• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode penelitian

Spesifikasi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian hukum yang Yuridis Nornatif dinamakan juga

dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tirtier.

Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada:33

− Penelitian terhadap asas-asas hukum.

− Penelitian terhadap sistematika hukum.

− Penelitian terhadap sinkronisasi hukum.

− Penelitian terhadap sejarah hukum.

− Penelitian terhadap perbandingan hukum.

Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan berbagi literature yang berkaitan dengan permasalahan ini.

b. Metode Pendekatan.34

Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan Normatif, antara lain:

1. Pendekatan Undang-Undang 2. Pendekatan Kasus

c. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian penulis dan penyusun skripsi ini adalah Pengadilan Negeri Pematang Siantar.

33 Ediwarman. Monograf Metodologi Penelitian Hukum : Panduan Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi. Medan : PT. Sofmedia, 2015. halaman. 94

34Ibid. Halaman. 96

d. Alat Pengumpulan Data35

Berdasarkan pendekatan dan data dalam penelitian ini, maka metode pengumpulan data yang dipakai yaitu:

1. Studi kepustakaan,yaitu menelaah bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan analisis hukum tentang tindak pidana pencurian dengan pemberatan.

2. Wawancara, yaitu melakukan wawancara dengan narasumber aparat penegak hukum yang terlibat dalam proses peradilan pidana, yaitu yang pertama wawancara terhadap Praktisi, penulis melakukan wawancara terhadap seorang Pengacara. Dan yang kedua wawancara terhadap seorang Akademisi, penulis melakukan wawancara dengan Jaksa yang bertugas di Pengadilan Negeri Pematang Siantar.

3. Daftar Pertanyaan, penulis melakukan wawancara terhadap para narasumber dengan mengajukan pertanyaan guna memperoleh data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.

e. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Posedur pengumpul dan pengambilan data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini menggunakan:

1. Studi kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan skripsi ini seperti, buku-buku, makalah, yang bertujuan untuk mencari atau

35 Ibid. Halaman 109

memperoleh konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan yang berkenaan dengan analisis hukum tentang tindak pidana pencurian dengan pemberatan dalam perspektif kriminologi.

2. Studi Lapangan, yaitu penulis mempeoleh data yang bersifat primer dengan mengadakan Tanya jawab (wawancara) dengan aparat penegak hukum yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Selama ini wawancara dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam pengumpulan data primer dilapangan, dianggap efektif karena interviewer dapat bertatap muka langsung dengan narasumber untuk menanyakan perihal pribadi narasumber, fakta yang ada dan pendapat (opinion) maupun persepsi diri narasumber dan bahkan saran-saran narasumber. 36

f. Analisis Data

Adapun yang menjadi narasumber dalam wawancara ini adalah Jaksa dari Pengadilan Negeri Pematang Siantar dan seorang Pengacara.

Analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dengan cara kualitatif, yaitu menganalisis melalui data lalu diolah dalam pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

36 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta:Sinar Grafika, 2002), Halaman 57.

BAB II

ATURAN HUKUM YANG MENGATUR TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN

A. Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum pidana Tentang Pencurian Biasa

Pencurian dalam bentuk pokok beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam pasal 362 KUHP, yang berbunyi:

“Barang siapa mengambil sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau benda paling banyak Rp. 900,00,-”

Rincian rumusan pencurian yang terdapat dalam pasal 362 tersebut dapat dilihat sebagai berikut:37

1. Unsur-unsur objektif, terdapat dari : a. Perbuatan mengambil.

b. Objeknya suatu benda.

c. Unsur keadaan yang menyertai / melekat pada benda, yaitu benda tersebut atau seluruhnya milik orang lain.

2. Unsur-unsur subjektif, terdiri dari:

a. Adanya maksud.

b. Yang ditujukan untuk memiliki.

37 Adami chazawi.op.cit. Halaman. 5

c. Dengan melawan hukum.

Mengambil Barang

Unsur pertama dari Tindak Pidana Pencurian adalah perbuatan mengambil Barang. Kata mengambil (wegnemen) dalam arti sempit terbatas pada menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang barangnya, dan mengalihkannya ke tempat lain. Sudah lazim masuk istilah pencurian apabila orang mencuri barang cair, seperti bir dengan membuka suatu keran untuk mengalirkannya ke dalam botol yang ditempatkan dibawah keran itu. Bahkan tenaga listrik sekarang dianggap dapat dicuri dengan seutas kawat yang mengalirkan tenaga listrik itu ke suatu tempat lain dari pada yang dijanjikan.

Perbuatan mengambil jelas tidak ada apabila barangnya oleh yang berhak diserahkan kepada pelaku. Apabila penyerahan ini disebabkan pembujukan dengan tipu muslihat, maka ada Tindak Pidana Penipuan. Jika penyerahan ini disebabkan ada paksaan dengan kekerasan oleh si pelaku, maka ada tindak pidana pemerasan (afpersing) jika paksaan itu berupa kekerasan, langsung, atau merupakan tindak pidana pengancaman (afdreiging) jika paksaan ini berupa mengancam akan membuka rahasia.38

Seorang A bediri dekat suatu barang milik orang lain – B − dan menjual barang itu kepada C yang membayar harganya kepada A dan mengambil sendiri Noyon-Langemeyer (jilid III Halaman 127) membahas suatu peristiwa sebagai berikut:

38Wirjono Projodikoro.op.cit. Halaman.14

barangya. Pemilik B tidak tahu-menau hal ini, dan uang harga pembelian ditahan oleh A terus sebagai miliknya.

Di sini, A sama sekali tidak mengambil barang. Maka, menurut Langemeyer, si A dapat dipersalahkan menyuruh mencuri (doen plegen pasal 55 KUHP) karena si C − sebagai si pengambil barang mengira bahwa A adalah pemilik barang itu sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Langemeyer menceritakan bahwa dalam hal semacam ini − oleh suatu pengadilan di Negeri Belanda − si A dipersalahkan pmenipu si C untuk menyerahkan harga pembelian kepada A. putusan tersebut tidak disetujui oleh Langemeyer. 39

Barang yang diambil dapat sebagian milik oleh si pencuri, yaitu apabila merupakan suatu barang warisan yang belum dibagi-bagi, dan si pencuri adalah seorang ahli waris yang turut berhak atas barang itu. Hanya jika barang yang Barang Yang diambil

Oleh karena sifat tindak pidana pencurian adalah merugikan kekayaan si korban, maka barang yang diambil harus berharga. Harga ini tidak selalu bersifat ekonomis. Misalnya, barang yang diambil itu tidak mungkin akan terjual kepada orang lain, tetapi bagi si korban sangat dihargai sebagai suatu kenang-kenangan.

Van Bemmlen (halaman 285) memberikan contoh berupa beberapa helai rambut (haarlok) dari seseorang yang telah meninggal yang dicintai atau beberapa halaman yang disobek daru suatu buku catatan atau surat biasa.

39Ibid. Halaman.15

diambil =itu tidak dimiliki oleh siapapun (resnulius), misalnya sudah dibuang oleh sipemilik, maka tidak ada tindak pidana pencurian.

Tujuan memiliki barangnya dengan melanggar hukum

Unsur memiliki barangnya dengan melanggar hukum ini juga terdapat pada unsur tindak pidana penggelapan barang dari pasal 372 KUHP, bahkan disana tidak hanya harus ada tujuan (oogmerk) untuk itu, tetapi perbuatan si pelaku harus masuk rumusan memiliki barangnya dengan ,melanggar hukum.

Menurut Prof. Dr. Wirjono sebetulnya terdapat suatu kontradisi antara memiliki barang –barang dan melanggar hukum. Memiliki barang berarti menjadikan dirinya pemilik. Dan, untuk menjadi pemilik suatu barang harus menurut hukum. Setiap pemilik barang adalah menjadi pemilik menurut hukum.

Maka sebenarnya tidak mungkin orang memiliki barang orang lain dengan melanggar hukum, karena kalau hukum dilanggar, tidak mungkin orang tersebut menjadi pemilik barang.

Berbuat sesuatu dengan sesuatu barang seolah-olah pemilik barang itu, dan dengan perbuatan tertentu itu si pelaku melanggar hukum. 40

40Ibid.

Wujud perbuatan memiliki barang

Perbuatan ini dapat berwujud macam-macam seperti menjual, menyerahkan, meminjamkan, memakai sendiri, menggadaikan, dan sering bahkan bersifat negative, yaitu tidak berbuat apa-apa dengan barang itu, tetapi juga tidak mempersilahkan orang lain berbuat sesuatu dengan barang itu tanpa persetujuannya.

Apabila seseorang menyimpan barang orang lain menghancurkan barangnya tanpa diberi izin dari yang berhak, maka saya rasa lebih baik dianggap bahwa tidak ada tindak pidana penghancuran barang orang lain (pasal 406) dari pada penggelapan barang dari pasal 372 KUHP karena seseorang penyimpan barang yang mengahncurkan barang itu sukar memiliki barang yang pada waktu itu dimusnahkan. Lain halnya dengan seorang yang mengambil barang orang lain dengan tujuan untuk menghancurkannya. Kini masih dapat dipersoalkan, sampai dimana ada maksud si pengambil barang untuk kemudian akan menghancurkannya.

Seorang pengambil barang mungkin mempunyai alas an untuk menghancurkan barang itu, misalnya untuk menghilangkan hal yang akan membuktikan sesuatu terhadap dirinya, atau yang akan selalu mengingatkannya kepada hal yang ia lebih suka melupakannya. Alasan-alasan ini juga dapat dikandung oleh seorang pengambil barang orang lain.

Disamping itu, oleh karena pada waktu barang nya diambil dan beberapa waktu kemudian belum dilakukan penghancuran barang, maka dapat dianggap wajar bahwa si pengambil barang itu bertindak seolah-olah seorang pemilik barangnya. Maka dalam hal ini ada tindak pidana pencurian yaitu pasal 362 KUHP.41

Dalam hal apabila si pengambil barang hanya bermaksud untuk memakai barangnya sebentar, dan sesudah itu akan dikembalikan, atau si penyimpan barang memakai barangnya sebentar, tidak untuk seterusnya, maka dalamhal inititik berat

41Ibid. Halaman 17

harus diletakkan pada hal bawa tidak ada izin dari pemilik barang yang diambil itu. Dengan demikian, maka orang itu bersalah telah melakukan pencurian, tetapi mungkin hukumannya dapat diringankan.42

B. Pasal 363 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentang Pencurian Dengan Pemberatan

.

Pencurian dengan pemberatan memiliki unsur-unsur pencurian biasa yang pokok, pencurian dengan pemberatan merupakan (gequalificeerde diefstal) yang diterjemahkan sebagai pencurian khusus dimaksudkan sebagai suatu pencurian dengan cara tertentu dan bersifat lebih berat.43

Pencururian dengan pemberatan diatur dalam pasal 363 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu :44

1. Dipidana dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun : (1) pencurian ternak;

(2) pencurian pada waktu kebakaran, peletusan, banjir, gempa bumi atau gempa

laut, peletusan gunung api, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;

(3) Pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah kediaman atau dipekarangan tertutup yang disitu tanpa setahu atau bertenatangan dengan kehendak yang berhak;

(4) Pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama;

42Ibid. Halaman 18

43 Wirjono Projodikoro, Op.Cit., Halaman.19

44 Adami chazawi.op.cit. Halaman. 29-34

(5) pencurian yang dilakukan dengan cara membongkar, merusak, atau memanjat, atau memakai anak kunci palsu, yaitu untuk dapat masuk ke tempat kejahatanatau untuk dapat mengambil barang yang akan dicuri itu.

2. Jika pencurian dari nomor 3 disertai salah satu nomor 4 dan nomor 5, makadijatuhkan hukuman selama-lamanya 9 tahun.

Dengan begitu pencurian dalam pasal tersebut dinamakan “pencurian berat” dan ancaman hukumannya juga lebih berat.

Pencurian ternak

Pasal 101 KUHP berbunyi : yang dimaksud hewan hewan, yaitu binatang yang berkuku satu, binatang yang memamah biak dan babi.45

Oleh karena di Indonesia tidak ada tambahan dari padang rumput penggembalaan, maka alas an memperberat hukuman hanya terletak pada hal bahwa ternak dianggap kekayaan yang penting. Hal ini memang sesuai dengan istilah jawa rojokoyo bagi ternak, yaitu istilah oyang berarti kekayaan besar.

Di satu pihak, penentuan arti kata ini bersifat memperluas karena biasanya kuda dan babi tidak masuk istilah ternak (vee) ; di pihak lain, bersifat membatasi karena tidak termasuk di dalamnya : pluimvee atau ayam, bebek, dan sebagainya.

Di negeri Belanda, pasal yang besangkutan (pasal 311) menyebutkan diefstal van iut de weide (pencurian ternak dari suatu padang rumput penggembalaan), dimana unsur weide itu tegas ditambahkan karena unsure inilah yang justru merupakan alasan memberatkan hukuman.

46

45R.Soesilo.opcit. Halaman 105

46Ibid.Halaman.30

Pencurian pada waktu ada kebakaran dan sebagainya

Alasan untuk memberatkan hukuman atas pencurian ini adalah bahwa peristiwa-peristiwa semacam ini menimbulkan keributan dan rasa kekhawatiran pada khalayak ramai yang memudahkan seorang yang jahat melakukan pencurian, sedangkan seharusnya orang-orang harus sebaliknya memberikan pertolongan kepada para korban.

Untuk berlakunya pasal ini, tidak perlu bahwa yang dicuri itu barang-barang yang kena bencana atau yang diselamatkan dari bencana tetapi juga meliputi barang-barang di sekitarnya yang karena ada bencana tidak dijaga oleh pemiliknya.47

Unsur waktu malam digabungkan dengan tempat rumah kediaman atau pekarangan tertutup dimana ada rumah kediaman, ditambahkan denganunsur adanya sipencuri disitu tanpa setahu atau bertentangan dengan kehendak yang berhak.

Pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah kediaman dan seterusnya.

48

Perlu diketahui bahwa tidak ada syarat beradanya si pencuri disitu tanpa persetujuan yang berhak. Jadi harus ada kehendak yang jelas-jelas menentang Gabungan unsur-unsur ini memang bernada memberikan sifat lebh jahat kepada pencurian.

Pekarangan tertutup tidak memerlukan adanya pagar yang seluruhnya mengelilingi pekarangan, tetapi cukup apabila pekarangan yang bersangkutan tampak tepisah dari sekelilingnya.

47ibid

48ibid

adanya si pencuri disitu. Maka, apabila seseorang masuk rumah itu, mungkin orang itu dipersilahkan sebagai tamu yang akan diterima. Baru apabila yang berhak menandakan tidak setuju dengan hadirnya orang itu, dapat dikatakan orang itu ada di situ bertentangan dengan kehendak yang berhak. Sebaliknya, apabila seorang tamu sudah jelas diperbolehkan masuk rumah itu. Misalnya anaknya sendiri dari yang berhak, namun jika si anak tersebut masuk pada waktu malam tanpa setahu yang berhak, maka dipenuhilah syarat dari tambahnya hukuman ini.49

Bekerja sama ini misalnya terjadinya apabila setelah mereka merancangkan niatnya untuk bekerja saama dalam melakukan pencurian, Pencurian oleh dua orang atau lebih bersama-sama

Hal ini menunjuk pada dua orang atau lebih yang bekerja dalam melakukan tindak pidana pencurian, misalnya mereka bersama-sama mengambil barang-barang dengan kehendak bersama. Tidak perlu ada rancangan bersama yang mendahului pencurian, tetapi tidak cukup apabila mereka secara kebetulan pada persamaan waktu mengambil barang-barang.

Dengan digunakannya kata gepleegd (dilakukan), bukan kata began (diadakan), maka pasal ini hanya berlaku pabila ada uda orang atau lebih yang masuk istilah medeplegen (turut melakukan) dari pasal 55 ayat 1 nimir 1 KUHP dan memenuhi syarat bekerja sama. Jadi, pasal 363 ayat 1 nomor 4 KUHP tidak berlaku apabila hanya ada seorang pelaku (dader) dan ada seorang pembantu (medeplichtige) dari pasal 55 ayat 1 nomor 2 KUHP.

49Ibid. Halaman 31

kemudian hanya seorang yang masuk rumah dan mengambil barang, dan kawannya hanya tinggal diluar rumah untuk menjaga dan member tahu kepada yang masuk rumah jika perbuatan mereka diketahui orang lain.50

Anak kunci palsu, dalam penjelasan pasal 100 KUHP yaitu segala macam anak kunci yang tidak digunakan oleh yang berhak untuk membuka kunci dari sesuatu barang seperti lemari, rumah, peti, dsb. Anak kunci duplikat bila tidak dipergunakan oleh yang berhak, jika orang itu telah membuat atau memakai anak kunci yang lain untuk membuka kunci itu, masuk pula menjadi anak kunci palsu.

Selain dari pada itu maka menurut bunyi pasal 100, semua perkakas meskipun tidak berupa anak kunci yang berupa apa saja, misalnya “loopers”, kawat atau paku yang biasa gunanya bukan untuk membuka kunci, apabila dipergunakan oleh pencuri untuk membuka kunci, masuk pula dalam sebutan”anak kunci palsu”.

Pencurian dengan jalan membongkar, merusak, dan sebagainya.

Pembongkaran (braak) terjadi apabila misalnya dibuat lubang dalam suatu tembok dinding suatu rumah, dan perusakan (verbreking) terjadi apabila misalnya hanya satu rantai pengikat pintu diputuskan, atau kunci dari suatu peti dirusak.

Menurut pasal 99 KUHP, arti memanjat diperluas hingga meliuti membuat lubang di dalam tanah dibawah tembok dan masuk rumah melalui lubang itu, dan meliputi pula melalui selokan atau parit yang ditujukan untuk membatasi suatu pekarangan yang dengan demikian dianggap tertutup (besloten erf)

51

Perintah palsu Perintah palsu ialah perintah yang dibuat sedemikian rupa, seolah-olah perintah itu asli dan dikeluarkan oleh yang berwajib, padahal tidak

50Ibid. Halaman 32

51 R. Soesilo, Ibid, Halaman. 105

asli.Pakaian palsu ialah pakaian yang dikenakan oleh orang yang tidak berhak itu.

Misalnya seorang pencuri yang mengenakan pakaian seragam polisi dapat masuk ke dalam rumah seseorang, kemudian mencuri barang.

Pakaian palsu di sini tidak saja pakaian jabatan pemerintah, tetapi boleh juga pakaian seragam perusahaan swasta.52

Dengan disebutkannya hal-hal yang kini memberatkan hukuman, maka apabila orang baru melakukan pembongkaran atau perusakan atau pemanjatan, dan pada waktu itu diketahui sehingga si pelaku lari, orang itu sudah dapat dipersalahkan melakukan percobaan melakukan pencurian (poging tot diefstal) karena perbuatan pembongkaran dan lain-lain tadi dapat dianggap termasuk tahap menjalankan (uitvoering dari pasal 53 KUHP) tindak pidana pencurian khusus (gequalificeerde diefstal) ini, jadi tidak lagi dalam tahap persiapan (voorbereiding) untuk melakukan tindak pidana. Ini perlu dikemukakan karena sebetulnya perbuatan pengambilan barang sebagai perbuatan pokok dari pencurian sama sekali belum mulai dijalankan.53

C. Sanksi

Dari segi pengertian hukum pidana (pemidanaan) yang lebih sempit menjadi pidana disamping penindakan dan kebijaksanaan maka hukum pidana dapat disebut sebagai Hukum Sanksi. Pengertian sanksi dalam pembahasan ini adalah yang berupa penderitaan, nestapa, atau segala sesuatu yang tidak mengenakkan secara badani. Penjatuhan tentang penderitaan, nestapa atau segala sesuatu yang tidak mengenakkan tadi, akan dirasakan setiap orang yang karena

52R.Sugandhi. 1981. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (K.U.H.P) Dengan Penjelasannya.Surabaya : Usaha Nasional, Halaman. 380.

53 R. Soesilo, Ibid, Halaman. 33.

perbuatnnya telah dinyatakan sebagai pihak yang memperkosa kemerdekaan orang lain yang sudah barang tentu penentuan apakah seseorang itu telah dinyatakan sebagai pihak yang memperkosa kemerdekaan orang lain dinyatakan di dalam putusan hakim. Mengenai putusan hakim yang melegalkan sesuatu tidak legal itu sering disebut sebagai putusan yang condemnatoir, yaitu putusan hakim yang berisi penghukuman kepada salah satu pihak.54

Menurut Sudarto, sanksi atau pemidanaan itu kerap kali kata penghukuman. Penghukuman berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Penghukuman dalam perkara pidana, sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.55

Ada 3 teori tentang pemidanaan yaitu :56 1) Teori Absolut

Dasar dari pijakan dari teori ini adalah pembalasan.Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat.Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan umum (pribadi, masyarakat atau negara) yang telah dilindungi. Oleh karena itu, ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya. Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain. Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus

54 Waluyadi.Hukum Pidana Indonesia.Jakarta : Djambatan,2003.Halaman.29.

55 Abul Khair Dan Mohammad Ekaputra. Pemidanaan.Medan : USU Press,2011.

Halaman.7

56 Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2002. Halaman.157.

diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memperhatikan masa depan, baik terhadap diri penjahat maupun masyarakat. Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.

2) Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib itu diperlukan pidana.

Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara.Ditinjau dari sudut pertahanan masyarakat itu tadi, pidana merupaan suatu terpaksa perlu (noodzakelijk) diadakan.

Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu :57

a. Bersifat menakut-nakuti b. Bersifat memperbaiki c. Bersifat membinasakan

Oleh sebab itu terbagi jadi dua macam yaitu: 58 1. Teori Pencegahan Umum

57Ibid, Halaman 162

58Ibid

Pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat kejahtan. Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu.

2. Teori Pencegahan Khusus

Tujuan pidana adalah mencegah pelaku kejahatan yang di pidana agar ia tidak mengulangi lagi kejahatan, dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu kedalam bentuk perbuatan nyata.

Tujuan ini dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana, yang sifatnya tiga macam , yaitu:59

a. Menakut-nakutinya b. Memperbaikinya, dan

c. Membuatnya menjadi tidak berdaya.

Menakut-nakuti ialah bahwa pidana harus dapat member rasa takut bagi orang-orang tertentu yang masih ada rasa takut agar ia tidak lagi mengulangi kejahatan yang dilakukannya. Akan tetapi, ada juga orang-orang tertentu yang tidak lagi merasa takut untuk mengulangi kejahatan yang pernah dilakukannya, pidana yang dijatuhkan kepada orang yang seperti ini haruslah bersifat memperbaikinya. Sementara itu, orang-orang yang ternyata tidka dapat diperbaiki lagi, pidana yang dijatuhkan terhadapnya haruslah bersifat membuatnya tidak

Menakut-nakuti ialah bahwa pidana harus dapat member rasa takut bagi orang-orang tertentu yang masih ada rasa takut agar ia tidak lagi mengulangi kejahatan yang dilakukannya. Akan tetapi, ada juga orang-orang tertentu yang tidak lagi merasa takut untuk mengulangi kejahatan yang pernah dilakukannya, pidana yang dijatuhkan kepada orang yang seperti ini haruslah bersifat memperbaikinya. Sementara itu, orang-orang yang ternyata tidka dapat diperbaiki lagi, pidana yang dijatuhkan terhadapnya haruslah bersifat membuatnya tidak

Dokumen terkait