• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Pemikiran

Areal Konservasi IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti merupakan bagian dari ekosistem hutan gambut Semenanjung Kampar yang menjadi habitat bagi beruang madu. Kawasan ini berada di dalam area konsesi PT. RAPP di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Hutan alam di Semenanjung Kampar yang telah banyak dikonversi menjadi hutan tanaman mengakibatkan timbulnya ancaman bagi kelestarian beruang madu serta tumbuhan dan satwa liar lainnya karena kualitas dan kuantitas habitat mereka semakin menurun.

Tingginya permintaan pasar akan produk kayu dan turunannya menyebabkan meningkatnya kebutuhan pasokan bahan baku pulp dan kertas sementara lahan yang terbatas menyebabkan perusahaan pengusahaan hutan tersebut memperluas konsesinya. Akibatnya, terjadilah konflik yang melibatkan masyarakat sekitar, pemerintah serta para konservasionis yang ingin mempertahankan kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi. Langkah yang dapat ditempuh untuk mengakomodir kebutuhan para pihak yang terkait tersebut yaitu dengan cara menetapkan sejumlah kawasan di areal konsesi menjadi kawasan lindung.

Estate Meranti digunakan sebagai habitat oleh beruang madu karena dapat menyediakan kebutuhan dasar hidupnya berupa pakan, air, cover serta berbagai komponen fisik dan abiotik lainnya. Setiap tipe habitat di Estate Meranti memiliki komponen penyusun yang berbeda-beda sehingga tidak seluruhnya digunakan oleh beruang madu sebagai habitat. Penilaian lingkungan, baik yang berkorelasi secara langsung maupun yang tidak langsung terhadap habitat tersebut perlu diketahui untuk menjaga ketahanan populasi. Oleh karena itu perlu dikaji lebih dalam faktor apa saja yang mempengaruhi penggunaan habitat oleh beruang madu di Estate Meranti sehingga dapat diketahui bentuk pengelolaan yang sesuai. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Waktu dan Lokasi

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2012. Penelitian berlokasi di Areal Konservasi IUPHHK-HTI, PT Riau Andalan Pulp and Paper, Estate Meranti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2. Lokasi transek terletak di kawasan lindung sempadan Sungai Kutup sebanyak 2 petak, S. Turip 7 petak, S. Serkap 4 petak, S. Sangar 2 petak, Tanjung Bunga 2 petak dan Tg. Rimba 2 petak.

10

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Estate Meranti Habitat beruang madu Populasi beruang madu Habitat yang digunakan SEMENANJUNG KAMPAR

Hutan Tanaman Hutan Alam Konversi hutan alam menjadi hutan tanaman Faktor dominan habitat penduga keberadaan beruang madu Faktor abiotik: kedalaman gambut, jarak jejak dari jalan, sungai dan kawasan produksi

Faktor biotik: - struktur &

komposisi vegetasi - bentuk, posisi, dan

penutupan tajuk pohon

Manajemen habitat dan populasi

Kelestarian populasi dan habitat beruang madu

Penggunaan ruang oleh beruang madu di Estate Meranti

11

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Global

Positioning System (GPS), binokuler, kamera digital SLR, jam, peta kawasan,

peta penutupan lahan, peta kedalaman gambut, peta sungai, peta jalan, kompas, haga altimeter, tali rapia, pita meter, rol meter, tally sheet, perlengkapan pembuatan herbarium (kertas koran, kantung plastik besar, kantung plastik 40x60cm, tali plastik, staples, label gantung, spidol permanen, alkohol 70%), panduan pertanyaan wawancara serta seperangkat komputer. Piranti lunak yang digunakan dalam pengolahan data yaitu ArcView 3.3, AutoCad 2006, SPSS 16 dan Microsoft Office.

Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data yang berhubungan dengan keberadaan beruang madu, karakteristik habitat, penggunaan ruang dan faktor dominan habitat penentu keberadaan beruang madu meliputi komponen biotik (jenis, komposisi, struktur vegetasi, bentuk tajuk, posisi tajuk, penutupan tajuk, profil pohon), komponen abiotik (kedalaman gambut, jarak dari jalan, sungai dan kawasan produksi). Keberadaan beruang diketahui dengan perjumpaan tidak langsung melalui jejak cakaran, koyakan dan tapak kaki.

12

Metode Pengumpulan Data

Teknik penarikan unit contoh yang dilakukan adalah teknik penarikan contoh acak berlapis (Stratified Random Sampling) dengan intensitas sampling 0.1%. Luas areal pengamatan adalah 8.84 ha. Luas 1 petak contoh adalah 0.52 ha dengan jumlah petak contoh yaitu 17. Areal Konservasi Estate Meranti yang dijadikan lokasi pengamatan dibedakan berdasarkan variasi lokal vegetasi penyusunnya, yaitu hutan tiang tinggi (Tall Pole Forest/TPF) dan hutan transisi (Transition TPF-MPSF/TRF). Tipe vegetasi TPF dicirikan dengan ukuran pohon-pohon penyusunnya relatif kecil, tajuk pohon-pohon yang tinggi dan relatif rata dengan tinggi pohon antara 25-35 m, serta kanopi hutannya hanya terdiri atas 2-3 lapis saja dan umumnya memiliki diameter pohon berkisar antara 20-30 cm. Tipe vegetasi TRF merupakan hutan yang sedang mengalami proses peralihan dari hutan rawa gambut campuran menjadi hutan tiang tinggi. Hutan rawa gambut campuran memiliki ciri umum jenis campuran yang didominasi tajuk tinggi dan tidak rata dengan ketinggian pohon berkisar antara 30-40 m dan diameter >30 cm. Kerapatan hutan cukup tinggi dengan kanopi hutan yang terdiri dari beberapa lapisan (TIIP 2010a).

Metode yang digunakan untuk memperoleh data dan informasi mengenai penggunaan ruang beruang madu adalah sebagai berikut:

a. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi awal mengenai keberadaan beruang madu di Estate Meranti. Informasi tersebut berupa tipe habitat dan lokasi ditemukannya beruang madu baik secara langsung maupun tidak langsung. Hasil wawancara menjadi acuan sebelum melakukan survey lapang serta peletakan petak pengamatan. Responden dalam wawancara yaitu masyarakat sekitar Estate Meranti, staf lapang dan pengelola Estate Meranti.

b. Transek jalur

Transek jalur merupakan suatu metode pengamatan populasi satwaliar melalui pengambilan contoh dengan bentuk unit contoh berupa jalur dengan panjang dan lebar jalur pengamatan ditentukan terlebih dahulu (Kartono 2000). Jalur pengamatan ditentukan sepanjang 260 m dan lebar jalur 20 m. Transek jalur dilakukan untuk mengetahui lokasi keberadaan beruang madu. Bentuk dari transek jalur pengamatan beruang madu disajikan pada Gambar 3.

Keterangan: O = posisi pengamat; BM = posisi beruang madu

13

Cara pengambilan data dengan transek jalur yaitu:

1) Menempatkan sejumlah transek jalur secara sistematis. Jalur transek pertama ditentukan secara acak. Jalur ditempatkan di setiap tipe variasi lokal vegetasi.

2) Menggambarkan letak setiap jalur pada peta kerja.

3) Menentukan arah lintasan pengamatan dengan menggunakan kompas sehingga tidak berpotongan dengan jalur transek lain.

4) Berjalan sesuai jalur pengamatan sembari mengumpulkan dan mencatat data jenis perjumpaan (cakaran/tapak/koyakan), mengambil koordinat lokasi perjumpaan, menuliskan keterangan selengkap mungkin tentang kontak/perjumpaan tersebut pada tally sheet.

c. Analisis vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi di lokasi pengamatan. Metode analisis vegetasi yang dilakukan adalah metode garis berpetak sebagaimana disajikan pada Gambar 4. Ketentuan ukuran petak contoh untuk tingkat semai (tinggi <1.5 m) 2 m x 2 m, tingkat pancang (diameter <10 cm dengan tinggi >1.5 m) 5 m x 5 m, tingkat tiang (diameter 10-20 cm) 10 m x 10 m dan tingkat pohon (diameter >20 cm) 20 m x 20 m (Soerianegara & Indrawan 2005). Jalur yang dibuat sepanjang 260 m dengan lebar 20 m.

Keterangan : A = Petak contoh pohon (20x20) m2 B = Petak contoh tiang (10x10) m2 C = Petak contoh pancang (5x5) m2 D = Petak contoh semai (2x2) m2

Gambar 4 Metode garis berpetak

d. Observasi lapang: dilakukan untuk mengambil data dan informasi mengenai kondisi fisik dan biotik habitat beruang madu dari variabel-variabel yang diamati. Metode ini juga dilakukan untuk mengambil data spasial berupa titik-titik koordinat perjumpaan beruang madu untuk kemudian diolah dengan ArcView. Data yang diambil dibedakan menjadi :

1) Komponen biotik

Komponen biotik yang diamati dalam penelitian ini yaitu struktur dan komposisi vegetasi, bentuk, posisi dan penutupan tajuk serta profil pohon. Data ini diambil untuk mengetahui gambaran kondisi habitat beruang madu dari petak contoh pengamatan yang dibuat, meliputi kerapatan, frekuensi dan dominansi suatu jenis, khususnya vegetasi pakan. Bentuk dan posisi tajuk pohon diukur berdasarkan klasifikasi Dawkins (1958) disajikan pada Gambar

14

5 dan Gambar 6. Tajuk pohon ditentukan berdasarkan observasi lapang kemudian dibedakan berdasarkan klasifikasi Dawkins tersebut. Posisi tajuk pohon ditentukan berdasarkan posisi tajuk dalam menerima cahaya matahari yang datang dari atas.

Gambar 5 Klasifikasi bentuk tajuk pohon menurut Dawkins (1958)

Penutupan tajuk rata-rata (average canopy cover) diduga berdasarkan jumlah vegetasi berdiameter ≥ 10cm yang ada pada petak seluas 100m2

. Klasifikasi penutupan tajuk pohon yang digunakan menggunakan klasifikasi dari Augeri (2005) seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi penutupan tajuk pohon (Augeri 2005) Jumlah Pohon % Geographic Coverage Skor

0 0% 0

1-1.2 1-25% 1

1.3-2.4 26-50% 2

2.4-3.5 51-75% 3

15

Gambar 6 Klasifikasi bentuk posisi tajuk pohon menurut Dawkins (1958)

2) Komponen abiotik

Data komponen abiotik yang dikumpulkan yaitu kedalaman gambut, jarak lokasi perjumpaan beruang terhadap sungai, jalan dan kawasan produksi. Jarak lokasi perjumpaan beruang diukur untuk kemudian dianalisis hubungan dan pengaruh setiap komponen tersebut terhadap keberadaan beruang. Data kedalaman gambut diperoleh dengan cara mengambil koordinat GPS lokasi kemudian melihat informasi kedalaman gambut dari koordinat tersebut dengan menggunakan peta kontur kedalaman gambut. Data kedalaman gambut digunakan untuk mengidentifikasi kemampuan beruang madu dalam berpindah atau mobilisasi. Data jarak jejak dari sungai, jalan dan kawasan produksi diketahui dengan cara mengukur jejak beruang yang ditemukan terhadap tepi sungai, jalan dan kawasan produksi terdekat secara tegak lurus.

3) Faktor dominan habitat

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data keberadaan beruang madu melalui perjumpaan langsung maupun tidak langsung (tapak, cakaran, kotoran, sisa pakan), kondisi vegetasi dan beberapa faktor fisik dan biotik di habitat tersebut. Jenis, variabel dan sumber data yang diamati disajikan pada Tabel 2.

16

Tabel 2 Jenis, variabel dan sumber data

No Jenis Data Variabel Sumber Data

1 Frekuensi perjumpaan jejak Y Observasi lapang 2 Kerapatan vegetasi X1 Pengukuran di lapangan 3 Bentuk tajuk pohon

X2

Observasi lapang & klasifikasi Dawkins (1958)

4 Posisi tajuk pohon

X3

Observasi lapang & klasifikasi Dawkins (1958)

5 Penutupan tajuk rata-rata X4 Klasifikasi Augeri (2005) 6 Jumlah individu pohon X5 Analisis vegetasi

7 Jumlah jenis pohon X6 Analisis vegetasi 8 Jumlah individu pohon pakan X7 Analisis vegetasi 9 Jumlah jenis pohon pakan X8 Analisis vegetasi 10 Kedalaman gambut

X9

Peta kedalaman gambut (TIIP 2010a)

11 Jarak dari jalan X10 Peta kawasan 12 Jarak dari sungai X11 Peta kawasan 13 Jarak dari kawasan produksi X12 Peta kawasan

e. Pembuatan herbarium: dilakukan terhadap jenis-jenis vegetasi yang belum bisa teridentifikasi di lapangan. Tahapan dalam pembuatan herbarium di lapangan adalah sebagai berikut (Bridson & Forman 1998, Rugayah 2004): 1) Pengumpulan material herbarium. Material herbarium yang lengkap

mengandung ranting, daun muda dan tua, kuncup, bunga muda dan tua yang mekar, serta buah muda dan tua.

2) Pencatatan data tumbuhan dengan menggunakan buku catatan atau tally

sheet.

3) Pembuatan label gantung yang diikat pada material herbarium. Satu label untuk satu spesimen. Pada setiap label gantung ditulis kode (singkatan nama), kolektor, nomor koleksi, nama lokal tumbuhan yang dikumpulkan tersebut.

4) Pengolahan dan pengawetan dengan metode pengeringan bertahap. Material herbarium dicelup terlebih dahulu di dalam air mendidih sekitar 3 menit kemudian dimasukkan ke dalam lipatan kertas koran. Lipatan kertas koran berisi material herbarium tersebut selanjutnya ditumpuk, di press lalu dijemur atau dikeringkan di atas tungku pengeringan. Pengeringan harus segera dilakukan karena jika terlambat akan mengakibatkan material herbarium rontok daunnya dan cepat menjadi busuk.

5) Identifikasi material herbarium. Material herbarium diidentifikasi taksonominya (spesies, genus, famili, ordo) baik dengan cara mencocokkan spesimen dengan buku panduan lapang tumbuhan maupun di lembaga ahlinya seperti Herbarium Bogoriense LIPI.

f. Pemetaan diagram profil habitat: dilakukan untuk mengetahui struktur vegetasi dari suatu habitat. Hasil pemetaan ini dapat memberikan gambaran

17

mengenai bentuk penggunaan ruang oleh beruang madu secara vertikal. Vegetasi yang dijadikan unit contoh yaitu pohon. Profil pohon ditentukan dengan cara mengukur dan mencatat jenis, diameter, tinggi bebas cabang, tinggi total, tinggi tajuk, lebar tajuk dan posisi pohon dalam petak contoh berukuran 100 m x 20 m. Pembuatan diagram profil habitat dilakukan dengan menggunakan AutoCad 2006.

Analisis Data

Analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Analisis keberadaan beruang madu

Keberadaan beruang madu berupa frekuensi total dari perjumpaan jejak cakaran, koyakan dan tapak kaki yang ditemukan. Data sebaran populasi beruang madu tersebut disajikan dalam bentuk gambar dan tabulasi serta dianalisis secara deskriptif kualitatif. Data sebaran populasi juga dianalisis secara spasial dan disajikan dalam bentuk peta.

2. Analisis komponen biotik habitat

a. Analisis komposisi dan dominansi jenis vegetasi

Hasil analisis vegetasi digunakan untuk mengetahui komposisi jenis dan dominansi. Dominansi suatu jenis pohon ditunjukkan dalam besaran indeks nilai penting (INP). Untuk tingkat tiang dan pohon, INP merupakan penjumlahan nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR) dan dominansi relatif (DR). Persamaan yang digunakan untuk perhitungan besaran-besaran tersebut adalah sebagai berikut (Soerianegara & Indrawan 2005):

Kerapatan suatu jenis = Kerapatan relatif (KR) =

x 100%

Frekuensi suatu jenis =

Frekuensi relatif (FR) = x 100%

Dominansi suatu jenis =

Dominansi relatif (DR) = x 100% Luas bidang dasar suatu jenis = ¼ π d2

INP (tiang dan pohon) = KR + FR + DR INP (semai dan pancang) = KR + FR

18

b. Analisis keanekaragaman jenis vegetasi

Kekayaan jenis vegetasi diketahui dengan menggunakan pendekatan Indeks kekayaan Margalef (Krebs 1978) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Dmg

=

Keterangan : Dmg = indeks kekayaan Margalef S = jumlah jenis yang teramati

N = jumlah total individu yang teramati

Kelimpahan jenis vegetasi diketahui dengan menggunakan pendekatan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (Krebs 1978) dengan menggunakan persamaan:

H’ = - Σ pi . ln pi

Keterangan : H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener

Pi = proporsi jumlah individu ke-i dengan seluruh jenis (ni/N)

Indeks keanekaragaman (H’) terdiri dari beberapa kriteria yaitu (Latupapua 2011): H’ > 3.0 : tingkat keanekaragaman sangat tinggi

1.5<H’≤3.0 : tingkat keanekaragaman tinggi 1.0<H’≤1.5 : tingkat keanekaragaman sedang H’≤1.0 : tingkat keanekaragaman rendah

Untuk mengetahui tingkat kemerataan jenis vegetasi digunakan pendekatan Indeks Kemerataan Pielou 1975 (Magurran 1988) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

J’ =

; Dmax = ln S

Keterangan : J’ = nilai evennes (0-1)

H’ = indeks keragaman Shannon-Wiener S = jumlah jenis

3. Analisis komponen abiotik habitat

Komponen abiotik habitat yang akan dianalisis terdiri dari kedalaman gambut, jarak jejak dari jalan, sungai dan kawasan produksi. Komponen-komponen tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif.

4. Analisis penggunaan ruang beruang madu

Untuk mengetahui hubungan antara frekuensi perjumpaan beruang madu pada tiap peubah digunakan uji Chi-square. Maksud dan tujuan dari pengujian ini adalah membandingkan antara fakta yang diperoleh berdasarkan hasil observasi dengan fakta yang didasarkan secara teoritis atau yang diharapkan. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Walpole 1992) :

19

= ∑

( )

Keterangan : x2 = chi square hitung

o = frekuensi data yang diperoleh dari observasi e = frekuensi data yang diharapkan secara teoritis

Hipotesis yang dibangun adalah :

H0 : Tidak ada faktor yang mempengaruhi beruang dalam penggunaan ruang

H1 : Terdapat faktor yang mempengaruhi beruang dalam penggunaan ruang

Keputusan yang diambil adalah :

a. Jika x2 hitung ≤ x2(0.05,k-1), maka terima H0 artinya tidak terdapat faktor yang mempengaruhi penggunaan ruang beruang madu

b. Jika x2 hitung > x2(0.05,k-1), maka tolak H0 artinya terdapat faktor yang mempengaruhi beruang dalam penggunaan ruang

5. Analisis faktor dominan habitat

Penentuan faktor-faktor yang dominan terhadap keberadaan beruang madu diperoleh dengan cara menganalisis variabel bebas dan tidak bebas menggunakan analisis faktor. Hasil analisis akan menunjukkan komponen habitat yang berpengaruh terhadap keberadaan beruang madu. Analisis faktor merupakan salah satu metode multivariate yang digunakan untuk menganalisis variabel-variabel yang memiliki keterkaitan satu sama lain sehingga keterkaitan tersebut dapat dipetakan atau dikelompokkan pada variabel yang tepat (Supangat 2007). Secara prinsip, analisis faktor digunakan untuk mereduksi data atau meringkas sejumlah variabel menjadi lebih sedikit. Apabila terdapat variabel bebas yang saling berkorelasi maka variabel tersebut dihapuskan dan tidak dimasukkan dalam model persamaan regresi berganda. Variabel yang dihapuskan yaitu variabel yang memiliki nilai KMO yang kurang dari 0.5. Analisis faktor dilakukan dengan menggunakan software SPSS 16.

6. Analisis hubungan komponen habitat

Analisis korelasi digunakan untuk mengukur kuat lemahnya hubungan antara satu variabel bebas dan satu variabel tergantung yang berskala interval/parametrik. Kriteria kuat atau lemahnya hubungan antara variabel dapat dilihat dari angka korelasi variabel tersebut. Kriteria kekuatan hubungan variabel yang diuji adalah sebagai berikut (Sarwono 2006):

 0 : tidak ada korelasi

 > 0-0.25 : korelasi sangat lemah

 >0.25-0.5 : korelasi cukup kuat

 >0.5-0.75 : korelasi kuat

 >0.75-0.99 : korelasi sangat kuat

20

Dokumen terkait