• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan dalam areal HPHTI PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih adalah areal hutan yang dikelola dengan sistem TPTJ umur 3 tahun (TJ3), 5 tahun (TJ5), dan 7 tahun (TJ7) serta hutan bekas tebangan 1 bulan (TO) dan hutan primer (HP). Analisis sifat fisik dan kimia tanah dilakukan di Laboratorium Kesuburan Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai April 2006.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah utuh (undisturbed soil sample)untuk penetapan sifat-sifat fisik tanah, dan contoh tanah utuh terganggu atau tidak utuh (disturbed soil sample) untuk penetapan sifat-sifat kimia tanah.

Alat-alat yang digunakan untuk pengambilan contoh tanah utuh antara lain ring sample, sekop atau cangkul, pisau lapangan, kertas label, kotak untuk menyimpan tanah, meteran serta alat tulis, sedangkan alat yang digunakan untuk pengambilan contoh tanah terganggu adalah bor tanah, kantong plastik transparan, kertas label, karet ikat, sekop atau cangkul, meteran serta alat tulis.

Parameter tanah yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang meliputi data mengenai sifat fisik tanah (tekstur, bobot volume, porositas dan stabilitas agregat) dan sifat kimia tanah (pH tanah, C-Organik dan N-total).

Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan pada 5 tipe lahan yang terdiri dari 3 lahan TPTJ yaitu umur 3 tahun, 5 tahun, dan 7 tahun, hutan bekas tebangan 1 bulan dan hutan alam (primer) sebagai pembanding.

Pada setiap plot penelitian atau tipe lahan dipilih dua petak contoh dengan menggunakan metode purposive sampling (secara sengaja), sehingga jumlah seluruh petak contoh adalah 5 plot x 2 petak = 10 unit petak contoh. Setiap petak contoh berukuran 200 m x 200 m. Selanjutnya pada setiap petak contoh dilakukan pengambilan data sifat fisik dan kimia tanah. Pemilihan hutan alam sebagai ekosistem yang relatif stabil dimaksudkan sebagai pembanding terhadap sistem TPTJ yamg kondisi ekosistemnya terganggu.

Metode Penelitian

Metode penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap persiapan, tahap pengambilan data di lapangan, dan tahap analisis data di laboratorium. Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan, kegiatan yang dilaksanakan yaitu studi pustaka sebagai kerangka dasar bagi kegiatan selanjutnya, termasuk informasi tentang daerah penelitian, serta persiapan peralatan untuk pengambilan data di lapangan. Tahap Pengambilan Data di Lapangan

Tahap pengambilan data di lapangan yaitu pengambilan contoh tanah untuk sifat fisik dan kimia tanah pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm pada tiap plot penelitian. Untuk plot penelitian yang dikelola dengan sistem TPTJ, pengambilan contoh tanah dilakukan pada jalur tanam.

1. Sifat fisik tanah

Pengambilan contoh tanah utuh untuk parameter sifat fisik adalah sebagai berikut :

a. Ratakan dan bersihkan lapisan atas tanah yang akan diambil dari penutupan serasah dan batuan, kemudian letakkan tabung ring sample tegak lurus pada lapisan tanah tersebut. Tiap tabung diberi label nomor dan dilengkapi dengan sepasang tutup plastik

b. Gali tanah di sekeliling tabung dengan sekop

c. Tekan tabung hingga ¾ bagiannya masuk ke dalam tanah kemudian tabung lain diletakkan di atas tabung pertama, dan ditekan kembali sampai bagian bawah dari tabung kedua masuk ke dalam tanah kira-kira 1 cm

22

d. Setelah itu tabung beserta tanah di dalamnya digali dengan menggunakan sekop atau cangkul

e. Pisahkan tabung kedua dari tabung pertama dengan hati-hati, kemudian kelebihan tanah yang ada pada bagian atas dan bawah dikerat/dibersihkan hingga rata.

f. Tutup tabung dengan plastik, kemudian disimpan dalam kotak khusus yang sudah disediakan dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis.

Pengambilan contoh tanah utuh ini dilakukan sebanyak 2 titik pada setiap petak contoh dalam jalur tanam sehingga jumlah keseluruhan adalah 2 titik x 10 petak contoh x 2 kedalaman = 40 contoh tanah.

2. Sifat kimia tanah

Pengambilan contoh tanah untuk analisis sifat kimia adalah contoh tanah terganggu pada setiap plot penelitian sebanyak satu titik pada jalur tanam yang merupakan komposit atau gabungan dari beberapa titik pengambilan sampel. Pengambilan contoh tanah ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Gali tanah dengan menggunakan bor tanah sesuai dengan kedalaman yang akan diteliti yaitu 0-10 cm dan 10-20 cm, kemudian dicampur rata/dikompositkan berdasarkan lokasi.

b. Masukkan contoh tanah yang dikompositkan ke dalam kantong plastik sebanyak ± 1 kg, kemudian beri label pada masing-masing kantong plastik dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis.

Dengan demikian jumlah contoh tanah terganggu yang diambil adalah sebanyak 1 titik x 10 petak contoh x 2 kedalaman = 20 contoh tanah.

Jumlah total contoh tanah yang diteliti antara contoh tanah utuh dan terganggu adalah 40 + 20 = 60 contoh tanah.

200 m

Gambar 2. Lay-out pengambilan contoh tanah pada setiap petak contoh Keterangan : 1) = titik pengambilan contoh tanah utuh

2) = titik pengambilan contoh tanah terganggu 3) 3 m = jalur tanam

4) 22 m = jalur antara

Analisis Data

Setelah pengambilan contoh tanah di lapangan, selanjutnya contoh tanah tersebut dianalisa di laboratorium Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB untuk memperoleh indikator kualitas tanahnya dengan menggunakan metode analisa yang dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini :

Tabel 4 Indikator terpilih kualitas tanah dan metode analisisnya

Indikator Sifat Tanah Metode Analisa

Fisik Tanah

Tekstur Bobot volume

Pipet

Ring Soil Sample Stabilitas agregat Wet Sieving Porositas Gravimetrik Kimia Tanah

pH Gelas Elektrode

C-Organik Walkey – Black

N-total Kjedahl 25 m

25 m 200 m

24

Analisis Data Statistik

Berdasarkan data sifat fisik dan kimia tanah yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis secara statistik menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) untuk mengetahui pengaruh penerapan sistem TPTJ terhadap perubahan kondisi tanah tiap plot penelitian, dengan hipotesa sebagai berikut :

Ho : Penerapan sistem TPTJ tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan kondisi tanah

H1 : Penerapan sistem TPTJ berpengaruh nyata terhadap perubahan kondisi tanah

sedangkan kriteria pengambilan keputusan dari hipotesa yang diuji adalah : Jika Fhitung < Ftabel maka Ho ditolak dan H1 diterima

Jika Fhitung > Ftabel maka Ho diterima dan H1 ditolak

Jika hasil sidik ragam adalah tolak Ho (signifikan) maka dilakukan uji lanjutan berupa uji Duncan untuk mengetahui tingkat signifikansi nilai tengah masing-masing peubah tanah, dengan tingkat kepercayaan 95%.

Sedangkan untuk mengetahui hubungan keeratan antara stabilitas agregat dengan kadar liat dan bahan organik tanah maka dilakukan uji korelasi Pearson.

HASIL

Hasil penelitian perubahan kondisi tanah pada hutan primer dan areal TPTJ digunakan untuk mempelajari sejauh mana pengaruh sistem TPTJ umur 0, 3, 5, dan 7 tahun terhadap kondisi tanah serta kemampuannya untuk pulih kembali. Perubahan kondisi tanah yang diamati pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm meliputi sifat fisik dan sifat kimia tanah.

Sifat fisik tanah

Hasil analisa sifat fisik tanah pada hutan primer, TPTJ tanaman umur 0, 3, 5, dan 7 tahun disajikan pada Tabel 5. Adapun parameter sifat fisik yang diamati adalah bobot isi tanah, porositas, tekstur dan stabilitas agregat.

Tabel 5 Perubahan bobot isi dan porositas pada plot penelitian dengan kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm

Plot Bobot isi (g/cm

3 ) Porositas (%) (0-10) (10-20) (0-10) (10-20) HP 1,04a 1,00* 1,25ab 1,00* 60,75a 1,00* 52,78ab 1,00* TO 1,29 a 0,25* 1,39b 0,14* 51,60a -9,15* 47,65a -5,13* TJ3 1,06 a 0,02* 1,23ab -0,02* 60,10a -0,65* 53,80ab 1,02* TJ5 1,08 a 0,04* 1,12a -0,13* 59,45a -1,3* 57,63b 4,85* TJ7 1,02 a -0,02* 1,12a -0,13* 61,70a 0.95* 57,85b 5,07* Ket : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada

taraf pengujian 0,05

* = Selisih nilai sifat fisik tanah (bobot isi dan porositas) antar plot penelitian terhadap hutan primer

HP = Hutan Primer TJ5 = Tanaman umur 5 tahun

TO = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ7 = Tanaman umur 7 tahun TJ3 = Tanaman umur 3 tahun

Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 5, perubahan sifat fisik tanah setelah penerapan sistem TPTJ tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan hutan primer baik pada kedalaman 0-10 cm maupun 10-20 cm. Secara umum nilai bobot isi tanah pada seluruh plot penelitian berada pada kisaran 1,02-1,39 g/cm3

atau termasuk dalam kategori sedang, yaitu 1-1,5 g/cm3 (Poerwowidodo, 2000).

Dari hasil penelitian diketahui bahwa nilai bobot isi tanah pada plot hutan primer lebih rendah dibandingkan dengan plot TPTJ dan mempunyai kecenderungan meningkat pada lapisan yang lebih dalam (kedalaman 10-20 cm).

26

Bobot isi pada hutan primer meningkat sebesar 0,25 g/cm3 pada hutan bekas tebangan 1 bulan (TO) menjadi 1,29 g/cm3 dan merupakan perubahan nilai bobot isi terbesar dari seluruh plot penelitian. Penurunan bobot isi terjadi pada plot tanaman umur 7 tahun (TJ7) sebesar 0,02 g/cm3 dari hutan primer menjadi 1,02 g/cm3, namun perubahan nilai bobot isi tersebut masih berada dalam kisaran nilai yang sama dan secara statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata atau dengan kata lain relatif sama antara hutan primer dengan areal TJ7. Perubahan nilai bobot isi tanah pada seluruh plot penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. 1,02 1,08 1,29 1,06 1.04 1,12 1,12 1,23 1,39 1,25 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8 2 HP TO TJ3 TJ5 TJ7 Plot penelitian

BI

(g/

c

m3)

(0-10) cm (10-20) cm

Keterangan : HP = Hutan primer TJ5 = Tanaman umur 5 tahun TO = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ7 = Tanaman umur 7 tahun TJ3 = Tanaman umur 3 bulan

Gambar 3. Perubahan nilai bobot isi tanah pada seluruh plot penelitian Selain bobot isi, penerapan sistem TPTJ juga berpengaruh terhadap porositas tanah. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa nilai porositas tanah terendah adalah pada plot hutan bekas tebangan (TO) yang menurun sebesar 9,15% dari hutan primer menjadi 51,60%, sedangkan nilai tertinggi terjadi pada plot tanaman umur 7 tahun (TJ7) yang meningkat sebesar 0,95% dari hutan primer menjadi 61,70%. Secara kuantitatif nilai porositas tersebut semakin menurun pada

kedalaman 10-20 cm untuk seluruh plot penelitian (Gambar 4) dan secara statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 5).

61,70 59,45 60,75 51,60 60,10 57,63 57,85 53,80 47,65 52,78 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 HP TO TJ3 TJ5 TJ7 Plot penelitian P o r o si tas (% ) (0-10) cm (10-20) cm

Keterangan : HP = Hutan primer TJ5 = Tanaman umur 5 tahun TO = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ7 = Tanaman umur 7 tahun TJ3 = Tanaman umur 3 bulan

Gambar 4. Perubahan porositas tanah pada seluruh plot penelitian

Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan pemulihan sifat fisik tanah khususnya bobot isi dan porositas yang tidak berbeda nyata atau relatif sama dengan hutan primer. Selain bobot isi dan porositas, parameter lain yang diamati diantaranya stabilitas agregat yang dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.

Namun untuk peubah stabilitas agregat terjadi penurunan yang cukup besar pada areal TPTJ dibandingkan dengan hutan primer dimana nilai stabilitas agregat pada plot TPTJ berkisar antara 30,25%-44,75% dan termasuk dalam kriteria kurang stabil sampai tidak stabil, sedangkan pada plot hutan primer nilai stabilitas agregat tergolong stabil (Sitorus et al., 1980). Berdasarkan Tabel 6 diperoleh hasil bahwa nilai stabilitas agregat tanah tertinggi adalah pada plot hutan primer (77,75%) dan terus menurun pada plot TPTJ. Penurunan terbesar terjadi pada tanaman umur 5 tahun sebesar 40% menjadi 37,75% dan kembali meningkat pada tanaman umur 7 tahun sebesar 2,5% menjadi 40,25%.

28

Tabel 6 Perubahan stabilitas agregat pada plot penelitian dengan kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm Plot Stabilitas agregat (%) (0-10) (10-20) HP 77,75b 1,00* 61,00b 1,00* TO 44,75 a -33,00* 31,75a -29,25* TJ3 38,25 a -39,50* 33,25a -27,75* TJ5 37,75 a -40,00* 32,25a -28,75* TJ7 40,25 a -37,50* 30,25a -30,75*

Ket : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf pengujian 0,05

* = Selisih nilai sifat fisik tanah (bobot isi dan porositas) antar plot penelitian

HP = Hutan Primer TJ5 = Tanaman umur 5 tahun

TO = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ7 = Tanaman umur 7 tahun TJ3 = Tanaman umur 3 tahun

Secara statistik perubahan kandungan stabilitas agregat setelah penerapan sistem TPTJ adalah berbeda nyata jika dibandingkan dengan hutan primer dan semakin menurun secara kuantitatif pada kedalaman 10-20 cm seperti terlihat pada Gambar 5. 38,25 37,75 77,75 40,25 44,75 61 31,75 33,25 32,25 30,25 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 HP TO TJ3 TJ5 TJ7 Plot penelitian St abilit as Agregat (%) (0-10) cm (10-20) cm

Keterangan : HP = Hutan primer TJ5 = Tanaman umur 5 tahun TO = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ7 = Tanaman umur 7 tahun TJ3 = Tanaman umur 3 bulan

Kestabilan agregat suatu tanah ditentukan oleh kandungan liat, bahan organik, dan bahan anorganik. Korelasi stabilitas agregat dengan bahan organik dan kadar liat disajikan pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7 Korelasi antara stabilitas agregat dengan kadar liat dan bahan organik

Korelasi Signifikansi

Stabilitas agregat vs liat1 -0,145 0,542

Stabilitas agregat vs liat2 -0,050 0,834

Stabilitas agregat vs C-organik1 -0,310 0,184 Stabilitas agregat vs C-organik 2 -0,264 0,260

1)

: Kedalaman 0-10 cm

2)

: Kedalaman 10-20 cm

Dari Tabel 7 diatas dapat diketahui bahwa hubungan antara stabilitas agregat dengan kadar liat menunjukkan korelasi yang lemah karena nilainya kurang dari 0,5 baik pada kedalaman 0-10 cm maupun 10-20 cm. Sedang korelasi antara stabilitas agregat dengan bahan organik menunjukkan korelasi yang cukup kuat karena nilainya lebih dari 0,5 baik pada kedalaman 0-10 cm maupun 10-20 cm.

Tanda ’-’ pada keempat korelasi tersebut menunjukkan adanya arah hubungan yang berlawanan, yaitu semakin tinggi nilai stabilitas agregat akan menyebabkan kadar liat dan bahan organik rendah, dan sebaliknya. Selain itu, keempat data tersebut menunjukkan korelasi yang tidak signifikan antara stabilitas agregat dengan kadar liat dan bahan organik (nilai probabilitasnya lebih dari 0,05).

Perbandingan beberapa kelompok ukuran suatu tanah (tekstur) merupakan ciri khas dan tak mudah berubah. Oleh karenanya, tekstur suatu tanah dianggap sebagai sifat dasar tanah dan mempunyai arti ekonomi tertentu. Tekstur tanah dari masing-masing plot penelitian disajikan pada Tabel 8.

Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa hutan primer, tanaman umur 3, 5 dan 7 tahun mempunyai kelas tekstur lempung liat berpasir yang mengandung pisahan liat antara 20-40%, pasir 45-80%, dan debu 0-28%. Sedangkan pada plot

30

hutan bekas tebangan 1 bulan mempunyai struktur tanah pasir berlempung yang didominasi pasir 43-85%, debu 0-50% dan liat 0-20% (Sitorus et al., 1980). Tabel 8 Perubahan tekstur tanah pada plot penelitian dengan kedalaman 0-10 cm

dan 10-20 cm Plot

Tekstur (%)

Kelas tekstur Pasir Debu Liat

(0-10) (10-20) (0-10) (10-20) (0-10) (10-20) HP 60,0 60,71 13,57 12,72 26,52 26,71 Lempung liat berpasir TO 76,59 75,06 15,67 15,15 7,75 9,78 Pasir berlempung TJ3 55,66 50,96 9,34 10,44 34,97 38,61 Lempung liat berpasir TJ5 57,57 50,16 9,96 9,50 31,71 40,36 Lempung liat berpasir TJ7 51,17 48,37 17,48 20,00 30,86 31,68 Lempung liat berpasir

Keterangan : HP = Hutan Primer TJ5 = Tanaman umur 5 tahun TO = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ7 = Tanaman umur 7 tahun

TJ3 = Tanaman umur 3 tahun Sifat kimia tanah

Hasil analisis sifat kimia tanah yang berupa bahan organik pada pelaksanaan sistem Tebang Pilih Tanam Jalur dapat dilihat pada Tabel 9. Parameter yang dianalisis antara lain kandungan N-total dan C-organik tanah. Tabel 9 Perubahan C-organik dan N-total pada plot penelitian dengan kedalaman

0-10 cm dan 10-20 cm

Plot C-organik (%) N-total (%)

(0-10) (10-20) (0-10) (10-20) HP 1,22a 1,00* 0,91a 1,00* 0,12a 1,00* 0,09 a 1,00* TO 1,76bc 0,54* 1,24a 0,33* 0,20a 0,08* 0,09 a 1,00* TJ3 1,70abc 0,49* 1,73a 0,82* 0,15a 0,03* 0,15 a 0,06* TJ5 2,20c 0,98* 1,50a 0,59* 0,20a 0,08* 0,15 a 0,06* TJ7 1,65ab 0,44* 1,16a 0,36* 0,15a 0,03* 0,12 a 0,03* Ket : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada

taraf pengujian 0,05

* = Selisih nilai sifat kimia tanah (C-organik dan N-total) antar plot penelitian terhadap hutan primer

HP = Hutan Primer TJ5 = Tanaman umur 5 tahun

TO = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ7 = Tanaman umur 7 tahun TJ3 = Tanaman umur 3 tahun

Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa kandungan C-organik pada seluruh plot penelitian termasuk dalam kategori rendah sampai sedang, yaitu berkisar antara 1,22%-2,20% (Pusat Penelitian Tanah, 1982) dan memiliki kecenderungan yang menurun pada lapisan bawah (Gambar 6). Kandungan C-organik terendah adalah pada plot hutan primer sebesar 1,22% dan tertinggi pada plot tanaman umur 5 tahun yang meningkat sebesar 0,98% menjadi 2,20 %.

Secara statistik perubahan kandungan C-organik tersebut menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara hutan primer dengan hutan bekas tebangan, tanaman umur 3 dan 7 tahun baik pada kedalaman 0-10 cm maupun 10-20 cm. Perbedaan nyata terlihat pada hutan bekas tebangan dan tanaman umur 5 tahun (TJ5) untuk kedalaman 0-10 cm, sedangkan untuk kedalaman 10-20 cm menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 9).

1,7 1,65 2,20 1,76 1,22 1,16 1,50 1,73 1,24 0,91 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8 2 2,2 2,4 HP TO TJ3 TJ5 TJ7 Plot penelitian C-or g ( %) (0-10) cm (10-20) cm

Keterangan : HP = Hutan primer TJ5 = Tanaman umur 5 tahun TO = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ7 = Tanaman umur 7 tahun TJ3 = Tanaman umur 3 bulan

Gambar 6. Perubahan nilai C-organik pada seluruh plot penelitian

Secara kuantitatif kandungan N-total pada seluruh plot penelitian tergolong rendah, yaitu berkisar antara 0,12%-0,20% (Pusat Penelitian Tanah,1982) dan mempunyai kecenderungan yang semakin menurun pada kedalaman 10-20 cm. Namun secara statistik perubahan kadar N-total tersebut tidak berbeda nyata

32

antara plot TPTJ dengan plot hutan primer. Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa kadar N-total pada seluruh plot TPTJ cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan plot hutan primer (HP) dengan kandungan terbesar pada plot hutan bekas tebangan dan tanaman umur 5 tahun yang meningkat sebesar 0,08% dari hutan primer (0,12%) menjadi 0,20%. Perubahan kandungan N-total pada seluruh plot penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.

0,20 0,20 0,15 0,15 0,15 0,12 0,12 0,15 0,09 0,09 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 HP TO TJ3 TJ5 TJ7 Plot penelitian N-total (% ) (0-10) cm (10-20) cm

Keterangan : HP = Hutan primer TJ5 = Tanaman umur 5 tahun TO = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ7 = Tanaman umur 7 tahun TJ3 = Tanaman umur 3 bulan

Gambar 7. Perubahan nilai N-total pada seluruh plot penelitian

Selain bahan organik, sifat kimia tanah yang sangat menentukan kesuburan tanah adalah tingkat kemasaman tanah yang dicerminkan oleh nilai pH-nya. Kandungan pH tanah pada seluruh plot penelitian disajikan pada Tabel 10 berikut.

Tabel 10 Perubahan pH tanah pada plot penelitian dengan kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm Plot pH (0-10) (10-20) HP 4,47b 1,00* 4,53a 1,00* TO 4,38b -0,09* 4,31a -0,22* TJ3 4,24ab -0,23* 4,45a -0,08* TJ5 4,01a -0,46* 4,36a -0,17* TJ7 4,45b -0,02* 4,48a -0,05*

Ket : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf pengujian 0,05

* = Selisih nilai sifat kimia tanah (C-organik dan N-total) antar plot penelitian terhadap hutan primer

HP = Hutan Primer TJ5 = Tanaman umur 5 tahun

TO = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ7 = Tanaman umur 7 tahun TJ3 = Tanaman umur 3 tahun

Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa hutan primer mempunyai kandungan pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan plot TPTJ, yaitu 4,47% untuk kedalaman 0-10 cm dan 4,53% untuk kedalaman 10-20 cm. Namun berdasarkan hasil pengujian statistik, perubahan nilai pH pada plot TPTJ tersebut tidak berbeda nyata (relatif sama) jika dibandingkan dengan hutan primer dan kecenderungannya meningkat pada lapisan bawah (Gambar 8). Hal ini menunjukkan bahwa pada plot TPTJ terjadi kecenderungan pemulihan sifat kimia yang relatif sama dengan hutan primer. Berdasarkan kriteria penilaian sifat-sifat tanah, maka nilai pH pada plot penelitian tersebut tergolong sangat masam yaitu kurang dari 4,5 (Pusat Penelitian Tanah, 1982). 4,45 4,47 4,38 4,24 4,01 4,36 4,53 4,31 4,45 4,48 3,5 3,7 3,9 4,1 4,3 4,5 4,7 4,9 HP TO TJ3 TJ5 TJ7 Plot penelitian pH (0-10) cm (10-20) cm Keterangan : HP = Hutan primer TJ5 = Tanaman umur 5 tahun

TO = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ7 = Tanaman umur 7 tahun TJ3 = Tanaman umur 3 bulan

34

PEMBAHASAN

Pengaruh penerapan sistem TPTJ terhadap sifat fisik tanah

Dampak pemanfaatan hutan dalam bentuk penebangan secara garis besar akan mengakibatkan kerusakan tanah atau penurunan kesuburan tanah. Salah satu bentuk kerusakan tanah diantaranya peningkatan bobot isi tanah di daerah penebangan. Bobot isi tanah mencerminkan tingkat kepadatan tanah. Makin besar nilainya maka tanah makin padat sehingga kurang menguntungkan untuk perkembangan perakaran tanaman.

Peningkatan bobot isi tanah sebesar 0,25% pada areal hutan bekas tebangan 1 bulan (TO) disebabkan adanya aktivitas alat berat (traktor) dalam penyaradan kayu yang menyebabkan hilangnya topsoil dan bahan organik tanah sehingga terjadi pemadatan tanah. Selain itu, tanah pada plot TO termasuk dalam kelas tesktur pasir berlempung yang didominasi pasir dan mempunyai luas permukaan kecil sehingga sulit menahan air dan unsur hara. Akibatnya daya ikat partikel bahan organik dalam tanah menjadi rendah karena rendahnya kandungan liat dalam tanah menyebabkan tanah menjadi lebih padat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Purwanto dan Gintings (1994) bahwa dengan menurunnya kandungan bahan organik tanah umumnya akan meningkatkan bobot isi tanah. Sama halnya dengan penelitian Idris (1996) yang menyebutkan bahwa bobot isi tanah di hutan primer (1,29%) lebih rendah jika dibandingkan dengan hutan bekas tebangan,

yaitu 1,47%. Namun setelah dilakukan penanaman pada plot hutan bekas tebangan

dengan sistem jalur (TPTJ) mulai terjadi pemulihan kondisi tanah sehingga nilai bobot isinya mendekati atau hampir sama dengan hutan primer (Tabel 5). Pemulihan kondisi tanah ini disebabkan adanya peningkatan jumlah serasah yang terdekomposisi oleh mikroorganisme akibat adanya kegiatan pemeliharaan dalam sistem TPTJ berupa pembebasan vertikal maupun horisontal. Dengan demikian bahan organik yang tersedia untuk tanah meningkat sehingga bobot isi tanah pun menjadi berkurang mendekati atau hampir sama dengan hutan primer serta mampu memperbaiki struktur tanah menjadi lebih remah.

Secara kuantitatif perubahan nilai bobot isi tanah pada seluruh plot penelitian semakin meningkat pada kedalaman 10-20 cm (Gambar 3). Hal ini terkait dengan makin rendahnya kandungan bahan organik tanah mengakibatkan struktur tanah bersifat pejal (padat) sehingga daya rekat partikel tanah makin rendah, agregasi berkurang dan pemadatan oleh lapisan yang ada diatasnya (Soepardi, 1989). Selain itu, cara pengolahan tanaman dan tanah akan mempengaruhi bobot isi tanah, terutama lapisan atas. Pengolahan tanah yang dilakukan secara terus-menerus dapat menaikkan bobot isi tanah tersebut. Bila tanah padat maka akar akan susah untuk menembus tanah tersebut, sedangkan jika struktur tanah remah maka akar akan tumbuh dengan baik (Sarief, 1985).

Dengan meningkatnya bobot isi tanah menyebabkan porositas tanah semakin menurun seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gent et al. (1984) dalam Ohse et al. (2002) bahwa bobot isi tanah meningkat dan porositas tanah menurun karena deforestasi. Penurunan nilai porositas dan kenaikan bobot isi tanah sudah terjadi dari plot hutan bekas tebangan 1 bulan dan terus terjadi sampai tanaman umur 5 tahun. Sesuai dalam penelitian Ohse et al. (2002) yang menyatakan bahwa porositas tanah pada hutan yang tidak terganggu (hutan primer) cenderung lebih tinggi (85,3%-88,1%) dan menurun pada areal hutan yang rusak (79,7%-87,5%). Hal ini disebabkan adanya lintasan atau injakan traktor berdampak terhadap penurunan ruang pori makro sehingga menghambat pergerakan udara dan air, akibatnya ketersediaan air dan

Dokumen terkait