• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN RUANG OLEH BERUANG MADU DI AREAL KONSERVASI PT. RAPP ESTATE MERANTI NUR ANITA GUSNIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGGUNAAN RUANG OLEH BERUANG MADU DI AREAL KONSERVASI PT. RAPP ESTATE MERANTI NUR ANITA GUSNIA"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN RUANG OLEH BERUANG MADU

DI AREAL KONSERVASI PT. RAPP

ESTATE MERANTI

NUR ANITA GUSNIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya ilmiah saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Nur Anita Gusnia

(4)

SUMMARY

NUR ANITA GUSNIA. Habitat Use of Malayan Sun Bear at Conservation Area

of PT. RAPP Meranti Estate. Under supervised by AGUS PRIYONO KARTONO

and HARNIOS ARIEF.

The malayan sun bear (Helarctos malayanus Raffles 1821) in Indonesia can only be found on the island of Sumatera and Borneo. Malayan sun bear are experiencing populations and habitat threats either caused by natural or humans disturbance. Malayan sun bear that exist in the conservation area of Meranti Estate needs to be efficiently managed so that this species remain sustainable. Conservation efforts need to be supported by scientific information based on the existence and condition of suitable habitat for this species.

This research was conducted in Conservation Area of PT. RAPP Meranti Estate, Pelalawan, Riau from June to July 2012. The objectives of this study were to identify the existence and habitat use of sun bear and also to identify dominant habitat components that determine the presence of sun bear. The methods of this study were vegetation analysis, line transect, field observation and drawing the habitat profile.

Vegetation analysis were made in two vegetation type that is Tall Pole Forest (TPF) and Transition Forest (TRF). Sixty seven plant species from thirty families were found in TPF. TPF was dominated by Syzygium inophyllum and Madhuca motleyana. Fifty seven plant species from twenty six families were found in TRF. TRF was dominated by Acmena acuminatissima, S. inophyllum, Mangifera griffithii and Blumeodendron tokbrai.

The existence of sun bear determined by indirect encounter survey. Habitat use by sun bear was both on TPF and TRF vegetation type. Sun bear only use trees on their daily activity. Average height and diameter at breast height of the trees that used by sun bear was 20 m and 51 cm. Based on factor analysis, the dominant habitat factors that determined the existence of sun bear were vegetation density, canopy cover, the amount of tree and feeding tree individual, the amount of tree and feeding tree species and the distance from production area.

(5)

RINGKASAN

NUR ANITA GUSNIA. Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan HARNIOS ARIEF.

Keberadaan beruang madu (Helarctos malayanus Raffles 1821) di Indonesia dapat ditemukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Beruang madu mengalami berbagai ancaman populasi dan habitat baik yang terjadi secara alami maupun akibat manusia. Beruang madu yang dapat ditemukan di kawasan Estate Meranti menyebabkan perlu dilakukan pengelolaan agar keberadaannya tetap lestari. Upaya konservasi yang dilakukan perlu didukung oleh informasi ilmiah mengenai keberadaan populasi dan kondisi habitat yang sesuai bagi spesies tersebut sehingga dapat disusun suatu strategi pengelolaan yang efektif.

Penelitian dilakukan di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti yang terletak di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2012. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan beruang madu di Estate Meranti, penggunaan ruang beruang madu dan faktor dominan habitat penduga keberadaan beruang madu di Estate Meranti. Metode penelitian yaitu analisis vegetasi, transek jalur, observasi lapang dan pemetaan diagram profil habitat.

Analisis vegetasi dilakukan pada tipe vegetasi hutan tiang tinggi (TPF) dan hutan transisi (TRF). Jumlah jenis vegetasi yang ditemukan pada TPF sebanyak 67 jenis yang termasuk dalam 30 famili dan didominasi oleh kelat putih (Syzygium

inophyllum) dan bengku (Madhuca motleyana). Jumlah jenis vegetasi yang

ditemukan pada TRF sebanyak 57 jenis yang termasuk dalam 26 famili dan didominasi oleh kelat merah (Acmena acuminatissima), kelat putih (S.

inophyllum), salakeo (Mangifera griffithii) dan tempurung bintang (Blumeodendron tokbrai).

Keberadaan beruang madu diketahui melalui perjumpaan tidak langsung. Beruang madu menggunakan ruang baik pada tipe vegetasi TPF maupun TRF. Vegetasi yang dijadikan tempat beraktivitas yaitu pohon dengan ketinggian dan diameter rata-rata masing-masing 20 m dan 51 cm. Komponen habitat yang berpengaruh terhadap keberadaan beruang madu yaitu kerapatan vegetasi, penutupan tajuk rata-rata, jumlah jenis pohon dan pohon pakan, jumlah individu pohon dan pohon pakan dan jarak dari kawasan produksi.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.

(7)

PENGGUNAAN RUANG OLEH BERUANG MADU

DI AREAL KONSERVASI PT. RAPP

ESTATE MERANTI

NUR ANITA GUSNIA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(8)
(9)

Judul Tesis : Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti

Nama : Nur Anita Gusnia

NIM : E351100041

Program Studi : Konservasi Biodiversitas Tropika

Disetujui Komisi Pembimbing

Diketahui

Tanggal Ujian: 28 Agustus 2013 Tanggal Lulus: Ketua

Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si Ketua

Anggota

Dr. Ir. Harnios Arief, M.Sc.F Anggota

Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

(10)

PRAKATA

Assalamualaikum wr.wb.

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Karya ilmiah ini berjudul Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si dan Bapak Dr. Ir Harnios Arief, M.Sc.F selaku dosen pembimbing. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada PT. Riau Andalan Pulp and Paper dan Tropenbos International Indonesia Programme atas fasilitas yang telah diberikan dalam menunjang penelitian penulis di Estate Meranti. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik pada isi maupun teknis penulisan tesis ini. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Wassalamualaikum wr.wb.

Bogor, September 2013

(11)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur tak hentinya saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala kekuatan, kesempatan dan rezeki yang telah diberikan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan sebaik-baiknya. Banyak pihak yang telah terlibat dalam penulisan karya ilmiah ini. Tidak ada kata yang lebih tepat selain terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berperan dalam membantu penyelesaian karya ilmiah ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Komisi pembimbing; Bapak Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Harnios Arief, M.Sc.F. Terima kasih atas kesediaannya meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, bantuan dan dorongan sehingga tesis ini dapat rampung dengan baik.

2. Dosen penguji; Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS atas saran dan kritik yang telah diberikan dalam perbaikan karya ilmiah ini.

3. Dosen-dosen pengajar di Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan banyak ilmu dan wawasan selama penulis menuntut ilmu.

4. PT Riau Andalan Pulp & Paper atas pemberian izin serta dukungan dana dan fasilitas yang telah diberikan sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan penelitian.

5. Tropenbos International Indonesia Programme atas supervisi serta bantuan fasilitas dalam penyediaan data penunjang penelitian.

6. Tubagus M. Maulana Yusuf sebagai rekan dalam pengambilan data juga teman teristimewa yang telah bersedia untuk selalu berbagi dan bertukar pikiran selama penulisan karya ilmiah ini.

7. Seluruh staf lapang dan pimpinan Departemen Forest Protection di PT. RAPP Estate Meranti atas kesediaannya menerima penulis untuk melakukan penelitian juga akomodasi dan transportasi yang telah diberikan sehingga dapat memudahkan dalam pengambilan data.

8. Sekretariat Pascasarjana KVT atas dukungan administratif terbaik yang telah diberikan.

9. Teman-teman KVT dan MEJ 2010 atas berbagai obrolan dan diskusi yang mencerahkan serta kebersamaan dan kekompakan yang telah diberikan. 10. Teman-teman terbaikku; Maria Wawo, Fitri Kartika Sari, Khairunnisa NF,

Rentry Augusti, Puji A, Nila Rosa dan Etta Naeni.

11. Kedua orang tua tercinta untuk segala limpahan kasih sayang, doa, dukungan moril dan materil, waktu dan perhatian yang telah diberikan. Kakak dan adikku tersayang Meditha Yukarani dan M. Rafif Aryastya, yang selalu memberikan semangat dan keceriaan.

(12)

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu penulisan tesis ini dan tidak bisa ditulis satu persatu. Semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk pembaca dan penulis. Sekali lagi, terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Allah membalas segala kebaikan yang telah diberikan.

Bogor, September 2013

Nur Anita Gusnia E351100041

(13)

(i)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv DAFTAR LAMPIRAN v 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 4 2 TINJAUAN PUSTAKA

Bio-ekologi Beruang Madu 4

Pemilihan Habitat 7

Penggunaan Ruang 7

Status Konservasi 8

Ancaman Populasi dan Habitat 8

3 METODE

Kerangka Pemikiran 9

Waktu dan Lokasi 9

Alat dan Bahan 11

Data yang Dikumpulkan 11

Metode Pengumpulan Data 12

Analisis Data 17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil 20

Pembahasan 40

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 50

Saran 50

DAFTAR PUSTAKA 51

(14)

(ii)

DAFTAR TABEL

1 Klasifikasi penutupan tajuk pohon (Augeri 2005) 14

2 Jenis, variabel dan sumber data 16

3 Jejak beruang madu yang ditemukan berdasarkan tipe jejak 22 4 Jenis-jenis vegetasi yang terdapat jejak beruang madu 24 5 Indeks nilai penting di setiap tingkat pertumbuhan di TPF 27 6 Indeks nilai penting di setiap tingkat pertumbuhan di TRF 27

7 Kerapatan total vegetasi di TPF dan TRF 28

8 Indeks keanekaragaman jenis vegetasi di TPF dan TRF 29

9 Indeks kesamaan komunitas antara TPF dan TRF 30

10 Ketinggian dan diameter pohon rata-rata yang digunakan beruang madu 38 11 Karakteristik ruang yang sering digunakan oleh beruang madu 47

(15)

(iii)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 10

2 Lokasi penelitian 11

3 Bentuk transek jalur pengamatan beruang madu 12

4 Metode garis berpetak 13

5 Klasifikasi bentuk tajuk pohon menurut Dawkins (1958) 14 6 Klasifikasi bentuk profil pohon menurut Dawkins (1958) 15

7 Jejak beruang madu 23

8 Peta sebaran beruang madu berdasarkan tipe variasi lokal vegetasi 25

9 Jumlah jenis vegetasi di Estate Meranti 26

10 Frekuensi perjumpaan jejak beruang madu berdasarkan klasifikasi

bentuk tajuk pohon 31

11 Frekuensi perjumpaan jejak beruang madu berdasarkan klasifikasi

penutupan tajuk pohon 32

12 Frekuensi perjumpaan jejak beruang madu berdasarkan klasifikasi

penutupan tajuk pohon rata-rata 33

13 Frekuensi perjumpaan jejak beruang madu berdasarkan kedalaman

gambut 34

14 Peta sebaran beruang madu berdasarkan kedalaman gambut 34 15 Frekuensi perjumpaan jejak beruang madu berdasarkan jarak dari

jalan 35

16 Peta sebaran beruang madu berdasarkan jarak dari jalan 35 17 Frekuensi perjumpaan jejak beruang berdasarkan jarak dari sungai 36 18 Peta sebaran beruang madu berdasarkan jarak dari sungai 36 19 Frekuensi perjumpaan beruang berdasarkan jarak dari kawasan

produksi 37

20 Peta sebaran beruang berdasarkan jarak dari kawasan produksi 37 21 Peta penggunaan ruang oleh beruang madu di Estate Meranti 39

(16)

(iv)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Daftar jenis vegetasi di Estate Meranti 56

2 Profil pohon pada setiap jalur transek 61

3 Hasil perhitungan uji chi square 66

4 Hasil perhitungan analisis faktor 68

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beruang madu merupakan spesies beruang terkecil yang dapat ditemukan di Indonesia dari delapan spesies beruang yang ada di dunia (Lekagul & McNeely 1977). Beruang berwarna hitam dengan tanda unik berbentuk huruf U atau V di lehernya ini memiliki kebiasaan bermalas-malasan di bawah sinar matahari sehingga dinamakan juga beruang matahari (sun bear) serta memiliki kegemaran terhadap madu sehingga dinamakan beruang madu (Sastrapradja et al. 1982). Beruang madu termasuk satwa yang dilindungi oleh perundang-undangan di Indonesia. Peranan beruang madu selain menjaga keseimbangan ekosistem hutan juga turut membantu persebaran biji dari buah-buahan yang mereka makan (McConkey & Galetti 1999). Beruang ini juga dapat mengendalikan populasi serangga yang menjadi sumber pakannya.

Beruang madu di Indonesia dapat ditemukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Satwaliar ini menempati tipe habitat rawa, hutan dataran rendah dan hutan pegunungan sampai dengan ketinggian 2000 m di atas permukaan laut (Fredriksson et al. 2008, Sastrapradja et al. 1982). Menurut Fredriksson et al. (2008), meskipun termasuk ordo karnivora, spesies ini merupakan omnivora oportunistik yang memakan rayap, semut, larva kumbang, larva lebah, madu dan berbagai spesies buah-buahan. Satwa ini dapat menjadi hama yang merusak perkebunan coklat, karet dan kelapa sawit (MacKinnon 1986) diduga akibat konversi habitat alami mereka menjadi perkebunan.

Beruang madu mengalami berbagai ancaman baik yang terjadi secara alami maupun akibat manusia. Ancaman populasi antara lain penangkapan liar, perdagangan beruang maupun bagian-bagian tubuhnya, pembunuhan beruang ketika terjadi konflik dengan manusia dan beruang yang mati kelaparan akibat kurangnya ketersediaan pakan di habitatnya. Ancaman habitat antara lain fragmentasi dan isolasi habitat, degradasi hutan, konversi lahan, kebakaran dan kekeringan (Servheen 1998). Berbagai permasalahan yang terjadi tersebut apabila tidak segera ditanggulangi maka dapat mempercepat penurunan populasi beruang madu sampai akhirnya dapat menyebabkan kepunahan.

Semenanjung Kampar merupakan salah satu ekosistem hutan gambut yang masih tersisa di Sumatera. Kawasan ini memiliki luas 671 125 ha yang terdiri atas hutan gambut dan bakau yang merupakan kawasan perlindungan karbon serta habitat bagi berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar. Sejak tahun 1970-an, sebagian besar Semenanjung Kampar telah dibagikan sebagai konsesi pengusahaan hutan. Meskipun demikian, masih terdapat sejumlah kawasan konservasi dan kawasan perlindungan sempadan sungai yaitu Suaka Margasatwa (SM) Tasik Belat, penyangga (buffer zone) SM Tasik Belat, SM Tasik Besar/Tasik Metas, penyangga SM Tasik Besar/Tasik Metas, penyangga SM Tasik Serkap-Tasik Sarang Burung, dan kawasan perlindungan sempadan sungai (FPP 2010, TIIP 2010a). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 375/Kpts-II/1998 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah di Hutan Produksi, mengharuskan kepada setiap pemegang Hak Pengusahaan Hutan atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman

(18)

2

Industri untuk menunjuk sebagian areal kerjanya sebagai KPPN dengan luas minimum 300 hektar dan maksimum 500 hektar. Selain itu, para pemegang HPH atau HPHTI tidak boleh melakukan kegiatan eksploitasi di sepanjang kiri kanan sungai dan kawasan sekitar mata air. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, lebar di sepanjang kiri kanan sungai yang harus dilindungi untuk sungai kecil (<30 m) adalah 50 m dan untuk sungai besar (≥30 m) adalah 100 m.

PT. RAPP memiliki kawasan produksi yang terletak di ekosistem gambut Semenanjung Kampar dan dilewati oleh beberapa sungai. Berdasarkan surat keputusan di atas, PT. RAPP khususnya di Estate Meranti menetapkan sebagian kawasannya sebagai areal konservasi. Penetapan areal konservasi tersebut dilakukan untuk menghindari eksploitasi di sepanjang sempadan sungai dan kubah gambut serta membuat jalur hijau atau koridor yang menghubungkan antara sempadan sungai dengan hutan alam juga sebagai habitat bagi satwaliar sehingga diharapkan dapat tercipta kondisi ekologis yang berkesinambungan.

Estate Meranti merupakan bagian dari ekosistem dan sistem hidrologi Semenanjung Kampar yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi/KBKT (TIIP 2010a). Parameter yang digunakan dalam identifikasi KBKT meliputi keanekaragaman hayati dalam kawasan, bentang alam, keberadaan ekosistem langka atau terancam punah, jasa lingkungan, kebutuhan dasar masyarakat lokal serta identitas budaya tradisional komunitas lokal. Alokasi kawasan berdasarkan penilaian NKT yang telah dilakukan, areal ini dibedakan menjadi kawasan lindung, kawasan pengembangan masyarakat dan kawasan pengembangan kehutanan terbatas. Kawasan Estate Meranti menjadi habitat bagi beraneka ragam tumbuhan dan satwa liar, baik yang menempati kawasan tersebut secara tetap maupun temporer (TIIP 2010b). Salah satu jenis satwa liar yang dilindungi yang hidup di kawasan Estate Meranti yaitu beruang madu, dimana keberadaan spesies ini menjadi salah satu tolak ukur dalam penentuan nilai penting areal hutan tersebut karena statusnya yang dilindungi baik secara nasional maupun internasional. Selain itu, tersedianya habitat yang dapat memenuhi kebutuhan hidup beruang madu dapat menghindari masuknya beruang ke dalam kawasan hutan tanaman maupun lahan pertanian dan perkebunan dan menjadi hama di lahan tersebut. Oleh karena itu, keberadaan areal konservasi Estate Meranti ini sangat penting dan harus dipertahankan.

Upaya pengelolaan atau monitoring populasi dan habitat beruang madu serta tumbuhan dan satwa liar lainnya di kawasan Estate Meranti merupakan tanggung jawab dari perusahaan dengan pengawasan dan/atau keterlibatan dari berbagai pihak terkait baik dari kalangan LSM, masyarakat maupun pemerintahan. Upaya konservasi beruang madu yang dilakukan perlu didukung oleh informasi ilmiah mengenai keberadaan populasi, kondisi habitat serta habitat yang sesuai bagi spesies tersebut sehingga dapat disusun suatu strategi pengelolaan populasi dan habitat beruang madu secara efektif. Kajian mengenai bentuk penggunaan ruang oleh beruang madu merupakan suatu upaya memperoleh informasi dasar mengenai ekologi beruang madu untuk kemudian mengidentifikasi strategi pengelolaan yang sesuai.

(19)

3

Perumusan Masalah

Beruang madu hanya mendapat sedikit perhatian konservasi di berbagai negara dalam wilayah persebarannya karena beruang madu merupakan satwa yang tidak umum, jarang terlihat dan bersaing dalam hal menarik perhatian dengan spesies utama konservasi di wilayahnya seperti badak sumatera (Dicerorhinus

sumatrensis), harimau (Panthera tigris), gajah (Elephas maximus), orangutan

(Pongo pygmaeus) dan beberapa jenis primata (Wong et al. 2004). Keberadaan beruang madu di Estate Meranti menyebabkan diperlukannya suatu upaya konservasi yang baik agar kelestarian satwa tersebut dapat terjaga dan terhindar dari ancaman kepunahan. Berbagai permasalahan dan penyimpangan banyak terjadi dan dapat mengancam populasi dan habitat satwa liar ini. Kurangnya informasi ilmiah mengenai keberadaan satwa liar tersebut di Estate Meranti menyebabkan kurang spesifiknya pengelolaan dan upaya konservasi yang dilakukan. Salah satu aspek yang perlu diketahui untuk menunjang pengelolaan populasi dan habitat beruang madu di Estate Meranti yaitu aspek penggunaan ruang habitat. Menurut Augeri (2005), bagi sebagian besar spesies beruang, ketersediaan keanekaragaman dan pakan, kondisi habitat dan cover seringkali menjadi faktor ekologi yang paling menonjol yang mempengaruhi mempengaruhi penggunaan habitat. Pembuatan jalan utama dan jalan cabang yang memotong jalur hijau dan sempadan sungai menyebabkan terputusnya jalur penghubung (koridor) antara areal konservasi dengan hutan alam. Kondisi tersebut menyebabkan terbentuknya habitat yang terfragmentasi sehingga populasi satwaliar yang ada di dalamnya menjadi terisolasi. Oleh karena itu perlu diperhatikan beberapa permasalahan utama dalam pengelolaan populasi dan habitat beruang madu di Estate Meranti, yaitu:

1. Dimanakah lokasi-lokasi yang menjadi habitat beruang madu di Estate Meranti?

2. Bagaimana kondisi habitat yang digunakan beruang madu di Estate Meranti? 3. Bagaimana penggunaan ruang habitat oleh beruang madu di Estate Meranti? 4. Apakah faktor-faktor dominan penentu keberadaan beruang madu di Estate

Meranti?

Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut maka perlu dilakukan penelitian guna mendapatkan data dan informasi tentang faktor-faktor penentu keberadaan serta penggunaan ruang oleh beruang madu di Estate Meranti. Hasil penelitian tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan pengelolaan habitat dan upaya pelestarian populasi beruang madu serta sebagai bentuk monitoring dan evaluasi habitat beruang madu di Estate Meranti.

Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi: 1. Keberadaan beruang madu di Estate Meranti.

2. Penggunaan ruang oleh beruang madu di Estate Meranti.

(20)

4

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai kondisi habitat, penggunaan ruang dan distribusi beruang madu di IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan habitat beruang madu. Habitat yang sesuai dan berkualitas diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan beruang madu sehingga kelestariannya tetap terjaga. Penelitian ini juga bermanfaat sebagai bentuk monitoring dan evaluasi kawasan dalam pengelolaan Estate Meranti.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Bio-ekologi Beruang Madu

Taksonomi

Beruang adalah satwa karnivora terbesar di dunia yang hidup di darat yang keserupaannya antara satu dengan yang lain sedemikian kuatnya sehingga hampir tidak mungkin tertukar dengan mamalia lainnya (Hoeve 2003). Menurut Fredriksson et al. (2008), beruang madu diklasifikasikan ke dalam kerajaan Animalia, filum Chordata, kelas Mamalia, ordo Carnivora, famili Ursidae, marga Helarctos dan jenis Helarctos malayanus (Raffles 1821). Beruang madu dibedakan menjadi dua sub-spesies yaitu Helarctos malayanus euryspilus yang dapat ditemukan di Borneo dan H. m. malayanus yang dapat ditemukan di dataran utama Asia dan Sumatera (Meijaard 2004).

Morfologi

Beruang madu berwarna kehitam-hitaman atau hitam kecoklatan dengan dengan tanda berbentuk V di dada yang berwarna putih kecoklatan atau kekuningan. Moncong beruang madu berwarna lebih cerah dari badannya. Kaki depannya menghadap ke dalam dengan telapak kaki yang licin. Kaki depan dan belakangnya memiliki lima cakar yang panjang melengkung dan kuat yang sangat berguna sebagai alat pemanjat pohon. Panjang rambutnya yang terpendek dibandingkan dengan spesies beruang lainnya karena beradaptasi dengan panasnya lingkungan tropis. Ekornya sangat pendek hingga tak tampak. Gigi gerahamnya lebih lebar dan rata, menandakan macam makanannya yang beranekaragam. Panjang kepala dan badan antara 1.1-1.4 m, tinggi sebahu sekitar 70 cm dan berat antara 27-65 kg (Carter 1978, MacKinnon 1986, Medway 1978, Payne et al. 2000, Sastrapradja et al. 1982, Servheen 1998).

(21)

5

Populasi dan Penyebaran

Informasi mengenai estimasi populasi beruang madu di dunia sangat sulit untuk diperoleh. Estimasi populasi global beruang madu yang diperoleh dari IUCN Bear Specialist Group yaitu <5000 individu di seluruh dunia (Servheen et

al. 1999 diacu dalam Augeri 2005). Populasi beruang madi di kebun binatang di

Eropa dan Amerika masing-masing antara 50 dan 60 individu (Schwarzenberger

et al. 2004). Menurut Fredriksson et al. (2008), kecenderungan populasi spesies

ini semakin menurun. Berkurangnya habitat beruang madu secara cepat di seluruh wilayah penyebarannya menyebabkan populasi spesies ini diduga mengalami penurunan lebih dari 30% selama lebih dari tiga puluh tahun atau tiga generasi beruang.

Fosil beruang madu dari zaman Pleistocene telah ditemukan jauh di Cina bagian utara bahkan di Pulau Jawa, akan tetapi spesies ini tidak ditemukan di lokasi tersebut pada masa sejarah (Erdbrink 1953 diacu dalam Fredriksson 2008). Beruang madu pertama kali ditemukan di Myanmar (Pocock 1941), baru kemudian ditemukan di Thailand, Semenanjung Malaya, Indocina, Cina bagian selatan dan Indonesia (Lekagul & McNeely 1977).

Menurut Fredriksson et al. (2008), beruang madu merupakan spesies asli di Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja, Cina, India, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Thailand dan Vietnam. Di Indonesia, beruang madu dapat ditemukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Spesies ini telah dinyatakan punah di Singapura dan Bangladesh (Fredriksson et al. 2008, UNEP-WCMC 2011).

Habitat

Habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwaliar (Alikodra 2002). Menurut Soemarwoto (1983), habitat suatu organisme pada umumnya mengandung faktor ekologi yang sesuai dengan persyaratan hidup organisme yang menghuninya, dimana persyaratan tersebut merupakan kisaran faktor-faktor ekologi yang ada di dalam habitat dan diperlukan untuk mempertahankan hidupnya. Menurut Alikodra (2002), komponen fisik habitat terdiri atas air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang. Komponen biotik terdiri atas vegetasi, mikrofauna, makrofauna dan manusia. Jika seluruh keperluan hidup satwaliar dapat terpenuhi di dalam suatu habitatnya, maka populasi satwaliar tersebut akan tumbuh dan berkembang sampai terjadi persaingan dengan populasi lainnya. Habitat yang cocok merupakan habitat yang mampu menyediakan semua persyaratan habitat bagi suatu spesies untuk musim tertentu atau sepanjang tahun. Persyaratan tersebut meliputi pakan, penutupan tajuk, dan faktor lain yang dibutuhkan satwaliar untuk bertahan hidup dan menunjang keberhasilan proses reproduksi (Bailey 1984).

Beruang madu hidup di hutan-hutan primer, hutan sekunder dan sering juga di lahan-lahan pertanian. Habitat beruang madu adalah hutan hujan tropis dataran rendah, hutan dipterocapaceae dan hutan pegunungan rendah. Beruang madu dapat ditemukan pada ketinggian 0-2000 m dpl. Mereka biasanya berada di pohon pada ketinggian 2-7 meter dari tanah dan suka mematahkan cabang-cabang pohon

(22)

6

atau membuatnya melengkung untuk membuat sarang. Umumnya beruang madu membuat sarang lebih dekat dengan batang pohon. Beruang yang hidup di negara tropis ini tidak memerlukan masa hibernasi seperti beruang lain yang tinggal di wilayah empat musim (Fredriksson et al. 2008, Servheen 1998).

Biologi Reproduksi

Masa kawin pada beruang madu terjadi setiap waktu dengan masa bunting berlangsung selama tiga bulan. Frekuensi melahirkan yaitu satu kali setiap tahun dengan interval masa estrus antara 140-216 hari (Schwarzenberger et al. 2004). Di alam liar, anak diletakkan di atas tanah, biasanya terlindung diantara akar pohon yang tinggi. Jumlah anak per kelahiran (litter size) yaitu satu sampai dua ekor (Sastrapradja et al. 1982). Masa bunting dari dua betina di penangkaran yaitu masing-masing 95 dan 96 hari. Berat anak beruang madu yang baru lahir yaitu hanya sekitar 325 g. Pertumbuhan anaknya cepat, gigi susu lepas pada tujuh bulan dan gigi dewasa lengkap setelah 18 bulan. Catatan terpanjang masa hidup (life

span) di penangkaran yaitu 35 tahun, dimana umur betina ketika pertama kali

berkembang biak yaitu 3-4 tahun (Kitchener & Asa 2010).

Perilaku

Beruang madu lebih aktif selama periode crepuscular. Beruang jantan lebih sering aktif pada periode diurnal meskipun beberapa individu aktif pada malam hari untuk waktu yang pendek. Aktifitas puncak di pagi hari terjadi pukul 07.00, di siang hari pukul 13.00 dan di sore hari pukul 17.00. Beruang madu dapat memanjat bebas menaiki batang tanpa ranting pada pohon yang tinggi hanya dengan menggunakan cakar sehingga meninggalkan bekas cungkilan. Beruang termasuk satwa yang berbahaya dan buas terhadap manusia, terutama ketika sedang membawa anaknya (Medway 1978, Wong et al. 2004). Kegiatan mencari makan dilakukan pada malam hari. Beruang madu membuat sarang dari ranting untuk beristirahat (Sastrapradja et al. 1982). Beruang madu ahli dalam memanjat dan dapat naik sampai tinggi sekali untuk mencapai sarang tawon dan rayap. Beruang madu mencabut dahan kayu sampai terbuka dengan kuku dan giginya yang kuat untuk menjangkau sarang tersembunyi dari tawon meliponid yang tak bersengat dan memakan isinya yang manis (MacKinnon 1986).

Pakan

Beruang madu adalah satwa omnivora yang mengonsumsi baik hewan maupun tumbuhan. Diet alaminya meliputi larva lebah dan madu, rayap, semut, larva kumbang dan beberapa vertebrata kecil yang dapat ditangkap serta buah-buahan dan dedaunan tertentu terutama pucuk-pucuk palem atau umbut dan batang lain yang manis seperti tebu. Selain tumbuhan yang manis, beruang madu juga suka memakan beberapa jenis burung termasuk ayam, tikus dan binatang kecil lain. Berdasarkan analisis kotoran, komposisi pakannya terdiri dari kumbang,

(23)

7

larva kumbang, rayap, semut, kecoa hutan dan kalajengking. Binatang ini gemar mencari sarang lebah dengan membongkar celah-celah batang, memasukkan cakar dan kukunya yang tajam, menjilat-jilat madu beserta larva yang ikut terbongkar (MacKinnon 1986, McConkey & Galetti 1999, Medway 1978, Sastrapradja et al. 1982, Wong et al. 2002).

Pakan beruang madu di penangkaran dikelola dengan diet campuran nasi, daging, buah dan sayur. Pakan beruang madu di Kebun Binatang New York terdiri dari rasio harian 2 lb (± 0,9 kg) daging mentah, 1 pint susu yang dicampur dengan sereal dan sirup atau madu, 0,5 lb (± 0,23 kg) campuran daging yang telah dipotong-potong, makanan anjing, tulang dan minyak ikan cod (cod liver oil) dan buah-buahan lembut (Medway 1978).

Pemilihan Habitat

Satwaliar dapat mengidentifikasi dan memilih habitat yang cocok bagi mereka berdasarkan faktor nutrisi dan struktural (Wecker 1964 diacu dalam Krausman 1997). Pemilihan habitat merupakan proses yang dilakukan oleh satwa untuk memilih komponen dari suatu habitat yang digunakan (Krausman 1997). Svardson (1949) memaparkan bahwa pemilihan habitat merupakan spesialisasi bagi suatu spesies untuk membatasi dirinya terhadap habitat tersebut dan akan mencapai adaptasi yang sesuai untuk menggunakan pakan dan sumber daya penutupan tajuk dari habitat yang dipilih. Habitat dipilih oleh vertebrata pada empat tingkat, yaitu rentang geografis, wilayah jelajah, patch dalam wilayah jelajah dan sumber daya utama yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Pemilihan habitat dapat dipengaruhi oleh spesies lain seperti pesaing dan pemangsa. Seleksi habitat juga tergantung kepadatan populasi (McComb 2008).

Penggunaan Ruang

Habitat adalah himpunan sumber daya yang diperlukan untuk mendukung populasi berdasarkan ruang dan waktu dimana setiap populasi dari suatu jenis memiliki kebutuhan habitat yang berbeda. Habitat dapat digunakan untuk mencari pakan, cover, sarang, tempat melarikan diri dari musuh dan lainnya. Satwaliar mendapatkan sumber energi dan nutrisi dari pakan yang mereka konsumsi. Tempat berlindung (cover) dan tempat melarikan diri melindungi satwa dari resiko predasi atau kompetisi (McComb 2008).

Penggunaan habitat merupakan suatu cara yang dilakukan satwa untuk menggunakan sumberdaya fisik dan biotik dalam suatu habitat. Satu atau lebih peruntukan habitat ini dapat tumpang tindih atau berada di dalam areal yang sama (Krausman 1997). Evaluasi penggunaan dan pemilihan habitat dapat memberikan indikasi akan kualitas dan pentingnya habitat tersebut (Garshelis 2000). Komponen habitat yang mempengaruhi kehadiran satwa liar antara lain vegetasi hidup, vegetasi mati, fitur-fitur fisik (terbentuk secara alami atau artifisial baik buatan manusia maupun satwa), air, ketersediaan pakan, keberadaan dan kelimpahan kompetitor, predator, parasit, penyakit, tingkat gangguan manusia,

(24)

8

intensitas perburuan, iklim dan temperatur serta sejarah keberadaannya (Cooperrider et al. 1986).

Menurut Wong et al. (2004), ukuran wilayah jelajah rata-rata beruang madu sekitar 14.8 ± 6.1 km2 dan dapat ditemukan baik di hutan primer maupun di hutan bekas tebangan. Jarak pergerakan harian rata-rata sekitar 1.45 ± 0.24 km dan dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, khususnya Ficus spp. Terdapat lima tipe tempat tidur (bedding site) beruang madu, yaitu lubang di pohon tumbang yang berongga (46%), batang pohon (23%), lubang di dasar pohon (19%), lubang di bawah sistem perakaran (8%) dan lubang di bawah pohon tumbang (4%). Pohon yang digunakannya yaitu pohon besar dengan diameter >100 cm dan umumnya dari jenis yang termasuk Dipterocarpaceae.

Status Konservasi

Menurut CITES (2011), Helarctos malayanus tergolong satwa Appendix I, yaitu jenis satwa yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Perdagangan spesimen dari spesies yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal dan diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa. Menurut daftar merah IUCN (IUCN red list) versi 3.1, satwa ini tergolong vulnerable atau rentan mengalami kepunahan kecuali jika penanganan keselamatan dan reproduksinya baik. Beruang madu termasuk satwa yang dilindungi oleh Perundang-undangan di Indonesia (PP No.7 tahun 1999).

Ancaman Populasi dan Habitat

Terdapat empat faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup beruang madu, yaitu perburuan, perdagangan beruang dan bagian-bagian tubuhnya, perusakan habitat serta pendirian perkebunan (Meijaard 1999). Servheen (1998) memaparkan bahwa kurangnya pengetahuan mengenai populasi, penyebaran, fragmentasi populasi dan tingkat kematian beruang menimbulkan ancaman bagi populasi beruang madu di seluruh daerah penyebarannya. Banyak populasi beruang madu yang telah mengalami kepunahan akibat perpaduan antara berkurangnya habitat dan peningkatan populasi manusia. Sangat mungkin bahwa populasinya di banyak daerah telah terfragmentasi dan terisolasi menjadi subpopulasi kecil yang dapat meningkatkan angka kematiannya.

Menurut Meijaard et al. (2005), degradasi, fragmentasi dan hilangnya habitat hutan tropis beruang madu merupakan ancaman terbesar bagi populasi beruang ini. Hal ini disebabkan terutama oleh perambahan manusia dan penebangan liar baik di dalam maupun di luar kawasan lindung untuk kemudian ditanami kopi, karet dan kelapa sawit. Bencana alam seperti kebakaran dan kekeringan juga telah menyebabkan berkurangnya ketersediaan pakan beruang madu dan habitat yang sesuai (Fredriksson et al. 2008).

(25)

9

3 METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Areal Konservasi IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti merupakan bagian dari ekosistem hutan gambut Semenanjung Kampar yang menjadi habitat bagi beruang madu. Kawasan ini berada di dalam area konsesi PT. RAPP di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Hutan alam di Semenanjung Kampar yang telah banyak dikonversi menjadi hutan tanaman mengakibatkan timbulnya ancaman bagi kelestarian beruang madu serta tumbuhan dan satwa liar lainnya karena kualitas dan kuantitas habitat mereka semakin menurun.

Tingginya permintaan pasar akan produk kayu dan turunannya menyebabkan meningkatnya kebutuhan pasokan bahan baku pulp dan kertas sementara lahan yang terbatas menyebabkan perusahaan pengusahaan hutan tersebut memperluas konsesinya. Akibatnya, terjadilah konflik yang melibatkan masyarakat sekitar, pemerintah serta para konservasionis yang ingin mempertahankan kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi. Langkah yang dapat ditempuh untuk mengakomodir kebutuhan para pihak yang terkait tersebut yaitu dengan cara menetapkan sejumlah kawasan di areal konsesi menjadi kawasan lindung.

Estate Meranti digunakan sebagai habitat oleh beruang madu karena dapat menyediakan kebutuhan dasar hidupnya berupa pakan, air, cover serta berbagai komponen fisik dan abiotik lainnya. Setiap tipe habitat di Estate Meranti memiliki komponen penyusun yang berbeda-beda sehingga tidak seluruhnya digunakan oleh beruang madu sebagai habitat. Penilaian lingkungan, baik yang berkorelasi secara langsung maupun yang tidak langsung terhadap habitat tersebut perlu diketahui untuk menjaga ketahanan populasi. Oleh karena itu perlu dikaji lebih dalam faktor apa saja yang mempengaruhi penggunaan habitat oleh beruang madu di Estate Meranti sehingga dapat diketahui bentuk pengelolaan yang sesuai. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Waktu dan Lokasi

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2012. Penelitian berlokasi di Areal Konservasi IUPHHK-HTI, PT Riau Andalan Pulp and Paper, Estate Meranti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2. Lokasi transek terletak di kawasan lindung sempadan Sungai Kutup sebanyak 2 petak, S. Turip 7 petak, S. Serkap 4 petak, S. Sangar 2 petak, Tanjung Bunga 2 petak dan Tg. Rimba 2 petak.

(26)

10

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Estate Meranti Habitat beruang madu Populasi beruang madu Habitat yang digunakan SEMENANJUNG KAMPAR

Hutan Tanaman Hutan Alam Konversi hutan alam menjadi hutan tanaman Faktor dominan habitat penduga keberadaan beruang madu Faktor abiotik: kedalaman gambut, jarak jejak dari jalan, sungai dan kawasan produksi

Faktor biotik: - struktur &

komposisi vegetasi - bentuk, posisi, dan

penutupan tajuk pohon

Manajemen habitat dan populasi

Kelestarian populasi dan habitat beruang madu

Penggunaan ruang oleh beruang madu di Estate Meranti

(27)

11

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Global

Positioning System (GPS), binokuler, kamera digital SLR, jam, peta kawasan,

peta penutupan lahan, peta kedalaman gambut, peta sungai, peta jalan, kompas, haga altimeter, tali rapia, pita meter, rol meter, tally sheet, perlengkapan pembuatan herbarium (kertas koran, kantung plastik besar, kantung plastik 40x60cm, tali plastik, staples, label gantung, spidol permanen, alkohol 70%), panduan pertanyaan wawancara serta seperangkat komputer. Piranti lunak yang digunakan dalam pengolahan data yaitu ArcView 3.3, AutoCad 2006, SPSS 16 dan Microsoft Office.

Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data yang berhubungan dengan keberadaan beruang madu, karakteristik habitat, penggunaan ruang dan faktor dominan habitat penentu keberadaan beruang madu meliputi komponen biotik (jenis, komposisi, struktur vegetasi, bentuk tajuk, posisi tajuk, penutupan tajuk, profil pohon), komponen abiotik (kedalaman gambut, jarak dari jalan, sungai dan kawasan produksi). Keberadaan beruang diketahui dengan perjumpaan tidak langsung melalui jejak cakaran, koyakan dan tapak kaki.

(28)

12

Metode Pengumpulan Data

Teknik penarikan unit contoh yang dilakukan adalah teknik penarikan contoh acak berlapis (Stratified Random Sampling) dengan intensitas sampling 0.1%. Luas areal pengamatan adalah 8.84 ha. Luas 1 petak contoh adalah 0.52 ha dengan jumlah petak contoh yaitu 17. Areal Konservasi Estate Meranti yang dijadikan lokasi pengamatan dibedakan berdasarkan variasi lokal vegetasi penyusunnya, yaitu hutan tiang tinggi (Tall Pole Forest/TPF) dan hutan transisi (Transition TPF-MPSF/TRF). Tipe vegetasi TPF dicirikan dengan ukuran pohon-pohon penyusunnya relatif kecil, tajuk pohon-pohon yang tinggi dan relatif rata dengan tinggi pohon antara 25-35 m, serta kanopi hutannya hanya terdiri atas 2-3 lapis saja dan umumnya memiliki diameter pohon berkisar antara 20-30 cm. Tipe vegetasi TRF merupakan hutan yang sedang mengalami proses peralihan dari hutan rawa gambut campuran menjadi hutan tiang tinggi. Hutan rawa gambut campuran memiliki ciri umum jenis campuran yang didominasi tajuk tinggi dan tidak rata dengan ketinggian pohon berkisar antara 30-40 m dan diameter >30 cm. Kerapatan hutan cukup tinggi dengan kanopi hutan yang terdiri dari beberapa lapisan (TIIP 2010a).

Metode yang digunakan untuk memperoleh data dan informasi mengenai penggunaan ruang beruang madu adalah sebagai berikut:

a. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi awal mengenai keberadaan beruang madu di Estate Meranti. Informasi tersebut berupa tipe habitat dan lokasi ditemukannya beruang madu baik secara langsung maupun tidak langsung. Hasil wawancara menjadi acuan sebelum melakukan survey lapang serta peletakan petak pengamatan. Responden dalam wawancara yaitu masyarakat sekitar Estate Meranti, staf lapang dan pengelola Estate Meranti.

b. Transek jalur

Transek jalur merupakan suatu metode pengamatan populasi satwaliar melalui pengambilan contoh dengan bentuk unit contoh berupa jalur dengan panjang dan lebar jalur pengamatan ditentukan terlebih dahulu (Kartono 2000). Jalur pengamatan ditentukan sepanjang 260 m dan lebar jalur 20 m. Transek jalur dilakukan untuk mengetahui lokasi keberadaan beruang madu. Bentuk dari transek jalur pengamatan beruang madu disajikan pada Gambar 3.

Keterangan: O = posisi pengamat; BM = posisi beruang madu

(29)

13

Cara pengambilan data dengan transek jalur yaitu:

1) Menempatkan sejumlah transek jalur secara sistematis. Jalur transek pertama ditentukan secara acak. Jalur ditempatkan di setiap tipe variasi lokal vegetasi.

2) Menggambarkan letak setiap jalur pada peta kerja.

3) Menentukan arah lintasan pengamatan dengan menggunakan kompas sehingga tidak berpotongan dengan jalur transek lain.

4) Berjalan sesuai jalur pengamatan sembari mengumpulkan dan mencatat data jenis perjumpaan (cakaran/tapak/koyakan), mengambil koordinat lokasi perjumpaan, menuliskan keterangan selengkap mungkin tentang kontak/perjumpaan tersebut pada tally sheet.

c. Analisis vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi di lokasi pengamatan. Metode analisis vegetasi yang dilakukan adalah metode garis berpetak sebagaimana disajikan pada Gambar 4. Ketentuan ukuran petak contoh untuk tingkat semai (tinggi <1.5 m) 2 m x 2 m, tingkat pancang (diameter <10 cm dengan tinggi >1.5 m) 5 m x 5 m, tingkat tiang (diameter 10-20 cm) 10 m x 10 m dan tingkat pohon (diameter >20 cm) 20 m x 20 m (Soerianegara & Indrawan 2005). Jalur yang dibuat sepanjang 260 m dengan lebar 20 m.

Keterangan : A = Petak contoh pohon (20x20) m2 B = Petak contoh tiang (10x10) m2 C = Petak contoh pancang (5x5) m2 D = Petak contoh semai (2x2) m2

Gambar 4 Metode garis berpetak

d. Observasi lapang: dilakukan untuk mengambil data dan informasi mengenai kondisi fisik dan biotik habitat beruang madu dari variabel-variabel yang diamati. Metode ini juga dilakukan untuk mengambil data spasial berupa titik-titik koordinat perjumpaan beruang madu untuk kemudian diolah dengan ArcView. Data yang diambil dibedakan menjadi :

1) Komponen biotik

Komponen biotik yang diamati dalam penelitian ini yaitu struktur dan komposisi vegetasi, bentuk, posisi dan penutupan tajuk serta profil pohon. Data ini diambil untuk mengetahui gambaran kondisi habitat beruang madu dari petak contoh pengamatan yang dibuat, meliputi kerapatan, frekuensi dan dominansi suatu jenis, khususnya vegetasi pakan. Bentuk dan posisi tajuk pohon diukur berdasarkan klasifikasi Dawkins (1958) disajikan pada Gambar

(30)

14

5 dan Gambar 6. Tajuk pohon ditentukan berdasarkan observasi lapang kemudian dibedakan berdasarkan klasifikasi Dawkins tersebut. Posisi tajuk pohon ditentukan berdasarkan posisi tajuk dalam menerima cahaya matahari yang datang dari atas.

Gambar 5 Klasifikasi bentuk tajuk pohon menurut Dawkins (1958)

Penutupan tajuk rata-rata (average canopy cover) diduga berdasarkan jumlah vegetasi berdiameter ≥ 10cm yang ada pada petak seluas 100m2

. Klasifikasi penutupan tajuk pohon yang digunakan menggunakan klasifikasi dari Augeri (2005) seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi penutupan tajuk pohon (Augeri 2005) Jumlah Pohon % Geographic Coverage Skor

0 0% 0

1-1.2 1-25% 1

1.3-2.4 26-50% 2

2.4-3.5 51-75% 3

(31)

15

Gambar 6 Klasifikasi bentuk posisi tajuk pohon menurut Dawkins (1958)

2) Komponen abiotik

Data komponen abiotik yang dikumpulkan yaitu kedalaman gambut, jarak lokasi perjumpaan beruang terhadap sungai, jalan dan kawasan produksi. Jarak lokasi perjumpaan beruang diukur untuk kemudian dianalisis hubungan dan pengaruh setiap komponen tersebut terhadap keberadaan beruang. Data kedalaman gambut diperoleh dengan cara mengambil koordinat GPS lokasi kemudian melihat informasi kedalaman gambut dari koordinat tersebut dengan menggunakan peta kontur kedalaman gambut. Data kedalaman gambut digunakan untuk mengidentifikasi kemampuan beruang madu dalam berpindah atau mobilisasi. Data jarak jejak dari sungai, jalan dan kawasan produksi diketahui dengan cara mengukur jejak beruang yang ditemukan terhadap tepi sungai, jalan dan kawasan produksi terdekat secara tegak lurus.

3) Faktor dominan habitat

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data keberadaan beruang madu melalui perjumpaan langsung maupun tidak langsung (tapak, cakaran, kotoran, sisa pakan), kondisi vegetasi dan beberapa faktor fisik dan biotik di habitat tersebut. Jenis, variabel dan sumber data yang diamati disajikan pada Tabel 2.

(32)

16

Tabel 2 Jenis, variabel dan sumber data

No Jenis Data Variabel Sumber Data

1 Frekuensi perjumpaan jejak Y Observasi lapang 2 Kerapatan vegetasi X1 Pengukuran di lapangan 3 Bentuk tajuk pohon

X2

Observasi lapang & klasifikasi Dawkins (1958)

4 Posisi tajuk pohon

X3

Observasi lapang & klasifikasi Dawkins (1958)

5 Penutupan tajuk rata-rata X4 Klasifikasi Augeri (2005) 6 Jumlah individu pohon X5 Analisis vegetasi

7 Jumlah jenis pohon X6 Analisis vegetasi 8 Jumlah individu pohon pakan X7 Analisis vegetasi 9 Jumlah jenis pohon pakan X8 Analisis vegetasi 10 Kedalaman gambut

X9

Peta kedalaman gambut (TIIP 2010a)

11 Jarak dari jalan X10 Peta kawasan 12 Jarak dari sungai X11 Peta kawasan 13 Jarak dari kawasan produksi X12 Peta kawasan

e. Pembuatan herbarium: dilakukan terhadap jenis-jenis vegetasi yang belum bisa teridentifikasi di lapangan. Tahapan dalam pembuatan herbarium di lapangan adalah sebagai berikut (Bridson & Forman 1998, Rugayah 2004): 1) Pengumpulan material herbarium. Material herbarium yang lengkap

mengandung ranting, daun muda dan tua, kuncup, bunga muda dan tua yang mekar, serta buah muda dan tua.

2) Pencatatan data tumbuhan dengan menggunakan buku catatan atau tally

sheet.

3) Pembuatan label gantung yang diikat pada material herbarium. Satu label untuk satu spesimen. Pada setiap label gantung ditulis kode (singkatan nama), kolektor, nomor koleksi, nama lokal tumbuhan yang dikumpulkan tersebut.

4) Pengolahan dan pengawetan dengan metode pengeringan bertahap. Material herbarium dicelup terlebih dahulu di dalam air mendidih sekitar 3 menit kemudian dimasukkan ke dalam lipatan kertas koran. Lipatan kertas koran berisi material herbarium tersebut selanjutnya ditumpuk, di press lalu dijemur atau dikeringkan di atas tungku pengeringan. Pengeringan harus segera dilakukan karena jika terlambat akan mengakibatkan material herbarium rontok daunnya dan cepat menjadi busuk.

5) Identifikasi material herbarium. Material herbarium diidentifikasi taksonominya (spesies, genus, famili, ordo) baik dengan cara mencocokkan spesimen dengan buku panduan lapang tumbuhan maupun di lembaga ahlinya seperti Herbarium Bogoriense LIPI.

f. Pemetaan diagram profil habitat: dilakukan untuk mengetahui struktur vegetasi dari suatu habitat. Hasil pemetaan ini dapat memberikan gambaran

(33)

17

mengenai bentuk penggunaan ruang oleh beruang madu secara vertikal. Vegetasi yang dijadikan unit contoh yaitu pohon. Profil pohon ditentukan dengan cara mengukur dan mencatat jenis, diameter, tinggi bebas cabang, tinggi total, tinggi tajuk, lebar tajuk dan posisi pohon dalam petak contoh berukuran 100 m x 20 m. Pembuatan diagram profil habitat dilakukan dengan menggunakan AutoCad 2006.

Analisis Data

Analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Analisis keberadaan beruang madu

Keberadaan beruang madu berupa frekuensi total dari perjumpaan jejak cakaran, koyakan dan tapak kaki yang ditemukan. Data sebaran populasi beruang madu tersebut disajikan dalam bentuk gambar dan tabulasi serta dianalisis secara deskriptif kualitatif. Data sebaran populasi juga dianalisis secara spasial dan disajikan dalam bentuk peta.

2. Analisis komponen biotik habitat

a. Analisis komposisi dan dominansi jenis vegetasi

Hasil analisis vegetasi digunakan untuk mengetahui komposisi jenis dan dominansi. Dominansi suatu jenis pohon ditunjukkan dalam besaran indeks nilai penting (INP). Untuk tingkat tiang dan pohon, INP merupakan penjumlahan nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR) dan dominansi relatif (DR). Persamaan yang digunakan untuk perhitungan besaran-besaran tersebut adalah sebagai berikut (Soerianegara & Indrawan 2005):

Kerapatan suatu jenis = Kerapatan relatif (KR) =

x 100%

Frekuensi suatu jenis =

Frekuensi relatif (FR) = x 100%

Dominansi suatu jenis =

Dominansi relatif (DR) = x 100% Luas bidang dasar suatu jenis = ¼ π d2

INP (tiang dan pohon) = KR + FR + DR INP (semai dan pancang) = KR + FR

(34)

18

b. Analisis keanekaragaman jenis vegetasi

Kekayaan jenis vegetasi diketahui dengan menggunakan pendekatan Indeks kekayaan Margalef (Krebs 1978) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Dmg

=

Keterangan : Dmg = indeks kekayaan Margalef S = jumlah jenis yang teramati

N = jumlah total individu yang teramati

Kelimpahan jenis vegetasi diketahui dengan menggunakan pendekatan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (Krebs 1978) dengan menggunakan persamaan:

H’ = - Σ pi . ln pi

Keterangan : H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener

Pi = proporsi jumlah individu ke-i dengan seluruh jenis (ni/N)

Indeks keanekaragaman (H’) terdiri dari beberapa kriteria yaitu (Latupapua 2011): H’ > 3.0 : tingkat keanekaragaman sangat tinggi

1.5<H’≤3.0 : tingkat keanekaragaman tinggi 1.0<H’≤1.5 : tingkat keanekaragaman sedang H’≤1.0 : tingkat keanekaragaman rendah

Untuk mengetahui tingkat kemerataan jenis vegetasi digunakan pendekatan Indeks Kemerataan Pielou 1975 (Magurran 1988) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

J’ =

; Dmax = ln S

Keterangan : J’ = nilai evennes (0-1)

H’ = indeks keragaman Shannon-Wiener S = jumlah jenis

3. Analisis komponen abiotik habitat

Komponen abiotik habitat yang akan dianalisis terdiri dari kedalaman gambut, jarak jejak dari jalan, sungai dan kawasan produksi. Komponen-komponen tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif.

4. Analisis penggunaan ruang beruang madu

Untuk mengetahui hubungan antara frekuensi perjumpaan beruang madu pada tiap peubah digunakan uji Chi-square. Maksud dan tujuan dari pengujian ini adalah membandingkan antara fakta yang diperoleh berdasarkan hasil observasi dengan fakta yang didasarkan secara teoritis atau yang diharapkan. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Walpole 1992) :

(35)

19

= ∑

( )

Keterangan : x2 = chi square hitung

o = frekuensi data yang diperoleh dari observasi e = frekuensi data yang diharapkan secara teoritis

Hipotesis yang dibangun adalah :

H0 : Tidak ada faktor yang mempengaruhi beruang dalam penggunaan ruang

H1 : Terdapat faktor yang mempengaruhi beruang dalam penggunaan ruang

Keputusan yang diambil adalah :

a. Jika x2 hitung ≤ x2(0.05,k-1), maka terima H0 artinya tidak terdapat faktor

yang mempengaruhi penggunaan ruang beruang madu

b. Jika x2 hitung > x2(0.05,k-1), maka tolak H0 artinya terdapat faktor yang

mempengaruhi beruang dalam penggunaan ruang

5. Analisis faktor dominan habitat

Penentuan faktor-faktor yang dominan terhadap keberadaan beruang madu diperoleh dengan cara menganalisis variabel bebas dan tidak bebas menggunakan analisis faktor. Hasil analisis akan menunjukkan komponen habitat yang berpengaruh terhadap keberadaan beruang madu. Analisis faktor merupakan salah satu metode multivariate yang digunakan untuk menganalisis variabel-variabel yang memiliki keterkaitan satu sama lain sehingga keterkaitan tersebut dapat dipetakan atau dikelompokkan pada variabel yang tepat (Supangat 2007). Secara prinsip, analisis faktor digunakan untuk mereduksi data atau meringkas sejumlah variabel menjadi lebih sedikit. Apabila terdapat variabel bebas yang saling berkorelasi maka variabel tersebut dihapuskan dan tidak dimasukkan dalam model persamaan regresi berganda. Variabel yang dihapuskan yaitu variabel yang memiliki nilai KMO yang kurang dari 0.5. Analisis faktor dilakukan dengan menggunakan software SPSS 16.

6. Analisis hubungan komponen habitat

Analisis korelasi digunakan untuk mengukur kuat lemahnya hubungan antara satu variabel bebas dan satu variabel tergantung yang berskala interval/parametrik. Kriteria kuat atau lemahnya hubungan antara variabel dapat dilihat dari angka korelasi variabel tersebut. Kriteria kekuatan hubungan variabel yang diuji adalah sebagai berikut (Sarwono 2006):

 0 : tidak ada korelasi

 > 0-0.25 : korelasi sangat lemah

 >0.25-0.5 : korelasi cukup kuat

 >0.5-0.75 : korelasi kuat

 >0.75-0.99 : korelasi sangat kuat

(36)

20

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Letak dan Luas

Kawasan IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti termasuk dalam ekosistem gambut di Semenanjung Kampar (Kampar Ring) dengan luas areal 43400 ha yang terdiri dari hutan produksi (12154 ha) dan hutan produksi terbatas (31246 ha). Estate Meranti dengan Estate Pulau Padang (41205 ha) dan Estate Tasik Belat (12540 ha) merupakan perluasan areal IUPHHK-HT PT RAPP yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 327/Menhut-II/2009. Berdasarkan fungsinya, kawasan Estate Meranti dibedakan menjadi tiga yaitu kawasan produksi, kawasan lindung dan kawasan tanaman kehidupan (TIIP 2010b). Kawasan lindung mencakup areal konservasi di sempadan sungai, kubah gambut dan kawasan penyangga (buffer zone) kubah gambut. Luas areal konservasi Estate Meranti yaitu 9123.05 hektar. Areal Konservasi Estate Meranti yang dijadikan lokasi pengambilan data merupakan kawasan sempadan sungai yaitu sempadan Sungai Kutup, S. Turip, S. Serkap dan S. Sangar serta kawasan penyangga kubah gambut yaitu Tanjung Bunga. Secara administratif, Estate Meranti termasuk dalam Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.

Batas areal NKT Semenanjung Kampar berbatasan dengan (TIIP 2010a): - sebelah utara : Selat Panjang, Pulau Panjang, P. Jadi, P. Tebing Tinggi, P.

Rangsang, P. Topang dan P. Menggung.

- sebelah timur : Selat Panjang, Pulau Tiga, P. Serapung, P. Lebuh dan P. Mendol.

- sebelah selatan : Sungai Kampar, Pulau Muda, P. Ketam, P. Baru dan daratan Riau.

- sebelah barat : kawasan gambut sebelah barat Semenanjung Kampar.

Penutupan Lahan

Tutupan lahan pada Estate Meranti dibedakan menjadi empat tipe variasi vegetasi, yaitu hutan tiang dengan tajuk tinggi (Tall Pole Forest/TPF), hutan transisi tiang tinggi-rawa gambut campuran (Transition of Tall Pole Forest and

Mixed Peat Swamp Forest/TRF), hutan riparian (Riverine Forest) dan semak

belukar. MPSF dicirikan dengan jenis campuran yang didominasi dengan tajuk tinggi dan tidak rata dengan diameter pohon umumnya >30 cm serta cenderung berkembang di wilayah luar atau dekat tepi sungai dengan ketebalan gambut < 3 m. Hutan riparian pada kawasan gambut umumnya berada sejauh 1,5 km dari tepi sungai atau pinggir pantai. Komposisi jenis penyusun vegetasi ini terdiri atas individu pepohonan yang berukuran kecil (diameter <30 cm) dan dari jenis-jenis sekunder seperti Hibiscus tiliaceus, Macaranga caladifolia dan Buchanania

(37)

21

Tipe variasi lokal vegetasi yang menjadi lokasi penelitian hanya dibedakan menjadi dua yaitu hutan tiang tinggi (TPF) dan hutan transisi tiang tinggi-rawa gambut campuran (TRF). Tipe vegetasi lain yaitu hutan riparian dan semak belukar tidak dijadikan lokasi penelitian selain karena kondisi vegetasinya yang hanya terdiri dari semai dan tumbuhan bawah, kedua kawasan ini juga tergenang oleh air sehingga tidak memungkinkan dalam pengambilan data.

Topografi, Hidrologi dan Tanah

Areal hutan tanaman Teluk Meranti disusun oleh tipe ekosistem hutan rawa gambut dataran rendah. Berdasarkan peta land system dari RePPProt, tipe lahan yang menyusun areal Unit Manajemen PT. RAPP Semenanjung Kampar di Estate Meranti terdiri dari mendawai dan gambut. Kawasan bergambut yang berfungsi sebagai daerah resapan air bagi daerah di bawahnya adalah daerah sekitar bagian kubah gambut (peat dome), yang dari segi topografi merupakan daerah atas dan perlu dilindungi supaya fungsi hidrologisnya dapat dipertahankan (TIIP 2010b).

Estate Meranti terletak di DAS Kampar dan terdiri dari beberapa sub DAS, yaitu sub DAS Kutup, sub DAS Turip, sub DAS Serkap dan sub DAS Sangar. Seluruh sungai-sungai yang mengalir di Estate Meranti bermuara di Sungai Kampar. Air sungai yang mengalir baik di Estate Meranti maupun Estate Tasik Belat berasal dari kawasan kubah gambut dan danau-danau gambut yang terdapat di dalam kawasan hutan Semenanjung Kampar.

Iklim

Menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson, iklim di Sektor Pelalawan termasuk tipe A dengan rata-rata curah hujan 2323 mm/tahun. Kisaran curah hujan di TME yaitu antara 2200-2800mm/tahun. Curah hujan paling tinggi rata-rata terjadi pada bulan April dan curah hujan paling rendah rata-rata-rata-rata pada bulan Juli dengan banyaknya hari hujan 150 hari/tahun (TIIP 2010b, Yuniawati 2011).

Tumbuhan dan Satwaliar

Jenis tanaman yang dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman PT. RAPP adalah crassicarpa (Acacia crassicarpa) untuk lahan basah dan mangium (Acacia mangium) untuk lahan kering. Jenis tersebut dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 0-500 m dpl. Kedua jenis tersebut toleran terhadap berbagai tempat tumbuh, termasuk tanah yang miskin hara dan tidak dalam. Perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan biji maupun terubusan. Musim berbunga antara Maret-April dan buah masak pada bulan September-Oktober (Yuniawati 2011).

Areal hutan tanaman Estate Meranti merupakan bagian dari kawasan Semenanjung Kampar yang diketahui sebagai ekosistem hutan rawa gambut yang masih tersisa di Provinsi Riau. Areal tersebut menjadi habitat baik tetap maupun temporer bagi berbagai jenis satwa liar yang langka dan dilindungi serta memiliki kekayaan dan keanekaragaman tumbuhan yang tinggi. Keberadaan tumbuhan dan satwa liar tersebut menjadi salah satu parameter dalam penilaian dan penetapan kawasan hutan menjadi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi.

Berdasarkan hasil survey lapang NKT yang dilakukan oleh Tropenbos Indonesia pada tahun 2010, pada areal Semenanjung Kampar ditemukan 243 jenis dari 53 famili tumbuhan dimana 15 jenis tumbuhan diantaranya termasuk kategori

(38)

22

langka/dilindungi. Jenis-jenis tersebut yaitu sikikau (Anisoptera costata), selumbar terong (Combretocarpus rotundatus), pinang merah (Cyrtostachys

lakka), meranti batu (Dipterocarpus coriaseus), tenggek burung (Evodia lanuankenda), ramin (Gonystylus bancanus), kantong semar (Nepenthes sp.), kelat

asam (Sandoricum koetjape), meranti bunga (Shorea teysmanniana), meranti batu (Shorea uliginosa), dan resak (Vatica rasak).

Jenis satwa liar yang ditemukan di Semenanjung Kampar yaitu 45 jenis mamalia yang termasuk ke dalam 18 famili, 217 jenis burung yang termasuk ke dalam 56 famili, 42 jenis reptil yang termasuk ke dalam 14 famili dan 15 jenis amfibi yang termasuk ke dalam 3 famili. Jumlah jenis satwa liar yang dilindungi yang terdapat di Semenanjung Kampar yaitu terdiri dari 33 jenis mamalia, 52 jenis burung dan 2 reptil. Jenis-jenis tersebut antara lain ungko (Hylobates agilis), harimau (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus), bangau storm (Ciconia stormi), beberapa jenis elang, punai besar (Treron

capellei), sempidan merah (Lophura erythrophthalma), mentok rimba (Cairina scutulata), buaya muara (Crocodilus porosus) dan ular piton (Python reticulatus).

Sebaran Populasi Beruang Madu

Keberadaan beruang madu di Estate Meranti diketahui melalui perjumpaan secara tidak langsung. Jenis perjumpaan secara tidak langsung yaitu melalui keberadaan cakaran dan koyakan pada batang pohon serta tapak kaki beruang di atas permukaan tanah. Jejak beruang madu hanya ditemukan pada 11 jalur dari 17 transek jalur yang dilakukan, yaitu pada kawasan sempadan S. Kutup, S. Sangar, S. Serkap. S. Turip dan Tg. Rimba. Jejak beruang madu tidak ditemukan pada kawasan penyangga kubah gambut yaitu di jalur transek Tg. Bunga. Berdasarkan tipe jejak yang ditemukan, jejak tersebut dibedakan menjadi jejak cakaran sebanyak 13, koyakan sebanyak 7 dan tapak kaki 1 perjumpaan sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Jejak beruang madu yang ditemukan berdasarkan tipe jejak

Tipe jejak TPF TRF

Cakaran 9 4

Koyakan 6 1

Tapak kaki 1 0

Total 16 5

Keterangan: TPF = Tall Pole Forest; TRF = Transition Forest

Jejak yang paling banyak dijumpai berupa cakaran. Cakaran umumnya dijumpai pada pohon dengan diameter besar dan digunakan beruang madu untuk memanjat pohon. Cakaran beruang madu memiliki bentuk yang khas, dimana kulit pohon sedikit tercungkil dan jejak berupa jalur memanjat dari bagian bawah dekat akar sampai ke atas pohon. Koyakan yang ditemukan di pohon umumnya setinggi beruang madu dewasa. Beruang madu tersebut diduga berdiri di atas permukaan tanah atau di dekat perakaran pohon kemudian mengoyak batang pohon atau lubang yang terdapat di pohon untuk mencari pakan. Jejak tapak kaki

(39)

23

sulit dijumpai karena permukaan tanah yang tertutup oleh banyak serasah sehingga tapak kaki beruang yang berpindah atau beraktivitas di atas tanah sulit terdeteksi. Sebanyak 20 jejak beruang madu ditemukan pada vegetasi tingkat pertumbuhan pohon dan hanya satu jejak yang ditemukan di atas permukaan tanah. Bentuk dari jejak yang ditemukan disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Jejak beruang madu; a. cakaran di batang pohon; b. koyakan di batang pohon; c. tapak kaki di permukaan tanah

Jenis-jenis vegetasi yang terdapat jejak beruang madu yaitu parak (Aglaia

rubiginosa), kedondong (Dacryodes rostrata), ara (Ficus stricta), bengku

(Madhuca motleyana), sonde (Payena leerii), piandang (Quassia borneensis), meranti bunga (Shorea teysmanniana) dan kelat merah (Acmena acuminatissima) seperti yang disajikan pada Tabel 4. Jejak beruang madu paling banyak ditemukan pada pohon A. rubiginosa dan S. teysmanniana. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hussin (1994) yang dikutip dalam Wong (2002) yang menyatakan bahwa jejak beruang madu di hutan sekunder paling banyak dijumpai pada vegetasi dengan genus Shorea (Dipterocarpaceae) dan Aglaia (Meliaceae). Kedua jenis vegetasi tersebut memiliki ciri umum pohon yang tinggi

a b

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran penelitianEstate Meranti Habitat  beruang madu Populasi  beruang madu Habitat yang digunakan SEMENANJUNG KAMPAR
Gambar 2 Lokasi penelitian
Gambar 3  Bentuk transek jalur pengamatan beruang madu
Gambar 5 Klasifikasi bentuk tajuk pohon menurut Dawkins (1958)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini ingin menguji pestisida biologi dari jamur  Beauveria bassiana  dengan membandingkan berbagai konsentrasi yang efektif dalam mengendalikan hama uret

Dari tabel 5 juga dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan suhu pada beberapa titik waktu setelah diberi perlakuan pada kelompok parasetamol, ekstrak 300 mg/Kg BB dan

Di antara penelitian dimaksud misalnya: (1) Pendidikan Karakter melalui Life Skills Development dalam Kurikulum Persekolahan (Penelitian Hibah Pasca 2005-2006

Rumput laut yang mempunyai aktivitas antibakteri terbaik terhadap bakteri patogen tersebut dengan zona hambat terbesar dan kategori bakteriosidal, selanjutnya dipilih

pada penggunaan simetidin bersama obat psikotropik atau sebagai efek

Bagi masyarakat perkotaan yang memiliki waktu sedikit untuk berlibur biasanya memilih liburan yang praktis dan mudah dijangkau seperti pergi ke Mall (mal atau

Pada era modern, khususnya Indonesia, Islamic Center berubah menjadi sebuah komplek yang di dalamnya terdapat masjid sebagai bangunan utama dan bangunan-bangunan

Himpunan X yang tidak kosong dilengkapi metrik d ditulis ( disebut ruang metrik sedangkan anggota-anggota himpunan X disebut titik-titik pada ruang metrik yang