• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian dilakukan pada dua Kecamatan Sentra yaitu Kecamatan Argapura dan Ligung di Kabupaten Majalengka. Lokasi ini ditentukan berdasarkan dengan pendekatan regional atau daerah sentra produksi. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive. Hal ini berdasarkan pertimbangan daerah tersebut mempunyai potensi dalam pengusahaan bawang merah, dengan peningkatan produktivitas pada tahun 2013 ke tahun 2014 sebesar 8.98 persen lebih tinggi dari tiga Kabupaten sentra di Jawa Barat (Ditan Jawa Barat 2015). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2015 sampai bulan April 2016.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari data penelitian komoditas bawang merah Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) IPB tahun 2015. Pengumpulan data yang dilakukan oleh PKHT dilakukan melalui metode survei dan wawancara langsung dengan responden petani bawang merah dengan bantuan kuesioner. Jumlah responden yang digunakan sebanyak 37 petani bawang merah di lokasi penelitian dan ditentukan secara purposive. Data yang diperlukan diantaranya data karakteristik responden, data input dan output usahatani bawang merah, informasi harga input dan output usahatani bawang merah dan informasi sistem pemasaran. Selain itu, data pendukung yang lainnya diperoleh melalui studi literatur dan pustaka yang relevan dengan topik yang diteliti. Data ini bersumber dari penelitian terdahulu, jurnal, buku bacaan terkait, dan beberapa sumber lain seperti BPS, Direktoral Jendral Hortikultura, Kementerian Pertanian, Dinas Pertanian Jawa Barat, serta penulusuran internet.

Metode Analisis Data

Data yang dikumpulkan akan dianalisis sesuai dengan tipe data yaitu kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif dijelaskan melalui metode analisis deskriptif untuk mengetahui keragaan usahatani di Kabupaten Majalengka dan karakteristik petani responden. Sedangkan data kuantitatif diolah menggunakan PAM (Policy Analysis Matrix) untuk menganalisis dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah.

Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan untuk menjelaskan data kualitatif yaitu keragaan usahatani bawang merah pada musim hujan dan musim kemarau,

karakteristik responden, dan gambaran umum Kabupaten Majalengka. Keragaan usahatani bawang merah digambarkan melalui subsistem hulu, proses kegiatan budidaya, dan pemasaran. Konsep budidaya usahatani bawang merah dimulai dari kegiatan pengolahan lahan, penanaman, penyulaman, pemupukkan, pengairan, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit, panen, dan pasca panen. Karakteristik responden berupa jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, las lahan, status lahan, status usahatani, pemasaran, yang akan dijelaskan sebagai informasi responden yang digunakan pada penelitian ini.

Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah

Sesuai tujuan kajian, metode analisis yang sesuai untuk menjawab tujuan kajian adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Sebelum matrik PAM disusun, tahap pertama dihitung besaran keuntungan usahatani bawang merah pada musim hujan dan musim kemarau berdasarkan biaya input dan harga output baik secara privat maupun sosial. Dengan perhitungan ini dapat diperoleh dayasaing usahatani bawang merah untuk kedua musim melalui keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif.. Dampak kebijakan pemerintah diterapkan baik pada input, output maupun input dan output secara bersama dapat diketahui.

Hasil analisis PAM memberikan informasi tentang profitabilitas dayasaing (keunggulan kompetitif), efisiensi ekonomi (keunggulan komparatif) suatu komoditas dan dampak kebijakan pemerintah terhadap sistem komoditas tersebut. Tabel PAM disajikan pada Tabel 5.

Nilai pada masing-masing sel dalam tabel PAM untuk usahatani hortikultura diihitung dalam periode satu siklus produksi. Dari data pada tabel PAM, kemudian dianalisis dengan berbagai indikator :

Tabel 5. Tabulasi matrix analisis kebijakan

Uraian Penerimaan Biaya Keuntungan

Tradable Non-Tradable

Nilai Privat A B C D

Nilai Sosial E F G H

Efek Divergensi I J K L

Sumber: Monke dan pearson (1989)

Tahapan penyusunan tabel PAM adalah (1) penentuan komponen fisik untuk faktor input dan output usahatani bawang merah secara lengkap, (2) pemisahan seluruh biaya usahatani bawang merah ke dalam komponen domestik dan asing, (3) penentuan harga finansil (privat) dan penaksiran harga bayangan (ekonomi) pada usahatani bawang merah, dan (4) tabulasi dan analisis indikator-indikator yang dihasilkan Tabel PAM.

(1) Penentuan Input dan Output Usahatani Bawang Merah

Input yang dimaksud didalam penelitian ini adalah lahan, benih, tenaga kerja, pupuk anorganik, pupuk organik, pupuk pelengkap (pupuk pengkap cair, zat pengatur tumbuh), pestisida, herbisida, peralatan usahatani dan bahan

bakar minyak. Sedangkan yang dimaksud ouput adalah bawang merah yang telah dikeringkan.

(2) Alokasi Komponen Biaya Asing (Tradable) dan Domestik (Non Tradable) pada Usahatani Bawang Merah

Input usahatani bawang merah yang digunakan petani dalam penelitian ini adalah input tradable dan input non tradable. Input tradable adalah faktor- faktor produksi yang dapat diperdagangkan di pasar internasional, sedangkan input non tradable adalah input yang tidak diperdagangkan dalam pasar internasional. Penentuan alokasi biaya produksi ke dalam komponen asing (tradable) dan domestik (non tradable) didasarkan atas dua pendekatan yaitu pendekatan langsung (direct approach) dan pendekatan total (total approach). Pada pendekatan langsung (direct approach), tambahan dari permintaan input dapat dipenuhi dari pasar internasional (tradable) maka alokasi biaya input tersebut dapat dinilai seluruhnya sebagai komponen biaya asing walaupun masih terdapatnya komponen domestik dari beberapa input yang dipergunakan dalam proses produksi. Sedangkan pada pendekatan total (total approach), untuk setiap biaya input tradable dialokasikan ke dalam komponen biaya asing dan domestik. Pada penelitian ini menggunakan pendekatan total untuk alokasi komponen biaya input asing dan domestik karena hal ini dinilai lebih tepat dalam menunjukkan penggunaan sumberdaya domestik di dalam negeri. Persentase kebutuhan input dari pasar domestik dan asing tersebut mengacu pada kondisi aktual yang terjadi di lokasi penelitian dan juga mengacu pada Tabel Input-Output tahun 2010. Secara lengkap Alokasi komponen biaya produksi ke dalam komponen domestik dan asing dapat dilihat pada Lampiran 2.

(3) Penentuan Harga Privat dan Sosial (Bayangan) Usahatani Bawang Merah Harga privat adalah harga yang diterima oleh petani bawang merah saat membeli atau menjual input dan output yang dipakai dalam usahatani bawang merah. Sedangkan harga bayangan menurut Gittinger (1986) adalah harga yang terjadi dalam suatu perekonomian apabila pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna dan dalam kondisi keseimbangan. Harga bayangan output yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga FOB (Free on Board) untuk output yang diekspor, sedangkan harga CIF (Cost Insurance and Freight) dipakai untuk output yang diimpor. Oleh karena posisi bawang merah Indonesia saat ini lebih banyak mengimpor dibanding mengekspor, maka untuk menghitungan harga bayangan bawang merah tersebut menggunakan harga CIF dikonversi dengan SER ditambah biaya tataniaga dari pelabuhan ke tempat penelitian.

Penentuan SER (Shadow Exchange Rate) menurut formulasi dari Gittinger (1986) sebagai berikut:

SER = C t

SCF = Xt+ t

SCF = �� � i i d ri r g d g g p d � � � ℎ � Keterangan:

SER = Shadow Exchange Rate (Nilai Tukar Bayangan) (Rp.US$)

OER = Official Exchange Rate (Nilai Tukar Resmi Pemerintah) (Rp/US$) SCFt = Standart Conversion Factor (Faktor Konversi Standart Tahun ke-t) Xt = Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp)

Mt = Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) Txt = Pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp)

Tmt = Pajak Impor untuk tahun ke-t (Rp) (a) Harga Bayangan Output

Harga bayangan bawang merah menggunakan harga impor yaitu harga CIF (Cost Insurance Freight) di pelabuhan acuan yaitu Tanjung Priok – Jakarta kemudian dijumlahkan dengan biaya tataniaga sampai ke lokasi penelitian. Harga CIF digunakan karena bawang merah merupakan salah satu komoditas yang di impor oleh Indonesia. Harga impor bawang merah berdasarkan kode HS 0703102900 pada bulan Januari – Desember 2015 dan harga tersebut dikonversi ke dalam rupiah yang disesuaikan dengan SER (Shadow Exchange Rate).

(b) Harga Bayangan Lahan

Penentuan harga bayangan lahan menurut Pearson et al. (2005) yaitu mrngikuti prinsip social opportunity cost yaitu penggunaan lahan untuk usahatani lainnya sebagai alternatif terbaik. Sedangkan menurut Gittinger (1986) pendekatan penentuan harga bayangan lahan yang banyak disukai adalah pendekatan yang dilakukan dengan mengambil nilai kotor output tanah pada harga di pasaran lalu dikurangi dengan biaya produksi. Pendekatan ini secara singkat merupakan nilai sewa lahan secara aktualnya.

(c) Harga Bayangan Benih

Harga bayangan benih bawang merah menggunakan harga impor yaitu harga CIF (Cost Insurance Freight) di pelabuhan acuan yaitu pelabuhan tanjung priok – Jakarta kemudian dijumlahkan dengan biaya tataniaga sampai kelokasi penelitian. Harga impor benih bawang merah berdasarkan kode HS 0703102100 pada bulan Januari – Desember 2015 dan harga tersebut dikonversi ke dalam rupiah yang disesuaikan dengan SER (Shadow Exchange Rate).

(d) Harga Bayangan Pupuk dan Obat-obatan

Harga bayangan pupuk urea ditentukan dengan nilai FOB pelabuhan ekspor dikurang biaya tataniaga dari lokasi penelitian, dengan kode HS 3102100000. Hal ini disebabkan produsen dalam negeri menghasilkan pupuk urea untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan kebutuhan ekspor. Sedangkan pupuk yang diimpor seperti pupuk ZA, SP-36, KCL dan NPK, harga bayangan ditentukan dengan harga CIF berdasarkan harga pupuk dengan kode HS 3102210000

(ZA), 3103109000 (SP-36), 3104200000 (KCL) dan 3105200000 (NPK) kemudian ditambah biaya tataniaga hingga ke lokasi penelitian. Harga bayangan pupuk lainnya sama dengan harga privat seperti pupuk organik dan pupuk kandang karena pupuk tersebut diproduksi dalam negeri dan tidak diperdagangkan.

Pestisida digunakan dalam budidaya bawang merah untuk mengendalikan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Pestisida yang digunakan dalam bentuk padat dan cair. Sebagian besar bahan baku pembuatan pestisida dipenuhi dari impor. Besarnya penggunaan bahan baku serta tingkat konversinya terhadap produk pestisida tersebut tidak diketahui secara pasti, sehingga penentuan Harga bayangan pestisida didasarkan pada harga rata-rata aktual di lokasi penelitian dikurangi dengan bea masuk (pajak impor) sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen.

(e) Harga Bayangan Tenaga Kerja

Tenaga kerja usahatani bawang merah dilokasi penelitian dibedakan menjadi tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga. Harga bayangan tenaga kerja dihitung dengan menggunakan nilai upah aktual yang berlaku pada lokasi penelitan dengan mempertimbangkan tingkat pengangguran di daerah tersebut. Jadi harga bayangan upah merupakan hasil perkalian antara upah aktual dengan tingkat pengangguran di lokasi penelitian. Menurut Badan Pusat Statistik (2015) jumlah pengangguran di Kabupaten Majalengka sekitar 34 025 dari jumlah penduduk sebanyak 1 180 248 jiwa atau sebesar 7.35 persen

(f) Harga Bayangan Peralatan Pertanian

Peralatan yang digunakan dalam usahatani bawang merah di lokasi penelitian yaitu cangkut, arit, alat semprot, dan pompa air. Harga bayangan peralatan yang digunakan tersebut berdasarkan nilai penyusutan aktual dari peralatan pada periode tanam bawang merah, karena peralatan tersebut milik petani sendiri.

(g) Harga Bayangan Bahan Bakar Minyak

Petani di lokasi penelitian menggunakan alat pompa air yang digunakan untuk pengairan di musim kemarau. Agar pompa air ini dapat digunakan maka membutuhkan bahan bakar minyak sebagai penggeraknya. Bahan bakar minyak yang digunakan adalah solar. Penentuan harga bayangan solar berdasarkan penyesuaian harga jual keekonomian bahan bakar minyak (BBM) Pertamina Sektor Industri dan Bunker tahun 2015 sebesar Rp 11 277 per liter.

(h) Harga Bayangan Bunga Modal

Bunga modal pinjaman berdasarkan bunga Kredit Modal Kerja Aflopend. Kredit modal kerja alfopend adalah kredit yang diberikan khusus untuk budidaya usaha pertanian yang habis dalam satu siklus atau maksimal satu tahun. Pada kredit ini ditetapkan besaran bunga

kredit sebesar 13.75 persen, dengan subsidi yang diberikan oleh pemerintah sebesar 7.5 persen ditambah dengan suku bunga penjaminan dari Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Suku bunga LPS yang berlaku pada Juni 2014 - Mei 2015 sebesar 7.75 persen dan mengalami penurunan pada periode Juni-Desember 2015 sebesar 7.50 persen. Pemerintah memberikan subsidi sebesar 7.5 persen sehingga petani hanya membayar sekitar 6.00-6.25 persen. Sedangkan untuk harga bayangan bunga modal yang digunakan adalah bunga kredit tanpa subsidi pemerintah sebesar 13.50-13.75 persen

(4) Analisis Indikator Matriks Kebijakan (a) Analisis Keuntungan

(i) Private Profitability (PP): D = A – (B + C). Keuntungan privat bawang merah merupakan indikator dayasaing (competitiveness) dari sistem komoditas bawang merah berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Apabila D>0, berarti sistem komoditas bawang merah memperoleh profit di atas normal. Hal ini mempunyai implikasi bahwa komoditas bawang merah mampu ekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditas alternatif yang lebih menguntungkan.

(ii) Social Profitability (SP): H = E – (F + G). Keuntungan sosial bawang merah merupakan indikator keunggulan komparatif (comparative advan-tage) atau efisiensi dari sistem komoditas bawang merah pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan efisien, apabila H>0. Sebaliknya, bila H<0, berarti sistem komoditas bawang merah tidak mampu bersaing tanpa bantuan atau intervensi pemerintah.

(b) Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

(i) Private Cost Ratio : PCR = C / (A – B). PCR merupakan indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya domestik dan tetap kompetitif. Sistem bersifat kompetitif jika PCR<1. Semakin kecil nilai PCR berarti semakin kompetitif.

(ii) Domestic Resource Cost Ratio :DRCR = G / (E – F). DRCR merupakan indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Sistem mempunyai keunggulan komparatif jika DRCR<1. Semakin kecil nilai DRCR berarti semakin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif makin tinggi.

(c) Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah (i) Kebijakan Output

a. Output Transfer : OT = A – E. Transferoutput merupakan selisih antara penerimaan dihitung atas harga privat (finansial) dengan penerimaan dihitung berdasarkan harga

sosial (bayangan). Jika nilai OT>0 menunjukkan adanya transfer dari masyarakat (konsumen) ke produsen, demikian juga sebaliknya.

b. Nominal Protection Coefficient on Output

(NPCO) = A / E. NPCO merupakan tingkat proteksi pemerintah terhadap output domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap output jika nilai NPCO>1. Semakin besar nilai NPCO, berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap output.

(ii) Kebijakan Input

a. Transfer Input : IT = B – F. Transfer input adalah selisih antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Nilai IT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Jika nilai IT >0 menunjukkan adanya transfer dari petani ke produsen input tradable.

b. Nominal Protection Coefficient on Tradable Input: NPCI = B / F. NPCI merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI<1, berarti ada kebijakan inputtradable.

c. Transfer faktor : FT = C – G. Transfer faktor merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Jika nilai FT>0 berarti ada transfer dari petani produsen kepada produsen inputtradable, demikian sebaliknya.

(iii) Kebijakan Input-Output

a. Effective Protection Coefficient : EPC = (A –B) / (E – F). EPC merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap output dan input tradable. Kebijakan masih bersifat protektif jika nilai EPC>1. Semakin besar nilai EPC berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas domestik.

b. Transfer Bersih: NT = D – H. Transfer bersih merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen (privat) dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai NT>0, menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. Demikian juga sebaliknya jika nilai NT lebih kecil dari nol.

c. Subsidy Ratio to Producer : SRP = L / E. Rasio subsidi produsen menunjukkan proporsi dari penerimaan total pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi yang digunakan sebagai satu-satunya kebijakan untuk

menggantikan seluruh kebijakan komoditas dan ekonomi makro. SRP memungkinkan untuk membuat perbandingan tentang besarnya subsidi perekonomian bagi sistem komoditas pertanian. Nilai SRP juga dapat dipecah menjadi tiga untuk melihat secara terpisah dampak transfer pada output, input yang diperdagangkan dan faktor domestik. Apabila nilai SRP negatif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya imbangan untuk berproduksi dan sebaliknya jika nilai SRP positif.

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas merupakan suati teknik analisa untuk menguji perubahan kelayakan suatu kegiatan ekonomi secara sistematis, bila terjadi kejadian-kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang telah dibuat dalam perencanaan (Gittinger 1986). Simulasi kebijakan dilakukan berdasarkan perubahan harga-harga input, harga jual output dan jumlah output yang berpengaruh terhadap dayasaing komoditas bawang merah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Analisis ini mempertimbangkan kondisi aktual yang berubah-ubah secara dinamis akibat kebijakan yang diterapkan pemerintah pada output dan input komoditas bawang merah.

Dalam penelitian ini, analisis sensitivitas yang digunakan untuk menyimulasikan kebijakan yang dilakukan dengan mengubah suatu variabel yang dianggap berpengaruh terhadap peningkatan dayasaing usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka. Skenario ini, dilakukan dengan melakukan beberapa perubahan pada output bawang merah, dan penurunan biaya produksi. Beberapa perubahan pada output bawang merah yaitu peningkatan harga jual bawang merah karena mengingat kondisi petani yang memiliki posisi tawar yang lemah sehingga dapat menyebabkan harga yang diterima oleh petani bawang merah juga rendah. Selain itu juga dilakukan peningkatan pada produksi bawang merah, skenario ini dilakukan karena produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka pada musim hujan dan musim kemarau masih rendah yang jumlah produksinya masih rendah dari produktivitas potensialnya sebesar 20 ton/ha. Disamping itu, usahatani bawang merah merupakan salah satu usahatani berbiaya tinggi. Akibat dari tingginya biaya produksi ini akan menyebabkan dayasaing bawang merah di Kabupaten Majalengka lemah karena harga jual akan lebih mahal.

Analisis sensitivitas pada penelitian ini dilakukan pada masing-masing variabel secara terpisah kemudian dilanjutkan dengan mengkombinasikan terhadap perubahan dari variabel tersebut. Skenario-skenario tersebut adalah (1) jika harga jual bawang merah naik sebesar 12.38 persen dengan mengansumsikan variabel lainnya di anggap tetap. Peningkatan harga bawang merah ini mengacu pada data perkembangan harga rata-rata eceran bawang merah dari Kementerian Perdagangan selama tahun 2010-2014. Perubahan harga eceran bawang merah ini terkait dengan kebijakan impor yang diambil oleh pemerintah, (2) jika produksi naik sebesar 34.87 persen, diasumsikan berdasarkan peningkatan produksi yang terjadi pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2014 dengan asumsi variabel lainnya dianggap tetap, (3) jika harga benih bawang merah turun menjadi Rp 12 500/kg. Penurunan harga benih

ini berdasarkan harga benih bawang merah dalam kondisi normal di tingkat petani pada umumnya sebesar Rp 10 000 – Rp 15 000/kg. Penentuan harga sebesar Rp 12 500/kg berdasarkan nilai tengah dari rentang harga benit tersebut dengan asumsi variabel lainnya dianggap tetap, (4) jika penggunaan tenaga kerja pada pengolahan lahan turun sebesar 43.18 persen dan penyiraman sebesar 67 persen dengan asumsi variabel lainnya dianggap tetap, (5) kombinasi penurunan biaya produksi (skenario 3 dan 4) dengan asumsi variabel lainnya dianggap tetap dan (6) kombinasi kenaikan harga jual bawang merah, produksi bawang merah dan penurunan biaya produksi dengan asumsi variabel lainnya dianggap tetap.

Dokumen terkait