• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian terdiri dari tiga tahap yaitu (1) survei praktik penanganan pangan tradisional Indonesia di tingkat rumah tangga yang dilakukan dengan alat bantu kuesioner, observasi dan wawancara (2) evaluasi pengaruh penyimpanan pada suhu ruang terhadap S. aureus dan (3) pengaruh pemanasan dengan oven microwave terhadap S. aureus yang dilakukan dengan metode percobaan. Diagram alir proses penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 4.

Persiapan Sampel Pangan Tradisional Indonesia

Survei

Persiapan Inokulum Uji Konfirmasi S. aureus

Inokulasi kultur S. aureus ke dalam sampel pangan

Penyimpanan Sampel Pangan Pada Suhu Ruang selama 24 Jam

Pemanasan Sampel Pangan dengan Oven

Microwave selama 10, 20, 30, 40, 50, 60, 90

dan 120 detik

Uji S. aureus tiap waktu pemanasan Uji S. aureus tiap

interval waktu 2 jam

Gambar 4. Diagram alir proses penelitian

1. Survei Praktik Penanganan Pangan Tradisional Indonesia

Survei dilakukan sebagai studi pendahuluan mengenai praktik penanganan pangan yang umum dilakukan oleh ibu rumah tangga untuk mengetahui kondisi yang berpotensi menjadi kendaraan masuknya bakteri patogen kedalam makanan khususnya S. aureus. Pengumpulan data mencakup: cara penanganan bahan baku, cara pengolahan, cara penyimpan pangan, budaya praktik higiene perorangan, sanitasi dapur dan peralatan masak serta sanitasi peralatan makan.

Metode survei dilakukan dengan alat bantu kuesioner, tanya jawab, dan observasi secara langsung. Jumlah responden yang digunakan adalah 50 orang yang seluruhnya berdomisili di kota Malang, Jawa Timur dengan beberapa pertimbangan, antara lain alasan keterbatasan waktu, tenaga, dan dana sehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar dan jauh. Kriteria responden yang dipilih dalam survei ini disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu (1) responden merupakan ibu rumah tangga yang mengolah sendiri makanan untuk konsumsi keluarga, (2) responden merupakan ibu rumah tangga yang menggunakan oven microwave untuk memanaskan makanan.

Kuesioner terdiri dari kombinasi pertanyaan tertutup dan pertanyaan terbuka. Jenis pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner

meliputi identitas responden, cara penanganan pangan dan cara penyimpanan pangan (Lampiran 1). Sedangkan aspek lain yang diamati melalui observasi meliputi kondisi dapur, kondisi kesehatan dan higiene pengolah makanan saat memasak, kondisi peralatan masak dan alat makan, cara penanganan pangan yang berpotensi berbahaya dan kondisi tempat penyajian makanan (Lampiran 2). Penilaian ditentukan berdasarkan tiga kriteria yaitu baik, sedang dan buruk.

Kondisi dapur yang tergolong dalam kriteria baik adalah dapur dengan lantai dan meja yang bersih, kering, rapi, terpelihara, dan mudah dibersihkan. Kondisi peralatan masak yang tergolong dalam kriteria baik adalah peralatan yang bersih, terpelihara, dan disimpan dalam tempat tertutup. Kondisi lingkungan penyajian makanan yang tergolong dalam kriteria baik adalah yang tertutup dan terlindung dari lalat dan debu. Cara pengolahan pangan yang berpotensi bahaya yang tergolong dalam kriteria baik adalah pangan yang diolah dengan suhu, cara dan waktu yang memadai yaitu 90-100°C selama 20-40 menit. Higiene pengolah pangan yang tergolong dalam kriteria baik adalah pengolah makanan yang menggunakan pakaian yang bersih, rambut terikat rapi/pendek dan tangan selalu dicuci bersih saat mengolah makanan. Kondisi kesehatan pengolah pangan yang tergolong dalam kriteria baik adalah bebas dari penyakit kulit, bisul, luka terbuka, dan infeksi saluran pernafasan. Kondisi yang berkebalikan dengan parameter diatas digolongkan dalam kriteria buruk, sedangkan kondisi yang hanya memenuhi sebagian parameter digolongkan dalam kriteria sedang. Data yang diperoleh diolah dengan membuat tabel frekuensi dan dihitung dalam persentase (Lampiran 3). Hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk Tabel dan pie graph.

2. Pengaruh Penyimpanan terhadap S. aureus pada beberapa pangan tradisional Indonesia

a. Persiapan inokulum

Sebelum digunakan sebagai inokulum, dilakukan uji konfirmasi untuk mengetahui kemurnian S. aureus ATCC 25923 yang digunakan. Uji Konfirmasi kultur S. aureus meliputi pewarnaan Gram, uji katalase, dan uji koagulase menurut BAM (2001). Uji katalase dilakukan dengan cara : satu ose kultur dari biakan agar miring TSA yang diduga S. aureus digores diatas gelas obyek, kemudian diteteskan cairan peroksida 0.3% ke atas kultur dan diamati reaksi yang terjadi. Bila terbentuk gelembung oksigen pada kultur, maka kultur yang diuji merupakan katalase positif. Uji koagulase : satu ose kultur dari biakan agar miring TSA yang diduga S. aureus dimasukkan ke dalam 0.2 ml – 0.3 ml BHIB, dihomogenkan, dan diinkubasi selama 18-24 jam suhu 35°C. Selanjutnya ke dalam suspensi BHIB ditambahkan 0.5 ml koagulase plasma kelinci (coagulase rabbit plasma) yang mengandung EDTA 0.1%, dihomogenkan, diinkubasi pada suhu 35°C dan diamati tiap 6 jam terhadap pembentukan gumpalan. Hasil uji koagulase positif S. aureus ditandai dengan terbentuknya gumpalan padat yang tidak dapat larut kembali.

Kultur segar disiapkan dengan cara menggoreskan satu ose isolat S. aureus ATCC 25923 yang telah diuji konfirmasi pada media selektif BPA + egg yolk tellurit dengan metode gores kuadran dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. Selanjutnya, koloni terpisah dari cawan BPA dipindahkan kedalam tabung reaksi yang berisi 5 ml media cair Brain Heart Infusion Broth (BHIB) dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. Pertumbuhan S. aureus segar ditandai dengan adanya kekeruhan.

Kultur segar S. aureus dalam BHIB disentrifuse dengan kecepatan 3500 rpm selama 20 menit dan endapan sel S. aureus yang terpisah disiapkan menjadi kultur kerja. Persiapan kultur kerja

dilakukan dengan cara melarutkan sel S. aureus kedalam tabung yang berisi pengencer BPB dan membandingkan dengan larutan standar MacFarland nomer 0.5 (1 x 108 CFU/g) dan 1 (3 x 108 CFU/g). Untuk mendapatkan jumlah konsentrasi awal S. aureus dalam sampel pangan yang diperlukan pada penelitian ini yaitu 103 dan 105 CFU/g sampel pangan, maka dilakukan seri pengenceran dari kultur kerja menggunakan larutan pengencer BPB hingga jumlah yang diperlukan.

b. Persiapan Sampel Pangan Tradisional Indonesia

Sampel pangan yang digunakan adalah soto ayam, tumis buncis dan nasi uduk. Semua sampel disiapkan pagi hari sebelum pengambilan data dan dibuat dengan komposisi bumbu yang mengacu pada Anonim (2004). Sampel soto ayam disiapkan dengan cara menghaluskan seluruh bumbu dasar yang terdapat pada Tabel 6 menggunakan ulekan, kemudian ditumis pada suhu 70°C selama 3 menit. Selanjutnya bumbu halus direbus bersama daging ayam utuh dan air selama 15 menit pada suhu 100°C, ditambahkan daun jeruk dan sereh yang sudah dimemarkan dan direbus kembali selama 5 menit pada suhu 100°C. Proses pembuatan soto ayam dapat dilihat pada Gambar 5.

Tabel 6. Komposisi bumbu dasar untuk pembuatan soto ayam*

Bumbu Dasar Jumlah (%) (b/b ayam) Bawang Merah 3 Bawang Putih 2 Kemiri 1.6 Jahe 1 Kunyit 0.6 Merica 0.2 Lengkuas 1.5 Sereh 4 Gula 1 Garam 2 Minyak Goreng 5 *) Anonim (2004) 30

Daging Ayam Utuh Bumbu yang dihaluskan, Daun telah Jeruk, dan Sereh

Perebusan 100°C, 15 menit Penumisan 70°C, 3 menit

Pencampuran

Perebusan kembali 100°C , 5 menit Soto Ayam

Gambar 5. Proses Pembuatan Soto Ayam

Nasi uduk dibuat dengan cara merebus air, santan kental, lengkuas, daun jeruk, daun salam dan sereh selama 15 menit, pada suhu 100°C. Komposisi bumbu dasar yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini

Tabel 7. Komposisi bumbu dasar untuk pembuatan nasi uduk*

Bumbu Dasar Jumlah (%) (b/b beras) Lengkuas 1.5 Daun Salam 0.5 Daun Jeruk 0.2 Sereh 4 Garam 2 Santan 20 (v/b) *) Anonim (2004)

Selanjutnya beras, santan beserta rempah lainnya dimasukkan kedalam alat penanak nasi (Rice cooker) selama 30 menit. Proses pembuatan nasi uduk dapat dilihat pada Gambar 6.

Beras Lengkuas, Daun Salam, Daun Jeruk, Sereh Santan Kelapa

Perebusan 100ºC, 5 menit

Pencampuran

Pemasakan dengan alat penanak nasi (Rice Cooker), selama 15 menit Nasi Uduk

Gambar 6. Proses Pembuatan Nasi Uduk

Tumis buncis dibuat dengan cara menumis bawang putih yang sudah diiris tipis menggunakan minyak goreng pada suhu 70°C selama 1 menit. Selanjutnya buncis yang telah dipotong-potong sepanjang 1cm ditumis beserta bawang putih selama 5 menit, pada suhu 70°C. Komposisi bumbu dasar untuk pembuatan tumis buncis dapat dilihat pada Tabel 8 dibawah ini, sedangkan proses pembuatannya sesuai dengan Gambar 7.

Tabel 8. Komposisi bumbu dasar untuk pembuatan tumis buncis*

Bumbu Dasar Jumlah (%) (b/b buncis) Bawang Putih 2 Minyak 5

Garam 1

*) Anonim (2004)

Buncis potong 1cm Minyak dan bawang putih iris tipis

Penumisan 70ºC, 1 menit

Pencampuran Penumisan 70°C, 5 menit

Tumis Buncis

Gambar 7. Proses Pembuatan Tumis Buncis

c. Pertumbuhan S. aureus dalam Beberapa Pangan Tradisional Indonesia Selama Penyimpanan

Pertumbuhan S.aureus selama penyimpanan dapat dievaluasi dengan cara menginokulasi kultur kerja S.aureus kedalam sampel pangan sehingga diperoleh konsentrasi inokulum awal sebanyak 103 dan 105 CFU/g. Selanjutnya soto ayam dan tumis buncis yang telah diinokulasi bakteri pencemar disimpan dalam wadah tertutup dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang (25°C). Untuk nasi uduk yang telah diinokulasi bakteri pencemar disimpan dalam termos nasi yang bersuhu 37°C. Suhu tersebut diperoleh berdasarkan pengukuran suhu bagian tengah termos nasi

pada interval waktu 3 jam selama penyimpanan 24 jam. Perlakuan diatas mengacu pada hasil pengamatan terhadap pedagang nasi uduk di lingkungan kampus Darmaga-IPB yang umumnya menyimpan nasi uduk dalam termos nasi saat berjualan. Pertumbuhan Staphylococcus aureus diamati setiap interval waktu 2 jam dengan menghitung total S. aureus pada media BPA (BAM, 2001). Data akan disajikan dalam bentuk line chart yang menghubungkan lama waktu penyimpanan dan jumlah S. aureus (Log CFU/g) dan dibandingkan secara deskriptif berdasarkan jenis makanan dan jumlah inokulum.

3. Pengaruh Pemanasan Ulang dengan Oven Microwave Terhadap S. aureus pada Beberapa Pangan Tradisional Indonesia

a. Persiapan inokulum

Persiapan inokulum dilakukan seperti telah dijelaskan sebelumnya. Namun karena tingkat kontaminasi yang diinginkan pada tahap ini adalah 106 CFU/g, maka dilakukan seri pengenceran hingga tercapai konsentrasi yang dikehendaki. Tingkat kontaminasi 106 CFU/g ditentukan berdasarkan perkiraan jumlah S. aureus yang dapat ditemukan pada pangan setelah penyimpanan pada suhu ruang selama 9-12 jam. Hasil studi pustaka menunjukkan bahwa 106 CFU/g merupakan kontaminasi tinggi dimana S. aureus mulai menghasilkan enterotoksin tahan panas yang bersifat meracuni sehingga pangan tersebut tidak aman untuk dikonsumsi.

b. Persiapan Sampel Pangan Tradisional Indonesia

Sampel pangan berupa soto ayam, tumis buncis dan nasi uduk disiapkan dengan formulasi yang mengacu pada Anonim (2004) dengan cara persiapan seperti diuraikan sebelumnya. Setelah disiapkan, sampel didinginkan pada suhu ruang hingga mencapai suhu 40°C.

c. Pengaruh Pemanasan dengan Oven Microwave Terhadap S. aureus dalam beberapa pangan tradisional Indonesia

Sampel pangan yang telah mencapai suhu inokulasi 40°C, diinokulasi dengan kultur kerja S. aureus sebanyak 106 CFU/g. Setelah diinokulasi, masing-masing sampel pangan dibagi kedalam 9 wadah steril (jar) sebanyak 150gr. Selanjutnya wadah pertama hingga wadah ke sembilan beturut turut dipanaskan selama 10, 20, 30, 40, 50, 60, 90 dan 120 detik dengan oven microwave berdaya 700watt pada tingkat pemanasan maksimum (full power). Pada akhir pemanasan, diukur suhu pusat sampel dan dilakukan uji S. aureus untuk mengevaluasi pengaruh pemanasan dengan oven microwave terhadap pertumbuhan S. aureus dalam soto ayam, tumis buncis dan nasi uduk. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk line graph yang menghubungkan antara lama waktu pemanasan dan penurunan jumlah S. aureus (Log CFU/g). Selain itu, hubungan antara suhu pusat dan jumlah S. aureus (Log CFU/g) juga disajikan dalam bentuk line graph untuk mengetahui suhu yang paling efektif dalam menginaktivasi S. aureus pada masing-masing sampel yang diteliti.

Dokumen terkait