• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PRAKTIK PENYIMPANAN DAN PEMANASAN ULANG DENGAN OVEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PRAKTIK PENYIMPANAN DAN PEMANASAN ULANG DENGAN OVEN"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGARUH PRAKTIK PENYIMPANAN DAN PEMANASAN ULANG DENGAN OVEN MICROWAVE TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus DALAM BEBERAPA PANGAN TRADISIONAL

INDONESIA

Oleh :

REYNETHA RAWENDRA F24104127

2008

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

SKRIPSI

PENGARUH PRAKTIK PENYIMPANAN DAN PEMANASAN ULANG DENGAN OVEN MICROWAVE TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus DALAM BEBERAPA PANGAN TRADISIONAL

INDONESIA

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

REYNETHA RAWENDRA F24104127

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Reynetha Rawendra. F24104127. Pengaruh Praktik Penyimpanan dan Pemanasan Ulang dengan Oven Microwave terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dalam Beberapa Pangan Tradisional Indonesia. Di bawah bimbingan Ratih Dewanti-Hariyadi.

RINGKASAN

Keracunan pangan merupakan masalah penting bagi dunia saat ini termasuk Indonesia. Penyebab kasus keracunan pangan di Indonesia antara lain cemaran mikrobiologis (14%), cemaran bahan kimia (12%) dan sebagian lagi belum diketahui penyebabnya (57%). Hal yang tidak kalah pentingnya adalah kenyataan bahwa sebanyak 31% laporan kasus keracunan pangan disebabkan oleh pangan yang diolah dalam rumah tangga (BPOM, 2005). Salah satu bakteri patogen yang bertanggung jawab atas ribuan kasus keracunan pangan adalah Staphylococcus aureus yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti perasaan letih, muntah-muntah, kram perut, diare, kejang-kejang hingga pingsan bahkan inflamasi usus dan gastroenteritis atau radang lambung.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari praktik penanganan pangan tradisional Indonesia di tingkat rumah tangga serta mempelajari pengaruh penyimpanan dan pemanasan ulang dengan oven microwave terhadap pertumbuhan S. aureus pada beberapa pangan tradisional Indonesia. Pangan yang dipelajari adalah soto ayam, nasi uduk dan tumis buncis. Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai pertumbuhan S. aureus pada beberapa pangan tradisional Indonesia yang disimpan dalam suhu ruang, potensi bahaya penyimpanan pangan pada suhu ruang dan pengaruh pemanasan menggunakan oven microwave terhadap inaktivasi sel S. aureus.

Sebagai tahap pendahuluan dilakukan survei mengenai praktik penanganan pangan tradisional Indonesia di tingkat rumah tangga. Metode yang digunakan adalah observasi, wawancara dan pembagian kuesioner kepada 50 responden ibu rumah tangga di Malang, Jawa Timur. Tahap selanjutnya adalah mempelajari pengaruh penyimpanan suhu ruang terhadap pertumbuhan S. aureus ATTC 25923 yang diinokulasi (artificial contamination) ke dalam tiga jenis pangan tradisional Indonesia sehingga mengandung konsentrasi awal 3 Log atau 5 Log CFU/g. Pada tahap terakhir, dipelajari pengaruh pemanasan ulang dengan oven microwave terhadap S. aureus yang mengandung konsentrasi awal 6 Log CFU/g dalam tiga sampel pangan tradisional Indonesia.

Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden (48%) menyimpan pangan olahan pada suhu ruang hingga 7-9 jam, sementara responden lain menyimpannya hingga 1-3 jam (4%), 4-6 jam (30%), dan 10-12 jam (18%). Lama waktu pemanasan dengan oven microwave yang umum digunakan oleh responden adalah 1-2 menit (56%), 30 detik-1 menit (36%) atau 1-30 detik (8%) untuk satu porsi makanan.

Staphylococcus aureus dalam tiga jenis pangan yang diteliti (3 Log CFU/g) tumbuh hingga 5.97 Log CFU/g dalam soto ayam dan 6.04 Log CFU/g dalam tumis buncis saat disimpan pada suhu ruang 25°C selama 12 jam. Sedangkan S. aureus dalam nasi uduk yang disimpan pada termos nasi bersuhu 37°C selama 12 jam tumbuh hingga 7.39 Log CFU/g. Pada konsentrasi awal 5 Log CFU/g, penyimpanan pada suhu ruang 25°C selama 12 jam menghasilkan

(4)

pertumbuhan S. aureus hingga 7.88 Log CFU/g dalam soto ayam dan 8.18 Log CFU/g dalam tumis buncis. Sementara itu pertumbuhan S. aureus dalam nasi uduk saat penyimpanan dalam termos nasi bersuhu 37°C selama 12 jam meningkat dari 5 Log CFU/g hingga 8.22 Log CFU/g. Penyimpanan pangan pada suhu ruang hingga 12 jam yang dilakukan oleh 18% responden tergolong tidak aman karena berdasarkan hasil penelitian rentang waktu tersebut memungkinkan jumlah S. aureus meningkat hingga melebihi 105 CFU/g, jumlah yang dianggap cukup untuk mengkasilkan enterotoksin.

Konsentrasi awal S. aureus berpengaruh terhadap laju pertumbuhannya dalam tiga pangan sampel yang diteliti. Pada konsentrasi awal yang lebih tinggi yaitu 5 Log CFU/g, pertumbuhan S. aureus lebih lambat dari pada konsentrasi awal yang lebih rendah yaitu 3 Log CFU/g. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan nutrisi dan faktor pertumbuhan lainnya yang mulai terbatas saat konsentrasi bakteri tinggi sehingga laju pertumbuhannya mulai menurun. Jenis pangan juga turut berpengaruh terhadap pertumbuhan S. aureus. Selama penyimpanan 24 jam, pertumbuhan S. aureus dalam soto ayam lebih tinggi dibandingkan dalam tumis buncis dan nasi uduk. Hal ini dikarenakan soto ayam memiliki kandungan protein yang lebih tinggi diantara ketiganya sehingga sangat mendukung pertumbuhan S. aureus. Batas waktu penyimpanan pada suhu ruang yang direkomendasi untuk meminimalisasi bahaya keracunan pangan akibat S. aureus (staphylococcal food poisoning) adalah 6 jam dengan asumsi konsentrasi awal S. aureus pada pangan tidak melebihi 3 Log CFU/g.

Pada pemanasan ulang dengan oven microwave (700watt) terhadap 150 gram sampel pangan tradisional yang mengandung 106 CFU/g S. aureus, dapat disimpulkan bahwa waktu pemanasan yang paling efektif untuk inaktivasi S. aureus pada ketiga sampel adalah 60 detik dimana suhu pusat sampel telah mencapai 96°C. Namun demikian bila enterotoksin telah terbentuk pada pangan, pemanasan dengan oven microwave tidak dapat menghilangkan enterotoksin tersebut dan bahaya yang dapat ditimbulkannya.

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH PRAKTIK PENYIMPANAN DAN PEMANASAN ULANG DENGAN OVEN MICROWAVE TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus DALAM BEBERAPA PANGAN TRADISIONAL

INDONESIA

Oleh :

REYNETHA RAWENDRA F24104127

Dilahirkan pada tanggal 24 Agustus 1984 di Malang

Tanggal lulus : 20 Agustus 2008

Menyetujui,

Bogor, 08 Sepetember 2008

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi M.Sc. Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Ketua Departemen ITP

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat-Nya yang melimpah dan tiada habisnya sehingga karya ilmiah yang berjudul ”Pengaruh Praktik Penyimpanan dan Pemanasan Ulang dengan Oven Microwave terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dalam beberapa Pangan Tradisional Indonesia” berhasil diselesaikan. Penulis mengucakan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc atas segala kemudahan, semangat, waktu, bantuan fasilitas, serta bimbingan moral dan akademis sehingga proses penelitian dan penulisan skripsi ini berjalan dengan lancar.

2. Prof. Dr. Ir. Tien Muchtadi, MS dan Dr. Ir. Harsi Kusumaningrum M.Si atas masukkan dan kesediaannya menjadi dosen penguji skripsi.

3. Lovely Mum, Lovely Dad and Big Bro Deo atas doa, dukungan, dan kasih sayangnya selama ini. The best is yet to come guys! GBU

4. Sukma Paramita Dewi sebagai partner penelitian, teman belajar, tempat berbagi pemikiran dan menyatukan segala perbedaan demi kelancaran penelitian ini. Well done girl! it’s been pride & pleasure working with you. 5. Lia, Teniy, Dini, Wulan, dan teman-teman sejawat ITP ’41 lainnya atas

kebersamaan dan persahabatannya. Thank you for the bitter, sorrow, sweet & lovely memories...

6. Staff dan teknisi laboratotium Seafast Center IPB atas bantuan dan tenaganya selama pelaksanaan penelitian.

7. Seluruh pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu atas bantuan dan dukungannya selama penulis berkuliah dan menempuh tugas akhir di ITP-IPB.

Atas segala ketidaksesuaian, kesalahan dan kekurangannya penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2008 Reynetha Rawendra [email protected]

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada Jumat Pon 24 Agustus 1984 di Malang, Jawa Timur sebagai anak bungsu dari ayah Dr. drh. Rudi Rawendra, M.App.Sc dan ibu Dr. drh. Masdiana Padaga, M.App.Sc, dan mempunyai seorang kakak yaitu Paduan Deoly Anantur Rawendra SKH, MBA.

Setelah menamatkan pendidikan sekolah dasar pada tahun 1995 di Kensington Public School Sydney-Australia, penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di Randwick Girls Technology High School Sydney-Australia hingga tahun 1998. Selanjutnya penulis menamatkan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 1 Malang hingga lulus tahun 2000. Pendidikan menengah atas ditempuh di SMUK St. Albertus Malang dan lulus tahun 2003. Pada tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama berkuliah di ITP-IPB, penulis aktif dalam organisasi kerohanian yaitu Youth of Nation Ministry dan menjabat sebagai sekretaris umum periode 2005-2007. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh Praktik Penyimpanan dan Pemanasan Ulang dengan Oven Microwave terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dalam beberapa Pangan Tradisional Indonesia” di bawah bimbingan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi M.Sc.

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… vi

DAFTAR TABEL………... ix

DAFTAR GAMBAR……….. x

DAFTAR LAMPIRAN………... xii

I. PENDAHULUAN………... 1

A. Latar belakang……….. 1

B. Tujuan Penelitian………... 2

C. Manfaat Penelitian……… 3

II. TINJAUAN PUSTAKA……….. 4

A. Keamanan Pangan……… 4

B. Staphylococcus aureus……….. 6

C. Pertumbuhan Mikroorganisme………. 16

D. Pangan Tradisional Indonesia dan Keamanannya……… 17

E. Penyimpanan Pada Suhu Ruang………... 20

F. Pemanasan Ulang dengan Oven Microwave………. 21

III. METODOLOGI………... 25

A. Alat dan Bahan………... 25

B. Metode Penelitian………... 26

C. Metode Pengamatan………... 34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……… 37

A. Survei Praktik Penanganan Pangan Tradisional Indonesia di Tingkat Rumah Tangga... 36

B. Pengaruh Penyimpanan terhadap Pertumbuhan S. aureus dalam Beberapa Pangan Tradisional Indonesia... 42

C. Pengaruh Pemanasan dengan Oven Microwave terhadap Pertumbuhan S. aureus dalam Beberapa Pangan Tradisional Indonesia... 54

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………... 61

B. Saran………... 62

DAFTAR PUSTAKA……… 63

(9)

.

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Karakteristik yang membedakan S. aureus dari jenis

Staphylococci lain ... 7

Tabel 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus... 8

Tabel 3. Sumber, resiko, dan konsekuensi keberadaan S. aureus dalam rantai pangan... 10

Tabel 4. Jenis pangan yang terkontaminasi oleh S. aureus... 19

Tabel 5. Kisaran suhu pertumbuhan berbagai jenis bakteri patogen... 20

Tabel 6. Komposisi bumbu dasar untuk pembuatan soto ayam... 30

Tabel 7. Komposisi bumbu dasar untuk pembuatan nasi uduk... 31

Tabel 8. Komposisi bumbu dasar untuk pembuatan tumis buncis... 32

Tabel 9. Identitas responden………... 37

Tabel 10. Hasil survei penanganan pangan di tingkat rumah tangga... 38

Tabel 11. Hasil observasi terhadap cara pengolahan pangan di tingkat rumah tangga... 41

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Staphylococcus aureus... 6

Gambar 2. Fase pertumbuhan mikroorganisme………... 16

Gambar 3. Hasil Scanning electron microphotograph bakteri E. coli dan B. subtilis tanpa perlakuan pemanasan dan saat dipanaskan dengan oven microwave (70°C)………. 24

Gambar 4. Diagram alir proses penelitian……… 27

Gambar 5. Proses pembuatan soto ayam... 31

Gambar 6. Proses pembuatan nasi uduk... 31

Gambar 7. Proses pembuatan tumis buncis... 32

Gambar 8. Lama penyimpanan pangan siap santap dalam suhu ruang di tingkat rumah tangga sebelum dikonsumsi... 39

Gambar 9. Cara penyimpanan pangan yang tidak habis dikonsumsi berdasarkan jawaban responden... 39

Gambar 10. Lama waktu pemanasan dengan oven microwave terhadap pangan yang tidak habis dikonsumsi berdasarkan jawaban responden... 40

Gambar 11. Staphylococcus aureus pada media BPA + egg yolk tellurite.... 45

Gambar 12. Pertumbuhan Staphylococcus aureus (konsentrasi awal 5 Log CFU/g dan 3 Log CFU/g) dalam soto ayam selama penyimpanan pada suhu ruang (25°C)………... 46

Gambar 13. Pertumbuhan Staphylococcus aureus (konsentrasi awal 5 Log CFU/g dan 3 Log CFU/g) dalam tumis buncis selama penyimpanan pada suhu ruang (25°C)………... 49

Gambar 14. Pertumbuhan Staphylococcus aureus (konsentrasi awal 5 Log CFU/g dan 3 Log CFU/g) dalam nasi uduk selama penyimpanan pada suhu 37°C……… 50

Gambar 15. Pertumbuhan Staphylococcus aureus dalam soto ayam, tumis buncis dan nasi uduk pada penyimpanan suhu ruang selama 24 jam (konsentrasi awal 3 Log CFU/g)………... 52 Pertumbuhan Staphylococcus aureus dalam soto ayam, tumis

(11)

Gambar 16. buncis, dan nasi uduk pada penyimpanan suhu ruang selama

24 jam (konsentrasi awal 5 Log CFU/g)……… 54 Gambar 17. Penurunan jumlah Staphylococcus aureus (konsentrasi awal 6

Log CFU/g) pada pemanasan soto ayam dengan oven microwave (700 Watt)………... 57 Gambar 18. Penurunan jumlah Staphylococcus aureus (konsentrasi awal 6

Log CFU/g) pada pemanasan tumis buncis dengan oven

microwave (700 Watt) ……….………. 57 Gambar 19. Penurunan jumlah Staphylococcus aureus (konsentrasi awal 6

Log CFU/g) pada pemanasan nasi uduk dengan oven

microwave (700 Watt)…………. ………. 57 Gambar 20. Hubungan antara jumlah S. aureus dan suhu titik pusat soto

ayam setelah dipanaskan dengan oven microwave (700

Watt)……….. 58

Gambar 21. Hubungan antara jumlah S. aureus dan suhu titik pusat tumis buncis setelah dipanaskan dengan oven microwave (700

Watt)……….. 59

Gambar 22. Hubungan antara jumlah S. aureus dan suhu titik pusat nasi uduk setelah dipanaskan dengan oven microwave (700

(12)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Keracunan pangan merupakan masalah penting bagi masyarakat Indonesia terutama dengan meningkatnya kasus kejadian yang dilaporkan akhir-akhir ini. Keracunan pangan juga menjadi beban sosial karena telah menimbulkan berbagai kerugian materi misalnya biaya pada kasus rawat inap, hilangnya jam kerja dan produktivitas bagi penderita serta terbuangnya makanan yang terkontaminasi dengan sia-sia. Data Badan Pengawas Obat dan Makanan (2005) menyatakan penyebab kasus keracunan pangan di Indonesia antara lain cemaran mikrobiologis (14%), cemaran bahan kimia (12%) dan belum diketahui penyebabnya (57%). Dari seluruh kasus keracunan yang dilaporkan, sebanyak 31% berasal dari pangan yang diolah dalam rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa pangan olahan rumah tangga sangat berpotensi menimbulkan bahaya keracunan pangan. Meningkatnya bahaya keracunan pangan disebabkan oleh tingkat pengetahuan masyarakat yang masih kurang memadai mengenai cara penanganan pangan yang benar.

Zona suhu kritis (danger zone) merupakan zona dimana bakteri patogen penyebab keracunan pangan tumbuh dan membelah diri secara optimum pada kisaran suhu 5-60°C. Penyimpanan pangan pada zona suhu kritis sangat rentan terhadap pertumbuhan bakteri patogen dan pembentukan toksin pada tingkat yang tidak aman untuk dikonsumsi. Namun demikian penyimpanan pangan pada zona suhu kritis banyak dilakukan dalam rumah tangga Indonesia karena budaya masyarakat setempat yang terbiasa menyimpan makanan diatas meja makan (suhu ruang) lebih dari 6 jam sebelum dikonsumsi dan kurang terbiasa dengan penyimpanan suhu rendah.

Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang bertanggung jawab atas ribuan kasus keracunan pangan dan merupakan Staphylococcus terpenting penyebab keracunan di urutan ketiga dunia saat ini (Normanno et al., 2005). Menurut data WHO (2001), kasus keracunan makanan oleh S. aureus (Staphylococcal Food Poisoning) terjadi di seluruh dunia antara lain Jepang, Taiwan, Austria, Prancis, Inggris dan Amerika Serikat. Di Amerika

(13)

Serikat, S. aureus diperkirakan telah menyebabkan 185,000 kasus keracunan dengan 1,750 kasus rawat inap dan 2 kematian setiap tahunnya, dimana seluruhnya disebakan oleh konsumsi pangan yang terkontaminasi (Stewart et al., 2002). Di Indonesia belum ada data yang menunjukan jumlah korban keracunan akibat S. aureus. Namun demikian pemberitaan di media cetak maupun elektronik menunjukkan banyaknya kasus keracunan pangan dengan gejala yang menyerupai intoksikasi mikroba.

Keberadaan S. aureus dalam bahan pangan perlu menjadi perhatian karena pertumbuhannya dapat mentoleransi aktivitas air (aW) yang lebih

rendah dari bakteri patogen lain, kadar garam tinggi dan kisaran pH yang cukup luas. Akibatnya S. aureus mudah tumbuh jika terjadi kontaminasi pada pangan yang telah mengalami pengolahan. Pada bahan pangan mentah, S. aureus merupakan kompetitor lemah sehingga tidak memiliki peran yang berarti karena kalah bersaing dengan bakteri patogen lainnya. Sumber kontaminasi utama S. aureus pada bahan pangan adalah manusia dan jumlahnya semakin banyak pada penanganan pangan yang kurang baik atau penyimpanan pada suhu kritis dalam waktu lama.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari (1) praktik penanganan pangan tradisional Indonesia di tingkat rumah tangga dan (2) pengaruh penyimpanan suhu ruang dan pemanasan ulang terhadap S. aureus pada beberapa pangan tradisional Indonesia. Pangan yang dipelajari adalah soto ayam, nasi uduk dan tumis buncis. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai pengaruh pertumbuhan S. aureus pada pangan tradisional Indonesia yang disimpan dalam suhu ruang, potensi bahaya penyimpanan pangan pada suhu ruang dan pengaruh pemanasan menggunakan oven microwave terhadap inaktivasi sel S. aureus.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk:

(1) mempelajari praktik penanganan pangan tradisional Indonesia di tingkat rumah tangga

(14)

(2) mempelajari pengaruh penyimpanan pada suhu ruang terhadap pertumbuhan S. aureus dalam beberapa pangan tradisional Indonesia

(3) mempelajari pengaruh pemanasan ulang dengan oven microwave terhadap pertumbuhan S. aureus dalam pangan tradisional Indonesia.

Manfaat dari penelitian ini adalah :

(1) memberi informasi mengenai praktik penanganan pangan tradisional Indonesia

(2) memberi informasi mengenai pengaruh penyimpanan pada suhu ruang dan pemanasan ulang dengan oven microwave terhadap pertumbuhan S. aureus dalam beberapa pangan tradisional Indonesia.

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KEAMANAN PANGAN

Keamanan pangan merupakan hal sangat penting yang tidak dapat dikompromikan dan merupakan hak setiap orang selain memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, bermutu dan bergizi untuk dikonsumsi. Dengan memenuhi persyaratan keamanan pangan, maka suatu pangan dapat dikonsumsi dengan aman tanpa menimbulkan bahaya kesehatan bagi orang yang mengkonsumsinya (Winarno, 1993).

Pemenuhan persyaratan keamanan pangan seringkali tidak terpenuhi karena budaya praktik higiene perorangan, keluarga, dan masyarakat setempat, bahan mentah yang digunakan, polusi lingkungan, serta kemajuan teknologi dalam pertanian dan pengolahan pangan yang tidak tepat. Tingginya proporsi penyakit diare dan infeksi lainnya terutama di negara-negara berkembang disebabkan oleh kurangnya kepedulian mengenai keamanan pangan. Setiap anak berusia 5 tahun kebawah (balita) rata-rata menderita diare 2-3 kali per tahun. Pada tahun kedua pertama, sebanyak 15 dari 1000 anak-anak mati akibat diare dan di negara-negara berkembang, sebanyak 70% penyakit diare dianggap berawal dari makanan yang terkontaminasi (Winarno, 2004).

Empat masalah utama keamanan pangan di Indonesia saat ini adalah (1) pencemaran pangan oleh mikroba karena rendahnya praktik-praktik sanitasi dan higiene, (2) pencemaran pangan oleh bahan kimia berbahaya seperti residu pestisida, residu obat hewan, logam berat, mikotoksin dan sebagainya, (3) penggunaan salah (misuse) bahan berbahaya yang dilarang digunakan untuk pangan seperti formalin, boraks, rhodamin B, metanil yellow, dan (4) penggunaan melebihi batas maksimum yang diijinkan (abuse) dari bahan tambahan pangan yang sudah diatur penggunaannya oleh Badan POM (Winarno, 2004).

Dari semua masalah keamanan pangan ternyata 90% disebabkan oleh kontaminasi mikroba, baik yang berasal dari air, tanah, udara, peralatan, bahan, dan badan manusia. Sisanya sekitar 10% disebabkan oleh bahan kimia

(16)

seperti pestisida dan logam berat (Fardiaz, 1992). WHO setiap tahunnya menerima ratusan ribu laporan kasus keracunan pangan yang terkontaminasi bakteri dari seluruh dunia. United States Food and Drug Administration (1999) melaporkan bahwa terjadi 14 juta kasus keracunan, dimana 60 000 diantaranya memerlukan rawat inap dan 1800 kasus lainnya menyebabkan kematian.

Dari kasus-kasus tersebut, jenis patogen yang sudah lama dikenal dilaporkan sebagai penyebab utama keracunan karena kemampuannya untuk berpenetrasi, bertahan hidup dan bermultiplikasi pada sel inang. Menurut United States of Food and Drug Administration (1999), patogen-patogen tersebut antara lain Salmonella sp., Staphylococcus aureus, Clostridium Perfringens, Bacillus cereus, Camphylobacter sp, Shigella sp., Clostridium Botulinum, dan Escherichia Coli. Tingkat bahaya bakteri tersebut bergantung pada beberapa faktor antara lain: faktor lingkungan (komposisi makanan, suhu, dll), faktor bakteri (galur, jenis toksin, dll) (Stewart et al., 2003).

Patogen yang terdapat dalam bahan pangan dapat berkembang biak dan memproduksi toksin hingga jumlah yang tidak aman bila terkonsumsi. Kasus yang dapat ditimbulkan dari pangan yang terkontaminasi bakteri digolongakan menjadi dua yaitu infeksi dan intoksikasi. Infeksi disebabkan oleh terkonsumsinya jenis-jenis patogen yang berkembang biak dalam saluran pencernaan. Gejala yang ditimbulkan terjadi setelah masa inkubasi 12-24 jam dan ditandai oleh gangguan perut, pusing, mual, diare, muntah, demam dan sakit kepala. Bakteri yang menyebabkan infeksi tersebut antara lain Salmonella, Clostridium perfringens, Vibrio parahaemolyticus, enteropatogenik Escherichia coli, dan Shigella (Buckle et al., 1987).

Intoksikasi terjadi karena terkonsumsinya toksin yang dihasilkan oleh bakteri yang mengkontaminasi bahan pangan. Gejala intoksikasi umumnya terjadi dengan cepat (1-12jam) dan ditandai dengan seringnya muntah-muntah ringan dan diare. Contoh bakteri yang menyebabkan intoksikasi antara lain Staphylococcus aureus dan Clostridium botulinum (Buckle et al., 1987).

(17)

B. Staphylococcus aureus

a. Karakteristik Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk kokus dengan ukuran diameter 0.5 – 1 µm. Bakteri kokus ini bersifat aerob fakultatif tetapi pada keadaan anaerobik pertumbuhannya sangat lambat (Hayes, 1985). Pada perbesaran dibawah mikroskop, S. aureus terlihat tumbuh secara tunggal, berpasangan, tetrad, membentuk rantai maupun membentuk kumpulan seperti buah anggur seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Staphylococcus aureus (Todar, 2007)

S. aureus bersifat katalase positif. Menurut Fardiaz (1992), setiap bakteri memiliki suatu enzim yang tergolong flavoprotein yang dapat bereaksi dengan oksigen membentuk senyawa-senyawa beracun yaitu H2O2 dan suatu radikal bebas yaitu O2* dengan reaksi sebagai berikut:

Flavoprotein +O2 H2O2 + O2. Bakteri yang bersifat aerob dan anaerob

tetapi tidak sensitif terhadap oksigen (aerotoleran) mempunyai enzim-enzim yaitu superoksida dismutase yang dapat memecah radikal bebas tersebut dan enzim katalase yang memecah H2O2 sehingga menghasilkan

senyawa-senyawa akhir yang tidak beracun. Reaksinya dapat dituliskan sebagai berikut:

2O2* + 2H* superoksida dismutase H2O2 + O2*

2H2O2 katalase H2O + O2*

Berbeda dengan C. perfringens, C. botulinum dan B. cereus, S. aureus tidak membentuk spora dan tidak motil namun menghasilkan toksin yang dapat menyebabakan penyakit. Toksin yang dihasilkan sangat tahan terhadap pemanasan. Oleh karenanya walaupun bakterinya sendiri

(18)

mudah mati karena panas (pemanasan pada suhu 66°C selama 10 menit), toksinnya dapat bertahan pada 100°C selam 30 menit (Gaman dan Sherrington, 1992).

S. aureus memiliki dinding sel yang tersusun atas tiga komponen utama yaitu peptidoglikan, asam teikoat dan protein-A. Beberapa galur membentuk kapsul sehingga bertanggung jawab atas tingkat virulensi bakteri ini. Pada media padat seperti Brain-Heart Infusion Agar, S. aureus membentuk permukaan yang halus, bulat, utuh, cembung, dan koloni yang berkilauan dengan warna bervariasi dari krem hingga oranye sebagai hasil dari pigmentasi karotenoid pada membran sel. Koloni yang berwarna putih dan sedikit kekuningan akan menjadi lebih gelap setelah inkubasi selama beberapa hari pada suhu 30°C atau pada suhu ruang (Ash, 2000).

Berbeda dengan Staphylococci lain, S. aureus bersifat koagulase positif, hemolisa positif dan memfermentasi manitol pada pertumbuhan anaerobik. Karakteristik tersebut dapat membedakan S. aureus dari jenis Staphylococci lain seperti terlihat pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Karakteristik yang membedakan S. aureus dari jenis Staphylococci lain*

S. aureus S. intermedius S. hyicus

subsp. hyicus Lainnya Koagulase (plasma kelinci) + + D - Faktor pengumpal + D - -

Termonuklease + + + - Pigmen + - - D Acetoin + - - D Hemolisis + D - D Asam dari fermentasi manitol

secara anaerob + - - D D= reaksi berbeda-beda

*) Ash (2000)

S. aureus seperti bakteri Gram positif lainnya memilili kebutuhan akan komponen organik tertentu dalm nutrisinya. Asam amino dibutuhkan sebagai sumber nitrogen dan tiamin dan asam nikotenat dibutuhkan sebagai sumber vit B. Dalam pertumbuhan secara aerob pembentukan enterotoksin, monosodium glutamat (MSG) berperan sebagai C, N dan sumber energi. Media ini mengandung hanya tiga asam amino yaitu arginin, sistin dan fenilalanin dan empat vitamin yaitu pantotenat, biotin,

(19)

niacin, dan tiamin. Arginin nampak essensial untuk pertumbuhan enterotoksin B (Jay, 2000).

Walaupun S. aureus tergolong mesofilik, beberapa galur dapat tumbuh pada suhu serendah 6.7°C. Pada hidangan yang terbuat dari daging ayam, S. aureus dapat bertahan hidup pada suhu 112°F namun tidak dapat tumbuh pada salad ham pada suhu yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan S. aureus dipengaruhi oleh kondisi yang bervariasi, namun secara umum pertumbuhan terjadi pada suhu 7 - 47.8°C, dan enterotoksin diproduksi pada suhu antara 10°C dan 46°C dengan suhu optimum 40-45°C (Jay, 2000).

Kondisi pH yang optimum bagi pertumbuhan S. aureus adalah pH sekitar 7.0 – 7.5 namun pada kisaran pH 4.0 - 9.8 S. aureus masih dapat tumbuh (Bergdoll, 1989). Walaupun pada media yang tidak mengandung NaCl S. aureus tumbuh dengan baik, bakteri ini juga masih dapat tumbuh pada konsentrasi NaCl 7-10% dan beberapa galur tahan hingga konsentrasi garam 20% (Jay, 2000). Kondisi aw dimana S. aureus dapat tumbuh sangat

berbeda dengan bakteri nonhalofilik lainnya. Tercatat bakteri ini hidup pada aw serendah-rendahnya 0.83 hingga lebih dari 0.99 (FDA, 2003).

Sumber lain yang menjelaskan faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan S. aureus dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus*

Pertumbuhan Faktor Pengaruh Optimum Kisaran Suhu 37°C 4 –48°C pH 6.0-7.0 4.0-9.8 aw 0.98≥0.99 0.83≥0.99

Atmosfer Aerobik Anaerobik hingga aerobik Natrium Klorida 0.5-0.4% 0-20%

*) Adam dan Moss (1995)

S. aureus terdapat pada udara, debu, air, peralatan makanan, lingkungan, juga pada manusia dan hewan khususnya pada saluran pernafasan, tenggorokan, rambut, serta kulit dari 50% atau lebih orang

(20)

sehat. Bahkan telah dilaporkan bahwa 30-50% dari populasi manusia sehat merupakan pembawa S. aureus (Le Loir, 2003).

b. Keberadaan S. aureus dalam bahan pangan

Keberadaan S. aureus dalam bahan pangan erat kaitannya dengan sanitasi pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan (Stewart et al., 2002). Pangan yang dilaporkan dalam berbagai kejadian luar biasa S. aureus (outbreak) umumnya diolah dengan proses pemotongan, pemarutan, dan pengilingan yang melibatkan pekerja yang terkontaminasi. S. aureus terdapat luas di alam dan pada bahan baku pangan sehingga penanganan yang kurang tepat dapat meningkatkan resiko keracunan pangan akibat S. aureus (Robinson et al., 2000).

Pangan yang memiliki resiko tinggi terhadap bahaya keracunan akibat Staphylococcus adalah pangan yang normal flora di dalamnya telah mengalami kerusakan akibat proses pengolahan (misalnya daging yang telah dimasak) atau dihambat pertumbuhannya (misalnya ikan asin dengan konsentrasi garam yang tinggi). Hal ini berkaitan dengan sifat S. aureus yang merupakan kompetitor lemah dalam ekosistem mikrobial yang kompleks sehingga adanya bakteri patogen dan pembusuk lain dapat menghambat pertumbuhannya. Bakteri psikrotropik sebagai contohnya dapat menghambat pertumbuhan S. aureus pada penyimpanan suhu rendah (refrigerasi). Selain itu pada proses fermentasi, bakteri asam laktat dapat memproduksi beberapa senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan S. aureus seperti asam laktat, hidrogen peroksida dan bakteriosin (Ash, 2000).

USFDA (1999) juga menyatakan keberadaan S. aureus dalam pangan dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti proses pengolahan pangan yang tidak tepat dari segi suhu dan waktu, suhu penyimpanan pangan yang salah yaitu kurang panas (60°C atau 140°F) atau kurang dingin (7,2°C atau 45°F), dan adanya kontaminasi silang dari bahan baku mentah maupun pekerja. Tabel 3 dibawah ini menjelaskan konsekuensi

(21)

yang ditimbulkan apabila proses pengolahan dan penanganan pangan tidak dilakukan dengan tepat.

Tabel 3. Sumber, resiko, dan konsekuensi keberadaan S. aureus dalam rantai pangan*

Sumber Resiko Konsekuensi jika resiko tidak terkontrol Lingkungan Luas

Hewan Manusia

Udara, air, dan tumbuhan

Lemahnya sanitasi peternakan

dan higiene perorangan Meningkatnya infeksi S. aureus pada manusia dan

hewan Lingkungan Pengolahan Makanan

Bahan Baku Karkas hewan Produk olahan hewan Bumbu

S. aureus dalam jumlah yang

tinggi S. aureus tahan terhadap proses pengolahan dan terjadi kontaminasi silang dari bahan baku pangan terhadap makanan olahan Proses Pengolahan Permukaan kontak dengan makanan Udara, air Pengolah makanan

Proses Pengolahan tidak mencukupi, pembersihan dan desinfeksi tidak memadai, sumber air buruk dan

lemahnya sanitasi dan higiene perorangan

S. aureus tahan terhadap

proses pengolahan dan terjadi kontaminasi post-process terhadap produk pangan

Penyajian Produk Pangan Ketidaktepatan suhu penyimpanan, faktor pertumbuhan intrinsik tidak dikendalikan

S. aureus bermultiplikasi dan

memproduksi Staphylococcal

enterotoxins (SE)

Lingkungan Penyajian Makanan

Hewan Manusia

Permukaan kontak dengan makanan Udara dan air

Kontaminasi dari

enterotoxigenic S. aureus

terhadap makanan yang telah diolah. Ketidak tepatan suhu lingkungan penyajian makanan

S. aureus bermultiplikasi dan

memproduksi Staphylococcal

enterotoxins (SE)

*) Robinson et al. (2000)

Keberadaan S. aureus dalam bahan pangan juga sangat erat kaitanya dengan letak geografis dan budaya konsumsi pangan di negara setempat (Hayes, 1985). Di Indonesia contohnya, masyarakat terbiasa mengolah makanan dengan waktu pemanasan yang lama, menyajikannya dalam suhu ruang selama berjam-jam dan mengkonsumsi makanan sisa yang dipanaskan kembali (re-heating). Hal ini sangat berbeda dengan budaya negara lain yang lebih menyukai pangan olahan segar (freshly cooked) dan tidak terbiasa menyajikan makanan dalam suhu ruang selama berjam-jam. Praktik diatas menyebabkan banyaknya kasus keracunan

(22)

pangan di Indonesia walaupun di beberapa negara maju kasus yang dilaporkan semakin menurun akibat penerapan sistem pengendalian keamanan pangan yang semakin terjamin (Robinson et al., 2000).

Kendaraan masuknya S. aureus kedalam bahan pangan biasanya adalah jaringan kulit atau selaput lendir yang terluka atau terbuka seperti terpotong benda tajam, luka bakar, gigitan serangga, pengelupasan kulit, atau penyakit kulit lain. Hal ini dikarenakan S. aureus pada umumnya tidak memiliki kemampuan untuk menembus bagian dalam jaringan kulit atau selaput lendir yang tidak terbuka. Oleh sebab itu, pekerja dengan luka pada kulit tidak diperbolehkan mengolah makanan terlebih disertai dengan praktik sanitasi yang buruk yang dapat memperbanyak jumlah S. aureus (Schaechter et al., 1993).

Apabila S. aureus terkontaminasi kedalam bahan pangan yang mengandung nutrisi yang menunjang bagi pertumbuhannya, jumlah S. aureus akan bertambah dengan laju pertumbuhan yang cepat. Bahan pangan yang menyediakan nutrisi yang menunjang pertumbuhan S. aureus adalah bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi seperti daging dan produk olahannya, unggas dan produk olahannya, telur dan produk olahannya, salad yang mengandung telur, tuna, ayam, kentang dan makaroni, produk bakery, serta susu dan produk olahannya (USFDA, 1999). Hal ini disebabkan adanya 11 asam amino yaitu valin, leusin, threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin dan arginin pada produk-produk berprotein tinggi yang mendukung optimasi pertumbuhan S. aureus (Supardi dan Sukamto, 1999).

Pangan dengan konsentrasi garam yang tinggi (ham) atau konsentrasi gula yang tinggi (fla) tidak terlepas dari bahaya konsentrasi S.aureus. Hal ini berkaitan dengan sifat S. aureus yang tahan terhadap kadar gula dan garam yang tinggi (hingga 20%) (Jay, 2000). Menurut Hayes (1985), cara yang dianjurkan untuk mengontrol atau mencegah adanya Staphlococcus aureus pada pangan yang sudah diolah adalah mendinginkannya hingga suhu 20°C, melarang orang sakit untuk menangani makanan, menggunakan sarung tangan disposable dalam

(23)

proses penanganan makanan, melakukan refrigerasi atau pendinginan pada makanan hingga <10°C dan meminimalkan terjadinya kontaminasi silang dari bahan mentah ke makanan matang ataupun dari lingkungan kerja yang kotor serta peralatan yang kotor ke makanan matang.

c. Keracunan Pangan akibat Staphylococcus aureus (Staphylococcal food poisoning)

Keracunan pangan akibat S. aureus disebabkan oleh tertelannya staphylococcus enterotoksin (SE) bersama makanan yang terkontaminasi. Bila tertelan, SE akan masuk ke saluran pencernaan dan mencapai usus halus. Selanjutnya toksin tersebut akan merusak dinding usus halus dan menimbulkan sekresi jaringan usus dengan cepat. Gejala yang ditimbulkan pada keracunan pangan akibat S. aureus biasanya muncul dalam waktu tiga jam setelah konsumsi makanan yang mengandung enterotoksin atau paling cepat satu jam dan paling lama enam jam. Masa inkubasi tidak hanya bergantung pada jumlah toksin yang tertelan namun juga kerentanan individu (Ash, 2000).

Gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah perasaan letih, mual, muntah-muntah, kram perut, diare, kejang-kejang hingga pingsan, bahkan inflamasi usus (ICMSF, 1996). Dalam beberapa kasus, darah dan lendir tampak pada feses dan muntahan. Namun pada kasus yang ringan, penderita mengalami mual dan muntah tanpa disertai diare atau kram perut atau diare tanpa muntah-muntah (Ash, 2000). Pada kasus yang parah, penderita mengalami sakit kepala berlebih dengan terus mengeluarkan keringat sehingga merasakan demam dan tekanan darah menjadi rendah. Penderita akan mengeluarkan cairan dari seluruh jaringan sehingga dapat kehilangan 7-9kg berat badannya (Winarno, 2004). Pemulihan biasanya terjadi antara satu hingga tiga hari dan umunya tidak ada perawatan yang diberikan. Walaupun sebagian menganggap keracunan pangan akibat Staphylococcus tidak tergolong fatal, beberapa kasus keracunan yang sangat fatal dilaporkan terjadi pada bayi, anak-anak dan orang lanjut usia (Ash, 2000).

(24)

Ada 6 macam S. aureus enterotoksin (SE) yang dihasilkan oleh bakteri S. aureus yaitu enterotoksin A (SEA), B (SEB), C1 (SEC1), C2

(SEC2), D (SED) dan E, (SEE). Penggolongan ini ditentukan berdasarkan

reaksi spesifik antigen-antibodi. Enterotoksin pada umumnya diproduksi oleh S. aureus di dalam makanan basah yang sudah pernah dimasak atau dipanaskan (Supardi dan Sukamto, 1999).

Jumlah sel yang diperlukan oleh bakteri S. aureus untuk dapat menghasilkan racun enterotoksin yang cukup sehingga bersifat meracuni adalah 106 CFU/g (Buckle, et al., 1987; Jay, 2004). Shapton dan Shapton

(1993) menyatakan bahwa populasi S. aureus yang diperlukan untuk menghasilkan toksin yang cukup serius adalah 5 x 106 CFU/g dimana toksin yang dihasilkan tersebut bersifat tahan panas sehingga apabila pertumbuhannya berlangsung sebelum terjadinya proses pengolahan menggunakan suhu panas, maka bisa saja tidak ditemukan sel hidup S. aureus melainkan toksinnya yang bersifat racun. Jumlah enterotoksin yang dapat menyebabkan penyakit serius adalah apabila dikonsumsi sebanyak 1 ng/g (Shapton dan Shapton, 1993).

Namun demikian, jumlah bakteri S. aureus yang tinggi tidak berarti enterotoksinnya sudah terbentuk karena banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan enterotoksin tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah pH, suhu, ketersediaan oksigen, dan adanya organisme lain yang mempunyai efek untuk menghambat pertumbuhan S. aureus (Hayes, 1985). Saat pH di bawah pH 5.0, suhu diluar suhu optimum 37°C dan kondisi anaerobik, jumlah enterotoksin yang dihasilkan rendah. Menurut USFDA (1999), bila jumlah bakteri S. aureus telah mencapai 1.0 x 105 CFU/g akan dihasilkan toksin sebanyak <1 mikro gram yang merupakan jumlah batas aman sehingga tidak menyebabakan terjadinya penyakit.

d. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus dalam pangan Pertumbuhan S. aureus dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sifat dan komposisi substrat, suhu, waktu, pH, aw, adanya garam NaCl,

(25)

nitrit, antibiotik, dan sebagainya (Supardi dan Sukamto, 1999). Beberapa kejadian luar biasa staphylococcus dilaporkan terjadi pada musim panas dimana suhu udara mendekati suhu optimum pertumbuhan S. aureus (Schaechter et al., 1993). Banyak kejadian luar biasa juga dilaporkan berasal dari acara perkumpulan (gathering) seperti sekolahan, acara piknik, club, dan rumah makan dimana makanan yang disajikan dalam jumlah yang banyak. Makanan yang diolah dan disajikan dalam jumlah banyak umunya rentan terhadap pertumbuhan S. aureus karena berada dalam zona suhu kritis dalam waktu yang cukup lama (Schaechter et al., 1993).

Garam-garam NaCl, sodium nitrit dan sodium nitrat turut berpengaruh karena S. aureus masih dapat tumbuh pada konsentrasi NaCl 15% (Jay, 2000). Semakin tinggi konsentrasi NaCl, kecepatan pertumbuhan S aureus akan semakin menurun. Nilai aw juga sangat

berpengaruh terhadap pertumbuhan S. aureus. Walaupun bakteri ini masih dapat tumbuh pada aw 0.86, produksi enterotoksin biasanya baru dapat

terdeteksi pada aw 0.95 atau lebih.

Substrat yang baik untuk pertumbuhan sel dan produksi enterotoksin adalah substrat yang mengandung protein atau asam-asam amino, garam anorganik, dan vitamin. Valin merupakan asam amino essensial yang dibutukan untuk pertumbuhan S. aureus, sedangkan arginin dan sistein dibutuhkan untuk pertumbuhan dan produksi enterotoksin (Jay, 2000). Selain itu garam anorganik seperti garam kalium (K2HPO4,

KH2PO4) dan magnesium (MgSO4) juga dibutuhkan bersama vitamin

terutama thiamin dan asam nikotinat. Adanya glukosa menunjukkan efek penghambatan pembentukan enterotoksin, terutama SEB dan SEC (Bergdoll, 1989). Efek penghambatan ini disebabkan oleh turunya pH akibat metabolisme glukosa (Regassa et al., 1992). Pertumbuhan S. aureus sangat optimum pada pH netral dan turun pada pH asam. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada pH 8,0 produksi SE sangat terhambat. Sedangkan pada pH 6,0 produksi SE akan berkurang sebanyak 50% dibandingkan dengan pH 7,0 (Supardi dan Sukamto, 1999).

(26)

S. aureus adalah bakteri yang sangat sensitif terhadap persaingan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa spesies tertentu dari bakteri asam laktat dapat menghambat pertumbuhan S. aureus dan produksi enterotoksinnya, terutama golongan streptokoki dan pediokoki misalnya Pediococcus cerevisiae. Sedangkan Lactobasili dan Leuconostoc tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan hanya sedikit mempengaruhi produksi toksin. Bakteri-bakteri lain misalnya Serratia marcescens, E. coli, dan Streptococcus faecalis tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan sel S. aureus, tetapi menghambat produksi enterotoksin (Ikeda, et al., 2005).

e. Beberapa kasus keracunan pangan oleh Staphylococcus aureus (intoksikasi)

Beberapa kasus keracunan oleh S. aureus yang dilaporkan oleh WHO terjadi di berbagai negara seperti Jepang, Taiwan, Prancis, bahkan negara maju Amerika Serikat. Kasus yang terjadi sebagai contohnya adalah pada tanggal 6 Mei 2000 di Taiwan, 10 dari 356 siswa yang mengkonsumsi sarapan pagi dari kantin sekolah menderita keracunan akibat enterotoksin S. aureus yang masuk lewat tangan para pengolah makanan (Wei dan Chiou, 2001). September 2000 di Georgia Amerika Serikat, 600 warga juga terserang gastroenteritis (inflamasi usus) akibat intoksikasi S. aureus setelah mengkonsumsi BBQ di sebuah pesta rakyat. Penderita yang mengkonsumsi barbeque sisa-sisa menderita diare, muntah, pusing serta kram perut 25 kali lebih parah dibanding yang mengkonsumsi sesaat setelah matang. Pada bulan Agustus 2005, keracunan makanan akibat S. aureus juga terjadi di sebuah hotel di Jepang. Penderita menderita diare, muntah-muntah serta sakit pada bagian abdominal 7 jam setelah mengkonsumsi makan malam sashimi, kepiting dan radish dari sebuah hotel (Watanabe, 2006). Banyaknya kasus yang terjadi menandakan besarnya bahaya intoksikasi oleh enterotoksin S. aureus bagi kesahatan. Walaupun demikian, di Indonesia boleh dikatakan belum ada laporan mengenai kasus keracunan S aureus, karena

(27)

pemeriksaan atau analisis mengenai penyebab keracunan pangan yang terjadi, belum dilakukan secara intensif (Supardi dan Sukamto, 1999).

C. PERTUMBUHAN MIKROORGANISME

Secara umum, pola pertumbuhan mikroorganisme dengan pembelahan biner terjadi melalui beberapa fase. Todar (2007) membagi pertumbuhan mikroorganisme menjadi empat fase, yaitu fase lag, fase log (eksponensian), fase stasioner, dan fase kematian seperti terlihat pada Gambar 2.

Fase lag merupakan fase awal dimana mikroba tersebut mulai berada pada lingkungan yang baru. Pada fase ini, mikroba belum dikatakan mengalami proses pertumbuhan. Periode ini digunakan untuk mengenali dan beradaptasi dengan kondisi lingkungan sebelum mulai tumbuh. Lamanya fase lag tergantung dari beberapa faktor yang meliputi, ukuran inokulum, waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari kerusakan fisik atau stres, dan waktu yang diperlukan untuk mensintesis enzim untuk menguraikan substrat yang baru.

Gambar 2. Fase pertumbuhan mikroorganisme (Schaechter et al., 1993).

Fase berikutnya adalah fase pertumbuhan logaritmik, dimana mikroba mulai melakukan pertumbuhan melalui pembelahan biner. Selama fase ini, terjadi peningkatan jumlah mikroba secara eksponensial sampai faktor yang mendukung pertumbuhannya mulai terbatas. Laju penambahan jumlah sel yang terbentuk, sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya.

(28)

Pada fase stasioner, kondisi lingkungan seperti ketersediaan nutrisi dan faktor lainnya mulai terbatas, sehingga laju pertumbuhannya mulai mengalami penurunan hingga akhirnya kondisi kesetimbangan tercapai. Tidak ada lagi peningkatan jumlah mikroba yang ada. Laju kematian sel sebanding dengan laju pertumbuhannya. Selama fase ini, jumlah mikroba yang ada sangat tinggi. Hal ini menyebabkan terjadinya kompetisi antar individu dalam memperebutkan nutrisi dan ruang bagi pertumbuhannya cukup ketat. Selain itu, zat metabolit yang dihasilkan juga semakin banyak. Apabila inkubasi berlanjut setelah populasi mencapai fase stasioner, akan terjadi kematian sel yang semakin cepat. Fase ini disebut fase kematian. Selama fase ini, jumlah dari sel yang hidup akan turun secara eksponensial.

Jay (2000), mengemukakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan mikroorganisme dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik berhubungan dengan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan mikroba. Faktor ekstrinsik tersebut diantaranya suhu, ketersediaan oksigen, dan kelembaban (RH). Sedangkan faktor intrinsik lebih berkaitan dengan kondisi substrat, yang meliputi aktivitas air (Aw), tingkat keasaman (pH), potensi reduksi-oksidasi, keberadaan nutrisi yang diperlukan.

D. PANGAN TRADISIONAL INDONESIA DAN KEAMANANNYA

Pangan tradisional merupakan pangan yang pekat dengan tradisi setempat dari mana kita dilahirkan dan dibesarkan (Winarno, 2004). Pernyataan ini dipertegas oleh Suhardjo (1989) yang mengemukakan bahwa makanan tradisional secara harfiah artinya adalah adanya hubungan antara pangan dengan tradisi kelompok penduduk atau masyarakat di suatu daerah tertentu.

Dalam arus globalisasi yang cepat, pesatnya kemajuan komunikasi, ilmu dan teknologi, jenis makanan suatu bangsa secara leluasa masuk ke suatu negara lain tak kenal garis perbatasan. Karena alasan tersebut suatu bangsa yang maju harus memiliki konsep kulinernya sendiri dengan mengedepankan rasa yang khas dan tentunya keamanan (Winarno, 2004).

(29)

Beberapa contoh pangan tradisional Indonesia adalah soto ayam, nasi uduk dan tumis buncis. Soto ayam merupakan pangan tradisional Indonesia yang terbuat dengan bahan dasar daging ayam dan dibumbui rempah-rempah seperti bawang merah, bawang putih, pala, sereh, kunyit, ketumbar, merica, dan lain-lain. Soto ayam tergolong jenis sup dengan warna kuah kekuningan yang dikonsumsi bersama nasi atau lontong dan seringkali disajikan dengan taburan irisan daun seledri, irisan kentang, tauge, telur rebus serta bawang goreng sebagai pelengkap. Soto ayam umumnya disajikan dalam keadaan hangat hingga panas (Anonim, 2008).

Nasi uduk adalah sejenis pangan tradisional yang terbuat dari bahan dasar nasi putih yang diaron dan dikukus dengan santan dari kelapa yang diparut. Untuk menambah cita rasa, ditambahkan rempah-rempah seperti pala, kayu manis, jahe, daun serai dan merica. Makanan ini biasanya dihidangkan dengan telur dadar atau telur goreng yang sudah diiris iris, abon, kering tempe, bawang goreng, emping goreng, tahu goreng, ayam goreng, timun dan sambal dari kacang. Nasi uduk biasanya dikonsumsi untuk sarapan pagi, sehingga banyak penjual yang menjajakannya di pagi hari. Penjual makanan umum menyimpan nasi uduk dalam termos nasi saat berjualan (Anonim 2008).

Tumis buncis merupakan jenis pangan olahan tradisional yang sering disajikan dalam rumah tangga, ketering transportasi umum seperti kereta api dan acara-acara hajatan karena pembuatannya yang mudah dan menggunakan bahan baku yang relatif murah. Teknik menumis sendiri berasal dari negeri Cina yang di negara asalnya disebut teknik chao dan bao. Kedua teknik menumis tersebut dibedakan berdasarkan besar panas yang digunakan serta seringnya tossing atau teknik melambungkan tumisan yang dilakukan (Anonim, 2008).

Menurut Winarno (2004), keamanan pangan tradisional erat kaitannya dengan budaya praktik higiene perorangan, keluarga dan masyarakat setempat, bahan mentah yang digunakan, polusi lingkungan, serta kemajuan teknologi dalam pertanian dan pengolahan pangan. Budaya praktik higiene perorangan sangat besar peranannya dalam menentukan tingkat pencemaran

(30)

mikroba dalam makanan. Suatu contoh kebiasaan baik yang jarang dimiliki oleh anggota keluarga adalah kebiasaan sering mencuci tangan dengan sabun dan desinfektan.

Indonesia memiliki berbagai jenis alat-alat memasak tradisional yang didesain rumit dan banyak lobang-lobang yang sulit dibersihkan sehingga merupakan sarang persembunyian yang nyaman bagi bakteri contohnya talenan, parut, lemper dan uleg-uleg, penyerut es, dll. Pencucian yang kurang baik pada peralatan dapur tersebut dapat meningkatkan kontaminasi bakteri pumbusuk dan patogen. Kontaminasi bakteri akan semakin memburuk ketika keluarga juga memelihara kucing atau anjing yang sering menjadi agen pembawa bakteri patogen (Winarno, 2004). Beberapa penelitian melaporkan tingginya kontaminasi S. aureus pada pangan yang diteliti di wilayah Bogor. Jumlah S. aureus secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4. Jenis pangan yang terkontaminasi oleh S. aureus

Jenis Makanan Jumlah S. aureus (Log CFU/g) Sumber

Bakso 1.74 a Gado-gado 3.72 a Mie ayam 1.78 a Nasi rames 3.21 a Siomay 2.43 a Soto ayam 1.65 a Tauge goreng 5.10 a Kacan panjang rebus 5.38 b Kol rebus 5.04 b Toge rebus 5.08 b Wortel rebus 5.30 b

a) Hartini (2001), b) Ruslan (2003)

Dari data diatas terlihat bahwa beberapa pangan mengandung jumlah bakteri S. aureus yang melebihi jumlah batas aman yaitu 1.0 x 105 CFU/g untuk makanan tanpa dikemas (New Hamshire Guideline dalam Shapton dan Shapton, 1993). Jumlah tersebut juga tidak memenuhi standar makanan yang aman untuk dikonsumsi menurut New Hamshire Guideline dalam Shapton dan Shapton (1993) yaitu sebesar 1.0 x 102 CFU/g.

(31)

E. PENYIMPANAN PADA SUHU RUANG

Penyimpanan pangan pada suhu ruang adalah praktik penyimpanan pangan pada kondisi suhu ruangan yaitu kisaran suhu 25-30ºC. Penyimpanan pada suhu ruang sangat lazim dilakukan di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat setempat yang sering memasak makanan dalam jumlah banyak untuk konsumsi satu hari dan menyajikannya pada suhu ruang tanpa disertai sarana pendinginan yang cepat. Kebiasaan tersebut juga sering terlihat pada rumah makan padang, warung tegal ataupun restauran lainnya sehingga tidak jarang keracunan pangan terjadi akibat pangan yang diolah oleh jasa boga.

Penyimpanan pada suhu ruang sangat rentan terhadap bahaya kontaminasi mikroba karena masuk dalam zona suhu kritis atau temperature danger zone (TDZ) yaitu 5-60ºC (Guzewich and Ross, 1999). Pada zona suhu kritis, bakteri patogen dapat tumbuh dan berkembang biak secara optimum sehingga menimbulkan bahaya keracunan pangan baik infeksi maupun intoksikasi (Fardiaz, 1992). Tabel 5 dibawah ini menunjukkan kisaran suhu pertumbuhan berbagai jenis bakteri patogen yang umumnya masuk dalam zona suhu kritis 5-60°C.

Tabel 5. Kisaran suhu pertumbuhan berbagai jenis bakteri patogen*

Bakteri Patogen Suhu Pertumbuhan (°C)

Salmonella spp. 6.5 – 47 Clostridium Botulinum 10 – 50 Staphylococcus aureus 7 – 45 Campylobacter jejuni 25 – 42 Yersinia enterocolitica 1 – 44 Listeria Monocytogenes 5 – 43 Vibrio cholerae 8 – 42 Vibrio parahaemolyticus 12.8 – 40 Clostridium perfringens 10 – 52 Bacillus cereus 10 – 49 Escherichia coli 2.5 – 45 Shigella spp. >8 - <45 Streptococcus pyogenes >10 - <45 *) USFDA (1999)

Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa, penyimpanan bahan pangan pada suhu ruang sangat rentan terhadap pertumbuhan berbagai jenis bakteri patogen. Cara penyimpanan pangan selama proses pengolahan maupun

(32)

penyajian merupakan hal yang utama dalam menentukan keamanan dan mutu secara mikrobiologis. Bakteri patogen yang berhubungan dengan pangan tidak dapat tumbuh diluar kisaran suhu 5-60°C sehingga penyimpanan dibawah suhu 5°C atau diatas 60°C akan aman (Jay, 2000).

Bahan pangan yang mudah rusak seperti daging dan ayam harus disimpan dibawah suhu 5°C dan dipotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil agar cepat dingin. Bahan-bahan yang telah dibekukan harus segera dimasak setelah dicairkan (thawing) dan jangan dibiarkan dalam keadaan setelah cair untuk jangka waktu yang lama. Bahan pangan yang harus disimpan dalam keadaan panans seperti pada toko penjual makanan (take- away foods) harus diperhatikan agar suhunya diatas 60°C (Buckle et al., 1989).

Pada pangan siap saji atau siap santap, keracunan oleh bakteri pembentuk spora terutama dapat diatasi dengan pendinginan cepat, dimana makanan yang usai dimasak sesegera mungkin dibawa ke suhu di bawah 4°C jika tidak langsung dikonsumsi. Untuk jumlah makanan yang besar maka sebaiknya diusahakan dapat mencapai suhu 31.5°C dalam waktu 2 jam dan mencapai 4°C dalam 4 jam berikutnya. Ketika jumlah makanan yang dimasak sangat besar maka penurunan suhu yang cepat sukar dicapai. Untuk itu pendinginan dapat dibantu dengan meletakkan makanan dalam wadah diatas sink atau ember berisi es, menambahkan garam pada es yang digunakan untuk mendinginkan makanan, menggunakan pengaduk bersih yang dibekukan, mengaduk makanan setiap 15 menit, menggunakan panci yang dangkal dan tidak menyimpan makanan di dalam panci dengan ketebalan lebih dari 5 cm (untuk makanan yang encer, misalnya soto) atau lebih dari 2.5 cm (untuk makanan yang kental, seperti kari), atau meletakkan makanan dalam kantong plastik dan direndam dalam air es (Hariyadi, 2005).

F. PEMANASAN ULANG DENGAN OVEN MICROWAVE

Pemanasan ulang atau re-heating merupakan suatu metode pemanasan pangan yang dilakukan untuk memperpanjang umur simpan dan sering kali dilakukan untuk meningkatkan cita rasa makanan yang seharusnya

(33)

dikonsumsi dalam keadaan hangat (Anonim, 2006). Menurut Jay (2000), pemanasan dapat menginaktivasi berbagai jenis mikroorganisme yang ada pada bahan pangan. Pemanasan ulang biasanya dilakukan dengan cara konvensional menggunakan kompor. Namun demikian seiring berkembangnya jaman dan ketersediaan oven microwave yang semakin meningkat, pemanasan ulang dengan cara konvensional dianggap kurang efesien karena memerlukan waktu pemanasan yang lebih lama dan kurang praktis (Schiffman, 1997). WHO mengharuskan pemanasan ulang dilakukan dalam waktu yang singkat dengan suhu yang tinggi (diatas 70°C) untuk menghentikan pertumbuhan mikroba serta menghindarkan bahan pangan terlalu lama berada dalam zona suhu kritis (TDZ).

Gelombang mikro atau microwave didefinisikan sebagai gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang antara 1.0cm-1.0m dan frekuensi antara 0.3 – 30 GHz (Whittaker, 1997; Taylor, 2005). Dewasa ini penggunaan radiasi microwave sangat populer diaplikasikan dalam industri pangan khususnya untuk keperluan thawing, pengeringan dan pemanggangan (Woo et al., 2000). Destruksi mikroba oleh radiasi microwave sangat efektif dalam pasteurisasi. Penggunaan radiasi microwave juga memiliki keunggulan dibandingkan pemanasan secara konvensional yaitu memiliki waktu pemanasan yang lebih singkat dan tidak merusak bentuk geometris dan penampakan pangan yang dipanaskan.

Banyak penelitian melaporkan penggunaan oven microwave untuk mereduksi mikroba dalam berbagai bahan pangan seperti daging kalkun, sapi, ayam, susu kedelai, produk pangan frozen, dan produk kentang olahan. Seluruh penelitian tersebut menyimpulkan bahwa radiasi microwave memperpanjang umur simpan produk pangan dengan cara mereduksi jumlah sel mikroba yang terkandung didalamnya. Pemanasan menggunakan microwave diketahui dapat menginaktivasi bakteri seperti Escherichia coli, Streptococcus faecalis, Streptococcus aureus, spora Bacillus subtilis, Salmonella sp., Lactobacillus plantarum, Listeria spp., Saccharomyces cerevisiae, dan Clostridium perfringens (Gedikli et al., 2008).

(34)

Menurut Whittaker (1997), energi microwave yang sering digunakan dalam industri pangan adalah jenis oven microwave. Frekuensi yang paling banyak digunakan untuk oven microwave domestik atau komersial adalah 2450 MHz dan 915 MHz (Toledo, 1981) yaitu pada panjang gelombang 12.25 cm (Taylor, 2005). Mekanisme perpindahan panas yang digunakan adalah secara radiasi. Radiasi merupakan perpindahan panas dari suatu benda ke benda lainnya, tanpa adanya kontak fisik, melalui gerakan gelombang. Menurut Taylor (2005), mekanisme dasar dari pemanasan gelombang mikro disebabkan adanya agitasi molekul-molekul polar atau ion-ion yang bergerak (oscillate) karena adanya gerakan medan magnetik atau elektrik. Adanya gerakan medan magnetik dan elektrik menyebabkan partikel-partikel untuk berorientasi atau mensejajarkan dengan medan tersebut. Pergerakan partikel-partikel tersebut dibatasi oleh gaya pembatas (interaksi partikel-partikel dan ketahanan dielektrik). Hal ini menyebabkan gerakan partikel tertahan dan membangkitkan gerakan acak sehingga menghasilkan panas.

Titik-titik di dalam bahan yang dipanaskan tidak berada pada suhu yang sama. Daerah pemanasan yang terdingin disebut titik pusat dan merupakan posisi yang sukar untuk disterilisasi sebab kurang mendapatkan panas. Pada kemasan berbentuk silinder seperti kaleng, titik terdingin sampel atau yang disebut titik pusat produk pangan yang berwujud cair akan berada di titik tengah yaitu satu per tiga ketinggian kaleng dari bagian bawah kemasan. Sedangkan untuk produk pangan berwujud padat, titik terdingin berada di titik tengah kaleng pada sumbu vertikal (Hariyadi et al., 2002). Suhu pusat merupakan suhu yang terukur pada titik pusat bahan yang dipanaskan. Pada pemanasan menggunakan oven microwave dimana waktu pemanasan yang digunakan cukup singkat, terjadi perbedaan suhu yang cukup signifikan pada tiap sisi bahan yang dipanaskan. Oleh sebab itu, pengukuran suhu pusat atau suhu titik terdingin perlu dilakukan untuk melihat apakah pada titik pusat terdapat peluang bagi pertumbuhan bakteri patogen karena suhunya yang tidak cukup panas (Schiffman, 1997).

Terlepas dari banyaknya kajian mengenai destruksi mikroba oleh oven microwave, mekanisme perusakannya belum sepenuhnya dimengerti. Namun

(35)

demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa destruksi mikroba akibat paparan radiasi oven microwave disebabkan oleh adanya efek termal (Fujikawa et.al., 1992). Woo et al., (2000) dalam penelitiannya membuktikan bahwa kerusakan struktur membran sel bakteri bukanlah alasan atas kemampuan radiasi oven microwave dalam menginaktivasi sel bakteri. Gambar 3 menunjukkan bahwa pada bakteri Gram negatif seperti E. coli, struktur membran sel menjadi rusak dan tidak halus setelah bakteri dipanaskan dengan oven microwave pada suhu 70°C. Namun hal serupa tidak terjadi pada pemanasan bakteri Gram positif B. subtilis. Permukaan membran sel B. subtilis tidak mengalami kerusakan dan tetap halus seperti sebelum dipanaskan dengan suhu 70°C. Terlepas dari rusak tidaknya struktur membran sel bakteri, pemanasan dengan oven microwave pada suhu 80°C mampu menginaktivasi E. coli dan B. subtilis hingga 5 Log CFU/g.

Gambar 3. Hasil Scanning electron microphotograph bakteri E. coli dan B. subtilis tanpa perlakuan pemanasan dan saat dipanaskan dengan oven microwave (70°C) (Woo et al., 2000).

(36)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

1. Pangan Tradisional Indonesia

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga jenis pangan tradisional Indonesia yakni soto ayam, nasi uduk dan tumis buncis. Ketiga pangan tersebut dipilih karena memiliki jenis bahan baku yang berbeda serta tergolong pangan olahan yang rawan terhadap pertumbuhan S. aureus. Bahan baku yang digunakan diperoleh dari pedagang sayur Babakan Raya, Darmaga, Bogor dan diolah di Laboratorium Evaluasi Sensori Seafast Center IPB dengan formulasi yang mengacu pada Anonim (2004).

2. Kultur

Kultur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Staphylococcus aureus ATCC 25923 dalam bentuk biakan murni pada TSA yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi, Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan, Muara Baru Jakarta.

3. Media

Media untuk pertumbuhan mikroorganisme yang digunakan adalah Trypticase Soy Agar (Oxoid, Hamshire, UK), Brain Heart Infusion Broth (Oxoid, Hamshire, UK), dan Baird-Parker Agar (Oxoid, Hamshire, UK dan Merck, Darmstadt, Germany) ditambahkan dengan egg yolk tellurite emultion sebagai media selektif S. aureus.

4. Bahan Kimia

Bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain larutan Butterfield’s phosphate buffered (BPB) yang terbuat dari KH2PO4 sebagai larutan

pengencer, Koagulase Plasma Kelinci dengan EDTA 0,1% untuk konfirmasi S. aureus melalui uji koagulase, alkohol 70% sebagai

(37)

desinfektan, aquades untuk melarutkan berbagai macam media, spiritus, minyak emersi, dan bahan untuk pewarnaan Gram seperti pewarna kristal violet, safranin, iodium, dan alkohol 95%.

5. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah laminar flow, pembakar bunsen, vortex, neraca analitik, hot plate, magnettic stirrer, water bath, centrifuge, stomacher, oven microwave (KIRIN elektronik Indonesia, model KMW 717DN1W, frekuensi 2450 MHz, daya 700Watt), inkubator 37°C dan 55°C, otoklaf 121°C, lemari pendingin (chiller dan freezer), mikroskop, pH meter, mikropipet 1 ml, dan 0.1 ml beserta tipsnya, dispensette, peralatan gelas (cawan petri, erlenmeyer, gelas piala, tabung pengencer, gelas ukur, dan batang gelas bengkok (hockey stick)), pinset, jarum ose, kantong plastik tahan panas, rak tabung reaksi, kapas, alumunium foil, dan peralatan memasak (kompor gas, rice cooker, panci, pisau, talenan, termos nasi, dan ulekan). Untuk pemanasan dengan oven microwave digunakan wadah steril (jar) yang terbuat dari bahan gelas dengan tinggi 8 cm dan diameter 5 cm.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian terdiri dari tiga tahap yaitu (1) survei praktik penanganan pangan tradisional Indonesia di tingkat rumah tangga yang dilakukan dengan alat bantu kuesioner, observasi dan wawancara (2) evaluasi pengaruh penyimpanan pada suhu ruang terhadap S. aureus dan (3) pengaruh pemanasan dengan oven microwave terhadap S. aureus yang dilakukan dengan metode percobaan. Diagram alir proses penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 4.

(38)

Persiapan Sampel Pangan Tradisional Indonesia

Survei

Persiapan Inokulum Uji Konfirmasi S. aureus

Inokulasi kultur S. aureus ke dalam sampel pangan

Penyimpanan Sampel Pangan Pada Suhu Ruang selama 24 Jam

Pemanasan Sampel Pangan dengan Oven

Microwave selama 10, 20, 30, 40, 50, 60, 90

dan 120 detik

Uji S. aureus tiap waktu pemanasan Uji S. aureus tiap

interval waktu 2 jam

Gambar 4. Diagram alir proses penelitian

1. Survei Praktik Penanganan Pangan Tradisional Indonesia

Survei dilakukan sebagai studi pendahuluan mengenai praktik penanganan pangan yang umum dilakukan oleh ibu rumah tangga untuk mengetahui kondisi yang berpotensi menjadi kendaraan masuknya bakteri patogen kedalam makanan khususnya S. aureus. Pengumpulan data mencakup: cara penanganan bahan baku, cara pengolahan, cara penyimpan pangan, budaya praktik higiene perorangan, sanitasi dapur dan peralatan masak serta sanitasi peralatan makan.

Metode survei dilakukan dengan alat bantu kuesioner, tanya jawab, dan observasi secara langsung. Jumlah responden yang digunakan adalah 50 orang yang seluruhnya berdomisili di kota Malang, Jawa Timur dengan beberapa pertimbangan, antara lain alasan keterbatasan waktu, tenaga, dan dana sehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar dan jauh. Kriteria responden yang dipilih dalam survei ini disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu (1) responden merupakan ibu rumah tangga yang mengolah sendiri makanan untuk konsumsi keluarga, (2) responden merupakan ibu rumah tangga yang menggunakan oven microwave untuk memanaskan makanan.

Kuesioner terdiri dari kombinasi pertanyaan tertutup dan pertanyaan terbuka. Jenis pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner

(39)

meliputi identitas responden, cara penanganan pangan dan cara penyimpanan pangan (Lampiran 1). Sedangkan aspek lain yang diamati melalui observasi meliputi kondisi dapur, kondisi kesehatan dan higiene pengolah makanan saat memasak, kondisi peralatan masak dan alat makan, cara penanganan pangan yang berpotensi berbahaya dan kondisi tempat penyajian makanan (Lampiran 2). Penilaian ditentukan berdasarkan tiga kriteria yaitu baik, sedang dan buruk.

Kondisi dapur yang tergolong dalam kriteria baik adalah dapur dengan lantai dan meja yang bersih, kering, rapi, terpelihara, dan mudah dibersihkan. Kondisi peralatan masak yang tergolong dalam kriteria baik adalah peralatan yang bersih, terpelihara, dan disimpan dalam tempat tertutup. Kondisi lingkungan penyajian makanan yang tergolong dalam kriteria baik adalah yang tertutup dan terlindung dari lalat dan debu. Cara pengolahan pangan yang berpotensi bahaya yang tergolong dalam kriteria baik adalah pangan yang diolah dengan suhu, cara dan waktu yang memadai yaitu 90-100°C selama 20-40 menit. Higiene pengolah pangan yang tergolong dalam kriteria baik adalah pengolah makanan yang menggunakan pakaian yang bersih, rambut terikat rapi/pendek dan tangan selalu dicuci bersih saat mengolah makanan. Kondisi kesehatan pengolah pangan yang tergolong dalam kriteria baik adalah bebas dari penyakit kulit, bisul, luka terbuka, dan infeksi saluran pernafasan. Kondisi yang berkebalikan dengan parameter diatas digolongkan dalam kriteria buruk, sedangkan kondisi yang hanya memenuhi sebagian parameter digolongkan dalam kriteria sedang. Data yang diperoleh diolah dengan membuat tabel frekuensi dan dihitung dalam persentase (Lampiran 3). Hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk Tabel dan pie graph.

(40)

2. Pengaruh Penyimpanan terhadap S. aureus pada beberapa pangan tradisional Indonesia

a. Persiapan inokulum

Sebelum digunakan sebagai inokulum, dilakukan uji konfirmasi untuk mengetahui kemurnian S. aureus ATCC 25923 yang digunakan. Uji Konfirmasi kultur S. aureus meliputi pewarnaan Gram, uji katalase, dan uji koagulase menurut BAM (2001). Uji katalase dilakukan dengan cara : satu ose kultur dari biakan agar miring TSA yang diduga S. aureus digores diatas gelas obyek, kemudian diteteskan cairan peroksida 0.3% ke atas kultur dan diamati reaksi yang terjadi. Bila terbentuk gelembung oksigen pada kultur, maka kultur yang diuji merupakan katalase positif. Uji koagulase : satu ose kultur dari biakan agar miring TSA yang diduga S. aureus dimasukkan ke dalam 0.2 ml – 0.3 ml BHIB, dihomogenkan, dan diinkubasi selama 18-24 jam suhu 35°C. Selanjutnya ke dalam suspensi BHIB ditambahkan 0.5 ml koagulase plasma kelinci (coagulase rabbit plasma) yang mengandung EDTA 0.1%, dihomogenkan, diinkubasi pada suhu 35°C dan diamati tiap 6 jam terhadap pembentukan gumpalan. Hasil uji koagulase positif S. aureus ditandai dengan terbentuknya gumpalan padat yang tidak dapat larut kembali.

Kultur segar disiapkan dengan cara menggoreskan satu ose isolat S. aureus ATCC 25923 yang telah diuji konfirmasi pada media selektif BPA + egg yolk tellurit dengan metode gores kuadran dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. Selanjutnya, koloni terpisah dari cawan BPA dipindahkan kedalam tabung reaksi yang berisi 5 ml media cair Brain Heart Infusion Broth (BHIB) dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. Pertumbuhan S. aureus segar ditandai dengan adanya kekeruhan.

Kultur segar S. aureus dalam BHIB disentrifuse dengan kecepatan 3500 rpm selama 20 menit dan endapan sel S. aureus yang terpisah disiapkan menjadi kultur kerja. Persiapan kultur kerja

(41)

dilakukan dengan cara melarutkan sel S. aureus kedalam tabung yang berisi pengencer BPB dan membandingkan dengan larutan standar MacFarland nomer 0.5 (1 x 108 CFU/g) dan 1 (3 x 108 CFU/g). Untuk mendapatkan jumlah konsentrasi awal S. aureus dalam sampel pangan yang diperlukan pada penelitian ini yaitu 103 dan 105 CFU/g sampel pangan, maka dilakukan seri pengenceran dari kultur kerja menggunakan larutan pengencer BPB hingga jumlah yang diperlukan.

b. Persiapan Sampel Pangan Tradisional Indonesia

Sampel pangan yang digunakan adalah soto ayam, tumis buncis dan nasi uduk. Semua sampel disiapkan pagi hari sebelum pengambilan data dan dibuat dengan komposisi bumbu yang mengacu pada Anonim (2004). Sampel soto ayam disiapkan dengan cara menghaluskan seluruh bumbu dasar yang terdapat pada Tabel 6 menggunakan ulekan, kemudian ditumis pada suhu 70°C selama 3 menit. Selanjutnya bumbu halus direbus bersama daging ayam utuh dan air selama 15 menit pada suhu 100°C, ditambahkan daun jeruk dan sereh yang sudah dimemarkan dan direbus kembali selama 5 menit pada suhu 100°C. Proses pembuatan soto ayam dapat dilihat pada Gambar 5.

Tabel 6. Komposisi bumbu dasar untuk pembuatan soto ayam*

Bumbu Dasar Jumlah (%) (b/b ayam) Bawang Merah 3 Bawang Putih 2 Kemiri 1.6 Jahe 1 Kunyit 0.6 Merica 0.2 Lengkuas 1.5 Sereh 4 Gula 1 Garam 2 Minyak Goreng 5 *) Anonim (2004) 30

Gambar

Gambar 1. Staphylococcus aureus (Todar, 2007)
Tabel 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus*
Tabel 3. Sumber, resiko, dan konsekuensi keberadaan S. aureus dalam  rantai pangan*
Gambar 2.  Fase pertumbuhan mikroorganisme   (Schaechter et al., 1993).
+7

Referensi

Dokumen terkait