• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETERKAITAN LAJU EKSPLOITASI DENGAN KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN PETEK Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) FAMILI LEIOGNATHIDAE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KETERKAITAN LAJU EKSPLOITASI DENGAN KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN PETEK Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) FAMILI LEIOGNATHIDAE"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

i

IKAN PETEK

Leiognathus equulus

(Forsskal, 1775)

FAMILI LEIOGNATHIDAE

RIKKY J. SIMANJUNTAK

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

i

Dengan ini saya menyatakan skripsi yang berjudul :

Keterkaitan Laju Eksploitasi Dengan Keragaan Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Petek Leiognathus equulus(Forsskal , 1775) Famili Leiognathidae

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2010

Rikky J. Simanjuntak C24050346

(3)

ii

RINGKASAN

Rikky J. Simanjuntak. C24050346. Keterkaitan Laju Eksploitasi Dengan Keragaan Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Petek Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) Famili Leiognathidae. Dibimbing oleh M. Mukhlis Kamal dan Yunizar Ernawati.

Ikan petek Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) merupakan salah satu sumberdaya ikan yang menjadi target eksploitasi penting karena bernilai ekonomis. Akibat penangkapan, populasi akan didominasi oleh ikan-ikan berukuran kecil dan berumur muda yang selanjutnya berpengaruh terhadap keragaan reproduksinya. Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat eksploitasi ikan petek, mengetahui keragaan pertumbuhan dan reproduksi ikan petek serta mengeksplorasi keterkaitan tingkat eksploitasi dengan keragaan pertumbuhan dan reproduksi ikan petek.

Pengambilan sampel dilakukan dari bulan Mei-Juli 2009 di tiga tempat pendaratan ikan (TPI), yaitu TPI Mina Fajar Sidik, Blanakan-Subang; TPI Labuan, Pandeglang-Banten; dan TPI Palabuhanratu, Sukabumi. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dari hasil tangkapan nelayan. Data primer yang diperoleh meliputi panjang total, berat tubuh, dan gonad. Sementara data sekunder meliputi data-data hasil tangkapan, upaya penangkapan (perahu motor tempel) dan beberapa parameter lingkungan. Pengukuran panjang dan berat ikan sampel dilakukan di TPI dan juga di laboratorium. Pengukuran dan pengamatan aspek reproduksi meliputi nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, fekunditas, diameter telur dan kadar protein telur dilakukan di laboratorium. Aspek pertumbuhan dan laju eksploitasi dianalisis berdasarkan frekuensi panjang. Pendugaan koefisien pertumbuhan (K) dan panjang asimtotik (Linf) menggunakan program ELEFAN I. Laju mortalitas alami (M) diduga dengan rumus empiris Pauly. Laju mortalitas total (Z) diduga dengan rumus Beverthon dan Holt berbasis data panjang, sedangkan laju mortalitas penangkapan diduga dengan rumus F =Z-M dan laju eksploitasi diduga dengan rumus E =F/Z. Untuk pendugaan potensi lestari (MSY) digunakan model surplus produksi Schaefer dan Fox.

Ikan yang tertangkap selama penelitian berjumlah 652 ekor yang terdiri atas 264 ekor di Blanakan, 280 ekor di Palabuhanratu dan 108 ekor di Labuan. Kisaran panjang ikan petek yang tertangkap di Blanakan adalah 97-210 mm, Labuan dengan kisaran 117-199 mm dan di Palabuhanratu dengan kisaran 117-180 mm. Laju eksploitasi di stasiun Blanakan 0,4802. Stasiun Labuan laju eksploitasinya adalah 0,5774 dan di stasiun Palabuhanratu 0,5695, serta nilai laju eksploitasi ini telah melebihi eksploitasi optimum 0,50. Pendugaan nilai MSY di stasiun Blanakan menggunakan model Schaefer dengan nilai MSY sebesar 753 ton/tahun. Di stasiun

(4)

iii

Labuan dan Palabuhanratu menggunakan model Fox dengan nilai dugaan MSY sebesar 2245 ton/tahun dan 342 ton/tahun untuk masing-masing.

Koefisien pertumbuhan (K) di stasiun Blanakan 0,72 pertahun, Labuan 0,59 pertahun, dan di Palabuhanratu 1,40 pertahun. Sementara panjang asimtotik (Linf) di stasiun Blanakan adalah 222,08 mm, di Labuan 211,58 mm, dan di Palabuhanratu 190,58 mm. Pola pertumbuhan ikan L. equulus di stasiun Blanakan dan Labuan adalah allometrik positif dengan persamaan W = 1,175X10-5L3,0888 dan W = 1,049X10-5L3,1171 untuk masing-masingnya sedangkan di stasiun Palabuhanratu allometrik negatif dengan persamaan W = 5,841X10-5L2,7433. Faktor kondisi ikan betina lebih besar dari ikan jantan ditemukan di stasiun Blanakan dan Labuan dan kondisi yang sebaliknya ditemukan di stasiun Palabuhanratu.

Nisbah kelamin secara keseluruhan dan yang matang gonad tidak seimbang di tiga lokasi penelitian. Berdasarkan bulan nisbah kelamin berfluktuatif. Ikan L. equulus yang matang gonad lebih awal ditemukan di stasiun Labuan dan Palabuhanratu dengan kisaran panjang 121-132 mm, sedangkan di stasiun Blanakan ditemukan pada kisaran panjang yang lebih panjang yakni 133-144 mm. Perkembangan gonad ikan L. equulus dapat dibedakan menjadi 4 tahap yaitu awal pertumbuhan (TKG I), berkembang (TKG II), dewasa (TKG III) dan matang (TKG IV). Pola perkembangan oosit ikan L. equulus adalah synchronous dan pola pemijahannya termasuk total spawner. Nilai IKG tertinggi ikan jantan dan betina di stasiun Blanakan masing-masing ditemukan pada bulan Juli (0,78±0,26) dan bulan Juni (3,37±1,27). Di stasiun Labuan dan Palabuhanratu, IKG jantan tertinggi ditemukan pada bulan Juni masing-masing (0,64±0,37) dan (0,50±0,27) dan ikan betina pada bulan Juli dengan nilai IKG masing-masing (2,21±1,17) dan (1,59±0,43). Ikan L. equulus memijah berkali-kali dalam setahun dan diduga puncak pemijahan terjadi pada bulan Juni-Juli.

Fekunditas ikan L. equulus ditemukan di stasiun Blanakan dengan jumlah 90.174±53.447 butir, di stasiun Labuan 68.471±50.372 butir dan di stasiun Palabuhanratu 29.896±15.510 butir. Ukuran diameter telur terbesar ditemukan di stasiun Blanakan baik TKG III dan IV dengan ukuran masing-masing 0,31±0,077 mm dan 0,32±0,074 mm. Di stasiun Labuan berukuran 0,27±0,070 mm dan 0,30±0,074 mm untuk masing-masing TKG III dan IV sementara pada stasiun Palabuhanratu berukuran 0,27±0,072 mm dan 0,28±0,066 mm. Kadar protein telur di stasiun Labuan adalah 21,79% per/berat basah, di stasiun Blanakan 21,19% per berat basah dan di stasiun Palabuhanratu 19,70% per berat basah dan tidak terdapat hubungan antara ukuran induk dengan kadar protein telur.

Berdasarkan hasil penelitian ini, keterkaitan eksploitasi dengan keragaan pertumbuhan dan reproduksi adalah eksploitasi yang tinggi menyebabkan ukuran ikan lebih kecil, kematangan gonad yang lebih awal, fekunditas yang lebih sedikit serta diameter telur yang lebih kecil.

(5)

iv

KETERKAITAN LAJU EKSPLOITASI

DENGAN KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI

IKAN PETEK

Leiognathus equulus

(Forsskal, 1775)

FAMILI LEIOGNATHIDAE

RIKKY J. SIMANJUNTAK C24050346

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

v

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : Keterkaitan Laju Eksploitasi dengan Keragaan Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Petek Leiognathus equulus

(Forsskal, 1775) Famili Leiognathidae Nama Mahasiswa : Rikky J. Simanjuntak

NIM : C24050346

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS NIP 132 084 932 NIP 19490617 197911 2 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP 19660728 199103 1 002

(7)

vi

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan kasih karunia, berkat dan penyertaaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Keterkaitan Laju Eksploitasi dengan Keragaan Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Petek Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) Famili Leiognathidae”. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2009, dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam pemberian bimbingan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna perlu banyak masukan serta saran. Namun demikian penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.

Bogor, Januari 2010

(8)

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS, masing-masing selaku ketua dan anggota pembimbing skripsi dan akademik yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, masukan serta dana dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Dr. Ir. Ridwan Affandi selaku dosen penguji dan Ir. Zairion, M.Sc selaku wakil komisi pendidikan program S1 atas saran, nasehat dan perbaikan yang diberikan 3. Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik atas pengarahan,

dan masukan serta kesabarannya yang membimbing penulis selama kuliah

4. Pak Ruslan selaku staf Lab. Biologi Makro I (BIMA-I) yang telah banyak membantu selama analisis laboratorium.

5. Para staff Tata usaha MSP terutama Mba Widar atas arahan dan kesabarannya 6. Keluarga tercinta, Bapak, Mama, Kak Martha dan Bang Roy, abang-abangku

Erickson dan Martin, adik-adikku Vera, Retno dan Eko atas segala doa, kasih sayang, dan motivasinya.

7. Natalina “hasianku” atas doa, cinta kasih dan ketulusan hatinya yang telah banyak mendukung dan menyemangati penulis.

8. Egg Team (Anhar, Ega dan Sade) atas suka duka, perjuangan, kerjasama dan semangatnya.

9. Teman-teman MSP’41, 42, 43, 44, tim asisten Fisiologi Hewan air, penghuni kosan Perwira 10 (P10), serta pihak -pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.

(9)

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Pura, pada tanggal 19 Juli 1987. Penulis adalah anak keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga Bapak Drs. Aminton Simanjuntak dan Ibu Dameria Br Sinaga. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di SD Negeri 03 Tanjung Pura, Kabupaten Langkat (SUMUT) pada tahun 1993-1999, dilanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan di SLTPN 3 Pematang Siantar, serta SMUN 1 Pematang Siantar pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005 penulis diterima di Insitut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB).

Selama Mengikuti Perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan akademik dan non akademik. Dalam kegiatan akademik, penulis pernah menjadi Asisten Mata Kuliah Fisiologi Hewan Air (2007-2008 dan 2008-2009) dan Ekologi Perairan (2008-2009). Dalam kegiatan non akademik, penulis pernah aktif di Divisi Minat dan Bakat Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) tahun 2007-2008, Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB tahun 2006 serta ikatan mahasiswa daerah Siantar tahun 2006.

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Keterkaitan Laju Eksploitasi dengan Keragaan Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Petek Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) Famili Leiognathidae.

(10)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan dan Manfaat ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Klasifikasi dan Aspek Biologi Ikan Petek... 4

2.2. Aspek Eksploitasi Sumberdaya Ikan Petek ... 7

2.3. Aspek Pertumbuhan dan Reproduksi... 8

2.3.1. Aspek pertumbuhan (panjang-berat dan faktor kondisi) ... 8

2.3.2. Aspek reproduksi ... 11

2.3.2.1. Nisbah kelamin ... 11

2.3.2.2. Tingkat kematangan gonad (TKG) ... 11

2.3.2.3. Indeks kematangan gonad (IKG) ... 13

2.3.2.4. Fekunditas ... 14

2.3.2.5. Diameter telur ... 15

2.3.2.6. Kualitas telur ... 16

2.4. Aspek Eksploitasi dan Reproduksi ... 18

3. METODE PENELITIAN ... 20

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 20

3.2. Alat dan Bahan ... 21

3.3. Metode Kerja ... 21

3.3.1. Prosedur kerja di lapangan ... 21

3.3.2. Prosedur kerja di laboratorium ... 22

3.3.2.1. Identifikasi ikan contoh ... 22

3.3.2.2. Pengukuran panjang-berat dan pengamatan TKG ... 22

3.3.2.3. Penentuan fekunditas dan diameter telur ... 24

3.3.2.4. Pembuatan preparat histologis gonad ... 24

3.3.2.5. Uji kadar protein ... 24

3.4. Analisis Data ... 25

3.4.1. Sebaran frekuensi panjang ... 25

3.4.2. Analisis laju mortalitas dan potensi lestari (MSY) ... 25

3.4.2.1. Laju mortalitas ... 25

3.4.2.2. Potensi lestari (MSY) ... 26

3.4.3. Aspek pertumbuhan dan reproduksi ... 28

3.4.3.1. Hubungan panjang berat ... 28

(11)

x

3.4.3.3. Nisbah kelamin ... 29

3.4.3.4. Tingkat kematangan gonad (TKG) ... 30

3.4.3.5. Indeks kematangan gonad (IKG) ... 31

3.4.3.6. Fekunditas ... 31

3.4.3.7. Kadar protein ... 31

4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 32

4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 32

4.1.1. Blanakan ... 32

4.1.2. Labuan ... 33

4.1.3. Palabuhanratu ... 35

4.2. Sebaran Kelompok Ukuran Hasil Tangkapan ... 36

4.3. Laju Eksploitasi dan Potensi Lestari ... 39

4.4. Hubungan Panjang-Berat ... 43

4.5. Faktor Kondisi ... 44

4.6. Nisbah Kelamin ... 46

4.7. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ... 48

4.7.1. Perkembangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan ... 49

4.7.2. Perkembangan gonad ikan petek (L. equulus) betina ... 50

4.8. Indeks Kematangan Gonad (IKG) ... 59

4.9. Fekunditas ... 62

4.10. Diameter Telur ... 64

4.11. Kadar protein telur ... 66

4.12. Alternatif pengelolaan ... 69

5. KESIMPULAN DAN SARAN... 71

5.1. Kesimpulan ... 71

5.2. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73

(12)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan L. equulus berdasarkan

keadaan morfologi menurut Novitriana (2004) modifikasi Cassie in

Effendie (1997) ... 23 2. Komposisi tangkapan ikan petek (L. equulus) berdasarkan waktu dan

lokasi penelitian ... 36 3. Hasil analisis parameter pertumbuhan dan mortalitas ikan L. equulus

dengan menggunakan program FISAT II di tiap lokasi penelitian ... 40 4. Hasil analisis potensi lestari ikan petek di tiga lokasi penelitian

berdasarkan model surplus produksi (Schaefer dan Fox) ... 41 5. Hasil analisis hubungan panjang-berat ikan petek (L. equulus)

berdasarkan lokasi penelitian... 43 6. Faktor kondisi ikan petek (L. equulus) jantan dan betina berdasarkan

lokasi penelitian ... 44 7. Nisbah kelamin ikan petek (L. equulus) jantan dan betina secara

keseluruhan dan yang matang gonad di tiap lokasi penelitian... 46 8. Indeks kematangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan dan betina

berdasarkan lokasi penelitian... 59 9. Indeks kematangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan dan betina

berdasarkan waktu dan lokasi penelitian... 60 10. Kisaran panjang total, berat tubuh dan fekunditas ikan petek (L.

equulus) berdasarkan lokasi penelitian... 62 11. Kisaran nilai diameter telur ikan petek (L. equulus)berdasarkan lokasi

penelitian ... 64 12. Nilai rata-rata kadar protein dalam gonad ikan petek (L. equulus)

berdasarkan rata-rata panjang total, berat tubuh, berat gonad,

fekunditas, diameter telur ditiap lokasi penelitian ... 66 13. Nilai koefisien determinasi (r2) kadar protein telur dengan berbagai

(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Skema perumusan masalah keterkaitan laju eksploitasi dengan

keragaan pertumbuhan dan reproduksi ikan petek (L. equulus) ... 3 2. Ikan petek (L. equulus) ... 5 3. Lokasi penelitian ... 20 4. Distribusi ukuran ikan petek (L. equulus) yang tertangkap berdasarkan

lokasi penelitian dari bulan Mei-Juli 2009 ... 38 5. Distribusi ukuran ikan petek (L. equulus) jantan dan betina yang

tertangkap berdasarkan lokasi penelitian dari bulan Mei-Juli 2009 ... 39 6. Sebaran nilai faktor kondisi (K) ikan petek (L.equulus) jantan dan betina

berdasarkan tingkat kematangan gonad (a) dan waktu penelitian (b) ... 45 7. Nisbah kelamin ikan L.equulussecara keseluruhan (a) dan yang matang

gonad (b) berdasarkan waktu dan lokasi penelitian ... 47 8. Struktur histologis gonad TKG I, II, dan III ikan L. equulusbetina pada

stasiun Blanakan (a), Labuan (b) dan Palabuhanratu (c) ... 53 9. Struktur histologis gonad TKG IV pada bagian anterior, medium dan

posterior pada stasiun Blanakan (a), Labuan (b) dan Palabuhanratu (c) .. 54 10. Persentase tingkat kematangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan dan

betina berdasarkan lokasi penelitian dari bulan Mei-Juli 2009 ... 56 11. Persentase tingkat kematangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan (a) dan

betina (b) berdasarkan selang kelas panjang ditiap lokasi penelitian dari

bulan Mei – Juli 2009 ... 57 12. Persentase tingkat kematangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan dan

betina berdasarkan waktu dan lokasi penelitian ... 58 13. Grafik indeks kematangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan dan betina

berdasarkan (a) tingkat kematangan gonad dan (b) waktu penelitian ... 61 14. Ukuran panjang dan berat (a) dan fekunditas (b) ikan petek (L. equulus)

berdasarkan lokasi penelitian dari bulan Mei-Juli 2009 ... 63 15. Hubungan fekunditas ikan petek (L. equulus) dengan panjang total (a) dan

hubungan fekunditas dengan bobot tubuh (b) ... 64 16. Grafik sebaran diameter telur ikan petek (L. equulus) pada tingkat

kematangan gonad... 65 17. Sebaran kadar protein telur ikan petek (L. equulus) berdasarkan panjang

total (a), berat tubuh (b), berat gonad (c) dan diameter telur (d) di tiap

(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Data hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan petek di tiga

lokasi penelitian ... 81 2. Panjang dan berat ikan L equulus di stasiun Blanakan selama

penelitian ... 82 3. Panjang dan berat ikan L equulus di stasiun Labuan selama penelitian.... 85 4. Panjang dan berat ikan L equulus di stasiun Palabuahanratu selama

Penelitian ... 87 5. Hasil tangkapan ikan L equulus yang dibedah pada stasiun Blanakan

selama penelitian ... 89 6. Hasil tangkapan ikan L equulus yang dibedah pada stasiun

Palabuhanratu selama penelitian ... 90 7. Hasil tangkapan ikan L equulus yang dibedah pada stasiun Labuan

selama penelitian ... 91 8. Fekunditas dan rata-rata diameter telur ikan L. equulus betina pada

stasiun Blanakan selama penelitian ... 92 9. Fekunditas dan rata-rata diameter telur ikan L. equulus betina pada

stasiun Labuan selama penelitian ... 93 10. Fekunditas dan rata-rata diameter telur ikan L. equulus betina pada

stasiun Palabuhanratu selama penelitian ... 94 11. Contoh perhitungan dalam penentuan sebaran ukuran panjang ... 95 12. Sebaran frekuensi panjang ikan petek setiap bulan pengamatan di

tiap lokasi penelitian ... 95 13. Uji kehomogenan dua regresi bebas dengan analisis kovarian di tiap

lokasi penelitian ... 96 14. Grafik hubungan panjang-berat ikan L. equulustotal dan berdasarkan

lokasi penelitian ... 99 15. Uji t untuk hubungan panjang-berat ikan L. equulus berdasarkan

lokasi penelitian ... 100 16. Faktor kondisi ikan L. equulus jantan dan betina berdasarkan waktu

dan lokasi penelitian ... 102 17. Uji Chi-square terhadap nisbah kelamin ikan L. equulus berdasarkan

waktu dan lokasi penelitian ... 103 18. Metode pembuatan preparat histologis gonad ikan L. equulus

berdasarkan Angka et al. (1990) ... 104 19. Gambar pengukuran panjang, berat tubuh, pembedahan dan

(15)

xiv

20. Gambar alat-alat yang digunakan dalam analisis kadar protein telur ... 107 21. Nilai kadar protein telur ikan petek berdasarkan panjang total, berat

tubuh, berat gonad, fekunditas, dan diameter telur di tiga lokasi

penelitian dari bulan Mei-Juli 2009 ... 108 22. Diagram alir hasil analisis aspek eksploitasi dan keragaan

(16)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan petek merupakan sumberdaya ikan demersal yang hidup di perairan pantai sampai kedalaman 30 m dan biasanya tertangkap dengan alat tangkap trawl

(pukat dasar), cantrang, dan pukat tepi (Genisa 1999). Ikan ini merupakan salah satu ikan yang banyak tertangkap dan telah banyak dikonsumsi serta harganya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan demersal lainnya (Bukhari 1996).

Pada tahun 1979 setahun sebelum dihapusnya penggunaan trawl, ikan petek menempati urutan pertama dalam komposisi hasil tangkapan yaitu 30% dari total hasil tangkapan ikan demersal. Selanjutnya pada tahun 1986, persentasenya meningkat hingga 60% (Dwiponggo dan Badrudin 1980; Badrudin 1988 in

Wejadmiko 2007). Berdasarkan data statistik perikanan, hasil tangkapan ikan petek tahun 2000-2005 di Provinsi Banten pada Perairan Selatan Jawa lebih tinggi dari hasil tangkapan ikan demersal lainnya yakni antara 2.270-2.574 ton/tahun dengan rata-rata hasil tangkapan 2.484 ton/tahun. Berdasarkan data tersebut, ikan petek merupakan salah satu target eksploitasi penting.

Penangkapan yang tidak terkendali dan berlangsung secara terus menerus akan menyebabkan terjadinya perubahan struktur populasi, penurunan stok bahkan menyebabkan kepunahan. Pada kondisi perikanan yang masih belum dieksploitasi, komposisi populasi masih menyediakan secara proporsional ikan-ikan yang berukuran besar dan berumur tua. Akibat penangkapan, ikan-ikan kelompok ini berkurang dan populasi akan didominasi oleh ikan-ikan berukuran kecil dan berumur muda (Ricker 1975 in Widodo dan Suadi 2006). Bagenal (1971) menyatakan bahwa ikan-ikan yang berukuran besar dan tua akan menghasilkan telur-telur berukuran besar yang mengandung kuning telur yang lebih banyak dari telur-telur yang berasal dari induk yang berukuran kecil dan muda yang akan menyebabkan pertumbuhan larva lebih cepat dan lebih lama bertahan. Hal ini telah dikaji terhadap ikan trout (Salmo trutta) dan herring (Clupea harengus) serta mungkin terjadi pada spesies ikan lainnya.

Keragaan reproduktif (reproductive performance) merupakan penampilan reproduksi yang ditunjukkan oleh suatu individu pada saat melakukan pemijahan.

(17)

Parameter seperti fekunditas, frekuensi pemijahan, berat gonad merupakan pertimbangan untuk mengkaji keragaan reproduktif (Babu et al. 2008).

Penelitian mengenai dampak eksploitasi terhadap pertumbuhan dan keragaan reproduktif sangat jarang dilakukan di Indonesia akan tetapi di negara-negara Eropa sering dilakukan seperti pada penelitian Stevens et al. (2000) terhadap ikan hiu (Shark), pari (Ray), dan Chimareas. Di Indonesia, penelitian tentang sumberdaya ikan petek telah banyak dilakukan, seperti potensi penangkapan (Dwiponggo dan Badrudin 1980), aspek reproduksi (Novitriana 2004), kebiasaaan makan (Dewi 2005), serta komposisinya di berbagai Perairan Indonesia (Wejadmiko 2007).

Penelitian ini mencoba mengkaji keterkaitan antara tingkat eksploitasi yang berbeda terhadap sumberdaya ikan L. equulus dan pengaruhnya terhadap keragaan pertumbuhan dan reproduksi. Untuk menunjukkan gambaran tingkat eksploitasi yang berbeda, lokasi penelitian dibagi tiga yaitu; Blanakan yang mewakili perairan Utara Jawa, Labuan yang mewakili perairan Barat Jawa (Selat Sunda) dan Palabuhanratu yang mewakili perairan Selatan Jawa. Dikarenakan aspek pertumbuhan dan reproduksi berperan dalam proses rekruitmen yang selanjutnya berpengaruh terhadap stok ikan maka studi ini perlu dilakukan. Informasi dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya ikan petek yang berkelanjutan.

1.2. Perumusan Masalah

Ikan petek merupakan salah satu sumberdaya ikan yang telah dieksploitasi dan menjadi target tangkapan nelayan. Eksploitasi yang berlebihan (overfishing) menyebabkan terjadinya perubahan struktur populasi, pengurangan biomassa, penurunan jumlah kelimpahan, dan penurunan ukuran ikan yang tertangkap. Hal ini selanjutnya akan berdampak terhadap penurunan hasil tangkapan.

Penelitian mengenai keterkaitan laju eksploitasi dengan keragaan pertumbuhan dan reproduksi seperti perkembangan gonad, fekunditas, diameter telur, dan kualitas telur masih sangat jarang dilakukan. Penelitian ini dilakukan pada lokasi penangkapan (fishing ground) yang berbeda dan menggunakan spesies ikan petek yang sama. Penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi mengenai tingkat eksploitasi, keragaan reproduktif dan pendugaan secara empiris terhadap

(18)

keberhasilan rekruitmen yang diharapkan menjadi acuan dalam pengelolaan ikan petek yang berkelanjutan.

Gambar 1. Skema perumusan masalah keterkaitan laju eksploitasi dengan keragaan pertumbuhan dan reproduksi ikan petek (L. equulus)

1.3. Tujuan dan Manfaat Tujuan Penelitian adalah :

1. Mengetahui tingkat eksploitasi ikan petek.

2. Mengetahui pertumbuhan dan keragaan reproduksi ikan petek.

3. Mengeksplorasi keterkaitan antara laju ekploitasi dengan keragaan pertumbuhan dan reproduksi ikan petek

Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang berguna bagi pengelolaan sumberdaya ikan petek yang berkelanjutan.

Sumberdaya ikan petek

Tingkat eksploitasi

Struktur populasi

Ukuran (panjang dan berat) Ukuran pertama memijah IKG dan TKG

Fekunditas Diameter telur

Kandungan nutrisi telur

Pengelolaan sumberdaya ikan petek Keragaan pertumbuhan dan

(19)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Aspek Biologi Ikan Petek

Menurut Saanin (1984) klasifikasi ikan petek adalah :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Perciformes Famili : Leiognathidae Genus : Leiognathus

Spesies : Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) Nama umum : Common ponyfish

Nama sinonim : Scomber equula (Forsskal, 1775), Scomber edentulous (Bloch, 1785), Leiognathus argentus (Lacepede, 1803),

Equula ensifera (Cuvier, 1835), equula caballa

(Valenciennes, 1835), Equula edentula (Macley, 1881),

Leiognathus obscura (Seale, 1901), Leiognathus edentulum

(Jordan, 1903), Leignathus caballa (Jordan, 1908) (Weber dan de Beaufort 1931 in Dewi 2005).

Nama Indonesia : Peperek Topang

Nama lokal : Petek (Mayangan), dodok (Jawa), Papera (Ambon), bebete (Sulawesi Selatan), Petek kuning (Kalimantan Selatan), loba (Pulau Buton), peperek tjina (Jawa Barat, Jakarta), molok-molok atau lokmolok-molok (madura) (Schuster dan Djadjadireja 1952; Pauly et al. 1996 in Lisnawati 2004).

Ikan petek (L. equulus) memiliki mulut yang kecil, miring ke bawah jika seluruhnya disembulkan akan membentuk tabung yang mengarah ke bawah. Jika mulut dalam keadaan terkatup, tulang rahang bawah miring membentuk sudut 300 -450. Kepala tidak memiliki sisik. Panjang tubuh kurang dari tiga kali tinggi. Ujung hidung tegak, penampang atas dari hidung hingga cekungan antara mata

(20)

melengkung, dan terdapat duri di bagian tengkuknya. Dada memiliki sisik sangat tipis dan cerah sehingga terlihat seperti tidak bersisik, kulit memiliki banyak lendir yang menyebabkan sulit untuk di pegang (Saanin 1984).

Gambar 2. Ikan petek (L. equulus) (dokumentasi pribadi)

Kottelat et al. (1993) menyatakan bahwa ikan L. equulus memiliki duri di kepala lebih panjang dari pada panjang diameter mata, lebar badan 1,7-1,9 kali lebih pendek daripada panjang baku, sembulan mulut mengarah ke bawah, duri di sirip punggung kedua lebih besar dari setengah lebar badan. Sirip anal berwarna kekuningan, sirip dorsal transparan, punggung sangat melengkung dan memiliki satu linea latelaris (LL). Selanjutnya James (1984) in Lisnawati (2004) menambahkan ikan ini memiliki ciri-ciri yaitu; sirip punggung memiliki delapan jari-jari keras diikuti oleh 15-16 jari-jari lemah (D.VIII. 15-16), sirip ekor memiliki tiga jari-jari keras diikuti oleh 14-15 jari-jari lemah (A III, 14-15). Panjang ikan ini dapat mencapai 22 cm umumnya 12-16 cm (Genisa 1999).

Ikan L. equulus seperti anggota famili Leiognathidae lainnya dapat memancarkan cahaya berwarna putih keperakan (Bioluminescence) yang dihasilkan oleh bakteri yang hidup bersimbiosis. Pada siang hari ikan ini mengeluarkan cahaya baur ke bawah yang dapat mengaburkan bentuk bayangan tubuhnya. Besarnya cahaya yang dipancarkan umumnya setara dengan intensitas cahaya di kedalaman

(21)

tempat ikan petek berada. Dengan adanya tingkah laku ini mengakibatkan ikan ini lebih terhindar dari pemangsanya (Pauly 1977 in Nontji 1987).

Menurut Pauly (1977) in Wejadmiko (2007) ikan petek termasuk dalam famili Leiognathidae dan di Indonesia famili ini terdapat tiga genera, yaitu Leiognathus

(terdiri dari 17 spesies), Secutor(dua spesies, yaitu S. ruconis dan S. insidiator) serta

Gazza (satu spesies yaitu G. minuta). Sementara Widodo (1976) in Wejadmiko (2007) menyatakan bahwa di Indonesia ditemukan 12 spesies ikan petek yang tersebar di perairan dangkal, atau kurang dari 40 m.

Ikan petek dari famili Leiognathidae hidup di perairan pantai sampai kedalaman 30 m, dekat permukaan (benthopelagic). Hidup pada wilayah tropis 30 0LU - 230LS yang memiliki kisaran suhu 26-29 0C. Ikan petek ditemukan di sekitar mulut sungai dan wilayah pesisir pantai berlumpur, sering di wilayah mangrove. Saat dewasa ditemukan di wilayah di dasar pantai biasanya pada kedalaman antara 10-70 m. Juvenil-juvenilnya sering ditemukan di wilayah estuari dan terkadang memasuki daerah sungai saat terjadi pasang. Saat dewasa bersifat bergerombol dan aktif bergerak setiap hari. Makanan ikan petek umumnya berupa organisme bentik yang terdiri atas hewan invertebrata dan tumbuhan. Organisme-organisme tersebut meliputi polychaeta, crustacea kecil, ikan-ikan kecil, foraminifera, diatom, zooplankton seperti copepoda dan telur-telur ikan (Pauly 1977 in Saadah 2000). Ikan petek bersifat amphidromus, yaitu beruaya tidak untuk memijah tetapi untuk mencari makan (Nontji 1987; Genisa 1999).

Penyebaran ikan famili Leiognathidae di dunia sangat luas meliputi kawasan Indo Pasifik Barat, Timur London, Laut Merah, Afrika Selatan, Teluk Benggala, Sepanjang Pantai Laut Cina Selatan, Philipina, Taiwan, Pantai Utara Australia, ke Barat sampai Pantai Afrika Timur (Comoros, Seychelles, Madagaskar dan Mauritus), Teluk Persia, Fiji, Utara ke Pulau Ryukyu, Selatan Australia. Sementara itu, di Indonesia distribusi ikan petek tersebar hampir di semua wilayah perairan Indonesia meliputi Nias, Sumatera, Jawa, Bali, Flores, Kalimantan, Sulawesi, Buton, Ambon, Ternate, Halmahera, selat Tiworo dan Arafuru. Secara umum dapat dikatakan bahwa distribusi ikan petek di Indonesia tersebar di pesisir Barat Daya Sumatera sampai ke Laut Timor (James 1984 dan Pauly et al. 1996 in Lisnawati 2004; Genisa 1999).

(22)

2.2. Aspek Eksploitasi Sumberdaya Ikan Petek

Luas wilayah laut Indonesia adalah 5,8 juta km2dengan maximum sustainable yield (MSY) sebesar 6,4 juta ton/tahun dan total tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch/TAC) adalah 5,12 juta ton/tahun (80% dari MSY). Pada tahun 2006 produksi perikanan Indonesia mencapai 4,51 juta ton (70,469% dari MSY) yang masih memungkinkan untuk dilakukan pemanfaatan hingga mencapai TAC (MMAF dan JICA 2008).

Namun, pada kenyataannya kondisi stok di berbagai wilayah perairan telah mengalami penangkapan berlebih (overfishing) seperti perairan Selat Malaka, pantai utara Pulau Jawa, Selat Bali, dan Sulawesi Selatan (Dahuri 2003). Menurut Widodo dan Suadi (2006) menyatakan bahwa gejala yang menandakan suatu perairan telah mengalami tekanan tangkap yang berlebih yaitu; terjadinya penurunan produksi perikanan atau hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (catch per unit effort,

CPUE), penurunan hasil tangkapan total yang didaratkan, semakin jauhnya wilayah penangkapan, penurunan berat rata-rata ikan, semakin sedikitnya jumlah nelayan yang melaut, dan penurunan ukuran ikan yang tertangkap.

Pada tahun 1993 untuk jenis ikan seperti tuna, cakalang, udang dan ikan demersal produksinya sudah melampaui TAC. Pada ikan demersal nilai MSY adalah 653.432 ton/tahun dan TAC sebesar 582.731 ton/tahun serta penangkapannya telah melebihi nilai TAC dan MSY yakni sebesar 1.202.729 ton (Monintja et al. 1995in Dahuri 2003).

Ikan petek merupakan salah satu jenis ikan demersal yang penangkapannya menggunakan alat tangkap seperti trawl(pukat dasar), cantrang dan sejenisnya serta berbagai macam pukat tepi. Ikan ini cukup digemari terutama di Pulau Jawa. Ikan ini dipasarkan dalam bentuk asin-kering dan segar (Genisa 1999). Menurut Nontji (1987) di Thailand ikan petek yang berukuran kecil lebih banyak dimanfaatkan sebagai bahan pembuat tepung ikan, pupuk, dan pakan ternak/bebek.

Dikarenakan ikan petek bernilai ekonomis maka ikan ini telah menjadi target tangkapan nelayan. Pada tahun 1979 setahun sebelum dihapusnya trawl, pada usaha penangkapan ikan komersial ikan petek menempati urutan pertama dalam komposisi hasil tangkapan ikan demersal yaitu 30% dan pada tahun 1986 meningkat menjadi 60% (Dwiponggo dan Badrudin 1980; Badrudin 1988 in Wejadmiko 2007).

(23)

Informasi mengenai berapa besar nilai MSY dan TAC dari ikan petek tersebut belum diketahui dengan pasti. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan informasi mengenai data ikan petek. Selain itu yang dimaksud dengan ikan petek terdiri dari beberapa jenis yang merupakan anggota dari famili Leiognathidae.

Berdasarkan hasil penelitian Wejadmiko terhadap hasil tangkapan trawl berdasarkan kelompok komoditas di perairan Barat Sumatera menunjukan bahwa famili Leiognathidae merupakan famili paling dominan (urutan pertama) tertangkap yaitu 24,32% (2005) dan 32,54% (2006). Sementara komposisi jenis ikan petek yang tertangkap di perairan Barat Sumatera, pada tahun 2005 tercatat ada delapan jenis dan pada tahun 2006 tertangkap lebih banyak yaitu 13 spesies dan spesies L. bindus merupakan spesies paling dominan baik pada tahun 2005 (59,85%) maupun 2006 (49,74%). Laju penangkapan ikan petek di perairan Barat Sumatra pada tahun 2005 adalah 0,631 kg/jam dan dominan tertangkap pada kedalaman < 20 m. Pada tahun 2006 laju penangkapannya 2,745 kg/jam dan dominan tertangkap pada kedalaman 31-40 m. Panjang rata-rata ikan petek (L. equulus) yang tertangkap adalah 15 cm dengan kisaran panjang 9,5-20,5 cm.

Di perairan Tanjung Selatan (Kalimantan Selatan) ikan petek mendominasi hasil tangkapan nelayan selama musim muson tenggara dan menurun pada musim muson barat laut (Bianchi et al. 1996). Di perairan Selat Malaka, ikan-ikan dari famili Leiognathidae termasuk ikan petek (L. equulus) tertangkap dalam jumlah yang besar pada kedalaman 10-30 m. Jumlah tersebut akan menurun seiring dengan menurunnya kedalaman (Pauly et al.1996 in Wejadmiko 2007). Widodo (1970) in

Bukhari (1996) menyatakan sebaran ikan petek pada berbagai kedalaman Laut Jawa menunjukan bahwa ikan ini mempunyai nilai tangkapan tertinggi diantara jenis-jenis ikan demersal lainnya.

2.3. Aspek Pertumbuhan dan Reproduksi

2.3.1. Aspek pertumbuhan (panjang-berat dan faktor kondisi)

Pertumbuhan dapat diartikan sebagai suatu proses biologis yang dirumuskan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat tubuh dalam periode waktu tertentu. Proses pertumbuhan di pengaruhi oleh dua faktor penting yaitu faktor dalam (internal factor) dan faktor luar (external factor ). Dari kedua faktor tersebut faktor dalam sulit dikontrol seperti keturunan, umur, jenis kelamin, parasit, hormon, dan

(24)

penyakit sedangkan faktor luar utama yang mempengaruhi pertumbuhan adalah suhu perairan dan makanan. Di wilayah tropis, makanan merupakan faktor yang terpenting dari pada suhu perairan.

Menurut Moyle dan Cech (1988) pertumbuhan terjadi karena adanya energi yang berlebih dari hasil metabolisme dalam tubuh. Proses metabolisme ini dikontrol oleh hormon pertumbuhan dan hormon steroid. Selain itu, pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti temperatur air, tingkat oksigen terlarut dan ammonia, salinitas, dan periode sinar yang saling berinteraksi dengan faktor lainnya seperti derajat kompetisi, jumlah dan kualitas makanan yang dicerna, umur, dan tahap kematangan ikan.

Hubungan panjang-berat ikan didasarkan hukum kubik (berat ikan merupakan pangkat tiga dari panjangnya) dan disertai anggapan bentuk dan berat ikan tetap sepanjang hidupnya. Namun hubungan yang terjadi tidak demikian karena bentuk dan berat ikan berbeda-beda diakibatkan oleh banyak faktor. Berdasarkan hubungan panjang dan berat yang dinyatakan dalam rumus W = aLb maka pertumbuhan memiliki dua pola yaitu pertumbuhan isometrik dan allometrik. Pertumbuhan isometrik (b=3) berarti pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan berat sedangkan pertumbuhan allometrik (b ≠ 3) berarti pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan berat. Pertumbuhan dinyatakan bersifat allometrik positif jika b > 3 yang berarti pertambahan berat lebih dominan dibandingkan dengan pertambahan panjang sedangkan pertumbuhan dinyatakan bersifat allometrik negatif jika b < 3 yang berarti pertambahan panjang lebih dominan dari pertambahan berat. Nilai a dan b dari merupakan konstanta hasil regresi, sedangkan W adalah berat total ikan dan L adalah panjang total ikan. Untuk mendapatkan hubungan antara panjang dan berat ikan tersebut digunakan nilai koefisien korelasi jika mendekati 1 maka terdapat hubungan yang erat antara kedua variabel (Walpole 1992).

Menurut Pauly et al. (1996) in Novitriana (2004) pola pertumbuhan ikan petek di Indonesia bersifat allometrik positif dengan nilai b = 3,6738. Pola pertumbuhan ikan L. equulusdi perairan Pantai Mayangan bersifat allometrik positif (pertambahan berat lebih dominan dari panjang) dengan rata-rata panjang tubuh 45-208 mm (Novitriana 2004). Sementara itu di perairan Barat Sumatra kisaran

(25)

panjang ikan L. equulus adalah 9,5 – 20,5 cm dengan rata-rata 15 cm (Wejadmiko 2007), di perairan Selat Malaka pola pertumbuhan ikan L. splendens

memperlihatkan pola pertumbuhan allometrik dan mencapai ukuran dewasa untuk pertama kali pada panjang 9 cm. Berdasarkan hasil penelitian di lokasi lain ikan L. splendensbaik jantan maupun betina memiliki pola pertumbuhan isometrik. Pada panjang total yang sama berat ikan betina lebih besar dari pada ikan jantan dan panjang tubuh berkisar antara 49-161 mm.

Faktor kondisi

Faktor kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokan ikan yang dinyatakan dengan angka-angka berdasarkan data panjang dan berat (Lagler 1961 in

Effendie 1979). Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan baik dilihat dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Tingkat kematangan gonad dan jenis kelamin mempengaruhi nilai faktor kondisi. Nilai faktor kondisi ikan betina lebih besar dari ikan jantan, hal ini memperlihatkan bahwa ikan betina memiliki kondisi yang baik dengan mengisi sel kelamin (cell sex) untuk proses reproduksinya dibandingkan dengan ikan jantan. Nilai faktor kondisi antara 1-3 menunjukkan bahwa tubuh ikan berbentuk kurang pipih (Effendie 1979).

Faktor kondisi dapat dijadikan indikator kondisi pertumbuhan ikan dan dapat menentukan kecocokan lingkungan serta membandingkan berbagai tempat hidup. Variasi faktor kondisi tergantung pada kepadatan populasi, tingkat kematangan gonad, makanan, jenis kelamin, dan umur (Le Cren 1951 in Lumbanbatu 1979; Effendie 1979). Sementara itu, Lagler (1972) menyatakan bahwa dengan meningkatnya ukuran ikan maka nilai faktor kondisinya akan bertambah dengan asumsi faktor lain tidak ada yang mempengaruhi.

Ketersediaan makanan akan mempengaruhi faktor kondisi. Pada saat makanan berkurang jumlahnya, ikan akan menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi ikan menurun (Rininta 1988 in Saadah 2000). Berdasarkan hasil penelitian Saadah (2000) di perairan Teluk Labuan bahwa faktor kondisi ikan L. splendensbetina lebih besar dari ikan jantan. Sementara di perairan Pantai Mayangan, faktor kondisi ikan

L. equulus jantan lebih besar daripada ikan betina dan berfluktuatif berdasarkan bulan, ukuran panjang, dan tingkat kematangan gonad (Novitriana 2004).

(26)

2.3.2. Aspek reproduksi 2.3.2.1. Nisbah kelamin

Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan jumlah ikan betina di dalam suatu populasi, dimana perbandingan 1: 1 (50% jantan dan 50 %) betina merupakan kondisi yang ideal (Bal dan Rao 1984). Namun pada kenyataannya terjadi penyimpangan dari pola 1:1 yang disebabkan olah pola tingkah laku bergerombol antara jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhan, pola distribusi yang disebabkan oleh ketersedian makanan, kepadatan populasi, tingkat kematangan gonad, dan keseimbangan rantai makanan (Bal dan Rao 1984; Effendi 1997).

Perbandingan jumlah jenis kelamin dapat dipakai dalam menduga keberhasilan pemijahan, yaitu dengan melihat proporsi ikan jantan dan ikan betina. Charnov 1982 in Proestou et al. (2008) menyatakan keberhasilan reproduksi ikan betina dilihat dari jumlah telur yang dihasilkan sedangkan keberhasilan reproduksi jantan dilihat dari jumlah telur yang dibuahi. Perbandingan jenis kelamin juga dapat mempelajari struktur populasi di dalam menduga kesimbangannya. Menurut Purwanto et al. (1986) in Novitriana (2004) menyatakan bahwa untuk mempertahankan populasi ikan diharapkan memiliki perbandingan ikan jantan dan ikan betina berada dalam kondisi seimbang atau ikan betina lebih banyak.

Berdasarkan penelitian Novitriana (2004) bahwa Ikan L. equulus memiliki rasio kelamin yang berbeda antara jantan dan betinanya. Selanjutnya Saadah (2000) menyatakan bahwa ikan L. splendensdi Teluk Labuan memiliki rasio kelamin tidak seimbang secara keseluruhan sedangkan rasio kelamin ikan jantan dan betina yang telah matang gonad adalah seimbang.

2.3.2.2. Tingkat kematangan gonad (TKG)

Tingkat kematangan gonad adalah tahapan perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Pengamatan tingkat kematangan gonad dilakukan dengan cara histologis dan morfologi. Dengan cara histologi, anatomi perkembangan gonad dapat terlihat lebih jelas dan akurat sedangkan dengan cara morfologi tidak akan sedetail cara histologi akan tetapi cara morfologi banyak dan mudah dilakukan dengan dasar mengamati morfologi gonad antara lain ukuran panjang gonad, bentuk gonad, berat gonad, dan perkembangan isi gonad (Effendie 1997). Syandri (1996)

(27)

menyatakan bahwa selama perubahan yang terjadi di dalam ovarium dan testis, maka terjadi pula perubahan bobot dan volume gonad yang menjadi tolak ukur dalam penentuan tingkat kematangan gonad (TKG). Perkembangan gonad dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan dan hormon (Affandi dan Tang 2000).

Marza (1938) dan Wallace dan Selman (1981) in Murua dan Saborido-Rey (2003) membagi tiga tipe perkembangan oosit, yaitu :

(a) Synchronous, yaitu semua oosit yang ada di dalam ovarium mengalami tingkat kematangan yang sama.

(b) Group-synchronos, yaitu ovarium memiliki dua kelompok oosit dengan tingkat kematangan yang berbeda.

(c) Asynchronous, yaitu ovarium yang mengandung oosit yang memiliki tingkat kematangan yang berbeda dan proses oogenesis berlangsung setiap saat.

Informasi mengenai tingkat kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan yang matang gonad dengan ikan yang belum matang gonad dari stok ikan di perairan, selain itu dapat mengetahui waktu pemijahan, lama pemijahan dalam setahun, frekuensi pemijahan dan umur atau ukuran ikan pertama kali matang gonad (Effendie 1979). Tingkat kematangan gonad dapat memberikan informasi atau keterangan apakah ikan akan memijah, baru memijah atau telah selesai memijah.

Ukuran ikan pertama kali matang gonad berhubungan dengan pertumbuhan dan faktor lingkungan terutama ketersediaan makanan. Kualitas makanan tergantung pada komposisi nutrisinya seperti lemak, protein, karbohidrat, mineral dan vitamin dan secara kuantitas ditunjukan ketersediaannya yang melimpah di alam. Ketersedian makanan yang banyak akan mengurangi persaingan mendapatkan makanan dalam populasi ikan (Toelihere 1985 in Affandi dan Tang 2000).

Ukuran matang gonad tiap spesies ikan berbeda-beda dan juga pada spesies yang sama jika tersebar pada lintang yang berbeda lebih dari lima derajat akan mengalami perbedaan ukuran dan umur pertama kali matang gonad (Effendie 1997). Faktor yang mempengaruhi saat pertama kali ikan matang gonad ada dua yaitu faktor luar seperti suhu, dan arus. serta faktor dalam seperti umur jenis kelamin,

(28)

perbedaan spesies, ukuran dan sifat-sifat fisiologis ikan seperti kemampuan beradaptasi dengan lingkungan. Umumnya, ikan dengan ukuran panjang maksimum yang lebih kecil dan masa hidup yang lebih singkat akan mengalami kematangan gonad yang pertama dan umur yang lebih muda (Lagler et al.1977).

Berdasarkan penelitian Novitriana (2004) menyatakan bahwa ovarium ikan L. equulus mulai berkembang pada saat ikan berukuran 50 mm. Pada ikan jantan pertama kali matang gonad pada ukuran panjang minimal 88 mm sedangkan pada ikan betina ukuran pertama kali matang gonad adalah 95 mm. Ikan jantan memiliki ukuran panjang maksimum yang lebih kecil dari ikan betina. Selanjutnya Saadah (2000) menyatakan bahwa ikan L. splendens di Teluk Labuan ikan betina pertama kali matang gonad (TKG III) pada ukuran 79 mm dan ikan jantan (TKG III) pada ukuran 86 mm. Sementara di perairan Barat Daya Taiwan ikan L. equulus betina matang gonad pada saat panjang cagaknya 162 mm dan ikan jantan pada panjang cagak 158 mm (Fang Lee et al. 2005).

2.3.2.3. Indeks kematangan gonad (IKG)

Indeks kematangan gonad dapat menyatakan perubahan yang terjadi dalam gonad. Indeks ini merupakan persentase perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan. Perubahan IKG erat kaitannya dengan tahap perkembangan telur. Umumnya gonad akan semakin bertambah berat dengan bertambahnya ukuran gonad dan diameter telur. Pada ikan betina nilai IKG lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Berat gonad mencapai maksimum sesaat sebelum ikan akan memijah dan nilai IKG akan mencapai maksimum pada kondisi tersebut (Effendie 1997). Pada saat belum terjadi pemijahan, sebagian besar energi hasil metabolisme digunakan untuk perkembangan gonad sehingga berat gonad bertambah dengan semakin matangnya gonad (Soenanthi 2006).

Ikan yang mempunyai IKG kurang dari 20% dapat memijah berkali-kali dalam setahun (Bagenal 1978 in Sumassetiyadi 2003). Selanjutnya Effendie (1997) menyatakan bahwa ukuran ikan mulai memijah dapat dilihat dengan perubahan IKG dari waktu ke waktu. Berdasarkan Penelitian Novitriana (2004) terhadap ikan L. equulus bahwa ikan jantan pertama kali matang gonad pada ukuran yang lebih pendek daripada ikan betina dan pola pemijahan ikan petek tersebut adalah total spawner (melepaskan semua telur pada saat memijah).

(29)

2.3.2.4. Fekunditas

Fekunditas merupakan jumlah telur masak ikan betina sebelum dikeluarkan pada waktu akan memijah, fekunditas demikian dinamakan fekunditas mutlak atau fekunditas individu (Effendie 1997). Pengertian fekunditas lainnya adalah fekunditas relatif yang berarti jumlah telur persatuan panjang atau berat ikan yang umumnya digunakan sebagai indeks fekunditas (Royce 1972). Selain itu dikenal juga istilah fekunditas total yang artinya jumlah telur ikan yang dihasilkan selama hidupnya. Pada umumnya fekunditas dinyatakan sebagai jumlah telur di dalam ovarium sebelum pemijahan dengan asumsi bahwa hanya sejumlah kecil telur yang tidak diovulasikan. Menurut Wootton (1979) in Syandri (1996) berpendapat cara ini memberikan estimasi yang rendah, karena pada ikan yang memijah beberapa kali dalam setahun, perkembangan oosit dari stadium sebelumnya terjadi lebih cepat daripada stadium oosit yang akan dipijahkan. Oleh karena itu Hunter et al. (1992)in

Syandri (1996) mengemukakan bahwa fekunditas adalah jumlah telur matang dalam ovarium yang akan dikeluarkan pada waktu memijah.

Nikolsky (1963) menyatakan bahwa ikan yang mempunyai fekunditas besar pada umumnya memijah di daerah permukaan sedangkan ikan yang memiliki fekunditas kecil biasanya melindungi telurnya dari pemangsa atau menempelkan telurnya pada tanaman atau substrat lainnya. Umumnya ikan yang menjaga telur (parental care) mempunyai fekunditas yang lebih rendah dibandingkan dengan ikan yang melepaskan telurnya ke perairan dan tidak menjaganya (non parental care).

Fekunditas ikan berhubungan erat dengan lingkungannya, dimana fekunditas ikan akan meningkat bila keadaan lingkungannya baik. Jika kondisi lingkungan tidak menguntungkan, umumnya ikan betina yang siap memijah akan menunda pengeluaran telurnya atau mengeluarkan telurnya dalam jumlah yang sedikit daripada biasanya (Sjafei et al. 1993). Perubahan fekunditas juga dipengaruhi ketersediaan makanan. Fekunditas mempunyai hubungan dengan umur, panjang atau bobot individu, dan spesies ikan. Pada umumnya individu yang pertumbuhannya cepat fekunditasnya juga lebih tinggi dibandingkan yang lambat pertumbuhannya pada ukuran yang sama (Effendie 1997). Selanjutnya ikan-ikan yang tua dan berukuran besar mempunyai fekunditas relatif yang lebih kecil dimana ikan-ikan berukuran besar dan berumur tua pertumbuhan tubuhnya lambat sehingga

(30)

proses perkembangan gonad juga cenderung lambat sehingga berpengaruh terhadap fekunditas. Oleh karena itu fekunditas maksimum terjadi pada golongan ikan-ikan yang masih muda (Effendie 1979). Bagenal (1978) in Syandri (1996) menyatakan bahwa pertambahan bobot dan panjang ikan meningkatkan fekunditas secara linear. Sebagai contoh pada ikan mas dengan panjang 15 cm memiliki fekunditas 13.512 butir dan pada panjang 60 cm mempunyai fekunditas 2.945.000 butir (Bardach et al.

1972 in Syandri 1996). Secara tidak langsung suhu air dapat mempengaruhi fekunditas begitu juga dengan kedalaman air dan oksigen terlarut (Effendie 1997). Dari ketiga faktor tersebut suhu memiliki pengaruh yang lebih besar. Pada suhu yang rendah, terjadi penurunan konsumsi makanan sehingga fekunditas menjadi berkurang.

Ikan L. splendens dengan panjang total 114-145- mm dan berat 20,65-57,88 gram memiliki fekunditas berkisar antara 9.899-180.553 butir (Saadah 2000). Selanjutnya Novitriana (2004) menyatakan bahwa ikan L. equulus di perairan Mayangan memiliki fekunditas berkisar 1.496-157.845 butir dan dijumpai hubungan yang erat terhadap panjang total dan berat tubuh serta hubungan yang sangat erat terhadap berat gonadnya. Sementara di perairan Barat Daya Taiwan rata-rata fekunditas ikan L. equulusadalah 129.955 ± 79.343 ( Fang Lee et al. 2005).

2.3.2.5. Diameter telur

Perkembangan diameter telur pada oosit teleostei umumnya dikarenakan terjadinya akumulasi kuning telur selama proses vitelogenesis yang menyebabkan telur dari ukurannya kecil menjadi besar (Utiah 2006). Dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan, gonad semakin besar dan bertambah berat, begitu pula dengan butir-butir yang ada di dalamnya. Menurut Effendie (1997), sebelum terjadi pemijahan sebagian besar hasil metabolisme ikan dimanfaatkan bagi keperluan perkembangan gonad dan gonadnya akan semakin besar baik ukuran maupun diameter telurnya. Semakin meningkat tingkat kematangan gonad maka diameter telur yang ada di dalam ovarium semakin besar pula. Diameter telur akan semakin besar pada waktu mendekati pemijahan yang seiring dengan meningkatnya TKG dan mencapai maksimum, setelah itu cenderung menurun (Solihatin 2007).

Frekuensi pemijahan dapat diduga dari penyebaran diameter telur ikan pada gonad yang sudah matang, yaitu dengan melihat modus penyebarannya (Prabu 1956

(31)

in Liana 2003) sedangkan larva pemijahan dapat diduga dari frekuensi ukuran diameter telur. Ovarium yang mengandung telur masak berukuran sama semuanya (rata) menunjukan waktu pemijahan yang pendek, dan sebaliknya ukuran telur yang berbeda-beda di dalam ovarium menunjukkan pemijahan yang panjang dan terus menerus. Sebaran diameter telur pada tiap kematangan gonad akan mencerminkan pola pemijahan (Lumbanbatu 1979 in Liana 2003).

Ikan laut memiliki ukuran telur lebih kecil dibandingkan dengan ikan air tawar. Ukuran telur dapat mempengaruhi ukuran larva yang dihasilkan dan juga berhubungan dengan kelangsungan hidup larva. Pada populasi ikan laut terdapat hubungan antara ukuran telur dengan ukuran ikan selama siklus hidupnya, hal ini didukung oleh proses rekruitmen (Chambers dan Leggett 1996). Diameter sel telur untuk setiap spesies ikan beragam. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, ketersediaan makanan dan umur (Chambers dan Leggett 1996; Scott 1979 in Syandri 1996).

Telur-telur pelagis pada sebagian besar spesies memiliki ukuran diameter yang kecil biasanya diantara 0,7 mm dan 1,5 mm sedangkan ukuran telur yang lebih besar memiliki diameter antara 1,6 dan 2,6 mm (Russell 1976). Ukuran telur berkorelasi dengan ukuran larva. Larva yang besar lebih tahan tanpa pakan dibandingkan dengan larva yang berukuran kecil yang dihasilkan dari telur yang berukuran kecil (Syandri 1996). Selanjutnya Nontji (1987) menyatakan kecepatan perkembangan embrio dipengaruhi oleh banyaknya kuning telur.

2.3.2.6. Kualitas telur

Kualitas telur merupakan kemampuan telur untuk menghasilkan benih yang baik. Faktor yang mempengaruhi kualitas telur adalah faktor fisik, genetik dan kimia selama terjadi proses perkembangan telur. Jika salah satu faktor ini tidak ada maka telur tidak berkembang dalam beberapa stadia dan akan menghasilkan telur yang tidak baik (abnormal). Adapun indikator-indikator kualitas telur adalah pembuahan, morfologi, ukuran telur dan kandungan kimia (Utiah 2006).

Kualitas telur berhubungan dengan rekrutmen, dimana proses rekrutmen merupakan penambahan individu baru sehingga mempengaruhi jumlah stok di perairan. Proses rekrutmen merupakan imbangan dari adanya proses kematian alami dan kematian akibat penangkapan. Telur yang kualitasnya baik akan menghasilkan

(32)

larva yang baik dan sebaliknya larva yang buruk berasal dari telur dengan kualitas buruk. Perkembangan awal larva sangatlah dipengaruhi oleh keadaan telur. Larva yang baru menetas akan kesulitan menemukan makanannya di alam. Hal ini dikarenakan daya gerak larva yang lambat serta lebar bukaan mulut yang sangat kecil sehingga makanan sulit didapat sehingga larva ikan akan memanfaatkan komponen-kompenen yang ada dalam telur khususnya kuning telur sebagai makanannya. Fase ini merupakan fase kristis bagi kelangsungan hidup ikan (Effendi 2004).

Komposisi biokimia telur yang sehat menggambarkan kebutuhan embrio terhadap nutrisi dan pertumbuhan. Material yang diperlukan selama perkembangan secara umum dapat dibagi menjadi (1) diperlukan secara langsung untuk sintesis jaringan embrionik, dan (2) digunakan untuk energi metabolisme (Affandi dan Tang 2000). Jumlah total dan relatif berbagai nutrien yang diperlukan jelas bervariasi bergantung kepada faktor seperti ukuran ikan pada waktu menetas, lama pengeraman, dan lamanya anak-anak ikan memerlukan persediaan bahan endogen sebelum mendapatkan dari sumber lain (Utiah 2006).

Menurut Riis-Vestergaard (2002) ada empat komponen dominan pada telur yaitu chorion, ruang perivetelin (perivetelliene space/PVS), lemak (lipid) dan OML (ovoplasm minus lipid). Menurut Woynavovich dan Horvath (1980) in Syandri (1996) faktor yang menentukan ukuran sel telur adalah ukuran inti, ketebalan selaput telur dan ukuran ruang perivitellin. Ukuran inti dan ketebalan selaput telur menentukan sel telur sebelum kontak dengan air, sedangkan ruang periviteline menentukan ukuran sel telur setelah kontak dengan air.

Menurut Hibiya (1982) in Fujaya (2004) kuning telur terdiri atas tiga bentuk, yaitu kantung kuning telur (yolk vesicle), butiran kuning telur (yolk globule) dan tetesan minyak (oil droplet). Kantung kuning telur berisi glikoprotein, dan pada perkembangan selanjutnya menjadi kortikal alveoli. Butir-butir kuning telur terdiri atas lipoprotein, karbohidrat dan karoten. Tetesan minyak (oil droplet) secara umum terdiri atas gliserol dan sejumlah kecil kolesterol. Lebih dari setengah telur ikan pelagis mengandung butiran minyak (oil globule) yang mempengaruhi daya apung telur tersebut di perairan. Namun tidak ada perbedaan secara umum dalam daya apung telur diantara telur ikan pelagis dengan dan tanpa butiran minyak (oil

(33)

globule). Hal ini dikarenakan butiran minyak mengalami hidrolisis protein selama proses pematangan (Russell 1976).

Kamler (1992) in Utiah (2006) menyatakan bahwa kadar protein, lipid dan karbohidrat berkorelasi positif terhadap kelangsungan hidup larva. Protein merupakan komponen dominan kuning telur sedangkan jumlah dan komposisinya menentukan besar kecilnya ukuran telur. Pada ikan guppy (Poicellia reticulate) peningkatan jumlah kandungan protein menghasilkan peningkatan ukuran ovarium dan berat gonad (Adewumi et al. 2005). Selain protein, komposisi lemak dan asam lemak dalam telur berhubungan erat dengan kelangsungan hidup larva. Rata-rata ukuran telur ikan capelin dan kemampuan larva untuk tetap bertahan dari kelaparan berhubungan langsung dengan kondisi dan kandungan lemak induk betina (Chambers dan Leggett 1996).

Watanabe (2009) menyatakan bahwa kegagalan rekrutmen disebabkan tingginya laju kematian (mortalitas) setelah tahap awal memakan. Selain itu, tingkat mortalitas larva disebabkan oleh adanya predator dan kondisi lingkungan yang buruk.

2.4. Aspek Eksploitasi dan Reproduksi

Di dalam suatu habitat populasi ikan yang tidak ditangkap, biomasa atau berat total ikan akan tumbuh mendekati daya dukung (carrying capacity). Populasi ikan akan terdiri atas lebih banyak ikan-ikan yang berumur lebih tua dan lebih besar dari pada ikan-ikan kecil jika dibandingkan dengan keadaan populasi di habitat yang ada kegiatan penangkapan. Ketika terjadi penangkapan maka sebagian besar ikan-ikan dewasa dan berukuran besar tertangkap. Pengurangan ikan-ikan akibat penangkapan ini mengakibatkan turunnya biomasa dibawah daya dukung habitat dan meningkatkan kesempatan bertumbuh bagi ikan-ikan kecil (Murdiyanto 2004). Selanjutnya Widodo dan Suadi (2006) mengenalkan istilah rekruitment overfishing

yang berarti pengurangan melalui penangkapan terhadap suatu stok sedemikian rupa sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur-telur yang kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok yang sama.

Salah satu ciri populasi ikan yang telah mengalami eksplotasi adalah perubahan komposisi ukuran menjadi lebih kecil. Hal ini dapat mempengaruhi secara signifikan terhadap hasil reproduksi. Fekunditas cenderung meningkat

(34)

dengan ukuran tubuh yang besar, sehingga populasi dengan proporsi ikan berukuran besar memiliki potensi reproduksi yang lebih besar dibandingkan dengan populasi dengan proporsi ikan yang berukuran kecil (Walker et al. 1998 in Stevens et al. 2000). Selanjutnya Bagenal (1971) menyatakan bahwa ikan-ikan yang berukuran besar dan tua akan menghasilkan telur-telur berukuran besar yang mengandung kuning telur yang lebih banyak dari telur-telur yang berasal dari induk yang berukuran kecil dan muda yang akan menyebabkan pertumbuhan larva lebih cepat dan lebih lama bertahan hidup.

Eksploitasi dengan skala besar menyebabkan perubahan struktur populasi ikan. Nelayan cenderung menangkap ikan yang berukuran besar dari pada ikan yang berukuran kecil. Konsekuensinya, populasi didominasi oleh ikan dengan ukuran kecil dengan pertumbuhan yang lebih cepat dan kematangan gonad yang lebih awal. Sebagian besar ciri variasi sejarah-hidup yang didasarkan pertumbuhan, umur saat matang gonad, ukuran keturunan dan fekunditas berkorelasi dengan ukuran tubuh (Stevens et al. 2000).

Menurut Triple et al. (1997) in Sinclair dan Valdirmarsson (2003), mayoritas ikan cod di perairan Barat Laut Atlantik, stok pollock dan haddock menunjukkan penurunan umur dan panjang saat matang seksual sejak tahun 1970-an. Penurunan terbesar terlihat pada stok ikan cod di perairan Atlantik Utara dengan penurunan 20% ukuran tubuh saat matang seksual yang terjadi sejak awal tahun 1990-an. Secara umum dengan perpindahan ikan besar dari populasi secara konsisten sepanjang waktu (30 tahun atau lebih bagi beberapa ikan), ikan yang tersisa mengalami laju pertumbuhan yang cepat dan kematangan yang lebih awal. Observasi ini mungkin berkenaan dengan perubahan genetik yang disebabkan oleh penangkapan, perubahan lingkungan atau faktor keduanya (Smith 1999 in Sinclair dan Valdirmarsson 2003).

(35)

3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei 2009 sampai dengan bulan Juli 2009 di tiga tempat pendaratan ikan (TPI) yaitu di TPI Mina Fajar Sidik, Blanakan, Subang yang mewakili perairan Utara Jawa; TPI Labuan, Banten yang mewakili perairan Selat Sunda dan TPI Palabuhanratu, Sukabumi yang mewakili perairan Selatan Jawa. Pengambilan ikan contoh dilakukan sekali tiap bulan pada masing-masing TPI. Ikan contoh yang telah diambil kemudian dianalisis di Laboratorium Ekobiologi Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 3. Lokasi penelitian

Blanakan Labuan

(36)

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi buku identifikasi Kottelat et al. (1993) untuk mengidentifikasi ikan sampel, mistar dengan ketelitian 0,5 mm untuk mengukur panjang total, timbangan digital dengan ketelitian 0,5 g untuk mengukur bobot tubuh dan 0,005 gr untuk mengukur bobot gonad, alat pendingin (freezer) dengan suhu -300C untuk mengawetkan ikan, alat bedah, cawan Petri, gelas ukur, gelas objek, kertas label, botol sampel, pipet tetes, hand tally counter untuk menghitung telur; mikroskop binokuler, mikrometer okuler, mikrometer obyektif dan gelas objek untuk mengukur diameter telur; mikrotom dan mikroskop untuk pembuatan dan pemotretan preparat histologi. Sementara alat-alat yang digunakan dalam analisis kandungan protein telur (analisis proksimat) meliputi timbangan digital dengan ketelitian 0,00005 gr, labu destruksi, pembakar bunsen, labu penling, alat penyuling, labu erlenmeyer, buret sebagai alat titrasi.

Bahan-bahan yang digunakan meliputi ikan L. equulus, formalin 4% untuk mengawetkan gonad, akuades. Bahan-bahan yang digunakan dalam histologi gonad meliputi alkohol 70-100%, xylol, parafin, pewarna haematoxylin-eosin, larutan Buoin’s dan perekat entelan atau Canada balsam. Sementara bahan-bahan yang digunakan dalam analisis kandungan protein meliputi aquades, Katalisator, H2SO4, asam borat, indikator (Blue Metilen red) dan HCl (0,030246 N).

3.3. Metode Kerja

3.3.1. Prosedur kerja di lapangan

Pengambilan sampel dilakukan satu kali per bulan selama bulan Mei-Juli 2009. Pengambilan sampel dilakukan menurut banyaknya keranjang (bakul) yang berisi ikan petek yang didaratkan. Jika jumlah bakulnya banyak maka sampel ikan diambil secara acak tiap bakul dan di ukur panjang dan beratnya sebanyak mungkin lalu diambil minimal 30 sampel untuk dianalis aspek reproduksinya di laboratorium. Jika jumlah bakul yang didaratkan sedikit atau hanya satu maka sampel diambil secara acak hanya dari bakul tersebut. Sampel ikan merupakan hasil tangkapan nelayan yang stasiun pengambilan contohnya berdasarkan dengan lokasi penangkapan dan alat tangkap yang digunakan ialah alat tangkap yang digunakan nelayan. Ikan yang telah didaratkan TPI kemudian diambil dan diidentifikasi sesuai dengan ciri-cirinya serta diukur panjang dan beratnya. Pengukuran panjang dan

(37)

berat di tempat pelelangan ikan dilakukan bagi ikan-ikan yang tidak dibawa ke laboratorium. Sampel ikan yang segar dipisahkan dan dimasukan ke dalam cold box

yang berisi es kemudian dibawa ke laboratorium dan disimpan dalam freezer

bersuhu -300C sebelum diukur panjang, berat, dibedah dan diambil gonadnya. Selain itu dilakukan pengambilan data sekunder yang meliputi data statistik perikanan (hasil tangkapan, upaya penangkapan) serta keadaan lokasi penelitian. Data-data statistik tersebut digunakan dalam pendugaan potensi lestari (MSY) sedangkan keadaan lokasi penelitian seperti suhu digunakan dalam menduga koefisien mortalitas alami (M).

3.3.2.Prosedur kerja di laboratorium 3.3.2.1. Identifikasi ikan contoh

Ikan contoh yang telah dibawa ke laboratorim diidentifikasi mengacu kepada Kottelat et al. (1993). Bagian utama tubuh yang diamati dalam pengidentifikasian meliputi bentuk tubuh, kepala, mulut, dada, panjang total tubuh, diameter mata, lebar badan, sirip anal, sirip dorsal, jari-jari sirip dorsal, jari-jari sirip anal.

3.3.2.2. Pengukuran panjang-berat dan pengamatan TKG

Ikan-ikan contoh yang telah diidentifikasi di ambil lagi secara acak minimal 30 ekor dan disesuaikan juga dengan total sampel yang diperoleh untuk dibedah. Sebelum dibedah sampel ikan di ukur panjang dan ditimbang bobot tubuhnya. Semua sampel diukur panjang dengan menggunakan mistar dengan ketelitian 0,5 mm, sedangkan berat tubuh menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,5 gr. Tingkat kematangan gonad ditentukan berdasarkan ciri morfologi (Tabel 1). Selanjutnya gonad dipisahkan dan dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah diberi label kemudian diawetkan dengan larutan formalin 4%. Khusus gonad betina TKG IV dipisahkan sebanyak tiga sampel terlebih dahulu dan dimasukan ke dalam

freezer untuk analisis proksimat dan gonad betina TKG I, II, III, dan IV juga dipisahkan untuk analisis histologis. Gonad ditimbang dengan timbangan digital dengan ketelitian 0,005 gr. Setelah itu Indeks kematangan gonad (IKG/GSI) dapat ditentukan (Effendie 1979) dan gonad diamati tingkat kematangannya berdasarkan ciri-ciri morfologi dan anatomi histologi.

Gambar

Gambar 1.  Skema perumusan masalah keterkaitan laju eksploitasi dengan keragaan   pertumbuhan dan reproduksi ikan petek (L
Gambar 2. Ikan petek (L. equulus) (dokumentasi pribadi)
Gambar 3. Lokasi penelitianBlanakanLabuan
Gambar  4.  Distribusi  ukuran  ikan  petek  (L.  equulus)  yang  tertangkap  berdasarkan  lokasi penelitian dari bulan Mei – Juli 2009
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang nyata pada setiap teras.Namun data yang diperoleh menunjukkan bahwa peningkatan jumlah liat pada lahan sawah terasering, cenderung mempengaruhi produksi dan

Untuk menguji pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Jumlah penduduk ( Dependency Ratio), Pengeluaran Pemerintah, Sektor Pertanian, dan tingkat Inflasi terhadap

pendapatan dan belanja SKPDnya. Karena Dinas koperasi, Perindustrian dan Perdagangan telah mempunyai target keuangan telah di sahkan oleh DPRD dimana semua kegiatan

Investment Opportunity Set berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan sektor industri barang konsumsi di Bursa Efek Indonesia periode 2012-2014,

Berdasarkan hasil dari penelitian-penelitian sebelumnya, bahwa belum ditemukannya hasil penelitian yang konklusif mengenai pengaruh merger dan akuisisi terhadap kinerja

Koeswanti (2018:7) menyatakan bahwa model pembelajaran Problem Based Learning membantu peserta didik dalam mengembangkan kecakapan memecahkan masalah, meningkatkan

Unsur hara non esensial meskipun ada yang di butuhkan oleh tanaman tetapi sifatnya tidak khas (tidak penting) sebab perannya masih dapat digantikan oleh unsur hara esensial,