Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei 2009 sampai dengan bulan Juli 2009 di tiga tempat pendaratan ikan (TPI) yaitu di TPI Mina Fajar Sidik, Blanakan, Subang yang mewakili perairan Utara Jawa; TPI Labuan, Banten yang mewakili perairan Selat Sunda dan TPI Palabuhanratu, Sukabumi yang mewakili perairan Selatan Jawa. Pengambilan ikan contoh dilakukan sekali tiap bulan pada masing-masing TPI. Ikan contoh yang telah diambil kemudian dianalisis di Laboratorium Ekobiologi Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Gambar 3. Lokasi penelitian Blanakan Labuan
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi buku identifikasi Kottelat et al. (1993) untuk mengidentifikasi ikan sampel, mistar dengan ketelitian 0,5 mm untuk mengukur panjang total, timbangan digital dengan ketelitian 0,5 g untuk mengukur bobot tubuh dan 0,005 gr untuk mengukur bobot gonad, alat pendingin (freezer) dengan suhu -300C untuk mengawetkan ikan, alat bedah, cawan Petri, gelas ukur, gelas objek, kertas label, botol sampel, pipet tetes, hand tally counter untuk menghitung telur; mikroskop binokuler, mikrometer okuler, mikrometer obyektif dan gelas objek untuk mengukur diameter telur; mikrotom dan mikroskop untuk pembuatan dan pemotretan preparat histologi. Sementara alat-alat yang digunakan dalam analisis kandungan protein telur (analisis proksimat) meliputi timbangan digital dengan ketelitian 0,00005 gr, labu destruksi, pembakar bunsen, labu penling, alat penyuling, labu erlenmeyer, buret sebagai alat titrasi.
Bahan-bahan yang digunakan meliputi ikan L. equulus, formalin 4% untuk mengawetkan gonad, akuades. Bahan-bahan yang digunakan dalam histologi gonad meliputi alkohol 70-100%, xylol, parafin, pewarna haematoxylin-eosin, larutan Buoin’s dan perekat entelan atau Canada balsam. Sementara bahan-bahan yang digunakan dalam analisis kandungan protein meliputi aquades, Katalisator, H2SO4, asam borat, indikator (Blue Metilen red) dan HCl (0,030246 N).
3.3. Metode Kerja
3.3.1. Prosedur kerja di lapangan
Pengambilan sampel dilakukan satu kali per bulan selama bulan Mei-Juli 2009. Pengambilan sampel dilakukan menurut banyaknya keranjang (bakul) yang berisi ikan petek yang didaratkan. Jika jumlah bakulnya banyak maka sampel ikan diambil secara acak tiap bakul dan di ukur panjang dan beratnya sebanyak mungkin lalu diambil minimal 30 sampel untuk dianalis aspek reproduksinya di laboratorium. Jika jumlah bakul yang didaratkan sedikit atau hanya satu maka sampel diambil secara acak hanya dari bakul tersebut. Sampel ikan merupakan hasil tangkapan nelayan yang stasiun pengambilan contohnya berdasarkan dengan lokasi penangkapan dan alat tangkap yang digunakan ialah alat tangkap yang digunakan nelayan. Ikan yang telah didaratkan TPI kemudian diambil dan diidentifikasi sesuai dengan ciri-cirinya serta diukur panjang dan beratnya. Pengukuran panjang dan
berat di tempat pelelangan ikan dilakukan bagi ikan-ikan yang tidak dibawa ke laboratorium. Sampel ikan yang segar dipisahkan dan dimasukan ke dalam cold box yang berisi es kemudian dibawa ke laboratorium dan disimpan dalam freezer bersuhu -300C sebelum diukur panjang, berat, dibedah dan diambil gonadnya.
Selain itu dilakukan pengambilan data sekunder yang meliputi data statistik perikanan (hasil tangkapan, upaya penangkapan) serta keadaan lokasi penelitian. Data-data statistik tersebut digunakan dalam pendugaan potensi lestari (MSY) sedangkan keadaan lokasi penelitian seperti suhu digunakan dalam menduga koefisien mortalitas alami (M).
3.3.2.Prosedur kerja di laboratorium 3.3.2.1. Identifikasi ikan contoh
Ikan contoh yang telah dibawa ke laboratorim diidentifikasi mengacu kepada Kottelat et al. (1993). Bagian utama tubuh yang diamati dalam pengidentifikasian meliputi bentuk tubuh, kepala, mulut, dada, panjang total tubuh, diameter mata, lebar badan, sirip anal, sirip dorsal, jari-jari sirip dorsal, jari-jari sirip anal.
3.3.2.2. Pengukuran panjang-berat dan pengamatan TKG
Ikan-ikan contoh yang telah diidentifikasi di ambil lagi secara acak minimal 30 ekor dan disesuaikan juga dengan total sampel yang diperoleh untuk dibedah. Sebelum dibedah sampel ikan di ukur panjang dan ditimbang bobot tubuhnya. Semua sampel diukur panjang dengan menggunakan mistar dengan ketelitian 0,5 mm, sedangkan berat tubuh menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,5 gr. Tingkat kematangan gonad ditentukan berdasarkan ciri morfologi (Tabel 1). Selanjutnya gonad dipisahkan dan dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah diberi label kemudian diawetkan dengan larutan formalin 4%. Khusus gonad betina TKG IV dipisahkan sebanyak tiga sampel terlebih dahulu dan dimasukan ke dalam freezer untuk analisis proksimat dan gonad betina TKG I, II, III, dan IV juga dipisahkan untuk analisis histologis. Gonad ditimbang dengan timbangan digital dengan ketelitian 0,005 gr. Setelah itu Indeks kematangan gonad (IKG/GSI) dapat ditentukan (Effendie 1979) dan gonad diamati tingkat kematangannya berdasarkan ciri-ciri morfologi dan anatomi histologi.
Tabel 1. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan L. equulus berdasarkan keadaan morfologi menurut Novitriana (2004) modifikasi Cassie in Effendi (1997)
TKG BETINA JANTAN
I Awal pertumbuhan
Ovarium berwarna putih kekuningan dan permukaan licin. Ukuran ovarium relatif kecil dan berbentuk bulat oval dan tunggal. Butir telur belum terlihat oleh mata biasa. Ovarium berada di ujung posterior di dekat anus
Awal pertumbuhan
Testis terdiri dari dua lembar menyerupai kipas, satu lembar belum tumbuh sempurna dengan ukuran yang relatif lebih kecil dari pada lembaran lainnya, berada di ujung rongga tubuh dekat anus, berwarna putih kecoklatan dengan permukaan licin.
II Berkembang
Ukuran ovarium lebih besar dan berwarna kekningan. Ovarium berbentuk bulat oval. Di bagian anterior ovarium berbentuk lekukan pendek. Telur belum terlihat jelas oleh mata biasa. Diameter telur berkisar antara 36-468 µm. di bagian tengah dari kedua sisi lateral terdapat titik merah bakal pembuluh darah.
Berkembang
Ukuran testis lebih besar, sepasang organ tumbuh sempurna dan berukuran sama besar. Testis berwarna putih dengan permukaan sedikit bergerigi.
III Dewasa
Ovarium berwarna kuning terang. Butir telur mulai terlihat oleh mata biasa dengan diameter berkisar antara 36-540 µm. pembuluh darah sudah tampak jelas di kedua sisi lateral ovarium. Ovarium menempati hampir seperempat rongga tubuh di ujung posterior di dekat anus.
Dewasa
Warna testis makin putih dan permukaan testis yang bergerigi terlihat jelas. Testis menempati kurang dari seperlima rongga tubuh di ujung posterior di dekat anus.
IV Matang
Ovarium bertambah besar ukurannya dan berwarna kuning kemerahan. Jumlah pembuluh darah lebih banyak dari pada ovarium pada TKG III. Butir telur terlihat jelas karena selaput gonad transparan, diameternya berkisar antara 36-816 µm. ovarium menutupi hampir sepertiga rongga perut dan mendesak usus ke bagian depan. Bentuk ovarium bulat oval dengan lekukan yang jelas di bagian anterior, menandakan bahwa pasangan organ menyatu.
Matang
Ukuran testis lebih besar dan lebih pejal. Testis berwarna putih susu dan menempati hampir seperempat rongga tubuh di ujung posterior di dekat anus. Pada tingkat kematangan yang sama, umumnya ukuran testis lebih kecil dari pada ovarium.
V Salin
Ovarium mengempis di bagian posteriornya, terdapat pada ikan yang sudah selesai memijah.
Salin
3.3.2.3. Penentuan fekunditas dan diameter telur
Perhitungan fekunditas dilakukan pada gonad ikan betina yang memiliki tingkat kematangan gonad (TKG) III dan IV dengan jumlah total sampel sebanyak 118. Perhitungan fekunditas dengan menggunakan metode gabungan (Effendie 1979). Berat gonad contoh diambil 0,1 gram yakni dari bagian posterior, median dan anterior. Selanjutnya dienceran dengan 5 ml akuades dan dihitung fekunditas pada 1 ml contoh gonad dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40 kali. Setelah penghitungan fekunditas dilanjutkan dengan pengukuran diameter telur dengan mikrometer okuler dan mikroskop binokuler pada perbesaran 100 kali. Diameter telur ikan yang diukur merupakan telur yang memiliki bentuk yang teratur dan diambil secara acak sebanyak 100 butir tiap gonadnya.
3.3.2.4. Pembuatan preparat histologis gonad
Metode pembuatan preparat histologi gonad ikan petek (L. equulus) berdasarkan Angka et al. (1990) (Lampiran 18).
3.3.2.5. Uji kadar protein
Untuk mengetahui kandungan protein telur ikan petek dilakukan uji protein dengan cara Kjeldahl (Sudarmadji et al. 1976 in Simamora 2000). Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut : berat gram sampel (X) ditimbang, dimasukan ke dalam labu destruksi, ditambahkan tiga gram katalis (campuran selen) serta H2SO4, lalu dipanaskan diatas pembakar bunsen. Sampel terus didetruksi, hingga larutan jernih dan berwarna hijau. Didinginkan dan larutan dimasukkan ke dalam labu penling. Diencerkan dengan akuades yang bebas N ditambahkan 100 ml NaOH 33%, lalu labu dipasang dengan cepat ke alat penyuling. Hasil sulingan (NH3 dan air) ditangkap dalam suatu labu erlenmeyer yang telah diberi 25 ml H2SO4dan dua tetes indikator campuran. Penyulingan diteruskan, hingga semua N dari cairan tertangkap oleh H2SO4yang ada dalam labu Erlenmeyer (bila 2/3 dari cairan dalam labu penyuling telah menguap). Labu Erlenmeyer yang berisi sulingan diambil dan dititrasi dengan HCL. Perubahan warna dari jernih menjadi biru kehijauan menandakan titik akhir, lalu di bandingkan dengan titer Blanko = Y ml.
Selain kadar protein direncanakan untuk uji kadar lemak dan minyak akan tetapi dikarenakan berat total gonad tidak mencukupi batas minimal berat untuk
analisis maka uji kadar lemak dan minyak tidak dilakukan. Dalam pengujian kadar lemak dan minyak digunakan berat kering sampel minimal 5 gram dan untuk mendapatkan berat kering tersebut dibutuhkan berat gonad basah yang jauh lebih berat. Berbeda dengan analisis kadar protein yang dapat dilakukan dengan berat basah minimal 0,02 gram dengan satuan per berat basah (wawancara pribadi).
3.4. Analisis Data
3.4.1. Sebaran frekuensi panjang
Di dalam membuat sebaran frekuensi panjang dilakukan langkah-langkah sebagai berikut (Walpole 1992) :
1. menentukan wilayah kelas (WK) = max – min , max = data terbesar; min = data terkecil.
2. menentukan jumlah kelas (JK) = 1 + 3,32 log N; N = jumlah data 3. menghitung lebar kelas ( L) = WK/JK
4. memilih ujung kelas interval pertama
5. tentukan frekuensi panjang untuk masing-masing selang kelas 3.4.2. Analisis laju mortalitas dan potensi lestari (MSY)
3.4.2.1. Laju mortalitas
Konsep stok berkaitan erat dengan konsep parameter pertumbuhan dan mortalitas. Parameter pertumbuhan merupakan nilai numerik dalam persamaan di mana kita dapat memprediksi ukuran badan ikan setelah mencapai umur tertentu. Sementara parameter mortalitas mencerminkan suatu laju kematian yakni jumlah kematian per unit waktu. Parameter mortalitas ini meliputi mortalitas alami dan mortalitas penangkapan (Sparre dan Venema 1999).
Pendugaaan parameter pertumbuhan (Linf dan K) dan laju mortalitas digunakan program FISAT (FAO-ICLARM Stock Assesment Tools) II versi 1.2.2. Analisis parameter pertumbuhan digunakan metode ELEFAN I (Electronic Length-Frequency Analysis). Sementara parameter-parameter laju mortalitas yang meliputi laju mortalitas total (Z) digunakan model Beverton dan Holt berbasis data panjang dengan model sebagai berikut :
) (L"-L' ) L" -(Linf K Z
Keterangan : K = koefisien pertumbuhan (per tahun); Linf = Panjang asimtotik (mm); L”= Panjang rata-rata ikan yang tertangkap (mm); L’= batas bawah dari interval kelas panjang yang memiliki tangkapan terbanyak (mm); Z = Laju mortalitas total (pertahun)
Selajutnya laju mortalitas alami (M) digunakan rumus empiris Pauly yaitu : T) 0,4634log( K) 0,6543log( inf) 0,279log(L --0,0066 (M) log
Keterangan : M = Laju mortalitas alami (per tahun); Linf = panjang asimtotik; K=koefisien pertumbuhan (per tahun); T = suhu rata-rata perairan (0C) Setelah laju mortalitas total (Z) dan laju mortalitas alami (M) diketahui maka laju mortalitas penangkapan dapat ditentukan melalui rumus :
M Z
F
Selanjutnya Pauly (1984) menyatakan laju eksploitasi dapat ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z)
Z F E
Keterangan : F = laju mortalitas penangkapan (per tahun), Z = laju mortalitas total (per tahun), M = laju mortalitas alami (per tahun), E = tingkat eksploitasi 3.4.2.2. Potensi lestari (MSY)
Dalam mengestimasi nilai hasil tangkapan maksimum lestari digunakan model produksi surplus yaitu model Schaefer (1954) dan Fox (1970) in Sparre dan Venema (1999). Adapun model ini dapat diterapkan bila diketahui hasil tangkapan total (catch) berdasarkan spesies dan upaya penangkapan (effort) sehingga diperoleh nilai hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/CPUE) dalam beberapa tahun serta upaya penangkapan harus mengalami perubahan selama waktu yang dicakup (Sparre dan Venema 1999).
Tingkat upaya penangkapan optimum (fmsy) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dengan model Schafer (1954) in Sparre dan Venema (1999) dapat diketahui melalui persamaan berikut :
(1) Hubungan antara hasil tangkpan (Y) dengan upaya penangkapan (f) Y = af + bf2
(2) kemudian tentukan turunan pertama hasil tangkapan (Y) terhadap upaya penangkapan (f) dengan nol (dy/df) = 0 sehingga didapat upaya penangkapan optimum (fmsy). Maka fmsy= -a/2b
(3) kemudian nilai fmsy= -a/2b disubstitusi ke dalam persamaan butir 1 sehingga diperoleh MSY = -a2/4b
Untuk mendapatkan nilai a dan b maka digunakan analisis regresi dengan melinearkan model Schaefer seperti berikut :
Y = af + bf2 Y/f = a+bf
Keterangan : Y/f adalah hasil tangkapan per unit upaya (CPUE)
Model kedua yang digunakan dalam model surplus produksi adalah model Fox (1970) in Sparre dan Venema (1999). Pada model Fox tingkat upaya penangkapan optimum (fmsy) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dapat diketahui melalui persamaan berikut :
bf a fi Yi exp ) ( (expa bf f Yi
fmsy dicapai pada saat turunan pertama sama dengan nol (dy/df) = 0, sehingga
0 exp exp ' abf fb abf Y (1+fb) (expa+bf) = 0 Jadi, fmsy= -1/b
Selanjutnya untuk mendapatkan nilai MSY maka nilai fmsy dimasukkan kedalam persamaan awal yakni Yi f(exp(abf)sehingga : MSY = (-1/b) (expa-1)
Upaya penangkapan digunakan jumlah armada yakni perahu motor tempel. Dikarenakan alat tangkap ikan petek beragam dan data hasil tangkapan tiap alat tangkap tidak tersedia maka standarisasi hasil tangkapan per upaya (CPUE) tidak dapat dilakukan.
Selain itu perahu motor tempel merupakan armada dominan dalam penangkapan ikan petek dan daerah operasinya hanya sekitar daerah pantai dan teluk. Oleh karena itu jumlah perahu motor tempel digunakan sebagai upaya dalam
analisis potensi lestari. Pada stasiun Blanakan dan Palabuhanratu digunakan data hasil tangkapan dan jumlah motor tempel selama 5 tahun (1996-2000), dan stasiun Labuan selama 7 tahun (2000-2006).
Selanjutnya untuk menentukan model mana yang lebih mewakili model sebenarnya digunakan perbandingan terhadap nilai koefisien determinasinya (r2). Nilai koefisien determinasi yang lebih besar menunjukkan menunjukan hubungan yang lebih dekat dengan model sebenarnya. Walpole (1992) menyatakan bahwa koefisien determinasi adalah bilangan yang menyatakan proporsi keragaman total nilai peubah Y yang dapat dijelaskan oleh nilai-nilai peubah X melalui hubungan linear.
3.4.3. Aspek pertumbuhan dan reproduksi 3.4.3.1. Hubungan panjang-berat
Analisis panjang dan berat bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan di alam. Hubungan panjang berat digunakan persamaan eksponensial sebagai berikut (Lagler 1972) :
W = aLb
Keterangan : W = berat total ikan (gr), L = panjang total ikan (mm), a dan b = konstanta hasil regresi
Untuk mempermudah perhitungan maka persamaan di atas dilogaritmakan sehingga menjadi persamaan linear sebagai berikut :
log W = log a + b log L
Hubungan panjang berat dapat dilihat dari nilai konstanta b, bila b = 3 maka hubungannya bersifat isometrik (pertambahan panjang sebanding dengan pertambahan berat). Bila n ≠ 3 maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik, jika b > 3 maka hubungannya bersifat allometrik positif (pertambahan berat lebih dominan dari pertambahan panjangnya), sedangkan bila b < 3 maka hubungan yang terbentuk bersifat allometrik negatif (pertambahan panjang lebih dominan dari pertambahan beratnya).
Untuk menentukan bahwa nilai b = 3 atau tidak sama dengan 3, maka digunakan uji-t, dengan rumus (Walpole 1992) :
Thit= Sb 3 Hipotesa :
Ho : b = 3 pola pertumbuhan isometrik H1 : b ≠ 3 pola pertumbuhan allometrik
Selanjutnya Thit yang didapat dibandingkan dengan Ttabel pada selang kepercayaan 95%. Jika Thit > Ttabelmaka tolak Ho, dan sebaliknya jika Thit < Ttabel maka terima Ho
3.4.3.2. Faktor kondisi
Menurut Effendi (1997) faktor kondisi dapat ditentukan berdasarkan panjang dan berat ikan contoh. Rumus yang digunakan untuk mengetahui faktor kondisi dibedakan berdasarkan pola pertumbuhan.
Apabila ikan memiliki pola pertumbuhan allometrik (b≠ 3), maka rumus yang digunakan adalah :
b
aL W K
Ikan yang memiliki pola pertumbuhan isometrik (b = 3), maka rumus yang digunakan adalah : W L K 3 5 10
Keterangan : K = faktor kondisi, W = berat ikan (gram), L = panjang ikan (mm), a dan b = konstanta hasil regresi
3.4.3.3. Nisbah kelamin
Rasio kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina.
Rasio Kelamin = B J
Keterangan : J = jumlah ikan jantan (ekor), B = jumlah ikan betina (ekor)
Selanjutnya untuk menentukan seimbang atau tidaknya rasio kelamin jantan dan kelamin betina dilakukan uji Chi-Square (Steel dan Torrie 1980) dengan hipotesa :
Ho : J ≠ B Ho : J = B Dengan rumus perhitungan :
X2=
n i i e e O 1 1 2 1) ( Keterangan :X2 = nilai bagi peubah acak X2 yang mempunyai sebaran penarikan contoh yang mendekati Chi-Kuadrat
Oi = frekuensi ikan jantan dan betina yang teramati ei = frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina
Nilai X2tabel diperoleh dari tabel nilai kritik sebaran khi-kuadrat. Untuk penarikan keputusan dengan membandingkan X2hitung dengan X2tabel pada selang kepercayaan 95%. Jika nilai X2hitung > X2tabel maka keputusannya adalah menolak hipotesa nol (Ho) dan jika nilai X2hitung < X2tabel maka keputusannya adalah terima hipotesa nol (Ho) (Walpole 1992).
3.4.3.4. Tingkat kematangan gonad (TKG)
Tingkat kematangan gonad (TKG) ditentukan dengan acuan tingkat kematangan gonad secara morfologi ikan L. equulus dari hasil penelitian Novitriana (2004) dan secara histologi berdasarkan Angka et al. (1990). Penentuan Tingkat kematangan gonad (TKG) dilakukan terhadap semua ikan contoh yang diambil. sementara untuk menduga ukuran pertama kali ikan matang gonad berdasarkan selang kelas dimana terdapat ikan yang memiliki tingkat kematangan gonad yang matang yakni gonad TKG IV.
3.4.3.5. Indeks kematangan gonad (IKG)
Indeks kematangan gonad (IKG) disebut juga gonadosomatic index (GSI) ditentukan dengan menggunakan rumus (Effendie 1979) :
GSI (%) = x100 BT BG
Keterangan : BG = berat gonad (gram), BT = berat tubuh (gram) 3.4.3.6. Fekunditas
Fekunditas ditentukan dengan metode gabungan dengan menggunakan rumus (Effendie 1979) :
F = Q GxVxf
Keterangan : F = fekunditas total (butir), f = fekunditas dari subgonad (butir), G = berat gonad total (gram), Q = berat subgonad, V = volume pengenceran Selanjutnya Effendie (1997) menyatakan hubungan fekunditas dengan panjang dan bobot melalui persamaan berikut :
Hubungan Fekunditas dengan Panjang total : F = a Lbatau log F = log a + b log L Hubungan Fekunditas dengan Bobot tubuh : F = a + bW
Keterangan : F = fekunditas (butir), L = panjang total ikan (mm), W = berat tubuh ikan (gram), a dan b = konstanta hasil regresi
3.4.3.7. Kadar protein
Untuk menghitung kadar protein (Sudarmadji et al. 1976 in Simamora 2000) digunakan persamaan berikut ini :
% Protein = (T – B)x 0,014x N HClx 6,25 x 100 bobot sampel
Keterangan : T = ml titran, B = ml blanko, N = Normalitas HCl yang digunakan (0,030246 N)