• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengolahan sari tempe dalam kaleng sebagai upaya diversifikasi pangan berbasis tempe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengolahan sari tempe dalam kaleng sebagai upaya diversifikasi pangan berbasis tempe"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUK

SEBAGA

FAKU

IN

KSI SARI

AI UPAYA

BER

RE

ULTAS TE

NSTITUT P

I TEMPE

A DIVERS

RBASIS TE

SKRIPSI

EGGIE SUR

F24070139

EKNOLO

PERTANI

BOGOR

2011

DALAM

SIFIKASI

EMPE

I

RYA

9

GI PERTA

IAN BOG

R

KALENG

PANGAN

ANIAN

GOR

(2)

ii

PRODUCTION OF CANNED TEMPE-EXTRACT

AS TEMPE-BASED FOOD DIVERSIFICATION

Reggie Surya1, Winiati P. Rahayu1

1

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone 62 819 32541249, email: reggie_surya@yahoo.com

ABSTRACT

Tempe is a traditional Indonesian food product derived from fermented soybeans using

Rhizopus oligosporus. Tempe has many advantages, such as good nutritional value and organic compounds which contributes to human health. Tempe’s key benefits are related to its excellent protein content, its high levels of essential fatty acids, numerous vitamins and minerals, its dietary fibers, and its isoflavones. These beneficial factors give tempe the potential to be can developed as functional food. Tempe extract (tempe milk) is an example of diversified tempe-based food. This study shows the production of canned tempe-extract as tempe-based food diversification. The purpose of this study is to produce canned tempe-extract that consumers like. This study also determines the sterilization time, nutrition facts, isoflavone contents, and antioxidant capacity of canned tempe-extract. The results show that the most favourite formula is tempe extract with honey as sweetener (7%(w/v)). Then, the tempe extract is canned with can size 202x308 (net volume 150 ml). The time needed to sterilize the canned tempe-extract is 25 minutes after the activation of the retort. The target of sterilization is the reduction of Clostridium botulinum amount by 12 logarithmic cycles. The sterilization process does not affect the sensory characteristics of canned tempe-extract significantly. The proximate analysis results show that canned tempe-extract contains 90.27% water, 0.06% ash, 3.66% protein, 0.98% fat, and 5.03% carbohydrates. The isoflavones analysis results show that 100 g canned tempe-extract contains 1.56 mg daidzein, 0.77 mg daidzin, 1.59 mg genistein, and 1.17 g genistin with total isoflavones 5.09 mg. The canned tempe-extract has antioxidant capacity of 7.13 mgAEq/150 ml, which means 150 ml canned tempe-extract has equivalent antioxidant capacity to 7.13 mg ascorbic acid.

(3)

iii

Reggie Surya. F24070139. Produksi Sari Tempe dalam Kaleng sebagai Upaya Diversifikasi Pangan Berbasis Tempe. Di bawah bimbingan Winiati P. Rahayu. 2011.

RINGKASAN

Tempe merupakan produk pangan khas Indonesia berbahan dasar kacang kedelai yang diolah melalui proses fermentasi menggunakan kapang, terutama Rhizopus oligosporus. Secara umum, tempe memiliki ciri berwarna putih akibat pertumbuhan miselia kapang yang menghubungkan biji-biji kedelai sehingga terbentuk tekstur yang kompak. Tempe memiliki beberapa keunggulan dari segi kesehatan. Tempe memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap dan komponen-komponen lain yang telah terbukti secara ilmiah bermanfaat bagi kesehatan, antara lain isoflavon dan serat pangan. Kelebihan ini menyebabkan tempe berpotensi dikembangkan sebagai pangan fungsional.

Hingga saat ini, tempe terutama dikonsumsi dalam bentuk tempe segar. Hal ini disebabkan oleh umur simpan tempe yang relatif singkat. Diversifikasi produk pangan berbasis tempe diperlukan untuk memberikan nilai tambah tempe. Produk olahan tempe yang saat ini banyak beredar adalah keripik tempe. Namun, keripik tempe memiliki komponen fungsional dalam jumlah rendah karena telah mengalami kerusakan akibat panas selama penggorengan. Salah satu hasil diversifikasi pangan berbasis tempe yang dapat dikembangkan adalah sari tempe (susu tempe). Sari tempe lebih praktis untuk dikonsumsi daripada tempe segar. Selain itu, sari tempe yang telah disterilisasi dan dikemas dengan baik memiliki keawetan yang tinggi. Dengan demikian, sari tempe berpotensi memberikan nilai tambah bagi tempe dalam rangka diversifikasi produk olahan tempe.

Penelitian ini bertujuan menentukan formula sari tempe yang disukai oleh konsumen. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan menentukan waktu yang tepat bagi sterilisasi sari tempe, menentukan kandungan gizi sari tempe, menentukan kandungan isoflavon sari tempe, dan menentukan kapasitas antioksidan sari tempe. Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: (1) pembuatan tempe, (2) pembuatan sari tempe, dan (3) pengalengan dan sterilisasi sari tempe.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula sari tempe yang paling disukai oleh konsumen adalah sari tempe dengan pemanis madu (7%(b/v)). Bahan-bahan yang digunakan dalam produksi sari tempe adalah tempe, air, madu, jahe, daun pandan, dan penstabil CMC. Sari tempe yang telah diproduksi selanjutnya dikalengkan dengan kaleng berukuran 202x308 (volume 150 ml).

Berdasarkan hasil uji distribusi panas, diketahui bahwa venting harus dilakukan selama 15 menit dan suhu retort telah mencapai sekitar 108oC. Waktu yang diperlukan retort untuk mencapai suhu proses yang telah ditentukan (121oC) atau come-up time adalah 22 menit. Waktu yang dibutuhkan untuk sterilisasi sari tempe dalam kaleng adalah 25 menit sejak retort dinyalakan. Proses ini didasarkan pada reduksi jumlah Clostridium botulinum sebanyak 12 siklus logaritma. Proses sterilisasi yang dilakukan tidak memengaruhi karakteristik sensori sari tempe dalam kaleng secara signifikan.

(4)

iv

PRODUKSI SARI TEMPE DALAM KALENG

SEBAGAI UPAYA DIVERSIFIKASI PANGAN

BERBASIS TEMPE

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

REGGIE SURYA

F24070139

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

v

Judul Skripsi : Produksi Sari Tempe dalam Kaleng sebagai Upaya Diversifikasi Pangan

Berbasis Tempe

Nama : Reggie Surya

NIM : F24070139

Menyetujui:

Pembimbing,

(Prof. Dr. Winiati P. Rahayu)

NIP 19560813 198201.2.001

Mengetahui: Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Dahrul Syah)

NIP 19680505 199203.2.002

(6)

vi

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Produksi Sari Tempe dalam Kaleng sebagai Upaya Diversifikasi Pangan Berbasis Tempe adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademis dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 3 Januari 2011 Yang membuat pernyataan,

(7)

vii

BIODATA PENULIS

Reggie Surya lahir di Jakarta, 17 Oktober 1989 dari pasangan Ayah Tjhan Tet Hin dan Ibu Koe Foen Lian sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan jenjang SD di SDK Lemuel I Jakarta (2001), jenjang SMP di SMPK II BPK Penabur Jakarta (2003), jenjang SMA di SMAK III BPK Penabur Jakarta (2007), dan jenjang S1 di Institut Pertanian Bogor (2011) dengan Mayor Ilmu dan Teknologi Pangan serta Minor Komunikasi.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2010 ini adalah proses termal, dengan judul “Produksi Sari Tempe dalam Kaleng sebagai Upaya Diversifikasi Pangan Berbasis Tempe”. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini, yaitu:

1. Keluarga tercinta, Papa Tjhan Tet Hin, Mama Koe Foen Lian, Adik Yunita Suryani, dan Mbak Narumi atas segala pengorbanan, doa, dan kasih sayang yang telah diberikan.

2. Prof. Dr. Winiati P. Rahayu selaku pembimbing akademik, atas saran, bimbingan, dan perhatian yang telah diberikan.

3. XXXXX dan YYYYY selaku penguji sidang, atas kesediaan waktu dan saran yang telah diberikan.

4. Sahabat-sahabat terkasih sepanjang masa atas dukungan dan bantuannya, Jimmy Thurovin, Pangus Ho, Andrew Adiguna, Eliana Susilo, Andreas Romulo, Melia Christian, Michael Devega, Devira Sendana, dan Anne Felicia.

5. Kakak kelas terkasih atas dukungan dan bantuannya, Daisy Natalia, Irene Wijaya, Stephanie, dan Stella Darmadi.

6. Rekan-rekan ITP yang sangat berkesan, Belinda, Amelia, Mumun, Kenny, Eddy, Wimala, Arum, Mita, Daniel, Amelinda, Trancy, Lisa, Marisa, Andrew, Bu Elmi, Iman, Punjung, Anisa, Leo, Vita, Adi, Indri, Rozak, Erlindawati, Dinda, Marvin, Cherish, Vendry, Bertha, Ronald, Meiada, Sisca, Agy, Kevin, dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

7. Para guru dan dosen yang telah memberikan ilmu, dari jenjang TK sampai universitas, terutama Ibu Mahsavira Pranoto dan Ibu Wiwik Chrisnajanti.

8. Seluruh analis dan teknisi laboratorium di Seafast Center dan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas bantuan yang telah diberikan, terutama Pak Gatot dan Pak Nurwanto.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan. Terima kasih.

(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... viii 

DAFTAR TABEL ... x 

DAFTAR GAMBAR ... xi 

DAFTAR LAMPIRAN ... xii 

I.  PENDAHULUAN ... 1 

A.  LATAR BELAKANG ... 1 

B.  TUJUAN PENELITIAN ... 2 

II.  TINJAUAN PUSTAKA ... 3 

A.  TEMPE ... 3 

B.  MILAI GIZI TEMPE ... 4 

C.  SARI TEMPE ... 6 

D.  PROSES TERMAL ... 7 

E.  KECUKUPAN PROSES TERMAL ... 9 

III.  METODOLOGI PENELITIAN ... 10 

A.  BAHAN DAN ALAT ... 10 

B.  METODE PENELITIAN ... 10 

IV.  HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23 

A.  PENENTUAN FORMULA SARI TEMPE TERPILIH ... 23 

B.  HASIL UJI DISTRIBUSI PANAS ... 24 

C.  HASIL UJI PENETRASI PANAS ... Error! Bookmark not defined.  D.  HASIL UJI SEGITIGA ... 27 

E.  HASIL PENGUKURAN PH ... 27 

F.  HASIL ANALISIS PROKSIMAT ... 27

G.  HASIL ANALISIS ISOFLAVON ... 28 

H.  HASIL ANALISIS KAPASITAS ANTIOKSIDAN ... 31

V.  SIMPULAN DAN SARAN ... 32 

A.  SIMPULAN ... 32 

B.  SARAN ... 32 

DAFTAR PUSTAKA ... 33 

(10)

x

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Syarat mutu tempe kedelai berdasarkan SNI 01-3144-1992……… 4 Tabel 2. Perbandingan komposisi zat gizi kacang kedelai dan tempe... 5 Tabel 3. Rancangan formulasi sari tempe (basis 1 kg tempe)………. 12 Tabel 4. Parameter analisis kecukupan panas proses sterilisasi sari tempe dalam kaleng

(metode formula)……….. 27 Tabel 5. Hasil analisis proksimat sari tempe dalam kaleng……… 28 Tabel 6. Perbandingan hasil analisis proksimat kacang kedelai, tempe, dan sari tempe

dalam kaleng (basis kering)……….. 28 Tabel 7. Kadar isoflavon sari tempe dalam kaleng………. 29 Tabel 8. Perbandingan kadar isoflavon kacang kedelai, tempe, dan sari tempe dalam

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tempe mentah (tempe segar)………... 3

Gambar 2. Rancangan diagram alir penelitian…………...……… 11

Gambar 3. Rancangan diagram alir pembuatan sari tempe……… 13

Gambar 4. Posisi termokopel dalam retort selama uji distribusi panas………... 14

Gambar 5. Contoh kurva hubungan antara Lr dan waktu……….. 16

Gambar 6. Kurva pemanasan metode formula………... 17

Gambar 7. Formula sari tempe yang disajikan dalam uji rating hedonik………. 22

Gambar 8. Histogram hasil uji rating hedonik………... 22

Gambar 9. Kurva distribusi panas dalam retort………... 23

Gambar 10. Kurva penetrasi panas sari tempe dalam kaleng……….. 24

Gambar 11. Kurva hubungan t dan Lr (metode umum)………... 25

Gambar 12. Kurva hubungan t dan (Tr-T) (metode formula)………. 25

Gambar 13. Kurva standar daidzein………. 28

Gambar 14. Kurva standar genistein……… 28

Gambar 15. Struktur kimia isoflavon aglikon dan glukosida serta jenis-jenis isoflavon kedelai………... 29

(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

HALAMAN

Lampiran 1a. Rekapitulasi data uji rating hedonik………. 38

Lampiran 1b. Pengolahan data uji rating hedonik (warna)………. 45

Lampiran 1c. Pengolahan data uji rating hedonik (bau)……….. 46

Lampiran 1d. Pengolahan data uji rating hedonik (rasa)……….. 47

Lampiran 1e. Pengolahan data uji rating hedonik (keseluruhan)………. 48

Lampiran 2. Rekapitulasi data uji distribusi panas………. 49

Lampiran 3a. Rekapitulasi data uji penetrasi panas (Tc1)……….... 50

Lampiran 3b. Rekapitulasi data uji penetrasi panas (Tc2)……….... 51

Lampiran 3c. Rekapitulasi data uji penetrasi panas (Tc3)……….... 52

Lampiran 3d. Rekapitulasi data uji penetrasi panas (Tc4)……….... 53

Lampiran 3e. Rekapitulasi data uji penetrasi panas (Tc5)……….... 54

Lampiran 3f. Rekapitulasi data uji penetrasi panas (metode formula)……… 55

Lampiran 4a. Rekapitulasi data uji segitiga……….. 56

Lampiran 4b. Tabel peluang binomial untuk uji segitiga (One-tailed;p=0.3333;α=0.05) 57 Lampiran 5. Rekapitulasi data pengukuran pH………... 58

Lampiran 6a. Rekapitulasi data analisis kadar air……… 58

Lampiran 6b. Rekapitulasi data analisis kadar abu………. 58

Lampiran 6c. Rekapitulasi data analisis kadar protein……… 58

Lampiran 6d. Rekapitulasi data analisis kadar lemak……….. 58

Lampiran 6e. Perhitungan kadar karbohidrat (by difference)………. 59

Lampiran 7a. Rekapitulasi data kurva standar daidzein……….. 59

Lampiran 7b. Rekapitulasi data kurva standar genistein……….. 59

Lampiran 7c. Rekapitulasi data uji isoflavon bebas (daidzein)……… 59

Lampiran 7d. Rekapitulasi data uji isoflavon bebas (genistein)………. 59

Lampiran 7e. Rekapitulasi data uji total isoflavon (daidzein)……… 59

Lampiran 7f. Rekapitulasi data uji total isoflavon (genistein)……… 60

Lampiran 8a. Rekapitulasi data kurva standar asam askorbat……… 60

(13)

1

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kedelai (Glycine max) yang diolah melalui proses fermentasi menggunakan kapang, terutama Rhizopus sp.. Secara umum, tempe memiliki penampakan berwarna putih yang disebabkan oleh pertumbuhan miselia kapang yang menghubungkan biji-biji kedelai sehingga terbentuk tekstur yang kompak. Kapang yang tumbuh pada kedelai akan mendegradasi senyawa-senyawa kompleks pada kedelai menjadi senyawa-senyawa sederhana yang lebih mudah dicerna oleh manusia. Terjadinya degradasi komponen-komponen kedelai oleh kapang selama fermentasi menyebabkan timbulnya flavor tempe yang khas (Syarief et al. 1999)

Pada awal tahun 1960-an tempe masih dianggap sebagai komoditas inferior yang hanya dikonsumsi lapisan masyarakat mengengah ke bawah (Syarief et al. 1999). Namun, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, tempe semakin banyak dikonsumsi oleh masyarakat luas karena memiliki nilai gizi yang tinggi serta potensi dan khasiat yang baik bagi kesehatan. Hal ini terbukti dari tingginya konsumsi kedelai dan tempe di Indonesia. Pada tahun 2007, konsumsi tempe di Indonesia mencapai 21.70 g/kapita/hari atau 7.90 kg/kapita/tahun (Hardinsyah 2008). Karyadi (1999) menyebutkan bahwa selama satu dekade terakhir, sebanyak 50% kedelai di Indonesia dikonsumsi dalam bentuk tempe, 40% dalam bentuk tahu dan 10% dalam bentuk produk lain. Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia.

Telah banyak hasil penelitian ilmiah yang menunjukkan manfaat tempe dalam bidang kesehatan. Hal ini memberikan peluang bagi pengembangan tempe sebagai pangan fungsional. Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung bahan-bahan yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, tidak membahayakan, dan bermanfaat bagi kesehatan (Wildman 2001). Tempe memiliki kandungan gizi dan senyawa organik yang cukup lengkap serta bermanfaat bagi kesehatan. Tempe juga dapat diperoleh dengan harga relatif lebih rendah dibandingkan dengan produk olahan kedelai lain yang dikenal masyarakat dunia (Syarief

et al. 1999). Tempe merupakan sumber gizi yang baik karena mengandung protein, asam amino esensial, asam lemak esensial, vitamin B kompleks, dan serat dalam jumlah cukup (Prihatna 1991). Penelitian-penelitian mutakhir menunjukkan bahwa tempe mengandung senyawa yang berperan sebagai antioksidan dalam tubuh manusia, yaitu isoflavon. Menurut Muchtadi (2010), isoflavon dalam tubuh manusia bermanfaat sebagai antioksidan, antikanker, antiosteoporosis, dan hipokolesterolemik. Isoflavon juga berperan sebagai agen antipenuaan dini, memperlambat masa menopause pada wanita dewasa, dan membantu mengatasi masalah-masalah akibat

menopause secara umum (Tilaar et al. 2010). Menurut Astawan (2008), isoflavon pada tempe memiliki bioavailabilitas yang lebih baik daripada isoflavon pada kacang kedelai karena telah mengalami degradasi akibat aktivitas kapang selama fermentasi.

Selama ini, pemasaran dan konsumsi tempe di Indonesia sebagian besar berupa tempe segar. Hal ini disebabkan oleh daya awet tempe yang relatif rendah dan umur simpannya yang cenderung singkat sehingga pemasaran tempe cenderung terbatas. Tempe tergolong dalam bahan pangan yang mudah rusak (Koswara 1992) dan memiliki umur simpan yang relatif singkat, yaitu sekitar 72 jam pada suhu kamar (Kasmidjo 1996).

(14)

2

beberapa contoh variasi produk yang dapat diproduksi dalam rangka diversifikasi produk olahan tempe, yaitu tempe kaleng, tempe beku, keripik tempe, pangan olahan khusus (bagi bayi, ibu hamil, ibu menyusui, atau orang dengan penyakit tertentu), dan sari tempe. Hingga saat ini, diversifikasi produk olahan tempe masih sangat terbatas. Produk olahan tempe yang banyak beredar di pasar adalah keripik tempe, selebihnya tempe dipasarkan dalam bentuk tempe segar. Keripik tempe diolah dari tempe melalui proses penggorengan. Keripik tempe memiliki flavor hasil yang khas, tekstur yang renyah, rasa yang gurih, dan umur simpan yang relatif panjang sehingga disukai oleh konsumen. Namun, keripik tempe memiliki komponen fungsional dalam jumlah rendah karena mengalami kerusakan akibat proses penggorengan yang dilakukan pada suhu relatif tinggi (Haron et al. 2009). Komponen-komponen utama pada tempe yang rusak akibat proses penggorengan adalah vitamin dan isoflavon.

Sari tempe merupakan salah satu produk yang dapat diproduksi dalam rangka diversifikasi produk olahan tempe. Sari tempe dibuat dengan mengekstraksi tempe menggunakan air. Panas yang digunakan dalam pembuatan sari tempe tergolong minimal sehingga dapat meminimalisasi kerusakan senyawa-senyawa pada tempe yang sensitif terhadap panas. Dengan demikian, nilai gizi dan komponen-komponen yang terkandung dalam tempe dapat lebih dipertahankan. Sari tempe lebih praktis untuk dikonsumsi daripada tempe segar. Selain itu, sari tempe yang telah disterilisasi dan dikemas dengan baik memiliki keawetan yang tinggi. Dengan demikian, sari tempe berpotensi memberikan nilai tambah bagi tempe dalam rangka diversifikasi produk olahan tempe.

B.

TUJUAN PENELITIAN

(15)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

TEMPE

Tempe adalah produk pangan tradisional Indonesia berbahan baku kedelai (Glycine max) yang difermentasi dalam waktu tertentu menggunakan kapang Rhizopus sp.. Spesies kapang yang umum digunakan dalam fermentasi tempe adalah Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae. Fermentasi tempe berlangsung secara aerob karena kapang merupakan mikroorganisme yang bersifat aerob obligat. Kapang membutuhkan oksigen untuk metabolisme dan membentuk biomassa berupa miselia yang membentuk tekstur kompak pada tempe. Selama fermentasi, kapang akan menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks dalam kedelai menjadi senyawa yang lebih mudah dicerna. Gambar 1 memperlihatkan tempe mentah (tempe segar).

Gambar 1. Tempe mentah (tempe segar)

Tempe memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan kacang kedelai. Dibandingkan dengan kedelai mentah, tempe tidak hanya memiliki flavor yang lebih dapat diterima, tetapi juga lebih mudah dicerna. Proses fermentasi tempe dapat mempertahankan sebagian besar zat gizi yang terkandung dalam kedelai, meningkatkan daya cerna proteinnya, serta meningkatkan kadar beberapa macam vitamin B (Muchtadi 2010). Selama fermentasi tempe, terjadi aktivitas enzim fitase yang dihasilkan oleh kapang. Enzim ini dapat mengurai senyawa fitat, zat antinutrisi yang umum terkandung dalam kedelai menjadi inositol dan fosfat. Fitat dapat membentuk kompleks dengan berbagai senyawa, misalnya mineral sehingga dapat menghambat penyerapannya dalam usus manusia. Dengan terurainya fitat pada kedelai selama fermentasi tempe, penyerapan mineral dalam tubuh manusia menjadi lebih maksimal. Selain itu, penguraian komponen-komponen gizi seperti protein dan lemak oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh kapang dapat mempermudah penyerapannya dalam usus manusia. Hal ini menunjukkan bahwa fermentasi kedelai menjadi tempe dapat meningkatkan ketersediaan (availabilitas) nutrien bagi tubuh manusia. Oleh karena itu, tempe sangat baik untuk diberikan kepada segala kelompok umur (dari bayi hingga lansia) sehingga bisa disebut makanan semua umur (Saputra 2006).

(16)

4

Tabel 1.Syarat mutu tempe kedelai berdasarkan SNI 01-3144-1992

No Parameter Satuan Persyaratan

1 Keadaan  Bau  Warna  Rasa - - -

normal khas tempe normal

normal

2 Air , b/b % maks. 65.00

3 Abu, b/b % maks. 1.50

4 Protein (N x 6.25), b/b % min. 20.00

5 Lemak, b/b % min. 10.00

6 Serat kasar, b/b % min. 2.50 7 Mikroba

E. coli

Sallmonella

APM/g per 25 g

maks. 10 negatif 8 Cemaran logam

 Timbal (Pb)

 Tembaga (Cu)

 Seng (Zn)

 Timah (Sn)

 Raksa (Hg)

mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg maks. 2.00 maks. 30.00 maks. 40.00 maks. 40.00 maks. 0.03 9 Cemaran arsen (As) mg/kg maks 1.00 Sumber : BSN 1992

B.

NILAI GIZI TEMPE

Menurut Sudigbia (1996), tempe memiliki beberapa sifat yang menguntungkan sebagai bahan makanan, yaitu:

a. Memiliki kandungan protein yang lengkap. Tempe mengandung delapan macam asam amino esensial meliputi isoleusin, leusin, lisin, fenilalanin, treonin, triptofan, valin, dan metionin. Lisin merupakan asam amino yang paling banyak terkandung dalam tempe (Koswara 1992) sedangkan metionin merupakan asam amino pembatas dalam tempe (Syarief et al. 1999)

b. Memiliki kandungan vitamin B12 yang tinggi, yaitu 3.00-5.00 mg/100g tempe

(Sarwono 2002)

c. Memiliki kandungan lemak jenuh yang rendah, yaitu 3.70 mg/100g tempe (Anonim 2008)

d. Memiliki kandungan zat yang berkhasiat sebagai antibiotik, yaitu senyawa peptida berantai pendek yang diproduksi oleh kapang Rhizopus sp.. Senyawa ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif secara efektif (Syarief et al. 1999) Selain kaya akan protein, tempe merupakan sumber gizi yang baik karena banyak mengandung asam amino esensial, asam lemak esensial, vitamin B kompleks dan serat (Prihatna 1991). Selain itu, beberapa kandungan pada tempe juga dapat digunakan sebagai antibiotika untuk menyembuhkan infeksi dan antioksidan untuk mencegah penyakit degeneratif. Perbandingan komposisi zat gizi antara kedelai dan tempe dapat dilihat pada Tabel 2.

(17)

5

menjadi asam-asam amino bebas. Selain protease, kapang tempe juga menghasilkan enzim lipase yang dapat menyebabkan hidrolisis lemak selama fermentasi. Wagenknecht et al. (1961) menyatakan bahwa selama fermentasi tempe berlangsung, terjadi penurunan kadar asam linolenat dan peningkatan bilangan asam sekitar 50-70 kali. Hal ini disebabkan oleh aktivitas lipolitik kapang tempe yang menghidrolisis triasilgliserol menjadi gliserol dan asam-asam lemak bebas. Di samping itu, kapang menggunakan asam linolenat dalam metabolisme sehingga jumlahnya selama fermentasi menurun. Kadar pati selama fermentasi menurun drastis hingga 74% dan terbentuk senyawa-senyawa karbohidrat yang tidak teridentifikasi. Peningkatan kadar serat sebesar 5.85% terjadi akibat miselium cendawan yang mengandung serat (Steinkraus et al.

1960).

Tabel 2. Perbandingan komposisi zat gizi kedelai dan tempe (basis kering)

Komposisi Proksimat Satuan Kedelai Tempe

Air g 0 0

Abu g 6.1 3.6

Protein g 46.2 46.5

Lemak g 19.1 19.7

Karbohidrat g 28.2 30.2

Serat g 3.7 7.2

Mineral:

Kalsium (Ca) mg 254 347 Fosfor (P) mg 781 724

Besi (Fe) mg 11 9

Vitamin:

Tiamin (B1) mg 0.48 0.28 Riboflavin (B2) mg 0.15 0.65 Niasin (B3) mg 0.67 2.52

Asam pantotenat (B5) mg 0.43 0.52 Piridoksin (B6) mg 0.18 0.10

Sianokobalamin (B12) μg 0.15 3.90

Biotin μg 35 53

Total asam amino mg 44,218 44,221 Sumber: Hermana et al. 1996

Perubahan yang terjadi selama fermentasi tempe antara lain peningkatan pH dari 5.0 menjadi 7.6. Peningkatan pH ini terjadi akibat pertumbuhan kapang yang cepat. Tempe yang berkualitas baik memiliki pH pada kisaran 6.3 hingga 6.5 (Steinkraus et al. 1960). Peningkatan pH akan meningkatkan kelarutan protein tempe. Fermentasi kedelai dalam pembuatan tempe juga mengakibatkan terjadinya degradasi faktor antinutrisi (Hyeronymus 1993) dan peningkatan persentase vitamin B, kecuali vitamin B1 dan B6.

Kenaikan kadar vitamin B12 yang terjadi pada pembuatan tempe sangat mencolok sehingga

tempe menjadi satu-satunya sumber vitamin yang potensial dari bahan pangan nabati. Hal ini menyebabkan tempe sering digunakan sumber vitamin B12, terutama oleh kelompok dengan pola

hidup vegetarian. Vitamin B12 diproduksi oleh bakteri kontaminan seperti Klebsiella pneumoniae

(Karyadi 1985). Vitamin ini umumnya dijumpai pada produk pangan hewani dan tidak dijumpai pada pangan nabati. Vitamin B12 meningkat aktivitasnya sampai 33 kali selama fermentasi,

(18)

6

Kandungan asam fitat pada tempe lebih rendah sekitar 30% daripada kedelai sebelum fermentasi. Hal ini disebabkan oleh aktivitas enzim fitase yang dihasilkan oleh kapang tempe. Asam fitat dapat menyebabkan defisiensi fosfat, kalsium,dan gangguan penyerapan zat besi (Karyadi 1985). Jumlah mineral zat besi, tembaga, dan seng berturut-turut pada tempe adalah 9.39, 2.87, dan 8.05 mg setiap 100 gram tempe (Syarief et al. 1999).

Tempe mengandung isoflavon, senyawa golongan polifenol yang merupakan antioksidan. Antioksidan sangat diperlukan tubuh dalam menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan sehingga sangat reaktif dan dapat menyebabkan tumor, kanker, penuaan, dan kematian sel. Isoflavon adalah senyawa flavonoid (salah satu anggota senyawa polifenol) dan merupakan salah satu golongan senyawa metabolit sekunder yang banyak terdapat pada tanaman, khususnya dari golongan Leguminoceae (Muchtadi 2010).

Sumber utama isoflavon adalah kedelai. Dalam kedelai, terdapat tiga jenis isoflavon, yaitu daidzein, glisitein, dan genistein. Tempe juga mengandung antioksidan faktor II (6,7,4’-trihidroksiisoflavon) yang memiliki aktivitas sangat kuat (Syarief et al. 1999) dan tidak ditemukan pada bahan pangan lain (Romulo et al. 2006). Isoflavon pada kacang kedelai terutama berada dalam bentuk glukosida (terikat pada molekul gula). Proses pencernaan, fermentasi kedelai, atau hidrolisis enzimatis akan melepaskan molekul gula dari isoflavon glukosida menghasilkan isoflavon aglikon yang tidak terikat pada molekul gula (Muchtadi 2010). Koswara (1992) menyatakan bahwa sebagian besar isoflavon glukosida yang terkandung dalam kedelai terhidrolisis menjadi isoflavon aglikon selama fermentasi kedelai. Hal ini lebih memudahkan penyerapan isoflavon dalam usus manusia sehingga dapat dikatakan bahwa isoflavon lebih tersedia untuk diserap. Beberapa ahli menyarankan konsumsi isoflavon per hari adalah 30-40 mg (Astawan 2008).

Pengolahan tempe dengan penggorengan dapat mengurangi nilai gizi tempe karena panas yang digunakan sangat tinggi (170-180oC) sehingga dapat merusak komponen-komponen organik yang sensitif terhadap panas. Pengolahan panas dengan uap seperti pengukusan tidak terlalu memengaruhi kandungan gizi pada tempe (Hackler et al. 1964). Total kandungan isoflavon dalam 100 g tempe mentah berdasarkan basis kering adalah 205.00 ± 56.00 mg dan secara signifikan berkurang menjadi 113.00 ± 41.00 mg dalam 100 g tempe goreng (Haron et al.

2009).

C.

SARI TEMPE

Sari tempe (susu tempe) merupakan salah satu contoh produk hasil diversifikasi pangan berbasis tempe (Astuti et al. 2006). Produk ini memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Prinsip pembuatan sari tempe adalah ekstraksi tempe dengan air sehingga diperoleh larutan dengan komponen padatan terlarut yang menyerupai tempe. Sari tempe dapat dikembangkan menjadi sejenis minuman ringan dengan kadar protein 2.5-3.0%. Proses pembuatan sari tempe tidak sulit sehingga produk ini memiliki potensi untuk dikembangkan di tingkat pengrajin (koperasi). Proses pembuatan sari tempe meliputi pemotongan (pengecilan ukuran), perebusan (blansir), penggilingan, penyaringan, penambahan bahan tambahan pangan (gula, garam, perisa, penstabil), dan pengemasan aseptis sehingga diperoleh sari tempe dalam kemasan (Syarief et al.

(19)

7

D.

PROSES TERMAL

Kajian tentang proses termal (pengolahan dengan suhu tinggi) terutama difokuskan pada aplikasi panas untuk membunuh atau menginaktifkan mikroorganisme dan enzim yang dapat menyebabkan kebusukan produk pangan dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tujuan utama proses termal adalah memperpanjang daya awet produk pangan yang mudah rusak dan meningkatkan keamanannya selama disimpan dalam jangka waktu tertentu dengan cara membunuh mikroorganisme pembusuk dan patogen. Proses termal juga memengaruhi mutu produk, seperti memperbaiki mutu sensori, melunakkan produk sehingga lebih mudah dikonsumsi, meningkatkan daya cerna protein dan karbohidrat, serta menghancurkan komponen-komponen yang tidak diperlukan (seperti komponen-komponen antitripsin pada biji-bijian). Namun, proses termal juga dapat menyebabkan kerusakan komponen gizi (vitamin, protein) dan penurunan mutu sensori (rasa, warna, dan tekstur) sehingga proses termal perlu dikontrol dengan baik (Hariyadi, Kusnandar 2000).

Proses termal melibatkan proses pemanasan pada suhu tinggi pada berbagai variasi suhu dan waktu. Proses termal dapat dilakukan dalam sistem batch (in-container sterilization atau

traditional canning) atau dengan sistem kontinu (aseptic processing). Berdasarkan kriteria suhu, waktu, dan tujuan pemanasan, proses termal dibagi menjadi pasteurisasi dan sterilisasi komersial (Hariyadi, Kusnandar 2000).

Pasteurisasi merupakan proses pemanasan pada suhu yang relatif cukup rendah (umumnya dilakukan pada suhu di bawah 100oC) dengan tujuan mengurangi populasi mikroorganisme pembusuk sehingga bahan pangan yang dipasteurisasi tersebut akan memiliki daya awet beberapa hari (seperti produk susu pasteurisasi) hingga beberapa bulan (seperti produk sari buah pasteurisasi) (Hariyadi, Kusnandar 2000). Dalam beberapa produk makanan, pasteurisasi ditujukan untuk membunuh mikroba patogen sedangkan dalam produk fermentasi seperti bir, pasteurisasi ditujukan untuk membunuh mikroba pembusuk. Untuk produk lainnya, pasteurisasi yang dikembangkan didasarkan pada daya tahan panas dari mikroba tertentu yang ingin dihancurkan. Hampir semua bahan pangan dapat diawetkan dengan menggunakan proses pasteurisasi. Selain untuk membunuh mikroba patogen dan mikroba lain yang tidak diinginkan, pasteurisasi juga bertujuan memperpanjang umur simpan dengan cara meminimumkan perubahan cita rasa dan sifat-sifat fisiknya.

Proses pasteurisasi secara umum dapat mengawetkan produk pangan dengan adanya inaktivasi enzim dan pembunuhan mikroorganisme yang sensitif terhadap panas, tetapi hanya sedikit menyebabkan perubahan mutu gizi dan mutu organoleptik. Beberapa mikroorganisme yang dapat dimusnahkan dengan perlakuan pasteurisasi adalah kapang, kamir, bakteri patogen (Mycobacterium tuberculosis, Salmonella sp., Shigella dysentriae), serta bakteri yang tidak dapat membentuk spora (Pseudomonas, Achromobacter, Lactobacillus, Leuconostoc, Proteus,

Micrococcus, Aerobacter). Berdasarkan kombinasi antara waktu dan suhu, terdapat tiga metode pasteurisasi yang umum diaplikasikan di industri pangan, terutama industri susu, yaitu: (1) Long time pasteurization atau holder process, yaitu pada suhu 62.8-65.6oC selama 30 menit; (2) High temperature short time (HTST) pasteurization, yaitu pada suhu 73oC selama 15 detik; dan (3)

Flash pasteurization, yaitu pada suhu 85-95oC selama 2-3 detik (Kusnandar et al. 2009).

(20)

8

namun spora tersebut berada dalam kondisi dorman (inaktif) sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk disimpan dalam kondisi normal. Dengan demikian, produk pangan yang telah disterilisasi memiliki daya awet yang tinggi, yaitu beberapa bulan hingga beberapa tahun (Hariyadi, Kusnandar 2000).

Kondisi proses sterilisasi komersial sangat bergantung pada berbagai faktor, antara lain kondisi produk pangan yang disterilisasi (nilai pH, jumlah mikroba awal, dan lain-lain), jenis dan ketahanan panas mikroba yang ada dalam bahan pangan, karakteristik pindah panas pada bahan pangan dan wadah yang digunakan, medium pemanas, serta kondisi penyimpanan setelah disterilisasi. Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan kemasan kedap udara dapat mencegah terjadinya rekontaminasi (Kusnandar et al. 2006).

Menurut Reuter (1993), kerusakan mutu bahan pangan selama proses sterilisasi cenderung minimal jika bahan pangan tersebut diberi perlakuan suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat. Penentuan waktu dan suhu sterilisasi dipengaruhi oleh kecepatan perambatan panas, keadaan awal produk (pH, dimensi produk, dan jumlah mikroba awal), wadah yang digunakan, dan ketahanan panas mikroba atau spora. Setiap partikel dari makanan harus menerima jumlah panas yang sama. Kombinasi waktu dan suhu yang diberikan pada produk yang disterilisasi harus cukup untuk mematikan mikroba patogen dan mikroba pembusuk.

Proses termal berkaitan erat dengan ketahanan bakteri, termasuk sporanya. Ketahanan bakteri terhadap proses pemanasan umumnya dinyatakan dengan istilah nilai D dan nilai z. Nilai D adalah waktu dalam satuan menit yang dibutuhkan untuk memusnahkan 90% dari populasi bakteri dalam suatu medium termasuk bahan pangan pada suhu tetap yang tertentu. Nilai z adalah selang suhu terjadinya penambahan atau pengurangan organisme atau spora sepuluh kali lipat dalam waktu yang dibutuhkan baik untuk menurunkan 90% atau pembinasaan seluruhnya (Heldman, Singh 2001).

Sel vegetatif bakteri, termasuk bakteri pembentuk spora, kapang, dan kamir pada umumnya memiliki nilai D berkisar 0.5-3 menit pada suhu 65 oC. Nilai z untuk sel vegetatif bakteri, kapang, dan kamir berkisar antara 5-8 oC sedangkan nilai z untuk bakteri pembentuk spora

berkisar antara 6-16 oC (Garbutt 1997). Pada suhu 121 oC, nilai D bakteri pembentuk spora, kapang dan kamir berkisar antara 0-5 menit (Kusnandar et al. 2009). Ketahanan panas mikroba dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain umur dan keadaan organisme sebelum dipanaskan, komposisi medium pertumbuhan organisme, pH dan aw medium, waktu pemanasan, serta suhu

pemanasan (Kusnandar et al. 2006)

Keberhasilan proses pengolahan yang melibatkan panas pada produk pangan adalah terpenuhinya kecukupan panas untuk inaktivasi mikroba yang menyebabkan kebusukan dan keracunan. Bagian terdingin (coldest point) bahan pangan harus menerima panas yang cukup untuk menjamin kecukupan proses termal. Nilai pH makanan merupakan faktor yang penting dan kritis dalam menentukan tingkat proses termal yang dibutuhkan untuk menjamin tercapainya sterilisasi komersial. Di atas pH 4.6, bakteri pembusuk anaerob dan bakteri patogen pembentuk spora seperti Clostridium botulinum dapat tumbuh dan menghasilkan toksin botulinin. Beberapa spora bakteri dapat tumbuh sampai kira-kira pH 3.7, seperti Bacillus thermoacidurans atau

Bacillus coagulans. Bahan pangan dengan nilai pH di bawah 3.7 tidak mengalami kerusakan akibat bakteri pembentuk spora (Fardiaz 1992).

(21)

9

mikroba akhir pada produk pangan yang diinginkan setelah dilakukan proses termal (Hariyadi, Kusnandar 2000).

E.

KECUKUPAN PROSES TERMAL

Kecukupan proses termal bergantung pada karakteristik nilai z mikroorganisme, jumlah mikroorganisme awal pada bahan pangan, dan suhu sterilisasi yang diaplikasikan. Simbol F biasanya digunakan untuk menunjukkan kecukupan proses termal. Nilai F adalah waktu pemanasan pada suhu tertentu yang diperlukan untuk mencapai tingkat sterilitas produk pangan yang diinginkan. Apabila proses termal dilakukan pada suhu 250oF, maka waktu yang

diperlukan untuk mencapai tingkat sterilitas tertentu biasanya dinyatakan dengan nilai Fo. Fo disebut juga nilai sterilisasi. Nilai sterilisasi adalah dasar penentuan matematika untuk kecukupan proses panas. Nilai ini dapat dihitung dengan persamaaan :

Fo = S.Do

FT = S.DT

FT adalah nilai F pada suhu tertentu (T), Do adalah nilai D mikroba pada suhu 250 o

F, DT adalah

nilai D mikroba pada suhu T, dan S adalah jumlah penurunan siklus logaritma mikroba yang diinginkan terjadi. Nilai Do dan DT dapat dihitung dengan persamaan:

DT =

Do = DT .

(22)

10

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tempe adalah kacang kedelai kuning, laru tempe, dan air. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sari tempe adalah tempe hasil fermentasi kedelai, air, gula pasir, jahe, CMC, dan daun pandan. Bahan-bahan yang digunakan dalam analisis antara lain air destilata, K2SO4, HgO, Na2S2O3, H2SO4, H3BO3, NaOH, HCl,

Kristal kaliumhidrogenftalat (KHP), indikator fenolftalein, indikator campuran metil merah dan metilen biru dalam etanol, heksana, standar isoflavon, HCl 1M, asetonitril, DPPH, metanol, dan asam askorbat.

Alat-alat yang digunakan dalam fermentasi tempe adalah kompor, panci, ember plastik, timbangan, kantong plastik, sendok makan, dan pengaduk. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan sari tempe adalah panci, timbangan, kompor, kain saring, blender, dan termometer. Alat-alat yang digunakan dalam pengalengan sari tempe adalah retort, termokopel,

thermorecorder, kaleng, exhauster, dan double seamer. Alat-alat yang digunakan dalam analisis adalah buret, tanur listrik, pembakar bunsen, pipet tetes, pipet volumetrik, gelas piala, cawan alumunium, cawan porselin, gelas ukur, erlenmeyer, neraca analitik, oven pengering, alat destilasi yang dilengkapi kondensor, labu lemak, labu Kjeldahl, kertas saring, desikator, gegep, pinset, batang pengaduk, tabung reaksi, HPLC dengan kolom C-18 oktadesilxilena, filter glass fiber Gelman tipe A/E ukuran 13 mm , spektrofotometer UV-Vis, dan kuvet.

B.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: (1) pembuatan tempe, (2) pembuatan sari tempe, dan (3) sterilisasi sari tempe. Garis besar penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

1.

Fermentasi Tempe (Kusumaningrum

et al.

2009)

Bahan baku kacang kedelai dibersihkan, kemudian direbus selama 30 menit. Kacang kedelai yang telah direbus direndam selama dua malam. Setelah perendaman, kulit kedelai dikupas dan dicuci hingga bersih. Kedelai dikukus dan direbus kembali selama 30 menit. Kedelai yang telah direbus ditiriskan dan didinginkan. Setelah dingin, laru tempe sebanyak 5g/kg bahan dicampurkan dengan kacang kedelai. Laru tempe yang digunakan dalam penelitian ini adalah laru standar produksi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Kedelai yang telah dicampur dengan laru tempe kemudian dibungkus dengan kantong plastik. Kantong plastik dilubangi dengan jarak 2 cm untuk mengatur suhu dan kelembapan yang diperlukan bagi pertumbuhan kapang. Selanjutnya, produk diperam pada suhu ruang selama 36 jam hingga diperoleh tempe segar.

2.

Pembuatan Sari Tempe

(23)

11

Gambar 2. Rancangan diagram alir penelitian

Kacang Kedelai

Fermentasi

Tempe

Ekstraksi

Sari tempe

Uji

rating

hedonik

Sari tempe yang disukai

oleh konsumen

Pengemasan sari tempe

Uji distribusi panas dan uji penetrasi panas

Waktu proses

sterilisasi sari tempe

Sterilisasi sari tempe berdasarkan

waktu yang telah diperoleh

Uji segitiga

Sari tempe dalam

kaleng

pH

Analisis proksimat

Analisis isoflavon

(24)

12

kompor hingga mendidih. Setelah mendidih, kompor dimatikan dan sari tempe dibiarkan mendingin. Saat suhu sari tempe mencapai ±50oC, ditambahkan pemanis sebanyak 7% (b/v) dan penstabil berupa CMC (carboxymethylcellulose) sebanyak 100 ppm (100 mg CMC untuk 1 liter sari tempe). Rancangan diagram alir pembuatan sari tempe dapat dilihat pada Gambar 3.

Dalam penelitian ini, dilakukan perbedaan formulasi sari tempe berdasarkan jenis pemanis yang digunakan. Pemanis yang digunakan untuk masing-masing perlakuan adalah gula pasir, gula merah, dan madu. Sebagai standar pembanding, digunakan sari kedelai (susu kedelai) dengan pemanis berupa gula pasir. Perbedaan formulasi sari tempe dengan basis 1 kg tempe dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rancangan formulasi sari tempe (basis 1 kg tempe)

Bahan Jumlah

Formula I Formula II Formula III Standar Tempe 1 kg 1 kg 1 kg Kedelai (1 kg)

Air 8 liter 8 liter 8 liter 8 liter Pemanis Gula pasir

(560 g)

Madu (560 g)

Gula merah (560 g)

Gula pasir (560 g) CMC 800 mg 800 mg 800 mg 800 mg Daun pandan 10 g 10 g 10 g 10 g

Jahe 10 g 10 g 10 g 10 g

3.

Pengalengan Sari Tempe

Dalam penelitian ini, kemasan yang digunakan untuk mengemas sari tempe adalah kaleng dengan ukuran 202x308 (diameter 2.125 inci dan tinggi 3.5 inci). Secara umum, Muchtadi (2008) menyebutkan bahwa tahap-tahap pengalengan bahan pangan meliputi pengisian bahan ke dalam kaleng, exhausting, dan penutupan kaleng. Selanjutnya, setelah penutupan kaleng sempurna, dapat diaplikasikan proses termal pada produk.

Sari tempe dengan volume 150 ml dimasukkan ke dalam kaleng. Pengisian ini tidak dilakukan hingga kaleng terisi penuh, melainkan menyisakan ruang kosong dengan tinggi 0,25 inci dari permukaan kaleng. Ruang kosong di antara permukaan atas bahan dengan permukaan kaleng disebut headspace yang bertujuan memberi ruang bagi pengembangan produk selama sterilisasi. Selanjutnya, dilakukan exhausting untuk membentuk keadaan vakum (hampa udara) pada headspace sehingga tidak memungkinkan pertumbuhan mikroorganisme aerob dalam kaleng selama penyimpanan.

(25)

13

Gambar 3. Rancangan diagram alir pembuatan sari tempe

Tempe (1 kg)

Pemotongan

Pengukusan (10 menit)

Penirisan

Ekstraksi

Air

Air

Ampas

Ekstraksi

Sari tempe

(Air:tempe=8:1)

Ampas

Jahe

(10 g)

Pandan

(10 g)

Pemanasan

(mendidih)

Pendinginan

(suhu ±50

o

C)

CMC

(800 mg)

Pemanis

(560 g)

(26)

14

double seamer. Prinsip kerja double seamer adalah menjepit dan mengepres sehingga terbentuk empat lapisan antara badan kaleng dengan tutupnya (Muchtadi 2008). Selanjutnya, produk sari tempe dalam kaleng dapat disterilisasi.

Setelah disterilisasi, produk sari tempe dalam kaleng didinginkan dengan memasukkan kaleng yang baru dikeluarkan dari retort ke dalam air dingin sehingga terjadi penurunan suhu secara drastis. Proses ini bertujuan memberikan cold shock

terhadap spora bakteri yang tersisa setelah sterilisasi komersial sehingga tidak dapat tumbuh pada kondisi penyimpanan normal. Dengan demikian, keamanan produk pangan dalam kaleng menjadi terjamin (Muchtadi 2008).

4.

Uji Distribusi Panas (Kusnandar

et al.

2009)

Distribusi panas adalah penyebaran panas yang terjadi selama proses panas di dalam retort. Uji distribusi panas dilakukan untuk menentukan titik dalam retort yang memiliki kecepatan peningkatan suhu paling rendah (titik terdingin/coldest point) selama proses pemanasan. Coldest point selanjutnya akan menjadi acuan tempat untuk uji penetrasi panas. Dengan diketahuinya coldest point diharapkan dapat diperoleh waktu sterilisasi yang memberikan kecukupan panas pada titik yang paling lambat menerima panas. Terpenuhinya kecukupan panas di titik terdingin dapat menjamin bahwa pada titik yang lain proses kecukupan panas sudah tercapai dan pangan yang diproses telah aman untuk dikonsumsi.

Uji distribusi panas dilakukan dengan menempatkan sepuluh termokopel pada sepuluh titik berbeda dalam retort yang diduga lambat menerima panas. Dengan melakukan uji ini, dapat diketahui waktu venting yang diperlukan retort untuk menyeragamkan suhu dalam retort. Selain itu, dapat diketahui pula come-up time (CUT), yaitu waktu yang dibutuhkan retort sejak dinyalakan hingga mencapai suhu proses yang diinginkan (121oC). Dari pengukuran distribusi panas, akan diperoleh grafik hubungan suhu dan waktu yang menggambarkan pada suhu dan waktu berapa proses venting

selesai dilakukan serta posisi titik terdingin dalam retort. Posisi termokopel dalam retort

pada uji distribusi panas dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Posisi termokopel dalam retort selama uji distribusi panas (Darmadi 2010) 8

3

10 1

7 6

4 2

(27)

15

5.

Uji Penetrasi Panas (Kusnandar

et al.

2009)

Penetrasi panas adalah perambatan panas dalam kemasan dan produk pangan yang terjadi selama proses termal. Tujuan pengukuran penetrasi panas adalah memantau perubahan suhu produk selama proses pemanasan dan pendinginan untuk menetapkan proses termal yang aman. Laju penetrasi panas terhadap produk dilakukan dengan menentukan profil hubungan suhu dan waktu selama proses termal sehingga diperoleh nilai sterilisasi (F) aktual pada kondisi proses termal yang digunakan.

Pengukuran data penetrasi panas dilakukan dengan menggunakan termokopel yang dipasang di titik terdingin (coldest point) dalam kemasan, dalam hal ini kaleng yang berisi sari tempe. Sari tempe merupakan produk pangan berbentuk cair sehingga proses perambatan panas dalam sari tempe berlangsung secara konveksi. Menurut Muchtadi (2008), titik terdingin untuk bahan yang mengalami perambatan panas secara konveksi pada kemasan kaleng dengan bentuk silindris vertikal terletak pada poros kaleng dengan ketinggian kira-kira 1/4 tinggi di atas dasar kaleng. Uji penetrasi panas difokuskan pada

titik terdingin dalam retort yang diketahui dari uji distribusi panas. Termokopel tersebut dihubungkan dengan rekorder yang akan mencatat data perubahan suhu terhadap waktu. Dalam penelitian ini, akan diukur laju penetrasi panas pada lima sampel sari tempe dalam kaleng yang diletakkan di sekitar titik terdingin dalam retort.

Pengolahan data hasil pengukuran penetrasi panas dapat dilakukan menggunakan metode umum (metode luasan trapesium) dan metode formula (metode Ball). Metode umum adalah metode yang paling teliti dalam perhitungan proses termal karena data suhu bahan hasil pengukuran dalam percobaan langsung digunakan dalam perhitungan tanpa asumsi dan prediksi berdasarkan persamaan hubungan suhu dengan waktu. Dalam perhitungan kecukupan panas dengan metode formula, digunakan parameter-parameter yang diperoleh dari data penetrasi panas dan prosedur-prosedur matematik untuk mengintegrasikan lethal effects. Metode umum biasa digunakan untuk mengevaluasi kecukupan panas dari proses sterilisasi yang telah dilakukan, tidak biasa digunakan untuk merancang proses termal. Metode formula biasa digunakan untuk merancang sebuah proses sterilisasi. (Subarna et al. 2008).

Metode umum didasarkan pada hubungan lethal rate (Lr) dan waktu (t). Lr adalah tingkat sterilitas mikroba yang disetarakan pada suhu 250oF atau 121.1oC (Hariyadi, Kusnandar 2000). Luasan di bawah kurva hubungan antara LR dan waktu menunjukkan nilai Fo proses sterilisasi. Luasan kurva dapat ditentukan dengan melakukan pendekatan jumlah luasan trapesium tiap satuan waktu. Contoh kurva hubungan antara Lr dan waktu dapat dilihat pada Gambar 5.

Perhitungan kecukupan panas menggunakan metode umum dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan:

Nilai Lr dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan:

.

(28)

16

menghasilkan kurva pemanasan. Perbedaan antara suhu retort dan suhu bahan pangan diplotkan pada ordinat (sumbu y) dengan skala logaritma sedangkan waktu proses diplotkan pada skala absis (sumbu x) dengan skala linier. Contoh kurva pemanasan metode formula dapat dilihat pada Gambar 6. Nilai waktu proses, letalitas, dan kecukupan sterilisasi (Fo) ditentukan berdasarkan persamaan berikut:

tB = 0.42 tc + tp

tB = (fh) {log (Jh.Ih)– log g}

Lr = . Fo = (

/

Nilai tB menunjukkan waktu proses (menit) yang dibutuhkan dalam sterilisasi , tc

menunjukkan waktu (menit) yang dibutuhkan sejak retort dinyalakan hingga mencapai suhu proses (come-up time), tp menunjukkan waktu (menit) sejak retort mencapai suhu

proses hingga suplai uap dihentikan (operator time), fh menunjukkan waktu yang

dibutuhkan oleh kurva pemanasan untuk melewati satu siklus logaritma, Jh.Ih menunjukkan perbedaan suhu awal semu antara suhu retort dan suhu produk berdasarkan kurva pemanasan yang diperoleh, g menunjukkan perbedaan antara suhu retort dan suhu akhir produk yang telah diaplikasikan proses termal, Lr menunjukkan nilai letalitas mikroba pada suhu retort (TR) yang ekivalen dengan nilai letalitas pada suhu 250

o

F dalam satuan menit, T adalah suhu bahan pangan yang terukur oleh termokopel, S adalah jumlah penurunan siklus logaritma mikroba yang dikehendaki, dan fh/U diperoleh menggunakan grafik atau tabel yang menghubungkan log g dengan fh/U sehingga dapat diperoleh nilai Fo sterilisasi (Muchtadi 2008).

(29)

17

0.58 tc 0.42 tc fh

tc tp tB

Waktu sterilisasi (sejak retort dinyalakan) = tc+tp = tB+0.58tc

Gambar 6. Kurva pemanasan metode formula

6.

Uji Organoleptik

a.

Uji

Rating

Hedonik (Adawiyah, Waysima 2009)

T

R

-T

=

g

Waktu (menit

)

Jh.Ih

(30)

18

Uji rating digunakan bila uji sensori bertujuan menentukan dalam cara bagaimana suatu atribut sensori tertentu bervariasi di antara sejumlah contoh (jumlah contoh bervariasi dari tiga hingga enam contoh). Pada uji rating hedonik, panelis diminta untuk menilai atribut sensori tertentu produk (rasa, warna, dan aroma) dan keseluruhan sifat sensori produk berdasarkan tingkat kesukaannya. Skala pengukuran yang digunakan dapat berupa skala kategori atau skala garis. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) dengan uji lanjut uji Duncan. Persyaratan jumlah minimum panelis untuk uji rating

hedonik menurut American Srandard Testing Material (ASTM) adalah 70 panelis tidak terlatih. Dalam

penelitian ini, digunakan panelis tidak terlatih sebanyak 70 orang. Taraf signifikansi yang digunakan adalah 5%. Dalam penelitian ini, uji rating hedonik yang dilakukan menggunakan skala kategori 7 poin dengan deskripsi sebagai berikut:

1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = agak tidak suka 4 = netral

5 = agak suka 6 = suka 7 = sangat suka

b.

Uji Segitiga (Adawiyah, Waysima 2009)

Pelaksanaan uji segitiga bertujuan mengidentifikasi apakah proses sterilisasi sari tempe menyebabkan perbedaan karakteristik sensori yang cukup signifikan sehingga dapat dideteksi oleh panelis. Uji segitiga digunakan untuk menunjukkan apakah terdapat perbedaan karakteristik sensori di antara dua sampel. Tingkat probabilitas uji segitiga adalah 1/3. Uji segitiga merupakan overall difference test sehingga

sampel dinilai secara keseluruhan. Contoh yang digunakan dalam uji segitiga adalah sari tempe yang belum disterilisasi dan sari tempe yang telah disterilisasi.

Dalam uji segitiga, panelis menerima tiga contoh berkode yang terdiri dari dua contoh sama dan satu contoh berbeda. Terdapat enam kemungkinan penyajian contoh dalam uji segitiga, yaitu ABB, BAA, AAB, BBA, ABA, dan BAB. Contoh-contoh disajikan membentuk pola segitiga. Setiap panelis akan menerima Contoh-contoh dengan kode dan urutan penyajian yang berbeda. Panelis diminta untuk memilih satu contoh yang berbeda di antara ketiga contoh yang disajikan. Analisis data hasil uji segitiga dilakukan dengan membandingkan jumlah jawaban benar dengan tabel binomial uji segitiga. Kedua sampel dianggap berbeda nyata pada taraf signifikansi tertentu jika jumlah jawaban benar panelis minimal sama dengan jumlah minimal panelis pada tabel binomial uji segitiga. ASTM mensyaratkan jumlah minimal panelis tidak terlatih untuk uji segitiga adalah 24 orang. Dalam penelitian ini, digunakan panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang. Taraf signifikansi yang digunakan dalam uji segitiga adalah 5%.

7.

Analisis

a.

Nilai pH (Faridah

et al.

2009)

(31)

19

menggunakan larutan buffer pH 4 dan pH 7. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas pengering. Sebanyak 20 ml sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml. Elektroda pH-meter dibilas dengan air destilata, dikeringkan, dan dicelupkan ke dalam sampel. Angka yang tertera pada layar menunjukkan nilai pH sari tempe. Sealanjutnya, elektroda kembali dibilas dengan air destilata, dikeringkan, dan dapat digunakan kembali untuk pengukuran pH sampel.

b.

Kadar Air (Latimer, Horwitz 2007)

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang (A). Sejumlah sampel dengan bobot tertentu (B) dimasukkan ke dalam cawan. Cawan beserta isinya dikeringkan dalam oven 100oC selama 6 jam. Cawan dipindahkan ke dalam desikator untuk didinginkan, kemudian ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh bobot konstan (C). Kadar air contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Kadar Air (% bb) = % Kadar Air (% bk) = %

%

Keterangan: bb = basis basah bk = basis kering

c.

Kadar Abu (Latimer, Horwitz 2007)

Cawan yang dipersiapkan untuk pengabuan contoh dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel dengan bobot tertentu (B) dimasukkan ke dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya, dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih dan memiliki bobot yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (C). Kadar abu contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Kadar Abu (% bb) = % Kadar Abu (% bk) = %

%

d.

Kadar Lemak (Latimer, Horwitz 2007)

(32)

20

didinginkan dalam desikator, labu beserta lemak ditimbang (C). Kadar lemak contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Kadar Lemak (% bb) = % Kadar Lemak (% bk) = % %

e.

Kadar Protein (Latimer, Horwitz 2007)

Sampel sebanyak ± 100-250 mg dimasukkan kedalam labu Kjeldahl, ditambah dengan 1 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO dan 2 ± 0.1 ml H2SO4 pekat.

Sampel didestruksi selama 30 menit hingga cairan menjadi jernih. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan dibilas 5-6 kali dengan air destilata sebanyak 1-2 ml, kemudian ditambahkan 8-10 ml campuran larutan 60 % NaOH- 5 %Na2S2O3. Labu tersebut disambungkan dengan alat destilasi dan kondensor

yang telah dilengkapi dengan penampung yang berisi larutan H3BO3. Destilasi

dilakukan sampai diperoleh volume destilat sebanyak 15 ml, kemudian destilat dititrasi dengan HCl 0.02N sampai larutan berubah warna dari hijau menjadi abu-abu (titik akhir). Indikator yang digunakan dalam titrasi ini adalah campuran dua bagian 0.2% metil merah dalam etanol dan satu bagian 0.2% metilen biru dalam etanol. Sebelum digunakan, HCl terlebih dahulu distandarisasi menggunakan NaOH dengan indikator fenolftalein. NaOH sebelumnya distandarisasi menggunakan larutan kaliumhidrogenftalat (KHP) dengan indikator fenolftalein. Kadar protein contoh dapat dihitung dengan persamaan:

Kadar Nitrogen (%) = . % Kadar Protein (% bb) = Total Nitrogen (%) x faktor konversi

Keterangan: faktor konversi = 6.25 Kadar Protein (% bk) = % %

f.

Kadar Karbohidrat (

by difference

)

Karbohidrat dihitung secara by difference dengan menggunakan persamaan : Kadar Karbohidrat (%bb) = 100% - (P + A + Ab +L)

Keterangan: P = kadar protein (% bb) A = kadar air (% bb) Ab = kadar abu (% bb) L = kadar lemak (% bb)

Kadar Karbohidrat (% bk) = %

%

g.

Kadar Isoflavon (Modifikasi Wang

et

al. 1990 diacu dalam

Darmadi 2010)

Analisis kadar isoflavon yang dilakukan meliputi analisis daidzein dan genistein. Analisis kadar isoflavon dilakukan melalui tiga tahap, yaitu 1) pembuatan kurva standar isoflavon, 2) persiapan sampel, dan 3) analisis HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Modifikasi yang dilakukan adalah perubahan konsentrasi standar yang digunakan serta perubahan volume HCl dan asetonitril yang digunakan pada tahap persiapan sampel.

1)

Pembuatan Kurva Standar Isoflavon

(33)

21

6:4 (v/v)). Variasi konsentrasi standar yang digunakan adalah 0.0010 μg, 0.0050 μg, 0.0100 μg, 0.0500 μg, dan 0.1000 μg. Standar kemudian diinjekkan ke dalam HPLC agar diperoleh kromatogram. Selanjutnya, dibuat kurva standar isoflavon yang memplotkan hubungan antara konsentrasi standar isoflavon dan luas area peak pada kromatogram.

2)

Persiapan Sampel

a) Isoflavon Bebas (Aglikon)

Sampel sebanyak 2.0 g dicampur dengan 24 ml HCl 1 M, lalu ditambahkan 96 ml asetonitril dan diaduk selama kurang lebih 1 menit. Setelah didiamkan selama beberapa menit hingga terbentuk endapan, sebanyak 1 ml supernatan diambil dan disaring dengan filter glass fiber

Gelman tipe A/E ukuran 13 mm. Sampel siap untuk dianalasis dengan HPLC.

b) Total Isoflavon

Sampel sebanyak 2.0 g dicampur dengan 24 ml HCl 1 M, lalu dipanaskan dalam waterbath selama 2 jam pada suhu 98-100 oC. Setelah didinginkan, sampel kemudian ditambah dengan 96 ml asetonitril dan diaduk selama 1 menit. Setelah didiamkan beberapa menit hingga terbentuk endapan, sebanyak 1 m supernatan diambil dan disaring dengan filter glass fiber Gelman tipe A/E ukuran 13 mm. Sampel siap untuk dianalasis dengan HPLC.

c) Isoflavon Terikat (Glukosida)

Kadar isoflavon terikat (glukosida) diperoleh secara by difference. Kadar genistin diperoleh dengan mengurangi kadar total genistein dengan kadar genistein. Kadar daidzein diperoleh dengan mengurangi kadar total daidzein dengan kadar daidzein.

3)

Analisis HPLC

Analisis HPLC dilakukan dengan menggunakan kolom C-18 jenis Bondapak (3.9 mm i.d x 30 cm). Detektor yang digunakan adalah detektor UV pada panjang gelombang 254 nm dan detektor fluorosens pada panjang gelombang 365 nm (eksitasi) dan 418 nm (emisi). Fase gerak yang digunakan adalah metanol dan amonium asetat dengan perbandingan 6:4 (v/v) yang dialirkan dengan kecepatan sebesar 1 mL per menit. Sebanyak 20 µl sampel disuntikkan ke dalam kolom. Jenis senyawa isoflavon yang dapat diidentifikasi adalan genistein dan daidzein. Penentuan kadar isoflavon ditentukan berdasarkan kurva standar isoflavon yang telah dibuat sebelumnya.

h.

Kapasitas Antioksidan (Leong, Shui 2002)

Analisis kapasitas antioksidan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode spektrofotometri, yaitu metode reduksi DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil). Larutan-larutan yang dibutuhkan adalah larutan DPPH 1 mM dalam metanol proanalysis, metanol, larutan standar asam askorbat, dan sampel. Analisis kapasitas antioksidan terdiri atas dua tahap, yaitu 1) pembuatan kurva standar asam askorbat dan 2) penentuan kapasitas antioksidan sampel.

(34)

22

Seri larutan standar asam askorbat dibuat dengan konsentrasi 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 200 ppm, dan 500 ppm. Larutan blanko dibuat dengan mencampurkan 8 ml metanol dengan 2 ml larutan DPPH. Larutan standar dibuat dengan mencampurkan 7 ml metanol dan 2 ml larutan DPPH dengan 1 ml standar pada masing-masing konsentrasi. Larutan didiamkan pada suhu ruang selama 30 menit untuk selanjutnya diukur absorbansinya (A) menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 520 nm. Selanjutnya dibuat kurva standar asam askorbat dengan memplotkan hubungan antara konsentrasi asam askorbat dan (A blanko – A sampel).

2) Penentuan Kapasitas Antioksidan Sampel

(35)

23

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

PENENTUAN FORMULA SARI TEMPE TERPILIH

[image:35.612.223.455.317.458.2]

Penentuan formula sari tempe terpilih dilakukan berdasarkan hasil uji rating hedonik. Hasil uji rating hedonik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kesukaan yang nyata di antara keempat sampel yang diujikan. Formula yang memiliki tingkat kesukaan tertinggi dalam hal warna adalah sari tempe dengan pemanis madu dan sari kedelai dengan pemanis gula pasir. Keduanya tidak memiliki perbedaan yang nyata satu sama lain pada taraf signifikansi 5%. Formula yang memiliki tingkat kesukaan tertinggi dalam hal bau, rasa, dan keseluruhan adalah sari tempe dengan pemanis madu. Sari tempe dengan pemanis madu merupakan satu-satunya formula sari tempe yang memiliki tingkat kesukaan secara keseluruhan lebih tinggi daripada sari kedelai. Oleh karena itu, ditentukan formula terpilih adalah sari tempe dengan pemanis madu. Gambar keempat sampel yang disajikan pada uji rating hedonik dapat dilihat pada Gambar 7 sedangkan histogram tingkat kesukaan panelis terhadap keempat sampel dapat dilihat pada Gambar 8. Rekapitulasi data uji rating hedonik dan pengolahan datanya dapat dilihat pada Lampiran 1a, 1b, 1c, 1d, dan 1e.

[image:35.612.166.529.483.687.2]

Gambar 7. Formula sari tempe yang disajikan pada uji rating hedonik

Gambar 8. Histogram hasil uji rating hedonik

Warna Bau Rasa Keseluruhan

Respon Panelis 

Atribut 0

1 2 3 4 5 6 7

1 2 3 4

Sari tempe (gula pasir)

Sari tempe (madu)

Sari tempe (gula merah)

(36)

24

B.

HASIL UJI DISTRIBUSI PANAS

[image:36.612.171.527.219.438.2]

Uji distribusi panas dilakukan dengan menempatkan sepuluh buah termokopel pada sepuluh titik berbeda di dalam retort yang diduga lambat menerima panas. Parameter-parameter yang dapat diamati dari hasil uji distribusi panas adalah titik terdingin dalam retort, waktu venting, dan come-up time (CUT). Berdasarkan data hasil uji distribusi panas yang dilakukan, dapat diplotkan kurva hubungan antara waktu pemanasan dan suhu termokopel. Rekapitulasi data hasil uji distribusi panas dapat dilihat pada Lampiran 2. Gambar 9 menunjukkan kurva distribusi panas di dalam retort selama proses pemanasan berlangsung.

Gambar 9. Kurva distribusi panas dalam retort

Kurva distribusi panas menunjukkan bahwa titik 7 merupakan titik dalam retort yang paling lambat menerima panas (titik terdingin/coldest point). Posisi titik 7 dalam retort dapat dilihat kembali pada Gambar 4. Selanjutnya, titik 7 dijadikan sebagai titik acuan bagi perhitungan proses kecukupan panas pada uji penetrasi panas. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa jika titik terdingin dalam retort telah mencapai kecukupan panas, titik-titik lain dalam retort juga telah mencapai kecukupan panas.

Kurva distribusi panas juga menunjukkan bahwa waktu venting retort adalah 15 menit dan CUT retort adalah 22 menit. Berdasarkan kurva tersebut, tampak bahwa sebelum menit ke-15, suhu retort meningkat secara tajam dan distribusi panas di dalam retort tidak merata. Hal ini ditunjukkan dengan adanya variasi suhu yang beragam pada setiap termokopel yang terpasang dalam retort. Namun, setelah proses pemanasan berlangsung selama 15 menit dan retort telah mencapai suhu sekitar 108oC, peningkatan suhu dalam

retort relatif lambat dan suhu termokopel yang terbaca oleh termorekorder relatif seragam. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi panas dalam retort telah seragam sehingga waktu venting retort adalah 15 menit. CUT merupakan waktu yang dibutuhkan oleh retort sejak dinyalakan hingga mencapai suhu yang diinginkan (121oC). Berdasarkan kurva distribusi panas, dapat dilihat bahwa seluruh termokopel telah mencapai suhu 121oC setelah pemanasan selama 22 menit sehingga nilai CUT retort adalah 22 menit. Venting CUT 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 120,0 140,0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35

Suh u   Ter m okopel   ( oC)

TC 1 (oC)

TC 2 (oC)

TC 3 (oC)

TC 4 (oC)

TC5 (oC)

TC 6 (oC)

TC 7 (oC)

TC 8 (oC)

TC 9 (oC)

TC 10 (oC)

TC 1 (oC)

(37)

25

C.

HASIL UJI PENETRASI PANAS

Uji penetrasi panas dilakukan pada lima sampel sari tempe dalam kaleng yang diletakkan di sekitar titik 7 (titik terdingin dalam retort). Sampel sari tempe yang tercatat paling lambat menerima panas akan dijadikan sebagai acuan bagi perancangan proses sterilisasi sari tempe dalam kaleng. Rekapitulasi hasil uji penetrasi panas dan pengolahannya datanya dapat dilihat pada Lampiran 3a, 3b, 3c, 3d, 3e, dan 3f. Berdasarkan hasil yang diperoleh, ditentukan bahwa data uji penetrasi panas yang akan diolah selanjutnya adalah data yang ditunjukkan oleh Tc2 (Lampiran 3b) karena paling lambat menerima panas.

Nilai Fo yang ditargetkan dalam uji penetrasi panas ini adalah 0,24 menit. Nilai Do

Clostridium botulinum adalah 0,2 menit (Hariyadi, Kusnandar 2000). Dalam penelitian ini, diharapkan terjadi penurunan jumlah C. botulinum sebanyak 12 siklus logaritma (proses 12-D). Oleh karena itu, nilai Fo yang ditargetkan dalam proses sterilisasi sari tempe dalam kaleng adalah 12x0,2=2,4 menit.

[image:37.612.172.512.419.621.2]

Hasil pengolahan data uji penetrasi panas dengan metode umum (metode trapesium) menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan dalam proses sterilisasi sari tempe dalam kaleng hingga mencapai tingkat sterilitas yang diinginkan adalah 25 menit. Nilai Fo yang diperoleh selama pemanasan 25 menit adalah 2.6201 menit. Hal ini menunjukkan bahwa pemanasan menggunakan retort selama 25 menit sejak retort dinyalakan memiliki tingkat sterilitas yang sama dengan aplikasi panas pada suhu 121,1oC selama 2,6201 menit. Hal ini telah melebihi nilai Fo yang ditargetkan (2,4 menit) sehingga proses pemanasan telah dianggap cukup untuk mereduksi jumlah C. botulinum sebanyak 12 siklus logaritma. Kurva penetrasi panas sari tempe dalam kaleng dapat dilihat pada Gambar 10. Kurva hubungan antara t (waktu) dan Lr (lethal rate) untuk pengolahan data penetrasi panas dengan metode umum dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 10. Kurva penetrasi panas sari tempe dalam kaleng (metode umum)

Hasil pengolahan data uji penetrasi panas dengan metode formula (metode Ball) menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan dalam proses sterilisasi sari tempe dalam kaleng hingga mencapai tingkat sterilitas yang diinginkan adalah 22.22 menit sejak retort dinyalakan. Kurva hubungan antara (Tr-T) dan waktu (metode formula) dapat dilihat pada Gambar 12

0 20 40 60 80 100 120 140

1 6 11 16 21

Suhu

 

(

oC)

(38)

26

[image:38.612.167.523.112.368.2]

sedangkan parameter-parameter yang dapat diketahui melalui kurva tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Gambar 11. Kurva hubungan t dan Lr (metode umum)

Gambar 12. Kurva hubungan t dan (Tr-T) (metode formula) y=log(230.8873)‐0.0708x 

Luasan  di bawah 

kurva =  2.6201  menit 

1,0 10,0 100,0 1000,0

0 5 10 15 20 25 30

(Tr

T)

 

(

oC)

[image:38.612.171.526.396.644.2]
(39)
[image:39.612.165.519.105.311.2]

27

Tabel 4. Parameter analisis kecukupan panas sterilisasi sari tempe dalam kaleng (metode formula)

Parameter Satuan Nilai

Fo menit 2.4

fh menit 14.1243

Lr - 0.9772

fh/U - 5.7509 log g (dari tabel)

Tr Ti Jh=(Tr-Tpih)/(Tr-Ti) Ih=(Tr-Ti) Jh.Ih=(Tr-Tpih) log (Jh.Ih) - o C oC - o C o C - 0.7905 121.0 32.4 0.3255 88.6 28.8 1.4600 tB=fh{log (Jh.Ih)-log g) menit 9.4562

tp=tB-0.42CUT

Waktu sterilisasi=CUT+tp

menit menit

0.2162 22.2162~22.22

Hasil pengolahan data menggunakan metode umum dan metode formula menunjukkan hasil yang berbeda, namun perbedaannya tidak jauh. Waktu yang ditetapkan akan diaplikasikan pada sterilisasi sari tempe dalam kaleng adalah 25 menit (metode umum) karena memiliki nilai yang lebih besar daripada 22.22 menit (metode formula). Hal ini bertujuan memberikan keyakinan bahwa panas yang diaplikasikan telah cukup untuk mereduksi jumlah C. botulinum sebanyak 12 siklus logaritma.

D.

HASIL UJI SEGITIGA

Berdasarkan hasil uji segitiga, diketahui bahwa jumlah panelis yang dapat menjawab dengan benar adalah 9 orang. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan jumlah minimum panelis pada tabel peluang binomial uji segitiga (n=30;α=0.05), yaitu sebanyak 15 panelis. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa proses sterilisasi tidak menyebabkan perubahan karakteristik sensori sari tempe secara keseluruhan pada taraf signifikansi 5%. Rekapitulasi data hasil uji segitiga dapat dilihat pada Lampiran 4a. Tabel peluang binomial untuk uji segitiga dapat dilihat pada Lampiran 4b.

E.

HASIL PENGUKURAN PH

Berdasarkan hasil pengukuran menggunakan pH-meter, dapat diketahui bahwa pH sa

Gambar

Gambar 7. Formula sari tempe yang disajikan pada uji rating hedonik
Gambar 9. Kurva distribusi panas dalam retort
Gambar 10. Kurva penetrasi panas sari tempe dalam kaleng (metode umum)
Tabel 4.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain melakukan evaluasi terhadap pola interaksi yang terbentuk dalam lingkungan hotel, dalam tahap ini HRD juga harus membangun ketahanan mental pekerja dalam

Abstrak: Dalam menanamkan sebuah karakter pada peserta didik yang utama adalah salah satunya sebuah lembaga pendidikan dimana lembaga pendidikan memberikan penanaman karakter

ANGGOTA ARSANUR RAHMAN, S.Pd.I ANGGOTA MUCHLIS MUHSIN ANGGOTA ABDUL SYUKUR, S.Pd.I.. ANGGOTA ZAMZAMI 1

Intelijen Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang definisi, konsep, kebijakan, dan strategi intelijen Kuliah Interaksi aktif antara dosen dan mahasiswa

Dengan area disktrik yang difungsikan sebagai kawasan hiburan dan perdagangan, adanya pusat perbelanjaan/ Shopping Mal dan restauran, kehadiran Pusat Perfilman di Surabaya ini

Pont System : Studi Pada Perusahaan Transportasi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia” ini dapat terselesaikan untuk mencapai gelar Sarjana Akuntansi (S.Ak)

(2) faktor penyebab terjadinya kekerasan adalah: (a) adanya budaya yang bersifat heterogen, akulturasi budaya yang berbeda, dan kecemburuan sosial dalam masyarakat (antropologi);

pallen sebagai akibat dari perlakuan penutupan permukaan tanah, ini menunjukkan bahwa dalam sistem pengelolaan budi daya lahan kering perlu disertai dengan usaha untuk menghambat