• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Penelitian

BAB I PENDAHLUAN

F. Metode Penelitian

Spesifikasi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian hukum Yuridis Normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tirtier. Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada:18

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.

b. Penelitian terhadap sistematika hukum.

c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum.

d. Penelitian terhadap sejarah hukum.

e. Penelitian terhadap perbandingan hukum.

Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan berbagai literature yang berkatian dengan permasalahan skripsi ini.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

pendekatan Yuridis Normatif, yaitu pendekatan perundang-undangan dan putusan.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini berupa studi kepustakaan/studi dokumen (Documentary Study) yaitu dengan melakukan

18 Ediwarman. Monograf Metodologi Penelitian Hukum Panduan penulisan skripsi, Tesis dan Disertasi, (Medan : PT. Sofmedia, 2015), hlm. 94.

peneltian terhadap data sekunder yang meliputi Peraturan – peraturan Nasional yang berhubungan dengan tulisan ini, Yurisprudensi yaitu putusan Pengadilan Negeri Karawang serta penelitian terhadap Bahan Sekunder, yang meliputi karya penelitian, karya dari kalangan hukum lainnya, dan hasil penelitian, dan bahan-bahan penunjang yang mencakup bahan-bahan-bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum dan sebagainya.

4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Prosedur pengambilan dan pengumpulan data diperoleh dengan cara melakukan studi kepustakaan (library research) dengan tujuan mencari konsep – konsep, teori – teori, pendapat – pendapat atau penemuan-penemuan yang relevan dengan pokok permasalahan.19 Melalui peraturan perundang-undangan yang tentang tindak pidana kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga.

5. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan cara kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

19 Ibid.,

23

Universitas Sumatera Utara BAB II

PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM RUMAH TANGGA

A. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana

Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan sebuah perilaku, baik yang terbuka atau tertutup, baik yang bersifat menyerang maupun bertahan yang disertai penggunaan kekuatan pada orang lain.20

Kekerasan adalah suatu perbuatan dengan menggunakan tehaga atau kekuatan jasmani secara tidak sah, membuat orang tidak berdaya. Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau jasmani secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya, atau membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya.21

Kekerasan pada dasarnya merupakan tindakan agresif, yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Kekerasan diartikan sebagai penggunaan kekuatan yang bertentangan dengan kemauan orang lain, dan yang berakibat pada pembinasaan, kerugian pada orang lain, atau harta benda, atau hilangnya kemerdekaan orang lain.22 Kekerasan disebut sebagai tindakan yang mengakibatkan terjadinya kerusakan baik fisik maupun psikis adalah kekerasan

20 Nursariani Simatupang dan Faisal,Hukum Perlindungan Anak (Medan : Pustaka Prima, 2018), Hlm. 66.

21 Maidin Gultom, Op.Cit , Hlm, 1.

22 Ibid.

yang bertentangan dengan hukum, maka oleh karena itu kekerasan adalah sebagai suatu bentuk kejahatan.23

Tindakan kekerasan menunjukkan pada tingkah laku yang pertama-tama harus bertentangan dengan undang – undang, baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan tindakan nyata dan memiliki akibat – akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau dapat mengakibatkan kematian pada seseorang. Dilihat dari perspektif kriminologi, kekerasan menunjukkan pada tingkah laku yang berbeda – beda baik motif maupun mengenai tindakannya.24

Abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan sebagai kekerasan, penganiayaan, penyiksaan atau perlakuan salah. Dalam the Social Work Dictionary Barker mendefenisikan Abuse sebagai ”improper behavior intended to causephsycal, psychological, or financial harm to an individual or group” ( Kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami individu maupun kelompok). Sedangkan istilah child abuse atau kadang-kadang Child maltreatment adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut kekerasan terhadap anak. Richard J. Gelles dalam Encyclopedia Article from Encarta, mengartikan child abuse sebagai “intentional acts that result inphysical or emotional harm to children. The term child abuse covers a wide range of behavior, from actual physical assault by parents or other adult caretakers to neglect at at a child’s basic needs (kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahya terhadap anak – anak secara

23Ibid.

24 Nursariani Simatupang dan Faisal, Op. Cit.

25

fisik maupun emosional. Istilah child abuse meliputu berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan – kebutuhan dasar anak).25

Sementara itu, Barker mendefenisikan child abuse, yaitu”the recurrent infliction of physical or emotional injury on a dependent minor,through intentional beatings, uncontrolled corporal punishment, persistent redicul and degradation, or sexual abuse, usually commited by parents or others in charge of child’s scare” ( Kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai berulang – ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual biasanya dilakukan oleh para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.26

Selanjutnya, akan diuraikan beberapa pasal dari Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP), namun perlu diuraikan lagi tentang pengertian

“kekerasan” yang terdapat dalam Pasal 89 KUHP, yang berbunyi :

“Membuat orang Pingsan atau tidak berdaya, disamakan dengan menggunakan kekerasan”27

Akan tetapi, selanjutnya tidak dijelaskan bagaimana cara membuat tidak berdaya orang tersebut. Karena dalam kenyataannya membuat orang tidak

25 Abu Huraerah, Op. Cit., Hlm. 47.

26 Ibid.

27 Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis – Viktimologis, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Hlm. 156-157.

berdaya bisa dilakukan dengan 2 (dua) cara, secara fisik, misalnya dipukul dan secara nonfisik, misalnya dibius.

Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang bentuk – bentuk kekerasan terhadap anak dan juga aturan pidananya baik yang secara langsung disebutkan objeknya adalah anak, maupun secara tidak langsung. Beberapa pasal dalam KUHP yang mengaturnya adalah: 28

a) Tindak pidana (kejahatan) terhadap asal – usul dan perkawinan, yaitu melakukan pengakuan anak palsu (Pasal 278);

b) Bab XV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 285, 287, 289, 290, 291, 292, 293, 294, 295, 297, dan 305 KUHP.

c) Kejahatan yang melanggar kesusilaan, seperti menawarkan, memberikan, untuk terus menerus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa (Pasal 283), bersetubuh dengan wanita yang diketahui belum berumur lima belas tahun di luar perkawinan (Pasal 287), melakukan perbuatan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul terhadap orang yang belum berumur lima belas tahun (Pasal 290), melakukan perbuatan cabul terhadap anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak di bawah pengawasan, pemeliharaan, pendidikan, atau penjagaannya,

28 Sri Sumarwani, Kekerasan Pada Anak Bentuk, Penanggulangan, dan Perlindungan Pada Anak Korban Kekerasan. http://sumarwani.blog.unissula.ac.id/2011/10/07/kekerasan-padaanak-bentuk-penanggulangan-dan-perlindungan-pada-anak-korban-kekerasan/ diakses pada tanggal 18 Maret 2019, pukul 07.32

27

yang belum dewasa (Pasal 294), menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak di bawah pengawasan, pemeliharaan, pendidikan, atau penjagaannya, yang belum dewasa dengan orang lain (Pasal 295), melakukan perdagangan anak (Pasal 297), membikin mabuk terhadap anak (Pasal 300), memberi atau menyerahkan seorang anak yang ada di bawah kekuasaannya kepada orang lain untuk melakukan pengemisan atau pekerjaan yang berbahaya atau pekerjaan yang dapat merusakkesehatannya (Pasal 301);

d) Kejahatan terhadap kemerdekaan orang, seperti menarik orang yang belum cukup umum dari kekuasaan yang menurut UU ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang lain (Pasal 330), menyembunyikan orang yang belum dewasa (Pasal 331), melarikan wanita yang belum dewasa tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya, tetapi disetujui oleh wanita itu (Pasal 332);

e) Kejahatan terhadap nyawa, seperti seperti pembunuhan (338), pembunuhan dengan pemberatan (339), pembunuhan berencana (340), merampas nyawa (pembunuhan) anak sendiri yang baru lahir (Pasal 341 dan 342);

f) Kejahatan penganiayaan (Pasal 351 – 356).

B. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang PKDRT pada pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Demikian juga pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:

a) Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);

b) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau

c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).29

Pada bagian konsideran dijelaskan, UU Nomor. 23 Tahun 2004 dibentuk dengan 3 pertimbangan utama, yaitu bahwa :30

1) Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus

29 https://www.academia.edu/9305737/Makalah_KDRT diakses pada tanggal 9 Maret 2019 Pukul 17.15

30 Azis Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Hlm 102

29

2) Korban KDRT, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancama kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan

3) Dalam kenyataan kasus KDRT banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban KDRT.

Mengenai bentuk – bentuk kekerasan terhadap orang dalam lingkup rumah tangga telah diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2004 dala pasal 5, yaitu:

a. Kekerasan fisik b. Kekerasan psikis c. Kekerasan seksual

d. Penelantaran rumah tangga

Bentuk- bentuk tindak kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004, tercantum dalam pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, yaitu :31

1. kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

Adapun kekerasan fisik dapat diwujudkan dengan perilaku di antaranya:

menampar, menggigit, memutar tangan, menikam, mencekek, membakar, menendang, mengancam dengan suatu benda atau senjata, dan membunuh.

Perilaku ini sungguh membuat korban kdrt menjadi trauma dalam hidupnya, sehingga mereka tidak merasa nyaman dan aman.

31 Moerti Hadiati Soeroso, Op. Cit., Hlm.83-84

2. kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004). Adapun tindakan kekerasan psikis dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi dan menyiksa, memberikan ancaman kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan yang berlebihan, ancaman untuk melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan, mencaci maki, dan penghinaan secara terus menerus.

3. kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual yang yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Selain itu juga berarti pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil atau tujuan tertentu ( Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004)

4. penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

Penelantaran tersebut jugatindak –pidana berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

31

Ketentuan pidana dalam UU Nomor 23 tahun 2004 diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 pasal 53. Lama waktu penjara dan juga besarnya denda berbeda-beda sesuai dengan tindak kekerasan yang dilakukan. Dalam proses pengesahan UU ini, bab mengenai ketentuan pidana sempat dipermasalahkan karena tidak menentukan batas hukuman minimal, melainkan hanya mengatur batas hukuman maksimal. Sehingga dikhawatirkan seorang pelaku dapat hanya dikenai hukuman percobaan saja. Meskipun demikian, ada dua pasal yang mengatur mengenai hukuman minimal dan maksimal yakni pasal 47 dan pasal 48.

Kedua pasal tersebut mengatur mengenai kekerasan seksual.32

Di samping memuat pasal-pasal yang melarang tindak pidana KDRT, UU No.23 Tahun 2004 juga merumuskan ketentuan pidana sebagai bagian penegakan hukum atas UU No.23 Tahun 2004. Rumusan ketentuan pidana dimaksud tertuang dalam Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 UU No.23 Tahun 2004.

Ketentuan Pasal 44 ayat (1),(2), dan (3) berbunyi sebagai berikut :

1. “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam ruang lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lam 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana

32 https://mitrawacana.or.id/kebijakan/uu-n0-23-tahun-2004-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga/ diakses pada tanggal 19 Maret 2019 Pukul 20.15 WIB.

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).”

Ketentuan Pasal 45 ayat (1) berbunyi sebagai berikut : “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).”

Ketentuan Pasal 46berbunyi sebagai berikut :

“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”

Ketentuan Pasal 47 berbunyi sebagai berikut :

“Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 ( tiga ratus juta rupiah).”

Ketentuan Pasal 48 UU no.23 tahun 2004 berbunyi sebagai berikut.

33

“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Ketentuan Pasal 49 berbunyi sebagai berikut :

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :

i. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);

ii. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).”

Ketentuan Pasal 50 berbunyi sebgaia berikut: “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa :

a) Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;

b) Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.”

C. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang

Hukum Indonesia pada dasarnya cukup tegas dalam memayungi hak dan perlindungan anak, hal ini dibuktikan dengan adanya undang-undang yang mengatur secara spesifik dengan beberapa penyesuain yang dilakukan mengikuti kebutuhan masyarakat dan tentunya perkembangan zaman dan teknologi yang terus berkembang. Undang-undang No.17 tahun 2016 merupakan perubahan terakhir atas undang-undang perlindungan anak di Indonesia, perubahan ini dilakukan mengingat kebutuhan yang sangat genting kala itu, walaupun pada dasarnya undang-undang sebelumnya yakni Undang-undang Nomor 35 Tahun 2004 juga sudah cukup baik, hanya saja ada beberapa hal yang di tambahkan dan dilakukan perubahan. Namun Penulis dalam tulisan ini lebih banyak membahas undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 oleh disesuaikan dengan putusan yang

Keberadaan Undang – Undang Nomor 35 tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mempertegas perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak.

Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak (korban kejahatan) dikemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama. Karena berdasarkan fakta yang terungkap pada saat pelaku kejahatan terhadap anak (terutama pelaku

35

kejahatan seksual) diperiksa di persidangan, pada kenyataannya ada beberapa pelaku yang mengaku bahwa pernah mengalami tindakan pelecehan seksual ketika pelaku masih berusia anak.

Undang- Undang Nomor 35 tahun 2014 mulai efektif berlaku pertanggal 18 Oktober 2014 banyak mengalami perubahan, diantaranya memberikan tanggung jawab dan kewajiban kepada negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga dan orang tua atau wali dalam hal penyelenggaraan perlindungan anak, serta dinaikkannya ketentuan pidana minimal bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, serta diperkenalkannya sistem hukum baru yakni adanya hak restitusi.33 Yang dimaksud dengan “restitusi” adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau imateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.34

Dalam ketentuan umum Pasal 1 point 1 Undang–Undang ini diatur dalam ketentuan umum : “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 ( delapan belas) tahun termasuk yang masih dalam kandungan”. Undang–Undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara, merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara terus – menerus demi terlindungnya hak – hak anak.

33 http://pn-palopo.go.id/index.php/publikasi/artikel/164-paradigma-baru-hukum-perlindungan-anak-pasca-perubahan-undang-undang-perlindungan-anak diakses pada tanggal 15 Maret 2019 Pukul 18. 15.30 WIB.

34Lihat Penjelasan Pasal 71 D ayat 1 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan.

Menurut Pasal 2 UU Perlindungan Anak bahwa penyelenggaraan perlindungan anak dilaksanakan berasaskan Pancasila dan berdasarkan Undang–

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip – prinsip dasar Konvensi Hak – Hak anak meliputi :35

a. Prinsip non diskriminasi

b. Prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak

c. Prinsip hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan d. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak.

Non diskriminasi merupakan salah satu prinsip dasar Konvensi Hak anak.

Seluruh prinsip dasr dalam Konvensi Hak Anak telah diadopsi ke dalam UU Perlindungan Anak. Di Indonesia telah mengatur Hak asasi manusia, juga mengatur tentang perlindungan terhadap anak-anak. Hal tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.36

Undang-undang tersebut mengatur mengenai perlindungan – perlindungan terhadap anak apabila mengalami kekerasan ataupun hal – hal yang membahayakan jiwa serta masa depannya. Berikut ini merupakan hak anak untuk dilindungi :37

1) Anak berhak mendapatkan perlindungan dari keadaan darurat atau keadaan yang membahayakan bagi anak tersebut.

35 Nursariani Simatupang dan Faisal, Op. Cit., Hlm. 35

36 Ibid., Hlm.52.

37 Ibid., Hlm.52-53.

37

2) Apabila anak mendapatkan perlakuan sewenang-wenang dari hukum maka ia berhak untuk mendapatkan perlindungan

3) Anak juga berhak mendapat perlindungan apabila ia dieksploitasi 4) Perlindungan terhadap tindak kekerasan dan penelantaran.

UU Perlindungan anak Pasal 13 menyatakan yang dimaksud kekerasan terhadap anak adalah “diskriminasi, eksploitasi baik fisik maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya”.38

Bentuk tindak pidana terhadap anak dalam UU Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:39

a) Dalam Pasal 76 yang terdiri dari 10 pasal yang mengatur : Pasal 76A

Setiap orang dilarang:

a. memperlakukan Anak secara diskriminatif yang mengakibatkan Anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau

b. memperlakukan Anak Penyandang Disabilitas secara diskriminatif.

Pasal 76B

Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran.

38 Ibid., Hlm. 69-70.

39 Lihat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Pasal 76C

Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan,melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.

Pasal 76D

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 76E

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Pasal 76F

Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan Anak.

Pasal 76G

Setiap Orang dilarang menghalang-halangi Anak untuk menikmati budayanya

Setiap Orang dilarang menghalang-halangi Anak untuk menikmati budayanya

Dokumen terkait