• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Penelitian

Dalam dokumen TESIS. Oleh. ENDANG SRI WAHYUNI /M.Kn (Halaman 51-0)

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan Dan Spesifikasi Penelitian

Dalam penelitian ini metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif karena menggunakan data sekunder sebagai sumber utama. Sedangkan

spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis, karena melalui penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara komprehensif mengenai seberapa jauh implementasi yang telah dilakukan oleh instrumen hukum agraria yang berkaitan dengan pendaftaran dan penyimpangan-penyimpangan aparat maupun pejabat desa/kelurahan dan kecamatan dalam pembuatan surat keterangan hak kepemilikan atas tanah atau alas hak atas tanah yang merupakan syarat mutlak atau absolut untuk mendaftarkan hak atas tanah sesuai apa yang diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) maupun untuk pajak bumi dan bangunan, tanah atau lahannya dan keperluan lainnya yang berkaitan dengan hak kepemilikan tanahnya.

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian hukum normatif, yaitu meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.34

2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut :

a. Penelitian kepustakaan

Penelitian kepustakaan dilakukan baik untuk memperoleh bahan primer, seperti peraturan perundang-undangan, bahan sekunder, seperti buku-buku, majalah, dokumen, dan lain-lain.

b. Penelitian lapangan

Penelitian lapangan adalah berupa wawancara atau hal-hal yang sesuai kebutuhan penulisan yang ada di lapangan untuk memperoleh keterangan yang akan mendukung pemahaman terhadap studi sekunder yang dilakukan.

34Mukti Fajar dan Yulianto Achmad,, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, PT Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal.34.

3. Analisis Data

Dalam penelitian ini data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif, yaitu metode penelitian yang bertitik tolak dari norma-norma asas-asas dan peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma-norma hukum positif yang kemudian dianalisis secara kualitatif, sehingga tidak menggunakan rumus ataupun angka.

Metode kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.35

35 Lexy J. Moleong, Model Kualitatif, Pemahaman Filosofi dan Metodologis ke arah Penguasaan Modal Aplikasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal.53.

BAB II

PERAN KEPALA DESA ATAU LURAH DAN CAMAT DALAM KEIKUTSERTAANNYA UNTUK MELAKSANAKAN

PENDAFTARAN TANAH

A. Kepala Desa dan Lurah

Kepala Desa adalah pemimpin dari desa di Indonesia. Kepala Desa merupakan pimpinan dari pemerintah desa. Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 (enam) tahun, dan dapat diperpanjang lagi untuk satu masa jabatan berikutnya.

Kepala Desa tidak bertanggung jawab kepada Camat, namun hanya dikoordinasikan saja oleh Camat. Jabatan Kepala Desa dapat disebut dengan nama lain, misalnya wali nagari (Sumatera Barat), pembakal (Kalimantan selatan), hukum tua (Sulawesi

Utara), perbekel (Bali), kuwu (Cerebon dan Indramayu).

Wewenang Kepala Desa antara lain:

1. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

2. Mengajukan rancangan peraturan desa.

3. Menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD 4. Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai Anggaran

Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa), untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD

Kepala Desa dilarang menjadi pengurus partai politik (namun boleh menjadi anggota partai politik), merangkap jabatan sebagai Ketua atau Anggota BPD, dan

lembaga kemasyarakatan merangkap jabatan sebagai DPRD, terlibat dalam kampanye Pemilihan Umum, Pemilihan Presiden, dan Pemilihan Kepala Daerah.

Kepala Desa dapat diberhentikan atas usul Pimpinan BPD Kepala Bupati/

Walikota melalui Camat, berdasarkan keputusan musyawarah BPD.

Istilah Lurah seringkali rancu dengan jabatan Kepala Desa, di Jawa pada umumnya, dahulu pemimpin dari sebuah desa dikenal dengan istilah Lurah, tapi dalam konteks Pemerintahan Indonesia, sebuah kelurahan dipimpin oleh Lurah, sedangkan desa dipimpin oleh Kepala Desa. Tentu saja keduanya berbeda, karena Lurah adalah Pegawai Negeri Sipil yang bertanggung jawab kepada Camat, sedangkan Kepala Desa bisa djabat oleh siapa saja yang memenuhi syarat (bisa berbeda-beda antar desa) yang dipilih oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).36

Kepala Desa dipilih langsung melalui Pemilihan kepala Desa (Pilkades), oleh penduduk desa setempat. Usia minimal Kepala Desa adalah 25 tahun, dan Kepala Desa haruslah berpendidikan paling rendah SLTP, penduduk setempat.

Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa dilakukan oleh Panitia Pemilihan, dimana dibentuk oleh BPD, dan anggotanya terdiri dari unsur perangkat desa, pengurus lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat.

Cara pemilihan Kepala Desa dapat bervariasi antara desa satu dengan lainnya.

Pemilihan Kepala Desa dan masa jabatan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat

36http://id.wikipedia.org/wiki/Majalah BPM, Kepala-desa, diunduh pada tanggal : 24/5/2014, 9.26.AM

hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku hukum adat setempat.

B. Camat

Camat dapat diangkat untuk menjabat sebagai PPAT, maka kedudukan Camat, selain sebagai perangkat daerah juga diberikan kewenangan sebagai PPAT yang sifatnya sementara atau disebut PPAT-Sementara. Disebut sementara karena posisi jabatan tersebut tidak dipangku untuk selamanya tetapi hanya semasa camat yang bersangkutan memegang jabatan Camat di tempat tugas kecamatannya setelah disumpah dan menjalankan prosedur pengangkatan Camat di daerah itu, apabila yang bersangkutan pindah tugas baik masih sebagai camat di daerah lain maupun sebagai pejabat di instansi lain, maka jabatan PPAT-nya juga lepas dengan sendirinya dengan kata lain putus hubungan hukum dengan tugas-tugasnya selaku PPAT.

Jabatan sementara juga dimaksud apabila di daerah kecamatannya telah cukup pejabat umum (Notaris) sekalipun yang bersangkutan tetap memegang jabatan sebagai camat, maka dengan sendirinya jabatan PPAT-nya dapat diberhentikan.

Sekalipun disebut Sementara, namun ruang lingkup tugasnya demikian juga hak dan kewajibannya sama dengan PPAT, yang diangkat dari pejabat umum, yakni berkewajiban membuat akta perbuatan hukum tertentu atas tanah apabila dimintakan bantuannya oleh warga pemilik tanah dan atas jasa pembuatan akta tersebut, maka yang bersangkutan berhak atas honor yang besarnya telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Luasnya wilayah Republik Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat banyak dan karena adanya tuntutan terlaksananya pembinaan masyarakat diberbagai sector, maka Menteri Dalam Negeri atas nama Pemerintah Pusat melimpahkan wewenangnya kepada pejabat-pejabat yang ada di daerah untuk melakukan pembinaan.

Para pejabat yang dimaksud adalah Kepala Wilayah yang merupakan penguasa tunggal wilayahnya. Mereka merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat dan bukan hasil pilihan rakyat melalui pemilu. Pengertian Camat ini dapat dilihat dalam kamus Umum Bahasa Inidonnesia, yaitu Pegawai Pamong Praja yang mengepalai Kecamatan.Dasar hukum Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Sementara dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor:

37, Tahun 1998 yaitu:

Untuk melayani masyarakaat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan Akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa dalam hal tertentu kepala Badan dapat menunjuk camat dan/atau Kepala Desa karena jabatannya sebagai PPAT- Sementara.

Camat sebagai PPAT –Sementara, tugasnya sama dengan yang dilakukan oleh PPAT, antara lain: untuk menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang

dibuatnya antara lain reportorium (daftar dari akta-akta yang telah dibuat), yang berisikan nama dari penghadap, sifat aktanya, jual-beli, hibah, tanggal akta dibuatnya dan nomornya, identitas dari tanahnya/surat dan luas tanahnya beserta bangunan yang termasuk permanen, semi permanen, darurat dan tanaman yang ada dan lain-lain keterangan.

Camat sebagai PPAT –Sementara mempunyai kewajiban untuk mengirimkan daftar laporan akta-akta PPAT-Sementara setiap awal bulan dari bulan yang sudah berjalan kepada Badan Pertanahan Nasional Propinsi/Daerah, kepala Perpajakan, dan Kepala Kantor Pajak Bumi dan Bangunan, selain itu PPAT-Sementara juga mempunyai kewajiban membuat papan nama, buku daftar akta, dan menjilid akta serta warkah pendukung akta.

PPAT mempunyai tugas yang penting dan strategis dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah yaitu membuat akta peralihan hak atas tanah, tanpa bukti berupa akta PPAT, para Kepala Kantor Pertanahan dilarang mendaftar perbuatan hukum yang bersangkutan.

Dalam tataran yuridis, baik diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961, yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Camat dan Kepala Desa/Lurah bukan bertindak untuk membuat akta tanah, tetapi Camat dan Kades/Lurah hanya dapat bertindak selaku wasit/pengawas, maksudnya apabila ada warganya yang melakukan perikatan/

perjanjian jual-beli tanah secara di bawah tangan, maka Camat dan Kepala Desa/

Lurah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pemerintahan dan kemasyarakatan di daerahnya.

C. Alas Hak Atas Tanah

Alas hak adalah alat bukti dasar seseorang dalam membuktikan hubungan hukum antara dirinya dengan hak yang melekat atas tanah. Oleh karenanya sebuah alas hak harus mampu menjabarkan kaitan hukum antara subjek hak (individu maupun badan hukum) dengan suatu objek hak (satu atau beberapa bidang tanah) yang ia kuasai. Artinya, dalam sebuah alas hak sudah seharusnya dapat menceritakan secara lugas, jelas dan tegas tentang detail kronologis bagaimana seseorang dapat menguasai suatu bidang tanah sehingga jelas riwayat atas kepemilikan terhadap tanah tersebut.

Alas hak bentuknya bermacam-macam, namun dalam bahasan ini dipersempit pada pokok pembahasan tentang alas hak yang menelaah dalam konteks atau yang berhubungan dengan pendaftaran Pendaftaran Tanah Pertama kali Khususnya alas hak terhadap tanah-tanah Negara yang akan dimohonkan penerbitan sertipikat hak miliknya.

Tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara “tanah yang tidak dipunyai dengan suatu hak atas tanah” (Vide, BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 PP No. 24 Tahun 1997), dimana tanah hak adalah “tanah yang telah dipunyai dengan suatu hak atas tanah (Vide, BAB I Ketentuan Umum Pasal 1PMN/KA. BPN No. 9 Tahun 1999). Jika melihat defenisi ini maka sudah sangat jelas bahwa status tanah

Negara yang belum terdaftar haknya pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tidak sama seperti status tanah-tanah yang sudah melekat dan diakui hak di atasnya seperti Hak atas tanah Ulayat, Tanah Marga/Kaum, Eigendom dan lain sebagainya. Dalam menentukan suatu bidang tanah merupakan tanah Negara atau bukan juga harus diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Konteks pendaftaran tanah pertama kali/proses penerbitan sertipikat hak milik atas tanah yang bersal dari tanah-tanah Negara baik yang dilakukan secara Sistematis (terprogram) maupun Sporadis (inisiatif personal) maka prosedur pelaksanaannya dilakukan dengan cara Pemberian Hak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara/Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Pengelolaan.

Lebih jauh lagi peraturan tersebut menjelaskan bahwa Pemberian Hak Atas Tanah adalah “Penetapan pemerintah yang memberikan hak atas tanah Negara”, termasuk pemberian hak di atas tanah Hak Pengelolaan.

Pasal 9 ayat (2) angka 2 huruf (a) PMNA/Ka. BPN No. 9 Tahun 1999 secara jelas menyebutkan bahwa salah satu persyaratan dapat diprosesnya permohonan hak milik atas tanah adalah dengan menyertakan alas hak sebagai bukti dasar penguasaan, baik yang berupa sertipikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan/atau yang telah dibeli dari pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan hak, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya.

Kenyataannya yang banyak terjadi di beberapa daerah kabupaten/kota khususnya pada level Pemerintah desa/kelurahan yang tidak begitu memahami atau bahkan menyepelekan persoalan alas hak sebagaimana disebutkan di atas, terlebih terhadap tanah-tanah Negara yang belum terdaftar haknya di Kantor Pertanahan Kabupaten/kota, tidak sedikit produk pemerintah desa/kelurahan berupa alas hak atas tanah yang dilihat terbalut rapi dengan title sampul “surat Keterangan Tanah “ atau SKT namun tidak serapi isinya. Lebih jauh dari itu, SKT malah justru menjadi momok atau hal yang menakutkan bahkan kerap dianggap menjadi “bom waktu”

yang kapan saja bisa memunculkan ledakan permasalahan, sengketa tanah di pengadilan. Betapa tidak, begitu banyak perkara sengketa kepemilikan tanah yang disidangkan hanya karena begitu mudahnya Kepala Desa/Lurah menerbitkan sebuah SKT tanpa dibarengi dengan tertib adminstrasi atas SKT yang telah diterbitkan di desa/kelurahan tersebut.

Alas hak harusnya mampu menjelaskan secara detail tentang kronologis riwayat kepemilikan tanah secara beruntun sampai dengan pemegang kepemilikan tanah yang terakhir. Aspek hubungan hukum dari sebuah perbuatan hukum antara Subyek hak dengan Obyek tidak boleh terputus dan harus terus saling bertalian riwayat kepemilikannya antara pemilik awal dengan pemilik selanjutnya. Jika unsur-unsur tersebut terpenuhi maka SKT (Surat Keterangan Tanah) tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu alas hak.

SKT (Surat Keterangan Tanah), di Sumatera Utara dikenal dengan sebutan

“SK Camat, apapun penafsiran SKT yang jelas SKT pada prinsipnya diterbitkan

untuk menerangkan kepemilikan tanah-tanah negaara, meski pada kenyataannya malah banyak SKT yang memburamkan atau mengaburkan riwayat atas kepemilikan tanah.

Pemerintah desa/Kelurahan adalah satuan pemerintahan terkecil dalam struktur ketatanegaraan di Republik Indonesia, dalam presfektif Hukum Administrasi Negara, pemerintah desa/kelurahan memiliki peranan yang cukup besar dalam mengatur ketatausahaan pemerintahannya dan berakibat vital atau sangat penting terhadap kelangsungan administrasi pemerintahan di atasnya (yaitu pemerintah kecamatan, kabupaten/kota, propinsi dan seterusnya), tapi tampaknya peranan ini belum begitu berjalan mulus dalam hal penyusunan administrasi pertanahan di masing-masing wilayah desa/kelurahan.

Khusus dalam penerbitan administrasi pertanahan di desa-desa/kelurahan yang acak-acakan, menjadi alasan utama terhadap ketidakmampuan Desa/Kelurahan dalam menyajikan data administrasi pertanahan yang benar dan tepat, baik dalam hal kejelasan batas desa, jumlah tanah-tanah yang telah bersertipikat apalagi data kepemilikan tanah-tanah yang belum bersertipikat. Akibatnya, sengketa batas, perebutan lahan dan tumpang tindih kepemilikan menjadi topik utama di banyak media masya sehingga turut mewarnai kericuhan terhadap carut-marutnya sistem administrasi pertanahan di Indonesia.

Minimnya pemahaman kepala desa/Lurah dalam memahami betapa pentingnya riwayat kepemilikan atas bidang tanah dalam menerbitkan suatu alas hak juga turut memperburuk keadaan. Banyak terjadi di lapangan kepala desa/lurah yang

memenggal riwayat kepemilikan tanah dalam menerbitkan SKT (surat keterangan tanah) dan sudah barang tentu produk alas hak yang bakal ia terbitkan juga akan mengaburkan kronologis riwayat tanahnya.

Faktor penyebab terpenggalnya riwayat tanah yang sering terjadi di lapangan biasanya disebabkan dua hal, pertama, unsur kesengajaan dari oknum Kepala desa/lurah yang mungkin karena ketidaktahuannya dengan sengaja menarik surat-surat bukti perolehan tanah yang lama telah dimiliki warganya dan dengan mudah menggantinya dengan surat-surat yang baru berupa SKT (Surat Keterangan Tanah), dan mengabaikan riwayat tanah yang tercantum dalam surat-surat bukti perolehan tanah yang lama. Hal demikian pada umumnya dilakukan sang oknum kepala desa/lurah dalam mengikuti program Pendaftaran Tanah Pertama Kali secara sistematik, misalnya program PRONA dengan tujuan pemungutan biaya SKT baru yang telah diterbitkannya. Kedua, minimnya pemahaman aparatur desa/kelurahan menyangkut hibah dan lain sebagainya baik sebagian maupun keseluruhan yang kemudian selalu diterbitkan SKT baru atas tanah untuk diberikan kepada pemilik baru, dan menarik SKT (Surat Keterangan Tanah) lama dari pemilik tanah yang sebelumnya padahal seharusnya tidak demikian.

SKT (Surat Keterangan Tanah), SK Camat, seharusnya mendapat perlakuan yang sama selayaknya sebuah sertipikat hak yang diterbitkan oleh BPN. SKT diterbitkan hanya sekali selamanya dan desa/kelurahan menyimpan arsipnya dalam bundel buku, sehingga bila mana terjadi kerusakan atau kehilangan atas SKT tersebut dapat dengan mudah diterbitkan SKT pengganti dengan data yang serupa, dan

bilamana terjadi perubahan data atas SKT tersebut bukan dilakukan dengan cara menerbitkan SKT dengan Nomor Register Desa yang baru pula, melainkan diterbitkan Surat Pemindahan Penguasaan Tanah atas peralihan sebagian maupun secara keseluruhan atas SKT sebelumnya.

SPOPP (Standar Prosedur Operasional Pelayanan Pertanahan) Kantor Pertanahan kabupaten/Kota atau yang sekarang lebih dikenal dengan SOPP menyebutkan bahwa sebuah alas hak sekurang-kurangnya terdiri dari Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah yang ditandatangani di atas materai secukupnya oleh subyek hak dengan memuat berbagai keterangan mengenai tanahnya meliputi, data diri pemilik, letak, batas dan luasnya, jenis tanahnya yang dikuasai (pertanian/Non Pertanian), Rencana Penggunaan Tanah, Status Tanahnya (Tanah Hak atau Tanah Negara), dan bagian yang paling penting adalah keterangan mengenai riwayat kepemilikan dan dasar perolehan tanah dimaksud secara beruntun kemudian ditandatangani 2 (dua) orang saksi dan dietahui oleh kepala desa/lurah dimana obyek tanah tersebut berada.

Idealnya surat pernyataan di atas dipertegas lebih lanjut dengan Surat keterangan Tanah yang diterbitkan oleh Kepala Desa/Kelurahan yang isinya menguatkan Legal Statment, dari apa yang terangkum di dalam Sebuah Pernyataan Penguasaan Fisik bidang tanah sebagaimana dijelaskan di atas, lalu jika terjadi perubahan sebagian atau seluruh data pemilik karena sebab-sebab peralihan (apakah karena ganti-rugi hibah, pemberian dan lain sebagainya), dari pemilik yang lama kepada pemilik baru maka pemerintah desa/kelurahan harus mengarahkan

pihak-pihak yang berkepentingan agar membuat Surat Pemindahan Penguasaan Tanah yang isinya kurang lebih menceritakan sebab-sebab peralihan hak dan kewajiban atas tanah tesebut di antara para pihak yang berkepentingan dibubuhi tanda tangan di atas materai secukupnya diketahui 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani oleh kepala desa/lurah.

Sebaiknya untuk memelihara ketertiban admnistrasi pertanahan di pemerintahan tingkat desa/kelurahan, surat-surat bukti perolehan hak tersebut dibundel menjadi satu kesatuan alas hak yang siap untuk didaftarkan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, dan, pihak desa/kelurahan harus memiliki arsip atas surat-surat tanah tersebut sehingga perlahan namun pasti hal ini akan berakibat baik dalam peningkatan tertib administrasi pertanahan bahkan lebih dari itu hal ini diyakini akan memperpendek daftar register perkara pada pengadilan negeri yang pokok perkaranya menyangkut sengketa tanah.

D. Peran Kepala Desa/Lurah dan Camat dalam Pendaftaran Tanah melalui PRONA.

Tanah dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan dan kelangsungan hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun dampak bagi orang lain, untuk mencegah masalah tanah tidak sampa imenimbulkan konflik kepentingan dalam masyarakat, diperlukan pengaturan, penguasaan tanah atau disebut dengan hukum tanah.37

37K. Wantijk Saleh, Hak Atas Tanah, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982, Hal. 7

Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ditegaskan bahwa penyelenggaraan pendaftaran tanah adalah Badan Pertanahan Nasional dan pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan yang ada di setiap Kabupaten dan kota, pengecualian bagi kegiatan-kegiatan tertentu ditugaskan kepada pejabat lain yang ditetapkan dengan suatu peraturan perundang-undangan.38

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 594.III/4642/Agr, diperjelas bahwa pensertipikatan hak atas tanah diatur dengan 2 cara:

1. Golongan Ekonomi Lemah diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 220/1981, dimana biaya operasionalnya diberi subsidi dan anggaran Pemerintah Pusat melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Pendapatan Belanja Daerah.

2. Golongan yang mampu diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 189/1981 jo Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 226/1982, dimana biaya operasional dibebankan kepada swadaya para anggota masyarakat yang akan menerima sertipikat tersebut.39

Upaya pemerintah untuk membantu mengatasi kendala biaya dalam mengurus pendaftaran tanah bagi masyarakat ekonomi lemah, Pemerintah melalui Kantor Pertanahan Kota Medan melakukan kegiatan pensertipikatan secara massal melalui Proyek Operasional Agraria (PRONA), yaitu bertujuan untuk meringankan beban

38Tampil Anshari Siregar, Pendaftaran Tanah Kepastian Hak, Multi Grafik, Medan, 2007, Hal. 27.

39Affan Mukti, Pokok-Pokok Bahasan Hukum Agraria, USUpress, Medan, 2006, Hal.57.

masyarakat dalam mensertipikatan tanah dan membantu terlaksananya pendaftaran tanah di Indonesia.

PRONA adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah di bidang pertanahan pada umumnya dan di bidang pendaftaran tanah pada khususnya, yang berupa pensertipikatan tanah yang dilaksanakan secara serentak bersama-sama (massal) dan penyelesaian sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis.

Pensertipikatan tanah secara massal yang dilakukan oleh kantor Pertanahan sebenarnya sebagai perwujudan dari tertib administrasi di bidang pertanahan, untuk meningkatkan pelayanan bidang pertanahan, terutama bagi kepentingan golongan masyarakat ekonomi lemah.

Program PRONA merupakan kegiatan kantor pertanahan yang berkaitan dengan Instansi lain misalnya di Sumatera Utara dilaksanakkan melibatkkan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, khususnya kota Medan, Camat, dan Lurah setempat, Pemohon/Masyarakat Kelurahan tempat dilaksanakannya program PRONA, maka keikutsertaannya dibutuhkan adanya suatu koordinasi dan kinerja yang baik.

PRONA dilakukan secara terpadu dan diperuntukkan bagi seluruh lapisan masyarakat golongan ekonomi lemah yang berada di wilayah kelurahan dan kecamatan yang telah ditunjuk dan hanya membayar biaya yang telah ditetapkan.

Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk

Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk

Dalam dokumen TESIS. Oleh. ENDANG SRI WAHYUNI /M.Kn (Halaman 51-0)