• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori Jaringan Sosial

Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antara banyak individu dalam suatu kelompok ataupun antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hubungan- hubungan yang terjadi bisa dalam bentuk yang formal maupun bentuk informal. Hubungan sosial adalah gambaran atau cerminan dari kerjasama dan koordinasi antar warga yang didasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat resiprosikal (Damsar, 2002:157).Jaringan Sosial memiliki konsep menunjukkan suatu hubungan yang diikat oleh adanya kepercayaan dan kepercayaan itu dipertahankan dan dijaga oleh norma-norma yang ada.Pada dasarnya jaringan sosial terbentuk karena adanya rasa saling tahu, saling menginformasikan, saling mengingatkan, dan saling membantu dalam melaksanakan ataupun mengatasi sesuatu.

Secara normatif yang mempersatukan orang secara bersama adalah sekumpulan gagasan bersama, dan adanya kultur dan proses sosialisasi yang menanamkan norma dan nilai ke dalam diri aktor. Pakar teori Jaringan menentang hal tersebut karena menganggap seharusnya setiap orang memusatkan perhatian pada sebuah pola ikatan yang objektif yang menghubungkan anggota masyarakat.Teori jaringan juga menelaah objek struktur makro dan mikro yang artinya aktor bisa berupa individu, kelompok, perusahaan, atau masyarakat.Hubungan dapat terjadi di tingkat struktur sosial skala luas maupun skala kecil. Hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap individu mempunyai akses berbeda terhadap sumber daya yang bernilai (kekuasaan,kekayaan,informasi). Akibatnya adalah bahwa sistem yang terstruktur

cenderung terstratifikasi, komponen tertentu tergantung pada komponen yang lain. Maka dari itu membentuk sebuah kelompok menjadi upaya untuk mencapai sumber daya yang bernilai.

Hubungan antar individu dalam kelompok bersifat ikatan kuat dan ikatan lemah. Granovetter mengemukakan ikatan kuat dan lemah dalam kelompok memiliki nilai tersendiri. Ikatan kuat dalam kelompok memungkinkan adanya motivasi lebih besar untuk saling membantu dan lebih cepat untuk saling memberikan bantuan.Sementara itu ikatan lemah dapat mencegah isolasi dan memungkinkan individu mengintegrasikan dirinya dengan lebih baik ke dalam masyarakat lebih luas.Dapat diartikan bahwa ikatan kuat dan ikatan lemah dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu yang di bentuk oleh masyarakat. Salah satu contoh nya ikatan yang kuat didorong oleh faktor kesamaan sebagai suku tertentu maka masyarakat suku tersebut akan saling menolong dengan sesegera mungkin masyarakat yang sedang mengalami musibah namun tetap dalam satu suku yang sama. Contoh ikatan yang lemah misalnya sekelompok masyarakat minoritas yang tinggal di sebuah wilayah yang mayoritas dikuasai oleh satu suku saja namun kelompok tersebut bisa bergabung dengan suku mayoritas sehingga kelompok tersebut menjadi mudah terintegrasi dengan suku mayoritas di wilayah tersebut dan membangun jaringan sosial yang multikultural.

Jaringan sosial memiliki sekumpulan prinsip logis yaitu:

1. Ikatan antara aktor biasanya adalah simetris baik dalam kadar maupun intensitasnya. Aktor saling memasok dengan sesuatu yang berbeda dan mereka berbuat demikian dengan intensitas yang makin besar atau makin kecil.

2. Ikatan antara individu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan lebih luas.

3. Terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan non acak. Di satu pihak, jaringan adalah transitif artinya bila ada ikatan antara A,B dan C, ada kemungkinan ada ikatana antara A dan C. Akibatnya adalah bahwa lebih besar kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A,Bdan C. Dilain pihak, ada keterbatasan tentang berapa banyak hubungan yang dapat muncul dan seberapa kuatnya hubungan itu dapat terjadi. Akibatnya adalah juga kemungkinan terbentuknya kelompok-kelompok jaringan dengan batas tertentu, yang saling terpisah satu sama lain.

4. Adanya kelompok jaringan menyebabkan terciptanya hubungan silang antara kelompok jaringan maupun antara individu.

5. Ada ikatan asimetris antara unsur-unsur didalam sebuah sistem jaringan dengan akibat bahwa sumber daya yang terbatas akan terdistribusikan secara tak merata.

6. Distribusi yang timpang dari sumber daya yang terbatas menimbulkan baik itu kerjasama maupun kompetisi. Beberapa kelompok akan bergabung untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas itu dengan bekerja sama, sedangkan kelompok lain bersaing dan memperebutkannya.

2.2Teori Jaringan Bambu

Sejak berakhirnya Perang Dingin terdapat sebuah kawasan di dunia yang secara tidak terduga berkembang dengan pesat dari segi pembangunan secara global, dimana kawasan itu adalah Asia Tenggara. Di Asia Tenggara pelaku

keluar dari negara mereka, Tiongkok, dan mereka sangat sukses mendirikan bisnis di kawasan Asia Tenggara.Itu semua merupakan hasil dari perubahan politik, ekonomi dan militer yang sangat cepat pada rakyat Tiongkok dan tidak mudah untuk mengabaikan kebesaran Tiongkok.Maka dari itu Tiongkok menjadi salah satu kekuatan dunia saat ini terutama di sector bidang ekonomi.Bangsa Cina tersebar di seluruh negara terutama di kawasan benua Asia. Mereka membentuk jaringan khusus untuk bisa menguasai perdagangan dunia dan bersaing dengan pengusaha

dan perusahaan dari barat (Eropa dan Amerika) dan jaringan tersebut dinamakan jaringan bambu (Bamboo Net

work).Jaringan Bambu terdiri atas himpunan besar keluarga Bangsa Cina yang berni aga di Malaysia, Vietnam, Indonesia,Singapura, Thailand, zona pantai Cina/Tiongkok dan Taiwan. Anggota jaringan bambu adalah pemain penting dalam transisi kebijakan Cina dari totaliter menjadi arah perdagangan dan pasar serta ekspansi ekonomi secara cepat.Para pengusaha etnis Cina sangat tangguh dalam urusan perdagangan di luar negara asal mereka sehingga perekonomian negara Tiongkok sendiri menjadi terangkat dan semakin maju.Hal ini mengukuhkan pebisnis Cina sebagai kompetitor yang patut di waspadai oleh para pebisnis dari barat seperti Eropa dan Amerika. Bisnis yang mereka ciptakan biasanya bekerja sama dengan keluarga sendiri sebab mereka lebih percaya kepada keluarga dalam urusan bisnis dan dapat saling tolong menolong jika urusan bisnis dipegang oleh keluarga atau kerabat dan segala urusan berkaitan dengan bisnis dianggap lebih mudah bekerja sama dengan sesama etnis Cina juga. Keluarga dibentuk untuk mempelajari dan memahami tentang pola berbisnis yang tepat maka banyak contoh perusahaan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa diteruskan secara turun temurun

kepada anak cucu mereka sendiri.Artinya ikatan kekerabatan dan rasa kesamaan sebagai etnis Cina dikalangan para pengusaha di Asia Tenggara dan seluruh dunia sangat kental.Perilaku atau kebiasaan demikian menimbulkan beragam fenomena, misalnya karena ikatan kekerabatan yang luar biasa erat menjadikan seseorang anggota keluarga yang tidak kompeten lebih dipercaya memegang pekerjaan atau bisnis dibandingkan dengan tenaga ahli yang memang sudah professional atau kompeten.

Etnis Cina memang memiliki sifat yang turun temurun yang berkaitan dengan keberhasilan dalam bekerja atau berusaha yakni sifat berhemat, berwirausaha, dan ketekunan.Berhemat artinya disini adalah tidak menghambur-hamburkan harta untuk bersenang-senang, mereka justru sangat berhati-hati dalam menggunakan dan menikmati harta yang mereka miliki.Sifat berwirausaha maksudnya adalah wirausaha dianggap dapat menjadi sumber untuk memperoleh penghasilan bagi etnis Tionghoa dan berikutnya sifat ketekunan berarti setiap pekerjaan yang dilakukan harus dikerjakan dengan bersungguh-sungguh dan tidak boleh bermalas-malasan.Etnis Cina tak hanya belajar untuk berbisnis lewat keluarga atau turun temurun, mereka juga memperoleh ilmu berbisnis dengan menuntut ilmu di negara-negara barat kemudian menerapkan ilmu yang mereka peroleh ke dalam bisnis-bisnis yang dijalankan oleh keluarga mereka.

Dari sifat-sifat diatas maka dapat dilihat bahwa pebisnis Tionghoa atau Cina memang layak untuk sukses dan menguasai dunia usaha di seluruh dunia.Dalam menjalankan bisnisnya dapat kita lihat ciri-ciri khas orang Cina yang sudah diketahui oleh khalayak umum. Ciri khas dari sifat pebisnis etnis Cina dalam usaha bisnis yang dijalankan diantaranya, pengusaha Cina biasanya menghindari banyak

publikasi dan lebih suka bekerja di belakang layar seperti memproduksi sarana untuk produsen menjalankan proses produksi, atau terjun ke usaha grosir, pembiayaan atau pengakutan tanpa memperlihatkan merk mereka ke khalayak umum. Disini terlihat bahwa pebisnis Cina cenderung menutup diri dari masyarakat umum dan hanya mau bekerja di balik layar bisnis-bisnis tanpa memperlihatkan identitas mereka secara terbuka. Ciri berikutnya yakni perusahaan keluarga etnis Cina sifatnya memiliki pengawasan yang ketat, kontrol terpusat dan melakukan transaksi dengan jalur yang aman bagi mereka agar proses birokrasi tidak merepotkan. Untuk urusan transaksi atau birokrasi, etnis Cina tidak mau repot mengurus hal-hal mengenai usaha mereka dengan bertele-tele karena mereka sangat menghargai waktu dan kesempatan. Jika birokrasi di permudah maka proses pelaksanaan kegiatan dalam berbisnis atau berdagang akan semakin cepat dan tidak membuang waktu yang percuma. Ciri ketiga adalah perusahaan para pebisnis Etnis Cina karena mereka lebih menekankan perusahaan yang memiliki jaringan luas daripada hanya memiliki satu perusahaan yang mendominasi pasar namun perkembangannya kurang signifikan dikemudian hari.Dalam menentukan kegiatan berbisnis, orang-orang Cina tentu sangat terperinci dan penuh dengan perhitungan yang matang. Apabila kesempatan membuka perusahaan lebih dari satu dilakukan mereka beranggapan bisa saja perusahaan tersebut tidak berjalan dengan baik sehingga hanya dengan satu perusahaan saja , dikontrol dengan teliti akan jauh lebih memperoleh keuntungan uang banyak. Dan ciri yang terakhir adalah para pebisnis Etnis Cina di luar negeri memanfaatkan atau menggunakan gaya manajemen yang informal dan intuitif. Dengan gaya usaha atau berdagang secara informal dan intuitif akan mempermudah untuk menjalin kerjasama dengan para pebisnis Cina

lainnya dan memperoleh kepercayaan para pebisnis lainnya. Dari ciri khas pebisnis Cina yang telah dijelaskan diatas memperlihatkan kinerja dan pola perilaku yang sangat umum dilakukan oleh etnis Cina dalam menjalankan bisnis, walaupun tidak semua orang Cina berwirausaha dan juga tidak semua menjadi sukses dalam menjalankan bisnis namun ikatan dalam jaringan sebagai sesama etnis Cina atau Tionghoa tetap ada dan dipertahankan dalam hubungan sosial.

2.3 ‘Masalah Cina’ di Indonesia

Sejarah panjang keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia cukup banyak meninggalkan dan menyisakan polemik kehidupan sosial, politik, dan budaya bagi identitas etnis Tionghoa di Indonesia.Sejak masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, kebijakan-kebijakan terhadap etnis Tionghoa mulai diberlakukan.Kehadiran dan keberartian orang-orang etnis Tionghoa seringkali disikapi acuh tak acuh oleh masyarakat Pribumi dan Pemerintah, atau bahkan diekspresikan secara ekstrem, dengan sangat membenci atau justru menyenangi orang-orang etnis ini.Dalam kondisi-kondisi tertentu saja orang-orang etnis Tionghoa mendapatkan perlakuan tersebut.Pendeknya, terdapat suatu sikap yang tidak menentu terhadap golongan ini, yang juga terlihat pada badan-badan Pemerintah, seperti tercermin pada kebijakan-kebijakan serta peraturan yang diberlakukan sejak zaman kolonial hingga kini.Melihat masalah Tionghoa sebagai bagian dari kenyataan kebhinekaan masyarakat Indonesia ini, mengharuskan suatu pengetahuan dan pengertian yang lebih mendalam mengenai sejarah dan peranan golongan minoritas dalam masyarakat luas.Untuk

di Indonesia relatif sedikit, mereka merupakan kelompok minoritas yang berarti. Dengan kata lain, meskipun dari segi ekonomi etnis Tionghoa lebih menonjol dari Pribumi, kemungkinan terjadinya benturan benturan diperbesar dengan adanya segi-segi sosial, budaya, dan politik, dan dasar-dasarnya terbentuk sejak pemerintahan kolonial Belanda dengan kebijakan ‘devide et impera’nya, yang secara sistematis memisahkan berbagai golongan penduduk dengan golongan lainnya termasuk golongan etnis Tionghoa. sejak zaman pemerintahan Hindia-Belanda politik ‘pemisahan’ golongan antar etnis telah diberlakukan,termasuk etnis Tionghoa. Keterbatasan akses dan keterbatasan berdemokrasi untuk menempatkan sikap kebangsaan etnis Tionghoa di Indonesia semakin dikebiri oleh Negara, bahkan oleh masyarakatnya. Stereotip yang tumbuh dan berkembang terlebih sejak masa Orde Baru, semakin menguatkan kelemahan etnis Tionghoa yang kemudian berlabelkan ‘minoritas’, bahkan di Tanah Airnya sendiri ketika mereka telah berasimilasi dan berakulturasi menjadi warga Negara Indonesia. Pembatasan-pembatasan tersebut menjadi awal mula terbentuknya ‘benteng’ antara etnis Tionghoa dengan Negara dan pribumi.Insecurity terhadap Negara dan pribumi kemudian disebut-sebut sebagai penyebab eksklusif nya etnis Tionghoa dibandingkan dengan pribumi dan etnis lainnya.Eksklusifitas ini yang kemudian mulai berkembang menjadi pola hidup dan kebiasaan, bahkan budaya bagi beberapa lapisan etnis golongan Tionghoa itu sendiri.Seperti misalnya ketika kita melihat banyak dari golongan etnis Tionghoa menengah keatas yang menjadi sangat eksklusif dibanding dengan orang-orang etnis Tionghoa lainnya.Misal, jika kita melihat orang-orang etnis Tionghoa yang tersebar di Ibukota Jakarta.Etnis Tionghoa tersebut kemudian menyebar, dan

beraglomerasi pada daerah daerah tertentu yang menunjukkan identitas mereka masing-masing. Etnis Tionghoa peranakan, yang berasimilasi dengan orang Indonesia, dan kebanyakan dari mereka bermata pencaharian sebagai pedagang, bertempat tinggal di sekitaran Glodok dan jalan Gajah Mada, yang kemudian orang bilang sebagai ‘Cina Benteng’. Sebutan Cina Benteng muncul karena ada pembedaan latar belakang financial dengan orang Tionghoa ‘Totok’ lainnya, yang beraglomerasi di sekitaran daerah Kelapa Gading dan Pluit, Jakarta Utara.Orang-orang Tionghoa ini dikenal sebagai pengusaha, golongan menengah keatas, yang cukup menguasai pusat perekonomian dan bisnis, baik di Ibukota maupun di daerah-daerah.Etnis Tionghoa membangun in-group yang tanpa mereka sadari semakin menjauhkan etnis mereka dengan budaya demokrasi dengan masyarakat Indonesia yang pluralis.

Insecurity juga disebut-sebut sebagai faktor yang dijadikan alasan pilihan anak-anak Tionghoa disekolahkan di sekolah-sekolah swasta, terlebih berbasis Yayasan. Perlu diingat bahwasanya pilihan tersebut merupakan hasil dari luka lama yang dirasakan pada pemerintahan masa Orde Baru, dimana kebijakan Soeharto yang mengimbau anak-anak berkebangsaan asing yang tinggal di Indonesia untuk masuk sekolah Negeri dan swasta yang mengajarkan kurikulum nasional. Karena adanya pembatasan dan insecurity tersebut berdampak pada mind-set dan rational-choice etnis Tionghoa pasca Orde Baru untuk dapat ‘menghidupkan’ kembali kebudayaan dan kebiasaan lama sekolah mereka. Dimana mereka dapat merasakan keamanan dan kelestarian budaya Tionghoa hanya dengan lingkungan yang berisikan orang-orang Tionghoa juga.

Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut, dapat dipahami bahwasanya pemikiran tentang identitas Indonesia Tionghoa merupakan konsep yang sukar ditangkap dan melibatkan banyak penyebab yang saling berkaitan, terutama sejarah masa lampau etnis Tionghoa di Indonesia. Penyebab yang saling terkait ini dan dapat meliputi teritorialitas, afiliasi agama, pengaruh keluarga, sikap hubungan antara Pribumi dengan Tionghoa, kelas, patriarki, dan pencarian jodoh, semuanya memberi andil kepada corak sistem representasi yang mendasari pola interaksi dan identifikasi diantara orang Indonesia Tionghoa. Dan seiring berjalannya waktu, sejarah etnis Tionghoa dari zaman kolonial Belanda, Orde Baru, Reformasi sampai pada saat ini kemudian semakin mengalami proses pergeseran. Dari etnis minoritas, menjadi etnis dan komunitas yang superior dan bahkan eksklusif.Mereka yang dahulu termarjinalkan, kini memegang kekuatan pada beberapa sektor vital Negara, seperti perekonomian.Pribumi tidak lagi memandang mereka sebagai orang-orang minoritas yang tidak memiliki hak dan akses terhadap Negara dan lingkungan seperti perspektif terdahulu.Namun, justru keadaan berbalik.Kini kebanyakan etnis Tionghoa yang lebih memegang kendali daripada orang-orang Pribumi dan bahkan oleh Negara. Mereka seakan terpisah dari Negara dan masyarakat lainnya, membentuk suatu ‘komunitas’ atau in-groupatas dasar kultur subjektifnya, dengan kekuatan finansial, terlebih di dukung dengan perkembangan stereotip masyarakat akan kehidupan sosial etnis Tionghoa di Indonesia, mereka bertransformasi menjadi etnis yang superior dan eksklusif. Namun tanpa disadari, dengan kebudayaan dan life style etnis mereka

sendiri lah yang memperkuat label dan disain ‘minoritas’ tersebut, sehingga “Tionghoa akan tetap Tionghoa”.

2.4 Etnis Cina Di Indonesia Fakta Komunikasi Antar Budaya

Keberadaan etnis Cina di Indonesia diperkirakan sudah ada sejak abad ke- 5. Hal itu di tunjukkan oleh kunjungan Fa-Hsien,1 seorang pendeta Budha ke Indonesia pada abad awal tarikh masehi (Kwartanada, 1996: 24; Djie, 1995: 20 dalam Siburian,2009). Dengan adanya fakta yang demikian, berarti etnis Cina sudah hadir kurang lebih 15 abad, jauh sebelum bangsa Belanda menjajah di Indonesia.Mencermati keberadaan etnis Cina yang sudah beberapa generasi tinggal di bumi Indonesia, seharusnya keberadaan mereka tidak perlu lagi dipermasalahkan.Hanya karena kebetulan mereka itu etnis Cina, namun sudah banyak di antara etnis Cina itu tidak lagi mengetahui letak tanah leluhurnya.Beberapa di antara mereka pun sudah banyak yang tidak mengerti bahasa leluhurnya. Berdasarkan fakta itu, proses pembentukan Indonesia menjadi sebuah negara-bangsa juga melibatkan etnis Cina, sehingga dalam perkembangannya pun etnis Cina merupakan bagian integral dari perjalanan sejarah Indonesia. Proses pengakuan etnis Cina sebagai bagian dari warga negara Indonesia sudah dimulai sejak masa penjajahan dahulu, tampaknya keberadaan etnis Cina sebagai bagian dari bangsa Indonesia belum berjalan mulus, atau etnis Cina belum diterima oleh etnis "asli" penghuni negeri ini secara optimal. Perlakuan terhadap etnis Cina sangat berbeda dengan perlakuan terhadap orang India ataupun orang Arab yang ada di Indonesia ini.Hal itu ditandai oleh kerusuhan demi kerusuhan yang sering terjadi

mewarnai hubungan etnik di Indonesia ini, di mana etnis Cina tidak pernah luput dari sasaran.Adanya konflik antaretnis yang selalu membawa korban pada etnis Cina memberi indikasi bahwa hubungan antaretnis khususnya antara etnis Cina dengan etnis "asli" Indonesia tidak harmonis.Sering dianalogkan bahwa etnis Cina di Indonesia ibarat kerupuk yang ditaruh dalam kaleng yang selalu digoyang untuk menemukan posisinya yang tepat. Sepanjang posisi itu belum tepat, etnis Cina akan selalu digoyang. Kurang berterimanya masyarakat Indonesia untuk menempatkan etnis Cina sebagai etnis yang sejajar dengan etnis "asli" tentu ada yang melatarbelakanginya.Salah satunya adalah faktor kecemburuan sosial. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, posisi etnis Cina adalah "anak emas" sekaligus "anak tiri" bangsa Indonesia. Artinya, di satu sisi etnis Cina diperlakukan sangat istimewa oleh pemerintah Indonesia, tetapi di sisi lain, pada saat yang sama etnis Cina dipersulit dalam berbagai hal. Dalam hal ini, pemerintah selalu mendiskriminasikan etnis Cina-siapa pun dia itu-dengan berbagai aturan.Pendiskriminasian etnis Cina ini sebenarnya sudah berlangsung ketika Indonesia masih berada di bawah penjajahan kolonial Belanda. Secara resmi, pemerintahan Hindia Belanda (sejak permulaan abad ke-19) membagi penduduk Hindia Belanda dalam tiga golongan: Eropa, Timur asing (Cina, Arab dan lain lain), dan pribumi. Orang Cina pada waktu itu tampil sebagai pedagang perantara dan pedagang eceran. Golongan Cina ini cukup makmur di bawah kekuasaan kolonial (Ong Hok Ham, dalam Siburian,2009).

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, etnis Cina ini seperti "dianakemaskan" oleh Belanda.Kegiatan mereka di bidang perdagangan sangat dihargai. Hal itu disebabkan oleh semangat dagang dan usaha yang dimiliki oleh imigran Cina itu, termasuk kesediannya menerima tamu, kecenderungannya

mengadakan jamuan makan dan ramah dalam pergaulan (Liem Twan Djie, dalam Siburian,2009). Selain itu, seperti yang dikemukakan oleh Duyvendak yang dikutip oleh LiemTwan Djie (dalam Siburian,2009) bahwa orang-orang Cina sangat gesit dan rajin serta mereka tidak segan bekerja dan tidak gentar menghadapi kesulitan demi memperoleh uang. Ketika Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda, etnis Cina hanya diperbolehkan bergerak di bidang perdagangan. Tertutupnya akses etnis Cina berusaha di bidang lain disebabkan oleh hambatan-hambatan perundang-undangan yang merintangi mereka. Pada masa penjajahan Jepang, etnis Cina digolongkan sebagai bangsa asing, didasarkan pada Undang-undang Nomor 7 tanggal 11 April 1942.Pada masa pemerintahan Indonesia merdeka, praktek yang hampir mirip dengan yang dilakukan oleh Jepang ketika menjajah Indonesia banyak terjadi.Berbagai pungutan--baik resmi ataupun tidak--harus dibawar oleh pengusaha Tionghoa, sebagai "uang keamanan" mengingat status mereka sebagai minoritas yang tidak disukai. Setiap etnis Tionghoa diwajibkan untuk memiliki SBKRI, yang berfungsi sebagai "surat sakti" untuk berbagai keperluan, seperti untuk masuk sekolah/kuliah (Kwartanada, dalam Siburian,2009).

Kendati etnis Cina sudah lama berdiam di bumi Indonesia, mereka masih "orang asing" bagi masyarakat pribumi.Keterasingan etnis Cina di mata pribumi adalah akibat kurang bersosialisasinya etnis Cina dengan masyarakat pribumi.Sebagian besar warga pribumi mengenal orang Cina hanya dipasar.Pasar dalam hal ini merupakan suatu fenomena yang menunjukkan adanya jual-beli antara pihak pembeli dan penjual, baik barang ataupun jasa.Dengan demikian, interaksi yang terjadi antara warga pribumi dan non-pribumi (etnis Cina) itu adalah kaitannya dengan perdagangan saja.Interaksi yang demikian tentu sangat terbatas, sebab yang

terjadi adalah hubungan jual-beli semata. Interaksi yang hanya berlangsung dalam arena pasar atau jual beli saja tidak akan mampu untuk memahami satu sama lain secara mendalam. Oleh karena etnis Cina dikenal di pasar, maka mereka ini tak lebih dari sekedar "binatang ekonomi" (economic animal). Akibatnya adalah muncullah stereotype tentang Cina mindring, Cina Klontong atau Cina yang mata

Dokumen terkait