• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN CALON PROFESOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LAPORAN AKHIR PENELITIAN CALON PROFESOR"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN CALON PROFESOR

MODEL PENANGANAN ANAK YANG MELAKUKAN JARIMAH DI ACEH

Tim Peneliti

Dr. Rizanizarli, S.H., M.H. (NIP.196011151989031002)

Prof. Dr. Faisal A.Rani, S.H., M.Hum. (NIP. 195908151987031001) Dr.Ilyas, S.H., M.Hum. (NIP.196504051991021001)

Dibiayai oleh:

Universitas Syiah Kuala

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan

Pelaksanaan Penelitian Calon Profesor Tahun Anggaran 2020 Nomor: 227/UN11/SPK/PNBP/2020 tanggal 18 Maret 2020

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA

OKTOBER, 2020

(2)
(3)

RINGKASAN

Pasal 25 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat menyatakan “setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah ikhtilath, diancam dengan ‘Uqubat cambuk paling banyak 30 (tiga puluh) kali atau denda paling banyak 300 (tiga ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 30 (tiga puluh) bulan.

Kemudian Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan “jika ada anak yang melakukan tindak pidana wajib dalam penyelesaiannya mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif dan wajib diupayakan Diversi. Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Jinayat tidak mengatur secara tersendiri tentang cara penanganan perkara anak yang melakukan jarimah atau tindak pidana seperti ikhtilath, namun dalam Pasal 66 dinyatakan

”apabila anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun melakukan atau diduga melakukan jarimah, maka terhadap anak tersebut dilakukan pemeriksaan berpedoman kepada peraturan peraturan perundang-undangan mengenai peradilan anak”. Berdasarkan ketentuan Pasal 66 tersebut, maka penanganan Anak yang melakukan jarimah ikhtilath pemeriksaannya berpedoman pada Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu dengan mengutamkan penyelesaiannya secara keadilan restoratif dan diversi disemua tingkat pemeriksaan. Model penanganan anak yang melakukan jarimah ikhtilath yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah diserahkan ke pihak kepolisian untuk dilakukan secara diversi dan restorative justice dan ada yang sampai diselesaikan sampai ke pengadilan. Pihak kepolisian dalam menangani anak yang melakukan jarimah ikhtilat secara diversi belum terlebih dahulu meminta kepada Balai Pemasyarakatan untuk membuat Penelitian Kemasyarakatan yang dijadikan sebagai pedoman unntuk melakukan diversi. Sanksi yang diterapkan pembinaan di Lembaga Pembinaan Kesejahteraan Sosial, Rumah Sejahtera Darussa’adah, dan mengikuti pengajian.

Kata Kunci: Model, Penanganan, Anak, Jarimah

(4)

PRAKATA

Alhamdulillah puji Syukur kehadirat Allah Swt berkat kesehatan yang diberikan Tim Peneliti dapat menyelesaika penelitian dengan judul “Model Penanganan Anak Yang Melakukan Jarimah di Aceh” dapat diselesaikan. Penelitian yang dibiayai oleh Universitas Syiah Kuala ini dilaksanakan oleh Tim Peneliti yang diketuai oleh Dr. Rizanizarli, S.H., M.H., Prof. Dr. Faisal A. Rani, S.H., M.Hum.

(Anggota Peneliti 1) dan Dr. Ilyas, S.H.,M.Hum. (Anggota Peneliti 2).

Penelitian ini tidak akan terlaksanaka dan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak, yang telah memberikan data, sumbang pikir sehingga pelitian dapat berjalan dengan baik dan dapat diselesaikannya laporan hasil penelitian. Pada kesempatan ini Tim Peneliti mengucapkan trima kasih terutama kepada:

1. Ketua Lembaga Penelitian Unsyiah beserta staf, yang telah mempercayakan kepada peneliti untuk melakukan penelitian;

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala;

3. Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh;

4. Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh;

5. Kepala Satpol PP/Wilayatul Hisbah Aceh 6. Ketua Pengadilan Negeri Lhokseumawe;

7. Kepala Kejaksaan Negeri Pidie;

8. Kanit PPA Polda Aceh;

9. Kepala Satpol PP/Wilayatul Bireuen; dan

10. Kepala Balai Pemasyarakatan Kelas II Banda Aceh

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu, demi penyempurnaan laporan penelitian ini, peneliti memohon masukan dan kritik yang konstruktif bagi penyempurnaan di masa mendatang.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Darussalam, Oktober 2020

Tim Peneliti,

(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL HALAMAN PENGESAHAN RINGKASAN

PRAKATA DAFTAR ISI

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... 12

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN... 25

BAB 4. METODE PENELITIAN…………...………..….…………... 26

BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI……..…..………....… 27

BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN ………...………...….…….… 50

DAFTAR PUSTAKA... 52 LAMPIRAN

Draft Artikel Ilmiah

Personalia Tenaga Peneliti Beserta Kualifikasinya Photo dan Gambar Aktifitas

(6)

BAB 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, maka wajib memberi perlindungan bagi setiap warga negaranya termasuk perlindungan hukum bagi anak. Sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, maka tugas negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi setiap warganya. Oleh karenanya negara kewajiban melindungi anak untukmmemnuhi hak-haknya, karena anak sebagai bagian dari masa depan bangsa. Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Hak-hak setiap anak wajib dijunjung tinggi tanpa anak diminta. Perlindungan Anak berkaitan erat dengan keadilan, karena dalam Peradilan Pidana Anak, rasa keadilan para penegak hukum yang menangani anak mempengaruhi tindakannya.

Anak tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara,1 serta memiliki hak asasi manusia yang sama dengan warga negara lainnya. Secara konstitusional hak anak telah dilindungi oleh negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) yaitu “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pengaturan tentang hak anak tersebut kemudian diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UUSPPA).

Perlindungannya yang diberikan terhadap anak termasuk anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) berbeda dengan orang dewasa, karena fase pertumbuhan jiwa anak pada umumnya masih labil. Secara biologis dan

1 Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Genta Publishing, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2011, hlm. 1.

(7)

psikologis juga berbeda dengan orang dewasa dan rentan terhadap segala kondisi dan situasi yang dapat mempengaruhi perkembangan jiwanya. Anak merupakan individu yang masih dalam proses tumbuh kembang sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus dan mendasar. Dalam Konvensi HAK Anak (Convention On The Rights Of The Child) disingkat dengan KHA dinyatakan

“anak tidak boleh diperlakukan sama dengan orang dewasa, perampasan kemerdekaan, merupakan upaya terakhir (measure of the last resort). Perampasan kemerdekaan sebagai upaya terakhir adalah perujudan dijaminnya hak anak untuk tidak dipisahkan dari orangtuanya.2

Realita yang ada, tindak pidana yang dilakukan oleh ABH seperti;

pencurian, pencabulan, penganiayaan, penyalahgunaan narkotika yang diproses melalui peradilan pidana selalu berakhir di penjara, seperti kasus pencurian sandal yang dilalukan seorang anak berinisial AAL di Palu yang diproses secara hukum. Mulai dari proses penangkapan sampai saat mereka menjalani pidana di penjara, berbagai masalah seakan terus melilit mereka.3

Ketentuan KHA yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomorm36 Tahun 1990 kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Peratutan perundang-undangan tersebut semuanya mengemukakan prinsip- prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang dan menghargai partisipasi anak.

Provinsi Aceh mempunyai hukum yang berbeda dengan provinsi lain yang ada di Indonesia dalam penerapan Hukum Islamnya, ketentuan ini diatur dalam UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (selanjutnya disebut

2 Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Edisi Pertama, Graha Ilmu, Jakarta, 2010, hlm. 117.

3 Andi Akbar dkk, Membongkar Ingatan Berbagi Pengalaman Kumpulan Catatan Pengalaman, Pustaka Laha, Bandung, 2008, hlm. 61.

(8)

UUPA). Pemerintah Indonesia memberikan kewenangan kepada Pemerintahan Aceh dalam pelaksanakan Syariat Islamnya yang meliputi: ibadah, ahwal al- syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayat (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam.

Oleh karenannya, setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib mentaati serta mengamalkan Syariat Islam dan setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh non-muslim wajib menghormati pelaksanaan Syari’at Islam.

Hal ini sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 125 dan Pasal 126 UUPA. Berbicara tentang hukum pidana Islam berarti membicarakan dan memahami ketentuan hukm Islam yang berkaitan dengan aspek kejahatan atau atau tindak pidana (kriminal) yaitu ketentuan yan telah ditetapkan oleh syara’

terhadap perbuatan “jarimah” atau ”jinayah” yang dalam hukum positif disebut dengan tindak pidana.4

Secara yuridis notmatif, penyelenggara norma hukum di Aceh dilaksanakan dalam tiga sistem hukum, yaitu; hukum pidana positif, hukum Islam, dan Hukum Adat. Secara yuridis formal pelaksanaan syariat Islam di Aceh dalam sistem hukum nasional telah mendapat pengakuan dari konstitusi, sehingga penegaqkan hukum yang berdasarkan pada syariat Islam merupakan amanat dari UUD 1945.

Kekhususan Aceh di bidang hukum juga dapat dilihat dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, yang kemudian didukung oleh beberapa perangkat lembaga di Aceh, yakni Mahkamah Syar’iyah, Wilayatul Hisbah, Dinas Syariat Islam, Majelis Pemusyawaratan Ulama, dan istrumen Hukum berupa Qanun (Peraturan Daerah).

Pemberlakuan Qanun dan pelaksananan Syari’at Islam di Aceh merupakan amanat Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan secara

4 Airi Safrijal, Hukum Pidana Islam/Jinayat dan Pelaksanaannya di Aceh, Bandar, Banda Aceh, 2017, hlm. 1.

(9)

tegas bahwa negara mengakui serta menghormati Pemerintah Daerah yang bersifat Khusus dan istimewa, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, yaitu “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang” dan ditegaskan pula dalam Pasal 29 ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”. Berdasarkan amanat UUD 1945 tersebut maka lahirlah beberapa Undang-Undang dan Qanun Aceh yang mengatur pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, salah satunya adalah Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Sepanjang yang berhubungan dengan tindak pidana (jarimah) yang diatur dalam Qanun No. 6 Tahun 2014, maka penyelesaian jarimah anak secara kompetensi absolut adalah merupakan kewenangan Mahkamah Syariah. Terkait diversi tujuannya adalah untuk menjauhkan anak dari proses peradilan, sehingga stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dapat terhindarkan.

Penyelesaian perkara jinayah merupakan kewenangan Mahkamah Syar’iyah yang tidak dimiliki oleh Pengadilan Agama di luar wilayah yurisdiksi Provinsi Aceh

Berdasarkan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat bagi mereka yang melakukan Jarimah di Aceh dapat dikenakan sanksi berupa;

pidana cambuk, denda, penjara dan restitusi. Menurut Ahad Wardi, Jarimah artinya melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan, dan jalan yang lurus (agama). Perbuatan tersebut dilarang dan disebutkan dalam Qanun.5 Dasar dibuatnya Qanun ini adalah sebagai upaya preventif dan pada tingkat optimum remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan

‘uqubat cambuk dalam bentuk ‘uqubat ta’zir yang dapat berupa ‘uqubat cambuk dan ‘uqubat denda (gharamah). Agar lebih efektif pelaksanaan Qanun, di samping ada lembaga penyidikan dan penuntutan, juga ada lembaga Wilayatul Hisbah (WH).

5 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm.9.

(10)

Lembaga WH berwenang mengingatkan masyarakat berkaitan dengan aturan-aturan yang harus diikuti, cara menaati peraturan serta tindakan yang harus dihindari karena bertentangan dengan peraturan yang berlaku.

Keberadaan WH dicantumkan dalam beberapa peraturan seperti, Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Pasal 14 Ayat (3) menyebutkan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat membentuk WH yang berwenang melakukan pengawasan. WH dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayah/lingkungan lainnya. Petugas WH diberikan kewenangan untuk menegur/menasehati pelanggar, bila tidak berubah, kasus pelanggaran dapat diserahkan ke penyidik.3

Wilayatul Hisbah memiliki 4 tugas penting yaitu:

1. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pelanggaran peraturan perundang-undangan dibidang Syariat Islam (meliputi: pemberitahuan kepada masyarakat tentang adanya Syariat Islam dan menemukan adanya perbuatan pelanggaran.

2. Melakukan pembinaan (menegur, memperingati, menasehati, mengertikan, menyelesaikan perkara melalui rapat adat gampong, serta memberitahukan pihak terkait) dan advokasi spiritual terhadap setiap orang yang berdasarkan bukti permulaan patut diduga telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Syariat Islam.

3. Pada saat tugas pembinaan mulai dilakukan musthab perlu diberitahukan hal itu kepada penyidik terdekat atau kepada keuchik dan keluarga pelaku.

4. Melimpahkan perkara ke penyidik. 4

Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, Jarimah adalah ”perbuatan yang dilarang oleh syariat Islam yang dalam qanun ini diancam dengan uqubat Hudud dan/atau Tak’zir. Uqubat adalah hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku Jarimah.

Hudud adalah jenis Uqubat yang bentuk dan besarnya telah ditentukan di dalam qanun secara tegas dan ta‟zir adalah jenis uqubat yang telah ditentukan dalam qanun yang bentuknya bersifat pilihan dan besarannya dalam batas

(11)

tertinggi dan/atau terendah.6 Penerapan pidana dalam hukum jinayat terhadap suatu jarimah atau tindak pidana dalam hukum sama, tergantung pada jenis jarimah yang dilakukan oleh seseorang. Jika dilihat dari sanksinya dapat dibagi dalam 3 (tiga) bentuk; yaitu hudud, qishash/diat dan hukuman ta’zir.

Jarimah ikhtilath merupakan suatu perbuatan mungkar yang dilarang dalam Syari’at Islam dan bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh. Hukum jinayat menentukan bahwa anak yang belum berakal, maka hukum terhadap anak ditetapkan pada masa pelanggaran hukum terjadi. Sebelum baliqh seorang anak tidak dikenakan pertanggunjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukannya, melainkan anak tersebut mendapat hukuan dalam bentuk pengawasan, bukan hukum pidana. Jika anak dalam usia tersebut melakukan tindak pidana secara berulang-ulang, hal itu tidak dikatagorikan sebagai pengulangan kejahatan. Hukuman pengajaran itu, tidak berarti melepaskan dirinya dari hukuman ganti rugi sebagai bentuk pertanggungjawaban perdata.7 Larangan berasal dari ketentuan syara’ sehingga hanya ditujukan kepada orang yang berakal sehat. Oleh karena itu jika dilakukan oleh anak hukumnya tidak dapat diberlakukan.8

Anak yang belum dewasa hanya dikenakan ta’dib yaitu hukuman yang bersifat memberi pelajaran yang tidak sampai mempengaruhi jiwa anak.9

Dari perbuatan yang dapat terkena Jarimah dan uqubat dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Jinayat yang menjadi pembahasan penelitian ini adalah bagaimana Model Penanganan Anak Yang Melakukan Jarimah yang difokuskan pada anak yang melakukan Jarimah Ikhtilath. Menurut Pasal 1 angka 24 yang dimaksud dengan ikhtilath adalah perbuatan bermesraan seperti bercumbu, bersentuh-sentuhan, berpelukan dan berciuman antara laki-

6 Dinas Syari’at Islam, Hukum Jinayat dan Hukum Acara Jinayat, Dinas Syari’at Islam Aceh, Banda Aceh, 2015, hlm.7.

7 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, hlm. 398.

8 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Pusaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 51.

9 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, (terj) Kharisma Ilmu, Bogor, 2008, hlm. 257.

(12)

laki dan perempuan yang bukan suami isteri dengan kerelaan kedua belah pihak, baik pada tempat tertutup atau terbuka.

Jika ditinjau secara lebih rinci dan mendalam, perbuatan ikhtilath dilakukan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat. Ikhtilath merupakan sebuah dosa besar menurut hukum Islam dan hukumnya adalah haram. Selain hukumnya haram, ikhtilath juga sangat berbahaya karena bisa menjadi jalan utama untuk melakukan kemaksiatan yang lain yang dapat merusak akhlak dan moral seperti perzinaan dan pelecehan seksual. Pada hakikatnya, dosa besar bermula dari dosa yang kecil. Hukum Islam mengatur perilaku manusia dalam dua dimensi, yaitu hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya dan hubungan horizontal atau hubungan manusia dengan sesamanya makhluk ciptaan Allah SWT.10

Dalam Islam sudah diatur sedemikian rupa bagaimana seharusnya bergaul, baik antara sesama jenis maupun dengan lawan jenis, antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok maupun individu dengan kelompok. Pergaulan merupakan kebutuhan sebagai makhluk sosial sesuai denagn batas-batas tertentu yang ada dalam hukum Islam.

Akan tetapi pada saat ini sudah menjadi hal yang biasa antara laki-laki dengan perempuan, bahkan anak-anak berpacaran dan memperlihatkan emesraan mereka di tempat umum. Hal ini mereka lakukan karena kebiasaan yang sering mereka lihat di lingkungan sekitar. Mereka menjadi berani melakukan hal-hal yang melewati batas, karena hal tersebut sudah dianggap biasa dalam kehidupan sehari-hari.

Pada kenyataannya, jarimah ihktilath tidak hanya dilakukan oleh orang yang telah baligh, namun juga ada dilakukan oleh anak karena pengaruh pergaulan bebas. Fenomena ini tidak asing lagi dan meresahkan masyarakat khususnya para orang tua. Apalagi dalam penanganan kasus anak sebagai pelaku jarimah belum begitu jelas dalam aturan qanun jinayat.

10 Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, hlm. 58.

(13)

Dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang mengatur tentang berbagai jarimah diantaranya adalah jarimah ikhtilath yang terdapat dalam Pasal 25 ayat (1) disebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Ikhtilath, diancam dengan ‘Uqubat cambuk paling banyak 30 (tiga puluh) kali atau denda paling banyak 300 (tiga ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 30 (tiga puluh) bulan”.

Dalam Pasal 66 Qanun Jinayat dinyatakan “Apabila anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun melakukan atau diduga melakukan Jarimah, maka terhadap Anak tersebut dilakukan pemeriksaan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan mengenai peradilan pidana anak”. Untuk pelaksanaan pidana bagi anak yang melakukan jarimah diatur dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat. Dalam Pasal 37 ayat (1) yang dinyatakan “pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak wajib diupayakan restorative justice melalui diversi terhadap anak melakukan jarimah”.

Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Jinayat di dalam Bab IX diatur tentang Tata Pelaksanaan Uqubat terhadap anak sebagaimana dinayatakan dalam Pasal 37 yaitu:

(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak

wajib diupayakan restorative justice melalui diversi terhadap anak melakukan jarimah.

(2) Hakim yang menangani perkara anak merupakan hakim anak, yang bersertifikasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang- undangan.

(3) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Anak yang telah berumur 12 (dua belas) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.

(4) Diversi tidak dapat diberikan kepada :

a. Anak yang melakukan pengulangan jarimah.

b. Anak yang melakukan Jarimah dengan ancaman uqubat cambuk diatas 84 (delapan puluh empat) kali atau denda 840 (delapan ratus puluh empat) gram emas murni atau penjara 84 bulan (delapan puluh empat).

(14)

c. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Mekanisme penanganan anak pelaku Jarimah, diproses berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, dinyatakan Jarimah dan

Uqubat jika dilakukan oleh anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun melakukan atau diduga melakukan Jarimah, maka terhadap anak tersebut dilakukan pemeriksaan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan mengenai peradilan anak.

Pasal 67 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Jinayat menyebutkan bahwa “apabila anak yang telah mencapai umur 12 (duabelas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas Tahun) atau belum menikah melakukan Jarimah, maka terhadap anak tersebut dapat dikenakan “Uqubat” paling banyak 1/3 (satu pertiga) dari “Uqubat” yang telah ditentukan bagi orang dewasa dan/atau dikembalikan kepada orang tuanya/walinya atau ditempatkan ditempat yang disediakan oleh Pemerintahan Kabupaten/Kota. Bagaimana aplikasi mekanisme penanganan anak yang demikian, apakah sesuai dengan hukum Islam masih menjadi tanda tanya. Karena Qanun Jinayat masih memberlakukan bagi pelaku Jarimah Iktilath anak dengan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan yang dimaksud dengan anak berhadapan dengan hukum dikatagorikan dalam tiga kelompok yaitu; anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban dan anak yang menjadi saksi. Anak yang dapat diproses adalah anak yang telah berumur 12 tahun namun belum mencapai 18 tahun, sedangkan mereka yang dapat ditangkap, ditahan, dan dijatuhkan pidana perjara adalah mereka yang telah berumur 14 tahun.

Dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang bermasalah dengan hukum telah diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain

(15)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Salah satu upaya perlindungan hukum terhadap anak yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini adalah penyelesaian secara diversi.

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa “diversi adalah pengalihan

penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana”. Pasal 8 ayat (1) juga menjelaskan bahwa proses

diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.

Pemberian diversi dimaksudkan agar menghindari anak dari efek negatif yang akan mengganggu perkembangan dan jiwa anak karena keterlibatannya didalam proses peradilan pidana. Berdasarkan penelitian di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Aceh, Balai Pemasyarakatan terhitung dari tahun 2017-2019 terdapat delapan kasus jarimah iktilat diselesaiakan secara diversi dan diajukan ke Mahkamah Syar’iyah.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang Model Penanganan Anak yang Melanggar Jarimah Ikhtilath di Aceh, maka dapat ditarik permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Model Penanganan Anak Yang Melakukan Jarimah Ikhtilath?

2. Bagaimana Implementasi Sanksi Terhadap Anak Yang Melakukan Jarimah Ikhtilth dalam kaitannya dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

B. Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

(16)

1. Mengungkapkan secara jelas Model Penanganan Anak Yang Melakukan Jarimah Ikhtilath.

2. Mengungkapkan Implemetasi Sanksi Terhadap Anak Yang Melakukan Jarimah Ikhtilath dalam kaitannya dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

C. Urgensi (Keutamaan) Penelitian

Keutamaan dari penelitian ini adalah penerapan model penanganan yang melakukan jarimah ikhtilath yang dirujuk pada Pasal 66 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Konsep-konsep penanganan tersebut diperlukan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap anak sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem Peradian Pidana Anak, karena anak adalah generasi penerus bangsa yang sangat penting eksistensinya.

Secara praktis, penelitian ini dapat membantu pemerintah Aceh khususnya dan pemerintah pada umumnya dalam memberikan kontribusi dalam penanganan yang terbaik bagi anak yang melanggar hukum jinayat sehingga hak- hak anak dapat dipenuhi dengan baik.

D. Luaran

Hasil Penelitian akan dipublikasikan dalam bentuk artikel pada jurnal internasional bereputasi atau jurnal internasional (Scopus). Di samping itu target luaran tambahan dari penelitian adalah Buku Teks Sistem Peradiloan Pidana Anak serta Hak Kekayaan Intelektual berupa Hak Cipta terdaftar tahun 2021.

Tabel 1. Rencana Target Capaian Tahunan

No 1

Jenis Luaran Indikator Capaian TS TS+1 TS+2

1 Publikasi ilmiah Internasional Draft

Nasional Terakreditasi 2 Pemakalah dalam temu

ilmiah Internasional

Nasional 3 Invited Speaker

dalam temu ilmiah

Internasional Nasional 4 Visiting Lecturer Internasional 5 Hak Kekayaan Paten

(17)

Intelektual (HKI)

Paten sederhana

Hak Cipta

Merek dagang Rahasia dagang Desain Produk Industri Indikasi Geografis

Perlindungan Varietas Tanaman Perlindungan Topografi Sirkuit Terpadu 6 Teknologi Tepat Guna

7 Model/Purwarupa/Desain/Karya seni/ Rekayasa Sosial 8 Buku Ajar (ISBN)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut hukum pidana maupun hukum perdata. Secara internasional definisi anak tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United Nation Convention on The Right of The Child Tahun 1989.

Aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice ("The Beijing Rule”) Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948.

Secara nasional definisi anak menurut perundang-undangan, diantaranya menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum menikah. Ada juga yang mengatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 menjelaskan anak adalah “seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan, sedangkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menjelaskan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Pasal 1 angka 3 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

(18)

Anak sebagai pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, dan memerlukan perlindungan. 11

Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang melakukan kenakalan, yang kemudian akan disebut sebagai kenakalan anak, yaitu kejahatan pada umumnya dan prilaku anak yang berkonflik dengan hukum atau anak yang melakukan kejahatan pada khusunya.

Ada 2 (dua) katagori prilaku anak yang membuat anak harus berhadapan dengan hukum, yaitu:12

1. Status offence adalah prilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;

2. Juvenile Deliquency adalah prilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.

Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency.Juvenile, artinya terabaikan/mengabaikan yang diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain. Pada umumnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak bukan didasarkan pada motif jahat. Suatu perbuatan dikatakan deliquency apabila perbuatan- perbuatan tersebut bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat dimana anak 18 hidup atau suatu perbuatan yang anti sosial yang didalamnya terkandung unsurunsur anti normatif.

Di dalam Penjelasan Umum UU No. 11 Tahun 2012 disebutkan “untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan Hukum agar Anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesepakatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Namun dalam pelaksanaannya anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap anak yang Berkonflik dengan Hukum cenderung merugikan Anak.Untuk

11 Apong Herlina, dkk, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku Saku untuk Polisi, Unicef, Jakarta, 2004, hlm.17.

12 M Nasir Djamil, Anak Bukan untuk Dihukum, Sinar Grafik, Jakarta Timur: 2013, hlm. 33.

(19)

menghindari efek atau dampak Negatif proses peradilan pidana terhadap Anak ini, United Nations Standard Minimum Rules For the Administrator of Juvenile (The Beijing Rules) telah memberikan pedoman sebagai upaya menghindari efek negatif tersebut, yaitu dengan memberikan kewenangan kepada aparat penegak Hukum mengambil tindakan kebijakan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar Anak dengan tidak mengambil jalan formal, antara lain menghentikan atau tidak meneruskan atau melepaskan dari proses peradilan atau mengembalikan atau menyerahkan kepada Masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya.

Perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UUSPPA) secara umum berlandaskan prinsip Restorative Justice yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Berdasarkan penjelasan UUSPPA, perlindungan khusus juga didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak.

Pengaturan secara tegas mengenai Restorative Justice dan diversi adalah untuk menghindari dan menjatuhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmasisasi terhadap anak, dan diharapkan anak kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu, diperlukan suatu peran sebagai suatu unit dari lembaga negara dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Menurut Pasal 1 angka 7 UU No. 11 Tahun 2012, diversi adalah “pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses d iluar peradilan pidana”. Dalam artian bahwa pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka atau terdakwah atau pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, pembimbing kemasyarakatan anak, polisi, jaksa, atau hakim.

(20)

Berdasarkan United Nations Standard Minimum Rules For the Administration of Juveniles Justice (The Beijing Rules), apa yang dimaksud dengan diversi adalah “Pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan-tindakan kebijaksanaan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain menghentikan atau meneruskan atau melepaskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikan atau menyerahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya.

Penerapan Diversi dapat dilakukan di dalam semua tingkatan pemeriksaan, dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut. Oleh karena itu tidak semua perkara Anak yang berkonflik dengan hukum harus diselesaikan melalui jalur peradilan formal, dan memberikan alternatif bagi penyelesaian dengan pendekatan Keadilan Restoratif demi kepentingan terbaik bagi Anak dan dengan mempertimbangkan keadilan bagi korban.

Diversi juga sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakan Hukum dengan tetap mempertimbangkan rasa Keadilan sebagai perioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku memperbaiki diri. Diversi juga tidak bertujuan mengabaikan hukum dan keadilan, akan tetapi diversi merupakan cara baru menegakkan keadilan dalam masyarakat. Polisi sebagai salah satu aparat yang terlibat dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum harus memperhatikan kondisi anak yang berbeda dari orang dewasa. Sifat dasar anak sebagai pribadi yang masih labil, masa depan anak sebagai aset bangsa, dan kedudukan anak di masyarakat masih membutuhkan perlindungan dapat dijadikan dasar untuk mencari suatu solusi alternatif bagaimana menghindarkan anak dari suatu sistem peradilan pidana formal.

Penempatan anak dalam penjara, dan stigmatisasi terhadap kedudukan anak sebagai narapidanasalah satunya dengan menerapakan sistem diversi melalui Restorative Justice. Restorative Justice merupakan proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku

(21)

(tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersamasama berbicara.13

Restorative Justice merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian.14 Restorative Justice dianggap cara berfikir/paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang.

Penerapan Restorative Justice berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mewajibkan aparat penegak hukum (Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim) untuk selalu mengupayakan diversi dalam setiap proses penyelesaian perkara anak.

Dapat dikatakan bahwa diversi sebuah tindakan yang merupakan wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana anak di luar dari sistem peradilan pidana (criminal justice system).15 Menurut Jack E. Bynum dalam bukunya Delinquency a Sociological Approach, memberikan pegnertian diversi yaitu sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan.16 Diversi dapat diartikan sebagai upaya untuk menjauhkan suatu kasus dengan kriteria tertentu, dari proses peradilan pidana formal menuju kearah dukungan komunitas untuk menghindari dampak negatif yang diakibatkan oleh proses peradilan pidana. 17

Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan

13 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 37.

14 Olivia BR Sembiring, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan

Hukum”, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 58

15 Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2010, hlm. 28.

16 Marlina, “Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam UU. No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”, Makalah disampaikan pada workshop tentang Restorative Justice dalam Perspektif UU Sistem Peradilan Anak, Hotel Nasional, Gunung Sitoli, 21 Mei 2013, hlm. 1.

17 Beniharmoni Harefa, Kapita Selekta Perlindungan Hukum Bagi Anak, Deeppublish, Sleman, 2016, hlm. 150.

(22)

aparat penegak hukum yang disebut discretion atau dalam bahasa Indonesia diskresi.

Dengan penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal yang ada selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak dari tindakan pemenjaraan.

Negara memiliki kewenangan dikresional untuk melakukan pengalihan (diversi) anak yang berkonflik dengan hukum dari proses peradilan pidana formal ke proses perdamaian di luar persidangan. Sedapat mungkin anak dihindari dari tindakan penagkapan, penahanan dan pemenjaraan, hal tersebut seharusnya sebagai upaya terakhir. Diversi merupakan proses diskresi yang dilakukan komponen sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pihak pengadilan) yang ditujukan kepada anak yang berkonflik dengan hukum.

Diversi merupakan kebijakan yang dilakukan untuk menghindarkan pelaku dari sistem peradilan pidana formal. Diversi dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rehabilitasi (protection and rehabilitation) kepada pelaku sebagai upaya untuk mencegah anak menjadi pelaku kriminal dewasa.

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa tujuan dari diversi adalah:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak;

b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;

c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. Menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak.

Sebagai komponen atau sub-sistem dari sistem peradilan pidana anak, setiap aparatur penegak hukum, yaitu polisi, kejaksaan, dan pengadilan dalam melaksanakan tugas diversi harus mempunyai tujuan yang sama sebagimana dimaksud oleh Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Syarat diversi tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 8 yang menentukan sebagai berikut :

(1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.

(2) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat.

(23)

(3) Proses Diversi wajib memperhatikan:

a. kepentingan korban;

b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;

c. penghindaran stigma negatif;

d. penghindaran pembalasan;

e. keharmonisan masyarakat; dan

f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menentukan sebagai berikut: (1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan : a. kategori tindak pidana; b.

umur anak; c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan; dan d.

dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. (2) Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk: a. tindak pidana yang berupa pelanggaran; b.

tindak pidana ringan; c. tindak pidana tanpa korban; atau d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.

Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Diversi itu hanya dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Substansi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak antara lain mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).

Substansi yang paling mendasar dalam UndangUndang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

Kata Jarimah Khalwat dan ikhtilath sering disebut dengan jinayah dalam fikih, atau dalam istilah bahasa dikenal dengan tindak pidana. Adapun kata jinayah menurut

(24)

etimologi, merupakan bentuk verbal naun (kata kerja), masdar dari kata jana, yang berarti berbuat disa atau salah. jinayat diartikan sebagai perbuatan dosa atau perbuatan salah.18 Menurut Sayyid Sabiq, kata jinayat memiliki arti sebagai suatu hasil perbuatan buruk yang dilakukan seseorang.

Di samping pengertian tersebut, ada juga yang memaknai jinayat dengan istilah

“memetik”.19 Menurut istilah atau terminologi, pengertian jinayat mempuyai beragam rumusan, hal ini mengingat tidak ada rumusan yang baku. Salah satu pengertian tersebut seperti yang dinyatakan oleh Abdul Qadir Audah, yaitu suatu perbuatan yang dilarang oleh syara‟ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta maupun yang lainnya.20 Dengan demikian, istilah jināyah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang.

Perkataan jinayah berarti perbuatanperbuatan yang menurut syara‟dilarang”.

Sejalan dengan itu, perbuatanperbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan jinayah mengacu pada perbuatan yang dapat mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya.21 Adapun istilah khalwat secara bahasa berasal dari khulwah dari akar kata khala yang berarti “sunyi” atau “sepi”. Sedangkan menurut istilah, khalwat adalah keadaan seseorang yang menyendiri dan jauh dari pandangan orang lain.22 Dalam penggunaannya, istilah khalwat ini dapat berkonotasi ganda, positif dan negatif.

Dalam makna positif, khalwat adalah menarik diri dari keramaian dan menyepi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan dalam arti negatif, khalwat berarti perbuatan berdua-duaan di tempat sunyi atau terhindar dari pandangan orang lain antara seorang pria dan seorang wanita yang bukan mahramnya dan tidak terkait

18 Luis Ma’luf, al-Mujid., dalam Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Teras, Yogyakarta, 2009, hlm. 26.

19 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (terj: Nor Hasanuddin), Pena Pundi Amal, Jakarta, 2006, hlm. 399.

20 Abdul Qadir Audah, At-Tasyrī‟ al-Jinā‟i al-Islāmi Muqarranan bil Qanūnil Wad‟iy, ed.

In, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (terj; Tim Tsalisah), jilid I, Kharisma ilmu, Bogor, 2007, hlm.

88. 21 H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, cet. 2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 1.

22 Al-Yasa’ Abubakar dan Marah Halim, Hukum Pidana Islam di Aceh , Cetakan Kedua, Dinas Syariat Islam Aceh, Banda Aceh, 2011, hlm.111.

(25)

perkawinan.23 Dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014, khalwat didefinisikan sebagai perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara 2 (dua) orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan mahram dan tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak yang mengarah pada perbuatan zina. Akan tetapi dalam praktiknya, perbuatan khalwat akan tetap ditindak lanjuti baik itu di tempat tertutup maupun di tempat terbuka.

Adapun kata ikhtilath, secara bahasa adalah bercampurnya dua hal atau lebih.

Ikhtilath dalam pengertian syar‟i maksudnya bercampur-baurnya perempuan dan laki-laki yang bukan mahram di sebuah momen dan forum yang tidak dibenarkan oleh Islam. Pengertian ikhtilath menurut Qanun Jinayat Aceh Nomor 6 Tahun 2014 adalah perbuatan bermesraan seperti bercumbu, sentuh-sentuhan, pelukan dan berciuman antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri dengan kerelaan kedua belah pihak baik ditempat tertutup maupun tempat terbuka.

Mengenai uqubat khalwat diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat “bagi pelaku khalwat dikenakan ta‟zir dengan kriteria cambuk sebanyak 10 (sepuluh) kali/denda 100 (setarus) gram emas, atau penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan”. Sanksi perbuatan ikhtilath terdapat dalam Pasal 25 ayat (1) “Setiap orang yang dengan segaja melakukan Jarimah Ikhtilath, diancam dengan uqubat cambuk paling banyak 30 (tiga puluh) kali atau denda paling banyak 300 (tiga ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 30 (tiga puluh) bulan”.

Masalah yang sering dihadapi Anak Berkonflik Hukum (ABH) adalah perlakuan yang tidak layak dan yang menarik untuk dikaji adalah jarangnya penangguhan penahanan yang diberikan kepada anak jika dibandinghan dengan tersangka korupsi. Ketika anak masih dalam proses pemeriksaan, Aparat Penegak Hukum (APH) seringkali menekan anak agar mau mengakui tindak kriminal yang dituduhkan kepadanya. Tidak sedikit pula orang tua anak yang diminta sejumlah uang oleh (oknum) APH dengan janji, si anak akan dibebaskan dari tuduhan atau akan

23 Muhammad Siddiq dan Chairul Fahmi, Problematika Qanun Khalwat Analisis tehadap Perspektif Mahasiswa Aceh, AJRC, Banda Aceh, 2009, hlm. 33

(26)

mendapatkan keringanan hukuman. ABH itu pun pada umumnya tidak mendapat haknya untuk didampingi pengacara.24

Perilaku kekerasan yang dialami oleh ABH setidaknya diasumsikan telah terjadi sejak ia berhadapan pertama sekali dengan APH di tingkat elementer, yakni polisi. Kemudian berlanjut di level kejaksaan dan pengadilan, cara aparat penegak hukum memperlakukan hampir tidak bedanya dengan cara-cara yang mereka tempuh dalam menangani orang dewasa yang disangkakan melakukan tindak pidana. Jika ditarik lebih dalam, perilaku yang menyimpang atas hak-hak anak ini adalah manifetasi dari mindset APH dan institusi negara cenderung menyederhanakan posisi kerentanan anak dan tidak menganggapnya sebagai kelompok manusia yang belum bisa dimintakan pertanggungjawaban secara layaknya orang dewasa.25

Dari ungkapan di atas tidak terlalu berlebihan, bila berbagai kalangan menilai penegakan hukum lemah dan telah kehilangan kepercayaan masyarakat.

Masyarakat menjadi apatis, mencemohkan dan dalam keadaan tertentu kerap melakukan proses pengadilan jalanan (street justice). Keprihatinan masyarakat atas penegakan hukum memunculkan sejumlah analisis dan lontaran ide bagi perbaikan.

Berbicara tentang pidana dan pemidanaan tampaknya tidak akan pernah berakhir selama pidana masih digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan. Dikatakan demikian karena sejarah hukum pidana adalah sejarah dari pidana, dan pemidanaan yang senantiasa mempunyai hubungan erat dengan masalah kejahatan. Pada dasarnya seseorang yang melakukan tindak pidana harus dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatannya, dan akan dikenakan pula terhadapnya suatu akibat hukum berupa pidana jika dia terbukti bersalah.26

Dalam meminta pertanggungjawaban kepada seseorang, harus diperhatikan apakah perbuatan tersebut diatur dalam peraturan perundang-undangan atau tidak.

Apakah si pelaku dapat dipidana atau tidak. Karena pidana yang dikenakan itu

24 Andi Akbar dkk, Op. Cit., hlm. 61.

25 Rizanizarli, “Penanganan Anak Yang Berkonflik dengan Hukum Secara Diversi dan Restorative Justice”, Pledoi Media Komunikasi dan Transformasi Hak Anak”, Yayasan Pusaka Indonesia, Medan, 2010, hlm. 28.

26 Rizanizarli, “Teori-teori Pemidanaan dan Perkembangannya”, Jurnal Ilmu Huku Kanun, No. 38 Tahun XIV April 2004.

(27)

merupakan suatu penderitaan yang dirasakan tidak enak bagi yang bersangkutan.

Mengingat sifat yang demikian itu, tepatlah dikatakan bahwa pidana merupakan salah satu masalah pokok dalam hukum pidana, di samping kejahatan, dan kesalahan.27

Ketiga masalah pokok tersebut dirumuskan sebagai perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang, dan pidana yang diancamkan terhadap pelanggar larangan tersebut. Dalam proses pembaharuan hukum pidana, ketiga masalah tersebut masing-masing mempunyai persoalan sendiri, yang satu sama lainnya berkaitan erat dengan persoalan dasar manusia yakni hak-hak asasi manusia.28

Menyadari keadaan tersebut, maka orang tidak henti-hentinya berusaha menemukan cara yang efektif untuk menanggulangi kejahatan. Cara penanggulangan yang digunakan hingga saat ini adalah dengan menggunakan sanksi pidana dengan menjatuhkan pidana penjara. Namun demikian usaha ini pun masih sering dipersoalkan, karena usaha pengendalian perbuatan anti sosial dengan menggunakan pidana pada seseorang yang bersalah melanggar peraturan pidana merupakan suatu problem sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting.29

Hal ini tidak lain karena ada pendapat yang mengatakan bahwa terhadap pelaku kejahatan atau pelanggar hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan pidana.

Karena pidana itu merupakan "peninggalan dari kebiadaban kita masa lalu" (a vestige of our savage past) yang seharusnya kita hindari.30 Pendapat ini tampaknya didasarkan pada pandanagan bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan atau pengenaan penderitaan yang kejam.

Menurut Hart, pidana mempunyai beberapa karakteristik yaitu:

1. mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan;

27 Packer, Herbert L, The Limit of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California, 1968, hlm. 17

28 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 16-17.

29 Packer, Op. Cit, hlm. 3.

30 Loc. Cit.

(28)

2. dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana;

3. dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum;

4. dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana;

5. dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut.31

Dari uraian di atas, bahwa pidana itu merupakan suatu penderitaan yang tidak menyenangkan dikenakan kepada seseorang yang telah melanggar hukum, dan penderitaan itu diberikan oleh penguasa. Namun untuk anak telah ditegaskan bahwa penangkapan, penahanan atau pidana penjara merupakan upaya terakhir sebagaimana diatur UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan peraturan lainnya. Dalam Pasal 66 ayat (4) disebutkan bahwa penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yg berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir, sedangkan dalam Pasal 66 ayat (5) disebutkan “Setiap anak yg dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa.

Sistem peradilan pidana yang diterapkan saat ini tampaknya masih menitik beratkan untuk penjatuhan pidana penjara bagi para pelaku tindak pidana sebagai balasan atas perbuatan yang telah dilakukannya. Titik berat seperti ini, dimensi tindak kejahatan sepertinya hanya dilihat dari satu sisi, yaitu dari sisi si pelaku tindak kejahatan itu sendiri.32 Padahal, begitu banyak instrumen hukum yang berlaku baik lokal, nasional maupun internasional, yang menyebutkan bahwa dalam menangani ABH, pemenjaraan harus ditempatkan sebagai alternatief terakhir.

Selama ini, proses legal-formal masih tetap dipilih sebagai jalan utama untuk menangani kasus ABH. Akan menjadi sangat keliru jika penanganannya hanya berpatokan pada proses dan mekanisme hukum formal semata- mata, tanpa

31 Ibid., hlm. 21.

32 Andi Akbar dkk, Op. Cit.,hlm. 3.

(29)

melibatkan mekanisme sosial yang terkait erat didalamnya. Pada konteks ini, berbagai kalangan mengatakan persoalan ABH tidak hanya persoalan hukum, namun harus dilihat juga sebagai suatu persoalan sosial.

Seandainya karena sifat perbuatannya, seorang anak harus dijatuhi pidana penjara, seyogyanya pidana yang dijatuhkan adalah pidana bersyarat. Namun demikian para penegak hukum, terutama para hakim, seyogyanya menyatakan pemidanaan dalam bentuk lain, seperti, pidana wajib kerja, pidana wajib mengikuti pendidikan dan atau latihan, pidanan denda, pidanan tindakan (maatregelen) dalam bentuk seperti bantuan untuk memulihkan kondisi psikis anak, antara lain dalam bentuk rehlasernij.33

Berkaitan dengan hal tersebut dalam penanganan ABH, Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa ”proses hukum dilakukan sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan agar dihindarkan dari pemenjaraan. Anak yang terlibat dan dilibatkan dalam proses hukum akan menjalani penyidikan, penahanan, sampai pemidanaan di mana proses pidana dalam sistem peradilan formal tersebut lebih banyak berpengaruh buruk pada masa depannya.

Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayah terdapat beberapa tindak pidana atau Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam yang dalam Qanun ini diancam dengan ‘Uqubat. Uqubat adalah hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku Jarimah. Hudud adalah jenis ‘Uqubat yang bentuk dan besarannya telah ditentukan di dalam Qanun secara tegas dan/atau Ta’zir adalah jenis ‘Uqubat yang telah ditentukan dalam qanun yang bentuknya bersifat pilihan dan besarannya dalam batas tertinggi dan/atau terendah), Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan ancaman atau sanksi hukumnya serta siapa dan lembaga apa yang menpunyai tugas dan fungsi serta kewenangan untuk melaksanakan atau menegakkan aturan terhadap para pelanggar tersebut.

33 Bagir Manan, “Restorative Justice Dalam Perkara Anak”, Makalah disampaikan pada Workshop Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum dengan Pendekatan Restorative Justice, Bogor, Hotwl Salak, 5 April 2010, hlm. 6-7.

(30)

Dalam penegakan hukum jinayah berdasarkan hukum acara jinayah pada lazimnya memerlukan penyelidik/penyidik, jaksa atau penuntut umum, mahkamah atau pengadilan dan hakim serta rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan atau tempat eksekusi putusan, dimana terhadap orang atau lembaga tersebut dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenangnya diatur dalam hukum acara jinayah supaya dapat bersinergi, berkoordisasi mulai dari awal sampai dengan selesai agar penegakan terhadap hukum jinayah yang dilanggar tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya seperti yang diharapkan.

Adapun cakupan jenis jarimah yang diatur dalam Qanun Nomor 6 tahun 2014 adalah Khamar, Maisir, Khalwat, Ikhtilath, Zina, pelecehan seksual pemerkosaan, qadzaf, liwath dan musahaqah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Allah Yang Maha Kuasa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak- hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan Penelitian

Menghasilkan Model Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum melakukan Jariman ikhtilath yang diharapkan dapat diimplimentasikan oleh Mahkamah Syar’iyah Aceh yang artikelnya akan dipublikasikan jurnal internasional bereputasi atau jurnal internasional, serta buku Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Mengangani Jariman ikhtilath, yang berfokus pada Jarimah yang dilakukan oleh Anak.

B. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi mendasar pada Bidang Ilmu Hukum Hukum Acara Pidana terutama Sistem Peradilan Pidana Anak, sehingga dapat membantu penyidik Kepolisian, Wilayatu Hisbah, Kejaksaan, dan Mahkamah Syar’íyah dalam Penanganan Anak Yang Melakukan Jarimah Iktilath.

(31)

BAB 4. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis empiris yang dengan kata lain adalah jenis penelitian hukum sosiologis dan dapat disebut pula dengan penelitian lapangan, yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataannya di masyarakat. Penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata yang terjadi di masyarakat dengan maksud untuk mengetahui dan menemukan fakta-fakta dan data yang dibutuhkan. Setelah data yang dibutuhkan terkumpul kemudian menuju kepada identifikasi masalah yang pada akhirnya menuju pada penyelesaian masalah.

Penelitan ini bertujuan menjelaskan model penanganan anak yang melakukan jarimah Ikhtilat yang dilakukan pihak penegak hukum terutama oleh pihak Wilayatul Hisbah, penyidik kepolisian ataupun Balai Pemasyarakatan berkaitan dengan Hukum Jinayat. Gambaran dan prosedur penelitian ini dapat dilihat pada diagram fish bone. Penelitian ini melihat penanganan anak yang melakukan Jariman ikhtilath di Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireuen, Kota Lhokseumawe,

Untuk mendapatkan data dan bahan-bahan dalam penelitian ini dilakukan:

a. Penelitian Lapangan (field research).

Penelitian Lapangan ini dilakukan untuk mendapatkan data primer yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan dengan cara mewawancarai para responden dan i nforman yang telah ditentukan sebelumnya, hal ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang akurat terhadap masalah yang diteliti. Di samping itu juga dilakukan FGD atau public hearing dalam menemukan konsep penanganan ABH yang terbaik

b. Penelitian Kepustakaan (Library research).

Penelitian Kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data atau bahan yang bersifat teoritis, yang merupakan data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan cara mempelajari buku-buku, literatur, majalah, peraturan perundang- undangan dan bahan sekunder lainnya.

(32)

Populasi Penelitian terdiri atas: Penyidik Unit PPA, Wilayatul Hisbah, Jaksa, Hakim Mahkamah Syar’iyah, Hakim Pengadilan Negeri, Jaksa, BAPAS, KPPA Aceh.

Berdasarkan populasi di atas, maka pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara Purposive Sampling, yaitu dari keseluruhan populasi akan diambil beberapa orang yang diperkirakan dapat mewakili keseluruhan dari populasi yang terdiri dari:

1. Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak Polda Aceh.

2. Jaksa Kejaksaan Negeri 3. Penyidik Wilayatul Hisbah

4. Hakim Mahkamah Syar’iyah Provinsi 5. Hakim Pengadilan Negeri

6. Pembimbing Kemasyarakatan BAPAS

Data yang terkumpul baik dari hasil penelitian lapangan maupun dari penelitian kepustakaan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Indikator utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencari model penanganan anak yang melakukan jarimah di Aceh.

BAB 5. HASIL LUARAN YANG DICAPAI

A. Penanganan Anak Yang Melakukan Jarimah Ikhtilath

Dalam hal penanganan Anak yang melakukan jarimah ikhtilath Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah tidak mengatur secara tersendiri, namun merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk anak.

Dalam Pasal 66 dinyatakan bahwa “pemeriksaan anak yang melakukan jarimah pemeriksaannya berpedoman pada peraturan sistem peradilan anak. Adapun peraturan yang menangangi penanganan Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) atau anak yang melakukan jarimah ikhtilath maka akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

(33)

Dalam ketentuan Undang-undang tersebut untuk penanganan anak yang melakukan tindak pidana penyelesaiannya diutamaka secara diversi. Pelaksanaan diversi ini dimaksudkan untuk menghindari anak dari efek negatif yang akan ditimbulkan apabila dia berhadapan dengan proses peradilan pidana. Dalam penyelesaian kasus anak melalui jalur diversi ini juga harus dipertimbangkan beberapa hal seperti kepentingan masa depan bagi anak, hak anak untuk mendapat bantuan hukum serta hak pendidikan bagi anak, tidak boleh dilakukan penyidikan terhadap kasus yang melibatkan anak pada saat jam sekolah karena itu akan mengganggu pendidikannya.34

Perlindungan anak merupakan upaya yang harus dilakukan untuk mendukung terlaksananya hak-hak dan kewajiban anak itu sendiri. Oleh karena itu, seorang anak yang memperoleh dan mempertahankan hak untuk tumbuh dan berkembang dalam hidup secara berimbang dan positif, berarti mendapat perlakuan secara adil dan terhindar dari ancaman yang merugikan. Usahausaha perlindungan anak dapat merupakan suatu tindakan hukum yang mempunyai akibat hukum, sehingga menghindarkan anak dari tindakan sewenang-wenang.35

Proses peradilan terhadap anak seringkali kehilangan makna esensinya, yaitu sebagai mekanisme yang harus berakhir dengan upaya untuk melindungi kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child). Peradilan pidana anak seringkali merupakan proses yang hanya berorientasi pada penegakan hukum secara formal dan tidak berorientasi pada kepentingan anak.

Dalam UUSPPA aparat hukum wajib mengupayakan diversi dalam Peradilan Pidana Anak, yakni Pengalihan Penyelesaian Perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Anak yang berkonflik dengan Hukum ditangani secara terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan Restorativ Justice. Diversi berarti tidak dilakukan melalui proses peradilan pidana, melainkan perdamaian dengan mempertemukan korban dan

34 Elfiana, Kanit I PPA Polda Aceh, Wawancara, tanggal 2 September 2020.

35 Rullyato, Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas II A, Banda Aceh Kelas II A Banda Aceh, Wawancara, tanggal 1 September 2020

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya dalam Petunjuk Teknis Nomor 01/JUKNIS/D.V/2007 tentang Pemetaan Masalah dan Akar Masalah Pertanahan, disebutkan bahwa : Sengketa adalah perbedaan nilai, kepentingan,

Sedangkan untuk mengetahui apakah perkebunan kelapa sawit sebagai sektor utama yang mampu membantu dalam pembangunan perekonomian wilayah daerah Kabupaten Bungo alat

Sajrone komponen iki guru ngamati dhampak utawa asil saka tindakan kang ditindakake marang siswa. Tes kanthi mangsuli pitakonan-pitakonan kanggo mangertene pencapaian

Menurut pendapat ibu apakah pemeriksaan Pap’smear merupakan metode yang tepat untuk deteksi dini kanker serviks?. Evaluated ( Clinical

Skripsi dengan judul Peran Pemerintah Dalam Penanggulangan Masalah Sosial (Studi Kebijakan Publik Terhadap Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pembinaan Anak

Permasalahan dalam pembelajaran PKn yang membuat peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tindakan kelas di kelas IX A SMP Negeri 3 Sukadana adalah rendahnya aktivitas

Pemeriksaan variasi periode kawin pertama postpartus dikumpulkan dari data reproduksi sapi FH dara dan induk di kedua lokasi yang dikumpulkan oleh stasiun bibit BPTU

Berdasarkan hasil penilaian resiko muskuloskeletal pada 9 anggota badan, maka fokus pengendalian yang perlu dilakukan adalah penurunan resiko bahaya muskuloskeletal untuk