• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dayasaing Dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Bawang Merah Di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Dayasaing Dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Bawang Merah Di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

LOLA RAHMADONA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

terhadap Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI dan BURHANUDDIN.

Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memegang peranan cukup penting dalam perekonomian Indonesia yaitu sebagai sumber pendapatan dan devisa bagi negara, penyedia lapangan kerja bagi masyarakat, dan pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah yang memiliki potensi untuk peningkatan produksi bawang merah di Jawa Barat adalah Kabupaten Majalengka. Pada empat kurun waktu terakhir (2011-2014) produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka memperlihatkan trend yang meningkat. Total dari jumlah produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka pada tahun 2013 mencapai 23 683 ton dan mengalami peningkatan pada tahun 2014 sebesar 30 299 ton atau sebesar 27.99 persen. Peningkatan produksi ini salah satunya disebabkan oleh penambahan luas areal panen sebesar 17.41 persen dengan peningkatan produktivitas pada tahun 2013 dari 11.02 menjadi 12.01 pada tahun 2014 atau sebesar 8.98 persen. Meskipun menurut produktivitas bawang merah di Kabupaten Majalengka memiliki potensi yang cukup baik untuk pengembangan produksi namun angka produktivitas tersebut masih dibawah produktivitas potensial yaitu sebesar 20 ton/ha sehingga permintaan bawang merah sebagian besar masih dipenuhi melalui impor. Hal ini disebabkan oleh produksi bawang merah yang bersifat musiman, harga bawang merah impor yang jauh lebih murah daripada bawang merah lokal, dan tingginya biaya produksi usahatani bawang merah. Untuk mengurangi impor bawang merah, pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakan seperti kebijakan harga referensi impor untuk bawang merah. Dengan adanya ketetapan harga referensi ini diharapkan dapat mencegah terjadinya pemasokan bawang merah impor yang tidak tepat. Pemerintah juga menerapkan beberapa kebijakan untuk mendorong produksi bawang merah dalam negeri seperti kebijakan subsidi pupuk, subsidi bunga kredit dan subsidi bahan bakar minyak.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keuntungan, dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas bawang merah di Kabupaten Majalengka sebagai salah satu daerah yang memiliki potensi dalam pengembangan bawang merah. Data yang digunakan adalah merupakan data sekunder yang diperoleh dari data penelitian komoditas bawang merah Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) IPB tahun 2015. Jumlah responden yang digunakan sebanyak 37 petani bawang merah. Data yang telah diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM) untuk mengetahui keuntungan, dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah. Kebijakan yang dimiliki bersifat dinamis sehingga dilakukan analisis lanjutan menggunakan analisis sensitivitas untuk meramalkan pengaruh kebijakan terhadap dayasaing komoditas bawang merah.

(5)

diterapkan saat ini dapat memberikan insentif bagi petani bawang merah di Kabupaten Majalengka. Usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka lebih menguntungkan dengan adanya kebijakan pemerintah jika dibandingan dengan tanpa adanya kebijakan pemerintah.

Hasil analisis dayasaing usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka menunjukkan bahwa usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka hanya memiliki keunggulan kompetitif tetapi tidak memiliki keunggulan komparatif. Hal ini ditunjukkan dengan nilai PCR yang lebih kecil dari satu berkisar antara 0.50 – 0.85. Akan tetapi, nilai DRCR yang diperoleh sebaliknya yaitu lebih besar dari satu berkisar antara 1.50 – 2.50. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya produktivitas bawang merah dan tingginya biaya produksi usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka.

Hasil analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap output disimpulkan mampu memberikan proteksi terhadap bawang merah di Kabupaten Majalengka. Akan tetapi, kebijakan pemerintah terhadap input belum mampu memberikan insentif bagi petani bawang merah di Kabupaten Majalengka. Namun, secara bersamaan kebijakan output dan input usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka dapat memberikan dukungan terhadap pengembangan bawang merah di Kabupaten Majalengka dan dapat memberikan insentif bagi petani. Skenario kebijakan yang dilakukan pada analisis sensitivitas memperlihatkan bahwa kenaikan harga jual bawang merah dan produksi serta menurunkan biaya produksi dapat meningkatkan dayasaing komoditas bawang merah di Kabupaten Majalengka.

(6)

Effect on Shallot Commodity in the District of Majalengka, West Java. Supervised by ANNA FARIYANTI and BURHANUDDIN.

Shallot is one of the horticultural commodities which holds an important role in the Indonesian economy as a source of revenue and foreign exchange for the country, a provider of jobs for the community and regional development. Development areas that have the potential to increase shallot production in West Java of Majalengka. In four of the last period (2011-2014) shallot production in Majalengka showed an increasing trend. The total of the amount of shallot production in Majalengka in 2013 reached 23 683 tons and increased in 2014 amounted to 30 299 tons or 27.99 percent. The increase in production is one of them caused by the addition of harvest area by 17.41 percent with increased productivity in 2013 of 11.02 becomes 12.01 in the year 2014 amounted to 8.98 percent. Although, according to the productivity of shallot in Majalengka has good potential for the development of production but productivity figure is still below the potential productivity is equal to 20 tons/ha so that the demand for shallot is still largely met through imports. This is caused by the seasonal production of shallot, stock management are not going well, constraints in production activity which causes low productivity and high cost of production. To reduce the import of shallots, the government has established several policies such as the policy of import reference prices for shallots. This policy is expected to prevent unappropriate of shallot imports supply. The Government is also implementing several policies to encourage the production of Shallots in the country such as fertilizer subsidy policy, loan interest subsidies and fuel subsidies.

The objectives of this study are to analyze the profitability, competitiveness and the impact of government policy on commodities shallots in Majalengka as one of the areas that have potential in the development of the shallot. The data used is secondary data from the study of Tropical Horticulture Research Center of IPB in 2015. The number of samples used were 37 samples. The data have been analyzed using the Policy Analysis Matrix (PAM) to determine profitability, competitiveness and the impact of government policy. Owned policy is dynamic so do advanced analysis using sensitivity analysis to predict the effect of policy on the competitiveness of the commodity shallot.

Shallot farming in Majalengka privately profitable but socially unprofitable. The amount of profit earned shallot farmers varies between seasons. Private profits shallot farming between seasons ranged between Rp 19.50 - Rp 40.50 million per hectare. The highest private profits achieved during the rainy season. Based on the calculation of social benefits, shallot farming in Majalengka loss. The average loss received by farmers varies between seasons ranged between Rp 16.50 - Rp 33.50 million per hectare. This shows the government's policy related to shallot farming is applied at this time can provide incentives for shallot farmers in Majalengka. Shallot farming in Majalengka more favorable government policy when compared with the absence of government policy.

(7)

productivity and high costs shallot farming production in Majalengka.

The results of the analysis of the impact of government policy on the output summed able to provide protection against the shallot in Majalengka. However, the government's policy towards the input has not been able to provide incentives for shallot farmers in Majalengka. However, at the same time input and output policies shallot farming in Majalengka can provide support to the development of shallot in Majalengka and provide an incentive for farmers. Policy scenarios conducted on the sensitivity analysis shows that the increase in selling prices of shallot and production as well as lower production costs could increase the competitiveness of commodities shallots in Majalengka.

(8)
(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(10)
(11)

LOLA RAHMADONA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada

Program Studi Magister Sains Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)
(14)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2015 ini adalah dayasaing, dengan judul Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.

Penulis ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu proses penyelesaian thesis ini, diantaranya:

1. Ibu Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing dan kepada bapak Dr Ir Burhanuddin, MM sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS sebagai ketua program studi Agribisnis sekaligus sebagai penguji wakil pascasarjana Mayor Agribisnis dan kepada bapak Dr. Ir. Suharno, M. Adev sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan arahan saat ujian tesis.

3. Seluruh staf pengajar dan akademik yang telah memberikan bimbingan selama penulis kuliah di Mayor Agribisnis.

4. Penghargaan penulis sampaikan kepada Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB yang telah memfasilitasi dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini 5. Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak Ridwan dan Ibu Huriati yang telah sabar

mendidik dan membesarkan penulis hingga saat ini serta kepada Alm. Abang dan Adik-Adik tersayang yang telah memberikan dukungan dan semangat yang sangat berarti bagi penulis.

6. Rekan-rekan di pascasarjana Mayor Agribisnis Angkatan V, Sahabat seperjuangan “Birds” dan terkhusus orang yang sangat spesial Arry Aulia Putra yang selama ini telah memberikan dukungan yang tulus, menemani dan berjuang bersama penulis.

7. Seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Semoga karya ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2016

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Analisis Usahatani Bawang Merah 7

Analsis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah dengan Metode

Policy Analysis Matrix (PAM) 9

Pengukuran Dayasaing 10

3 KERANGKA PEMIKIRAN 12 Kerangka Pemikiran Teoritis 12 Kerangka Pemikiran Operasional 24 4 METODE PENELITIAN 27 Lokasi dan Waktu Penelitian 27 Jenis dan Sumber Data 27 Metode Analisis Data 27 5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 35

Gambaran Umum Wilayah Penelitian 35

Karakteristik Petani Responden 36

Keragaan Usahatani Bawang Merah di Lokasi Penelitian 39

Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Bawang Merah di Lokasi Penelitian 42

6 HASIL DAN PEMBAHASAN 45

Keuntungan Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Majalengka 45

Keunggulam Komparatif dan Kompetitif Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Majalengka 49

Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Dayasaing Bawang Merah di Kabupaten Majalengka 54

(16)

7 KESIMPULAN DAN SARAN 68

Kesimpulan 68

Saran 69

DAFTAR PUSTAKA 70

LAMPIRAN 75

RIWAYAT HIDUP 85

DAFTAR TABEL

1 Luas penen, produksi dan produktivitas bawang merah di Indonesia

tahun 2010-2014 2

2 Perkembangan ekspor-impor bawang merah tahun 2010-2014 3

3 Tipe alternatif kebijakan pemerintah 15

4 Policy Analysis Matrix (PAM) 23

5 Tabulasi matrix analisis kebijakan 28

6 Sebaran petani responden Kabupabaten Majalengka berdasarkan umur

pada tahun 2015 36

7 Sebaran petani responden Kabupaten Majalengka berdasarkan lama

pendidikan pada tahun 2015 37

8 Sebaran petani responden Kabupaten Majalengka berdasarkan lama

pengalaman berusahatani pada tahun 2015 37

9 Sebaran petani responden Kabupaten Majalengka berdasarkan jumlah

tanggungan keluarga pada tahun 2015 38

10 Sebaran petani responden Kabupaten Majalengka berdasarkan luas lahan yang diusahakan untuk bawang merah pada tahun 2015 38 11 Sebaran petani responden Kabupaten Majalengka berdasarkan status

kepemilikkan lahan pada tahun 2015 38

12 Pupuk subsidi dengan penerapan harga eceran tertinggi (HET) 44

13 Perhitungan harga bayangan output 46

14 Keuntungan privat dan keuntungan sosial usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka pada musim tanam tahun 2014-2015 46 15 Keuntungan privat dan keuntungan sosial usahatani bawang merah di

Kabupaten Majalengka per musim tanam tahun 2014-2015 47 16 Proporsi biaya pengeluaran usahatani bawang merah di Kabupaten

Majalengka per musim tanam tahun 2014-2015 (Rp 000) 48 17 Keunggulan kompetitif dan komparatif usahatani bawang merah di

Kabupaten majalengka per musim tanam tahun 2014-2015 49 18 Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap output usahatani

bawang merah di Kabupaten Majalengka 55

19 Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka pada tahun 2014-2015 57 20 Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input dan output

(17)

21 Dampak keuntungan privat dan keuntungan sosial komoditas bawang merah di Kabupaten Majalengka per musim tanam akibat peningkatan

harga bawang merah 60

22 Dampak perubahan harga bawang merah terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani bawang merah di Kabupaten

Majalengka per musim tanam 61

23 Dampak keuntungan privat dan keuntungan sosial komoditas bawang merah di Kabupaten Majalengka per musim tanam akibat penurunan

produksi bawang merah 61

24 Dampak penurunan produksi terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka per musim

tanam 62

25 Dampak keuntungan privat dan keuntungan sosial komoditas bawang merah di Kabupaten Majalengka per musim tanam akibat penurunan

penggunaan tenaga kerja 63

26 Dampak penurunan penggunaan tenaga kerja terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani bawang merah di Kabupaten

Majalengka per musim tanam 63

27 Dampak keuntungan privat dan keuntungan sosial komoditas bawang merah di Kabupaten Majalengka per musim tanam akibat penurunan

penggunaan tenaga kerja 64

28 Dampak penurunan penggunaan tenaga kerja terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani bawang merah di Kabupaten

Majalengka per musim tanam 65

29 Dampak keuntungan privat dan keuntungan sosial komoditas bawang merah di Kabupaten Majalengka per musim tanam akibat penurunan

biaya produksi 65

30 Dampak penurunan biaya produksi terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka per musim

tanam 66

31 Dampak keuntungan privat dan keuntungan sosial komoditas bawang merah di Kabupaten Majalengka per musim tanam akibat kombinasi peningkatan harga bawang merah dan produksi bawang merah dengan

penurunan biaya produksi 66

32 Dampak peningkatan harga jual bawang merah dan produksi bawang merah dengan penurunan produksi terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka per musim

tanam 67

33 Tingkat kepekaan perubahan kebijakan pemerintah naik satu persen terhadap dayasaing bawang merah di Kabupaten Majalengka 68

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan konsumsi bawang merah per kapita penduduk di

Indonesia tahun 2010-2014 2

(18)

4 Hambatan perdagangan pada barang ekspor dan impor 19

5 Pajak dan subsidi pada input tradable 20

6 Pajak dan subsidi pada input non tradable 21

7 Kerangka pemikiran operasional analisis dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas bawang merah di Kapubaten

Majalengka Jawa Barat 26

DAFTAR LAMPIRAN

1 Luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di wilayah

sentra Jawa Barat tahun 2011-2014 76

2 Alokasi komponen biaya produksi ke dalam komponen domestik dan

asing pada usahatani bawang merah 77

3 Perkembangan harga rata-rata bawang merah nasional tahun

2010-2014 78

4 Perhitungan standar convertion factor dan shadow price exchange rate

tahun 2015 79

5 Perkembangan produksi bawang merah di Indonesia tahun 2010-2014 79 6 Komponen biaya transportasi pada perhitungan harga bayangan output

bawang merah tahun 2014-2015 80

7 Biaya pengeluaran usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka

per musim tanam tahun 2014-2015 81

8 Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka pada musim hujan tahun 2014-2015 82 9 Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah di

Kabupaten Majalengka pada musim kemarau I tahun 2014-2015 83 10 Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah di

(19)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sebagian besar penggunaan lahan di wilayah Indonesia digunakan sebagai lahan pertanian.

Sektor pertanian merupakan sektor utama dalam pembangunan Indonesia. Sektor pertanian Indonesia terdiri dari tiga subsektor yaitu subsektor tanaman perkebunan, tanaman pangan dan tanaman hortikultura. Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian terdiri dari berbagai jenis tanaman, yaitu tanaman buah-buahan, tanaman sayuran, tanaman biofarma, dan tanaman hias. Peran dari tanaman hortikultura sangat besar dalam menunjang usaha pemerintah untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesempatan kerja, dan mengurangi impor. Salah satu komoditas hortikultura yang banyak dikembangkan di Indonesia dan memiliki peranan penting bagi perekonomian Indonesia adalah bawang merah. Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura unggulan nasional, sehingga mendapat prioritas pengembangan dari APBN (Kementerian Pertanian 2015).

Bawang Merah merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia, karena perubahan terhadap harga dari bawang merah dapat mempengaruhi inflasi. Salah satu penyebab inflasi yang tinggi dikarenakan adanya kenaikan harga bawang merah. Menurut data inflasi dari BPS pada tahun 2010-2014 inflasi tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu terjadi pada bulan Juli. Bawang merah menyumbang sebesar 0.48 persen terhadap inflasi pada bulan Juli 2013 (BPS 2014). Selain itu, komoditas bawang merah ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah (Balitbang Pertanian 2005).

(20)

Tabel 1 Luas penen, produksi dan produktivitas bawang merah di Indonesia tahun

Berdasarkan jumlah produksi bawang merah dari tahun 2010 sampai 2014, sebenarnya kebutuhan bawang merah di Indonesia sudah mencukupi untuk konsumsi masyarakat dalam negeri. Sebagai contoh, konsumsi bawang merah di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 2.49 kg/tahun, dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun tersebut sebesar 252 124 458 jiwa (BPS 2015). Maka jumlah konsumsi bawang merah di Indonesia sebesar 627 790 ton, artinya terjadi kelebihan produksi sebesar 606 194 ton atau sebesar 49.12 persen. Namun, pada tahun 2014 Indonesia masih mengimpor bawang merah. Gambar 1 menunjukan perkembangan konsumsi bawang merah per kapita penduduk di Indonesia dari tahun 2010-2014.

Gambar 1 Perkembangan konsumsi bawang merah per kapita penduduk di Indonesia tahun 2010-2014

Sumber : Pusdatin, 2015

Indonesia memiliki potensi di dalam memproduksi bawang merah, bahkan bisa terjadinya kelebihan produksi. Akan tetapi, permintaan bawang merah dalam negeri masih dipenuhi dari impor. Hal ini dikarenakan produksi bawang merah di Indonesia masih bersifat musiman (in season) seperti hasil pertanian pada umumnya, sehingga jumlah permintaan bawang merah pada musim-musim tertentu lebih tinggi dibandingkan jumlah ketersediaannya. Oleh sebab itu, kebutuhan

(21)

bawang merah masyarakat Indonesia di luar musim (off season) tidak dapat dipenuhi sehingga untuk memenuhinya perlu dilakukan tindakan impor. Tindakan impor bawang merah ini menjadikan Indonesia sebagai net importer bawang merah. Perkembangan Ekspor-Impor Bawang Merah Tahun 2010-2014 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Perkembangan ekspor-impor bawang merah tahun 2010-2014

Tahun

Dilihat dari sisi ekspor dan impor, perkembangan ekspor dan impor bawang merah di Indonesia setiap tahunnya berfluktuasi. Namun, volume ekspor untuk komoditas bawang merah dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 jauh lebih kecil dari volume impornya yang ditunjukkan dengan volume neraca yang bernilai negatif, artinya pasar bawang merah di Indonesia masih dipenuhi oleh bawang merah impor. Kondisi seperti ini memberikan peluang terhadap usahatani bawang merah di Indonesia untuk melakukan pengembangan produksi di luar musim.

Ketergantungan terhadap bawang merah impor di Indonesia juga disebabkan oleh harga bawang merah yang jauh lebih murah dibandingkan dengan harga bawang merah di pasar dalam negeri. Harga bawang merah impor yang diperoleh dari harga cif (HS 0703102900) sebesar Rp 5 139/kg. Sementara itu, harga bawang merah di dalam negeri jauh lebih tinggi dengan harga eceran bulanan bawang merah pada tahun 2013-2014 rata-rata sebesar Rp 28 487/kg (Kemendag 2015). Perbedaan harga yang sangat jauh ini menyebabkan dayasaing bawang merah dalam negeri lemah.

(22)

Barat lebih kecil bila dibandingkan dengan provinsi lainnya, artinya provinsi Jawa Barat mempunyai peluang untuk dilakukannya pengembangan produksi.

Di Jawa Barat produksi bawang merah pada tahun 2014 sebesar 95.54 persen dihasilkan di empat wilayah sentra yaitu Kabupaten Cirebon 43 339 ton, Kabupaten Bandung sebesar 32 689 ton, Kapubaten Majalengka 30 229 ton dan Kabupaten Garut 17 952 ton. Sisanya sebesar 4.46 persen tersebar di 23 kabupaten atau kota lainnya (BPS Jawa Barat 2015). Di antara keempat Kabupaten Sentra ini, Kabupaten Majalengka merupakan salah satu daerah yang berpotensi untuk pengembangan produksi bawang merah di Jawa Barat. Pada empat kurun waktu terakhir (2011-2014) produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka memperlihatkan trend yang meningkat. Total dari jumlah produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka pada tahun 2013 mencapai 23 683 ton dan mengalami peningkatan pada tahun 2014 sebesar 30 299 ton atau sebesar 27.99 persen lebih tinggi dibandingkan ketiga Kabupaten Sentra lainnya. Peningkatan produksi ini salah satunya disebabkan oleh penambahan luas areal panen sebesar 17.41 persen dengan peningkatan produktivitas pada tahun 2013 dari 11.02 menjadi 12.01 pada tahun 2014 atau sebesar 8.98 persen (Ditan Jawa Barat 2015).

Pada tahun 2014 produktivitas bawang merah di Kabupaten Majalengka mencapai 12.01 ton/ha, lebih tinggi dari produktivitas nasional yaitu sebesar 10.23 ton/ha, artinya pegalokasian sumberdaya yang efisien oleh petani bawang merah di Kabupaten Majalengka diharapkan dapat meningkatkan jumlah produksi bawang merah sebagai produk substitusi impor. Namun, meskipun menurut produktivitas bawang merah di Kabupaten Majalengka memiliki potensi yang cukup baik untuk pengembangan produksi namun angka produktivitas tersebut masih dibawah produktivitas potensial yaitu sebesar 20 ton/ha. Oleh karena itu, penting untuk dilakukannya penelitian mengenai dayasaing usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka.

Perumusan Masalah

Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama telah diusahakan oleh petani di Kabupaten Majalengka. Hal ini tidak terlepas dari status bawang merah sebagai salah satu komoditas hortikultura yang termasuk dalam kategori komoditas bernilai tinggi (high value comodity), sehingga banyak petani yang mengusahakannya. Akan tetapi, masih adanya permasalahan yang saat ini dihadapi oleh petani bawang merah di Kabupaten Majalengka. Permasalahan yang dihadapi petani bawang merah adalah produksi bawang merah yang bersifat musiman, tingginya biaya produksi, dan fluktuasi harga bawang merah.

(23)

memberikan dampak terhadap kehilangan hasil panen pada musim hujan. Produksi rata-rata musim hujan sebesar 8.2 ton /ha lebih rendah dari pada musim kemarau sebesar 14.2 ton/ha (Rachman et al 2004). Oleh sebab itu, penanaman bawang merah lebih banyak dilakukan pada musim kemarau. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perbedaan keuntungan usahatani dan dayasaing bawang merah di setiap musim (Maryowani dan Darwis 2010).

Kendala selanjutnya yang dihadapi petani adalah produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka juga dihadapkan pada usahatani berbiaya tinggi. Usahatani bawang merah membutuhkan biaya per satuan luas lahan yang lebih tinggi khususnya untuk upah tenaga kerja dan sarana produksi. Menurut Rachman et al (2004) di Kabupaten Majalengka pengeluaran biaya untuk sarana produksi menempati urutan pertama dengan proporsi biaya berkisar antara 21.60-34.50 persen dibandingkan biaya untuk penggunaan tenaga kerja sebesar 16.3-32.9 persen terhadap total penerimaan. Tingginya biaya sarana produksi, terutama disebabkan oleh tingginya harga bibit (Apriani 2011).

Permasalahan yang menjadi bagian dari kompleksitas usahatani bawang merah adalah harga jual bawang merah yang sangat berfluktuasi, bahkan harga akan turun pada saat panen raya dan masuknya bawang merah impor. Fluktuasi harga bawang merah tergantung dengan kondisi pasar yaitu terhadap jumlah permintaan dan penawaran bawang merah. Harga eceran bawang merah rata-rata pada tahun 2014 sebesar Rp 10 157/kg (Ditan Jawa Barat 2015). Sementara itu, harga rata-rata bawang merah impor jauh lebih rendah sebesar Rp 4 423/kg yang diperoleh dari harga cif bawang merah (HS0703102900). Perbedaan harga yang cukup tinggi ini akan memberikan pengaruh terhadap lemahnya dayasaing bawang merah di Kabupaten Majalengka.

Bawang merah adalah salah satu komoditas pertanian penting pengendali inflasi yang tidak terlepas dari adanya campur tangan pemerintah. Kebijakan pemerintah erat kaitannya dengan output dan input pengusahaan komoditas bawang merah. Kebijakan pemerintah yang memproteksi komoditas bawang merah khususnya untuk mencegah tingginya fluktuasi harga jual adalah kebijakan pemerintah berupa harga referensi bawang merah sebesar Rp 25 700 per kg. Hal ini berdasarkan Permentan No 86/2013, Permendag 47/2013 dan SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No 118/PDN/2013. Dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut diharapkan dapat meregulasi harga bawang merah dan mencegah pemasokan bawang merah impor yang tidak tepat. Kebijakan terkait pengaturan impor hortikultura termasuk di dalamnya adalah bawang merah diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 71/M-DAG/PER/9/2015 dan penetapan tarif bea masuk untuk bawang merah impor sebesar 20 persen melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 241/PMK.001/2010.

(24)

Kebijakan pemerintah yang ada akan mempengaruhi dayasaing komoditas bawang merah di Kabupaten Majalengka dan kebijakan tersebut akan berpengaruh terhadap output-input pengusahaan komoditas bawang merah di Kabupaten Majalengka. Oleh sebab itu, diperlukan analisis mengenai dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas bawang merah di Kabupaten Majalengka. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat dirumuskan pertanyaan yang mendasari penelitian ini yaitu:

(1) Apakah komoditas bawang merah di Kabupaten Majalengka pada musim hujan dan musim kemarau menguntungkan secara privat dan sosial?

(2) Bagaimana dayasaing komoditas bawang merah di Kabuapten Majalengka pada musim hujan dan musim kemarau?

(3) Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas bawang merah di Kabupaten Majalengka pada musim hujan dan musim kemarau?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka dapat disusun tujuan penelitian sebagai berikut:

(1) Menganalisis keuntungan privat dan keuntungan sosial usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka pada musim hujan dan musim kemarau (2) Menganalisis dayasaing bawang merah di Kabupaten Majalengka pada musim

hujan dan musim kemarau

(3) Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing bawang merah di Kabupaten Majalengka pada musim hujan dan musim kemarau

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: (1) Peneliti sebagai sarana pembelajaran dan penerapan ilmu.

(2) Pelaku agribisnis sebagai informasi dan gambaran mengenai usahatani dan dayasaing komoditas bawang merah dalam pengambilan keputusan untuk melakukan usaha.

(3) Pemerintah sebagai informasi, masukan dan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pengembangan usahatani bawang merah.

(4) Peneliti lain sebagai bahan informasi untuk penelitian lanjutan.

Ruang Lingkup Penelitian

(25)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Usahatani Bawang Merah

Penelitian-penelitian mengenai usahatani bawang merah ini telah banyak dilakukan, dan rata-rata menunjukkan bahwa usahatani bawang merah ini layak dan menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan Revenue-Cost (R/C-rasio) yang lebih dari satu usahatani yang dilakukan memberikan keuntungan. Hal tersebut menunjukan bahwa ada insentif yang diterima petani atas faktor-faktor produksi yang telah digunakan untuk usahatani bawang merah. Terdapat beberapa indikator keberhasilan suatu usahatani, salah satunya pendapatan. Pendapatan usahatani adalah keuntungan yang diperoleh petani setelah mengurangkan biaya yang diperoleh selama proses produksi dengan penerimaan usahatani. Pendapatan usahatani bawang merah disetiap daerah berbeda-beda. Rachman et al (2004) menganalisis bahwa usahatani bawang merah di Kabupaten Indramayu dan Majalengka memiliki nilai pendapatan berkisar antara Rp 3 600 000-Rp 13 600 000 per hektar per musim tanam.

Pendapatan usahatani bawang merah juga bervariasi antar musim. Menurut Rachman et al (2004) menyatakan bahwa keuntungan usahatani bawang merah di Indramayu dan Majalengka tertinggi dicapai pada musim kemarau II. Hal ini disebabkan oleh total biaya yang dikeluarkan pada musim kemarau II lebih kecil daripada musim lainnya. Selain itu produktivitas yang dihasilkan dan harga jual yang diterima petani bawang merah pada musim kemarau II lebih besar bila dibandingkan dengan musim lainnya. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Aldila (2016), petani bawang merah di Kabupaten Cirebon mencapai keuntungan tertinggi pada musim kemarau II yang mana pada musim ini produktivitas bawang merah yang diperoleh relatif lebih tinggi yaitu mencapai 14.1 ton/ha dan harga jual yang relatif mahal yaitu Rp 9 440/kg. Berbeda dengan yang terjadi di Kabupaten Brebes dan Tegal. Pencapaian keuntungan tertinggi diperoleh pada saat musim hujan. Hal ini dikarenakan pada musim hujan harga jual bawang merah lebih tinggi daripada musim kemarau yaitu berkisar antara Rp 10 222/kg – Rp 13 071/kg.

(26)

dua varietas benih yaitu varietas Sumenep dan Balikaret. Pendapatan atas biaya tunai pada usahatani bawang merah varietas Sumenep memberikan keuntungan sebesar Rp 97 444 388.98 dan varietas Balikaret sebesar Rp 88 693 918.89. Pendapatan atas biaya total masing-masing usahatani yaitu Rp 81 554 749.62 untuk varietas Sumenep dan Rp 76 892 539.82 untuk varietas Balikaret. Pendapatan atas biaya tunai maupun atas biaya total pada setiap usahatani menunjukan bahwa usahatani yang dilakukan di lokasi penelitian menguntungkan untuk diusahakan. Hal tersebut dilihat dari nilai pendapatan atas biaya tunai maupun biaya total yang lebih besar dari nol. Nilai R/C rasio atas biaya tunai pada masing-masing usahatani nilainya lebih dari satu. Nilai R/C rasio berturut-turut adalah usahatani bawang merah varietas Sumenep 3.40 dan varietas Balikaret 2.41. Sementara itu, nilai R/C rasio atas biaya total berturut-turut adalah 2.44 dan 2.03. Berdasarkan nilai R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total, maka usahatani bawang merah menguntungkan untuk diusahakan karena nilai R/C rasio lebih besar dari satu.

Keberhasilan didalam usahatani bawang merah sangat ditentukan oleh upaya pemeliharaan tanaman yang dilakukan oleh petani, karena tanaman bawang merah perlu perhatian yang khusus didalam membudidayakannya seperti membutuhkan ketersediaan air yang cukup, rentan terhadap serangan hama dan penyakit dan rentan terhadap perubahan iklim dan cuaca. Sehingga bawang merah membutuhkan tenaga kerja yang cukup intensif untuk melakukan beberapa aktivitas budidaya sampai dengan panen atau pascapanen (Mayrowani dan Darwis 2010). Penelitian yang dilakukan Mayrowani dan Darwis (2010) menunjukkan proporsi pengeluaran tertinggi untuk tenaga kerja mencapai 40.94 – 51.48 persen. Sementara untuk perolehan keuntungan usahatani bawang merah di Brebes bisa mencapai Rp 6 830 000 – Rp 21 200 000 per ha per musim tanam. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Nurasa dan Darwis (2007) menjelaskan perbedaan keuntungan yang diperoleh oleh petani disebabkan oleh tingginya pengeluaran biaya produksi yang dikeluarkan yang mencapai nilai 90 persen dari total pendapatan. Biaya produksi tertinggi dikeluarkan untuk upah tenaga kerja yang mencapai 51,48 persen, kemudian benih 24,81 persen, pestisida 9,73 persen, pupuk 8,74 persen dan benih lainnya 5,22 persen. Hal ini memberikan dampak terhadap tingkat keuntungan usahatani. Hasil analisis usahatani bawang merah oleh Nurasa dan Darwis (2007) di Kabupaten Brebes menunjukkan bahwa produksi yang dihasilkan cukup tinggi mencapai 11.1 ton per hektarnya dengan keuntungan yang diperoleh untuk dua kali musim tanam dalam setahun sebesar Rp 6 831 000 dengan R/C-rasio sebesar 1.1. Jadi dapat dikatakan bahwa berusahatani bawang merah memberikan keuntungan meskipun tingkat keuntungan yang diperoleh petani masih kecil. Perbedaan ini disebabkan adanya variasi dari produktivitas, harga jual produk dan biaya usahatani bawang merah yang dikeluarkan pada masing-masing daerah.

(27)

usahatani lahan sempit adalah 3.47 dan 1.65 dan lahan luas senilai 3.09 dan 1.88. Hal ini memberikan penjelasan bahwa usahatani bawang merah tersebut dapat memberikan keuntungan.

Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah dengan Metode

Policy Analysis Matrix (PAM)

Metode Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan metode yang menggunakan tiga analisis ukuran yakni keuntungan privat dan sosial, analisis dayasaing berupa keungulan komparatif dan kompetitif, dan analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas. Penelitian mengenai dayasaing bukanlah yang pertama kali, banyak peneliti terdahulu yang telah menggunakan metode PAM ini. Metode PAM membantu mengambil kebijakan baik di pusat maupun di daerah untuk menelaah tiga isu umum kebijakan pertanian (pearson et al. 2005). Isu pertama berkaitan dengan sebuah sistem usahatani yang memiliki dayasaing pada tingkat harga aktual, isu kedua adalah dampak investsi publik seperti infrastruktur baru dalam sistem usahatani dan isu ketiga berkaitan dengan dampak investasi baru dalam berbagai bentuk, baik dari segi riset maupun teknologi pertanian (Pearson 2005; Zimmer 2010). Ketiga isu ini pada dasarnya bertujuan untuk memberikan informasi dan analisis dalam membantu pengambilan kebijakan pertanian.

(28)

petani lebih tinggi 12 persen dibanding bila mengimpor satu satuan produk yang sama dan petani bawang merah belum bisa bersaing dengan produsen yang sama dari negara lain.

Kebijakan pemerintah atau intervensi pemerintah yang diterapkan dalam pengembangan komoditas memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap dayasaing komoditas tersebut. Joubert et al. (2010) menganalisis keunggulan komparatif kentang di Afrika Selatan menyatakan bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah pada input dan output komoditas kentang menyebabkan kentang tidak memiliki keunggulan komparatif di Afrika Selatan. Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Tinaprilla (2008) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah mampu memberikan insentif yang baik terhadap usahatani cabai merah di Lembang sehingga keuntungan yang diperoleh petani lebih besar jika dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh tanpa adanya kebijakan atau intervensi pemerintah.

Dari hasil penelitian terdahulu yang menganalisis dayasaing diperoleh kesimpulan bahwa pengukuran dayasaing dengan menggunakan alat analisis PAM, selain dapat menganalisis dayasaing suatu sistem usahatani, perhitungannya juga dapat mengidentifikasi dampak intervensi atau kebijakan pemerintah terhadap sistem usahatani tersebut. Kebijakan pemerintah terhadap sektor pertanian di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia masih tetap diperlukan baik untuk melindungi konsumen maupun produsen dalam negeri, kebijakan tersebut masih diperlukan mengingat komoditas pertanian yang memiliki karakteristik yang khas dan memiliki perananan strategis dalam struktur perekonomian nasional. Maka untuk menganalisis tingkat dayasaing suatu komoditas dengan memperhitungkan dampak dari kebijakan pemerintah lebih tepat jika menggunakan alat analisis PAM.

Pengukuran Dayasaing

Metode yang dapat digunakan untuk mengukur dayasaing suatu komoditas pertanian yang telah digunakan pada penelitian-penelitian sebelumnya antara lain Policy Analysis Matrix (PAM), dan Revealed Comparative Advantage (RCA). Beberapa metode ini dapat digunakan sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan.

(29)

seperti perubahan pada harga, produksi ataupun kebijakan pemerintah (Amirteimoori dan Chizari 2008).

Suatu komoditas mungkin saja berdayasaing baik secara kompetitif maupun komparatif. Penelitian yang dilakukan oleh Tinaprilla (2008) pada usahatani cabai merah di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat menunjukkan bahwa komoditas cabai merah memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Hasil analisis yang sama juga dilakukan oleh Kiloes (2014) menunjukkan bahwa pengusahaan komoditas kentang di Pangalengan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif, yang ditunjukkan dengan nilai PCR sebesar 0.24 dan nilai DRCR 0.36. Nilai DRCR yang lebih besar dari nilai PCR menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang meningkatkan efisiensi petani dalam berproduksi. Namun, penelitian Aldila (2016) mengenai dayasaing komoditas bawang merah di wilayah sentra produksi di Indonesia hanya memiliki keunggulan kompetitif, karena keuntungan privat yang lebih besar dari nol dan nilai PCR yang kurang dari satu. Akan tetapi komoditas bawang merah ini tidak memiliki keunggulan komparatif, karena nilai keuntungan sosial yang diperoleh bernilai negatif dengan nilai DRCR yang lebih besar dari satu. Hasil penelitian Kapaj et al (2010) juga melaporkan bahwa produksi minyak zaitun di Albania tidak memiliki keunggulan komparatif tetapi memiliki keunggulan kompetitif.

Metode PAM selain dapat menganalisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif, secara bersamaan juga dapat menganalisis dampak kebijakan pemerintah, seperti hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Aldila (2016) bahwa dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas bawang merah di wilayah sentra produksi di Indonesia secara keseluruhan menguntungkan bagi pengembangan dan peningkatan dayasaing bawang merah. Sementara itu, Pranoto (2011) menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap keuntungan dan dayasaing lada putih di Provinsi Bangka Belitung dengan metode PAM menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang ada tidak berdampak positif dan tidak memberikan perlindungan yang efektif kepada petani lada putih untuk berproduksi.

(30)

Penelitian Bhattacharya (2011) untuk menghitung dayasaing komoditas sayuran dan buah-buahan di India menggunakan analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) menunjukan bahwa perolehan RCA > 1, berarti komoditas sayuran dan buah-buahan di India memiliki dayasaing yang kuat. Karina (2009) melakukan penelitian mengenai dayasaing produk Indonesia yang sensitif terhadap lingkungan dengan salah satu produk yang diteliti adalah bubur kertas. Hasil analisis menunjukkan bubur kertas memiliki keunggulan komparatif di pasar dunia. Sementara itu, penelitian Vildan dan Abdulkadir (2008) mengenai analisis dayasaing berupa keunggulan komparatif tomat, minyak zaitun dan industri jus buah Turki di pasar Uni Eropa dengan menggunakan metode analisis RCA menghasilkan bahwa Turki memiliki keunggulan komparatif dalam jus buah dan pasar minyak zaitun di Uni Eropa tetapi tidak terjadi di pasar tomat.

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Konsep Dayasaing

Konsep dayasaing sangat terkait dengan keunggulan yang dimiliki oleh suatu komoditi atau kemampuan suatu negara dalam menghasilkan suatu komoditi tersebut secara efisien dibandingkan negara lain (Cook 2004). Menurut European Commission (2009) bahwa indikator atau ukuran dayasaing adalah produktivitas dan efisiensi. European Commission juga menganggap produktivitas dan efisiensi sebagai indikator yang paling dapat diandalkan untuk dayasaing dalam jangka panjang. Keunggulan dayasaing dari suatu komoditi dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu keunggulan alamiah/keunggulan absolut (natural advantage) dan keunggulan yang dikembangkan (acquired advantage) (Esterhuizen 2008).

Keunggulan absolut merupakan keunggulan yang dimiliki oleh suatu negara untuk salah satu komoditinya tetapi tidak secara langsung menyebabkan komoditi tersebut akan menguasai pangsa pasar dunia. Hal ini dikarenakan jumlah produsen tidak hanya satu negara, akan tetapi ada beberapa negara yang sama-sama menghasilkan komoditi tersebut dengan kondisi keunggulan alamiah yang sama. Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur dayasaing suatu komoditi adalah faktor keunggulan komparatif (comparative advantage) dan faktor keunggulan kompetitif (compepetitive advantage). Keunggulan komparatif adalah suatu kemampuan untuk mendapatkan suatu barang yang dapat dihasilkan dengan tingkat biaya yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan barang-barang lain. Teori keunggulan komparatif dikemukakan oleh J.S. Mill dan David Ricardo dan muncul sebagai usaha perbaikan terhadap teori keunggulan absolut (Salvatore 1997).

(31)

Kindleberger 1993). Ricardo menyatakan bahwa nilai suatu komoditas ditentukan oleh faktor tenaga kerja yang disebut teori nilai berdasar tenaga kerja (Labor theory of value), artinya hanya satu faktor produksi yang penting menentukan nilai suatu komoditas yaitu faktor tenaga kerja. Pada dasarnya, tenaga kerja bukanlah satu-satunya faktor produksi. Penggunaan tenaga kerja tidak dilakukan dalam proporsi yang sama pada setiap komoditas. Melainkan tenaga kerja juga tidak bersifat homogen karena adanya perbedaan dalam tingkat pendidikan, produktivitas dan upah yang diterima (Salvatore 1997).

Teori Heckser-Ohlin menyatakan bahwa suatu negara memiliki keunggulan komparatif dalam menghasilkan komoditi jika memanfaatkan kepemilikan faktor-faktor produksi yang melimpah di negaranya. Teori ini disebut juga sebagai teori keunggulan komparatif berdasarkan kelimpahan faktor (factor endowment theory of comparative advantage). Teori ini mengasumsikan bahwa setiap negara memiliki kesamaan fungsi produksi, sehingga faktor produksi yang sama menghasilkan output yang sama namun dibedakan oleh harga-harga relatif faktor produksi tiap negara. Kelebihan teori komparatif ini adalah mampu menjelaskan bagaimana perdagangan dapat terjadi walaupun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut. Kelemahan teori ini adalah teori disusun berdasarkan beberapa asumsi yang berbeda dengan dunia nyata. Hukum komparatif tersebut berlaku dengan beberapa asumsi, yaitu (1) hanya terdapat dua negara dan dua komoditi, (2) perdagangan bersifat bebas, (3) terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam namun tidak ada mobilitas antara dua negara, (4) biaya produksi konstan, (5) tidak ada biaya transportasi, (6) tidak ada perubahan teknologi, dan (7) menggunakan teori nilai tenaga kerja. Asumsi satu sampai enam dapat diterima, tapi asumsi tujuh tidak dapat berlaku dan seharusnya tidak digunakan untuk menjelaskan keunggulan komparatif. Sementara itu, keunggulan komparatif menurut Sudaryanto dan Simatupang (1993) merupakan ukuran dayasaing (keunggulan) potensial dalam arti dayasaing yang akan dicapai pada perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Keunggulan komparatif tidak stabil dan cenderung berubah seiring berjalannya waktu dan perubahan produksi. Oleh karena itu, konsep keunggulan komparatif tidak dapat dipakai untuk mengukur dayasaing satu kegiatan produksi pada kondisi perekonomian aktual (Salvatore 1997).

Keunggulan kompetitif merupakan perluasan dari keunggulan komparatif yang diajukan oleh Micheal Porter sebagai kesuksesan suatu perusahaan dalam beroperasi pasar. Keunggulan kompetitif merupakan alat untuk mengukur dayasaing komoditas suatu wilayah dengan wilayah lain. Keunggulan ini dapat dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku atau berdasarkan analisis finansial, sehingga konsep keunggulan kompetitif bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya menggantikan atau mensubstitusi terhadap konsep keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan konsep yang sifatnya saling melengkapi (Kannapiran dan Fleming 1999).

(32)

komparatif) namun tidak terlihat dalam prestasi ekspornya maka dapat dikatakan komoditas tersebut tidak mampu bersaing di pasar dunia (tidak memiliki keunggulan kompetitif) (Ivan et al. 2011).

Keunggulan kompetitif suatu negara ditentukan oleh empat faktor yang harus dimiliki suatu negara agar mampu bersaing. Keempat faktor tersebut adalah kondisi faktor sumberdaya (factor condition), kondisi permintaan (demand condition), industri terkait dan industri pendukung (related and supporting industry), persaingan, struktur dan strategi perusahaan (firm strategy, structure and rivalry). Keempat faktor penentu tersebut didukung oleh faktor eksternal yang terdiri atas peran pemerintah (government) dan terdapatnya kesempatan (chance events). Secara bersama-sama faktor tersebut membentuk suatu sistem yang berguna dalam peningkatan keunggulan dayasaing, sistem tersebut dikenal dengan “The National Diamond” (Boossabong dan Taylor 2009).

Keunggulan kompetitif dapat diciptakan antara lain melalui implementasi kebijakan pemerintah sehingga dapat tercipta efisiensi penggunaan sumberdaya. Suatu komoditas dapat mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif sekaligus, yang berarti komoditas tersebut menguntungkan untuk diproduksi atau diusahakan dan dapat bersaing di pasar internasional. Akan tetapi apabila komoditas yang diproduksi hanya mempunyai keunggulan komparatif namun tidak memiliki keunggulan kompetitif, maka dapat diasumsikan telah terjadi distorsi pasar atau terdapat hambatan-hambatan yang mengganggu kegiatan produksi sehingga merugikan produsen seperti prosedur administrasi, perpajakan dan lain-lain. Hal sebaliknya juga dapat terjadi bila suatu komoditas hanya memiliki keunggulan kompetitif dan tidak memiliki keunggulan komparatif. Kondisi ini akan terjadi apabila pemerintah memberikan proteksi terhadap komoditas tersebut seperti misalnya melalui stabilitas harga, kemudahan perizinan dan kemudahan berbagai fasilitas lainnya (Akhtar et al. 2009; Latruffe 2010).

Keunggulan kompetitif suatu komoditas diukur berdasarkan harga aktual (harga yang sebenarnya terjadi di pasar) atau berdasarkan analisis finansial yang akan menggambarkan manfaat suatu aktivitas dari sudut lembaga atau individu yang melibatkan diri secara langsung dalam aktivitas ekonomi tersebut (Siggel 2007; Boossabong dan Taylor 2009).

Konsep Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah diharapkan dapat meningkatkan dayasaing komoditas pertanian termasuk bawang merah baik dipasar regional, domestik maupun pasar internasional. Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk peningkatan ekspor atau sebagai usaha untuk melindungi produk dalam negeri. Kebijakan pemerintah diberlakukan terhadap input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan harga antara harga input dan output yang diterima produsen dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi persaingan sempurna.

Kebijakan Pemerintah Pada Harga Output

(33)

konsumen), dan tipe komoditas (komoditas ekspor atau impor). Klasifikasi dari kebijakan harga tersebut dapat dijelaskan pada Tabel 3.

Tabel 3. Tipe alternatif kebijakan pemerintah

Instrumen Dampak pada Produsen Dampak pada Konsumen Kebijakan Subsidi

PE = Produsen Barang Orientasi ekspor PI = Produsen Barang Substitusi Impor CE = Konsumen Barang Orientasi Ekspor CI = Konsumen Barang Substitusi Impor TCE = Hambatan Barang Ekspor

TPI = Hambatan Barang Impor

Penjelasan secara lebih rinci dari kebijakan tersebut adalah sebagai berikut (Monke and Pearson 1989) :

(1) Tipe Instrumen

Dalam kebijakan tipe instrumen, dibedakan pengertian antara subsidi dan kebijakan perdagangan. Subsidi adalah pembayaran dari dan atau untuk pemerintah. Apabila dibayar dari pemerintah maka disebut subsidi positif, sedangkan apabila dibayar untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Pada dasarnya, subsidi positif dan negatif bertujuan untuk menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional untuk melindungi konsumen atau produsen dalam negeri.

(34)

Kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk membatasi jumlah yang diekspor melalui penekanan baik pajak ekspor maupun pembatasan jumlah ekspor sehingga harga domestik lebih rendah bila dibandingkan dengan harga dipasar dunia. Kebijakan subsidi dan perdagangan berbeda dalam tiga aspek, pertama, yang berimplikasi pada anggaran pemerintah, kedua berupa alternatif kebijakan dan ketiga adalah kemampuan penerapan.

(a) Implikasi Pada Anggaran Pemerintah

Kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi anggaran pemerintah, sedangkan subsidi positif akan mengurangi anggaran pemerintah dan subsidi negatif (pajak) akan menambah anggaran pemerintah.

(b) Tipe Alternatif Kebijakan

Ada delapan tipe subsidi untuk produsen dan konsumen pada barang orientasi ekspor (PE) dan barang substitusi impor (SI) yaitu :

a. Subsidi positif kepada produsen barang substitusi impor (S+PI) b. Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE) c. Subsidi negatif kepada produsen barang substitusi impor (S-PI) d. Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (S-PE) e. Subsidi positif kepada konsumen barang substitusi impor (S+CI) f. Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE) g. Subsidi negatif kepada konsumen barang substitusi impor (S-CI) h. Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S-CE)

Subsidi positif yang diterapkan pada produsen maupun konsumen membuat harga yang diterima menjadi lebih tinggi bagi produsen dan lebih rendah bagi konsumen. Kondisi ini lebih baik jika dibandingkan tanpa ada kebijakan subsidi positif, sedangkan penerapan subsidi negatif (pajak) membuat harga yang diterima produsen lebih rendah, dan jika diterapkan pada konsumen akan menyebabkan harga lebih tinggi. Kondisi ini bagi produsen dan konsumen menjadi lebih buruk jika dibandingkan dengan kondisi sebelum subsidi negatif (pajak) diterapkan.

Pada kebijakan perdagangan hanya terdapat dua tipe yaitu hambatan pada barang impor (TPI) dan hambatan perdagangan pada barang ekspor (TPE). Aliran impor atau ekspor dapat dibatasi oleh pajak perdagangan atau kebijakan kuota sepanjang pemerintah dapat memiliki mekanisme yang efektif untuk mengontrol penyelundupan, sedangkan dampak dari perluasan ekspor atau impor tidak dapat diciptakan oleh kebijakan perdagangan. Negara hanya dapat melakukan subsidi impor atau ekspor dan memperluas perdagangan.

(c) Tingkat Kemampuan Penerapan

Kebijakan subsidi dapat diterapkan untuk setiap komoditas baik komoditas tradable maupun komoditas non tradable. Hal ini dikarenakan pemerintah dari kedua negara yang melakukan perdagangan mempunyai kemampuan dalam penerapan kabijakan, sedangkan kebijakan perdagangan hanya diterapkan untuk barang-barang yang diperdagangkan (tradable).

(2) Kelompok Penerima

(35)

P

pemerintah. Jika tidak ada kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan, pemerintah melalui anggarannya harus membayar keseluruhan transfer, ketika produsen memperoleh keuntungan dan konsumen mengalami kerugian, dan sebaliknya ketika konsumen memperoleh keuntungan dan produsen mengalami kerugian. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa keuntungan yang didapatkan oleh satu pihak hanya menjadi pengganti dari kerugian yang dialami pihak lain, tetapi dengan adanya transfer yang diikuti oleh efisiensi ekonomi yang hilang, maka keuntungan yang diperoleh akan lebih kecil daripada kerugian yang diderita. Oleh karena itu, manfaat yang diperoleh kelompok tertentu (konsumen, produsen atau keuangan pemerintah) adalah lebih kecil dari jumlah yang hilang dari kelompok yang lain.

(3) Tipe Komoditas

Klasifikasi tipe komoditas bertujuan untuk membedakan antara komoditas yang dapat diekspor dan komoditas yang dapat diimpor. Apabila tidak ada kebijakan harga, maka harga domestik adalah sama dengan harga dipasar internasional, dimana untuk barang yang diekspor digunakan harga fob (harga dipelabuhan ekspor) dan untuk barang yang dapat diimpor digunakan harga cif (harga pelabuhan impor).

Kebijakan harga yang ditetapkan pada input dapat berupa kebijakan subsidi baik subsidi positif maupun subsidi negatif (pajak) dan kebijakan hambatan perdagangan yang berupa tarif dan kuota. Pengaruh kebijakan subsidi terhadap barang impor dapat dilihat pada Gambar 2 dan Pengaruh kebijakan subsidi terhadap barang ekspor dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2 Dampak subsidi positif bagi produsen dan konsumen barang impor Sumber : Monke and Pearson, 1989

Keterangan :

Pw = Harga di Pasar Internasional Pd = Harga di Pasar Domestik

Pp = Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan subsidi S+PI = Subsidi kepada produsen untuk barang impor

(36)

Q

Gambar 2.a adalah subsidi positif untuk produsen barang impor dimana harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga dipasaran dunia. Hal ini menyebabkan output produksi dalam negeri meningkat dari Q1 ke Q2 sedangkan konsumsi tetap di Q3, harga yang diterima konsumen tetap sama dengan harga dipasaran dunia. Subsidi dapat dilakukan jika produsen dan konsumen dapat dipisahkan berdasarkan wilayah ekonomi yang jauh dari kontrol administrasi yang ketat sehingga perbedaan harga antara produsen (karena diberi subsidi) dan konsumen (tanpa subsidi) dapat terjadi. Subsidi ini menyebabkan jumlah impor turun dari Q3 – Q1 menjadi Q3 – Q2. Tingkat subsidi per output sebesar (Pp - Pw) pada output Q2, maka transfer total dari pemerintah ke produsan sebesar Q2 x (Pp - Pw) atau PdABPw. Subsidi menyebabkan barang yang tadinya diimpor diproduksi sendiri dengan biaya yang dikorbankan sebesar Q1CBQ2, sehingga efisiensi yang hilang sebesar CAB.

Gambar 2.b menunjukan subsidi positif pada konsumen untuk output yang diimpor. Kebijaksanaan subsidi sebesar Pw - Pd menyebabkan produksi turun dari Q1 ke Q2 dan konsumsi naik dari Q3 ke Q4 sehingga impor meningkat dari Q3 - Q1 menjadi Q4– Q2. Transfer yang terjadi terdiri dari dua yaitu transfer dari pemerintah ke konsumen sebesar ABGH dan transfer dari produsen ke konsumen sebesar kemampuan membayar konsumen sebesar Q3EG Q4, sehingga efisiensi yang hilang sebesar EGH.

Gambar 3 Dampak subsidi positif bagi produsen dan konsumen barang ekspor Sumber : Monke and Pearson, 1989

Keterangan :

Pw = Harga di Pasar Internasional Pd = Harga di Pasar Domestik

Pp = Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan subsidi Pc = Harga di tingkat konsumen setelah diberlakukan subsidi S+PE = Subsidi kepada produsen untuk barang ekspor

(37)

Pd

Gambar 3.a menunjukkan subsidi untuk produsen barang ekspor. Harga di pasar domestik sama dengan harga di pasar internasional, pada kondisi ini produksi dalam negeri (Q3) lebih besar daripada permintaan dalam negeri (Q1). Hal ini mengakibatkan terjadinya kelebihan penawaran untuk ekspor sebesar (Q3 – Q1). Dalam rangka peningkatan ekspor, pemerintah memberikan subsidi kepada produsen sebesar (Pd – Pw) untuk per unit barang. Kebijakan subsidi ini menyebabkan harga yang diterima oleh produsen (Pd) lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar internasional. Harga yang tinggi akan menyebabkan terjadinya peningkatan output produksi dalam negeri dari Q3 ke Q4 sedangkan konsumsi akan menurun dari Q1 ke Q2, sehingga jumlah ekspor meningkat dari (Q3– Q1) ke (Q4– Q2). Besar subsidi yang diberikan pemerintah sebesar GABH. Kebijakan subsidi pada produsen barang ekspor ini mengakibatkan terjadinya kehilangan efisiensi perekonomian negara sebesar (ABF + EGH).

Gambar 3.b menunjukkan subsidi yang diberlakukan kepada konsumen barang ekspor. Kebijakan subsidi yang diberikan oleh pemerintah dapat menyebabkan harga yang diterima oleh konsumen domestik (Pc) lebih rendah daripada harga internasionalnya (Pw). Kondisi ini akan mengakibatkan terjadinya peningkatan konsumsi barang impor dari Q1 ke Q2. Nilai Opportunity Cost dari peningkatan konsumsi tersebut sebesar Q1CBQ2. Total kemampuan membayar konsumen pada peningkatan konsumsi ini adalah sebesar Q1CAQ2. Efisiensi konsumen yang hilang dalam konsumsi sebesar segitiga CBA.

Kebijakan hambatan perdagangan pada barang-barang impor maupun ekspor yang merupakan bentuk kebijakan selain subsidi yang dapat diterapkan pada output, hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Hambatan perdagangan pada barang impor dan ekspor Sumber : Monke and Pearson, 1989

Keterangan :

Pw = Harga di Pasar Internasional Pd = Harga di Pasar Domestik

(38)

Q Q terdapat tarif sebesar (Pd - Pw) sehingga meningkatkan harga didalam negeri baik untuk produsen maupun konsumen. Output domestik meningkat dari Q1 ke Q2 dan konsumsi turun dari Q3 ke Q4, sehingga impor turun dari Q3– Q1 menjadi Q4– Q2. Dengan demikian, terjadi transfer pendapatan dari konsumen kepada produsen sebesar (Pd - Pw)Q2 atau PdEFPw dan terjadi transfer dari anggaran pemerintah kepada produsen sebesar (Pd - Pw) (Q4– Q2) atau FEAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi konsumen adalah perbedaan antara opportunity cost dari perubahan konsumsi Q4BCQ3 dengan willingness to pay Q4ACQ3, sehingga efisiensi yang hilang pada konsumen adalah sebesar daerah ABC dan pada produsen sebesar EFG. Gambar 4.b memperlihatkan hambatan perdagangan pada konsumen untuk barang ekspor. Hambatan perdagangan menyebabkan harga yang diterima produsen lebih rendah dari harga dipasaran dunia, akibatnya produsen mengurangi produksi dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi meningkat dari Q1 ke Q2. Berkurangnya produksi menyebabkan jumlah barang yang diekspor berkurang dari Q3 – Q1 manjadi Q4– Q2.

Kebijakan Pemerintah Pada Harga Input

Kebijakan terhadap input dapat diterapkan pada input tradable dan input non tradable. Pada kedua input tersebut, kebijakan dapat berupa subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak diterapkan pada input domestik (non tradable) karena input non tradable diproduksi dan di konsumsi di dalam negeri. Pemerintah menerapkan program kebijakan harga input dengan tujuan meningkatkan pendapatan petani. Menurut Saylor (2013), adapun tujuan lain yaitu meningkatkan ketertarikan produsen untuk mengusahakan suatu komoditas yang dibututhkan oleh masyarakat.

(1) Kebijakan Input Tradable

Kebijakan pada input tradable dapat berupa kebijakan subsidi atau pajak dan kebijakan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable dapat ditunjukan pada Gambar 5 :

(39)

Q

Gambar 5.a menunjukan pengaruh pajak terhadap input tradable yang digunakan. Adanya pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama, output domestik turun dari Q1 ke Q2 dan kurva suplai bergeser ke kiri atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC, yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1CA Q2 dengan ongkos produksi dari output Q2BC Q1. Sedangkan Gambar 5.b menggambarkan dampak subsidi input yang menyebabkan harga input lebih rendah dan biaya produksi lebih rendah sehingga kurva suplai bergeser ke kanan bawah dan produksi naik dari Q1 ke Q2, efisiensi ekonomi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yaitu perbedaan antara biaya produksi yang bertambah dengan meningkatnya output dengan peningkatan nilai input.

(2) Kebijakan Input Non Tradable

Pada input non tradable kebijakan pemerintah meliputi kebijakan pajak dan subsidi karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri, sedangkan kebijakan perdagangan tidak dapat diterapkan pada input non tradable. Ilustrasi mengenai kebijakan subsidi dan pajak yang diterapkan pemerintah pada input non tradable dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Pajak dan subsidi pada input non tradable Sumber : Monke and Pearson, 1989

Keterangan :

Pw = Harga di Pasar Internasional Pd = Harga di Pasar Domestik

Pp = Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan subsidi Pc = Harga di tingkat konsumen setelah diberlakukan subsidi S – N = Pajak untuk Barang Non Tradable

(40)

Pada Gambar 6.a terlihat dengan adanya pajak (PC - PP) menyebabkan produksi yang dihasilkan turun dari Q1 menjadi Q2. Efisiensi ekonomi dari produsen yang hilang sebesar BCA dan dari konsumen yang hilang sebesar DBA. Pada subsidi positif (Gambar 6.b), adanya subsidi menyebabkan produksi meningkat dari Q1 ke Q2 , karena harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen turun menjadi PC. kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandingan antara peningkatan nilai output dengan meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar.

Policy Analysis Matrix (PAM)

Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Kebijakan digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas, yaitu tingkat usahatani (farm production), penyampaian dari usahatani ke pengolah, pengolahan maupun pemasaran (Monke and Pearson 1989). Metode ini berisi sejumlah asumsi secara teoritis dan penyederhanaan secara empiris serta pemahaman terkait dasar-dasar untuk aplikasi yang berguna (Monke dan Person 1989). Dasar dari metode ini adalah perumusan anggaran pada kegiatan usahatani yang dijalankan pada suatu daerah. Pearson et al. (2005) menyatakan bahwa isu utama dari metode PAM antara lain 1) dampak kebijakan terhadap dayasaing dan tingkat keuntungan usahatani, 2) pengaruh kebijakan investasi publik terhadap efisiensi ekonomi dan keunggulan komparatif, dan 3) dampak kebijakan riset dan perubahan teknologi pada sektor pertanian

Tujuan utama dari metode PAM ini adalah untuk menjawab ketiga isu utama tersbut, yaitu untuk menghitung tingkat keuntungan privat usahatani pada tingkat harga pasar atau aktual. Tujuan kedua yaitu untuk menghitung tingkat keuntungan sosial usahatani pada tingkat harga efisiensi (social opportunity cost), dan tujuan ketiga untuk menghitung transfer effect sebagai dampak dari sebuah kebijakan (Pearson et al. 2005).

Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan produk dari dua identitas yaitu identitas keuntungan dan identitas penyimpangan. Keuntungan diartikan sebagai pendapatan dikurangi biaya, sedangkan identitas penyimpangan adalah selisih antara harga privat dan harga sosial pada suatu komoditas (Monke and Pearson 1989).

(41)

dibedakan atas dua komponen, yaitu biaya untuk input tradable dan input non tradable. Tabel PAM dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Policy analysis matrix (PAM)

Uraian Penerimaan Biaya Keuntungan

Tradable Non-Tradable

Nilai Privat A B C D

Nilai Sosial E F G H

Efek Divergensi I J K L

Sumber: Monke dan pearson (1989)

Keterangan:

A = Penerimaan Privat G = Biaya Input Non-Tradable Sosial B = Biaya Input Tradable Privat H = Keuntungan Sosial

C = Biaya Input Non-Tradable Privat I = Transfer Output

D = Keuntungan Privat J = Transfer Input Tradable E = Penerimaan Sosial K = Transfer Faktor

F = Biaya Input Tradable Sosial L = Laba Bersih

Matrix PAM juga memiliki empat kolom. Kolom pertama merupakan kolom penerimaan, penerimaan merupakan nilai yang didapatkan dari penjualan output. Kolom kedua merupakan kolom biaya input asing (tradable), kolom ketiga merupakan kolom biaya input domestik (non tradable). Biaya terbagi menjadi asing dan domestik. Biaya asing (tradable) adalah biaya yang dikeluarkan untuk input yang diproduksi dan diperdagangkan secara internasional, sedangkan biaya domestik (non tradable) dikeluarkan pada input dalam negeri. Kolom keempat merupakam selisih dari penerimaan dan biaya yaitu keuntungan yang didapatkan dari nilai finansial, ekonomi dan efek divergensi.

Asumsi yang digunakan dalam matrix PAM menurut Monke and Pearson (1989) adalah:

(1) Perhitungan berdasarkan harga privat (Privat Cost) yaitu harga yang benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang terjadi setelah adanya kebijakan.

(2) Perhitungan berdasarkan harga sosial (Social Cost) atau harga bayangan (Shadow Price) yaitu harga pada konsisi pasar persaingan sempurna atau harga yang terjadi bila tidak ada kebijakan pemerintah. Pada komodotas yang dapat diperdagangkan (tradable) harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar internasional.

(3) Output bersifat dapat diperdagangkan (tradable) dan input dapat dipisahkan ke dalam komponen asing (tradable) dan domestik (non tradable).

(4) Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan.

Penggunaan harga pasar dan harga sosial dalam Matriks Kebijakan, menunjukkan bahwa analisis ini mencakup analisis finansial dan analisis ekonomi. Analisis finansial bertujuan untuk mengamati aktivitas peserta ekonomi secara individu atau privat, sedangkan analisis ekonomi bertujuan untuk mengamati suatu aktivitas ekonomi dari sudut masyarakat secara keseluruhan.

(42)

Kerangka Pemikiran Operasional

Setiap tahun Indonesia melakukan kegiatan ekspor dan impor bawang merah, tetapi volume ekspor bawang merah jauh lebih kecil dibandingkan dengan volume impor bawang merah di Indonesia. Pada tahun 2014, volume impor bawang merah mencapai 74 903 ton, sedangkan volume ekspornya hanya 4 439 ton (Kementan 2015). Masih tingginya volume impor bawang merah ini disebabkan oleh bawang merah di Indonesia masih bersifat musiman, sehingga kebutuhan bawang merah pada musim-musim tertentu dipenuhi dengan impor. Tindakan impor ini menjadikan Indonesia sebagai net importer bawang merah.

Ketergantungan terhadap bawang merah impor di Indonesia ini disebabkan oleh harga bawang merah impor yang jauh lebih murah dibandingkan dengan harga bawang merah di pasar dalam negeri. Harga bawang merah impor yang diperoleh dari harga cif (HS 0703102900) sebesar Rp 5 139/kg. Sementara itu, harga bawang merah di dalam negeri jauh lebih tinggi dengan harga eceran bulanan bawang merah pada tahun 2013-2014 rata-rata sebesar Rp 28 487/kg (Kemendag 2015). Perbedaan harga yang sangat jauh ini menyebabkan dayasaing bawang merah dalam negeri lemah sehingga pasar dalam negeri masih banyak dibanjiri oleh bawang merah impor.

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam memproduksi bawang merah. Sentra produksi bawang merah di Indonesia terkosentrasi pada pulau Jawa. Pulau Jawa menyumbang sebesar 78.46 persen produksi bawang merah di Indonesia. Di antara provinsi yang ada di pulau Jawa, Jawa Tengah merupakan provinsi utama yang mendominasi produksi bawang merah di Indonesia sebesar 42.8 persen. Jawa Timur menempati urutan kedua dalam sumbangan produksi bawang merah di Indonesia sebesar 22.4 persen dan urutan ketiga ditempati oleh provinsi Jawa Barat dengan kontribusi sebesar 13.26 terhadap produksi bawang merah di Indonesia (BPS 2015).

Gambar

Tabel 3. Tipe alternatif kebijakan pemerintah
Gambar 2.a adalah subsidi positif untuk produsen barang impor dimana harga  yang  diterima  produsen  lebih  tinggi  dari  harga  dipasaran  dunia
Gambar  3.b  menunjukkan  subsidi  yang  diberlakukan  kepada  konsumen  barang  ekspor
Gambar  4.a  menunjukan  adanya  hambatan  pada  barang  impor  dimana  terdapat tarif sebesar (P d  - P w ) sehingga meningkatkan harga didalam negeri baik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sutarto Hadi dengan judul “Pemahaman konsep matematika siswa SMP melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe memeriksa berpasangan (pairs chekcs)” dengan

SKPD Dinas Pendidikan Kabupaten Banjar mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintah daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan di bidang pembinaan

Data di atas sesuai dengan hail wawancara dengan beberapa informan baik dari pemerintah setempat maupun dari pihak masyarakat , yang menyatakan bahwa secara kasat mata

Pemberian otak sapi dapat meningkatkan kadar lemak yang termasuk didalamnya trigliserida, dan pemberian selai kacang dengan substitusi bekatul 30% dengan dosis 21

24 Tahun 1997 tersebut, maka sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat dan bahwa tujuan pendaftaran tanah yang diselenggarakan adalah dalam rangka menjamin

Waskita Karya (Persero) Tentang Persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan Tahun 2007.. Risk Budgeting and The Art of Good Risk

II. Dasar Teori Kapasitor adalah dua buah penghantar (konduktor) yang sejajar dan diberikan muatan yang sama tetapi berlawanan jenis.

Keberadaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkup Dinas Peternakan telah diatur dalam Keputusan Gubernur Jawa Timur tanggal 22 Mei 1998 Nomor 62 Tahun 1998 tentang