• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini diawali dengan melakukan survei/sampling bahan baku ke lapangan untuk memperoleh informasi tentang asal sampel ikan patin dan lingkungannya. Selanjutnya dilakukan pengukuran morfometrik ikan meliputi panjang total, lebar total, tinggi total dan bobot total, serta rendemen ikan patin. Kemudian dilakukan beberapa analisis terhadap daging putih pada ikan patin segar dan goreng yaitu, analisis proksimat meliputi kadar air, abu, protein, dan lemak, analisis asam amino, serta pengamatan jaringan daging ikan patin menggunakan mikroskop cahaya. Diagram alir metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Diagram alir metode penelitian 3.3.1 Persiapan contoh

Ikan patin hidup diperoleh dari kolam budidaya Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB. Ikan patin segera dibawa ke laboratorium preparasi bahan baku dengan menggunakan plastik. Ikan patin dalam keadaan segar disimpan dalam wadah berisi es dan air untuk mempertahankan kesegaran, serta dicuci dengan air bersih untuk membersihkan kotoran yang melekat padanya. Kemudian dilakukan pengumpulan data morfometrik ikan patin (panjang, lebar, tinggi dan bobot ikan patin) serta pengukuran rendemen (daging, kulit dan jeroan) ikan patin. Bagian daging yang diambil untuk analisis adalah

fillet daging putih. Daging yang telah digoreng kemudian dicacah kecil-kecil, sedangkan daging segar dilumatkan agar homogen untuk mempermudah proses analisis kimia.

3.3.2 Penggorengan

Daging fillet ikan patin digoreng dalam minyak goreng (minyak sayur) sebanyak 4 L dengan suhu 190 °C selama ± 5 menit yang disetting pada alat. Rendemen

kulit

1 Analisis proksimat 2 Analisis asam amino 3 Pengamatan jaringan Rendemen jeroan Rendemen daging Ikan Patin

Penentuan ukuran dan bobot

Penggorengan (Suhu 190 0C,± 5 menit)

Daging putih fillet patin Ikan patin segar

Penggorengan dilakukan menggunakan deep fryer. Setelah proses penggorengan selesai, ikan yang telah digoreng ditiriskan menggunakan saringan.

3.3.3 Rendemen

Rendemen dihitung sebagai persentase masing-masing bobot bagian tubuh (daging, kulit, dan jeroan) ikan patin dari bobot awal. Adapun perumusan matematik adalah sebagai berikut:

Rendemen (%) =

( ) x 100% 3.3.4 Analisis Proksimat

Analisis proksimat yang dilakukan untuk menentukan komposisi kimia bahan baku. Kandungan kimia bahan baku dapat ditentukan jenis dan habitatnya (Winarno 2008). Analisi proksimat yang dilakukan meliputi kadar air, abu, protein dan lemak.

a) Analisis kadar air (AOAC 2005)

Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui kandungan atau jumlah air yang terdapat pada suatu bahan. Tahap pertama yang dilakukan pada analisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 °C selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Sampel seberat 1 gram ditimbang setelah terlebih dahulu digerus. Selanjutnya cawan yang telah diisi sampel tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105 °C selama 5-6 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin (30 menit) kemudian ditimbang.

Kadar air dihitung dengan rumus berikut : % kadar air = −

− x 100% Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram) b) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Prinsip dari analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis.

Cawan abu porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu sekitar 105 °C selama 30 menit. Cawan abu porselen tersebut dimasukkan ke dalam desikator (30 menit) dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Selanjutnya dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 oC selama 7 jam. Cawan dimasukkan di dalam desikator dibiarkan sampai dingin, kemudian ditimbang.

Rumus yang digunakan untuk penghitungan kadar abu adalah: % Kadar abu = −

− x 100% Keterangan : A = Berat cawan porselen kosong (gram)

B = Berat cawan porselen dengan sampel (gram)

C = Berat cawan porselen dengan sampel setelah dikeringkan (gram) c) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

Sampel seberat 2 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 °C dengan menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).

Kadar lemak ditentukan dengan rumus :

% Kadar lemak =W3−W2

W1 × 100%

Keterangan : W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)

d)Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Analisis protein dilakukan dengan menentukan kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.

(1) Tahap destruksi

Sampel ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung Kjeltec. Satu butir Kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening.

(2) Tahap destilasi

Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan dengan aquades (50 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam Erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (cairan methyl red dan brom cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperolah 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer.

(3) Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,09 N sampai warna larutan pada erlenmeyer berubah warna menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Perhitungan kadar nitrogen dalam bahan:

% Nitrogen = � − � 0,1 �� 14 x 100% % Kadar protein = % Nitrogen x faktor konversi (6,25) 3.3.5 Analisis asam amino (AOAC 2005)

Komposisi asam amino ditentukan dengan menggunakan HPLC. Sebelum digunakan, perangkat HPLC harus dibilas dulu dengan eluen yang akan digunakan selama 2-3 jam. Begitu pula syringe yang akan digunakan dibilas dengan akuades. Analisis asam amino dengan menggunakan HPLC terdiri atas 4 tahap, yaitu: tahap pembuatan hidrolisat protein, tahap pengeringan, tahap derivatisasi, dan tahap injeksi serta analisis asam amino.

a. Tahap pembuatan hidrolisat protein

Sampel ditimbang sebanyak 3 mg dan dihancurkan. Sampel yang telah hancur dihidrolisis asam menggunakan HCl 6 N sebanyak 1 ml yang kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 110 oC selama 24 jam. Pemanasan dalam oven dilakukan untuk menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel agar tidak mengganggu kromatogram yang dihasilkan. Selain itu, pemanasan dilakukan untuk mempercepat reaksi hidrolisis.

b. Tahap pengeringan

Sampel yang telah dihidrolisis pada suhu kamar dipindahkan isinya ke dalam labu evaporator 50 ml, dibilas dengan 2 ml HCl 0,01 N dan cairan bilasan dimasukkan ke dalam labu evaporator. Proses ini diulangi hingga 2-3 kali. Sampel kemudian dikeringkan menggunakan rotary evaporator selama 15-30 menit untuk mengubah sistein menjadi sistin. Sampel yang sudah kering ditambah dengan 5 ml HCl 0,01 N kemudian disaring dengan kertas saring milipore.

c. Tahap derivatisasi

Larutan derivatisasi sebanyak 30 µl ditambahkan pada hasil pengeringan, larutan derivatisasi dibuat dari larutan buffer kalium borat dengan sampel 1:1 kemudian dicampurkan dengan larutan Ortoftalaldehida (OPA) dengan perbandingan 5:1 dengan sampel, selanjutnya campuran tersebut disaring menggunakan kertas saring Whatman.

d. Injeksi ke HPLC

Hasil saringan sebanyak 5 µl diinjeksikan ke dalam HPLC. Pemisahan semua asam amino ditunggu sampai selesai. Waktu yang diperlukan sekitar 25 menit. Perhitungan konsentrasi asam amino yang ada pada bahan dilakukan dengan pembuatan kromatogram standar dengan menggunakan asam amino yang telah siap pakai yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel. Kandungan asam amino dalam bahan dapat dihitung dengan rumus:

% Asam amino = Luas area sampel x C x Fp x BM x 100% Luas area standar x bobot sampel Keterangan:

C = Konsentrasi standar asam amino (0,5 µmol/ml) FP = faktor pengenceran (5 ml)

Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis asam amino sebagai berikut:

Temperatur : 27 oC (suhu ruang)

Jenis kolom HPLC : Ultra techspere (Coloum C-18) Kecepatan alir eluen : 1 ml/menit

Tekanan : 3000 psi

Fase gerak : Buffer Na-Asetat dan methanol 95% Detektor : Fluoresensi

Panjang gelombang : 350 nm-450 nm

3.3.6 Pengamatan mikroskopik jaringan daging ikan patin 3.3.6.1 Pembuatan preparat jaringan daging ikan patin

Pembuatan preparat histologi terdiri dari tiga tahapan, yaitu fiksasi jaringan dan parafinasi, pemotongan jaringan serta pewarnaan jaringan.

(1) Fiksasi jaringan dan parafinasi a) Fiksasi

Fiksasi adalah tahapan yang dilakukan untuk mencegah autolisis dan dekomposisi post-mortem dari suatu jaringan atau organ. Fiksasi juga bertujuan untuk mengawetkan morfologi dan komposisi jaringan, sehingga jaringan tetap seperti pada keadaan semula sewaktu hidup juga mengeraskan jaringan agar dapat diiris serta mencegah jaringan larut selama proses pembuatan preparat. Larutan fiksatif yang digunakan adalah larutan BNF (Buffered Neutral Formalin) yang mamiliki komposisi asam pikrat, formalin, dan asam asetat glasial dengan perbandingan 15:5:1. Jaringan direndam dalam larutan fiksatif selama 48 jam. Perendaman dilakukan di dalam botol film dengan volume larutan fiksatif sebanyak 15-20 kali volume jaringan.

b) Dehidrasi

Dehidrasi merupakan proses untuk mengeluarkan cairan dari dalam sel dengan cara merendam jaringan yang telah difiksasi ke dalam alkohol dimulai dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Pertama, jaringan direndam dalam alkohol 70% selama 24 jam. Perendaman dilakukan dalam botol film yang sebelumnya telah digunakan untuk perendaman dengan larutan fiksatif. Larutan fiksatif dibuang terlebih dahulu, kemudian alkohol dengan konsentrasi 70%

dimasukkan ke dalam botol film hingga jaringan terendam. Organ diambil dari dalam botol film dan dibungkus menggunakan kain kasa. Kemudian kain kasa diikat menggunakan benang yang dibentuk seperti teh celup agar memudahkan dalam proses pergantian alkohol. Setelah 24 jam, organ yang dibungkus kain kasa diambil dan ditiriskan di atas kertas tisu. Kemudian organ tersebut dimasukkan ke dalam botol berisi alkohol 80%, 90%, 95% masing-masing selama dua jam dan alkohol 100% selama 12 jam. Perendaman dilakukan pada suhu ruang.

c) Clearing

Clearing merupakan proses penjernihan yang bertujuan untuk menggantikan alkohol sekaligus menambahkan clearing agent (xylol) yang berfungsi sebagai pelarut parafin. Jaringan direndam dalam alkohol-xylol (1:1) selama 30 menit, dilanjutkan dengan xylol I, xylol II, dan xylol III masing-masing selama 30 menit. Perendaman dilakukan sama halnya seperti pada perendaman dengan alkohol pada suhu ruang.

d) Impregnasi

Impregnasi adalah tahap penggantian xylol dengan parafin cair yang berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 °C. Proses ini dilakukan dengan perendaman jaringan ke dalam xylol-parafin (1:1) yang diletakkan dalam gelas piala selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan dengan cara yang sama seperti proses perendaman sebelumnya.

e) Embedding

Embedding merupakan proses untuk memasukkan parafin cair ke dalam sel. Proses ini berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 °C. Titik cair parafin yaitu 54-58 °C. Proses ini bertujuan agar parafin menyusup ke dalam seluruh celah antar sel dan bahkan ke dalam sel, sehingga jaringan lebih tahan saat pemotongan. Jaringan direndam secara berturut-turut ke dalam gelas piala yang berisi parafin I, parafin II, dan parafin III masing-masing selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan dengan cara yang sama seperti proses perendaman sebelumnya.

f) Blocking

Jaringan yang telah dibenam dalam parafin cair lalu diblok (dicetak agar mudah dipotong) dengan parafin cair yang kemudian dibekukan. Proses ini

membutuhkan cetakan yang dapat dibuat dari kertas yang kaku misal kertas kalender dengan ukuran 2x2x2 cm3. Parafin cair dituangkan ke dalam cetakan hingga memenuhi 1/8 bagian cetakan dan dibiarkan hingga sedikit membeku. Jaringan disusun dalam cetakan dengan bagian sayatan yang diperlukan menghadap dasar cetakan dan dituangi parafin cair hingga material jaringan terendam. Selanjutnya dibiarkan membeku dalam suhu ruang selama 24 jam. g) Trimming

Setelah parafin beku dengan sempurna, blok parafin dikeluarkan dari cetakan lalu ditrimming menggunakan silet bermata satu agar dapat disesuaikan dengan tempat blok pada alat pemotong.

(2) Pemotongan jaringan

Pemotongan jaringan dilakukan dengan menggunakan mikrotom. Ketebalan sayatan yaitu 4 mikron. Teknik pemotongan parafin yang mengandung adalah sebagai berikut.

a) Blok parafin yang mengandung preparat diletakkan pada tempat duduknya di mikrotom. Tempat duduk blok parafin beserta blok parafinnya kemudian diletakkan pada pemegangnya (holder) pada mikrotom yang dikunci dengan kuat. Mata pisau mikrotom harus tajam agar proses pemotongan dapat dilakukan dengan sempurna.

b) Ketebalan potongan diatur dengan cara menggeser bagian pengatur ketebalan hingga ketebalan yang diinginkan. Ketebalan sayatan yaitu 4 mikrometer. c) Blok preparat digerakkan ke arah pisau sedekat mungkin lalu balok preparat

dipotong secara teratur dan ritmis. Pita-pita parafin yang awal tanpa jaringan dibuang hingga diperoleh potongan yang mengadung preparat jaringan. d) Hasil irisan diambil dengan jarum, lalu diletakkan di permukaan air hangat

dalam 45-50 °C waterbath hingga mengembang.

e) Setelah pipa parafin terkembang dengan baik, pita parafin tersebut ditempelkan pada gelas objek yang telah diberi zat perekat, yaitu albumin dengan cara memasukkan kaca objek itu ke dalam waterbath dengan hati-hati agar pita parafin tidak melipat dan dibiarkan hingga mengering.

(3) Pewarnaan jaringan

Pewarnaan jaringan meliputi proses dewaxing, hidrasi, pewarnaan hematoksilin-eosin, dehidrasi, dan mounting.

a) Dewaxing

Sebelum dilakukan dewaxing, gelas objek yang berisi jaringan diletakkan dalam keranjang preparat yang ukurannya sesuai dengan gelas objek. Keranjang tersebut dapat diisi dengan 10 gelas objek. Dewaxing merupakan proses untuk mengeluarkan parafin. Wadah perendaman berupa wadah berbentuk persegi panjang yang ukurannya sesuai dengan keranjang untuk gelas objek. Jaringan pada gelas objek yang telah diletakkan dalam keranjang kemudian direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama dua menit.

b) Hidrasi

Hidrasi merupakan proses pemasukan air ke dalam preparat jaringan pada gelas objek setelah proses dewaxing. Jaringan pada gelas objek yang sebelumnya telah melalui proses dewaxing kemudian direndam dalam alkohol 100% dalam wadah perendaman seperti pada proses dewaxing sebanyak dua kali, lalu secara berturut-turut dimasukkan ke dalam alkohol 95%, 90%, 80%, 70%, dan 50% masing-masing selama dua menit dengan cara yang sama pula. Setelah itu, preparat jaringan direndam ke dalam akuades selama dua menit.

c) Pewarnaan hematoksilin-eosin

Setelah hidrasi, preparat jaringan diberi pewarna hematoksilin-eosin. Pertama, preparat jaringan direndam dengan pewarna hematoksilin selama tujuh menit, kemudian dicuci dengan air mengalir selama tujuh menit untuk menghilangkan kelebihan zat warna yang tidak diserap. Selanjutnya preparat jaringan direndam dengan pewarna eosin selama tiga menit dan dicuci dengan akuades. Alat dan proses perendaman yang dilakukan sama seperti proses perendaman sebelumnya.

d) Dehidrasi

Preparat jaringan kemudian direndam dalam alkohol 70%, 85%, 90%, dan 100% masing-maisng dilakukan selama dua menit. Selanjutnya preparat jaringan direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama dua menit. Alat dan proses perendaman yang dilakukan sama seperti proses perendaman sebelumnya. e) Mounting

Preparat jaringan yang telah diwarnai dapat dibuat preparat yang lebih awet dengan cara mounting menggunakan mounting agent, yaitu enthellan.

Preparat jaringan ditutup dengan gelas penutup yang sudah ditetesi enthellan yang dikeringkan dalam oven pada suhu 40 °C selama 24 jam.

3.3.6.2 Pengamatan preparat jaringan daging ikan patin

Preparat jaringan diamati di bawah mikroskop Micros Austria MC300 dengan perbesaran mulai dari 100x hingga 400x sesuai dengan kejelasan objek. Setelah itu, didokumentasikan menggunakan kamera Kodak M863. Hasil pengamatan jaringan dinyatakan dalam bentuk gambar dan dituliskan secara deskriptif serta dibandingkan antara jaringan daging ikan patin segar secara umum dengan jaringan daging ikan patin akibat pengaruh penggorengan.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran dan Bobot Ikan Patin

Ikan patin yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari kolam budidaya, Dramaga, Bogor. Ikan patin yang digunakan berupa sampel segar utuh untuk pengukuran panjang, lebar, tinggi, dan bobot total. Ikan patin ini memiliki kulit berwarna hitam kebiruan di bagian atas dan warna putih keperakan di bagian bawah. Daging patin segar dan goreng yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

(a) (b) Gambar 6 Daging patin segar (a) dan goreng (b)

Ikan patin yang digunakan dalam penelitian ini hanya bagian daging. Daging segar yang digunakan berwarna putih kemerahan dengan aroma spesifik daging patin dan tidak berbau amis. Setelah melalui proses penggorengan, daging berwarna coklat keemasan. Penggorengan pada suhu minyak antara 180-190 °C menghasilkan tingkat kegaringan yang baik dan daging tetap kelihatan basah (Zaitsev etal. dalam Suwandi 1990).

Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh data mengenai ukuran dan bobot dengan menggunakan 30 sampel. Parameter yang diamati yaitu panjang, lebar, tinggi dan bobot total. Data morfometrik panjang, lebar, tinggi, dan bobot ikan dapat dilihat pada Lampiran 1. Rata-rata panjang, lebar, tinggi dan bobot ikan patin dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Ukuran panjang dan bobot patin

No. Parameter Satuan Nilai

1 Panjang cm 35,55 ± 2,83

2 Lebar cm 4,85 ± 0,74

3 Tinggi cm 6,38 ± 0,94

4 Bobot gram 397,13 ± 36,06

Tabel 4 menunjukkan bahwa ikan patin memiliki panjang 35,55 cm, lebar 4,85 cm, tinggi 6,38 cm, dan bobot rata-rata 397,13 gram. Menurut Susanto dan Amri (2002), panjang ikan patin yang dibudidayakan selama 6 bulan bisa mencapai 35-40 cm.

Ukuran dan berat ikan patin dipengaruhi oleh pertumbuhan, jenis kelamin, umur, makanan dan lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan. Pertumbuhan adalah perubahan ukuran, baik berat, panjang maupun volume dalam laju perubahan waktu. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam merupakan faktor yang sukar untuk dikontrol, contohnya genetik. Adapun faktor luar merupakan faktor yang dapat dikontrol, diantaranya adalah makanan dan suhu (Effendi 1997).

Daging yang telah digoreng kemudian dicacah kecil-kecil, sedangkan daging segar dilumatkan agar homogen untuk mempermudah proses analisis kimia. Bahan baku daging patin segar dan goreng kemudian dibungkus dengan aluminium foil dan dimasukkan ke lemari pendingin untuk mencegah terjadinya kemunduran mutu bahan baku.

4.2Rendemen Ikan Patin

Rendemen adalah presentasi bobot bagian tubuh yang dapat dimanfaatkan sehingga menghasilkan nilai ekonomis dari suatu bahan baku. Semakin tinggi nilai rendemen dari bahan baku, maka semakin tinggi pula nilai ekonomisnya. Perhitungan rendemen didapatkan dengan membandingkan berat masing-masing bagian tubuh dengan berat ikan patin utuh. Persentasi rendemen daging, kulit dan jeroan ikan patin segar dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Rendemen daging, kulit, dan jeroan ikan patin segar 38,56% 3,73% 14,47% 43,28% Daging Kulit Jeroan Lain-lain

Berdasarkan Gambar 7, diketahui bahwa rendemen daging patin mencapai 38,56%. Hasil tersebut mendukung hasil penelitian Hustiany (2005) yang menyatakan ikan patin hasil budidaya yang berukuran 500-1000 gram memiliki rendemen daging sebanyak 30-42,5%. Rendemen kulit dan jeroan patin berturut- turut adalah 3,37% dan 14,43%.

Rendemen hasil perikanan berbeda-beda tergantung dari ukuran, berat dan jenisnya. Bagian kepala, tulang, dan sirip umumnya belum dimanfaatkan secara maksimal dan menjadi limbah padatan, padahal bagian ini menyumbang sebesar 43,28% dari bobot total ikan patin. Kepala, tulang, dan sirip sisa pengolahan dapat dimanfaatkan untuk menbuat flavor ikan yang gurih sebagai pelengkap makanan. Tulang ikan juga berpotensi dijadikan tepung tulang yang kaya akan kalsium dan fosfor, sehingga dapat digunakan sebagai sumber alternatif pemenuhan kebutuhan kalsium dan fosfor. Selain itu, limbah tersebut dapat dijadikan sebagai bahan untuk pakan hewan (Thalib 2009). Kulit patin berpotensi sebagai bahan baku pembuatan gelatin (Dianti 2008).

4.3 Hasil Analisis Kimia

Hasil analisis kimia yang dilakukan pada penelitian ini memberikan informasi mengenai komposisi proksimat, serta asam amino daging patin segar dan goreng.

4.3.1 Komposisi Proksimat

Analisis mengenai komposisi kimia suatu bahan pangan sangat penting dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kandungan gizi yang terdapat di dalam bahan pangan tersebut. Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengetahui komposisi kimia kandungan suatu bahan pangan. Salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan pangan secara kasar (crude) adalah analisis proksimat yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat. Analisis kadar air, abu, lemak, dan protein dilakukan di

laboratorium, sedangkan perhitungan kadar karbohidrat dihitung secara

by difference.

Hasil analisis proksimat daging patin dapat dilihat pada Tabel 5. Contoh perhitungan komposisi kimia daging patin dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 5 Komposisi kimia daging patin segar dan goreng Komposisi

Daging patin segar (%) Daging patin goreng (%)

selisih (%) Basis basah (bb) Basis kering (bk) Basis basah (bb) Basis kering (bk) Air 82,27 - 63,56 - 22,74 Abu 0,77 4,34 0,91 2,50 42,40 Lemak 0,36 2,03 7,34 20,14 89,92 Protein 15,07 85,00 19,45 53,38 37,20 Karbohidrat 1,53 8,63 8,74 23,98 64,01

Kandungan bahan dalam produk merupakan parameter penting bagi konsumen dalam mempertimbangkan pemilihan makanan yang dikonsumsinya. (1) Kadar air

Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui jumlah air bebas yang terdapat dalam daging ikan patin. Kadar air dalam ikan patin menunjukkan persentase tertinggi dibandingkan dengan kadar abu, protein, lemak, dan karbohidrat. Kadar air daging patin segar dan goreng dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Kadar air (bk) daging patin segar dan patin goreng

Kadar air yang terdapat pada daging patin mengalami perubahan proporsi dari 82,27% pada daging patin goreng menjadi 63,56% (bb) pada daging patin goreng. Tingginya kadar air pada daging disebabkan oleh kemampuan bahan untuk mengikat air yang disebut water holding capacity (WHC). Molekul air akan

Dokumen terkait