• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIMPULAN DAN SARAN

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN CALON PROFESOR (Halaman 55-98)

Adapun beberapa faktor yang menjadi pertimbangan untuk melaksanakan diversi berdasarkan hasil penelitian ialah sebagai berikut : Sifat dan kondisi perbuatan apakah ringan, sedang, atau berat. Latar belakang dari perbuatan dapat menjadi pertimbangan dilakukannya pelanggaran yang sebelumnya pernah dilakukan; telah merencanakannya dan mengambil bagian yang aktif; Sikap anak terhadap perbuatan tersebut; Reaksi orangtua dan/atau keluarga anak terhadap perbuatan tersebut; usul yang diberikan untuk melakukan perbaikan atau meminta maaf pada pihak yang merasa dirugikan; pandangan Gampong tentang metode penanganan yang ditawarkan; dan dampak sanksi atau hukuman yang sebelumnya pernah diterima terhadap anak. Diversi tujuannya adalah untuk menjauhkan anak dari proses peradilan, sehingga stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dapat terhindarkan. Hal ini dapat berdampak positif bagi perkembangan atau pertumbuhan fisik maupun psikis anak sehingga ketika berinteraksi di lingkungan sosialnya dapat berjalan dengan normal.

Bentuk-bentuk hasil kesepakatan diversi antara lain dapat berupa:

perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; penyerahan kembali kepada orang tua/wali; keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS selama 6 (enam) bulan, dan Pelayanan masyarakat, perawatan di Loka Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus, pembinaan di Mesjid untuk menghapal Al Qur’an. Implementasi Sanksi Terhadap Anak yang melakukan Jarimah Ikhtilat di Aceh dalam kaitannya dengan Penerapan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, telah sesuai dan terhadap anak tidak ada yang diproses sampai ke Mahkamah Syar’iyah.

Melihat dari penyidik di Wilayatuh Hisbah yang belum mempunyai penyidik khusus anak, perlu adanya peran pemerintah daerah untuk meningkatkan sumber daya manusia dan kapasitas para penegak hukum baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota dan perlu adanya koordinasi dalam penanganan kasus anak antara Wilayatul Hisbah, kepolisian, kejaksaan, Bapas, dan Mahkamah Syar’iyah

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qadir Audah, At-Tasyrī‟ al-Jinā‟i al-Islāmi Muqarranan bil Qanūnil Wad‟iy, ed. In, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (terj; Tim Tsalisah), jilid I, Kharisma ilmu, Bogor, 2007.

---, Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, (terj) Kharisma Ilmu, Bogor, 2008.

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2005 Abdul Mujieb, M. et. Al, Kamus Istilah Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994.

Abdul Qadir Audah, At-Tasyrī‟ al-Jinā‟i al-Islāmi Muqarranan bil Qanūnil Wad‟iy, ed. In, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (terj; Tim Tsalisah), jilid I, Kharisma ilmu, Bogor, 2007.

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (terj) Jilid II, PT.

Kharisma Ilmu, Bogor, 2008.

Abdurrahman I. Doi, Tindak Pidana dalam Syari'at Islam, alih bahasa Sulaiman Rasjid, Rineka Cipta, Jakarta, 1992.

Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Jakarta, 2007.

Al-Yasa’ Abubakar dan Marah Halim, Hukum Pidana Islam di Aceh, Cetakan Kedua, Dinas Syariat Islam Aceh, Banda Aceh, 2011.

Airi Safrijal, Hukum Pidana Islam/Jinayat dan Pelaksanaannya di Aceh, Bandar, Banda Aceh, 2017.

Alex Sobur, Komunikasi Orangtua dan Anak, Angkasa, Bandung,1991.

Al-Yasa’ Abubakar dan Marah Halim, Hukum Pidana Islam di Aceh , Cetakan Kedua, Dinas Syariat Islam Aceh, Banda Aceh, 2011.

Andi Akbar dkk, Membongkar Ingatan Berbagi Pengalaman Kumpulan Catatan Pengalaman, Pustaka Laha, Bandung, 2008.

Apong Herlina, dkk, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku Saku untuk Polisi, Unicef, Jakarta, 2004.

Bagir Manan, “Restorative Justice Dalam Perkara Anak”, Makalah disampaikan pada Workshop Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum dengan Pendekatan Restorative Justice, Bogor, Hotwl Salak, 5 April 2010.

Beniharmoni Harefa, Kapita Selekta Perlindungan Hukum Bagi Anak, Deeppublish, Sleman, 2016.

Dinas Syari’at Islam, Hukum Jinayat dan Hukum Acara Jinayat, Dinas Syari’at Islam Aceh, Banda Aceh, 2015.

Djazuli, H.A. Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, cet. 2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 1.

Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1992.

Hanafi, Asas-asas Hukum Islam, Cet. ke-3, Bulan Bintang, Jakarta, 1986.

Haliman, A., Hukum Pidana Syari'at Islam menurut AjaranAhl al-Sunnah, Bulan Bintang, Jakarta, 1991,

Heru Susetyo, dkk, Sismtim Pembinaan Narapidana Berdasarkan Prinsip Restorative Justice, BPHN, Jakarta, 2013.

Luis Ma’luf, al-Mujid., dalam Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Teras, Yogyakarta, 2009, hlm. 26.

Lutfi Assyaukani, Politik, Ham, dan Isu-isu Teknologi Fikih Kontemporer, Cet. ke-1 Pustaka Hidayah, Bandung , ke-1998, hlm. ke-164.

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Cet. ke-1, Logung, Yogyakarta, 2004.

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Refika Aditama, Bandung, 2009.

---, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2010.

---,, “Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam UU. No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”, Makalah disampaikan pada Workshop tentang Restorative Justice dalam Perspektif UU Sistem Peradilan Anak, Hotel Nasional, Gunung Sitoli, 21 Mei 2013.

Marsum, Jinayat (HPI),Cet. ke-2, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta,1989.

Mathew Lipman et. All, Islamic Criminal Law and Procedure, Praeger, New York, 1988

Mawardi, Al, Fiqh Islam, Jilid 7, Gema Ifsani, Jakarta, 2011.

Muhammad Abu ZahrakAl-Jarimah Wa al-`uqubah fi Fiqh a-Islam, Dar al-Fikri, Mesir, 1974.

Muhammad Siddiq dan Chairul Fahmi, Problematika Qanun Khalwat Analisis tehadap Perspektif Mahasiswa Aceh, AJRC, Banda Aceh, 2009.

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985.

Mustafa Kamal Pasha, Fiqh Islam, Majlis Tarjih PW Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, 2000.

Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Edisi Pertama, Graha Ilmu, Jakarta, 2010.

Nasir Djamil, M, Anak Bukan untuk Dihukum, Sinar Grafik, Jakarta Timur: 2013.

Olivia BR Sembiring, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum”, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2006.

Packer, Herbert L, The Limit of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California, 1968,

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Pustaka Setia, Bandung, 2000.

Salam Arief, Abd.., Fiqh Jinayah, Ideal, Yogyakarta, 1987

Sahetapy, J. E. Kausa Kejahatan, Pusat Studi Kriminologi, Fakultas Hukum UNAIR, 1979..

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (terj: Nor Hasanuddin), Pena Pundi Amal, Jakarta, 2006.

Sholahuddin, M., Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2006.

Rizanizarli, “Teori-teori Pemidanaan dan Perkembangannya”, Jurnal Ilmu Huku Kanun, No. 38 Tahun XIV April 2004.

--- “Penanganan Anak Yang Berkonflik dengan Hukum Secara Diversi dan Restorative Justice”, Pledoi Media Komunikasi dan Transformasi Hak Anak”, Edsi II, 2010, Yayasan Pusaka Indonesia, Medan, 2010.

Web/internet

http://hizbut-tahrir.or.id/2013/11/06/kejahatan-anak-tanggungjawab-siapa, iakses, 13 November 2014

DRAFT ARTIKEL PENELITIAN

MODEL PENANGANAN ANAK YANG MELAKUKAN JARIMAH DI ACEH

oleh Rizanizarli Faisal A. Rani

Ilyas Abstrak

Pasal 25 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat menyatakan “setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah ikhtilath, diancam dengan ‘Uqubat cambuk paling banyak 30 (tiga puluh) kali atau denda paling banyak 300 (tiga ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 30 (tiga puluh) bulan.

Kemudian Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan “jika ada anak yang melakukan tindak pidana wajib dalam penyelesaiannya mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif dan wajib diupayakan Diversi. Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Jinayat tidak mengatur secara tersendiri tentang cara penanganan perkara anak yang melakukan jarimah atau tindak pidana seperti ikhtilath, namun dalam Pasal 66 dinyatakan

”apabila anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun melakukan atau diduga melakukan jarimah, maka terhadap anak tersebut dilakukan pemeriksaan berpedoman kepada peraturan peraturan perundang-undangan mengenai peradilan anak”. Berdasarkan ketentuan Pasal 66 tersebut, maka penanganan Anak yang melakukan jarimah ikhtilath pemeriksaannya berpedoman pada Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu dengan mengutamkan penyelesaiannya secara keadilan restoratif dan diversi disemua tingkat pemeriksaan. Model penanganan anak yang melakukan jarimah ikhtilath yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah diserahkan ke pihak kepolisian untuk dilakukan secara diversi dan restorative justice dan ada yang sampai diselesaikan sampai ke pengadilan. Pihak kepolisian dalam menangani anak yang melakukan jarimah ikhtilat secara diversi belum terlebih dahulu meminta kepada Balai Pemasyarakatan untuk membuat Penelitian Kemasyarakatan yang dijadikan sebagai pedoman unntuk melakukan diversi. Sanksi yang diterapkan pembinaan di Lembaga Pembinaan Kesejahteraan Sosial, Rumah Sejahtera Darussa’adah, dan mengikuti pengajian.

Kata Kunci: Model, Penanganan, Anak, Jarimah

A. Pendahuluan

Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Hak-hak setiap anak wajib dijunjung tinggi tanpa anak diminta. Perlindungan Anak berkaitan erat dengan keadilan, karena dalam Peradilan Pidana Anak, rasa keadilan para penegak hukum yang menangani anak mempengaruhi tindakannya.

Anak tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara,1 serta memiliki hak asasi manusia yang sama dengan warga negara lainnya. Secara konstitusional hak anak telah dilindungi oleh negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) yaitu “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pengaturan tentang hak anak tersebut kemudian diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti;

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UUSPPA).

Perlindungannya yang diberikan terhadap anak termasuk anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) berbeda dengan orang dewasa, karena fase pertumbuhan jiwa anak pada umumnya masih labil. Secara biologis dan psikologis juga berbeda dengan orang dewasa dan rentan terhadap segala kondisi dan situasi yang dapat mempengaruhi perkembangan jiwanya. Anak juga individu yang masih dalam proses tumbuh kembang sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus dan mendasar.

Dalam Konvensi HAK Anak (Convention On The Rights Of The Child) disingkat dengan KHA dinyatakan “anak tidak boleh diperlakukan sama dengan orang dewasa, perampasan kemerdekaan, merupakan upaya terakhir (measure of the last resort).

Perampasan kemerdekaan sebagai upaya terakhir adalah perujudan dijaminnya hak anak untuk tidak dipisahkan dari orangtuanya.2

Realita yang ada, tindak pidana yang dilakukan oleh ABH seperti; pencurian, pencabulan, penganiayaan, penyalahgunaan narkotika yang diproses melalui peradilan pidana selalu berakhir di penjara, seperti kasus pencurian sandal yang dilalukan seorang anak berinisial AAL di Palu yang diproses secara hukum. Mulai dari proses penangkapan sampai saat mereka menjalani pidana di penjara, berbagai masalah seakan terus melilit mereka.3

Ketentuan KHA yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomorm36 Tahun 1990 kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Peratutan perundang-undangan tersebut semuanya mengemukakan prinsip- prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang dan menghargai partisipasi anak.

Provinsi Aceh mempunyai hukum yang berbeda dengan provinsi lain yang ada di Indonesia dalam penerapan Hukum Islamnya, ketentuan ini diatur dalam UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (selanjutnya disebut UUPA). Pemerintah Indonesia memberikan kewenangan kepada Pemerintahan Aceh dalam pelaksanakan Syariat Islamnya yang meliputi: ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum

1 Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Genta Publishing, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2011, hlm. 1.

2 Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Edisi Pertama, Graha Ilmu, Jakarta, 2010, hlm. 117.

3 Andi Akbar dkk, Membongkar Ingatan Berbagi Pengalaman Kumpulan Catatan Pengalaman,

perdata), jinayat (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam.

Oleh karenannya, setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib mentaati serta mengamalkan Syariat Islam dan setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh non-muslim wajib menghormati pelaksanaan Syari’at Islam. Hal ini sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 125 dan Pasal 126 UUPA.

Berbicara tentang hukum pidana Islam berarti membicarakan dan memahami ketentuan hukm Islam yang berkaitan dengan aspek kejahatan atau atau tindak pidana (kriminal) yaitu ketentuan yan telah ditetapkan oleh syara’ terhadap perbuatan “jarimah”

atau ”jinayah” yang dalam hukum positif disebut dengan tindak pidana.4

Secara yuridis notmatif, penyelenggara norma hukum di Aceh dilaksanakan dalam tiga sistem hukum, yaitu; hukum pidana positif, hukum Islam, dan Hukum Adat. Secara yuridis formal pelaksanaan syariat Islam di Aceh dalam sistem hukum nasional telah mendapat pengakuan dari konstitusi, sehingga penegaqkan hukum yang berdasarkan pada syariat Islam merupakan amanat dari UUD 1945.

Kekhususan Aceh di bidang hukum juga dapat dilihat dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, yang kemudian didukung oleh beberapa perangkat lembaga di Aceh, yakni Mahkamah Syar’iyah, Wilayatul Hisbah, Dinas Syariat Islam, Majelis Pemusyawaratan Ulama, dan istrumen Hukum berupa Qanun (Peraturan Daerah).

Pemberlakuan Qanun dan pelaksananan Syari’at Islam di Aceh merupakan amanat Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan secara tegas bahwa negara mengakui serta menghormati Pemerintah Daerah yang bersifat Khusus dan istimewa, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, yaitu “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang” dan ditegaskan pula dalam Pasal 29 ayat (2)

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”. Berdasarkan amanat UUD 1945 tersebut maka lahirlah beberapa Undang-Undang dan Qanun Aceh yang mengatur pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, salah satunya adalah Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Sepanjang yang berhubungan dengan tindak pidana (jarimah) yang diatur dalam Qanun No. 6 Tahun 2014, maka penyelesaian jarimah yang dilakukan oleh anak secara kompetensi absolut adalah merupakan kewenangan Mahkamah Syariah. Terkait diversi tujuannya adalah untuk menjauhkan anak dari proses peradilan, sehingga stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dapat terhindarkan.

Berdasarkan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat bagi mereka yang melakukan Jarimah di Aceh dapat dikenakan sanksi berupa; pidana cambuk, denda, penjara dan restitusi. Menurut Ahad Wardi, Jarimah artinya melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan, dan jalan yang lurus (agama). Perbuatan tersebut dilarang dan disebutkan dalam Qanun.5 Dasar dibuatnya Qanun ini adalah sebagai upaya preventif dan pada tingkat optimum remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan ‘uqubat cambuk dalam bentuk ‘uqubat ta’zir yang dapat berupa ‘uqubat cambuk dan ‘uqubat denda (gharamah). Agar lebih efektif pelaksanaan Qanun, di samping ada lembaga penyidikan dan penuntutan, juga ada lembaga Wilayatul Hisbah (WH).

Lembaga WH berwenang mengingatkan masyarakat berkaitan dengan aturan-aturan yang harus diikuti, cara menaati peraturan-aturan serta tindakan yang harus dihindari karena

4 Airi Safrijal, Hukum Pidana Islam/Jinayat dan Pelaksanaannya di Aceh, Bandar, Banda Aceh, 2017, hlm. 1.

bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Keberadaan WH dicantumkan dalam beberapa peraturan seperti, Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Pasal 14 Ayat (3) menyebutkan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat membentuk WH yang berwenang melakukan pengawasan. WH dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayah/lingkungan lainnya. Petugas WH diberikan kewenangan untuk menegur/menasehati pelanggar, bila tidak berubah, kasus pelanggaran dapat diserahkan ke penyidik.3

Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, Jarimah adalah ”perbuatan yang dilarang oleh syariat Islam yang dalam qanun ini diancam dengan uqubat Hudud dan/atau Tak’zir.

Penerapan pidana dalam hukum jinayat terhadap suatu jarimah atau tindak pidana dalam hukum sama, tergantung pada jenis jarimah yang dilakukan oleh seseorang. Jika dilihat dari sanksinya dapat dibagi dalam 3 (tiga) bentuk; yaitu hudud, qishash/diat dan hukuman ta’zir.

Jarimah ikhtilath merupakan suatu perbuatan mungkar yang dilarang dalam Syari’at Islam dan bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh.

Hukum jinayat menentukan bahwa anak yang belum berakal, maka hukum terhadap anak ditetapkan pada masa pelanggaran hukum terjadi. Sebelum baliqh seorang anak tidak dikenakan pertanggunjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukannya, melainkan anak tersebut mendapat hukuan dalam bentuk pengawasan, bukan hukum pidana. Jika anak dalam usia tersebut melakukan tindak pidana secara berulang-ulang, hal itu tidak dikatagorikan sebagai pengulangan kejahatan. Hukuman pengajaran itu, tidak berarti melepaskan dirinya dari hukuman ganti rugi sebagai bentuk pertanggungjawaban perdata.6 Larangan berasal dari ketentuan syara’ sehingga hanya ditujukan kepada orang yang berakal sehat. Oleh karena itu jika dilakukan oleh anak hukumnya tidak dapat diberlakukan.7

Anak yang belum dewasa hanya dikenakan ta’dib yaitu hukuman yang bersifat memberi pelajaran yang tidak sampai mempengaruhi jiwa anak.8

Dari perbuatan yang dapat terkena Jarimah dan uqubat dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Jinayat yang menjadi pembahasan penelitian ini adalah bagaimana Model Penanganan Anak Yang Melakukan Jarimah yang difokuskan pada anak yang melakukan Jarimah Ikhtilath. Menurut Pasal 1 angka 24 yang dimaksud dengan ikhtilath adalah perbuatan bermesraan seperti bercumbu, bersentuh-sentuhan, berpelukan dan berciuman antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri dengan kerelaan kedua belah pihak, baik pada tempat tertutup atau terbuka.

Dalam Islam sudah diatur sedemikian rupa bagaimana seharusnya bergaul, baik antara sesama jenis maupun dengan lawan jenis, antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok maupun individu dengan kelompok. Pergaulan merupakan kebutuhan sebagai makhluk sosial sesuai denagn batas-batas tertentu yang ada dalam hukum Islam.

Pada kenyataannya, jarimah ihktilath tidak hanya dilakukan oleh orang yang telah baligh, namun juga ada dilakukan oleh anak karena pengaruh pergaulan bebas.

Fenomena ini tidak asing lagi dan meresahkan masyarakat khususnya para orang tua.

Apalagi dalam penanganan kasus anak sebagai pelaku jarimah belum begitu jelas dalam aturan qanun jinayat.

Dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang mengatur tentang berbagai jarimah diantaranya adalah jarimah ikhtilath yang terdapat dalam Pasal 25

6 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, hlm. 398.

7 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Pusaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 51.

8 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, (terj) Kharisma Ilmu, Bogor, 2008, hlm.

ayat (1) disebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Ikhtilath, diancam dengan ‘Uqubat cambuk paling banyak 30 (tiga puluh) kali atau denda paling banyak 300 (tiga ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 30 (tiga puluh) bulan”.

Dalam Pasal 66 Qanun Jinayat dinyatakan “Apabila anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun melakukan atau diduga melakukan Jarimah, maka terhadap Anak tersebut dilakukan pemeriksaan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan mengenai peradilan pidana anak”. Untuk pelaksanaan pidana bagi anak yang melakukan jarimah diatur dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat. Dalam Pasal 37 ayat (1) yang dinyatakan

“pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak wajib diupayakan restorative justice melalui diversi terhadap anak melakukan jarimah”.

Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Jinayat di dalam Bab IX diatur tentang Tata Pelaksanaan Uqubat terhadap anak sebagaimana dinayatakan dalam Pasal 37 yaitu:

(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak wajib

diupayakan restorative justice melalui diversi terhadap anak melakukan jarimah.

(2) Hakim yang menangani perkara anak merupakan hakim anak, yang bersertifikasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

(3) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Anak yang telah berumur 12 (dua belas) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.

(4) Diversi tidak dapat diberikan kepada :

a. Anak yang melakukan pengulangan jarimah.

b. Anak yang melakukan Jarimah dengan ancaman uqubat cambuk diatas 84 (delapan puluh empat) kali atau denda 840 (delapan ratus puluh empat) gram emas murni atau penjara 84 bulan (delapan puluh empat).

c. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Mekanisme penanganan anak pelaku Jarimah, diproses berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, dinyatakan Jarimah dan Uqubat jika dilakukan oleh anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun melakukan atau diduga melakukan Jarimah, maka terhadap anak tersebut dilakukan pemeriksaan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan mengenai peradilan anak.

Pasal 67 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Jinayat menyebutkan bahwa

“apabila anak yang telah mencapai umur 12 (duabelas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas Tahun) atau belum menikah melakukan Jarimah, maka terhadap anak tersebut dapat dikenakan “Uqubat” paling banyak 1/3 (satu pertiga) dari “Uqubat” yang telah ditentukan bagi orang dewasa dan/atau dikembalikan kepada orang tuanya/walinya atau ditempatkan ditempat yang disediakan oleh Pemerintahan Kabupaten/Kota.

Hukum acara yang digunakan dalam mekanisme penanganan anak pelaku Jarimah Ikhtilath adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.Bagaimana aplikasi mekanisme penanganan anak yang demikian, apakah sesuai dengan hukum Islam masih menjadi tanda tanya. Karena Qanun Jinayat masih memberlakukan bagi pelaku Jarimah Iktilath anak dengan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan yang dimaksud dengan anak berhadapan dengan hukum dikatagorikan dalam tiga kelompok yaitu; anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban dan anak yang

menjadi saksi. Anak yang dapat diproses adalah anak yang telah berumur 12 tahun namun belum mencapai 18 tahun, sedangkan mereka yang dapat ditangkap, ditahan, dan dijatuhkan pidana perjara adalah mereka yang telah berumur 14 tahun.

Dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Salah satu upaya perlindungan hukum terhadap anak yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini adalah penyelesaian secara diversi.

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa “diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana”. Pasal 8 ayat (1) juga menjelaskan bahwa proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.

Pemberian diversi dimaksudkan agar menghindari anak dari efek negatif yang akan mengganggu perkembangan dan jiwa anak karena keterlibatannya didalam proses peradilan pidana.

Berdasarkan penelitian di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Aceh, Balai Pemasyarakatan terhitung dari tahun 2017-2019 terdapat delapan kasus jarimah iktilat diselesaiakan secara diversi dan diajukan ke Mahkamah Syar’iyah.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang Model Penanganan Anak yang Melanggar Jarimah Ikhtilath di Aceh, maka dapat ditarik permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Model Penanganan Anak Yang Melakukan Jarimah Ikhtilath?

2. Bagaimana Implementasi Sanksi Terhadap Anak Yang Melakukan Jarimah Ikhtilth dalam kaitannya dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

B. PEMBAHASAN

1. Penanganan Anak Yang Melakukan Jarimah Ikhtilath

Dalam hal penanganan Anak yang melakukan jarimah ikhtilath Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah tidak mengatur secara tersendiri, namun merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk anak. Dalam Pasal 66 dinyatakan bahwa “pemeriksaan anak yang melakukan jarimah pemeriksaannya berpedoman pada peraturan sistem peradilan anak. Adapun peraturan yang menangangi penanganan Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) atau anak yang melakukan jarimah ikhtilath maka akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam ketentuan Undang-undang tersebut untuk penanganan anak yang melakukan tindak pidana penyelesaiannya diutamaka secara diversi. Pelaksanaan diversi ini dimaksudkan untuk menghindari anak dari efek negatif yang akan ditimbulkan apabila dia berhadapan dengan proses peradilan pidana. Dalam penyelesaian kasus anak melalui jalur diversi ini juga harus dipertimbangkan beberapa hal seperti kepentingan masa depan bagi anak, hak anak untuk mendapat bantuan hukum serta hak pendidikan bagi anak, tidak boleh dilakukan penyidikan terhadap kasus yang melibatkan anak pada saat jam sekolah karena itu akan mengganggu pendidikannya.9

Perlindungan anak merupakan upaya yang harus dilakukan untuk mendukung terlaksananya hak-hak dan kewajiban anak itu sendiri. Oleh karena itu, seorang anak

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN CALON PROFESOR (Halaman 55-98)

Dokumen terkait