• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN

3.2. Metode penelitian

Penelitian mengenai pengembangan marka molekuler DNA dalam identifikasi sel gonad ikan nila dan ikan gurame dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu disain primer marka molekuler, ekstraksi DNA (Lampiran 1), proses amplifikasi PCR, uji spesitivitas primer, dan uji sensitivitas PCR untuk membedakan DNA ikan gurame dan ikan nila, dengan membuat rasio pencampuran DNA gurame dan nila secara gradual.

3.2.1. Disain primer marka molekuler

Pada tahap ini dilakukan disain beberapa primer yang akan dijadikan kandidat sebagai marka molekuler dalam identifikasi sel gonad ikan gurame.

Primer yang didisain adalah berdasarkan sekuen GH, vasa, dan β-aktin.

Primer GH yang dirancang dengan menyejajarkan (alignment) sekuen GH gurame (Nugroho et al. 2008) dan sekuen GH nila (Bank Gen No. M26916), sedangkan vasa didisain dengan menyejajarkan sekuen vasa gurame (Alimuddin

et al. 2009). Sama halnya GH dan vasa, β-aktin juga dirancang dengan

menyejajarkan β-aktin gurame dan nila. Penyejajaran sekuen dilakukan menggunakan program GENETYX versi 7.0, dengan tujuan untuk memperoleh area potensial forward dan reverse bagi primer kandidat sebagai marka molekuler

penanda sel gonad ikan gurame. Khusus untuk β-aktin dirancang sebagai primer kontrol internal yang dapat mengidentifikasi sel gonad ikan gurame dan ikan nila.

3.2.2. Ekstraksi DNA

DNA diekstraksi dari sirip dan sel gonad menggunakan 200 μL Cell Lysis Solution (Gentra, Minneapolis, USA) dan 1,5 μL Proteinase K (20 mg/mL).

Inkubasi dilakukan pada suhu 55°C selama semalam. Setelah sel terlisis

sempurna, ditambahkan 1,5 μL RNase (4 mg/mL) dan diinkubasi 37o

C selama 60

menit. Kemudian ke dalam tabung sampel ditambahkan 100 μL Protein Precipitation Solution (Gentra, Minneapolis, USA), disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam

mikrotub yang berisikan 300 μL isopropanol. Selanjutnya disentrifugasi dengan

kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang, kemudian

ditambahkan 300 μL etanol 70% dingin ke dalam mikrotub berisi pellet DNA.

Sampel disentrifugasi kembali dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit.

Supernatan dibuang, pellet DNA dikeringudarakan dan ditambahkan 30 μL Sterille Destillate Water(SDW). DNA disimpan dalam freezer suhu -20oC hingga akan digunakan.

Analisa kemurnian dan kandungan DNA dilakukan melalui dua cara yaitu secara kuantitatif dengan spektrofotometer GeneQuant dan kualitatif menggunakan elektroforesis. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 260

260) nm. Kemurnian DNA diketahui dengan melihat rasio DNA pada perbandingan absorbansi panjang gelombang 260 nm dengan panjang gelombang

280 nm. Kandungan DNA ditentukan dari pengukuran pada λ260. 3.2.3 Amplifikasi DNA dengan PCR

Total volume untuk pereaksi PCR yaitu 10 µL, mengandung 1 µL 10x Ex

Taq buffer; 1 µL dNTPs mix; 0,05 µL Ex Taq polimerase (Takara Bio, Shiga, Japan); 1 µL DNA templet; dan 1 µL masing-masing primer forward dan reverse; sisanya adalah SDW. Pengecekan hasil amplifikasi PCR dilakukan dengan elektroforesis menggunakan gel agarosa 1%. Program PCR disesuaikan dengan suhu lebur primer yang digunakan terutama pada proses annealing dan lama waktu ekstensi. Primer yang digunakan adalah GH, β-aktin, dan vasa. Suhu

annealing dan lama waktu ekstensi untuk primer GH dan β-aktin masing-masing adalah 58oC dan 45 detik untuk primer GH; 63oC dan 30 detik untuk primer β

-aktin. Khusus untuk primer vasa, dua pasang primer yang berbeda telah digunakan (F1VSGR - R3VSGR dan F2VSGR-R3VSGR) dan untuk program suhu annealing dan durasi ekstensi dibuat dengan kondisi masing-masing adalah 58oC dan 45 detik bagi primer vasa F1VSGR; 61oC dan 45 detik bagi primer vasa F2VSGR. Sedangkan, pre dentaturasi, denaturasi. dan ekstensi akhir sama untuk keempat primer tersebut yakni masing-masing 94oC selama 3 menit, 94oC selama 30 detik, dan 72oC selama 3 menit.

3.2.4. Uji spesivitas primer

Uji spesivitas primer dilakukan dengan mengevaluasi hasil amplifikasi DNA GH dan vasa dari ikan gurame dan ikan nila menggunakan primer hasil yang telah didisain. PAda pengujian ini, hasil amplifikasi dari GH dan vasa, dan beta aktin yang program PCRnya mengacu pada poin 3.2.3., divisualisasikan dengan elektroforesis yang menggunakan gel agarosa konsentrasi 1 %. Primer bersifat spesifik apabila hanya menempel (annealing) ke sekuen DNA dari ikan donor dan menghasilkan pita DNA produk amplifikasi.

3.2.5 Uji sensitivitas PCR dalam mendeteksi DNA gurame dan nila

Untuk menguji sensitivitas PCR dalam mendeteksi DNA gurame dan nila, dilakukan dengan cara membuat campuran DNA gurame dan nila dengan rasio yang berbeda yaitu 700:700; 600:700; 500:700; 400:700; 300:700; 200:700;

100:700; 50:700; 10:700; 1:700; 0,1: 700 ng/μL. Selanjutnya, pada masing -masing campuran DNA dilakukan amplifikasi menggunakan primer GH dan vasa yang program PCRnya mengacu pada poin 3.2.3. Sebagai kontrol internal, pada masing-masing campuran DNA tersebut dilakukan juga proses amplifikasi menggunakan primer beta aktin. Hasil amplifikasi selanjutnya dielektroforesis menggunakan gel agarosa konsentrasi 1%. Sensitivitas PCR selanjutnya ditentukan dengan cara melihat pita DNA yang tervisualisasi pada hasil elektroforesis.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Primer marka molekuler

Kandidat primer marka molekuler ditentukan berdasarkan homologi yang rendah, dan perbedaan basa nukleotida di ujung 3’ khususnya guanin (G) dan sitosin (C). Hasil penyejajaran menunjukkan daerah dengan homologi rendah dan ujung 3’ berbeda pada gen GH (Gambar 3A) dan vasa (Gambar 3B) yang dijadikan sebagai tempat disain sepasang primer forward dan reverse. Sepasang primer untuk GH, dan dua pasang primer untuk vasa yaitu F2VSGR (Gambar 3B),

F1VSGR (Gambar 3C), dan sepasang primer untuk β-aktin (Gambar 3D) telah didisain. Sekuen nukleotida primer GH ikan gurame adalah F1GH (5’-TGTTCT-CTGACGGCGTGGTT-3’) dan R1GH (5’-GCAACAAAAAACCACCAGAAA-GAG-3’), sedangkan sekuen primer vasa ikan gurame adalah F2VSGR (5’-TGA-AGAAGAGTGGGAGTAGAAGG-3’) dan R3VSGR (5’-ACGTTCTGTCTGT-CAGACACATTG-3); vasa kedua F1VSGR (5’-CAGGTGTTCAGCTTGTTGT-TGGAG-3’) dan R3VSGR. Untuk sekuen primer β-aktin adalah F (5’-GTGCCC-ATCTACGAGGGTTA-3’) dan R (5’-TTTGATGTCACGCACGATTT-3’). 4.1.2 Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA genom dari sirip ikan gurame dan ikan nila telah berhasil dilakukan dengan nila kuantifikasi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kuantifikasi DNA genom hasil ektraksi

Sampel DNA ABS Rasio DNA (μg/ml) Protein Purity (%) Nila (N1) 0,212 1,948 10,6 0,0 86 Nila (N2) 0,379 1,996 19,0 0,0 90 Nila (N3) 0,036 2,550 18,0 0,0 74 Gurame (G1) 0,194 1,887 9,7 0,0 94 Gurame (G2) 0,712 1,941 35,6 0,0 97 Gurame (G3) 0,089 2,166 44,5 0,0 79

Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa konsentrasi DNA ikan nila tertinggi

adalah N2 = 19 μg/ml, sedangkan konsentrasi DNA tertinggi pada ikan gurame adalah G3 = 44,5 μg/ml. Dari nilai purity tertinggi untuk masing-masing DNA

(A)

(B)

(C)

(D)

Gambar 3. Posisi primer forward dan revese dari hasil pensejajaran, (A) GH (B) vasa F2VSGR, (C) vasa F1VSGR, dan (D) β-aktin

ikan nila dan ikan gurame adalah N2 = 90% dan G2 = 97%. Kisaran rasio bagi masing-masing DNA adalah 1,948-2,550 untuk ikan nila dan 1,887-2,166 untuk ikan gurame. Berdasarkan standar Brown (1995), rasio yang diperoleh menunjukkan bahwa hasil ekstraksi DNA ikan nila dan ikan gurame tidak terkontaminasi oleh protein atau pun fenol.

4.1.3. Amplifikasi DNA dengan PCR

Berdasarkan suhu annealing dan lama waktu ekstensi dari kandidat primer marka molekuler yang digunakan, diperoleh kondisi untuk proses amplifikasi PCR seperti yang terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Program PCR berdasarkan kandidat primer yang dihasilkan

Program PCR

Primer GH ikan gurame

Primer vasa ikan gurame Primer Beta-aktin F2VSGR F1VSGR Pre-Denaturasi 94oC selama 3 menit 94oC selama 3 menit 94oC selama 3 menit 94oC selama 3 menit Denaturasi 94 o C selama 30 detik 94oC selama 30 detik 94oC selama 30 detik 94oC selama 30 detik Annealing 58 o C selama 30 detik 61oC selama 30 detik 58oC selama 30 detik 63oC selama 30 detik Ekstensi 72 o C selama 45 detik 72oC selama 45 detik 72oC selama 45 detik 72oC selama 30 detik Ekstensi akhir 72oC selama 3 menit 72oC selama 3 menit 72oC selama 3 menit 72o C selama 3 menit Jumlah siklus 35 35 35 35

Berdasarkan Tabel 2, bahwa primer untuk marka molekuler GH dapat

anneal pada sekuen DNA ikan gurame pada suhu 58oC dan durasi ekstensi 45 detik, sedangkan marka vasa dengan kombinasi suhu annealing 61oC dan lama waktu ekstensi 45 detik. Kombinasi suhu annealing 63oC dan lama waktu ekstensi

30 detik adalah kondisi standar yang digunakan bagi primer β-aktin. Suhu

annealing ditentukan berdasarkan persentase basa nukleotida G dan C, serta jumlah total basa nukleotida masing-masing primer marka molekuler. Untuk primer marka molekuler vasa kedua (F1VSGR), kondisi PCR yang digunakan yakni suhu annealing 58oC dan durasi ekstensi 45 detik, tidak dihasilkan produk PCR (Gambar 5), sehingga primer tersebut tidak dapat digunakan sebagai marka molekuler untuk mengidentifikasi sel gonad ikan gurame. Hal ini diduga karena

adanya intron yang memotong tepat pada sekuen target vasa (F1VSGR). Analisis sekuen DNA genomik vasa diperlukan untuk membuktikan adanya intron.

Gambar 5. Elektroforegram ketidakberhasilan proses amplifikasi dengan primer marka molekuler vasa F1VSGR (M= marker; G1-G2=sampel DNA gurame; N1-N2=sampel DNA nila)

4.1.4. Uji spesivitas primer

Kandidat primer marka molekuler yang dihasilkan pada poin 4.1, diuji spesivitasnya berdasarkan kondisi program PCR yang dibuat pada Tabel 1. Spesitivitas primer GH dan vasa pertama (F2VSGR) ditunjukkan dengan pita produk PCR yang jelas dan konsisten (Gambar 6), dengan panjang produk masing-masing adalah 340 dan 300 bp. Produk PCR hanya diperoleh menggunakan templet DNA ikan gurame, artinya kedua primer tersebut hanya mengikat secara spesifik sekuen DNA gurame. Hal ini mengindikasikan bahwa primer GH dan vasa pertama bersifat spesifik dan dapat dijadikan sebagai marka molekuler untuk mengidentifikasi sel gonad ikan gurame. Sebagai kontrol internal

loadingDNA, primer β-aktin didisain untuk bisa anneal pada DNA ikan gurame dan ikan nila. Hasil PCR menunjukkan bahwa primer tersebut menghasilkan pita produk PCR dari cetakan DNA gurame dan nila (Gambar 6).

Gambar 6. Eletroforegram spesivitas primer GH dan vasa, serta β-aktin sebagai kontrol internal (M = marker; N1-N3=sampel DNA ikan nila; G1-G4 = sampel DNA ikan gurame)

4.1.5. Uji sensitivitas PCR dalam membedakan DNA gurame dan nila

Hasil pengujian sensitivitas PCR dalam membedakan DNA gurame dan nila ditunjukkan pada Gambar 7. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui sensitivitas PCR dalam mendeteksi rasio terendah DNA gurame pada saat tercampur dengan DNA nila.

Dari hasil ekstraksi DNA genom diperoleh konsentrasi DNA total gurame dan nila masing-masing 1424 dan 760 ng/μL. Konsentrasi terendah DNA ikan

gurame yang dideteksi menggunakan marka molekuler spesifik GH dan vasa masing-masing adalah 1 dan 50 ng/μL (Gambar 7) di dalam 700 ng/μL DNA ikan

nila. Dengan kata lain, marka molekuler GH mampu mendeteksi DNA gurame pada rasio 1:700, sedangkan marka molekuler vasa hanya mampu mendeteksi pada rasio 1:14. Hasil ini menunjukkan sensitivitas PCR pada masing-masing primer spesifik berbeda, dan membuktikan GH lebih sensitif dibanding vasa dalam mendeteksi ikan gurame pada saat tercampur dengan DNA ikan nila.

Gambar 7. Elektroforegram sensitivitas marka molekuler GH dan vasa (M = marker; 700 - 0,1= rasio DNA gurame dan nila;

Analisis kuantifikasi lebih lanjut pada marka molekuler yang sensitiv yaitu GH, dengan memperhitungkan kesetaraan jumlah sel yang diekstraksi dengan konsentrasi DNA, menujukkan bahwa primer GH dapat mendeteksi 1 sel gurame diantara 104 sel nila.

4.2. Pembahasan

Marka sangat penting untuk membedakan sel donor dengan sel resipien. Pada penelitian ini dikembangkan marka molekuler sebagai alternatif sistem identifikasi sel germinal yang aplikatif dalam rangka pengembangan teknologi transplantasi pada ikan gurame di Indonesia. Primer yang dikembangkan sebagai marka molekuler pada penelitian ini didisain berdasarkan sekuen gen GH (Nugroho et al. 2008) dan vasa ikan gurame (Alimuddin et al. 2009).

Marka molekuler yang digunakan dalam penelitian ini bisa membedakan sel germinal ikan gurame dan ikan nila. Metode marka molekuler ini juga telah dibuktikan mampu membedakan sel germinal immature dan spermatozoa donor pada ikan Japanese charr resipien (Okutsu et al. 2008). Dengan demikian, diduga bahwa marka molekuler yang dikembangkan dalam penelitian ini juga bisa mendeteksi sel gonad mulai dari spermatogonia sampai tahap spermatozoa ikan donor ikan gurame.

Pada penelitian ini, marka molekuler yang dikembangkan dianalisis menggunakan PCR. Apabila dibandingkan dengan metode identifikasi sel germinal sebelumnya seperti GFP, metode PCR jauh lebih praktis diaplikasikan di Indonesia. Identifikasi sel germinal dengan mengamati pendaran hijau GFP ditentukan oleh aktivitas promoter yang mengendalikannya. Umumnya, promoter untuk gen vasa digunakan sebagai regulator untuk ekspresi gen GFP secara spesifik pada sel germinal. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa gen vasa merupakan gen spesifik yang terekspresi hanya pada sel germinal ikan zebra

(Olsen et al. 1997; Yoon et al. 1997, diacu dalam Yoshizaki et al. 2000), dan ikan

rainbow trout (Yoshizaki et al. 2000). Pada faktanya, dengan promoter vasa

rainbow trout-GFP, ekspresi GFP tidak terdeteksi pada ikan rainbow trout jantan ketika sel germinal masuk pada tahap meiosis (Yano et al. 2008). Untuk menanggulangi kelemahan dari sistem pendaran GFP dengan promoter vasa, telah

sel germinal ikan nila (Zaparta 2009). Pendaran GFP dengan promoter β-aktin bisa terdeteksi pada ikan nila sampai tahap spermatozoa. Meskipun demikian, pendaran GFP dalam sistem identifikasi sel germinal donor dapat dihasilkan apabila ikan donor berasal dari ikan transgenik, dan menggunakan mikroskop fluoresen sebagai alat detektornya. Dikarenakan produksi ikan transgenik membutuhkan waktu yang relatif lama, dan keterbatasan alat serta harga mikroskop fluoresen cukup mahal, sehingga metode GFP belum aplikatif diterapkan di Indonesia saat ini. Metode PCR yang dikembangkan pada penelitian ini dapat menjadi solusi untuk sistem identifikasi sel germinal donor ikan gurame.

Berdasarkan hasil penyejajaran menggunakan GENETYX versi 7.0 pada penelitian ini, diperoleh beberapa sekuen primer kandidat marka molekuler untuk identifikasi sel germinal transplan yakni GH, vasa F2VSGR, vasa F1VSGR, dan

β-aktin (Gambar 4). Penentuan sekuen primer dilakukan dengan melihat perbedaan basa nukleotida pada ujung 3’ (Gambar 4). Pembacaan sekuen di ujung 3’ sangat penting saat ekstensi primer dengan DNA polimerase pada awal PCR (Onodera 2007). Apabila pembacaan sekuen salah di awal PCR, maka proses amplifikasi tidak bisa berlangsung. Dengan demikian, untuk membuat primer spesifik harus mempertimbangkan basa nukleotida yang berbeda di ujung 3’. Umumnya, nukleotida pada ujung 3’ dianjurkan adalah G dan C. Basa nukleotida G dan C merupakan basa yang memiliki tiga ikatan hidrogen, sehingga lebih stabil dibanding basa adenin (A) dan timin (T) dengan dua ikatan hidrogen (Graffiths et al. 2005).

Primer β-aktin yang digunakan pada penelitian ini merupakan kontrol

internal. Penggunaan β-aktin sebagai kontrol internal telah diaplikasikan pada beberapa penelitian seperti produksi kimera ikan dengan transplantasi PGC yang dilabeli GFP (Takeuchi et al. 2003), ekspresi protein gonadal soma-derived growth factor (GSDF) selama perkembangan sel germinal (Sawatari et al. 2006), dan transplantasi sel germinal donor rainbow trout pada ikan Japanese charr

(Okutsu et al. 2008). β-aktin memiliki beberapa sifat yang terkait dengan aktivitas elemen-elemennya yaitu contitutive, ubiquitous dan house keeping (Liu 1990, diacu dalam Volckaert 1994). Constitutive berarti gen ini dapat aktif tanpa diberikan rangsangan dari luar seperti suhu dan hormon. β-actin bersifat

ubiquitous artinya dapat aktif pada semua jaringan otot. Sedangkan bersifat house keepingberarti β-actindapat aktif kapan saja bila diperlukan.

Kemampuan PCR mendeteksi sel donor dalam individu resipien ditentukan oleh suhu annealing penempelan primer dan lama waktu ekstensi. Pada penelitian ini penempelan primer dipengaruhi oleh suhu annealing yang ditentukan oleh panjang dan persentase GC (Lampiran 2) primer. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh suhu annealing (Tabel 2) untuk masing-masing kandidat primer marka molekuler GH, vasa (F2VSGR), dan vasa (F1VSGR) adalah 58, 61, dan 58oC. Pada penelitian ini, persentase GC masing-masing primer, GH, vasa (F2VSGR), dan vasa (F1VSGR) adalah 55%, 47%, dan 50%. Kisaran suhu

annealing yang digunakan dalam penelitian ini berbeda jauh dari suhu annealing

yang dilaporkan oleh Okutsu et al. (2008) yakni 64oC dan 60oC dengan persentase masing-masing GC 60% dan 42%. Suhu annealing yang diharapkan dan terbaik untuk suatu primer adalah 40-60oC (Walker & Rapley 2002). Kestabilan suhu lebur dari sepasang primer ditentukan oleh persentase GC dalam sekues primer, dan disarankan persentase GC adalah sebesar 30-70% (Rasmussen 1992). Selain dari persentase GC, suhu annealing juga bisa didapatkan dengan rumus “Wallace rule” Tm = 4(G+C)+2(A+T)(Wallace et al. 1979).

Lama waktu ekstensi ditentukan dari panjang target produk PCR. Dari disain primer, diperoleh panjang produk PCR bagi primer spesifik GH 300 bp dan vasa F2VSGR 340 bp (Gambar 6), sehingga durasi waktu ekstensi yang direkomendasikan adalah 45 detik. Pada penelitian lain, lama waktu ekstensi 3 menit digunakan untuk mencapai target produk PCR 1800 bp (Okutsu et al.

2008). Secara umum, untuk setiap 1 kilobasa (kb) panjang produk PCR dibutuhkan lama waktu ekstensi 1 menit (Erlich 1989).

Spesivitas primer adalah penempelan primer secara spesifik pada sekuen DNA tertentu. Spesivitas primer bergantung pada faktor krusial dari primer seperti suhu annealing. Pada penelitian ini, disimpulkan bahwa suhu annealing

sudah optimal bagi primer GH maupun vasa F2VSGR, sehingga mampu anneal

pada sekuen DNA ikan gurame secara spesifik (Gambar 6). Apabila suhu

annealing tidak optimal atau tidak spesifik, maka sebagai konsekuensi tidak ada produk PCR yang dihasilkan (Gambar 5). Untuk mencapai spesivitas primer,

perlu dipertimbangkan beberapa faktor seperti disain primer, dan suhu annealing. Primer yang didisain sebagai primer spesifik harus mempertimbangkan perbedaan basa nukleotida di ujung 3’ dan homolog yang rendah. Apabila basa di ujung 3 tidak berbeda dan homologinya tinggi, maka primer yang didisain mungkin menjadi tidak spesifik. Selain itu, primer yang tidak spesifik kemungkinan disebabkan suhu annealing primer terlalu rendah, sehingga suhu annealing perlu ditingkatkan 2oC sampai 5oC (Dalgleish 2007).

Suhu annealing yang optimal dipengaruhi oleh jumlah basa nukleotida. Panjang primer GH adalah 20 nukleotida, sedangkan vasa F2VSGR adalah 23 nukleotida. Jumlah basa nukleotida yang diharapkan untuk menghasilkan suhu

annealing yang optimal adalah 18-30 nukleotida (Butler & John 2005). Sebagai contoh, primer random amplification polymorphism DNA (RAPD) dengan jumlah basa nukleotida yang pendek sekitar 8-12 bp mengamplifikasi DNA tidak spesifik atau secara random, sehingga primer dapat anneal pada beberapa daerah genom selama tahap annealing PCR (Liu et al. 1999). Sama halnya dengan konsekuensi primer yang jumlah basanya kurang 18 bp, primer dengan panjang lebih dari 30 basa juga tidak dapat menunjukkan spesivitas yang tinggi, karena adanya primer dimer. Amplifikasi panjang akan memudahkan hibrid silang/dimer dengan primer dan sekuen lainnya di dalam campuran reaksi dan ini dapat menyebabkan polimerasi DNA berhenti (Newton & Graham 1994, diacu dalam

Pengujian sensitivitas PCR dilakukan untuk mengetahui kemampuan primer spesifik yang dijadikan sebagai marka molekuler, dalam mendeteksi konsentrasi terendah DNA gurame di dalam DNA nila. Hasil pengujian sensitivitas PCR diketahui bahwa GH dapat mendeteksi konsentrasi terendah DNA ikan gurame 1 ng/μL (Gambar 7), sedangkan sensitivitas PCR pada vasa hanya sampai pada konsentrasi DNA ikan gurame 50 ng/μL (Gambar 7) masing

-masing di dalam konsentrasi DNA 700 ng/μL ikan nila. Sensitivitas PCR dapat mencapai 4 ng/μL pada pendeteksian oosit Cryptosporidium (Karanis et al. 2007) Penentuan sensitivitas PCR dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni disain primer, konsentrasi cetakan, suhu annealing, dan konsentrasi primer. Berdasarkan Gambar 7, bahwa primer GH lebih sensitif dibanding vasa dalam mendeteksi sel

gonad ikan gurame di dalam sel ikan nila. Pada penelitian lain, sensitivitas primer

yang direkomendasikan adalah 4 ng/μL. Hal ini diduga, pertama GH memiliki

beda basa homolog di ujung 3’ lebih banyak, dan suhu annealing yang digunakan lebih rendah dibanding vasa. Makin banyak beda basa di ujung 3’ maka makin spesifik primer yang dirancang. Untuk konsentrasi cetakan dan primer yang digunakan masing-masing primer spesifik pada penelitian ini adalah sama.

Jika konsentrasi DNA yang diperoleh dikonversi dengan jumlah sel donor, maka perhitungan menunjukkan bahwa 106 sel setara dengan konsentrasi DNA

ikan gurame 700 ng/μL, nilai ini setara dengan jumlah sel ikan nila yakni 107 sel. Dengan demikian, sensitivitas marka molekuler GH dapat mendeteksi 1 sel ikan gurame di dalam 104 sel ikan nila. Pendugaan ini masih relatif kasar, membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya. Namun demikian, pendugaan ini mendekati nilai sensitivitas PCR secara umum. PCR mampu mengamplifkasi konsentrasi terendah yang setara dengan 105 oosit

Cryptosporidium (Karanis et al. 2007). Pada penelitian lain diperoleh persentase sel germinal yang terkolonisasi pada ikan rainbow trout adalah 37% dengan rata-rata jumlah sel donor yang berasal dari spermatozoa testis resipien adalah 20,1 x 107 (Okutsu et al. 2006b).

Dokumen terkait