• Tidak ada hasil yang ditemukan

Disini merupakan langkah yang paling strategis dalam sebuah penelitian, karena tujuan utama dari sebuah penelitian ialah mendapatkan

data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.

Penelitian ini berusaha mengungkap sejarah perjalanan hidup seorang tokoh dan prestasi-prestasi yang sudah diraihnya. Guna membantu memperlancar proses penelitian ini, peneliti membutuhkan suatu metode penelitian. Metode penelitian yang tepat dalam peelitian ini adalah metode penelitian historis atau metode penelitian sejarah. Metode historis atau metode sejarah adalah suatu cara seorang sejarawan mendekati objek penelitian dengan langkah-langkah yang terstruktur sehingga akan mempermudah dalam memperoleh data sejarah (Priyadi, 2013: 111).

Menurut Gottschalk metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis terhadap rekaman atau peninggalan masa lampau. Kemudian data-data yang teruji dan dianalisis disusun kembali menjadi sebuah kisah sejarah. Pencapaian metode historis ini meliputi empat tahapan, yaitu:

1. Pengumpulan Sumber (Heuristik)

Pengumpulan sumber atau heuristik merupakan langkah untuk memperoleh dan mengumpulkan data. Upaya peneliti untuk mendapatkan data yang akurat yaitu melalui dokumen dan wawancara atau sumber tertulis. Dalam memasuki tahap pengumpulan sumber (heuristik), seorang peneliti sejarah memasuki lapangan (medan) penelitian. Kerja penelitian secara aktual dimulai. Sumber sejarah dibedakan menjadi tiga yaitu : sumber sejarah yang bersifat umum dan khusus, sumber sejarah yang

bersifat tertulis dan tidak tertulis, serta sumber sejarah primer dan sumber sejarah sekunder (Daliman, 2012: 51).

Penulis pada penelitian ini menggunakan wawancara untuk mendapatkan sumber lisan yang asli atau otentik, wawancara dilakukan secara intensif kepada Ki Dalang Julung Gandhik dan keluarganya untuk memperoleh data yang diperlukan. Kemudian diuji kebenarannya agar mendapat data yang valid. Penulis mewawancarai hal-hal yang terkait dengan biografi Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro serta keluarga dari Ki Dalang Julung Gandhik, baik itu ayah, ibu, dan sanak saudaranya.

Wawancara yang dilakukan peneliti terhadap narasumber tentu harus berkali-kali. Wawancara pertama merupakan upaya penjajakan peneliti dan perkenalan narasumber. Pelaku atau narasumber dalam hal ini masih ragu-ragu dalam memberikan keterangan atau penjelasan, serta kisah sejarah kepada peneliti. Pertama-tama ada kemungkinan, pelaku atau narasumber itu tidak berterus terang meskipun tidak berbohong. Pelaku masih belum memahami maksud wawancara itu. Pelaku bisa berpikir bahwa jangan-jangan wawancara itu dimaksudkan untuk membuka rahasia atau kedok kejahatan, kesalahan, kebodohan, dan berbagai perilaku lain yang menyebabkan peristiwa yang buruk itu terjadi. Sejarawan atau peneliti ketika menemui keragaman sikap para pelaku harus selalu menjelaskan tujuan wawancara untuk menutupi kekurangan sumber dokumen dan manfaat sumber sejarah lisan dalam merekonstruksi sebuah sejarah atau peristiwa yang tidak ada sumbernya (Priyadi, 2014: 91).

Seorang sejarawan atau peneliti tentu harus fokus dalam mewawancarai seorang narasumber, tetapi dalam mengendapkan jawabannya, ia bisa melakukan wawancara dengan pelaku-pelaku lain atu narusmber-narasumber lain. Jawaban narasumber tersebut akan menambah wawasan dan pengetahuan terhadap penelitian tersebut. Latar belakang budaya para narasumber atau pelaku juga harus menjadi landasan bagi sejarawan dalam melakukan wawancara agar hasil atau jawaban atas wawancara itu memuaskan. Masalah budaya itu terutama persoalan yang terkait dengan latar pendidikan. Pendidikan seseorang pelaku akan mencerminkan perilaku tertentu. Pelaku yang pendidikannya, misalnya, sekolah dasar akan merasa rendah diri ketika akan diwawancarai. Di samping merasa enggan menjawab, juga akan enggan pula memberi jawaban wawancara secara tertulis. Peneliti disini juga harus bersabar jika menghadapi persoalan-persoalan seperti ini. Artinya, wawancara dapat dilakukan secara perlahan-lahan tetapi sering sehingga sumber sejarah lisannya bisa diungkap. Atau, peneliti bisa melibatkan orang tua, anak atau istrinya untuk membantu peneliti dalam wawancara. Segala upaya ditempuh untuk menghasilkan jawaban wawancara yang akurat (Priyadi, 2014: 92-94).

Dalam wawancara, penulis menggunakan alat bantu berupa alat tulis, buku catatan, dan alat rekam agar mempermudah penulis dalam mengolah hasil wawancara tersebut. Informan yang peneliti wawancarai adalah orang tua dalang yang bernama Nurnaeni dan Mohammad Aliudin

Ridwan, serta kakaknya yang bernama Yakut Aghib Ganta Nuraidin yang mempunyai profesi yang sama. Data tertulis dan lisan yang telah diperoleh dan dikumpulkan. Data tersebut kemudian dipisahkan sesuai dengan pembahasan antar bab berikutnya. Hal ini dilakukan peneliti untuk mempermudah melakukan langkah-langkah selanjutnya. Data yang telah dikumpulkan dan dikelompokkan sesuai pembahasan bertujuan untuk memfokuskan peneliti agar masing-masing bab mempunyai pembahasan yang terarah.

2. Verifikasi (Kritik Sumber)

Verifikasi (kritik sumber) peneliti harus benar-benar memilah-milah data yang benar atau sesuai dengan fakta yang ada sehingga nanti akan diperoleh data yang otentik. Selain itu juga baik berupa sumber tertulis maupun sumber lisan yang didapatkan dari narasumber, yaitu Ki Dalang Julung Gandhik beserta keluarga maupun sanak saudara. Nantinya akan dikritik secara ekstern maupun intern yang menilai apakah sumber itu kreadibilitas (kebiasaan untuk dipercaya) atau tidak.

Ketika seseorang mendengar banyak penuturan yang terlihat bersimpang siur akan pusing dalam menentukan kebenarannya. Orang akan gelisah manakala ia menghadapi versi-versi yang muncul dalam wawancara karena suatu yang bersifat lisan memang tidak mantap. Lidah yang tidak bertulang itu bisa berubah-ubah kesaksiannya. Perubahan seperti itu juga menjadi masalah tersendiri bagi sejarawan ataupun peneliti yang tidak terbiasa menghadapi versi-versi, yang juga bervariasi. Justru,

ketika kesaksian itu berbeda versinya, sejarawan sedang menghadapi pula subjektivitas dari masing-masing pelaku. Perbedaan versi memungkinkan peneliti untuk melakukan verifikasi atau kritik sumber (Priyadi, 2014: 95).

Peneliti disini harus bisa membaca dan mendeteksi setiap perbedaan itu. Perbedaan versi dapat dimanfaatkan untuk mewawancara saling-silang. Wawancara model tersebut adalah wawancara simultan. Suatu wawancara yang diumpamakan seperti permainan catur simultan antara seorang grandmaster (sangat ahli) melawan master-master yang jumlahnya puluhan atau ratusan. Grandmaster dalam permainan itu tidak selalu menang secara keseluruhan. Bisa saja, ia dipecundangi oleh seorang master. Artinya, peneliti bisa juga gagal dalam mewawancara salah seorang atau beberapa pelaku. Peneliti menerima banyak informasi dari para narasumber yang berversi-versi berdasarkan wawancara individual. Wawancara simultan memungkinkan sejarawan untuk berkomunikasi langsung dengan banyak pelaku. Disitu, peneliti bisa menanyakan langsung jawaban seorang narasumber, misalnya, dalam penelitian ini tentang Julung Gandhik Ediasmoro. Informasi yang telah disampaikan oleh Julung Gandhik kemudian ditanyakan lagi kepada orang tuanya maupun sanak saudaranya sehingga ada cek dan cek ulang (Priyadi, 2014: 96).

Wawancara simultan bisa dimanfaatkan sekaligus selain untuk memperoleh sumber sejarah lisan, juga untuk melakukan kritik sumber, baik kritik ekstern maupun kritik intern. Kritik ekstern yang menuntut

terhadap sumber sejarah lisan dalam hal keautentikan sumber, maka sejarawan dapat meminta kesaksian pelaku lain. Selain dimanfaatkan sebagai kritik ekstern wawancara simultan juga dimanfaatkan untuk melakukan kritik intern. Wawancara saling-silang adalah perbandingan sumber sejarah lisan secara langsung. Kritik intern ditempuh dengan membandingkan antarsumber, atau antarsumber sejarah lisan. Sumber sejarah lisan yang berversi-versi itu dibandingkan satu sama lain sehingga akan diketahui versi yang kuat dan versi yang lemah. Versi yang kuat biasanya didukung oleh banyak narasumber atau pelaku sejarah. Versi yang lemah tidak mendapat dukungan. Perbandingan versi akan menyimpulkan bahwa versi tertentu itu mengada-ada atau dibuat-buat oleh pelaku atau narasumber tertentu. Sesuatu yang apa adanya adalah fakta sejarah yang lolos dari kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ektern bermain pada tataran keautentikan atau keaslian sumber, sedangkan kritik intern bekerja pada kawasan kredibilitas atau tingkat bisa dipercaya (Priyadi, 2014: 97-98).

3. Interpretasi (Penafsiran)

Penafsiran dalam metode sejarah menimbulkan subjektivitas sejarah, yang sangat sukar dihindari, karena ditafsirkan oleh sejarawan (si subjek), sedangkan yang objektif adalah faktanya. Penafsiran model sejarah tersebut dapat diterapkan dalam ilmu antrophologi, seni pertunjukan, studi agama, filologi, arkeologi, dan ilmu sastra. Penafsiran sejarah juga disebut juga dengan analisis sejarah. Dalam penelitian ini, peneliti meneliti

fakta-fakta yang terdapat pada sumber sejarah yang telah terkumpul dan sudah mengalami tahap verifikasi kemudian peneliti menafsirkan data tersebut. Penafsiran dilakukan sesuai dengan teori dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, seperti yang tercantum dalam landasan teori (Priyadi, 2011: 88-89).

Pada tahap analisis, nantinya penulis menguraikan secara detail tiga fakta, yaitu manifact, sociofact, dan artifact dari berbagai sumber atau data baik itu tertulis maupun lisan yang didapat dari narasumber Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro beserta keluarganya sehingga unsur-unsur terkecil dalam fakta tersebut akan menampakkan kohesinya (Priyadi, 2011: 92).

4. Historiografi (Penulisan Sejarah)

Penulisan sejarah atau Historiografi merupakan penyusunan sejarah yang didahului oleh penelitian terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu (Badri Yatim, 1995: 5). Historiografi disini merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan (Abdurahman, 2011: 107).

Dalam penulisan karya ilmiah ini, peneliti lebih memperhatikan aspek-aspek kronologis peristiwa. Aspek ini sangat penting karena arah penelitian peneliti adalah penelitian sejarah sehingga proses peristiwa dijabarkan secara detail. Data atau fakta tersebut selanjutnta ditulis dan disajikan dalam beberapa bab berikutnya yang terkait satu sama lain agar mudah dipahami oleh pembaca.

Pada penulisan sejarah tentang biografi Ki Julung Gandhik Ediasmoro ini penulis menyajikan laporan hasil penelitian dari awal hingga akhir, yang meliputi masalah-masalah yang harus dijawab. Tujuan penelitian adalah menjawab masalah-masalah yang belum diajukan. Penyajian historiografi meliputi pengantar, hasil penelitian, dan simpulan. Penulisan sejarah harus memperhatikan aspek kronologis, periodisasi, serialisasi, dan kausalitas (Priyadi, 2011: 88).

H.Sistematika Penyajian

Untuk sistematika penyajian pada penelitian ini nantinya akan dideskripsikan dalam beberapa bagian sebagaimana berikut :

Bagian pertama, berisi latar belakang masalah yang menjelaskan alasan-lasan mengapa peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini. Kemudian batasan masalah atau batasan yang peneliti tentukan sendiri akan kemana arah dan fokus penelitian ini sehingga tidak didapati kesan yang „ngambang‟ atau bias dan menjelaskan hal-hal yang akan diungkap dalam penelitian ini. Selanjutnya beberapa persoalan atau pertanyaan yang akan dicari jawabannya, peneliti cantumkan secara jelas dalam rumusan masalah. Berikutnya adalah tujuan penelitian yang ingin menegaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan pada rumusan masalah. Kemudian akan ditulis pula apa harapan dari penelitian ini, kemanfaatan apa yang ingin peneliti berikan setelah penelitian ini selesai. Selanjutnya ada kajian pustaka dimana di

dalamnya menjelaskan tentang variabel penelitian dan beberapa penelitian terdahulu yang penulis temukan ada dimasukkan kedalam sub bab ini. Selanjutnya terdapat kerangka teoritis dan pendekatan dimana di dalamnya peneliti memilih teori ilmu sosial yang sesuai sebagai model penjelasan dan memilih serta menggunakan salah satu disiplin ilmu sosial sebagai alat bantu penjelasan. Berikutnya Dicantumkan pula metode penelitian yang akan dipakai dalam penelitian ini baik dalam pengumpulan data ataupu analisis data serta sistematika penyajian.

Bagian kedua, pada bagian ini merupakan penjelasan dari jawaban pertanyaan pertama tentang riwayat kehidupan Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro yang sebelumnya telah ditentukan pada rumusan masalah.

Bagian ketiga, berikutnya menjelaskan tentang bagaimana kiprah pedalangan Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro.

Bagian ke empat, selanjutnya menjelaskan prestasi yang telah diraih oleh Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro dalam dunia pertunjukkan wayang yang mana sebelumnya telah ditentukan pertanyaanya pada rumusan masalah.

Bagian keenam, Kesimpulan yang merupakan jawaban dari beberapa pertanyaan yang sebelumnya telah ditentukan pada rumusan masalah. Rekomendasi juga dimungkinkan peneliti haturkan di bagian ini, karena peneliti yakin akan keterbatasan diri, sementara obyek penelitian ini teramat penting dan kompleks. Pada bab ini juga berisi tentang saran yang ditujukan untuk dalang muda dan para pembaca laporan penelitian ini.

Dokumen terkait