• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - BAB I EKO WAHYU WIDODO SEJARAH'16

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - BAB I EKO WAHYU WIDODO SEJARAH'16"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial harus berinteraksi dengan manusia yang lain karena saling membutuhkan. Dalam berinteraksi tersebut manusia membutuhkan sarana dalam berkomunikasi, yaitu dengan bahasa. Bahasa adalah suatu gejala manusiawi umum. Tidak ada manusia tanpa bahasa dan tidak ada bahasa tanpa manusia (Dik dan Koij, 1994: 1).

Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berinteraksi, baik melalui tulisan, lisan, maupun gerakan (bahasa sikap), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (1996: 77). Setiap anggota masyarakat dan komunitas selalu terlibat dalam komunikasi bahasa, baik ia bertindak sebagai komunikator (pembicara/penulis) maupun sebagai komunikan (mitra bicara, penyimak, pendengar, atau pembaca) (Sumarlam, 2005: 1).

(2)

para pelaku dengan menggunakkan berbagai variasi suara (suara anak-anak, suara perempuan, suara laki-laki, suara raksasa, dan sebagainya, sesuai dengan identitas pelaku wayang yang disuarakannya. Dalang memiliki kemampuan fisik yang prima ketika melakukan pementasan karena ia harus sanggup duduk selama beberapa jam. Pertunjukan wayang biasanya berlangsung satu malam suntuk. Bagian-bagian penting yang berisi hal-hal yang bersifat filosofis justru disampaikan oleh dalang pada tengah malam atau atau pada dua pertiga malam. Dalang dapat melakukan improvisasi di dalam menyampaikan pertunjukan wayang. Semakin kreatif seorang dalang dalam menyajikan pertunjukan wayang, masyarakat penikmatnya akan semakin senang menyaksikan pertunjukannya.

(3)

Tidak hanya dalang yang berusia tua hingga menengah yang mampu mendulang sukses dan prestasi, namun di Kecamatan Patikraja tepatnya di Desa Notog, terdapat dalang berprestasi yang bernama Julung Gandhik Ediasmoro. Prestasinya dapat diperhitungkan dalam dunia seni, apalagi umurnya yang masih muda sekitar 20 tahun ini mempunyai nilai plus tersendiri. Dengan umur yang masih sangat muda itu ia mampu menepis anggapan bahwa usia muda bukan penghalang untuk menggapai sukses dan prestasi. Ia berasal dari latar belakang keluarga yang mempunyai seni tinggi sehingga sangat mendukung kiprahnya dalam seni pertunjukan pewayangan. Meskipun Julung Gandhik bukan satu-satunya dalang muda yang berada khususnya di Kabupaten Banyumas namun keberadaannya ikut serta meramaikan dunia seni pertunjukan pewayangan Banyumasan.

Julung Gandhik atau sering dipanggil dengan Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro ini memulai kebiasaan mendalangnya sejak masih SMP meskipun pada saat itu ia masih ikut atau merguru (belajar) dengan kakeknya yaitu Alm. Ki Soegino Siswocarito yang merupakan seorang dalang kondang di Banyumas. Meskipun Julung Gandhik masih mengikuti kakeknya dalam pementasan namun keahlian, keluwesan, dan kecepatan dalam memainkan wayang menjadi daya tarik tersendiri bagi Ki Dalang Julung Gandhik ini. Selain itu juga Ki Julung Gandhik sudah banyak memperoleh penghargaan dalam hal pewayangan baik ditingkat daerah maupun nasional.

(4)

Siswa Nasional). Pada perlombaan tersebut Julung Gandhik mengikuti 4 kategori perlombaan sekaligus. Hasilnya sangat memuaskan Julung Gandhik memperoleh juara di masing-masing kategori salah satunya kategori pedalangan, padahal di SMK Negeri 3 Banyumas ketika itu belum ada jurusan pedalangan. Namun Julung Gandhik mampu membuktikan bahwa dirinya mampu memperoleh juara di kategori pedalangan.

Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk meneliti alur kehidupan Julung Gandhik Ediasmoro yang dianggap menarik untuk di kaji. Peneliti memilih Julung Gandhik Ediasmoro sebagai objek penelitiannya, selain dikarenakan prestasinya yang membanggakan keluarga dan warga Banyumas pada umumnya, tetapi juga karena sifatnya yang welas asih (ramah) kepada masyarakat sehingga dirinya dikagumi. Hampir sama saudaranya Yakut Aghib Ganta Nuraidin yang sangat kental sebagai seorang dalang membuat ia sering sekali mendapat pekerjaan untuk mementaskan wayang dalam suatu acara. Selain menarik, peneliti juga mengenal baik objek penelitian sehingga mempermudah untuk mendapatkan informasi data yang diperlukan. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk menulis penelitian ini yang akan mengkaji tentang kehidupan tokoh tersebut menyangkut latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan, dan kehidupan sosial budayanya serta memaparkan bagaimana perjalanan dalang muda Julung Gandhik Ediasmoro hingga seperti sekarang ini.

(5)

Agar penelitian ini lebih terfokus maka peneliti harus menetapkan rumusan masalah penelitian. Berikut ini beberapa persoalan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana riwayat kehidupan Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro? 2. Bagaimana kiprah pedalangan Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro? 3. Apa saja prestasi yang telah diraih oleh Ki Dalang Julung Gandhik

Ediasmoro dalam dunia pertunjukan pewayangan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun beberapa tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini, antara lain yaitu:

1. Untuk mengetahui riwayat kehidupan Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro.

2. Untuk menjelaskan kiprah pedalangan Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro.

(6)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini yaitu: 1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini sebagai Dasar pengambilan judul untuk dijadikan penyusunan Tugas Akhir Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kekhasan kesejahteraan lokal sebagai bagian dari penulisan sejarah nasional. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai salah satu

referensi dalam menganalisis biografi seorang tokoh dan perannya dalam masyarakat.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan rasa cinta terhadap kesenian tradisional salah satunya yaitu wayang kulit.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan masyarakat mengetahui betapa pentingnya kesenian tradisional itu.

(7)

E. Kajian Pustaka dan Penelitian yang Relevan 1. Kajian Pustaka

a. Kiprah

Kiprah dalam kesenian dapat diartikan sebagai gerakan cepat dan dinamis tarian Jawa dalam pertunjukkan wayang orang dan sebagainya (biasanya ditarikan seorang laki-laki) menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Pada perkembangannya kiprah berarti derap kegiatan. Ber-kiprah sebagai kata kerja berarti melakukan kegiatan dengan semangat tinggi, bergerak (dibidang), atau berusaha giat dalam bidang (politik, kesenian, dan lain-lain). Kiprah juga dapat diartikan sebagai perbuatan nyata, usaha konkrit dan amal riil, bukan ucapan kosong, bukan perkataan belaka dan bukan buah mulut.

Berkiprah juga dapat diartikan bergerak, bergiat maupun berkecimpung. Sedangkan menurut WJS. Purwadarminta dalam kamus umum Bahasa Indonesia kata kiprah diartikan sebagai tindakan, aktifitas, kemampuan kerja, reaksi, cara pandang seseorang terhadap ideologi institusinya (Purwadarminta, 1976: 735).

(8)

berakting, mendalang dan lain sebagainya. Itu semua dilakukan dengan semangat tinggi untuk memperoleh sebuah prestasi dan agar dapat diakui karyanya oleh seluruh kalangan masyarakat disalah satu bidang kesenian tertentu.

Jadi ketika seorang berkiprah, artinya melakukan segala kegiatan atau ikut berpartisipasi maka akan timbul suatu aktivitas dalam kegiatan tersebut untuk menghasilkan satu tujuan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat suatu hubungan yang tidak bisa dipisahkan antara kiprah

dengan aktivitas (dikutip dari

www.repository.uinjkt.ac.id/.../HASANUDIN-FDK-1.pdf, diakses tanggal 15 Juli 2016 pukul 00.03 WIB).

b. Prestasi

Prestasi berasal dari bahasa Belanda yang artinya hasil dari usaha, prestasi diperoleh dari usaha yang telah dikerjakan. Dari pengertian tersebut, maka pengertian prestasi diri adalah hasil atas usaha yang dilakukan seseorang. Prestasi juga merupakan kecakapan atau hasil kongrit yang dapat dicapai pada saat atau periode tertentu. Prestasi dapat dicapai dengan mengandalkan kemampuan intelektual, emosional, dan spiritual serta ketahanan diri dalam menghadapi situasi segala aspek kehidupan.

(9)

itu Bukhari (1983) berpendapat prestasi dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai atau hasil yang telah dicapai. Jadi prestasi dapat diartikan sebagai hasil usaha yang telah dicapai oleh individu atau kelompok (dikutip dari www.gurupendidikan.com/pengertian-prestasi-menurut-para-ahli-beserta-macamnya/, diakses tanggal 1 Agustus 2016 pukul 18.20 WIB).

Ada beberapa prestasi yang dapat dicapai oleh setiap orang, diantaranya:

1) Prestasi Belajar

Prestasi belajar merupakan sebuah hasil yang diperoleh dari sebuah pembelajaran untuk usaha belajar yang telah dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu. Prestasi belajar misalnya saja di sekolah. Contohnya, seorang siswa disekolah yang memperoleh juara 1 lomba berpidato, mahasiswa yang memperoleh beasiswa belajar di sebuah universitas setiap tahunnya, dan lain sebagainya. 2) Prestasi Kerja

Prestasi kerja adalah hasil yang diperoleh dari usaha kerja yang telah dilakukan dalam sebuah profesi pekerjaan, misalnya, promosi kerja keras mereka selama bertahun-tahun. Contohnya, penghargaan untuk pencapaian artistik, kenaikan gaji para pegawai yang tekun dan giat pada sebuah perusahaan swasta setiap tahun, dan sebagainya.

(10)

Prestasi seni adalah seluruh hasil yang diperoleh dari usaha dalam membuat sebuah karya yang dapat diakui oleh orang banyak dan menghasilkan sebuah prestasi yang dijadikan bisnis seni, misalnya, pencapaian penyanyi atau bentuk lain dari seniman upeti.

4) Prestasi Olahraga

Prestasi olahraga merupakan hasil yang diperoleh untuk usaha dan bekerja keras dibidang olahraga. Sebagai contoh, seorang atlet mendapat medali emas ditempat pertama diraih saat menghadiri Pekan Olahraga Nasional (PON) dan berbagai perlombaan lain dalam bidang olahraga.

5) Prestasi Lingkungan Hidup

Prestasi lingkungan hidup adalah sebuah prestasi yang diperoleh oleh upaya untuk menyelamatkan lingkungan, misalnya, individu atau kelompok mendapatkan penghargaan untuk upaya konservasi lingkungan seperti penanaman pohon atau penghijauan. Contohnya, sebuah desa memperoleh piala adipura karena desanya bersih dari sampah dan terlihat hijau di halaman rumah warganya.

(11)

waktu dengan baik. Dari beberapa sikap yang mendukung seseorang untuk berprestasi tersebut tentunya akan dapat menjadi sebuah referensi bagi setiap orang jika ingin berprestasi (dikutip dari www.gurupendidikan.com/pengertian-prestasi-menurut-para-ahli-beserta-macamnya/, diakses tanggal 1 Agustus 2016 pukul 18.20 WIB).

Semua orang berperilaku benar-benar dalam memproduksi sesuatu. Namun, prestasi atau keberhasilan yang dicapai tidak terlepas dari bantuan orang lain. Misalnya membantu spiritual, material, dan bantuan lainnya. Dalam proses mencapai kesuksesan, semua orang akan menghadapi tantangan, termasuk:

a. Berasal dari diri-sendiri

Tantangan dari diri-sendiri adalah bakat, potensi, kecerdasan atau kecerdasan, minat, motivasi, kebiasaan, emosi, kesehatan dan pengalaman pribadi.

b. Berasal dari lingkungan

Tantangan lingkungan dalam bentuk tantangan dari keluarga, sekolah, masyarakat, infrastruktur, fasilitas, gizi, dan tempat tinggal.

(12)

merupakan hasil yang diperoleh dari usaha seni (dikutip dari www.gurupendidikan.com/pengertian-prestasi-menurut-para-ahli-beserta-macamnya/, diakses tanggal 1 Agustus 2016 pukul 18.20 WIB). c. Dalang

Dalang dalam dunia pewayangan diartikan sebagai seseorang yang mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang (ndalang). Keahlian ini biasanya diperoleh dari bakat turun-temurun dari leluhurnya. Seorang anak dalang akan bisa mendalang tanpa belajar secara formal. Ia akan mengikuti ayahnya selagi mendalang dengan membawakan peralatan, menata panggung, mengatur wayang (nyimping), menjadi pengrawit, atau duduk di belakang ayahnya untuk membantu mempersiapkan wayang yang akan dimainkan.

(13)

tidak hanya mumpuni memainkan wayang, tetapi juga berwawasan luas dan berpikir kritis. Dalam perguruan tinggi inilah lahir pula dalang yang bukan dari keturunan seorang Dalang, tetapi hanya seseorang yang mempunyai niat yang kuat untuk belajar dalang dan akhirnya bisa mendalang.

Kata Dalang ada yang mengartikan berasal dari kata dahyang, yang berarti juru penyebuh berbagai macam penyakit. Dalang dalam jarwo dhosok diartikan pula sebagai ngudal piwulang (membeberkan

ilmu), memberikan pencerahan kepada para penontonnya. Untuk itu seorang dalang harus mempunyai bekal keilmuan yang sangat banyak. Berbagai bidang ilmu tentunya harus dipelajari meski hanya sedikit, sehingga ketika dalam membangun isi dari ceritera bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai kekinian (dikutip dari www.hadisukirno.co.id/artikel-detail.html?id=Dalang, diakses tanggal 28 Desember 2015 pukul 01.18 WIB).

(14)

dalamnya. Ia harus pandai memaparkan cerita itu secara tertib, berurut, lancar, dan memikat. Ia pun harus mahir memainkan dan memperagakan tokoh-tokoh wayang yang dimainkan dan paham betul akan karakter tokoh wayang yang itu. Menguasai lagu-lagu gendang pengiring, dapat menembangkan (menyanyikan) lagu-lagunya, juga merupakan syarat utama yang harus dimiliki seorang dalang.

Selain itu ia masih dituntut kepandaian memainkan warna suaranya, sehingga suara tokoh yang diperankan menyimpulkan pula karakter tokoh yang itu. Dalang yang baik juga harus memiliki kharisma, punya greget, dapat menguasai, dan mengendalikan emosi penontonnya. Dan tidak kalah pentingnya, ia harus bertubuh sehat karena ia dituntut harus dapat memainkan wayang semalam suntuk. Pada zaman dulu syarat mutlak yang harus dimiliki seorang dalang adalah memiliki suara yang lantang dan nyaring. Namun, sejak digunakannya alat pengeras suara elektronik (mikrofon) pada pagelaran wayang, suara nyaring itu tidak terlalu diperlukan lagi.

(15)

mahir dalam sabetan, biasanya memanjangkan waktu pada adegan-adegan perang.

Dalam Wayang Kulit Purwa yang terkenal pada dekade 1960 sampai 1997-an antara lain, Pujasumarta, Wignyasutarna, Nartasabda, Timbul Hardiprayitno, Anum Suroto, Hadisugito, Sugino Siswocarito, Panut Darmoko, Manteb Soedharsono, Sugito Purbocarito, Purbo Asmoro, Warseno, dll. Sedangkan dalam Wayang Golek Sunda yang terkenal diantaranya adalah S. Adiwijaya, Barnas Sumantri, Asep Sunandar Sunarya, Tjejep Supriadi dan Ganda Permana.

Dalam pelajaran pedalangan Wayang Kulit Purwa ada delapan pasyarat yang harus dimiliki oleh seorang dalang, yakni (dikutip dari www.hadisukirno.co.id/artikel-detail.html?id=Dalang, diakses tanggal 28 Desember 2015 pukul 01.18 WIB):

1) Parama Sastra, seorang dalang harus kaya akan perbendaharaan kata, ahli dalam tata bahasa lisan.

2) Paramong Kawi, seorang dalang harus memahami arti kata-kata dan istilah bahasa Kawi dan bahasa Jawa Kuno.

3) Mardi Basa, Dalang yang baik hati pandai memainkan atau mengolah kata-kata yang digunakan, sehingga pencitraanya lebih mengikat perhatian penonton lebih dapat membawakan suasana cerita.

(16)

5) Mandra Guna, seorang dalang harus menguasai berbagai ketrampilan dalam seni pedalangan. Ada juga yang mengartikan dalang yang harus memiliki kelebihan batiniah dan sugesti diri yang kuat, sehingga dapat menguasai dan mengendalikan emosi penonton.

6) Hawi Carita, Dalang harus seorang yang mempunyai kemampuan bercerita, kemahiran untuk membawakan cerita secara runtut dan memikat. Tidak ada bagian cerita yang terlupa.

7) Nawung Krida, dalang harus mengerti dasar-dasar ilmu psikologi, memahami karakter semua tokoh wayang dan kaitannya dengan karakter manusia.

8) Sambegana, dalang harus mempunyai ingatan kuat terhadap semua lakon (tokoh utama) wayang dan tahu benar urutan skenario

seharusnya.

(17)

yang mayoritas wanita, akan berbeda dengan cara mendalang dengan penonton yang hampir semuanya kaum pria.

Di kalangan pedalangan, kemampuan seorang dalang, baik ketrampilan, pengetahuan pewayangan, kedalaman filsafat, amupun derajat spiritualnya dapat dibagi atas beberapa tingkatan (Senawangi, 1983: 13-14):

1) Dalang sejati, dhalang sejati menawi ngringgit, sedaya lelampahanipun ringgit lan isinipun cariyos, ngandhut isi raos

pendidikan ingkang sae minangka tuladha kagem ingkang

mriksani. Ingkang dipun cariyosaken ing salebetipun

nggambaraken lelampahaning ringgit, isi piwucal ilmu kabatosan,

wejangan sangkan paraning dumadi ngantos ilumugi kajaten.

Dados paring pepajar dhumatteng ingkang mriksani ingkang

taksih sami kapetengan ing manah, nyukani piwulang gesangipun

manungsa sageda tumuju dhateng kasampurnan. Dados lahir lan

batosipun sageda jumbuh, njawi lan nglebetipun, tumujua

dhumateng tumindak ingkang sae, sampun ngantos manungsa

punika sami nyleweng, anggega kajengipun piyambak. Inggih

punika ingkang dipunwastani Dhalang Sejati.

(18)

sanggup memberikan pepadang (petunjuk) pada orang-orang yang sedang susah atau ruwet pikirannya. Ia dianggap memiliki kemampuan spiritual yang tinggi.

2) Dalang Purba, dhalang purba punika manawi ngringgit, pandhapukipun cariyos isinipun warni-warni, inggih punika

cariyos lelampahanipun ringgit ingkang kenging kangge

patuladhan dhumateng ingkang mriksani murih kenginga kangge

sangu gesang ing sadinten-dintenipun. Lahir lan batosipun tumuju

dhumateng kasampurnan. Pramila cara anggenipun nyukani

pitedah, namung mawi pitutur tembung ingkang alus-alus,

minangka dados wejangan tumrap ingkang mriksani. Murih

sagedipun sami kayungyun dhateng isi piwulangipun ki dhalang,

anggenipun damel isi cariyos lelampahipun ringgit, ingkang

katindakaken salebetipun ngringgit sadalu wau. Ngantos ingkang

mriksani taksih gadhah raos lamlamen salebeting manah, kados

dene rumaos taksih nampi, wejanganipun ki dhalang. Inggih

punika ingkang dipun wastani Dhalang Purba, tegesipun

satunggalipun, dhalang ingkang sampun saged nyakup, raos kasar

lan alusing manungsa, sampun kenging karegem dados satunggal

wonten wejangan punika wau.

(19)

memberikan wejangan (nasehat) yang bermanfaat bagi penontonnya, tanpa mengganggu alur cerita. Dalang yang demikian biasanya memiliki pengetahuan filsafat, terutama filsafat Jawa yang mendalam. Ia juga sanggup menguraikan filsafat itu tanpa membuat penonton bosan, justru terus mendengarkan.

3) Dalang Wasesa, dhalang wasesa punika manawi ngringgit, piyambakipun nggadhahi keahlian, cara anggenipun nyariyosaken

ringgit ngantos anggadhahi raos gesang, saking anggenipun baud

ngecakaken damel tetembungan ngantos saged mranani ingkang

mriksani. Inggih punika manawi nyariyosaken ringgit ingkang

pinuju prihatos, inggih kados anggadhahi raos sisah saestu.

Manawi pinuju nepsu utawi ngamuk, inggih kados tiyang ingkang

nepsu lan ngamuk toh pati saestu. Makaten salajengipun. Inggih

punika saking anggenipun pinter nglampahaken lan nglagokaken

solahing ringgit lan ngrakit tetembungan, ngantos ingkang

mriksani anggenipun nyumerepi kados katingal iya-iyaa saestu.

Inggih kados makaten punika wau lenggahipun dhalang wasesa.

Tegesipun sampun saged nyakup anguwaosi wonten salebetipun

pakeliran.

(20)

yang begini biasanya memiliki prabawa (pembawaan) yang kuat terhadap penontonnya.

4) Dalang Guna, dhalang guna punika anggenipun nindakaken pakeliran lugu cariyos ingkang dipun remeni dening ingkang

mriksani kemawon. Cariyosipun kosong, mboten wonten ingkang

kenging kangge patuladhan, namung waton rame sjak katingal

muyeg pamayangipun. Dados kasagedanipun inggih namung

saweg sak saged nglampahaken ringgit dipun tabuhi sadalu muput,

ngiras kenging kangge tengga griya. Dene caranipun namung

kados tiyang dolanan wayang kemawon, cariyosipun tanpa isi,

manawi milih lakon mesthi pados lampahan ingkang kathah

ringgitipun ingkang medal, wigatosipun kathah perangipun,

sakedhik gegendhingan lan cariyosipun. Kepara kathah

peperanganipun, dados isining tetabuhan prasasat namung

sampak, srepegan lan ayak-ayakan. Sadalu prasat namung isi

tigang gendhing, kenging dipun wastani beber bango mati.

Pramila milih ingkang kathah wedalipun ringgit, salebetipun

sadalu sampun ngantos kapedhotan lampahan. Dados tegesipun,

ginanipun wani namung sak saweg remen ngringgit mawi dipun

tabuhi gangsa.

(21)

memperpanjang adegan perang, karena soal gending pun ia kurang menguasai. Penggemar dalang semacam ini pada umumnya kaum muda, terutama yang tidak terlalu tinggi tingkat pendidikannya. 5) Dalang Wikalpa, dhalang wikalpa punika anggenipun ngringgit,

inggih namung lugu manut miturut isinipun pakem, wewatonipun

kawruh bab padhalangan. Cariyosipun namung ngetrepi punapa

wontenipun kemawon, miturut piwulang pasinaon padhalangan,

rikala piyambakipun nglampahi sekolah wonten ing pamulangan

pedhalangan. Dados namung mujudaken kados dene tetiron

kemawon, inggih punika kados ingkang dipun wastani latihan

andhalang, nirokaken pantrapipun cara ngringgit sedalu. Punika

ingkang dipun wastani Dhalang Wikalpa.

Dalang Wikalpa, sebutan bagi dalang yang tidak memiliki kreasi. Ia hanya mendalang persis seperti apa yang diajarkan kepadanya. Pesrsis seperti buku pakem lakon, tanpa improvisasi sama sekali. Meskipun caranya mendalang tidak salah, biasanya dalang yang demikian membosankan penonton.

(22)

tertentu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kepercayaan adanya wahyu dalang masih tetap ada sampai dengan dekade 1989-an.

Sejak pemerintahan Sunan Amangkurat II, setiap dalang yang akan bertugas meruwat, harus lebih dahulu meminta izin dan restu Ki Dalang Anjangmas, seorang dalang keraton pada masa itu. Hak memberi izin dan restu itu terus dipegang oleh keturunan dalang ternama itu. Namun, peraturan mengenai izin itu mulai luntur sejak zaman pemerintahan Paku Buwasa IV (1788-1820).

Pada zaman dulu, dunia pedalangan memang mengenal dua golongan dalang, yaitu dalang keraton atau dalang nglebet dan dalang ndesa (desa), dalang ndusun atau dalang njawi. Dalang yang baik,

biasanya adalah dalang keraton, karena pada masa itu keraton memang merupakan pusat budaya. Selain mendapat kedudukan dan status sosial yang tinggi, dalang keraton juga mendapat gelar serta nama baru dari pihak keraton. Dalang keraton yang masih muda, mempunyai kesempatan memperdalam pengetahuan dan ketrampilannya dengan bimbingan dalang-dalang keraton yang lebih senior.

(23)

Surakarta memberikan beberapa pantangan yang sebaiknya tidak dilakukan oleh seorang dalang.

Yang pertama, jangan sampai kebagelan, yakni kelebihan waktu dalam melaksanakan pergelaran. Kedua, jangan sampai kerainan, yakni waktunya sudah habis, sudah mulai pagi, tetapi ceritanya belum selesai. Dalam melaksanakan pergelaran dalang tidak boleh lelet, yakni terlalu pelan-pelan, sehingga sudah lewat jam 2 pagi belum juga melaksanakan adegan perang kembang. Dalang juga tidak boleh rongeh, yakni tidak tenang duduknya, terganggu perhatian pada hal lain selain cerita pada cerita pedalangannya, tidak berkonsentrasi.

Anjuran lainnya adalah adalah agar diusahakan jangan sampai meninggalkan tempat duduknya, misal untuk buang air. Selain itu, dalang sebaliknya tidak menggunakan kata-kata dan istilah yang bukan kata dan istilah jawa. Jangan menggunakan kata dan istilah yang mempunyai konotasi dengan alam lain di luar pewayangan, misalnya istilah permesinan, istilah politik masa kini, istilah pelistrikan, istilah kimia dll. Selain itu ada beberapa pantangan yang hampir selalu ditaati para dalang. Misalnya seorang dalang tidak akan melangkahi kotak wayang dan tutupnya. Ia juga tidak akan melangkahi instrument gender dan tempat sesaji.

d. Wayang

(24)

daerah seperti Sumatera dan Semenanjung Malaya, yang juga memiliki beberapa budaya wayang yang terpengaruh oleh kebudayaan Jawa dan Hindu. UNESCO, lembaga PBB yang membawahi bidang kebudayaan, pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Sebenarnya, pertunjukan boneka tak hanya ada di Indonesia karena banyak pula negara lain yang memiliki pertunjukan wayang (bayangan boneka). Namun, pertunjukan bayangan boneka (Wayang) di Indonesia memiliki gaya tutur dan keunikan tersendiri, yang merupakan mahakarya asli dari Indonesia. Untuk itulah UNESCO memasukkannya ke dalam daftar representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia pada tahun 2003.

(25)

Dari beberapa banyak jenis wayang yang ada di Indonesia, pada makalah ini lebih terfokus pada wayang kulit. Wayang kulit merupakan kesenian tradisional rakyat Indonesia yang mampu bertahan dan dapat diakui eksistensinya melampaui lintas zaman dan benua. Jikamenengok sejarah budaya Jawa, wayang kulit sudah berkembang sejak abad ke-15 dan hingga saat ini masih banyak penggemarnya meskipun dari kalangan tertentu. Wayang kulit adalah bentuk kesenian yang menampilkan adegan drama bayangan boneka yang terbuat dari kulit binatang, berbentuk pipih, diwarna dan bertangkat1. Yang dimainkan oleh seorang dalang dengan menyuguhkan kisah-kisah atau cerita-cerita klasik seperti Ramayana dan Mahabarata. Yang kental dengan budaya Hindu-India yang diadaptasikandengan budaya Jawa.

2. Penelitian Yang Relevan

(26)

Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Sutrismi (2014) dengan judul “Biografi Kusno: Mantan Kepala Desa Di Desa Bengbukang Kecamatan Karangpucung Kabupaten Cilacap”, menyimpulkan bahwa kegigihan kusno dan keteladanannya sebagai pemimpin yang dapat dicontoh oleh masyarakat. Beranjak dari keluarga yang sederhana, dan juga tentang bagaimana Kusno memperlakukan anaknya dengan baik serta mengedepankan pendidikannya. Kepemimpinan Kusno dan rasa tanggung jawabnya itu, dianggap sebagai suatu keberhasilan yang membuatnya menjadi salah satu pemimpin yang dapat dipercaya masyarakat.

Menurut Endah Puji Lestari (2005) dalam skripsinya yang berjudul “Biografi Karsinah (Mantan Lengger) di Desa Kalisabuk, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap”, menyimpulkan bahwa Karsinah sudah menjadi lengger di umur belasan tahun. Kesenian lengger merupakan bakatnya dan untuk menyalurkan bakatnya itu ia mempelajari lengger dari salah satu seniornya, kemudian ia juga tidak segan untuk berbagi ilmu kepada anak-anak atau orang yang ingin mempelajari lengger seperti dirinya. Saat sudah menikah ia kemudian menghentikan kegiatannya sebagai seorang legger demi mengurusi keluarga, suami dan anak-anaknya. Padahal pada saat itu usianya yang masih produktif untuk berkarya. Saat menjadi lengger Karsinah pernah tampil di depan tamu Negara dan para turis mancanegara.

(27)

Marijan Kartosuwiryo” menyimpulkan bahwa Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo salah seorang murid HOS Cokroaminoto kawan Sokearno yang menjadi pemimpin Sarekat Islam (SI). Marijan Kartosuwiryo yang meliputi lain masa kecil dan pendidikannya, perkenalannya dengan dunia politik dan temu jodohnya, perjuangannya di luar kepartaian, pergerilyaannya melawan Belanda, serta perang segi tiga dan berdirinya NII. Sekarmaji, sebuah nama asli yang diberikan oleh orang tuanya ketika ia lahir di Cepu pada tanggal 7 Februari 1905, sedangkan Marijan Kartosuwiryo adalah nama ayahnya, seorang pegawai gubernemen Hindia Belanda dengan jabatan Mantri Kehutanan. Pada usia 6 tahun ia dimasukkan sekolah Tweede Inlandsche School, kemudian dipindah ke HIS. Setelah lulus HIS, ia melanjutkan ke Europeeshe Legere School (ELS), kemudian melanjutkan ke Hogere Burgelijks School (HBS), dan lebih lanjut meneruskan pendidikannya di Nedelandsche Indische Artsen School (NIAS), yaitu sekolah ilmu kedokteran di Surabaya. Di Surabaya

inilah Sekarmaji M. Kartosuwiryo bergabung dengan Haji Omar Said Cokroaminoto (pemimpin Sarekat Islam) yang kemudian dijadikan pembimbing rohani.

(28)

tersebut bakat sejak kecil maka dalam usia mudapun sudah bisa mempertjunjukan dirinya sebagai dalang dan tidak harus menunggu sudah tua. Hal ini bisa menjadi inspirasi untuk generasi penerus.

Penelitian terdahulu tersebut menjadi referensi bagi peneliti untuk melakukan tindakan. Beberapa penelitian terdahulu tersebut memanglah berbeda dari segi objek kajian penelitiannya, namun pada dasarnya penelitian biografi suatu tokoh mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk memaparkan kehiduapan suatu tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh. Dari beberapa contoh peneliti diatas yang merupakan sebuah penelitian politik dan budaya atau seni pertunjukan maka penelitian biografi kali ini merupakan jenis biografi budaya atau seni pertunjukan. Penelitian ini memaparkan kehidupan dari tokoh masyarakat yang tergolong muda dan mampu menjadi inspirasi banyak orang terutama bagi remaja. Kemampuannya dalam bidang pewayangan menginspirasi agar kita sebagai penduduk asli Indonesia menjunjung tinggi kebudayaan asli Indonesia dengan cara menjaga kelestariannya dan ikut berperan dalam mengembangkan kebudayaan asli Indonesia.

F. Kerangka Teoritis dan Pendekatan 1. Kerangka Teoritis

(29)

pelaku dan penyaksi. Tokoh-tokoh yang layak ditulis riwayat hidupnya adalah orang-orang besar dalam sejarah yang sesuai kiprahnya (Priyadi, 2011: 98)

Biografi adalah sejarah, sama halnya dengan sejarah kota, negara atau bangsa. Sayang banyak biografi ditulis tidak oleh sejarawan tetapi oleh pengarang dan jurnalis, padahal biografi lebih marketable dari pada buku-buku sejarah biasa. Ladang yang subur ini belum mendapat ladang perhatian yang memadai dari sejarawan dan mahasiswa sejarah. Mungkin karena kesulitan mencari sumber, sebab wawancara untuk sebuah historiografi memerlukan kepercayaan yang tinggi dari narasumber yang dipengaruhi mahasiswa atau sejarawan muda.

Biografi atau catatan tentang seseorang itu, meskipun sangat mikro menjadi bagian dalam mosaik sejarah yang lebih besar. Malah ada pendapat bahwa sejarah adalah penjumlahan dari beberapa biografi. Dengan adanya biografi dapat dipahami para pelaku sejarah, zaman yang menjadi latar belakang biografi dan lingkungan sosial politiknya. Akan tetapi sebenarnya sebuah biografi tidak perlu menulis tentang hero (pahlawan) yang menentukan jalan sejarah, cukup partisipan, bahkan the unknown. Namun tidak memiliki tokoh itu tentu mempunyai resiko

tersendiri (Kuntowijoyo, 2003: 203-204).

(30)

dapat dipetik tidak pada prestasi yang diraih tokoh tetapi juga kegiatan-kegiatan yang dihadapinya serta cara mengatasi masalah. Tokoh ini bisa saja sudah meninggal atau masih hidup. Pada biografi tokoh-tokoh sejarah, misalnya, pahlawan tidak diabaikan sebagai model dari manusia Indonesia yang menunjukan sifat-sifat utama dalam pengabdiannya terhadap nusa bangsa (Kartodirdjo, 1982: 254).

Ada dua macam biografi yaitu portrayal (portait) dan sctientific (ilmiah), yang masin-masing mempunyai metodelogi sendiri. Biografi disebut portrayal bia hanya mencoba memahami. Biografi yang termasuk kategori ini adalah biografi politik, bisnis, olahraga, dan sebagainya serta prosopography yaitu biografi kolektif. Dalam biografi yang scientific

orang berusaha menerangkan tokohnya berdasarkan analisis ilmiah. Dalam hal ini penggunaan konsep dan teori dari psychohistory (sejarah kejiwaan) (Kuntowijoyo, 2003: 208)

(31)

kronologis. Beberapa periode waktu tersebut dapat dikelompokkan berdasar tema-tema utama tertentu (misalnya, masa-masa awal yang susah atau ambisi dan pencapaian).

Selain biografi, pengetahuan tentang otobiografi (biografi yang ditulis sendiri oleh tokoh), memorie (peristiwa masa lampau) dan prosopography diperlukan dalam penelitian ini agara peneliti biografi pada

tokoh ini menghasilkan kualitas yang baik.bedanya dengan auto biografi ,sebuah biografi tidak ditulis sendiri oleh tokoh yang bersangkutan

melainkan orang lain. Penelitian biografi juga sama dengan penelitian lainnya yang dimiliki kelebihan dan kelemahan yang masih menjadi perdebatan pemikira tentang kelebihan dan kelemahan. Menurut pemikiran Sartono Kartodirdjo biografi dipandang memiliki kelemahan pada teknik penulisan. Teknik penulisab biografi membutuhkan kemahiran dalam pemakaian bahasa dan retorik tertentu, pendeknya seni menulis. Disamping itu biografi juga mempunyai fungsi penting dalam pendidikan apa bila biografi yang ditulis dengan baik sangat mampu membangkitkan inspirasi kepas pembaca (Kartodirdjo, 1992: 76-77).

(32)

dan reorientasi. Teks orientasi merupakan bagian dari pengenalan tokoh yang berisi gambaran awal tentang tokoh atau pelaku didalam teks biografi. Bagian teks peristiwa atau masalah yang dialami tokoh berisi penjelasan peristiwa yang terjadi atau dialami tokoh. Teks reriontasi merupakan bagian penutup yang berisi pandangan penulis terhadap tokoh yang diceritakan.

Hal yang menarik bagi peneliti sehingga melakukan penelitian biografi yaitu karena mengungkapkan sesuatu yang nyata (tidak fikfif) dan mengandung pelajaran berharga sekalipun peneliti sama sekali belum mengenal tokoh yang diceritakan serta tidak tahu banyak yang mengenai bidang yang ditekuni tokoh tersebut. Sebuah biografi menceritakan proses mulai dari kanak-kanak tokoh tersebut termasuk latar belakang lingkungan dan keluarga, timbulnya cita-cita dalam benak sang tokoh untuk terjun dalam bidang yang disukainya, awal karir sang tokoh berikut berbagai masalah yang muncul, sampai saat ia berhasil mewujudkannya.

2. Pendekatan

(33)

kesenian merupakan suatu perpaduan yang baik. Ilmu sosial yang digunakan saat tokoh masyarakat ini berinteraksi dengan masyarakat dalam pertunjukan seninya dan juga dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dalam penerapan ada masyarakat luas untuk bekerja sama (Toha, 2010: 46).

Pemimpin dalam penelitin kali ini adalah seorang dalang. Dalang merupakan pemimpin pagelaran seni pertunjukan wayang yang berinteraksi dengan penonton. Interaksi itu termasuk dalam interaksi sosial karena setiap pagelaran pertunjukan wayang, dalang mempunyai cara tersendiri untuk menyampaikan pesan yang terkandung dalam pertunjukan wayang tersebut kepada penonton, dan penikmat pertunjukan seni pedalangan.

(34)

rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990: 193).

Dalam perkembangan wayang yang sebelumnya hanya sebagai pertunjukan bayang-bayang yang digunakan untuk memuja roh nenek moyang dan sifatnya sangat sacral, kini berkembang zaman berubah menjadi suatu pertunjukan seni yang mempunyai cerita yang beragam. Perubahan fungsi pertunjukan ini menunjukan perlu adanya pendekatan kebudayaan yang diiringi pendekatan sosial. Perubahan fungsi juga mempengaruhi cara pandang masyarakat tentang pagelaran pertunjukan seni wayang tersebut. Adanya rasa ketertarikan dalam masyarakat semakin menimbulkan interaksi yang baik antara dalang dan penonton.

Santapan filosofis, religius, estasis, dan etis merupakan santapan paling dominan dalam wayang. Karena wayang selallu memberukan ide-ide yang memberikan penerangan, pendidikan dan dakwah. Wayang tidak ada, aktor tidak ada, penonton tidak ada jika Tuhan tidak berkenan. Dan dalam perkembangannya bahwa- mula-mula orang percaya bahwa Tuhan (para dewa) juga ikut hadir dalam pertunjukan wayang tersebut (Amir, 1997: 78).

G. Metode Penelitian

(35)

data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.

Penelitian ini berusaha mengungkap sejarah perjalanan hidup seorang tokoh dan prestasi-prestasi yang sudah diraihnya. Guna membantu memperlancar proses penelitian ini, peneliti membutuhkan suatu metode penelitian. Metode penelitian yang tepat dalam peelitian ini adalah metode penelitian historis atau metode penelitian sejarah. Metode historis atau metode sejarah adalah suatu cara seorang sejarawan mendekati objek penelitian dengan langkah-langkah yang terstruktur sehingga akan mempermudah dalam memperoleh data sejarah (Priyadi, 2013: 111).

Menurut Gottschalk metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis terhadap rekaman atau peninggalan masa lampau. Kemudian data-data yang teruji dan dianalisis disusun kembali menjadi sebuah kisah sejarah. Pencapaian metode historis ini meliputi empat tahapan, yaitu:

1. Pengumpulan Sumber (Heuristik)

(36)

bersifat tertulis dan tidak tertulis, serta sumber sejarah primer dan sumber sejarah sekunder (Daliman, 2012: 51).

Penulis pada penelitian ini menggunakan wawancara untuk mendapatkan sumber lisan yang asli atau otentik, wawancara dilakukan secara intensif kepada Ki Dalang Julung Gandhik dan keluarganya untuk memperoleh data yang diperlukan. Kemudian diuji kebenarannya agar mendapat data yang valid. Penulis mewawancarai hal-hal yang terkait dengan biografi Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro serta keluarga dari Ki Dalang Julung Gandhik, baik itu ayah, ibu, dan sanak saudaranya.

(37)

Seorang sejarawan atau peneliti tentu harus fokus dalam mewawancarai seorang narasumber, tetapi dalam mengendapkan jawabannya, ia bisa melakukan wawancara dengan pelaku-pelaku lain atu narusmber-narasumber lain. Jawaban narasumber tersebut akan menambah wawasan dan pengetahuan terhadap penelitian tersebut. Latar belakang budaya para narasumber atau pelaku juga harus menjadi landasan bagi sejarawan dalam melakukan wawancara agar hasil atau jawaban atas wawancara itu memuaskan. Masalah budaya itu terutama persoalan yang terkait dengan latar pendidikan. Pendidikan seseorang pelaku akan mencerminkan perilaku tertentu. Pelaku yang pendidikannya, misalnya, sekolah dasar akan merasa rendah diri ketika akan diwawancarai. Di samping merasa enggan menjawab, juga akan enggan pula memberi jawaban wawancara secara tertulis. Peneliti disini juga harus bersabar jika menghadapi persoalan-persoalan seperti ini. Artinya, wawancara dapat dilakukan secara perlahan-lahan tetapi sering sehingga sumber sejarah lisannya bisa diungkap. Atau, peneliti bisa melibatkan orang tua, anak atau istrinya untuk membantu peneliti dalam wawancara. Segala upaya ditempuh untuk menghasilkan jawaban wawancara yang akurat (Priyadi, 2014: 92-94).

(38)

Ridwan, serta kakaknya yang bernama Yakut Aghib Ganta Nuraidin yang mempunyai profesi yang sama. Data tertulis dan lisan yang telah diperoleh dan dikumpulkan. Data tersebut kemudian dipisahkan sesuai dengan pembahasan antar bab berikutnya. Hal ini dilakukan peneliti untuk mempermudah melakukan langkah-langkah selanjutnya. Data yang telah dikumpulkan dan dikelompokkan sesuai pembahasan bertujuan untuk memfokuskan peneliti agar masing-masing bab mempunyai pembahasan yang terarah.

2. Verifikasi (Kritik Sumber)

Verifikasi (kritik sumber) peneliti harus benar-benar memilah-milah data yang benar atau sesuai dengan fakta yang ada sehingga nanti akan diperoleh data yang otentik. Selain itu juga baik berupa sumber tertulis maupun sumber lisan yang didapatkan dari narasumber, yaitu Ki Dalang Julung Gandhik beserta keluarga maupun sanak saudara. Nantinya akan dikritik secara ekstern maupun intern yang menilai apakah sumber itu kreadibilitas (kebiasaan untuk dipercaya) atau tidak.

(39)

ketika kesaksian itu berbeda versinya, sejarawan sedang menghadapi pula subjektivitas dari masing-masing pelaku. Perbedaan versi memungkinkan peneliti untuk melakukan verifikasi atau kritik sumber (Priyadi, 2014: 95).

Peneliti disini harus bisa membaca dan mendeteksi setiap perbedaan itu. Perbedaan versi dapat dimanfaatkan untuk mewawancara saling-silang. Wawancara model tersebut adalah wawancara simultan. Suatu wawancara yang diumpamakan seperti permainan catur simultan antara seorang grandmaster (sangat ahli) melawan master-master yang jumlahnya puluhan atau ratusan. Grandmaster dalam permainan itu tidak selalu menang secara keseluruhan. Bisa saja, ia dipecundangi oleh seorang master. Artinya, peneliti bisa juga gagal dalam mewawancara salah seorang atau beberapa pelaku. Peneliti menerima banyak informasi dari para narasumber yang berversi-versi berdasarkan wawancara individual. Wawancara simultan memungkinkan sejarawan untuk berkomunikasi langsung dengan banyak pelaku. Disitu, peneliti bisa menanyakan langsung jawaban seorang narasumber, misalnya, dalam penelitian ini tentang Julung Gandhik Ediasmoro. Informasi yang telah disampaikan oleh Julung Gandhik kemudian ditanyakan lagi kepada orang tuanya maupun sanak saudaranya sehingga ada cek dan cek ulang (Priyadi, 2014: 96).

(40)

terhadap sumber sejarah lisan dalam hal keautentikan sumber, maka sejarawan dapat meminta kesaksian pelaku lain. Selain dimanfaatkan sebagai kritik ekstern wawancara simultan juga dimanfaatkan untuk melakukan kritik intern. Wawancara saling-silang adalah perbandingan sumber sejarah lisan secara langsung. Kritik intern ditempuh dengan membandingkan antarsumber, atau antarsumber sejarah lisan. Sumber sejarah lisan yang berversi-versi itu dibandingkan satu sama lain sehingga akan diketahui versi yang kuat dan versi yang lemah. Versi yang kuat biasanya didukung oleh banyak narasumber atau pelaku sejarah. Versi yang lemah tidak mendapat dukungan. Perbandingan versi akan menyimpulkan bahwa versi tertentu itu mengada-ada atau dibuat-buat oleh pelaku atau narasumber tertentu. Sesuatu yang apa adanya adalah fakta sejarah yang lolos dari kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ektern bermain pada tataran keautentikan atau keaslian sumber, sedangkan kritik intern bekerja pada kawasan kredibilitas atau tingkat bisa dipercaya (Priyadi, 2014: 97-98).

3. Interpretasi (Penafsiran)

(41)

fakta-fakta yang terdapat pada sumber sejarah yang telah terkumpul dan sudah mengalami tahap verifikasi kemudian peneliti menafsirkan data tersebut. Penafsiran dilakukan sesuai dengan teori dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, seperti yang tercantum dalam landasan teori (Priyadi, 2011: 88-89).

Pada tahap analisis, nantinya penulis menguraikan secara detail tiga fakta, yaitu manifact, sociofact, dan artifact dari berbagai sumber atau data baik itu tertulis maupun lisan yang didapat dari narasumber Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro beserta keluarganya sehingga unsur-unsur terkecil dalam fakta tersebut akan menampakkan kohesinya (Priyadi, 2011: 92).

4. Historiografi (Penulisan Sejarah)

Penulisan sejarah atau Historiografi merupakan penyusunan sejarah yang didahului oleh penelitian terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu (Badri Yatim, 1995: 5). Historiografi disini merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan (Abdurahman, 2011: 107).

(42)

Pada penulisan sejarah tentang biografi Ki Julung Gandhik Ediasmoro ini penulis menyajikan laporan hasil penelitian dari awal hingga akhir, yang meliputi masalah-masalah yang harus dijawab. Tujuan penelitian adalah menjawab masalah-masalah yang belum diajukan. Penyajian historiografi meliputi pengantar, hasil penelitian, dan simpulan. Penulisan sejarah harus memperhatikan aspek kronologis, periodisasi, serialisasi, dan kausalitas (Priyadi, 2011: 88).

H.

Sistematika Penyajian

Untuk sistematika penyajian pada penelitian ini nantinya akan dideskripsikan dalam beberapa bagian sebagaimana berikut :

(43)

dalamnya menjelaskan tentang variabel penelitian dan beberapa penelitian terdahulu yang penulis temukan ada dimasukkan kedalam sub bab ini. Selanjutnya terdapat kerangka teoritis dan pendekatan dimana di dalamnya peneliti memilih teori ilmu sosial yang sesuai sebagai model penjelasan dan memilih serta menggunakan salah satu disiplin ilmu sosial sebagai alat bantu penjelasan. Berikutnya Dicantumkan pula metode penelitian yang akan dipakai dalam penelitian ini baik dalam pengumpulan data ataupu analisis data serta sistematika penyajian.

Bagian kedua, pada bagian ini merupakan penjelasan dari jawaban pertanyaan pertama tentang riwayat kehidupan Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro yang sebelumnya telah ditentukan pada rumusan masalah.

Bagian ketiga, berikutnya menjelaskan tentang bagaimana kiprah pedalangan Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro.

Bagian ke empat, selanjutnya menjelaskan prestasi yang telah diraih oleh Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro dalam dunia pertunjukkan wayang yang mana sebelumnya telah ditentukan pertanyaanya pada rumusan masalah.

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan risiko kredit dalam Bank juga dilakukan dengan melakukan proses analisa kredit atas potensi risiko yang timbul melalui proses Compliant Internal

Pengendali PID adalah pengendali digunakan untuk menjaga stabilitas sistem terhadap perubahan masukan yang terjadi dan pengendali feedforward digunakan mengantisipasi

Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan manajemen strategi untuk mengetahui lingkungan perusahaan

Penelitian ini menggunakan data kuantitatif berupa kuesioner untuk mengukur pengaruh orientasi pada kepuasan pelanggan, biaya, infrastruktur serta kesadaran dan

Emisi surat utang korporasi di pasar domestik selama Januari 2018 mencapai Rp7,67 triliun atau naik 2,84 kali dibandingkan dengan Januari 2018, berdasarkan data oleh

Pada multifragmentary complex fracture tidak terdapat kontak antara fragmen proksimal dan distal setelah dilakukan reposisi. Complex spiral fracture terdapat dua atau

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembekuan PGC pada ayam lokal yang terbaik dilakukan dengan tingkat penurunan suhu 0,5 atau 0,3 o C per