• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemanasan Bumbu Rendang Terhadap Aktivitas Anitimikroba Pada Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pemanasan Bumbu Rendang Terhadap Aktivitas Anitimikroba Pada Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

P e d i c h d

to

:

ores

w b

never 3iop lovinq

ad

prainq me

and

Away5 qive me 'chicken m p for the mi'

( mma,

pqa. my sister,

Kathdim

atd

ail

o f my mojlem brothers

ad

sisters)
(2)

PENGARUH PEMANASAN BUMBU RENDANG TERHADAP AKTIVITAS

ANTlMlKROBA PADA Sfaphylococcus aureus DAN Bacillus cereus

Oleh

ASlH KATRINA

F02495018

2000

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Asih Katrina. F02495018. PENGARUH PEMANASAN BUMBU RENDANG TERHADAP AKTIVITAS ANTlMlKROBA PADA Sfaphylococcus aureus DAN Bacillus cereus. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu. MS.

. .

. . RINGKASAN

Rendang merupakan makanan tradisional yang berasal dari daerah Sumatra Barat (Minangkabau). Makanan ini tidak hanya digemari di daerah asalnya, namun juga telah dikenal dan digemari oleh sebagian masyarakat Indonesia karena

kekhasan rasa dan keawetannya.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Edy (1998) dihasilkan bahwa bumbu rendang yang memiliki efek penghambatan optimal adalah yang mengandung 60% cabe merah. Namun belum diketahui apakah bumbu tersebut masih efektif bila telah dipanaskan. Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemanasan, yaitu penurnisan (80°C selama 15 menit), perebusan bumbu tumis (100°C) selama 10 dan 20 menit serta sterilisasi menggunakan otoklaf (121°C selama 15 menit) terhadap aktivitas antimikroba bumbu pada bakteri penyebab keracunan S. aureus dan B. cereus.

Penelitian ini menggunakan bumbu rendang yang dibuat sendiri menurut formulasi Edy (1998), dengan konsentrasi cabe merah sebesar 60%. Bumbu rendang dicampurkan dengan sistem pangan yang terdiri dari ekstrak daging dan santan kelapa (l:lv/v) sebanyak 18% (bk). Campuran ini dikontakkan dengan S. aureus dan

B.

cereus yang diuji ketahanannya terhadap bumbu. Pengamatan dilakukan setiap 0, 3, 6 dan 24 jam waktu kontak, dengan cara menumbuhkannya pada cawan dengan menggunakan media Plate Count Agar, Vogel Johnson Agar dan Mannitol Egg Yolk Polymixin. Laju pertumbuhan bakteri dihitung dengan rumus log Nulog No (Ntjumlah bakteri pada waktu t; No=jumlah bakteri pada waktu 0). Analisis lain yang dilakukan adalah pengukuran pH, kadar air dan kondisi mikrobiologi awal bumbu rendang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan yang berbeda pada bumbu rendang memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap antimikroba bumbu dan mikroba yang dapat dihambat. Dibandingkan dengan bumbu rendang mentah, bumbu yang sudah ditumis memiliki daya antimikroba yang lebih bagus terhadap pertumbuhan 8. cereus, namun tidak terhadap pertumbuhan total mikroba maupun S. aureus. Nilai log Ntllog No laju pertumbuhan B. cereus dalam bumbu rendang tumis pada 24 jam waktu kontak adalah 0,87, sedangkan untuk total mikroba dan S. aureus adalah 1,14.

Aktivitas antimikroba bumbu rendang tumis yang mengalami pemanasan lanjut menjadi lebih baik dalam menghambat pertumbuhan total mikroba dan S. aureus dengan nilai log Ntllog No yang berkisar antara 0,66-1.00, sedangkan antimikroba ini hanya bersifat bakteristatik terhadap pertumbuhan

B.

cereus, dengan
(4)

PENGARUH PEMANASAN BUMBU RENDANG TERHADAP AKTIVITAS

ANTIMIKROBA PADA Staphylococcus aureus DAN Bacillus cereus

SKRlPSl

Sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi

Fakuitas Teknologi Pertanian

lnstitut Pertanian Bogor

Oleh

ASlH KATRINA

F02495018

2000

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH PEMANASAN BUMBU RENDANG TERHADAP AKTlVlTAS ANTIMlKROBA PADA Staphylococcus aureus DAN Bacillus cereus

SKRlPSl

Sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi

Fakultas Teknologi Pertanian lnstitut Pertanian Bogor

Oleh ASlH KATRINA

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya untuk Allah SWT yang telah melimpahkan karunia, kasih sayang dan pertolongan-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, lnstitut Pertanian Bogor.

Skripsi ini berjudul Pengaruh Pemanasan Bumbu Rendang Terhadap Aktivitas Antimikroba Pada Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus, yang ditulis berdasarkan penelitian penulis yang berlangsung sepanjang bulan Maret sampai Oktober 1999.

Selama penelitian, penulisan skripsi maupun selama studi, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak . Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS sebagai dosen pembimbing atas bimbingan, saran dan bantuan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian maupun penulisan skripsi

2.

Ibu Alm. Prof. Dr. Ir. Srikandi Fardiaz, MSc. atas masukan dan saran kepada penulis, khususnya pada awal penelitian

3. Ibu Dra. Suliantari, MS dan lr. Nanan Nurjannah sebagai dosen penguji yang banyak memberi masukan kepada penulis

4. My beloved Ma, Pa dan dik Betty atas dukungan, kasih sayang dan doa yang selalu tercurah kepada penulis

(7)

6. Sista, Nanik, Mbak Husni dan Slamet yang tergabung dalam Tim Bumbu Plus atas persaudaraan yang indah selama penelitian

7. Rekan-rekan seperjuangan di Lab. Mikrobiologi PAU, Tifah, Nani, Ical, Icung, Fajar. Dini, Trisna, M' Dewi, Nawi, Boim, Pak Rizal, Bu iin, Bu Lilik dan lain-lain atas kebersamaan yang sangat mengesankan

8. M' Ari, Bi Omah, M' Mar, T' Epa, Pak Taufik dan Pak Moel atas bantuan yang tulus kepadti penulis

9. Seluruh rekan TPG 32, terutama Rida, Rina, Usan, Rida N, Wiga, Yan Ika, Meity dan Golongan A atas persahabatan dan kekompakan dalam meniti langkah selama studi

10. Seluruh penghuni Wisma Nabila, terutama M' Dyah, M' Nieng, M' Adha, Uun dan lndul atas persaudaraan yang manis selama ini

11. Putri, Nadhira, Kintari, Fikar, Igfar, Irma, Mayang, Arin, Ega, Randha dan Dara yang memberikan hiburan tersendiri bagi penulis

12. Teman kecilku, Lilis dan Rohani

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu rnemberikan sernangat dan perhatian kepada penulis

Sernoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan para pembacanya.

Bogor, 15 Desember 1999

(8)

DAFTAR

IS1

Halaman KATA PENGANTAR

...

I DAFTAR IS1

...

iii DAFTAR TABEL

...

v DAFTAR GAMBAR

...

V

...

DAFTAR LAMPIRAN v

I

.

PENDAHULUAN

...

1 II . TINJAUANPUSTAKA

...

3 A . AKTlViTAS ANTIMIKROBA DAN MEKANISMENYA

...

3

...

.

B AKTlVlTAS ANTIMIKROBA BUMBU RENDANG 4

C

.

PEMANASAN

...

5

...

D

.

KARAKTERISTIK Staphylococcus aureus 6

E . KARAKTERISTIK Bacillus cereus

...

7 F . SANTAN KELAPA DAN DAGING

...

9

...

.

Ill METODOLOGI PENELlTlAN 11

.

...

A BAHAN 11

...

B

.

ALAT 12

C

.

METODE

...

13 1 . Persiapan Bumbu Rendang dan Sistem Pangan

...

13 2

.

Analisis Data Dasar Bumbu

...

14

3

.

Penentuan Aktivitas Antirnikroba Bumbu Rendang
(9)

IV

.

HASIL DAN PEMBAHASAN

...

A

.

KONDlSl AWAL BUMBU RENDANG

...

B . PENGARUH PEMANASAN TERHADAP AKTlVlTAS

ANTlMlKROBA BUMBU RENDANG

...

1 . Pengaruh pada Laju Perturnbuhan Total Mikroba

...

2 . Pengaruh pada Laju Perturnbuhan S . aureus

...

3 . Pengaruh pada Laju Perturnbuhan B

.

cereus

...

V . KESIMPULAN DAN SARAN

...

A

.

KESIMPULAN

...

...

.

B SARAN

(10)

DAFTAR TABEL

[image:10.602.81.506.100.685.2]

Halaman

Tabel 1. Komposisi bumbu dasar untuk membuat bumbu rendang

...

13

Tabel 2. Komposisi rempah-rempah dalam pembuatan bumbu rendang.. 13

Tabel 3. Kadar air dan nilai pH bumbu rendang

...

18

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kondisi mikrobiologi awal bumbu rendang

...

19

Gambar 2. Laju Pertumbuhan total mikroba

...

21

Gambar 3. Laju Pertumbuhan S. aureus

...

25

Gambar 4. Laju Pertumbuhan

6.

cereus ...

...

27

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Larnpiran 1. Perhitungan konsentrasi bumbu rendang

...

35

Lampiran 2. Nilai pH bumbu rendang dengan berbagai perlakuan

...

36

Lampiran 3. Data awal kualitas mikrobiologi bumbu rendang mentah dan tumis

...

36

Lampiran 4. Pertumbuhan total mikroba pada bumbu rendang mentah dan bumbu rendang dengan pemanasan

...

37

Lampiran 5. Pertumbuhan S. aureus pada bumbu rendang mentah dan burnbu rendang dengan pemanasan

...

38
(11)

1.

PENDAHULUAN

Rendang merupakan makanan tradisional yang berasal dari daerah Sumatra Barat (Minangkabau). Makanan ini tidak hanya digemari di daerah asalnya, namun juga telah dikenal dan digemari oleh sebagian besar rnasyarakat Indonesia karena kekhasan rasa dan keawetannya. Pada umumnya rendang dibuat dari bahan utama daging sapi yang dimasak. bersamaan dengan campuran bumbu rempah-rempah tertentu seperti cabe merah, bawang merah, bawang putih, lengkuas dan bumbu lainnya. Berdasarkan lama pemasakan, produk rendang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu rendang dengan lama pemasakan relatif lebih lama (lebih kering) dan kalio dengan lama pemasakan lebih singkat sehingga kadar air kalio lebih tinggi dibandingkan rendang. Hasil penelitian Mainofri (1990) terhadap produk rendang daging sapi menunjukkan nilai kadar air sebesar 40,50-42,50%, kadar lemak sebesar 23,90-24,17% (bk) dan nilai pH sebesar 5,59-5,63.

Bumbu rendang memiliki aktivitas antimikroba yang cukup besar. Konsentrasi cabai merah sebesar 20% (blv, bk) dalam bumbu rendang efektif menghambat pertumbuhan flora mikroba maupun

B.

cereus dalam sistem pangan selama 6 jam. Perpanjangan waktu kontak hingga 24 jam menyebabkan peningkatan jumlah mikroba dan hanya konsentrasi cabai merah sebesar 60% (blv. bk) yang masih efektif menghambat (Edy, 1998). Bumbu rendang dengan konsentrasi 20% (blv, bk) dapat menghambat pertumbuhan B. cereus selama 30 jam waktu kontak, sedangkan konsentrasi 10% (blv, bk) hanya mampu menghambat pertumbuhan B. cereus selama 9 jam (Harjono,1992).
(12)

diolah dengan pernanasan apabila tercemar kembali akan mudah rusak. Seringkali organisme turnbuh lebih baik pada bahan pangan yang telah dimasak dibandingkan pada bahan pangan mentah karena zat-zat gizi tersedia lebih baik dan tekanan persaingan dari rnikroorganisrne lain telah dikurangi (Buckle et a]., 7978).

(13)

r1.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

AKTlVlTAS ANTlMlKROBA DAN MEKANISMENYA

Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat rnenghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Pelczar dan Reid, 1979). Fardiaz (1985) rnenyatakan bahwa zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal (mernbunuh bakteri), bakteristatik (rnenghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (rnembunuh kapang), fungistatik (mengharnbat pertumbuhan kapang) ataupun germisidal (rnenghambat germinasi spora bakteri).

Berbagai jenis rempah diketahui rnempunyai sifat antirnikroba terhadap berbagai jenis mikroba dengan efek penghambatan yang bersifat khas. Minyak atsiri mustard sangat efektif dalarn menghambat perturnbuhan Saccharomyces cereviseae, namun tidak efektif dalam rnenghambat sebagian besar bakteri. Kayu manis dan cengkeh yang rnengandung sinarnaldehida dan eugenol biasanya lebih bersifat bakteriostatik daripada rempah lainnya (Frazier dan Westhoff, 1988). Beberapa senyawa kimia yang bersifat antimikroba rnenurut Pelczar dan Reid (1979), antara lain fenol dan senyawa fenolik, alkohol, halogen, logam berat dan senyawanya, zat warna, senyawa amonium kuartener, asam, basa, deterjen dan gas desinfektan seperti etilenoksida.

(14)

terhadap A. flavus dan A. versicolor (Hitokoto et al., 1980). Dilaporkan pula bahwa eugenol, isoeugenol, ginger01 dan zingeron yang terdapat pada cengkeh dan jahe bersifat sporostatik terhadap spora 8. subfilis (A1 Khayat dan Blank, 1985).

Senyawa fenol menyebabkan lisis pada sel mikroba, sehingga menyebabkan racun dapat masuk ke dalam sel dan menyebabkan kebocoran metabolit esensial yang dibutuhkan oleh mikroba, kemudian setelah berada di dalam sel, fenol akan merusak sistem kerja sel. Sedangkan senyawa fenolik yang mempunyai berat molekul tinggi dapat menyebabkan inaktivasi enzim esensial dalam sel (Prindle dan Wright, 1971)

Sedangkan menurut Pelczar dan Reid (1979) mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroba oleh senyawa antimikroba dapat berupa perusakan dinding sel yang dapat rnengakibatkan lisis, atau penghambatan sintesis komponennya, perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga terjadi kebocoran zat nutrisi dari dalam sel, denaturasi protein sel dan perusakan sistem metabolisme dalam sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler.

B. AKTlVlTAS ANTlMlKROBA BUMBU RENDANG

Bumbu rendang memiliki aktivitas antimikroba terhadap flora mikroba yang terdapat pada ekstrak daging, santan serta campuran ekstrak daging dan santan. Pengaruh bumbu rendang terhadap B. cereus lebih besar dibandingkan dengan flora mikroba yang terdapat di dalam sistem pangan (Edy, 1998)

(15)

konsentrasi masing-masing 10, 5 dan 1%. Sifat bakteriostatik diperoleh pada konsentrasi 5% untuk E. coli. Pada burnbu yang telah disterilisasi (121°C selarna 15 rnenit), daya antirnikrobanya telah hilang dan rnenyebabkan stirnulasi pertumbuhan bakteri. Dernikian juga halnya jika burnbu dipanaskan. Bila burnbu akan disirnpan dalarn refrigerator, rnaka hanya efektif bila penyirnpanan kurang dari serninggu.

Burnbu rendang segar hasil olahan industri dengan konsentrasi 5% (blv, bk) bersifat bakterisidal terhadap S. typhimurium, S. aureus,

E.

coli, 6. cereus dan P. aeruginosa. Efek pengharnbatan burnbu rendang terhadap beberapa bakteri yang diujikan diduga karena adanya aktivitas antirnikroba rernpah- rernpah penyusun burnbu terutarna cabe rnerah yang rnerupakan komponen terbesar dari burnbu rendang yaitu sekitar 75% (Triana, 1998)

Hasil penelitian Pulwaningsih (1998) menunjukkan bahwa burnbu opor, ayarn goreng dan rendang dalarn bentuk burnbu sangrai instan dapat rnengharnbat perturnbuhan 8. cereus pada setiap periode waktu kontak. Ketiga burnbu tersebut dengan konsentrasi 10% (blv, bk) dapat bersifat bakterisidal sarnpai waktu kontak 30 jam.

B.

PEMANASAN

Kernarnpuan tahan panas rnikroorganisrne rnernpunyai peranan penting dalarn rnenentukan tipe rnikroorganisrne rnana yang akhirnya banyak terdapat setelah perlakuan pernanasan. Suatu perlakuan pasteurisasi dengan panas \

(16)

jenis Bacillus dan Clostridium tetap hidup, sedang pemanasan yang sedikit lebih tinggi (80°C selama 1 menit) umumnya hanya rnernungkinkan mikroorganisme pembentuk spora yang tinggal hidup. Bahan pangan yang sudah dimasak atau diolah dengan pemanasan apabila tercernar kembali akan rnudah rusak. Seringkali

-

organisme tumbuh lebih baik pada bahan pangan yang telah dimasak dibandingkan pada bahan pangan mentah karena zat-zat gizi tersedia lebih baik dan tekanan persaingan dari mikroorganisme lain telah dikurangi (Buckle et al., 1978)

Pendidihan atau kondensasi uap bertekanan rnempunyai kapasitas transfer panas yang tinggi sehingga permukaan suhu pangan mencapai suhu air dengan sangat cepat. Temperatur makanan tidak pernah mencapai suhu pendidihan air. Proses pemanasan bertekanan berlangsung lebih cepat dan kehilangan air lebih rendah daripada pendidihan biasa (Muller dan Tobin,1980).

D. KARAKTERISTIK Staphylococcus aureus

(17)

S. aureus bersifat anaerobik fakultatif tetapi pertumbuhannya pada keadaan anaerobik sangat lambat. Suhu optimum untuk pertumbuhan S aureus adalah

35-37°C

dengan suhu minimum 6-7'C dan suhu maksimal

45,5"C.

Bakteri ini dapat tumbuh pada pH

4,O-9,8

dengan pH optimum

7,O-7,5,

sering terdapat pada pori-pori dan permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran usus. S. aureus dapat menyebabkan intoksikasi dan infeksi seperti bisul, pneumonia, mastitis paha hewan dan manusia (Fardiaz, 1983)

Secara umum, organisme ini tidak kuat bersaing dengan lainnya dan akibatnya bakteri ini tidak mempunyai peran yang berarti pada bahan-bahan panyan yang tidak dimasak. Akan tetapi, dalam bahan pangan yang telah dimasak atau diasin, dimana organisme-organisme yang ada telah rusak oleh pemanasan atau pertumbuhannya terhambat oleh konsentrasi garam, sel-sel S. aureus dapat terus berkembang mencapai tingkat yang membahayakan. Keracunan karena bahan pangan yang tercemar Staphylococcus kebanyakan berhubungan dengan produk bahan pangan yang telah dimasak terutama yang dikelola oleh manusia seperti daging dan ayam yang dimasak (Buckle et al., 1978).

E. KARAKTERISTIK Bacillus cereus

(18)

oleh sel-sel B. cereus. Kemampuan membentuk spora memungkinkan mikroorganisme ini tetap hidup pada operasi pengolahan dengan pemanasan (Buckle gt

&.,

1978).

B. cereus tumbuh pada suhu 10-48'C dan pH 4,9-9,3. Suhu optimum yang diperlukan untuk pertumbuhannya berkisar antara 28-35°C dan pH optimum 7,O-73. Bakteri ini memproduksi spora tahan panas dan radiasi, dan tetap aktif setelah pemanasan selama 4 jam pada suhu 135°C (~ardiaz, 1983).

Sebanyak 80% strain 6. cereus dapat memproduksi enterotoksin yang disekresikan ke substrat selama pertumbuhan logaritmiknya. Menurut Eley (1992) ada dua jenis enterotoksin yang berkaitan dengan dua macam keracunan yang berbeda, yaitu toksin emetik dan toksin diare. Toksin emetik adalah protein tahan panas yang diproduksi selama pembentukan spora dan tahan pemanasan pada suhu 121°C selama 90 menit. Gejala keracunan terjadi 1-6 jam setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung sel dan spora B. cereus dalam jumlah besar, yaitu berupa mual, muntah dan kurang enak badan. Bahan pangan yang terkontaminasi toksin emetik ini adalah sereal, terutama nasi, pasta, puding susu dan krim yang dipasteurisasi. Toksin diare diproduksi saat germinasi spora pada saluran gastrointestinal manusia. Periode inkubasi adalah 8-16 jam, diikuti gejala sakit perut, kram dan diare encer, muntah-muntah, kadang-kadang disertai demam. Bahan pangan yang mungkin terkena adalah daging, sayur, sop, saus, sosis dan hidangan penutup (desert).

(19)

terkontaminasi oleh 5. cereus dengan tingkat kontaminasi mencapai 10'-10~ CFUIml.

F. SANTAN KELAPA DAN DAGING

Santan kelapa merupakan emulsi minyak dalarn air yang berwarna putih, diperoleh dengan cara memeras daging kelapa segar yang diparut atau dihancurkan (Hagenmeier, 1973), atau dengan mengepres daging kelapa segar (Djarkasi, 1995) dengan atau tanpa penambahan air. Hasil ekstraksi santan dipengaruhi oleh car pemerasannya. Dengan cara pemerasan tangan dapat diekstrak santan sebanyak 52,9% (Dachlan, 1984 di dalam Mulia, 1995).

Santan merupakan produk pangan yang mengandung kadar air dan lemak cukup tinggi sehingga mudah ditumbuhi oleh mikroorganisme pembusuk dan santan menjadi mudah rusak. Sementara itu upaya pembuatan santan awet dilakukan dengan proses pemanasan suhu sterilisasi, yang dapat menimbulkan beberapa kerusakan produk. Kerusakan tersebut antara lain pecahnya emulsi santan, timbulnya aroma tengik dan perubahan warna menjadi lebih gelap (Muiia, 1995).

(20)
(21)

Ill. METODOLOGI PENELlTlAN

A. BAHAN

Rempah-rernpah yang digunakan terdiri dari bawang merah, bawang putih, lengkuas, jahe, kemiri, cabe merah, keturnbar, kunyit, daun kunyit, daun jeruk, serai d i n asarn kandis. Keseluruhan rempah-rempah tersebut diperoleh dari Pasar Bogor dalam keadaan segar.

2. Kultur rnikroba

Kultur mikroba yang digunakan adalah S. aureus ATCC 007 dan B. cereus ATTC 2186 yang diperoleh dari Labomtorium Mikrobiologi Pangan Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB. Bogor dalam bentuk agar miring. 3. Media

(22)

4. Sistem pangan

Sistem pangan terdiri dari campuran ekstrak daging dengan santan kelapa. Daging yang digunakan adalah daging giling yang diperoleh dari Supermarket. Bogor. Kelapa diperoleh dari pasar di Darmaga.

5. Bahan kimia

Bahan kimia yang digunakan adalah toluena, NaCl dan alkohol teknis. Toluena digunakan untuk analisis kadar air, sedangkan NaCl untuk membuat larutan pengencer.

6. Bahan lain

Bahan tambahan lain yaitu minyak nabati untuk menumis dan aquades untuk membuat larutan.

B. ALAT

(23)

C. METODE

1. Persiapan Bumbu Rendang dan Sistem Pangan a. Bumbu rendang

Pembuatan bumbu rendang dilakukan dengan mempersiapkan formula bumbu. Formula bumbu rendang ditentukan berdasarkan hasil penelitian Edy (1998) yaitu formulasi optimum dalam menghambat aktivitas mikroba, seperti disajikan pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Komposisi bumbu dasar untuk membuat bumbu rendang

Tabel 2. Komposisi rempah-rempah dalam pembuatan bumbu rendang

Dalam pembuatan bumbu rendang, pertama kali dilakukan penggilingan rempah-rempah dengan rnenggunakan blender. Setelah

-turnbar Kunyit Daun kunyit Daun jeruk Serai Asam Total

1.4 0.9 1 .O 0.5 2.6 2.7

[image:23.595.174.406.355.449.2] [image:23.595.174.407.509.649.2]
(24)

masing-masing rempah menjadi halus, dilakukan pencampuran sampai homogen. Bumbu tersebut dibagi menjadi dua. Setengah bagian ditumis (80°C selama 15 menit) dengan menggunakan minyak goreng sebanyak 15% (blb) dan sebagian yang lain disimpan dalam keadaan mentah. Penyimpanan dilakukan dengan mengemas bumbu rendang tersebut dalam plastik-plastik klip ukuran kecil, dengan isi masing- masing 25 gram bumbu kernudian dimasukkan ke dalam freezer (-30°C)

b. Sistem pangan

Sistem pangan yang digunakan yaitu campuran ekstrak daging dan santan dengan perbandingan 1:l (vh). Ekstrak daging dibuat dengan cara mencampur daging giling dengan air dengan perbandingan 1:10 (blv), sedangkan santan diekstrak dari kelapa parut yang dicampur dengan air dengan perbandingan 1:2 (blv). Selanjutnya carnpuran ekstrak daging dan santan tadi disterilisasi pada suhu 121°C selama 15 menit untuk membunuh semua rnikroba yang ada dalam sistem pangan. Untuk setiap analisis sampel digunakan sistem pangan sebanyak 50 ml yang dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml.

2. Analisis Data Dasar Bumbu Rendang

a. Analisis kadar air dengan metode distilasi (Apriyantono et al., 1989)

(25)
(26)

c. Penentuan mikroba awal bumbu rendang dengan hitungan cawan (Fardiaz, 1989)

Sebanyak 5 gram bumbu dimasukkan ke dalam pengencer 45 ml. Ini merupakan pengenceran

lo-'.

Selanjutnya dibuat pula tingkat pengenceran yang lebih tinggi, kemudian ditumbuhkan ke dalam cawan dengan menggunakan media PCA, VJA dan MEYP. Cawan diinkubasikan terbalik pada suhu 37°C selama 24-48 jam dan dihitung jumlah koloni yang tumbuh.

3. Penentuan Aktivitas Antimikroba Bumbu Rendang dengan Metode Kontak (Fardiaz, 1989)

(27)

Total mikroba, S. aureus, dan B. cerus dihitung setiap waktu kontak 0, 3, 6 dan 24 jam. Pemupukan dilakukan pada 4 tingkat pengenceran secara duplo. Media yang digunakan untuk menghitung total mikroba adalah PCA, yang memungkinkan semua jenis mikroba dapat tumbuh. Media yang digunakan untuk S. aureus adalah VJA yang merupakan media spesifik. Pertumbuhan bakteri ini ditandai dengan koloni bulat yang benvarna hitam yang dikelilingi oleh areal kuning. Sedangkan untuk mengetahui jumlah B. cereus digunakan media MEYP dimana pertumbuhan bakteri ini ditandai dengan koloni yang berbentuk filamen berwarna hijau kebiruan yang dikelilingi oleh areal biru. Penghitungan dilakukan setelah cawan diinkubasikan terbalik pada suhu 37' C selama 24-48 jam.

(28)

IV. HASlL DAN PEMBAHASAN

A. KONDlSl AWAL BUMBU RENDANG

Kondisi awal bumbu dinilai berdasarkan nilai pH, kadar air dan kualitas

mikrobiologinya. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kadar air bumbu mentah

lebih besar daripada 'bumbu tumis. Hal ini terjadi karena pada proses

penurnisan terjadi penguapan air, sehingga secara fisik bumbu tumis menjadi

lebih kering. Kadar air yang diperoleh ini digunakan dalam penentuan berat

kering bumbu rendang, untuk menghitung jumlah bumbu yang akan

ditambahkan pada sistem pangan (Lampiran 1).

Tabel 3. Kadar air dan nilai pH bumbu rendang

Dilihat dari nilai pH, bumbu rendang termasuk bahan pangan berasam

rendah karena memiliki nilai pH di atas 4,5 (Fardiaz, 1996). Makanan yang

memiliki pH di bawah

3,5

biasanya tidak dapat ditumbuhi bakteri, namun dapat

menjadi rusak karena pertumbuhan kapang dan kamir. Nilai pH optimum untuk

pertumbuhan bakteri adalah 65-7,5, untuk pertumbuhan kapang adalah 5-7 dan

untuk pertumbuhan kamir adalah 4-5 ( ~ a r d i a z ~ , 1992)

Kualitas mikrobiologi bumbu ditentukan dengan menghitung jumlah total

mikroba, S. aureus dan 5. cereus. Gambar

1

menunjukkan bahwa secara

I I

4,9

[image:28.608.146.444.419.499.2]
(29)

umurn jumlah rnikroba bumbu mentah lebih tinggi dibandingkan dengan burnbu

tumis. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kadar air keduanya. Menurut

Silliker et al. (1980), kadar air produk pangan sangat mempengaruhi jumlah dan

ragam mikroflora yang dapat tumbuh. Semakin tinggi kadar air dan aktivitas air

(Aw) suatu produk pangan, jumlah dan ragam mikroflora yang tumbuh

cenderung rneningkat. Selain kadar air, ha1 lain yang berpengaruh pada jumlah

rnikroba awal burnbu adalah kondisi rernpah-rernpah penyusun burnbu, baik

sebelurn pengolahan, kondisi sanitasi selarna pengolahan dan penanganan,

serta kondisi setelah pengolahan.

V '

fatal mikroba S. aureus B. cereus

Garnbar 1. Kondisi mikrobioiogi awal burnbu rendang

Dari Gambar I dapat dilihat pula bahwa pada bumbu turnis, S. aureus sudah tidak terdapat lagi karena suhu pada saat penurnisan mencapai 80°C,

sedangkan S. aureus sendiri bersifat mesofilik dengan kisaran suhu

pertumbuhan antara 6,7 sarnpai 45,5'C (Fardiaz, 1983). Sementara 5. cereus

(30)

berkurang. Menurut Buckle et al. (1978), kemampuan membentuk spora memungkinkan mikroorganisme ini tetap hidup pada proses pengolahan dengan pernanasan.

B. PENGARUH PEMANASAN TERHADAP AKTlVlTAS ANTlMlKROBA BUMBU RENDANG

I. Pengaruh pada Laju Pertumbuhan Total Mikroba

Perlakuan pemanasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penumisan (80°C selama 15 menit) dengan menggunakan rninyak nabati sebanyak 15% (bh), perebusan burnbu tumis (100°C) selama 10 dan 20 rnenit serta sterilisasi bumbu tumis (121°C selama 20 menit). Perebusan dilakukan di atas hot plate, sedangkan sterilisasi dilakukan dengan rnenggunakan otoklaf. Perlakuan tersebut didasarkan pada kebiasaan memasak pada umumnya yang menumis bumbu terlebih dahulu sebelurn diolah lebih lanjut. Adapun pemilihan variasi waktu diperkirakan bahwa selama 10 dan 20 menit bumbu sudah matang, sedangkan perlakuan sterilisasi merupakan model proses sterilisasi kornersial yang dilakukan pada industri.

(31)

Gambar 2. Laju pertumbuhan total mikroba pada waktu kontak 0, 3, 6 dan 24 jam

Gambar 2 menunjukkan bahwa bumbu mentah tidak memiliki aktivitas penghambatan karena laju pertumbuhan total mikroba pada waktu kontak 3, 6 dan 24 jam semakin meningkat. Diduga bahwa total mikroba awal bumbu rendang mentah mempengaruhi ha1 ini. Jumlah total mikroba awal sebesar 6,7x104 kolonilg ditambah dengan penginokulasian kultur S. aureus dan 5. cereus masing-masing sebesar 1,1x10~ dan 5,2x1

o3

koloni/ml ternyata menyebabkan antimikroba bumbu mentah tidak mampu dalam menekan pertumbuhan sebagian mikroba tersebut. [image:31.611.144.564.117.307.2]
(32)

kontak selama 24 jam adalah 1,10, sedangkan pada bumbu tumis sebesar

1,14. Ini diduga disebabkan oleh penambahan minyak pada saat proses

penumisan. Menurut Branen (1993), lemak berpengaruh terhadap senyawa

antimikroba. Komponen antimikroba yang bersifat hidrofobik, sepelti asam-

asam lemak, cenderung untuk bergabung dengan komponen-komponen

yang mengandung lemak pada bahan pangan dan menjauhi kondisi yang

berair pada bahan pangan tersebut, padahal mikroba biasanya tumbuh pada

kondisi yang berair.

Selain itu adanya penambahan minyak tersebut, secara tidak

langsung dapat mengurangi efektivitas antimikroba. Klindwoith et al. (1979)

menyatakan bahwa minyak dapat mengurangi efektivitas antirnikroba dari

BHA (Butylated Hydroxyanisole) terhadap C. perfringens. Hal ini disebabkan

karena sebagian dari BHA terperangkap masuk ke dalam Fase minyak

sehingga tidak dapat berpenetrasi ke dalam sel bakteri.

Setelah burnbu tumis diberi perlakuan panas, ternyata aktivitas

antimikrobanya menjadi lebih baik. Pada perebusan 10 dan 20 menit laju

pertumbuhan total mikroba dapat ditekan bahkan sampai 24 jam waktu

kontak. Nilai log Nt/log No pada saat itu adalah 0,94. Perlakuan sterilisasi

menyebabkan total mikroba rneningkat selama 3 jam, kemudian menurun

pada saat 6 dan 24 jam waktu kontak mencapai nilai 1,OO. Jadi secara umum selama 24 jam, aktivitas antimikroba bumbu lebih baik dibandingkan

dengan jika bumbu tersebut hanya mengalami proses penurnisan. Diduga

bahwa komponen antimikroba bumbu, seperti fenol, setelah dipanaskan

terurai menjadi komponen-komponen yang lebih mudah berpenetrasi ke

(33)

Selain itu diduga pula karena pada bumbu yang telah dipanaskan,

rnikroba awal yang semula masih terdapat dalam bumbu tumis menjadi

berkurang atau bahkan hilang sarna sekali, sehingga pada tahap uji tinggal

mikroba inokulan (S. aureus dan 5. cereus) saja yang berada dalam bumbu. Hal ini menyebabkan antirnikroba bekerja lebih efektif pada jumlah mikroba

yang lebih sedikit.

2. Pengaruh pada Laju Pertumbuhan Staphylococcus aureus

S. aureus dipilih sebagai mikroba uji karena bakteri ini paling sering

ditemukan pada makanan matang (Buckle et al., 1978). Kontaminasi

S. aureus pada rnakanan biasanya berasal dari tangan, rarnbut, kuku ataupun kulit manusia yang kontak dengan makanan setelah makanan itu

rnengalarni proses pengolahan. Hasil penelitian Martin (1942), Williams

(1946), Martin dan Whitehead (1949), Hare dan Thomas (1956) dan Peterson

(1963) di dalarn Bryan (1976) menunjukkan bahwa S. aureus merupakan

kontarninan yang sering terdapat pada kulit rnanusia.

Gambar 3 memperlihatkan bahwa penghambatan bumbu mentah

terhadap S. aureus lebih baik daripada bumbu turnis. Laju perturnbuhan S. aureus pada bumbu mentah semakin rnenurun dengan rnakin lamanya

waktu kontak. Sebaliknya pada bumbu tumis laju pertumbuhan semakin

meningkat. Perbedaan ini erat kaitannya dengan karakteristik S. aureus yang lebih menyukai makanan yang telah dimasak dibandingkan dengan

rnakanan rnentah. Frazier dan Westhoff (1988) menyatakan bahwa dalam

(34)
(35)
[image:35.602.139.452.91.277.2]

Gambar 3. Laju pertumbuhan S. aureus pada waktu kontak 0, 3,6 dan 24 jam

menekan laju pertumbuhan S. aureus tersebut. Menurut Bowles et al.

(1995), pemanasan ringan terhadap beberapa komponen flavor dapat

memperkuat aktivitas penghambatan S. aureus. Bahkan beberapa fenol diduga masih bersifat aktif meskipun telah dipanaskan 12I0C selama 15

menit (Ruiz-Barba et al., 1991 di dalam Gould, 1995).

Selain itu nilai pH bumbu setelah perlakuan pemanasan yang berkisar

antara 4,6-4,7 (Lampiran 2) diduga mempengaruhi kemampuan antimikroba dalam menghambat. Gould (1995) menyatakan bahwa aktifitas fenol

dipengaruhi oleh nilai pH dan jenis mikroorganisrne uji. Aktivitas senyawa

fenol dapat meningkat dengan adanya beberapa faktor seperti substitusi alkil

dan halogen, semakin panjangnya rantai alifatik dan kondisi media yang

asam atau mempunyai nilai pH yang rendah (Hugo dan Russel, 1981).

(36)

bahwa penghambatan S. aureus oleh ekstrak fenol zaitun lebih tinggi pada sampel yang memiliki pH 4-5.

3. Pengaruh pada Laju Pertumbuhan Bacillus cereus

B. cereus dipilih sebagai mikroba uji karena bakteri ini banyak menimbulkan masalah serius dalam pengolahan makanan, khususnya di tingkat rumah tangga. Bakteri ini adalah bakteri berspora, dengan spora yang tahan panas dan radiasi, sehingga dapat dipastikan tidak akan mati oleh perlakuan pemanasan yang biasa dilakukan di rumah tangga. 5. cereus juga menjadi problem utama pada pangan olahan karena bakteri ini lebih banyak berkembang biak pada makanan yang telah dimasak dan disimpan pada suhu yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan optimum (Gould dan Russel, 1991)

Aktivitas antimikroba pada bumbu tumis lebih efektif terhadap B. cereus daripada bumbu mentah. Dapat dilihat pada Gambar 4 bahwa laju pertumbuhan 5. cereus pada bumbu tumis mengalami penurunan sampai 24 jam waktu kontak. Bahkan penurunan laju ini cukup drastis dalam waktu 3 jam, dengan nilai log Ntllog No sebesar

0,88.

Setelah 3 jam waktu kontak, pertumbuhan menjadi cenderung statis hingga 24 jam waktu kontak.
(37)

Tentunya antimikroba pada bumbu bekerja lebih efektif terhadap jumlah mikroba yang lebih sedikit.

Garnbar 4. Laju pertumbuhan

0.

cereus pada waktu kontak 0 , 3 , 6 dan 24 jam

Aktivitas antirnikroba burnbu tumis setelah diberi perlakuan panas menjadi relatif lebih rendah. Meskipun begitu aktivitas antimikroba bumbu rendang setelah pemanasan lanjut ini masih marnpu menekan perturnbuhan

0.

cereus dengan mempertahankan jumlah mikroba. Setelah waktu kontak 3 jam laju pertumbuhan

B.

cereus pada bumbu yang direbus selama 20

menit mengalami sedikit kenaikan dan kenaikan ini lebih tinggi dari perlakuan yang lain. Setelah waktu kontak 6 jam, baik perlakuan perebusan 10 dan 20 rnenit maupun sterilisasi, komponen antirnikrobanya bersifat bakteristatik terhadap

0.

cereus.
(38)

tertinggal tidak mampu rnenurunkan pertumbuhan B. cereus. Penguapan tersebut diduga lebih banyak terjadi pada perlakuan perebusan selama 20 menit, sehingga menyebabkan nilai log NUlog No pada waktu kontak 24 jam pada perlakuan perebusan 20 menit relatif lebih tinggi dari perlakuan yang lain yaitu 1,05. Selain itu diduga pula karena karakteristik 8. cereus yang merniliki sifat proteolitik (Fardiaz, 1992~), sehingga bakteri ini dapat lebih mudah beradaptasi pada media campuran santan dan ekstrak daging yang kaya akan protein.

Apabila ditinjau dari nilai pH, pH bumbu rendang pada berbagai perlakuan berkisar antara 4,6-4,9 (Lampiran 2). Nilai ini tidak terlalu dapat menghambat, karena B. cereus masih dapat tumbuh pada kisaran pH 4,9 sampai 9,3 (Fardiaz, 1992").

(39)

mikroba tertentu. Selain itu perbedaan pola pertumbuhan kedua bakteri tersebut kernungkinan terjadi pula karena S. aureus merniliki pengamh antagonis terhadap perturnbuhan Bacillus sp. (Fardiaz, 199Za)

Burnbu rendang yang digunakan dalarn penelitian ini memiliki konsentrasi cabe merah sebesar 60%, yang menurut Edy (1998) rnerupakan konsentrasi optimum dalam rnenghambat flora rnikroba sistem pangan dan

(40)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Perlakuan pemanasan yang berbeda pada bumbu rendang memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap antimikroba bumbu dan mikroba yang dapat dihambat. Dibandingkan dengan bumbu rendang rnentah, bumbu yang sudah ditumis memiliki daya antimikroba yang lebih bagus terhadap pertumbuhan B. cereus, namun tidak terhadap pertumbuhan total mikroba maupun S. aureus. Nilai log Nt/log No laju perturnbuhan B. cereus dalam bumbu rendang turnis pada 24 jam waktu kontak adalah 0,87 dan dalam bumbu rendang mentah adalah 1,03. Sedangkan untuk total mikroba dan S. aureus dalam bumbu rendang tumis adalah 1,14 dan dalam bumbu rendang mentah sebesar 1,10 dan 0,71.

Aktivitas antimikroba bumbu rendang turnis yang mengalami pemanasan lanjut menjadi lebih baik dalam menghambat pertumbuhan total mikroba dan S. aureus dengan nilai log Ntllog No yang berkisar antara 0,66-1,00, sedangkan antimikroba ini hanya bersifat bakteristatik terhadap pertumbuhan B. cereus.

(41)

6 . SARAN

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khayat, M.A. dan G. Blank. 1985. Phenolic spice components sporostatics to Bacillus subtilis. J. Food Sci. 50:971-974

Anonim. 1981. Daflar Komposisi Bahan Makanan. Penerbit Bhratara Kaiya Aksara. Jakarta.

Apriyantono, A,. D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, S. Yasni dan S. Budiyanto. 1989. Penuntun Praktikum Analisa Pangan. IPB Press. Bogor.

Bowles, B.L., S.K. Sackitey dan A.C. Williams. 1995. Staphylococcus aureus WRRC B124. J. Food Safe. $5337-347.

Branen, A.L. 1993. Introduction to use of antimicrobials. Di dalam : A.L. Branen dan P.M. Davidson (eds). Antimicrobial in Foods. 2"d ed. Marcel Dekker Inc.

New York.

Biyan, F.L. 1976. Staphylococcus aureus. Di dalam : M.P. Defigueiredo dan D.F. Splittstoesser (eds). Public Heath and spoilage Aspects. The AVI Publ. Co. Inc. Westport, Connecticut.

Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton. 1978. llmu Pangan. H. Purnomo dan Adiono (Penterjemah). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Conner, D.E. dan L.R. Beuchat. 1984. Sensitivity of heat stressed yeast to essential oils of plants. Appl. Environ. Microbiol. 47(2) : 229-233.

Dewanti, R. 1984. Pengaruh Bubuk Cabe Merah (Capsicum annum) terhadap Pertumbuhan Beberapa Bakteri Penyebab Kerusakan Pangan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

Djarkasi. G.S.S. 1995. Studi Pengawetan Pasta Santan Kelapa. Tesis KPK iPB, Unsrat, Manado.

Edy. g998. Pengaruh Konsentrasi Cabai Merah (Capsicum annum L.) dalam Bumbu Rendang Terhadap Pertumbuhan Mikroba. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

J ~ l e y , A.R. 1992. Toxic Bacterial of Food Poisoning. Di dalam : A.R. Eley (ed). Microbiol Food Poisoning. Chapman and Hall. London.

(43)

J Fardiaz, S. 1983. Kearnanan Pangan Jilid 1:Bakteriologi. Jurusan llrnu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

Fardiaz, S. 1985. Mernpelajari Sifat Antimikroba dari Bubuk Rirnpang Kunyit dalarn Usaha Pendayagunaannya Sebagai Bahan Pengawet Alarni pada Makanan. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

Fardiaz, S. 1989. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB. Bogor.

Fardiaz, S. 1992". Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. PAU Pangan dan Gizi, IPB. Bogor.

Fardiaz, S. 1992~. Mikrobiologi Pangan

1.

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fardiaz, S. 1996. Prinsip HACCP dalam lndustri Pangan. Jurusan Teknologi

Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

dFrazier, W.C. dan D.C. Westhoff. 1988. Food Microbiology.

4th

ed. Mc Graw-Hill Book Co. Inc. New York.

JGiffel, M. C., R.R Beurner, S. Leijendekkers dan F. M. Rornbouts. 1996. Incidence of Bacillus cereus and Bacillus subtilis in foods in the Netherlands. J. Food Microbiol. 13, 53-58.

Gould, G.W. dan N.J. Russel. 1991. Major food poisoning and food spoilage microorganisms. Di dalarn : G.W. Gould dan N.J. Russel (ed). Food Preservatives. Blackie and Son Ltd. London.

Gould, G.W. 1995. New Methods of Food Preservatives. Blackie Academic and Professional. London.

Hagenmeier, R. 1973: Aqueous processing of fresh coconut for recovery of oil and coconut skim milk. J. Food Sci. 38516.

Harjono, K. 1992. Daya Antimikroba Bumbu Rendang terhadap Aktivitas Beberapa Bakteri Entercipatogenik. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor. Hitokoto, H. M. Satoshi, W. Tonoaki, S. Senzo dan K. Hiroshi. 1980. Inhibitory

effects of spices on growth and toxin production of toxigenic fungi. Appl. And Environ. Microbiol. 39:818-822.

Hugo, W. B. dan A.D. Russel. 1981. Pharmaceutical Microbiology. Blackwell Scientifis Publ, Oxford.

(44)

Klindworth, K.J., P.M. Davidson, C.J. Brekke dan A.L. Branen. 1979. Inhibition of Closfridium perfringens by butylated hydroxyanisole. J. Food Sci. 44(2):564- 567.

Mainofri. 1990. Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan terhadap Mutu Rendang Daging Sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

Mulia, P.I. 1995. Perubahan Mutu Santan Kelapa (Cocos nucifera L.) dalam Kemasan Retort Pouch Selama Penyimpanan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

Muller, H.G. dan G. Tobin. 1980. Refrigeration, heat treatment and dehidration. Di dalam : Nutrition. and Food Processing. AVI Publishing company lnc, Westport. Connecticut.

Pelczar, M.J. dan R.D. Reid. 1979. Microbiology. Mc Graw HillBook, Co. New York.

Prindle, R.F. dan E.S. Wright. 1971. Phenolic compound. Di dalam ; A. Lawrence dan S.S. Block (ed). Desinfection, Sterilization and Preservation. Lea and Febringer. Philadelphia.

Pruthi, J.S. 1980. Spices and Condiment : Chemistrty, Microbiology and Technology. Academic Press. New York.

Purwaningsih, A.L. 1998. Aktivitas Antimikroba Bumbu Masakan Tradisional Hasil Olahan lndustri terhadap Bakteri Patogen dan Perusak. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

Shelef. L.A. 1983. Antimicrobial effects of spices. J. Food Safe. 6:29-40.

Silliker, J.H., R.P. Elliot, A.C. Baird Parker, F.L. Bryan, J.H.B. Christian, D.S. Clark, J.C. Olson dan T.A. Roberts. 1980. Microbial Ecology of Foods. Vol. I. Academic Press. New York.

Soeparno. 1992. llmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Thomas, P.R. 1984. Mempelajari Pengaruh Bubuk Rempah-rempah terhadap Pertumbuhan Kapang Aspergillus flavus Link. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

Ting, E.W.T. dan K.E. Deibel. 1992. Sensitivity of Listeria monocyfogenes to spices at two temperatures. J. Food Safe. 12:129-137.

(45)
(46)

Lampiran 1. Perhitungan konsentrasi burnbu rendang

# Bumbu Mentah

Kadar air = 80,10 % (berat air) = 19,90 % (berat bahan)

Dalarn penelitian ini, sistem pangan yang digunakan adalah 50 ml dan bumbu yang harus ditambahkan sebesar 18 % (bk).

Jadi berat bumbu yang dibutuhkan adalah :

50 x

18

x

100

=

45,23 gram 100 19.90

# Bumbu Tumis

kadar air

=

5333 % (berat air)

=

46,47 % (berat bahan)

Berat bumbu yang dibutuhkan adalah :

(47)

Lampiran 2. Nilai pH bumbu pada berbagai perlakuan

Keterangan : nilai pH diukur dari sampel yang terdiri dari 4 ml sistem pangan

ditambah 18 % bumbu (bk) . .

Lampiran 3. Data awal kualitas mikrobiologi bumbu rendang mentah dan tumis

(48)
(49)
(50)
(51)

P e d i c h d

to

:

ores

w b

never 3iop lovinq

ad

prainq me

and

Away5 qive me 'chicken m p for the mi'

( mma,

pqa. my sister,

Kathdim

atd

ail

o f my mojlem brothers

ad

sisters)
(52)

PENGARUH PEMANASAN BUMBU RENDANG TERHADAP AKTIVITAS

ANTlMlKROBA PADA Sfaphylococcus aureus DAN Bacillus cereus

Oleh

ASlH KATRINA

F02495018

2000

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(53)

Asih Katrina. F02495018. PENGARUH PEMANASAN BUMBU RENDANG TERHADAP AKTIVITAS ANTlMlKROBA PADA Sfaphylococcus aureus DAN Bacillus cereus. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu. MS.

. .

. . RINGKASAN

Rendang merupakan makanan tradisional yang berasal dari daerah Sumatra Barat (Minangkabau). Makanan ini tidak hanya digemari di daerah asalnya, namun juga telah dikenal dan digemari oleh sebagian masyarakat Indonesia karena

kekhasan rasa dan keawetannya.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Edy (1998) dihasilkan bahwa bumbu rendang yang memiliki efek penghambatan optimal adalah yang mengandung 60% cabe merah. Namun belum diketahui apakah bumbu tersebut masih efektif bila telah dipanaskan. Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemanasan, yaitu penurnisan (80°C selama 15 menit), perebusan bumbu tumis (100°C) selama 10 dan 20 menit serta sterilisasi menggunakan otoklaf (121°C selama 15 menit) terhadap aktivitas antimikroba bumbu pada bakteri penyebab keracunan S. aureus dan B. cereus.

Penelitian ini menggunakan bumbu rendang yang dibuat sendiri menurut formulasi Edy (1998), dengan konsentrasi cabe merah sebesar 60%. Bumbu rendang dicampurkan dengan sistem pangan yang terdiri dari ekstrak daging dan santan kelapa (l:lv/v) sebanyak 18% (bk). Campuran ini dikontakkan dengan S. aureus dan

B.

cereus yang diuji ketahanannya terhadap bumbu. Pengamatan dilakukan setiap 0, 3, 6 dan 24 jam waktu kontak, dengan cara menumbuhkannya pada cawan dengan menggunakan media Plate Count Agar, Vogel Johnson Agar dan Mannitol Egg Yolk Polymixin. Laju pertumbuhan bakteri dihitung dengan rumus log Nulog No (Ntjumlah bakteri pada waktu t; No=jumlah bakteri pada waktu 0). Analisis lain yang dilakukan adalah pengukuran pH, kadar air dan kondisi mikrobiologi awal bumbu rendang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan yang berbeda pada bumbu rendang memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap antimikroba bumbu dan mikroba yang dapat dihambat. Dibandingkan dengan bumbu rendang mentah, bumbu yang sudah ditumis memiliki daya antimikroba yang lebih bagus terhadap pertumbuhan 8. cereus, namun tidak terhadap pertumbuhan total mikroba maupun S. aureus. Nilai log Ntllog No laju pertumbuhan B. cereus dalam bumbu rendang tumis pada 24 jam waktu kontak adalah 0,87, sedangkan untuk total mikroba dan S. aureus adalah 1,14.

Aktivitas antimikroba bumbu rendang tumis yang mengalami pemanasan lanjut menjadi lebih baik dalam menghambat pertumbuhan total mikroba dan S. aureus dengan nilai log Ntllog No yang berkisar antara 0,66-1.00, sedangkan antimikroba ini hanya bersifat bakteristatik terhadap pertumbuhan

B.

cereus, dengan
(54)

PENGARUH PEMANASAN BUMBU RENDANG TERHADAP AKTIVITAS

ANTIMIKROBA PADA Staphylococcus aureus DAN Bacillus cereus

SKRlPSl

Sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi

Fakuitas Teknologi Pertanian

lnstitut Pertanian Bogor

Oleh

ASlH KATRINA

F02495018

2000

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(55)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH PEMANASAN BUMBU RENDANG TERHADAP AKTlVlTAS ANTIMlKROBA PADA Staphylococcus aureus DAN Bacillus cereus

SKRlPSl

Sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi

Fakultas Teknologi Pertanian lnstitut Pertanian Bogor

Oleh ASlH KATRINA

(56)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya untuk Allah SWT yang telah melimpahkan karunia, kasih sayang dan pertolongan-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, lnstitut Pertanian Bogor.

Skripsi ini berjudul Pengaruh Pemanasan Bumbu Rendang Terhadap Aktivitas Antimikroba Pada Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus, yang ditulis berdasarkan penelitian penulis yang berlangsung sepanjang bulan Maret sampai Oktober 1999.

Selama penelitian, penulisan skripsi maupun selama studi, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak . Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS sebagai dosen pembimbing atas bimbingan, saran dan bantuan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian maupun penulisan skripsi

2.

Ibu Alm. Prof. Dr. Ir. Srikandi Fardiaz, MSc. atas masukan dan saran kepada penulis, khususnya pada awal penelitian

3. Ibu Dra. Suliantari, MS dan lr. Nanan Nurjannah sebagai dosen penguji yang banyak memberi masukan kepada penulis

4. My beloved Ma, Pa dan dik Betty atas dukungan, kasih sayang dan doa yang selalu tercurah kepada penulis

(57)

6. Sista, Nanik, Mbak Husni dan Slamet yang tergabung dalam Tim Bumbu Plus atas persaudaraan yang indah selama penelitian

7. Rekan-rekan seperjuangan di Lab. Mikrobiologi PAU, Tifah, Nani, Ical, Icung, Fajar. Dini, Trisna, M' Dewi, Nawi, Boim, Pak Rizal, Bu iin, Bu Lilik dan lain-lain atas kebersamaan yang sangat mengesankan

8. M' Ari, Bi Omah, M' Mar, T' Epa, Pak Taufik dan Pak Moel atas bantuan yang tulus kepadti penulis

9. Seluruh rekan TPG 32, terutama Rida, Rina, Usan, Rida N, Wiga, Yan Ika, Meity dan Golongan A atas persahabatan dan kekompakan dalam meniti langkah selama studi

10. Seluruh penghuni Wisma Nabila, terutama M' Dyah, M' Nieng, M' Adha, Uun dan lndul atas persaudaraan yang manis selama ini

11. Putri, Nadhira, Kintari, Fikar, Igfar, Irma, Mayang, Arin, Ega, Randha dan Dara yang memberikan hiburan tersendiri bagi penulis

12. Teman kecilku, Lilis dan Rohani

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu rnemberikan sernangat dan perhatian kepada penulis

Sernoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan para pembacanya.

Bogor, 15 Desember 1999

(58)

DAFTAR

IS1

Halaman KATA PENGANTAR

...

I DAFTAR IS1

...

iii DAFTAR TABEL

...

v DAFTAR GAMBAR

...

V

...

DAFTAR LAMPIRAN v

I

.

PENDAHULUAN

...

1 II . TINJAUANPUSTAKA

...

3 A . AKTlViTAS ANTIMIKROBA DAN MEKANISMENYA

...

3

...

.

B AKTlVlTAS ANTIMIKROBA BUMBU RENDANG 4

C

.

PEMANASAN

...

5

...

D

.

KARAKTERISTIK Staphylococcus aureus 6

E . KARAKTERISTIK Bacillus cereus

...

7 F . SANTAN KELAPA DAN DAGING

...

9

...

.

Ill METODOLOGI PENELlTlAN 11

.

...

A BAHAN 11

...

B

.

ALAT 12

C

.

METODE

...

13 1 . Persiapan Bumbu Rendang dan Sistem Pangan

...

13 2

.

Analisis Data Dasar Bumbu

...

14

3

.

Penentuan Aktivitas Antirnikroba Bumbu Rendang
(59)

IV

.

HASIL DAN PEMBAHASAN

...

A

.

KONDlSl AWAL BUMBU RENDANG

...

B . PENGARUH PEMANASAN TERHADAP AKTlVlTAS

ANTlMlKROBA BUMBU RENDANG

...

1 . Pengaruh pada Laju Perturnbuhan Total Mikroba

...

2 . Pengaruh pada Laju Perturnbuhan S . aureus

...

3 . Pengaruh pada Laju Perturnbuhan B

.

cereus

...

V . KESIMPULAN DAN SARAN

...

A

.

KESIMPULAN

...

...

.

B SARAN

(60)

DAFTAR TABEL

[image:60.602.81.506.100.685.2]

Halaman

Tabel 1. Komposisi bumbu dasar untuk membuat bumbu rendang

...

13

Tabel 2. Komposisi rempah-rempah dalam pembuatan bumbu rendang.. 13

Tabel 3. Kadar air dan nilai pH bumbu rendang

...

18

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kondisi mikrobiologi awal bumbu rendang

...

19

Gambar 2. Laju Pertumbuhan total mikroba

...

21

Gambar 3. Laju Pertumbuhan S. aureus

...

25

Gambar 4. Laju Pertumbuhan

6.

cereus ...

...

27

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Larnpiran 1. Perhitungan konsentrasi bumbu rendang

...

35

Lampiran 2. Nilai pH bumbu rendang dengan berbagai perlakuan

...

36

Lampiran 3. Data awal kualitas mikrobiologi bumbu rendang mentah dan tumis

...

36

Lampiran 4. Pertumbuhan total mikroba pada bumbu rendang mentah dan bumbu rendang dengan pemanasan

...

37

Lampiran 5. Pertumbuhan S. aureus pada bumbu rendang mentah dan burnbu rendang dengan pemanasan

...

38

Gambar

Tabel 1. Komposisi bumbu dasar untuk membuat bumbu rendang .......... 13
Tabel 1. Komposisi bumbu dasar untuk membuat bumbu rendang
Tabel 3. Kadar air dan nilai pH bumbu rendang
Gambar 2. Laju pertumbuhan total mikroba pada waktu kontak 0, 3, 6 dan 24 jam
+3

Referensi

Dokumen terkait

Keputusan Menteri Keuangan Republik lndonesia Nomor 2791KMK.05/2008 tentang Penetapan Universitas Negeri Malang pada Departemen Pendidikan Nasional sebagai lnstansi

Secara substansi, kebutuhan manusia akan air harus memadai dari aspek kuantitas, kualitas, dan kontinuitas (kerkesinambungan). Pada sekitar 20 tahun terakhir,

Beasiswa ini diperuntukkan bagi program pascasarjana, dan diberikan pada kandidat terbaik, dari negara-negara yang mempunyai hubungan kerjasama dengan negara Selandia

Website E-Learning saat ini sudah banyak digunakan pada dunia pendidikan, baik sekolah tingkat atas hingga perguruan tinggi.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk merancang dan membangun aplikasi yang dapat dijadikan sebagai media panduan pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan berbasis

Bila dilihat dari hasil analisis yang telah dilakukan kegiatan leveling dengan menggunakan metode modified minimum moment terhadap tukang batu merupakan kegiatan

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu tidak terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas dan lingkar pinggang dengan kejadian proteinuria pada pasien diabetes melitus