• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: (1) pembuatan tempe, (2) pembuatan sari tempe, dan (3) sterilisasi sari tempe. Garis besar penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

1. Fermentasi Tempe (Kusumaningrum et al. 2009)

Bahan baku kacang kedelai dibersihkan, kemudian direbus selama 30 menit. Kacang kedelai yang telah direbus direndam selama dua malam. Setelah perendaman, kulit kedelai dikupas dan dicuci hingga bersih. Kedelai dikukus dan direbus kembali selama 30 menit. Kedelai yang telah direbus ditiriskan dan didinginkan. Setelah dingin, laru tempe sebanyak 5g/kg bahan dicampurkan dengan kacang kedelai. Laru tempe yang digunakan dalam penelitian ini adalah laru standar produksi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Kedelai yang telah dicampur dengan laru tempe kemudian dibungkus dengan kantong plastik. Kantong plastik dilubangi dengan jarak 2 cm untuk mengatur suhu dan kelembapan yang diperlukan bagi pertumbuhan kapang. Selanjutnya, produk diperam pada suhu ruang selama 36 jam hingga diperoleh tempe segar.

2. Pembuatan Sari Tempe

Tahap awal pengolahan sari tempe meliputi pemotongan tempe dan pengukusan selama 10 menit. Selanjutnya, tempe ditiriskan. Tempe kemudian diekstrak dengan air yang sebelumnya telah dipanaskan hingga mendidih (air steril). Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan blender dan menghasilkan bubur encer (ekstraksi I). Bubur encer selanjutnya disaring menggunakan kain saring hingga diperoleh ampas dan filtrat berupa sari tempe. Ampas yang terbentuk kembali di-blender dengan air secukupnya (ekstraksi II) dan disaring. Filtrat hasil ekstraksi II dicampur dengan filtrat hasil ekstraksi I. Seluruh filtrat yang diperoleh diencerkan dengan air steril hingga perbandingan total air yang ditambahkan dengan bahan baku tempe adalah 8:1 (v/b). Selanjutnya, ke dalam filtrat ditambahkan perisa berupa jahe dan daun pandan. Filtrat kemudian dipanaskan di atas

11

Gambar 2. Rancangan diagram alir penelitian

Kacang Kedelai

Fermentasi

Tempe

Ekstraksi

Sari tempe

Uji rating hedonik

Sari tempe yang disukai

oleh konsumen

Pengemasan sari tempe

Uji distribusi panas dan uji penetrasi panas

Waktu proses

sterilisasi sari tempe

Sterilisasi sari tempe berdasarkan

waktu yang telah diperoleh

Uji segitiga Sari tempe dalam

kaleng

pH

Analisis proksimat

Analisis isoflavon

Analisis kapasitas

antioksidan

12

kompor hingga mendidih. Setelah mendidih, kompor dimatikan dan sari tempe dibiarkan mendingin. Saat suhu sari tempe mencapai ±50oC, ditambahkan pemanis sebanyak 7% (b/v) dan penstabil berupa CMC (carboxymethylcellulose) sebanyak 100 ppm (100 mg CMC untuk 1 liter sari tempe). Rancangan diagram alir pembuatan sari tempe dapat dilihat pada Gambar 3.

Dalam penelitian ini, dilakukan perbedaan formulasi sari tempe berdasarkan jenis pemanis yang digunakan. Pemanis yang digunakan untuk masing-masing perlakuan adalah gula pasir, gula merah, dan madu. Sebagai standar pembanding, digunakan sari kedelai (susu kedelai) dengan pemanis berupa gula pasir. Perbedaan formulasi sari tempe dengan basis 1 kg tempe dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rancangan formulasi sari tempe (basis 1 kg tempe)

Bahan Jumlah

Formula I Formula II Formula III Standar Tempe 1 kg 1 kg 1 kg Kedelai (1 kg)

Air 8 liter 8 liter 8 liter 8 liter Pemanis Gula pasir

(560 g) Madu (560 g) Gula merah (560 g) Gula pasir (560 g) CMC 800 mg 800 mg 800 mg 800 mg Daun pandan 10 g 10 g 10 g 10 g Jahe 10 g 10 g 10 g 10 g

3. Pengalengan Sari Tempe

Dalam penelitian ini, kemasan yang digunakan untuk mengemas sari tempe adalah kaleng dengan ukuran 202x308 (diameter 2.125 inci dan tinggi 3.5 inci). Secara umum, Muchtadi (2008) menyebutkan bahwa tahap-tahap pengalengan bahan pangan meliputi pengisian bahan ke dalam kaleng, exhausting, dan penutupan kaleng. Selanjutnya, setelah penutupan kaleng sempurna, dapat diaplikasikan proses termal pada produk.

Sari tempe dengan volume 150 ml dimasukkan ke dalam kaleng. Pengisian ini tidak dilakukan hingga kaleng terisi penuh, melainkan menyisakan ruang kosong dengan tinggi 0,25 inci dari permukaan kaleng. Ruang kosong di antara permukaan atas bahan dengan permukaan kaleng disebut headspace yang bertujuan memberi ruang bagi pengembangan produk selama sterilisasi. Selanjutnya, dilakukan exhausting untuk membentuk keadaan vakum (hampa udara) pada headspace sehingga tidak memungkinkan pertumbuhan mikroorganisme aerob dalam kaleng selama penyimpanan.

Exhausting dilakukan dengan cara menyemprotkan uap air ke headspace, kemudian ditutup dengan tutup kaleng. Exhausting juga dapat dilakukan dengan cara memanaskan kaleng beserta isinya dalam penangas air hingga terbentuk uap air, kemudian ditutup dengan tutup kaleng. Dengan perlakuan ini, diharapkan dalam headspace hanya terdapat uap air sehingga ketika kaleng didinginkan, uap air akan terkondensasi menjadi air dan terbentuk kondisi vakum pada headspace. Setelah dilakukan exhausting, segera dilakukan penutupan kaleng. Penutupan kaleng bertujuan merekatkan badan kaleng dengan tutupnya sehingga mencegah kebocoran isi kaleng dan memastikan kondisi vakum dalam kaleng. Penutupan badan kaleng dengan tutupnya dilakukan menggunakan

13

Gambar 3. Rancangan diagram alir pembuatan sari tempe

Tempe (1 kg)

Pemotongan

Pengukusan (10 menit)

Penirisan

Ekstraksi

Air

Air

Ampas

Ekstraksi

Sari tempe

(Air:tempe=8:1)

Ampas

Jahe

(10 g)

Pandan

(10 g)

Pemanasan

(mendidih)

Pendinginan

(suhu ±50

o

C)

CMC

(800 mg)

Pemanis

(560 g)

Pengemasan

14

double seamer. Prinsip kerja double seamer adalah menjepit dan mengepres sehingga terbentuk empat lapisan antara badan kaleng dengan tutupnya (Muchtadi 2008). Selanjutnya, produk sari tempe dalam kaleng dapat disterilisasi.

Setelah disterilisasi, produk sari tempe dalam kaleng didinginkan dengan memasukkan kaleng yang baru dikeluarkan dari retort ke dalam air dingin sehingga terjadi penurunan suhu secara drastis. Proses ini bertujuan memberikan cold shock

terhadap spora bakteri yang tersisa setelah sterilisasi komersial sehingga tidak dapat tumbuh pada kondisi penyimpanan normal. Dengan demikian, keamanan produk pangan dalam kaleng menjadi terjamin (Muchtadi 2008).

4. Uji Distribusi Panas (Kusnandar et al. 2009)

Distribusi panas adalah penyebaran panas yang terjadi selama proses panas di dalam retort. Uji distribusi panas dilakukan untuk menentukan titik dalam retort yang memiliki kecepatan peningkatan suhu paling rendah (titik terdingin/coldest point) selama proses pemanasan. Coldest point selanjutnya akan menjadi acuan tempat untuk uji penetrasi panas. Dengan diketahuinya coldest point diharapkan dapat diperoleh waktu sterilisasi yang memberikan kecukupan panas pada titik yang paling lambat menerima panas. Terpenuhinya kecukupan panas di titik terdingin dapat menjamin bahwa pada titik yang lain proses kecukupan panas sudah tercapai dan pangan yang diproses telah aman untuk dikonsumsi.

Uji distribusi panas dilakukan dengan menempatkan sepuluh termokopel pada sepuluh titik berbeda dalam retort yang diduga lambat menerima panas. Dengan melakukan uji ini, dapat diketahui waktu venting yang diperlukan retort untuk menyeragamkan suhu dalam retort. Selain itu, dapat diketahui pula come-up time (CUT), yaitu waktu yang dibutuhkan retort sejak dinyalakan hingga mencapai suhu proses yang diinginkan (121oC). Dari pengukuran distribusi panas, akan diperoleh grafik hubungan suhu dan waktu yang menggambarkan pada suhu dan waktu berapa proses venting

selesai dilakukan serta posisi titik terdingin dalam retort. Posisi termokopel dalam retort

pada uji distribusi panas dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Posisi termokopel dalam retort selama uji distribusi panas (Darmadi 2010) 8 3 10 1 7 6 4 2 9 5

15

5. Uji Penetrasi Panas (Kusnandar et al. 2009)

Penetrasi panas adalah perambatan panas dalam kemasan dan produk pangan yang terjadi selama proses termal. Tujuan pengukuran penetrasi panas adalah memantau perubahan suhu produk selama proses pemanasan dan pendinginan untuk menetapkan proses termal yang aman. Laju penetrasi panas terhadap produk dilakukan dengan menentukan profil hubungan suhu dan waktu selama proses termal sehingga diperoleh nilai sterilisasi (F) aktual pada kondisi proses termal yang digunakan.

Pengukuran data penetrasi panas dilakukan dengan menggunakan termokopel yang dipasang di titik terdingin (coldest point) dalam kemasan, dalam hal ini kaleng yang berisi sari tempe. Sari tempe merupakan produk pangan berbentuk cair sehingga proses perambatan panas dalam sari tempe berlangsung secara konveksi. Menurut Muchtadi (2008), titik terdingin untuk bahan yang mengalami perambatan panas secara konveksi pada kemasan kaleng dengan bentuk silindris vertikal terletak pada poros kaleng dengan ketinggian kira-kira 1/4 tinggi di atas dasar kaleng. Uji penetrasi panas difokuskan pada titik terdingin dalam retort yang diketahui dari uji distribusi panas. Termokopel tersebut dihubungkan dengan rekorder yang akan mencatat data perubahan suhu terhadap waktu. Dalam penelitian ini, akan diukur laju penetrasi panas pada lima sampel sari tempe dalam kaleng yang diletakkan di sekitar titik terdingin dalam retort.

Pengolahan data hasil pengukuran penetrasi panas dapat dilakukan menggunakan metode umum (metode luasan trapesium) dan metode formula (metode Ball). Metode umum adalah metode yang paling teliti dalam perhitungan proses termal karena data suhu bahan hasil pengukuran dalam percobaan langsung digunakan dalam perhitungan tanpa asumsi dan prediksi berdasarkan persamaan hubungan suhu dengan waktu. Dalam perhitungan kecukupan panas dengan metode formula, digunakan parameter-parameter yang diperoleh dari data penetrasi panas dan prosedur-prosedur matematik untuk mengintegrasikan lethal effects. Metode umum biasa digunakan untuk mengevaluasi kecukupan panas dari proses sterilisasi yang telah dilakukan, tidak biasa digunakan untuk merancang proses termal. Metode formula biasa digunakan untuk merancang sebuah proses sterilisasi. (Subarna et al. 2008).

Metode umum didasarkan pada hubungan lethal rate (Lr) dan waktu (t). Lr adalah tingkat sterilitas mikroba yang disetarakan pada suhu 250oF atau 121.1oC (Hariyadi, Kusnandar 2000). Luasan di bawah kurva hubungan antara LR dan waktu menunjukkan nilai Fo proses sterilisasi. Luasan kurva dapat ditentukan dengan melakukan pendekatan jumlah luasan trapesium tiap satuan waktu. Contoh kurva hubungan antara Lr dan waktu dapat dilihat pada Gambar 5.

Perhitungan kecukupan panas menggunakan metode umum dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan:

Nilai Lr dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan:

.

Data penetrasi panas yang diperoleh juga dapat diplotkan dalam kurva hubungan suhu dengan waktu. Data ini kemudian diolah menggunakan metode formula (metode Ball) sehingga diperoleh karakteristik penetrasi panas dalam pangan yang diproses. Dengan metode formula, data waktu-suhu diplotkan pada grafik semilogaritma

16

menghasilkan kurva pemanasan. Perbedaan antara suhu retort dan suhu bahan pangan diplotkan pada ordinat (sumbu y) dengan skala logaritma sedangkan waktu proses diplotkan pada skala absis (sumbu x) dengan skala linier. Contoh kurva pemanasan metode formula dapat dilihat pada Gambar 6. Nilai waktu proses, letalitas, dan kecukupan sterilisasi (Fo) ditentukan berdasarkan persamaan berikut:

tB = 0.42 tc + tp

tB = (fh) {log (Jh.Ih)– log g} Lr = .

Fo = (

/

Nilai tB menunjukkan waktu proses (menit) yang dibutuhkan dalam sterilisasi , tc

menunjukkan waktu (menit) yang dibutuhkan sejak retort dinyalakan hingga mencapai suhu proses (come-up time), tp menunjukkan waktu (menit) sejak retort mencapai suhu proses hingga suplai uap dihentikan (operator time), fh menunjukkan waktu yang dibutuhkan oleh kurva pemanasan untuk melewati satu siklus logaritma, Jh.Ih menunjukkan perbedaan suhu awal semu antara suhu retort dan suhu produk berdasarkan kurva pemanasan yang diperoleh, g menunjukkan perbedaan antara suhu retort dan suhu akhir produk yang telah diaplikasikan proses termal, Lr menunjukkan nilai letalitas mikroba pada suhu retort (TR) yang ekivalen dengan nilai letalitas pada suhu 250oF dalam satuan menit, T adalah suhu bahan pangan yang terukur oleh termokopel, S adalah jumlah penurunan siklus logaritma mikroba yang dikehendaki, dan fh/U diperoleh menggunakan grafik atau tabel yang menghubungkan log g dengan fh/U sehingga dapat diperoleh nilai Fo sterilisasi (Muchtadi 2008).

17

0.58 tc 0.42 tc fh

tc tp tB

Waktu sterilisasi (sejak retort dinyalakan) = tc+tp = tB+0.58tc

Gambar 6. Kurva pemanasan metode formula

6. Uji Organoleptik

a.

Uji Rating Hedonik (Adawiyah, Waysima 2009)

T

R

-T

=

g

Waktu (menit

)

Jh.Ih

18

Uji rating digunakan bila uji sensori bertujuan menentukan dalam cara bagaimana suatu atribut sensori tertentu bervariasi di antara sejumlah contoh (jumlah contoh bervariasi dari tiga hingga enam contoh). Pada uji rating hedonik, panelis diminta untuk menilai atribut sensori tertentu produk (rasa, warna, dan aroma) dan keseluruhan sifat sensori produk berdasarkan tingkat kesukaannya. Skala pengukuran yang digunakan dapat berupa skala kategori atau skala garis. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) dengan uji lanjut uji Duncan. Persyaratan jumlah minimum panelis untuk uji rating

hedonik menurut American Srandard Testing Material (ASTM) adalah 70 panelis tidak terlatih. Dalam

penelitian ini, digunakan panelis tidak terlatih sebanyak 70 orang. Taraf signifikansi yang digunakan adalah 5%. Dalam penelitian ini, uji rating hedonik yang dilakukan menggunakan skala kategori 7 poin dengan deskripsi sebagai berikut:

1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = agak tidak suka 4 = netral

5 = agak suka 6 = suka 7 = sangat suka

b. Uji Segitiga (Adawiyah, Waysima 2009)

Pelaksanaan uji segitiga bertujuan mengidentifikasi apakah proses sterilisasi sari tempe menyebabkan perbedaan karakteristik sensori yang cukup signifikan sehingga dapat dideteksi oleh panelis. Uji segitiga digunakan untuk menunjukkan apakah terdapat perbedaan karakteristik sensori di antara dua sampel. Tingkat probabilitas uji segitiga adalah 1/3. Uji segitiga merupakan overall difference test sehingga sampel dinilai secara keseluruhan. Contoh yang digunakan dalam uji segitiga adalah sari tempe yang belum disterilisasi dan sari tempe yang telah disterilisasi.

Dalam uji segitiga, panelis menerima tiga contoh berkode yang terdiri dari dua contoh sama dan satu contoh berbeda. Terdapat enam kemungkinan penyajian contoh dalam uji segitiga, yaitu ABB, BAA, AAB, BBA, ABA, dan BAB. Contoh-contoh disajikan membentuk pola segitiga. Setiap panelis akan menerima Contoh-contoh dengan kode dan urutan penyajian yang berbeda. Panelis diminta untuk memilih satu contoh yang berbeda di antara ketiga contoh yang disajikan. Analisis data hasil uji segitiga dilakukan dengan membandingkan jumlah jawaban benar dengan tabel binomial uji segitiga. Kedua sampel dianggap berbeda nyata pada taraf signifikansi tertentu jika jumlah jawaban benar panelis minimal sama dengan jumlah minimal panelis pada tabel binomial uji segitiga. ASTM mensyaratkan jumlah minimal panelis tidak terlatih untuk uji segitiga adalah 24 orang. Dalam penelitian ini, digunakan panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang. Taraf signifikansi yang digunakan dalam uji segitiga adalah 5%.

7. Analisis

a. Nilai pH (Faridah et al. 2009)

Sebelum dilakukan pengukuran, pH-meter dinyalakan dan distabilkan terlebih dahulu selama 15-30 menit. Selanjutnya pH-meter dikalibrasi dengan

19

menggunakan larutan buffer pH 4 dan pH 7. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas pengering. Sebanyak 20 ml sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml. Elektroda pH-meter dibilas dengan air destilata, dikeringkan, dan dicelupkan ke dalam sampel. Angka yang tertera pada layar menunjukkan nilai pH sari tempe. Sealanjutnya, elektroda kembali dibilas dengan air destilata, dikeringkan, dan dapat digunakan kembali untuk pengukuran pH sampel.

b. Kadar Air (Latimer, Horwitz 2007)

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang (A). Sejumlah sampel dengan bobot tertentu (B) dimasukkan ke dalam cawan. Cawan beserta isinya dikeringkan dalam oven 100oC selama 6 jam. Cawan dipindahkan ke dalam desikator untuk didinginkan, kemudian ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh bobot konstan (C). Kadar air contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Kadar Air (% bb) = % Kadar Air (% bk) = % % Keterangan: bb = basis basah bk = basis kering

c. Kadar Abu (Latimer, Horwitz 2007)

Cawan yang dipersiapkan untuk pengabuan contoh dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel dengan bobot tertentu (B) dimasukkan ke dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya, dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih dan memiliki bobot yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (C). Kadar abu contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Kadar Abu (% bb) = %

Kadar Abu (% bk) = %

%

d. Kadar Lemak (Latimer, Horwitz 2007)

Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Sejumlah sampel cair dengan bobot atau volume tertentu (B) diteteskan pada kapas bebas lemak yang dimasukkan dalam kertas saring. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya dan dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Setelah dikeringkan sampai mencapai bobot tetap dan

20

didinginkan dalam desikator, labu beserta lemak ditimbang (C). Kadar lemak contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Kadar Lemak (% bb) = %

Kadar Lemak (% bk) = % %

e. Kadar Protein (Latimer, Horwitz 2007)

Sampel sebanyak ± 100-250 mg dimasukkan kedalam labu Kjeldahl, ditambah dengan 1 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO dan 2 ± 0.1 ml H2SO4 pekat. Sampel didestruksi selama 30 menit hingga cairan menjadi jernih. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan dibilas 5-6 kali dengan air destilata sebanyak 1-2 ml, kemudian ditambahkan 8-10 ml campuran larutan 60 % NaOH- 5 %Na2S2O3. Labu tersebut disambungkan dengan alat destilasi dan kondensor yang telah dilengkapi dengan penampung yang berisi larutan H3BO3. Destilasi dilakukan sampai diperoleh volume destilat sebanyak 15 ml, kemudian destilat dititrasi dengan HCl 0.02N sampai larutan berubah warna dari hijau menjadi abu-abu (titik akhir). Indikator yang digunakan dalam titrasi ini adalah campuran dua bagian 0.2% metil merah dalam etanol dan satu bagian 0.2% metilen biru dalam etanol. Sebelum digunakan, HCl terlebih dahulu distandarisasi menggunakan NaOH dengan indikator fenolftalein. NaOH sebelumnya distandarisasi menggunakan larutan kaliumhidrogenftalat (KHP) dengan indikator fenolftalein. Kadar protein contoh dapat dihitung dengan persamaan:

Kadar Nitrogen (%) = . %

Kadar Protein (% bb) = Total Nitrogen (%) x faktor konversi Keterangan: faktor konversi = 6.25

Kadar Protein (% bk) = % %

f. Kadar Karbohidrat (by difference)

Karbohidrat dihitung secara by difference dengan menggunakan persamaan : Kadar Karbohidrat (%bb) = 100% - (P + A + Ab +L)

Keterangan: P = kadar protein (% bb) A = kadar air (% bb) Ab = kadar abu (% bb) L = kadar lemak (% bb)

Kadar Karbohidrat (% bk) = %

%

g. Kadar Isoflavon (Modifikasi Wang et al. 1990 diacu dalam

Darmadi 2010)

Analisis kadar isoflavon yang dilakukan meliputi analisis daidzein dan genistein. Analisis kadar isoflavon dilakukan melalui tiga tahap, yaitu 1) pembuatan kurva standar isoflavon, 2) persiapan sampel, dan 3) analisis HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Modifikasi yang dilakukan adalah perubahan konsentrasi standar yang digunakan serta perubahan volume HCl dan asetonitril yang digunakan pada tahap persiapan sampel.

1) Pembuatan Kurva Standar Isoflavon

Standar isoflavon yang tersedia diencerkan dengan fase gerak yang digunakan dalam HPLC (metanol dan amonium asetat dengan perbandingan

21

6:4 (v/v)). Variasi konsentrasi standar yang digunakan adalah 0.0010 μg, 0.0050 μg, 0.0100 μg, 0.0500 μg, dan 0.1000 μg. Standar kemudian diinjekkan ke dalam HPLC agar diperoleh kromatogram. Selanjutnya, dibuat kurva standar isoflavon yang memplotkan hubungan antara konsentrasi standar isoflavon dan luas area peak pada kromatogram.

2) Persiapan Sampel

a) Isoflavon Bebas (Aglikon)

Sampel sebanyak 2.0 g dicampur dengan 24 ml HCl 1 M, lalu ditambahkan 96 ml asetonitril dan diaduk selama kurang lebih 1 menit. Setelah didiamkan selama beberapa menit hingga terbentuk endapan, sebanyak 1 ml supernatan diambil dan disaring dengan filter glass fiber

Gelman tipe A/E ukuran 13 mm. Sampel siap untuk dianalasis dengan HPLC.

b) Total Isoflavon

Sampel sebanyak 2.0 g dicampur dengan 24 ml HCl 1 M, lalu dipanaskan dalam waterbath selama 2 jam pada suhu 98-100 oC. Setelah didinginkan, sampel kemudian ditambah dengan 96 ml asetonitril dan diaduk selama 1 menit. Setelah didiamkan beberapa menit hingga terbentuk endapan, sebanyak 1 m supernatan diambil dan disaring dengan filter glass fiber Gelman tipe A/E ukuran 13 mm. Sampel siap untuk dianalasis dengan HPLC.

c) Isoflavon Terikat (Glukosida)

Kadar isoflavon terikat (glukosida) diperoleh secara by difference. Kadar genistin diperoleh dengan mengurangi kadar total genistein dengan kadar genistein. Kadar daidzein diperoleh dengan mengurangi kadar total daidzein dengan kadar daidzein.

3) Analisis HPLC

Analisis HPLC dilakukan dengan menggunakan kolom C-18 jenis Bondapak (3.9 mm i.d x 30 cm). Detektor yang digunakan adalah detektor UV pada panjang gelombang 254 nm dan detektor fluorosens pada panjang gelombang 365 nm (eksitasi) dan 418 nm (emisi). Fase gerak yang digunakan adalah metanol dan amonium asetat dengan perbandingan 6:4 (v/v) yang dialirkan dengan kecepatan sebesar 1 mL per menit. Sebanyak 20 µl sampel disuntikkan ke dalam kolom. Jenis senyawa isoflavon yang dapat diidentifikasi adalan genistein dan daidzein. Penentuan kadar isoflavon ditentukan berdasarkan kurva standar isoflavon yang telah dibuat sebelumnya.

h. Kapasitas Antioksidan (Leong, Shui 2002)

Analisis kapasitas antioksidan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode spektrofotometri, yaitu metode reduksi DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil). Larutan-larutan yang dibutuhkan adalah larutan DPPH 1 mM dalam metanol proanalysis, metanol, larutan standar asam askorbat, dan sampel. Analisis kapasitas antioksidan terdiri atas dua tahap, yaitu 1) pembuatan kurva standar asam askorbat dan 2) penentuan kapasitas antioksidan sampel.

22

Seri larutan standar asam askorbat dibuat dengan konsentrasi 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 200 ppm, dan 500 ppm. Larutan blanko dibuat dengan mencampurkan 8 ml metanol dengan 2 ml larutan DPPH. Larutan standar dibuat dengan mencampurkan 7 ml metanol dan 2 ml larutan DPPH dengan 1 ml standar pada masing-masing konsentrasi. Larutan didiamkan pada suhu ruang selama 30 menit untuk selanjutnya diukur absorbansinya (A) menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 520 nm. Selanjutnya dibuat kurva standar asam askorbat dengan memplotkan hubungan antara konsentrasi asam askorbat dan (A blanko – A sampel).

2) Penentuan Kapasitas Antioksidan Sampel

Larutan blanko dibuat dengan mencampurkan 8 ml metanol dengan 2 ml larutan DPPH. Larutan sampel dibuat dengan mencampurkan 7 ml metanol dan 2 ml larutan DPPH dengan 1 ml sampel. Larutan didiamkan pada suhu ruang selama 30 menit untuk selanjutnya diukur absorbansinya (A) menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 520 nm. Selanjutnya diperoleh nilai (A blanko – A sampel) yang akan disubstitusikan pada persamaan kurva standar asam askorbat untuk menentukan AEAC (Ascorbic Acid Equivalent Antioxidant Capacity). Nilai yang diperoleh menunjukkan jumlah μg asam askorbat yang ekivalen dengan 1 ml sampel.

23

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

Dokumen terkait