• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN Kultur Bakteri dan Hewan Coba

4 Kajian Antidiare Kandidat Probiotik Lactobacillus plantarum MB427 Asal Mandai pada Tikus yang Diinfeksi Escherichia col

METODE PENELITIAN Kultur Bakteri dan Hewan Coba

Kultur bakteri Escherichia coli enteropatogenik K1.1 diperoleh dari Departemen Biologi FMIPA IPB, dipelihara dalam TSB yang disuplementasi dengan 100 µg/ml ampisilin. Isolat L. plantarum MB427 yang sebelumnya telah diisolasi dari mandai dipelihara dalam MRS broth. Tikus Norway (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague-Dawley berumur 5 minggu diperoleh dari Balai Penelitian Veteriner.

Penentuan Dosis EPEC yang Dapat Menyebabkan Diare pada Tikus Sebelum dilakukan pengujian pengaruh probiotik terhadap infeksi EPEC, terlebih dahulu dilakukan penentuan dosis EPEC yang harus diberikan pada tikus yang dapat menyebabkan diare yang persisten. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 15 ekor tikus Sprague-Dawley usia 5-6 minggu dengan bobot awal 80- 100 g yang dibagi menjadi tiga kelompok, masing-masing terdiri atas 5 ekor tikus.

Tikus ditempatkan dalam kandang dengan kondisi terkontrol (suhu 22 oC, kelembaban 55%) dan 12 jam siklus gelap/terang. Pemberian makanan dan minuman dilakukan secara ad libitum dengan komposisi seimbang secara konvensional (22% protein, 6.5% serat kasar, 10.5% total mineral, 1.4% kalsium, 0.7% fosfor, dan 12.7% vitamin) berdasarkan AOAC (1999). Sisa makanan dikumpulkan setiap hari dan ditimbang. Berat badan tikus ditimbang setiap dua hari. Feses dikumpulkan setiap hari dan diamati bentuk, warna dan konsistensinya secara visual. Sebelum diberi perlakuan, tikus diadaptasi dengan kondisi kandang selama 7 hari.

Bakteri penyebab infeksi yang digunakan adalah EPEC K1.1. Dosis yang diberikan ditentukan dengan perlakuan 3 dosis, yaitu 1 x 108, 1 x 109 dan 1 x 1010 cfu. Setiap kelompok tikus diberi 0.5 ml suspensi EPEC dengan konsentrasi masing- masing 2 x 108, 2 x 109 dan 2 x 1010 cfu/ml. Penentuan kondisi diare pada feses tikus dilakukan setiap hari dengan mengacu pada Bristol Stool Chart (Heaton dan Lewis, 1997). Pada Bristol Stool Chart, feses tipe 5-7 mengindikasikan kejadian diare. Feses tipe 5 kriterianya adalah soft blobs with clear cut edges, yaitu feses lunak yang bentuknya masih jelas terlihat. Feses tipe 6 kriterianya adalah fluffy pieces with ragged edges, a mushy stool, yaitu feses berbentuk serpihan yang sangat lembek. Feses tipe 7 kriterianya adalah watery, no solid pieces, feses berupa cairan tanpa adanya padatan.

Pengaruh Pemberian L. plantarum MB427 terhadap Diare pada Tikus Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui respon individu tikus terhadap pemberian probiotik sebagai pencegah infeksi EPEC pada individu yang sebelumnya telah mengkonsumsi probiotik dan respon tikus terhadap pemberian probiotik untuk mengobati infeksi EPEC pada individu tikus. Masing-masing individu tikus dipelihara dalam kandang individu dan menerima makanan dan minuman secara ad libitum. Komposisi makanan seimbang secara konvensional (22% protein, 6.5% serat kasar, 10.5% total mineral, 1.4% kalsium, 0.7% fosfor, dan 12.7% vitamin) berdasarkan AOAC (1999).

Tabel 4.1. Pengelompokan tikus dan jenis perlakuan yang diberikan

Kelompok Perlakuan Waktu Pemberian

H -7 sd H-1 H0 H1 sd H7

1 Kontrol negatif (KN), tidak menerima probiotik dan tidak diinfeksi EPEC 2 Kontrol EPEC (KE), tidak

menerima probiotik, diinfeksi EPEC pada hari ke-0

Diinfeksi EPEC

3 Kontrol probiotik (KP), menerima probiotik pada hari 0 sd 7, tidak diinfeksi EPEC L. plantarum MB427 1x109 cfu L. plantarum MB427 1x109 cfu 4 Penerima probiotik

prainfeksi (PA), menerima probiotik seminggu

sebelum diinfeksi EPEC sampai seminggu setelahnya, diinfeksi EPEC pada hari ke-0

L. plantarum MB427 1x109 cfu L. plantarum MB427 1x109 cfu Diinfeksi EPEC L. plantarum MB427 1x109 cfu 5 Penerima probiotik pascainfeksi (PB), diinfeksi pada hari ke-0, menerima probiotik hingga hari ke-7

L. plantarum MB427 1x109 cfu Diinfeksi EPEC L. plantarum MB427 1x109 cfu

Pengujian dilakukan sesuai metode Gagnon et al. (2006), mempergunakan lima kelompok tikus (masing-masing sembilan ekor) dengan perlakuan sebagaimana Tabel 4.1. Perlakuan untuk kelima kelompok didesain sebagai berikut: Kelompok kontrol negatif yang tidak menerima probiotik dan tidak diinfeksi EPEC, kelompok kontrol EPEC yang diinfeksi EPEC pada hari ke-0, kelompok probiotik yang menerima probiotik selama seminggu, kelompok penerima probiotik prainfeksi yang menerima probiotik seminggu sebelum diinfeksi EPEC sampai seminggu setelahnya, kelompok penerima probiotik pascainfeksi yang menerima probiotik setelah diinfeksi EPEC selama seminggu.

L. plantarum MB427 dan EPEC diberikan dengan menggunakan sonde (dicekok) satu kali per hari, sejumlah 0.5 ml yang mengandung 2.0 x 109 cfu isolat bakteri asam laktat atau 2.0 x 1010 cfu. Sisa makanan dikumpulkan setiap hari dan ditimbang. Berat badan tikus ditimbang setiap dua hari. Feses dikumpulkan dan diamati setiap hari. Pada hari ke-7 enam ekor tikus dibedah dan diambil sampel darah, organ limfa, hati, sekum dan isi sekum serta kolon dan feses. Tiga tikus tersisa dari masing-masing kelompok dibedah pada hari ke-14 dan diambil sampel darahnya serta organ seperti sebelumnya. Analisis IgA dilakukan pada hari ketujuh dan IgG pada hari keempat belas, dilakukan pada serum yang diambil langsung dari jantung tikus. Analisis IgA dan IgG dilakukan di Laboratorium Amerind Bioclinic (terakreditasi KAN) dengan metode turbidimetri.

Analisis Total Bakteri Asam Laktat dan E. coli Feses, Isi Sekum dan Organ Tikus (Gagnon et al. 2006)

Analisis mikroba dilakukan pada feses dan isi sekum tikus sesuai standar BAM (2001). Feses dari enam individu tikus per kelompok dikumpulkan setiap 2 hari dengan cara menekan abdomen tikus bagian bawah. Feses setiap dua ekor tikus disatukan. Sejumlah 100 mg feses dilarutkan dalam 1 ml BPW steril dan dilakukan seri pengenceran. Pemupukan dilakukan dengan media MRSA untuk total bakteri asam laktat dan EMBA untuk E. coli.

Pada bagian dalam sekum dan kolon yang telah dicuci dengan PBS steril, dilakukan pengikisan pada luasan 1x1 cm2 sekum/kolon, dilanjutkan dengan seri pengenceran dalam BPW dan pemupukan pada media MRSA untuk total bakteri asam laktat dan EMBA untuk E. coli.

Analisis translokasi bakteri (Zago et al. 2011)

Analisis translokasi bakteri dilakukan pada kelompok yang memperoleh produk tetapi tidak diinfeksi. Pada hari ke-7 dan ke-14, tikus diterminasi secara euthanasia menggunakan dietil eter. Organ limfa dan hati diambil, dihomogenisasi dalam BPW steril, dilakukan pemupukan pada EMBA untuk E. coli dan MRSA untuk bakteri asam laktat. Translokasi bakteri dinyatakan dengan positif atau negatif sesuai ada atau tidak adanya pertumbuhan pada cawan. Translokasi bakteri diharapkan negatif karena umumnya bakteri tidak terdapat pada limfa dan hati.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan dosis EPEC yang Dapat Menyebabkan Diare pada Tikus Respon diare pada tikus yang diberi perlakuan dosis 108 cfu baru terlihat pada hari kedua, dimana 3 dari lima ekor tikus mengalami diare. Diare pada kelima tikus dalam kelompok baru terjadi pada hari keempat. Pada hari kelima, terdapat tikus yang sudah sembuh dari diare. Pada kelompok yang diberi perlakuan EPEC 109 cfu, dua dari lima ekor tikus mengalami diare pada hari pertama. Diare pada kelima individu tikus dalam kelompok baru terjadi pada hari ketiga. Pada hari keempat, terdapat individu tikus yang mengalami kesembuhan. Pada kelompok yang mendapat perlakuan EPEC 1010 cfu, pada hari kedua, kelima tikus dalam kelompok sudah mengalami diare sampai hari kelima. Umumnya tikus mengalami diare tipe 5 (feses lunak yang bentuknya masih jelas terlihat) dan tipe 6 (feses berbentuk serpihan yang sangat lembek) dari Skala Bristol. Pada tikus yang mendapat dosis EPEC lebih tinggi, jumlah kejadian diare dengan feses tipe 6 lebih banyak, mengindikasikan diare yang lebih parah.

Tabel 4.2. Pengaruh dosis EPEC dalam menginduksi diare pada tikus Dosis EPEC Jumlah tikus diare per total tikus pada hari ke-

(cfu/ml) 1 2 3 4 5 8 log 0/5 3/5a 4/5ab 5/5ab 4/5a 9 log 2/5a 3/5ab 5/5ab 4/5ab 3/5a 10 log 3/5ab 5/5ab 5/5ab 5/5ab 5/5ab Keterangan: a

Diare tipe 5 pada Bristol Stool Chart

b

Diare tipe 6 pada Bristol Stool Chart

Nuraida et al. (2012b) melakukan pengujian diare pada tikus dengan dosis EPEC 108 cfu dengan hasil empat tikus mengalami diare pada hari pertama, akan tetapi pada hari ketiga, semua tikus telah sembuh dari diare dengan sendirinya. Diare karena EPEC diketahui merupakan diare yang relatif moderat, tidak melibatkan toksin dan tidak terjadi invasi ke dalam sel inang sehingga memudahkan proses pemulihan (Vallance dan Finlay 2000).

Dari respon diare tikus terhadap tiga dosis EPEC, maka dosis EPEC yang dipergunakan untuk perlakuan infeksi pada tikus dalam penelitian antidiare adalah 1010 cfu/ml sebagai dosis tunggal. Arief et al. (2011) menggunakan dosis 106 cfu/ml untuk pengujian EPEC pada tikus dengan pemberian selama tujuh hari berturut-turut, sedangkan Nuraida et al. (2012) menggunakan dosis 108 cfu/ml sebagai dosis tunggal pengujian EPEC pada tikus. Penelitian Yoda et al. (2014) yang menginfeksi dosis tunggal 107 cfu EPEC mencit menunjukkan bahwa diare hingga feses lunak teramati pada 30% dan 40% mencit pada hari pertama, sedangkan pada hari kedua feses lunak

teramati pada 60% mencit dan tidak ada yang mengalami diare. Adanya feses lunak tetap teramati hingga hari ketujuh. Hasil ini mengindikasikan bahwa dosis tunggal yang rendah hanya akan menghasilkan diare ringan pada hewan laboratorium, sehingga untuk menghasilkan diare yang persisten perlu diberikan dosis tinggi.

Studi pada manusia menunjukkan bahwa dosis EPEC 106 cfu/ml sudah cukup untuk menimbulkan diare. Infeksi EPEC banyak dihubungkan dengan kejadian luar biasa yang menyerang bayi dan balita, khususnya di negara berkembang, menghasilkan tingkat kematian yang tinggi. Prevalensi EPEC lebih tinggi pada bayi dan balita yang sistem imunnya relatif masih lemah. Patogenesis EPEC banyak duji menggunakan hewan coba, akan tetapi sulit menghasilkan diare pada hewan coba dengan dosis tunggal jika tidak menggunakan dosis tinggi. Hewan coba dalam penelitian ini bukan merupakan jenis tikus gnotobiotik, melainkan hewan laboratorium biasa yang sejak lahir sudah terpapar mikroba baik melalui lingkungan maupun makanan. Diduga, faktor pemaparan lingkungan mempengaruhi tingginya dosis yang harus diberikan pada tikus agar menimbulkan diare yang persisten.

Efisiensi konsumsi ransum dan kenaikan bobot badan

Kelompok yang menerima infeksi EPEC tanpa disertai pemberian probiotik mengkonsumsi ransum dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok yang juga diinfeksi EPEC tetapi sebelumnya telah menerima probiotik (Tabel 4.3). Pertambahan bobot badan per hari dan efisiensi ransum tidak menunjukkan perbedaan nyata pada semua kelompok. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Gagnon et al. (2006) dan Arief et al. (2010) menunjukkan bahwa tikus yang tidak diinfeksi mengkonsumsi ransum lebih banyak. Pada penelitian Arief et al. (2010) tidak hanya tikus yang mendapat probiotik, tetapi juga kelompok kontrol mengalami pertambahan bobot tubuh lebih tinggi dan efisiensi ransum lebih tinggi. Tabel 4.3. Konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan tikus per hari

Kelompok Konsumsi Pertambahan Efisiensi

Ransum bobot badan Ransum

(g/ekor/hari) (g/ekor/hari) (%)

Kontrol Negatif (KN) 19.46 ± 2.46ab 6.39 ± 0.94a 32.84 Kontrol EPEC (KE) 18.05 ± 1.75b 6.22 ± 2.24a 34.46 Kontrol Probiotik (KP) 18.70 ± 3.91ab 6.50 ± 0.71a 34.75 Probiotik Prainfeksi (PA) 19.92 ± 1.41a 7.00 ± 0.71a 35.14 Probiotik pascainfeksi (PB) 18.29 ± 1.81ab 6.71 ± 2.59a 36.68

Nilai rata-rata dalam kolom yang sama dengan superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata pada P<0.05

Kenaikan bobot badan tikus selama satu minggu perlakuan terekam pada Tabel 4.4. Berat badan kelima kelompok tikus tetap meningkat sampai hari ketujuh dengan laju kenaikan antar semua kelompok tikus tidak berbeda nyata. Diare karena infeksi EPEC tidak berpengaruh pada bobot badan dan konsumsi ransum tikus. Diduga tidak adanya pengaruh diare pada bobot badan karena diare akibat EPEC hanya merupakan diare ringan (tipe 5-6 pada skala Bristol) sehingga tidak sampai mempengaruhi jumlah ransum yang dikonsumsi tikus. Gagnon et al. (2006) melaporkan penurunan bobot badan terjadi pada kelompok yang diinfeksi sampai hari keempat dan mengalami kenaikan kembali sampai hari ke-7. Dalam penelitian Arief et al. (2010) yang memberi durasi perlakuan lebih lama, bobot badan tikus dari kelompok yang mendapat infeksi, mulai menurun setelah tikus diinfeksi selama minggu kedua. Tabel 4.4. Kenaikan bobot badan tikus selama satu minggu setelah infeksi

Kelompok Hari setelah infeksi (g)

0 2 4 7

Kontrol Negatif (KN) 6.4 6.5 6.2 6.5

Kontrol EPEC (KE) 5.6 6.1 6.4 6.5

Kontrol Probiotik (KP) 6.5 6.5 6.4 6.7

Probiotik Prainfeksi (PA) 6.1 6.7 7.3 7.6

Probiotik pascainfeksi (PB) 6.2 6.5 6.9 7.2

Kejadian Diare pada Lima Kelompok Tikus Setelah Infeksi

Pada hari ke-0, tiga kelompok tikus memperoleh infeksi EPEC sejumlah 1010 cfu untuk menginduksi diare. Kejadian diare diamati secara visual terhadap feses yang keluar mulai hari ke-1 dari masing-masing tikus dalam setiap kelompok (Tabel 4.5). Pengamatan terhadap feses dilakukan mulai hari ke-1 setelah infeksi EPEC karena infeksi bakteri patogen membutuhkan waktu untuk dapat terlihat dampaknya pada individu yang terinfeksi. EPEC yang dikonsumsi harus melewati saluran pencernaan tikus sampai di kolon, melakukan penempelan pada mucus, menginduksi keluarnya elektrolit sehingga terjadi diare (Valance dan Finlay 2000).

Tiga kelompok tikus yang diberi EPEC (kontrol EPEC, probiotik prainfeksi dan probiotik pasca infeksi) mengalami diare mulai hari ke-1. Diare yang dialami oleh dua pertiga tikus dalam tiga kelompok yang diberi EPEC ini tergolong dalam diare tipe 5 dan 6 dalam skala Bristol.

Pada kelompok kontrol EPEC, 6 dari 9 tikus mengalami diare pada hari ke-1. Jumlah tikus yang mengalami diare bertambah pada hari ke-2 dan ke-3. Penurunan jumlah kejadian diare pada tikus mulai terjadi pada hari ke-4 sampai ke-6. Tikus anggota kelompok kontrol EPEC umumnya mengalami diare tipe 5 pada Skala Bristol. Pada hari ke-1 sampai hari ke-3, terdapat tikus yang mengalami diare tipe 6 pada skala Bristol. Durasi diare untuk kelompok EPEC adalah 6 hari.

Tabel 4.5. Kejadian diare pada tikus dalam tujuh hari setelah infeksi EPEC Kelompok Jumlah tikus diare per total tikus pada hari

setelah infeksi

H-1 H-2 H-3 H-4 H-5 H-6 H-7 Kontrol negatif (KN) 1/9a 0/9 0/9 0/9 0/9 0/9 0/9 Kontrol EPEC (KE) 6/9ab 7/9ab 8/9ab 5/9a 3/9a 1/9a 0/9 Kontrol Probiotik (KP) 0/9 0/9 0/9 0/9 0/9 0/9 0/9 Probiotik prainfeksi (PA) 5/9ab 4/9a 3/9a 2/9a 1/9a 0/9 0/9 Probiotik pascainfeksi (PB) 6/9ab 5/9ab 5/9a 4/9a 2/9a 0/9 0/9

Keterangan:

a

Diare tipe 5 pada Bristol Stool Chart

b

Diare tipe 6 pada Bristol Stool Chart

Pada hari pertama, dari seluruh tikus kelompok kontrol negatif terdapat 1 ekor tikus yang mengalami diare tipe 5 pada skala Bristol dan hanya berlangsung 1 hari. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kontaminasi dari sumber lain seperti dari makanan. Tidak seekor pun tikus dari kelompok probiotik mengalami diare.

Kelompok tikus yang memperoleh probiotik prainfeksi dan pascainfeksi mengalami kejadian diare sejak hari pertama dengan jumlah 5 dan 6 ekor, secara berurutan. Jumlah kejadian diare serta tingkat keparahan serupa dengan kelompok kontrol EPEC. Pemberian probiotik pra- dan pascainfeksi tidak dapat mencegah individu tikus dari kejadian diare karena infeksi EPEC.

Kelompok prainfeksi EPEC telah menerima probiotik 7 hari sebelum infeksi EPEC. Selama 7 hari pemberian, probiotik melewati saluran, melakukan adhesi dan kolonisasi di usus. Kemampuan adhesi L. plantarum MB427 adalah sebesar 70% pada sel HCT-116. EPEC yang diinfeksikan juga melakukan adhesi pada sel epitel usus tikus. Kemampuan L. plantarum MB427 menghambat adhesi EPEC pada sel HCT-116 adalah sebesar 26%. Oleh karena itu adhesi EPEC masih dapat terjadi dan menyebabkan diare pada tikus meskipun sebelumnya tikus telah diberi kandidat probiotik. Pada kelompok pascainfeksi, kompetisi antara EPEC dan L. plantarum MB427 terjadi. Kemampuan L. plantarum MB427 berkompetisi dengan EPEC adalah sebesar 39% pada sel HCT-116. Pada kelompok pascainfeksi, diare juga masih dapat terjadi.

Pada hari kedua, berbeda dengan kelompok kontrol EPEC, jumlah kejadian diare pada kelompok yang mendapat probiotik prainfeksi dan pasca infeksi menurun sampai hari kelima. Durasi diare kedua kelompok sama yaitu 5 hari, lebih singkat dibandingkan durasi diare kelompok kontrol EPEC, 6 hari. Perbedaan durasi diare mengindikasikan bahwa pemberian probiotik dapat menurunkan durasi diare karena infeksi EPEC.

Pada hari kedua dan seterusnya, pemberian L. plantarum MB427 pada kelompok pra- dan pascainfeksi diteruskan. Kemampuan penggantian L. plantarum MB427 pada sel HCT-116 sebesar 34% dapat menyebabkan adhesi EPEC pada sel usus tikus berkurang. Penurunan adhesi EPEC karena efek penggantian oleh L.

plantarum MB427 mempercepat penyembuhan diare pada tikus yang mendapat pemberian L. plantarum MB427.

Jumlah tikus yang mengalami diare pada kelompok yang menerima probiotik prainfeksi, pada hari yang sama, lebih sedikit daripada jumlah tikus yang mengalami diare pada kelompok yang menerima probiotik pascainfeksi EPEC. Diare yang dialami oleh tikus pada kedua kelompok adalah diare tipe 5 pada skala Bristol. Pada hari pertama terdapat tikus yang mengalami diare tipe 6 pada skala Bristol pada kedua kelompok sedangkan pada hari kedua dan ketiga, terdapat tikus dari kelompok yang memperoleh probiotik pascainfeksi EPEC mengalami diare tipe 6 pada skala Bristol. Diare tipe 5 merupakan diare yang lebih ringan dibandingkan diare tipe 6 dalam skala Bristol. Berdasarkan tipe diare, kelompok yang menerima probiotik prainfeksi EPEC mengalami diare yang lebih ringan dibandingkan kelompok yang menerima probiotik pascainfeksi EPEC.

Dilihat dari jumlah hari yang terdapat kejadian diare (durasi diare), tipe diare yang dialami pada skala Bristol, dan jumlah tikus yang mengalami diare, kelompok kontrol EPEC mengalami diare yang paling parah, terlihat dari durasi diare 6 hari, jumlah tikus diare paling banyak (sampai 8 ekor tikus), selama 3 hari pertama terdapat tikus yang mengalami diare tipe 6 skala Bristol. Kelompok yang menerima probiotik prainfeksi mengalami diare selama 5 hari, jumlah tikus yang mengalami diare paling banyak adalah 5 ekor tikus, dan hanya pada hari pertama terdapat diare tipe 6 pada skala Bristol. Kelompok yang menerima probiotik pascainfeksi mengalami diare selama 5 hari, jumlah tikus yang mengalami diare terbanyak dalam satu hari adalah 6 ekor dan terdapat tikus yang mengalami diare tipe 6 pada skala Bristol pada hari kesatu sampai ketiga.

Dari beberapa kriteria di atas, kelompok yang menerima probiotik mengalami diare yang lebih singkat durasinya dan lebih ringan tipe diarenya sesuai skala Bristol dibandingkan dengan kelompok yang tidak menerima probiotik (kelompok kontrol EPEC). Kelompok yang menerima probiotik prainfeksi mengalami kejadian diare lebih sedikit, lebih singkat durasinya dan lebih ringan tipe diarenya sesuai skala Bristol dibandingkan dengan kelompok yang menerima probiotik pascainfeksi.

Hasil serupa juga dilaporkan Aslinar et al. (2014), diare yang lebih singkat juga terjadi pada tikus yang diberi konsumsi probiotik W. paramesenteroides yang diinfeksi EPEC dibandingkan dengan kelompok yang diinfeksi EPEC tetapi tidak menerima probiotik. Durasi diare juga dipengaruhi oleh dosis probiotik yang diberikan. Pemberian probiotik Bifidobacterium thermoacidophilum pada tikus sebelum diinfeksi E. coli dapat menurunkan tingkat keparahan diare dibandingkan dengan kelompok yang menerima probiotik setelah diinfeksi E. coli (Gagnon et al. 2006).

Pengaruh pemberian probiotik dan infeksi EPEC terhadap jumlah bakteri asam laktat pada feses dan isi sekum tikus

Pemberian probiotik pada tikus meningkatkan jumlah bakteri asam laktat pada feses dibandingkan kelompok kontrol negatif dan kelompok kontrol EPEC yang tidak menerima probiotik (Gambar 4.1). Pada ketiga kelompok yang menerima

probiotik, jumlah bakteri asam laktat pada feses lebih tinggi daripada kelompok yang tidak menerima probiotik. Jumlah bakteri asam laktat relatif stabil selama satu minggu perlakuan pada tiga kelompok yang menerima probiotik. Pada kelompok yang diinfeksi EPEC dan tidak menerima probiotik (kontrol EPEC), jumlah bakteri asam laktat pada feses, lebih rendah pada hari pertama setelah infeksi EPEC. Pada hari ketiga, jumlah bakteri asam laktat pada kelompok kontrol EPEC meningkat dan cenderung stabil selama satu minggu perlakuan. Pada kelompok yang menerima probiotik prainfeksi, jumlah bakteri asam laktat pada fesesnya tidak lebih tinggi daripada kelompok yang lain yang juga menerima probiotik.

Hasil penelitian Gagnon et al. (2006) menunjukkan, kelompok yang telah diberi probiotik sebelumnya, pada hari pertama setelah infeksi, jumlah bakteri asam laktat dalam feses lebih tinggi daripada kelompok yang menerima probiotik setelah infeksi E. coli. Akan tetapi pada hari berikutnya jumlah bakteri asam laktat pada feses mengalami penurunan.

Efektivitas pemberian probiotik tidak hanya terlihat dari jumlahnya di feses tetapi juga pada dampaknya terhadap diare yang dialami tikus. Tingginya jumlah bakteri asam laktat pada kelompok yang menerima probiotik berdampak pada diare yang lebih singkat durasinya, jumlah kejadian lebih sedikit, keparahan diare lebih ringan (Tabel 4.5) dibandingkan dengan kelompok yang mengalami infeksi EPEC tetapi tidak menerima probiotik.

Gambar 4.1. Perkembangan jumlah BAL pada tikus setelah diinfeksi EPEC 6.00 6.50 7.00 7.50 8.00 8.50 9.00 9.50 10.00 1 3 5 7 14 Lo g cf u /g

Hari setelah infeksi

Kontrol EPEC Kontrol Negatif Kontrol Probiotik Probiotik prainfeksi Probiotik pascainfeksi

Probiotik yang diberikan pada 3 kelompok tikus adalah sejumlah 109 cfu. Jumlah ini serupa dengan yang dipergunakan oleh Zhang et al. (2014). Jumlah itu terkonfirmasi dengan jumlah bakteri asam laktat pada ketiga kelompok yang menerima probiotik selama satu minggu pemberian yaitu antara 9.0-9.5 cfu/g, mengindikasikan kemampuan L. plantarum MB427 melewati rintangan pada saluran pencernaan.

Gambar 4.2. Jumlah bakteri asam laktat pada isi sekum tikus 7 hari setelah infeksi KN = kontrol negatif, KE = Kontrol EPEC, KP = kontrol probiotik, PA = probiotik prainfeksi, PB = probiotik pascainfeksi)

Adanya jumlah bakteri asam laktat yang tinggi pada feses kelompok yang menerima probiotik menunjukkan kemampuan strain L. plantarum MB427 bertahan melewati saluran pencernaan tikus. Hal ini juga mengkonfirmasi studi pada Emmawati et al. (2014a) yang menunjukkan bahwa strain L. plantarum MB427 termasuk di antara isolat asal mandai yang saat dipapar pada pH 2.0 dan garam empedu 0.5%, dapat mempertahankan jumlahnya kurang dari 1 log dibandingkan dengan jumlah awal. Jumlah bakteri asam laktat pada kelompok yang menerima probiotik menurun pada hari ke-14, satu minggu setelah pemberian mengindikasikan L. plantarum MB427 tidak dapat mempertahankan adhesi dan kolonisasi pada sel epitel usus setelah pemberian probiotik dihentikan. Studi pemberian probiotik umumnya menunjukkan bahwa secara umum probiotik tidak mengkolonisasi saluran pencernaan manusia secara permanen. Jika pemberian dihentikan, keberadaan probiotik tidak akan terdeteksi lebih lanjut di feses setelah 1-2 minggu. Tikus yang

Dokumen terkait