10
25
Dalam pemenuhan hak dan kewajiban nafkah mempunyai kriteria
bagaimana nafkah itu diberikan dan tentunya kepada siapa seharusnya nafkah
itu diberikan. Sehingga seseorang wajib memberi nafkah disebakan oleh :
1. Hubungan Kekerabatan
Diwajibkan memberikan nafkah kepada kerabat kerena asal dan kasih
sayang. Asal yang dimaksud di sini adalah orang tua menjadi asal
keturunanya maka orang tua wajib memberi anaknya nafkah dan anak wajib
memberi nafkah kepada saudaranya baik terhadap laki-laki atau perempuan.11
Kewajiban anak memberi nafkah kepada orang tuanya dengan
ketentuan anak dalam keadaan mampu dan orang tua tidak mempunyai harta.
Begitu juga sebaliknya orang tua wajib memberikan nafkah kepada anaknya
sampai anaknya telah dewasa dan dapat berusaha untuk mencari nafkah
untuk kebutuhannya.
2. Hubungan Kepemilikan
Memberikan nafkah kepada hamba merupakan kewajiban sesuai
dengan kemampuannya. Sesungguhnya orang yang mempunyai hamba wajib
memberinya nafkah berupa makanan. Pakian secukupnya sesuai dengan
kemampuannya.12
26
3. Hubungan Pernikahan
Akad nikah yang sah menyebabkan istri telah terikat dengan hak-hak
suaminya dan haram dikawini oleh orang lain, kerena itu ia berhak mendapat
nafkah dari orang yang mengikatnya yaitu suaminya. Banyaknya nafkah
sesuai dengan kebutuhan dan adat kebiasaan yang berlaku di tempat
masing-masing, dengan mengingat tingkat dan keadaan suami.13 Firman Allah dalam
QS. Al-Baqarah: 228 :
“Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf”.14
Selain kewajiban suami mengenai pemberian nafkah terhadap istri
selama perkawinan, ada juga pemberian nafkah suami terhadap istri setelah
adanya perceraian. Para Ulama berbeda pendapat tentang pemberian wajib
nafkah suami kepada istri setelah perceraian. Menurut syafi’i berpendapat
bahwa, wanita yang ditinggal mati suaminya berhak memperoleh nafkah
berupa tempat tinggal semata.
Selanjutnya Syafi’i mengatakan bahwa apabila seorang wanita di
talak ba>’in, sedang dia dalam keadaan hamil, kemudian suaminya meninggal
dunia (ketika si istri masih dalam ‘iddah), maka nafkah atas si istri tidak
terputus. Sementara itu Hanafi mengatakan : apabila wanita ber-‘iddah
13
Slamet Abidin Aminudin, Fiqih Munakahat I (Bandung: CV Pustaka, 1999) 168.
27
tersebut dalam keadaan talaq raj’i dan suami yang menceraikannya itu
meninggal dunia ketika dia menjalani ‘iddah-nya, maka iddahnya beralih ke
‘iddah wafat dan kewajiban atas nafkah menjadi terputus, kecuali bila si
wanita itu diminta nafkahnya untuk menjadikan sebagai hutang oleh suami
(atas suami) yang betul-betul dilaksanakannya. Dalam kondisi serupa ini
nafkahnya tidak gugur.15
E. Hak dan Kewajiban Suami Terhadap Istri
1. Hak Suami Atas Istri
Di antara beberapa hak suami terhadap istri dalam hukum islam yang
paling pokok adalah:
a. Ditaati dalam hal yang tidak maksiat.
b. Istri menjaga dirinya sendiri dan harta suami.
c. Menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan
suami.
d. Tidak bermuka masam dihadapan suami.
e. Tidak menunjukkan keadaan yang tidak disenangi suami.16
Kewajiban taat kepada suami hanyalah dalam hal-hal yang dibenarkan
agama, bukan hal dalam kemaksiatan kepada Allah swt. Jika suami
menyuruh istri untuk berbuat maksiat, maka si istri harus menolaknya,
28
diantara ketaatan istri kepada suami adalah tidak keluar rumah, kecuali
dengan seizinnya.
Dalam Al-Qur’an surat an-Nisa>’, ayat 34 dijelaskan bahwa istri harus
bisa menjaga dirinya, baik ketika berada di depan suami maupun di
belakangnya, dan ini merupakan salah satu ciri istri yang shalihah.17Allah
SWT berfirman :
Sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara mereka (Q.S. an-Nisa’: 34)18
2. Kewajiban Suami Terhadap Istri
Pada dasarnya kewajiban seorang suami terhadap istri dititik beratkan
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 80 secara rinci yaitu :
a) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan
tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.
b) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
c) Suami wajib memberikan pendididkan agama kepada istrinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
d) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri
dan anak.
c. Biaya pendidikan anak.
d. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti pada ayat (4) huruf a dan b
diatas mulai berlaku sesudah tamkin sempurna dari istrinya.
17Ibid,159-160.
18
29
e. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
f. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri
nushus.19
3. Hak dan Kewajiban Istri Terhadap Suami
1. Hak Istri Atas Suami
Hak istri harusnya terpenuhi oleh suami sesuai dengan tanggung
jawab penuh oleh suaminya dan seharusnya seseorang suami
memperlakukan istrinya dengan baik dengan baik dan membimbing serta
menjaga istri sesuai dengan ketentuan agama. Apabila semua itu sudah
terpenuhi dengan baik oleh suami maka terwujudlah ketentraman hati,
keteguhan iman serta kebahagian hidup berumah tangga akan tercipta.
Para fuqoha telah sependapat bahwa diantara hak istri atas suami
adalah nafkah hidup dan pakaian, berdasarkan firman Allah dalam surat
QS. Al-Baqarah: 233
Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.
Juga berdasarkan hadist sahi>h yang berbunyi :
و : عادولا ةجح ي م.ص لا لوسر لاق
لث
ن
ع ل ي
ك
م
ر ز ق
ه ن
و ك
س و
ت ه
ن
ب لا
م ع
ر و
ف
اور(
)ملسم
30
“Rasullulah SAW bersabda pada haji wada’(penghabisan)” kewajiban suami terhadap istrinya memberikan belanja dan pakian dengan cara yang ma’ruf. (HR.Muslim).20
Seorang suami patutnya dijadikan pemimpin bagi istrinya di
dalam kehidupan rumah tangga. Contoh suri tauladan tertinggi
bagaimana semestinya suami memperlakukan istri adalah pribadi nabi
Muhamad Saw. Walaupun beliau banyak memikirkan masalah-masalah
besar, selalu sibuk dalam tugas berdakwah menegakkan agama, menjaga
kerukunan umat, memperoleh kedudukan negara serta menjaga
keselamatan dan keamanannya dari bahaya musuh yang selalu mengintai
dari luar. Belum lagi ketekunan beliau dalam menghadapkan diri kepada
Allah SWT, kemantapan beliau untuk menuanaikan ibadah
sebanyak-banyaknya.
Kendati demikian sibuk dan tekun beribadah, beliau sama sekali
tidak melupakan kewajibannya terhadap istri-istrinya. Kesibukannya di
bidang Rabb>ani tidak membuat beliau lupa akan kewajibannya mengenai
urusan insani, khususnya para istri beliau.21Sesuai dengan hak dan
kewajiban beliau terhadap istrinya sepantasnya seseorang suami meniru
perilaku dan Akhlak Rasulullah SAW yang sangat bijak serta berbudi
luhur, apabila semua telah terpenuhi sesuai dengan kewajiban dan
31
tanggung jawab suami kepada istrinya, maka kehidupan rumah tangga
menjadi rumah tangga yang saki>nah, mawaddah, warah}mah.
Hak istri harus dipenuhi oleh suaminya, kerena bagi suami ini
merupakan kewajiban untuk memenuhi hak istrinya, diantaranya hak
yang harus dipenuhi meliputi 3 hal pokok yaitu : hak pangan, sandang
dan papan.
a. Hak atas Pangan
Nafkah pokok yang wajib dipenuhi oleh suami adalah meliputi
sandang, pangan, papan, namun yang lebih diutamakan dari ketiga hal
tersebut adalah kebutuhan akan pangan, kerena makanan sebagai
sumber energi manusia merupakan kebutuhan pokok yang harus
dipenuhi. Secara lahiriah, manusia tak akan hidup tanpa makan. Ia
bisa bekerja dengan baik, bisa beribadah melakukan aktifitas lainya,
apabila perutnya terisi dengan makanan yang cukup.
Begitu pula dengan istri ia akan dapat melakukan semua
kewajibannya terhadap suami dengan baik apabila istri itu dicukupi
kebutuhan pangannya, kerena dengan dicukupi kebutuhan pangan istri
akan mempunyai tenaga yang kuat yang mana pada akhirnya ia akan
dapat sepenuhnya berbakti kepada suaminya serta beribadah pada
32
b. Hak atas Sandang
Hak atas sandang ini merupakan salah satu dari tiga nafkah
pokok yang menjadi hak istri, dan wajib bagi suami untuk
memenuhinya kerena istri telah tertahan dan terikat dengan hak-hak
suaminya dan ikatan tersebut mengakibatkan istri tidak wajib
mencari nafkah untuk dirinya sendiri kerena itu kewajiban mencari
nafkah untuk dirinya sendiri kerena itu kewajiban mencari nafkah
untuk para pihak suami maka dalam pemenuhan kebutuhan
sehari-hari seperti pakian adalah merupakan kewajiban suami untuk
menyediakannya. Mengenai keadaan istri tidak diwajibkan atau
diharuskan menyediakan apapun, sebab nafkah yang meliputi semua
kebutuhan rumah tanggga, suami yang berkewajiban menyediakan,
dalam al-Qur’an dengan jelas mewajibkan suami untuk meyediakan
bagi ibu dan anak-anaknya dengan cara yang baik, sebagaimana
firman Allah QS. Al-Baqarah: 233 yang berbunyi:
“Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya”. 22
33
c. Hak atas Papan
Berikutnya nafkah pokok yang menjadi hak istri terhadap suaminya
adalah tempat tinggal yang layak dan memadai, kerena itu rumah
itulah nanti seseorang istri akan bertempat tinggal dan melayani
semua kebutuhan suami serta merawat anak-anaknya sampai mereka
menjadi madiri. Tujuan pokok dari kewajiban ini adalah terciptanya
kesejahteraan lahiriyah dan bathiniyah yang utuh sebagai tujuan dari
sebuah perkawinan, di dalam rumah itulah keduanya akan bisa
bersama dan saling bahu-membahu untuk mewujudkan keluarga yang
bahagia dan sejahtera sebagaimana di idam-idamkan, dan di dalam
rumah itu pula segala persoalan dan kesulitan keluarga akan mereka
pecahkan bersama-sama.23
Kewajiban suami mengenai tempat tinggal kebutuhan bagi
istri di dalam sebuah keluarga, dapat terpenuhi dengan adanya
kelengkapan perobatan, peralatan, dan sebagainya, yang di butuhkan
oleh istri tentunya.
Kewajiban ini sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Thal<aq:
ayat 6 :
23 Fuad Kuana dan Nipan, Membimbing Isteri Mendampingi Suami (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
34
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka”.
2. Kewajiban Istri Terhadap Suami
Selain suami yang memiliki hak dan kewajiban atas istrinya,
seorang istri pun mempunyai suatu kewajiban terhadap suami. Di dalam
Islam kewajiban istri kepada suami diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Taat dan Patuh Kepada Suami
b. Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman.
c. Mengatur rumah dengan baik.
d. Menghormati keluarga suami.
e. Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami.
f. Tidak mempersulit suami, dan selalu mendorong suami untuk maju.
g. Ridha dan syukur terhadap apa yang diberi suami.
h. Selalu berhemat dan suka menabung.
i. Selalu berhias, bersolek untuk atau dihadapan suami.
j. Jangan selalu cemburu buta.24
Kewajiban istri terhadap suami janganlah dibuat hanya sekedar
perkataan saja, akan tetapi harus sesuai dengan perbuatan. Istri adalah
pendamping suami sedangkan suami adalah pemimpin bagi istrinya. Di
35
dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan tentang kewajiban istri
terhadap suami yaitu :
Pasal 83
1. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin
kepada suami didalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam.
2. Istri menyelenggaakan dan mengatur keperluan rumah tangga
sehari-hari dan sebaik-baiknya.
Pasal 84
1. Istri dianggap nushus jika ia tdak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
2. Selama istri nushus, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut
pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.\
3. Kewajiban suami tersebut pada ayat 2 diatas berlaku kembali
sesudah istri tidak nusyuz.
4. Ketentuan tentang ada tidak adanya nusyuz dan istri harus
didasarkan atas bukti yang sah.25
3. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Dengan terjadinya suatu akad nikah (perjanjian perkawinan), maka
seseorang laki-laki yang menjadi suami memperoleh berbagai hak dalam
keluarga, denikian juga seorang perempuan yang menjadi istri dalam
suatu perkawinan memperoleh berbagai hak pula. Disamping itu mereka
pun memikul pula kewajiban-kewajiban sebagi akibat dari mengingatkan
diri dalam perkawinan itu.26
25Undang-Undang Peradilan Agama No.7 Tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia,
111
26 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 tahun 1974
36
Jika akad nikah telah sah dan berlaku, maka ia akan menimbulkan
akibat hukum dan dengan demikian akan menimbulkan pula hak serta
kewajiban selaku suami istri. Hak dan kewajiban ini ada tiga macam,
ialah :
1. Hak istri atas suami.
2. Hak suami atas istri
3. Hak bersama.27
Berdasarkan hak dan kewajiban suami istri mempunyai tanggung
jawab masing-masing, kedua belah pihak harus mengetahuinya apa
haknya dan kewajibannya. Apabila keduanya tidak mengetahui, maka
unsur ketentraman serta kebahagian di dalam rumah tangga tidak akan
terwujud, di antara hak dan kewajiban bersama yaitu :
1. Hak Bersama Suami Istri
a. Suami istri dihalalkan saling bergaul mengadakan hubungan seksual.
Perbuatan ini merupakan kebutuhan suami istri yang dihalalkan secara
timbal balik. Jadi bagi suami halal berbuat kepada istrinya,
sebagaimana istri kepada suaminya. Mengadakan hubungan seksual
ini adalah hak bagi suami istri dan tidak boleh dilakukan kalau tidak
secara bersamaan, sebagaimana tidak dilakukansecara sepihak saja.
37
b. Haram melakukan perkawinan yaitu istri haram dinikahi oleh ayah
suaminya, datuknya (kakeknya) anaknya dan cucunya. Beliau juga
ibunya istrinya, anak perempuannya dan seluruh cucunya haram
dinikahi oleh suaminya.
c. Hak saling mendapat waris akibat dari ikatan perkawinan yang sah.
Bilamana salah seorang meninggal dunia sesudah sempurnanya ikatan
perkawinan, yang lain dapat mewarisi hartanya sekalipun belum
pernah berhubungan seksual.
d. Anak mempunyai nasab (keturunan) yang jelas bagi suami.
e. Kedua belah pihak wajib bergaul (berperilaku) yang baik, sehingga
dapat melahirkan kemesraan dan kedamian dalam hidup.28
2. Kewajiban Suami Istri
Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur tentang kewajiban suami
istri yang mana dijelaskan pada pasal 77 dan 78 yaitu :
Pasal 77
1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
2. Suami istri saling mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
3. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memlihara
anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannyadan pendidikan agamanya.
4. Suami istri wajib memelihara kehormatannya,
38
5. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing
dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.29
Pasal 78
1. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tepat.
2. Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentukan oleh
suami istri bersama.30
Ketentuan pergaulan hidup suami istri yang baik dan tentram
dengan rasa cinta-mencintai dan santun-menyantuni juga dijelaskan dalam
QS. An-Nis<a’ : 19 31
“Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata, dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
Dari keseluruhan hak-hak maupun kewajiban mengenai suami istri
di atas mempunyai akibat hukum akan adanya hak dan kewajiban dalam
perkawinan, hak dan kewajiban tersebut sangat berpengaruh dalam
kehidupan berumah tangga, kekal, abadi berdasarkan pada Ketuhanan
29Undang-Undang Peradialan Agama No. 7 Tahun 1989 . . . 108. 30 Ibid, 109.
39
Yang Maha Esa, maka dambaan suami istri dalam bahtera rumah
tangganya akan dapat terwujud didasari rasa cinta dan kasih sayang.32
Merupakan sebuah ketenangan dan ketentraman yang panjang
dalam sebuah keluarga serta kebahagian yang langsung antar suami istri,
jika masing-masing pihak melaksanakan hak dan kewajibannya dengan
benar dan penuh rasa tanggung jawab.33
4. Harta Dalam Perkawinan
1. Harta Bawaan
Harta bawaan adalah harta yang dibawa masing-masing suami
atau istri sebelum terjadinya perkawinan34. Harta bawaan bisa disebut
barang bawaan, yang disebut barang bawaan adalah perabotan rumah
tangga baik dibawa suami ataupun istri, menurut adat tertentu yang
menyediakan perabotan rumah tangga seperti ini adalah suami dan
keluarganya. Tindakan ini merupakan salah satu bahan untuk
menyenangkan perempuan yang memasuki hari-hari pernikahan. Dalam
sebuah hadist Nabi Saw, disebutkan :
ع ن
ع
يل
ق .ع.ر
لا
ج :
ه ز
ر
س و
ل
لا
ف م .ص
ط ا
م ة
ي
خ ي
ل
و ق
ر ب ة
و و
س
دا ة
ح
ش و
ا
دا
خ
ر
اور(
)ئاس لا
32 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997), 181.
33 Abdul Hamid Kisyik, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga Sakinah (Bandung: Albayan,
1999), 122.
34 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta :
40
“ Dari Ali r.a. katanya “Rasullulah SAW memberi barang bawaan kepada fatimah berupa pakian, kantong tempat air terbuat dari kulit, bantal berenda.” (H.R. Nasa>’i). 35
Sebelum memasuki perkawinan adakalanya suami atau istri sudah
memiliki harta benda. Dapat saja merupakan harta milik pribadi hasil
usaha sendiri, harta keluarganya merupakan hasil warisan yang diterima
dari orang tuanya. Harta benda yang telah ada sebelum perkawinan ini bila
dibawa kedalam perkawinan tidak akan berubah statusnya. Pasal 35 ayat 2
UU nomor 1 tahun 1947 menetapkan bahwa harta bawaan masing-masing
suami dan istri adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain, masing-masing berhak menggunakan
keperluan apa saja.36
2. Harta Bersama
Harta bersama berarti harta yang di peroleh selama perkawinan
berlangsung, baik oleh suami maupun istri. Harta bersama misalnya gaji
masing-masing suami dan istri, atau pendapatan mereka dari usaha-usaha
tertentu, atau mungkin juga deviden dari saham yang ditanam disebuah
perusahaan oleh salah satu pihak. Harta bersama tersebut berada dalam
kekuasaan suami dan istri secara bersama-sama, sehingga penggunaanya
harus dilakukan dengan persetujuan kedua pihak.
35Slamet Abidin dan Maman Abd. Djalil, Fiqih Munakahat I (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999),
188.
41
3. Harta Perolehan
Harta perolehan adalah harta yang diperoleh suami atau istri
selama masa perkawinan yang berupa hadiah atau hibah atau waris.
Seperti halnya harta bawaan, masing-masing dan istri juga memiliki
kekuasaan pribadi atas harta perolehan tersebut. Masing-masing suami
dan istri memiliki hak sepenuhnya terhadap harta yang diperolehnya dari
hadiah, warisan, maupun hibah. Pengecualian keadaan ini dapat diadakan
oleh suami istri dengan persetujuan masing-masing perjanjian
perkawinan.37
Di dalam memperoleh harta dapat ditempuh dengan beberapa cara
dengan adanya prinsip sukarela, menarik manfaat dan menghindari
mudarat bagi kehidupan manusia, memlihara nilai-nilai keadilan dan
tolong menolong serta dalam batas-batas yang diizinkan dalam
syara’(hukum Allah), diantara cara untuk memperoleh harta antara lain :
a. Hibah
Menurut istilah agama Islam hibah itu semacam akad atau
perjanjian yang menyatakan pemindahan hak milik seseorang kepada
orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa mengarapkan penggantian
sedikitpun.38 Bisa juga dijelaskan hibah adalah pengeluaran harta
37Ibid, 109.
42
semasa hidup atau dasar kasih sayang untuk kepentingan seseorang
atau badan sosial, keagamaan dan kepentingan ilmiah.39
Pemberian atau hibah yang sudah diberikan dan sudah
diterima tidak boleh dicabut kembali, kecuali pemberian bapak
kepada anaknya, tidak berhalangan dicabut atau diminta kembali.
Sabda Rasulullah SAW :
َ ط ع ي ملس م ل ج ر ل ل ي ل : م ل س و ي ل ع لا ى ل َ لا ق , سا ب ع ن ب ا و ر م ع ن ب ا ن ع
ا ه ي ف ع ج ر ي ث ة ب ط ع ل ا
يديمرلا حَو ,ةعبراو دما اور( د ل و ي ط ع ي ا ه ي ف د لا ول ا أ ا
)مكاحاو نايح نباو
Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas r.a. menceritakan bahwa Nabi saw bersabda “tidak halal, jika seseorang laki-laki telah memberikan sesuatu kepada seseorang, lalu ia menarik kembali kecuali jika yang memberikan itu bapak terhadap anaknya “(H.R. Ahmad dan Imam Empat)”.40
b. Pinjam-meminjam
Ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Ariyah adalah
memberikan manfaat barang dari seseorang kepada orang lain secara
cuma-cuma (gratis). Apabila digantikan dengan sesuatu atau ada
imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ariyah.41 Dasar hukum pinjam
meminjam atau hutang dijelaskan dalam surat al-Ma>idah ayat 2:
39 Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid III (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), 75.
43
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat
siksa-Nya”.42
Dari cara memperoleh harta yang sesuai di atas selain itu ada
juga cara memperoleh harta yang dilarang ialah yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip di atas, yaitu memperoleh harta dengan cara
yang mengandung unsur paksaan dan tipuan yang bertentangan
dengan prinsip sukarela, yaitu merampas hak orang lain, sebagaimana
firman Allah yang berbunyi :