• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS. Oleh. ENDANG SRI WAHYUNI /M.Kn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS. Oleh. ENDANG SRI WAHYUNI /M.Kn"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

ENDANG SRI WAHYUNI 127011033/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ENDANG SRI WAHYUNI 127011033/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(3)

BERDASARKAN SURAT EDARAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 593/5707/SJ, TAHUN 1984)

Nama Mahasiswa : ENDANG SRI WAHYUNI Nomor Pokok : 127011033

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) (Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Tanggal lulus : 10 Agustus 2015

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

2. Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn

3. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, MHum 4. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

(5)

Nama : ENDANG SRI WAHYUNI

Nim : 127011033

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH LURAH

DALAM MEMBUAT SURAT KETERANGAN TANAH YANG BERFUNGSI SEBAGAI ALAS HAK ATAS

TANAH BERDASARKAN SURAT EDARAN

MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 593/5707/SJ, TAHUN 1984)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : ENDANG SRI WAHYUNI Nim : 127011033

(6)

pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria, ternyata memiliki kendala yang tidak sedikit dan tidak mudah, baik dari warga masyarakat pemegang hak atas tanah sendiri karena masih minim pengetahuan mereka terhadap pentingnya pendeftaran tanah untuk melindungi hak mereka maupun karena lemahnya pengetahuan mereka terhadap pendaftaran tanah, dan perilaku aparat pelaksananya yang ternyata memiliki kepentingan tersendiri terhadap hak atas tanah bagi warganya sendiri.

Hal ini sangat sulit untuk dipercaya, tapi ternyata ada dan tidak boleh disembunyikan agar masalah kendala pendaftaran tanah dapat dipecahkan dan dicari jalan keluarnya dengan bijak sana tanpa bermaksud melukai hati rakyat kecil pemegang hak atas tanah yang tak berdaya maupun tanpa bermaksud untuk merusak reputasi pejabat pemerintah sebagai pelaksana pendaftaran tanah tersebut

Pada saat Belanda menjajah Republik Indonesia, . dualisme hukum Agraria sengaja dijalankan dengan tujuan membodohi rakyat penganut hukum adat dengan alasan bahwa rakyat tidak punya bukti kepemilikan hak atas tanah yang diakuinya sehinga dengan alasan itu Belanda merasa berhak untuk merampas tanah rakyat Indonesia dengan sewenang-wenang dan tanpa belas kasihan. Kini kenyataan itu juga sepertinya dirasakan juga oleh pemegang hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara yang masih belum memiliki bukti kepemilikan hak atas tanahnya karana pihak aparat desa sebagai aparat yang biasa membantu membuatkan surat keterangan tanah maupun alas hak atas tanah tidak bersedia membantu bahkan menekan pemegang hak atas tanah dari golongan ini dengan alasan hak atas tanahnya tidak memiki bukti kepemilikan dan oknum aparat ini dengan mudah menuduh pemegang hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara ini sebagai penggarap liar dari pemilik lahan yang telah ditentukannya siapa pemiliknya kemudian dengan sewemamg-wenang merampas lahan milik warganya dan mengalihkan kepada pihak lain tanpa belas kasihan.

Mungkin ini hanya oknum aparat, tapi tidak seharusnya hal ini dibiarkan terlalu lama sehingga melukai hati rakyat kecil dan menjadikan hal ini biasa bagi pejabat yang berwenang untuk mendapatkan tanah rakyat dengan berbagai cara dan berbagai alasan serta sistem hukum yang membuat masyarakat dari golongan yang harusnya dilindungi dan dibantu menjadi bulan-bulanan oleh aparatnya sendiri maupun karena sistem hukum yang semakin menekan dan menyudutkannya dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh akalnya maupun oleh hatinya

Kata Kunci: Penyalahgunaan wewenang adalah perlakuan sewenang-wenang aparat terhadap pemegang hak atas tanah dengan menggunakan jabatannya.

(7)

positive legal provisions; besides that, it is assumed that there is an indication of criminal act in the process of registering land rights so that there is no legal certainty for the land owner, the third party, or those who had real property rights on the land.

The problem of the research was about the power abuse by lurah (village headman) in issuing Certificate of Clarification of Land which functioned as the legal basis for land, based on the Circular Letter of the Minister of Internal Affairs No.

593/5707.SJ/1984.

The research used judicial normative method since it used secondary data, while the research specification was descriptive analytic. It was expected that the research would provide comprehensive description on how far the implementation done by Agrarian Law instruments with Lurah and Camat (Subdistrict Head) in issuing Certificate of Clarification of Land which functioned as the Legal Basis for Land.

The result of the research showed that the Certificate of Clarification of Land, issued by Lurah and acknowledged by Camat evidently caused dispute since there was overlapping ownership. It could not be solved by both Lurah and Camat so that the Circular Letter of the Minister of Internal Affairs No. 593/5707/SJ/1984 cancelled the authority of the Subdistrict Head in giving the license of clearing land. The fact, however, was that both Lurah and Camat had abused their authority which harmed other people; for examples, crime and violation on physical and judicial data and giving falsified data concerning the land done by Lurah, Camat, and the person who requested for the rights. It is recommended that the police should be pro-active in proving the crime to be processed according to the prevailing regulations and not giving permission by arguing that it is not their authority since a land case belongs to the civil case.

Keywords: Power Abuse, Lurah, Certificate of Clarification of Land, Legal Basis on Land

(8)

rahmat hidayah-Nya karena perkenannya pula Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “ Penyalahgunaan Wewenang oleh Lurah Dalam Membuat Surat Keterangan Tanah yang berfungsi Sebagai Alas Hak Atas Tanah Menurut Surat Edaran Menteri Nomor 593/5707/SJ., tahun 1984 tentang Pencabutan Wewenang Kepala Kecamatan Untuk Memerikan ijin Membuka Tanah”, yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Megister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumetera Utara.

Pada penulisan tesis ini banyak pihakk yang telah memberikan bantuan moril berupa bimbingan dan arahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini, oleh karena itu dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing , yang terhormat Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN., M.Hum., dan Bapak Dr. H.

Syahril Sofyan, SH., MKn.

Selanjutnya Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Subhilhar, PhD. Selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Runtung. SH. M.Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., Selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(9)

5. Bapak-Bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para karyawan Biro Administrasi pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Para pegawai/Karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Sumatera Utara.

7. Rekan-rekan mahasiswa pada Program Studi Megister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 2012.

8. Komandan Pangkalan Utama TNI AL I , beserta Kadiskum TNI AL beserta staf di Pangkalan Utama TNI AL Belawan yang telah banyak membantu penulis di dalam pengumpulan data yang sangat berguna untuk penulisan ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Teristimewa dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada yang tercinta kedua orang tua Penulis, Ayahanda dan Bunda tercinta yang telah memberikan doa, perhatian dan kasih saying serta dukungannya kepada Penulis.

Penulis berharap semoga perhatian dan bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya dari Tuhan Yang Maha Esa.Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini jauh dari sempurna, walaupun demikian Penulis mengharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2015 Penulis

(Endang Sri Wahyuni)

(10)

Nama : Endang Sri Wahyuni Tempat/TanggalLahir : Medan, 03 Mei 1968

Alamat : BTN TNI AL Blok AQ No. 9 Kel. Besar, Kec.

Medan Labuhan JenisKelamin : Perempuan Kewarganegaraan : Indonesia

Nama Ayah : FailiSiran

Nama Ibu : Fatimah

II. PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : SD Negeri 060863 Medan (Lulus 1983) Sekolah Menengah Pertama : SMP Negeri 9 atau sekarang SMP Negeri

11 Medan (Lulus 1986)

Sekolah Menengah Atas : SMA Negeri 3 Medan (Lulus tahun 1989) S1 Universitas : Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (Lulus tahun 1997)

Diploma III : Bidang Ilmu Administrasi Pertanahan

S1 Universitas : Departemen Pendidikan Nasional

Universitas Terbuka (Lulus tahun 02 April 2002) dengan Gelar Sarjana Ilmu Politik atau di singkat S.IP.,

S1 Universitas : Departemen Pendidikan Nasional

Universitas Padjadjaran Bandung (Lulus, 28 April 2003) dengan Gelar Sarjana Hukum (SH)

S2 Universitas : S2 Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Sumatera Utara (2015).

(11)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR ISTILAH ASING ... ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 18

C. Tujuan Penelitian ... 18

D. Manfaat Penelitian ... 19

E. Keaslian Penelitian ... 20

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 21

1. Kerangka Teori ... 21

2. Kerangka Konsepsi ... 32

G. Metode Penelitian ... 34

BAB II PERAN KEPALA DESA ATAU LURAH DAN CAMAT DALAM KEIKUT SERTAANNYA UNTUK MELAKSANAKAN PENDAFTARAN TANAH ... 37

A. Kepala Desa dan Lurah ... 37

B. Camat ... 39

C. Alas Hak Atas Tanah ... 42

D. Peran Kepala Desa/Lurah dan Camat dalam Pendaftaran Tanah melalui PRONA ... 48

E. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 ... 52

(12)

A. Tanggung Jawab Lurah dan Camat Terhadap Surat Keterangan

Tanah Yang dibuatnya ... 54

B. Prosedur dan Tata Cara Camat sebagai PPAT Sementara Dalam Melaksanakan Pembuatan Akta Jual-Beli Hak Atas Tanah... 56

1. Para Penghadap Tidak Saling Berhadapan ... 58

2. Pengecekan Sertipikat ... 60

3. Pembuatan Surat Pernyataan Calon Penerima Hak ... 60

4. Penelitian terhadap Objek Sengketa ... 60

5. Penyiapan 2 (Dua) Orang Saksi ... 61

6. Teknis Pengisian Blanko ... 62

a. Pembacaan Akta Kepada Para Pihak ... 62

b. Sanksi Hukum terhadap Camat sebagai PPAT Sementara yang Tidak Melaksanakan Kewajibannya Sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku ... 63

c. Penyimpangan Prosedur Sesuai Fakta ... 64

d. Penyalahgunaan Wewenang ... 65

BAB IV UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH MASYARAKAT UNTUK MEMPERTAHANKAN HAK ATAS TANAHNYA JIKA HAKNYA TERBUKTI DISELEWENGKAN OLEH OKNUM APARAT DESA/LURAH MAUPUN CAMAT ... 82

A. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan oleh Masyarakat Untuk Mempertahankan Hak Atas Tanahnya ... 82

B. Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Badan Peradilan... 86

1. Pengadilan Umum ... 86

2. Gugatan Perdata Sengketa Tanah di Pengadilan Umum ... 108

3. Pengadilan Tata Usaha Negara ... 116

(13)

DAFTAR PUSTAKA ... 122

(14)

yang sudah ada maupun yang baru sekali, seperti MPR, sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama- sama Pemerintah sebagai yang melahirkan undang- undang, dan untuk tingkat daerah adalah DPRD, dan pemerintah daerah yang melahirkan peraturan daerah yang melahirkan peraturan daerah, atribusi, merupakan wewenang untuk membuat keputusan, kewenangan atribusi diperoleh dari UUD 1945.

2. Bedrog : Penimpuan

3. Besluit : Ketetapan yang bersifat konstitutif

4. Conceptus : Sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.

5. Deelneming : Penyertaan / turut serta

6. Doelmatige : Ketetapan itu tidak memenuhi tujuan peraturan dasarnya.

7. Detournement Pouvoir : Telah terjadi penyalahgunaan wewenang

8. Dwaling : Kesalahan

9. Delegasi : Adalah penyerahan wewenang yang dimiliki oleh pemerintah kepada organ yang lain, dalam delegasi ada suatu penyerahan wewenang, yaitu telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang.

Delegasi harus ditetapkan, tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.

10. Hak Eigendom : Jika yang mempunyai hak itu pada tanggal 24 September 1960, dan memenuhi syarat

(15)

11. Legal Statement : Pernyataan

12. Legalisasi : Pengesahan

13. Materiel Wederrechtelihkheid : Asas melawan hukum materiel

14. Opstal : Pada mula-mula berlakunya Undang-undang Pokok Agraria, sejak saat itu menjadi Hak Guna Bangunan, tersebut dalam Pasal 35 ayat (1) yang berlangsung selama sisa waktu Hak Opstal tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.

15. Rechtsplicht : Suatu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum

16. Rechtsgerechtiqheid : Mewujudkan keadilan 17. Rechtstzekerheid : Kepastian Hukum 18. Rechtsuliteit : Kemanfaatan

19. Sertipikat : Salinan buku tanah dan surat ukur, setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan peraturan. Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian kuat.

20. Stellionaat : Kejahatan berupa penggelapan hak atas barang tidak bergerak seperti tanah, rumah dan sawah.

21. Unifikasi : Hak-hak atas tanah dengan mengadakan Konversi hak-hak atas tanah yang lama (Baik dari Hak Barat maupun Hak Adat) Menjadi hak atas tanah baru (bagian II UUPA)

(16)

pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria, ternyata memiliki kendala yang tidak sedikit dan tidak mudah, baik dari warga masyarakat pemegang hak atas tanah sendiri karena masih minim pengetahuan mereka terhadap pentingnya pendeftaran tanah untuk melindungi hak mereka maupun karena lemahnya pengetahuan mereka terhadap pendaftaran tanah, dan perilaku aparat pelaksananya yang ternyata memiliki kepentingan tersendiri terhadap hak atas tanah bagi warganya sendiri.

Hal ini sangat sulit untuk dipercaya, tapi ternyata ada dan tidak boleh disembunyikan agar masalah kendala pendaftaran tanah dapat dipecahkan dan dicari jalan keluarnya dengan bijak sana tanpa bermaksud melukai hati rakyat kecil pemegang hak atas tanah yang tak berdaya maupun tanpa bermaksud untuk merusak reputasi pejabat pemerintah sebagai pelaksana pendaftaran tanah tersebut

Pada saat Belanda menjajah Republik Indonesia, . dualisme hukum Agraria sengaja dijalankan dengan tujuan membodohi rakyat penganut hukum adat dengan alasan bahwa rakyat tidak punya bukti kepemilikan hak atas tanah yang diakuinya sehinga dengan alasan itu Belanda merasa berhak untuk merampas tanah rakyat Indonesia dengan sewenang-wenang dan tanpa belas kasihan. Kini kenyataan itu juga sepertinya dirasakan juga oleh pemegang hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara yang masih belum memiliki bukti kepemilikan hak atas tanahnya karana pihak aparat desa sebagai aparat yang biasa membantu membuatkan surat keterangan tanah maupun alas hak atas tanah tidak bersedia membantu bahkan menekan pemegang hak atas tanah dari golongan ini dengan alasan hak atas tanahnya tidak memiki bukti kepemilikan dan oknum aparat ini dengan mudah menuduh pemegang hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara ini sebagai penggarap liar dari pemilik lahan yang telah ditentukannya siapa pemiliknya kemudian dengan sewemamg-wenang merampas lahan milik warganya dan mengalihkan kepada pihak lain tanpa belas kasihan.

Mungkin ini hanya oknum aparat, tapi tidak seharusnya hal ini dibiarkan terlalu lama sehingga melukai hati rakyat kecil dan menjadikan hal ini biasa bagi pejabat yang berwenang untuk mendapatkan tanah rakyat dengan berbagai cara dan berbagai alasan serta sistem hukum yang membuat masyarakat dari golongan yang harusnya dilindungi dan dibantu menjadi bulan-bulanan oleh aparatnya sendiri maupun karena sistem hukum yang semakin menekan dan menyudutkannya dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh akalnya maupun oleh hatinya

Kata Kunci: Penyalahgunaan wewenang adalah perlakuan sewenang-wenang aparat terhadap pemegang hak atas tanah dengan menggunakan jabatannya.

(17)

positive legal provisions; besides that, it is assumed that there is an indication of criminal act in the process of registering land rights so that there is no legal certainty for the land owner, the third party, or those who had real property rights on the land.

The problem of the research was about the power abuse by lurah (village headman) in issuing Certificate of Clarification of Land which functioned as the legal basis for land, based on the Circular Letter of the Minister of Internal Affairs No.

593/5707.SJ/1984.

The research used judicial normative method since it used secondary data, while the research specification was descriptive analytic. It was expected that the research would provide comprehensive description on how far the implementation done by Agrarian Law instruments with Lurah and Camat (Subdistrict Head) in issuing Certificate of Clarification of Land which functioned as the Legal Basis for Land.

The result of the research showed that the Certificate of Clarification of Land, issued by Lurah and acknowledged by Camat evidently caused dispute since there was overlapping ownership. It could not be solved by both Lurah and Camat so that the Circular Letter of the Minister of Internal Affairs No. 593/5707/SJ/1984 cancelled the authority of the Subdistrict Head in giving the license of clearing land. The fact, however, was that both Lurah and Camat had abused their authority which harmed other people; for examples, crime and violation on physical and judicial data and giving falsified data concerning the land done by Lurah, Camat, and the person who requested for the rights. It is recommended that the police should be pro-active in proving the crime to be processed according to the prevailing regulations and not giving permission by arguing that it is not their authority since a land case belongs to the civil case.

Keywords: Power Abuse, Lurah, Certificate of Clarification of Land, Legal Basis on Land

(18)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tanah adalah suatu benda yang memiliki nilai ekonomis tinggi, karena tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang sangat penting.

Tanah sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhannya, baik yang langsung untuk kehidupannya seperti untuk bercocok tanam atau tempat tinggal, maupun untuk melaksanakan usaha, seperti untuk tempat perdagangan, industri, pertanian perkebunan, pendidikan, pembangunan sarana dan prasarana lainnya.1

Kebutuhan akan tanah semakin lama semakin meningkat karena tingginya tingkat pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali, sementara jumlah tanah yang tersedia semakin menyempit karena luas tanah bersifat tetap dan terbatas.

Kedudukan tanah memiliki nilai yang cukup penting bagi manusia, karena merupakan satu-satunya kekayaan yang dalam keadaan apapun akan tetap dalam keadaan semula. Suatu kenyataan bahwa tanah merupakan tempat tinggal keluarga dan masyarakat, memberikan penghidupan dan merupakan tempat para warga yang meninggal dunia dikuburkan.

Menurut kepercayaan kelompok masyarakat adat, tanah merupakan pula tempat tinggal para dewa pelindung dan tempat roh para leluhur bersemayam.2Tanah

1Suardi, Hukum Agraria, Badan Penerbit IBLAM, Jakarta, 2005, hlm. 1

2 Busher Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Cetakan Ketujuh, Jakarta, 2000, hlm. 103

(19)

dianggap begitu penting sehingga timbullah naluri sebagai manusia untuk mempertahankan tanahnya, karena tanah itu diyakini sebagai wilayah kekuasaannya.

Tingginya tingkat kebutuhan akan tanah akan menimbulkan semakin tinggi pula permintaan akan tanah. Permintaan yang tinggi tanpa diimbangi oleh ketersediaan barang yang cukup di lapangan hanya akan melahirkan krisis dan pergesekan, jika hal ini tidak dibenahi maka sengketa tanah akan lebih parah lagi pada masa mendatang sebab laju pertumbuhan penduduk cenderung tidak terkendali.

Di Indonesia masalah sumber daya alam diatur dalam konstitusi sebagaimana terlihat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal ini secara prinsip memberi landasan hukum bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.3 Lebih lanjut, tanah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA No. 5 Tahun 1960) Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan, “bahwa”, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam didalamnya pada tingkat yang tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Berdasarkan hal tersebut, maka negara selaku badan penguasa atas bumi, air, ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya berwenang untuk mengatur dalam rangka mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Maksud Pasal 2 Ayat (1) UUPA adalah negara mempunyai kekuasaan mengatur tanah-tanah bebas yang belum dimiliki seseorang atau badan hukum akan langsung dikuasai oleh negara.4

3Bachtiar Effendie, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 2.

4Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia, dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 2

(20)

UUPA selanjutnya menyatakan bahwa negara menentukan macam-macam hak atas tanah yang diberikan kepada orang maupun kepada badan hukum, oleh karena itu setiap pemegang hak atas tanah tidak akan lepas dari hak penguasaan negara karena kepentingan nasional berada di atas kepentingan individu atau kelompok, walaupun bukan berarti bahwa kepentingan individu atau kelompok dapat dikorbankan begitu saja dengan alasan untuk kepentingan umum.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia maka Pemerinatah akan melakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang menyebutkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.5

Adapun Peraturan Pemerintah, disingkat PP, untuk pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana yang diatur dalam UUPA adalah PP Nomor 10 Tahaun 1961 yang mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1961, yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 1997, yang berlaku pada tanggal 8 Oktober 1997.

Sebelum UUPA berlaku, Pendaftaran tanah yang dikenal saat ini adalah hanya pendaftaran untuk hak-hak atas tanah yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat, seperti hak Eigendom, Opstal dan sebagainya yang pendaftarannya dilakukan di Kantor Pendaftaran Tanah (Kadaster).

5A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Madju, Bandung 1993, hal. 133.

(21)

Pendaftaran tanah untuk golongan Bumi Putera tidak ada suatu ketentuan hukum pendaftaran tanah yang bersifat uniform yang mengatur, walaupun ada kita temukan beberapa pendaftaran secara sporadis, akan tetapai masih sederhana dan belum sempurna, seperti Grant Sultan, Grant Deli Mastchappij, dan lain-lain yang sudah berkembang dan menirukan sistem pendaftaran kadaster.

Pelaksanaan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia sebagaimana diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 belum dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan beberapa kendala seperti luasnya letak geografis Indonesia, sehingga memakan waktu yang lama untuk dilaksanakannya pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Faktor lainnya yang menjadi kendala pendaftaran tanah yang cukup tinggi adalah tingkat kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah dan sulitnya pendaftaran tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah hukum agraria nasional yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Undang-Undang (UU) pengaturan ini mengatur jenis-jenis hak atas tanah dalam aspek perdata dan aspek administrasi yang berisi politik pertanahan nasional, yang semuanya bertujuan untuk menciptakan unifikasi hukum pertanahan di Indonesia. UUPA merupakan hukum agraria nasional

yang di-saneer dari hukum adat.6

Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia sehingga diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai landasan konstitusi

6Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta 1989, hlm. 3

(22)

Negara Republik Indonesia, dalam hal ini negara mempunyai wewenang untuk mengatur tentang hak-hak atas tanah dan melayani rakyat di bidang pertanahan.

Kewenangan di bidang pertanahan tersebut dijalankan oleh Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai kantor pusat di Jakarta, kantor wilayah di setiap propinsi dan kantor-kantor pertanahan di setiap kota atau kabupaten.

Sungguh sangat disayang ternyata tidak adanya data yang akurat baik di pengadilan maupun di Badan Pertanahan Nasional (BPN) membuat sengketa tanah menjadi semakin parah, ditambah lagi dengan tidak adanya otoritas tunggal yang berwibawa dalam penanganan sengketa, membuat para calo tanah semakin leluasa mengail di air keruh. Carut – marut seperti ini membuat sengketa bisa tak berujung.

Munculnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, membuat masalah semakin rumit. Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1), huruf (k) yang mengatur bahwa pelayanan bidang pertanahan merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, propinsi/kabupaten/kota yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah ternyata menimbulkan masalah baru, yaitu mengenai bentuk lembaga, pembagian tugas, tata cara kerja serta pelayanan bidang pertanahan agar UUPA dapat dilaksanakan secara utuh dan sejalan dengan UU No. 32 Tahun 2004. Kondisi ini justru dimanfaatkan oleh sejumlah oknum untuk memanfaatkan kekosongan hukum sehingga terjadilah peningkatan jumlah sengketa tanah.

Ketidakjelasan terhadap aturan pada Undang-Undang ini mengakibatkan kepastian

(23)

hukum menjadi tidak jelas, karena pemerintah daerah boleh membuat tafsiran sendiri.7

Bukan hanya sekedar penafsiran, tapi Kepala Desa/Lurah maupun Camat dapat membuat surat untuk menciptakan bukti tertulis dari tanah yang mereka kuasai apalagi di Indonesia masih banyak tanah yang belum terdaftar di kantor pertanahan maka masih banyak kita dapati di tengah-tengah masyarakat, surat-surat yang dibuat oleh para notaris ataupun surat-surat yang dibuat oleh para camat dengan berbagai ragam, tujuannya adalah untuk menciptakan bukti tertulis dari tanah-tanah yang mereka kuasai, walaupun tanpa melalui prosedur peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tanah-tanah yang belum dikonversi, maupun tanah-tanah yang dikuasai Negara kemudian diduduki oleh rakyat baik dengan sengaja ataupun diatur oleh kepala-kepala desa dan disahkan oleh para camat, seolah-olah tanah tersebut telah merupakan hak seseorang ataupun termasuk kategori hak-hak adat.Di daerah Sumatera Utara dikenal pula “Akta Camat” (surat yang dibuat oleh Camat baik sebagai bukti hak ataupun peralihan hak yang dibuat oleh atau di hadapan Camat).8

Namun sampai sekarang masih dipermasalahkan hak-hak dari para camat tersebut dalam membuat akta peralihan ataupun validitasnya oleh karena tidak ada suatu peraturan pun yang mendukungnya, dan Camat bukanlah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Kepala

7Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, KPG (kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, 20012, hlm. 8

8A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, cv. Mandar Maju, hal. 3

(24)

Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

Sementara Kepala desa/Lurah dalam prakteknya jarang atau bahkan tidak sempurna mencatat ataupun memelihara daftar induk atau mencatat semua peralihan tersebut, dan yang ada hanya pengetahuan umum bahwa tanah tersebut memang milik seseorang dan berbatasan dengan tanah-tanah orang lain menurut patok-patok yang telah mereka sepakati.

Akibat peraturan-peraturan yang telah diterbitkan dalam pengelolaan keagrarian banyak yang tidak dikuasai oleh para Camat, hal ini terbukti ada banyak kesalahan didalam pembuatan akta tanah yang mereka lakukan. Kenyataan ini tentu merugikan masyarakat. Sudah selayaknyalah aparat desa/lurah beserta Camat memperluas pengetahuannya dibidang keagrariaan atau pertanahan terutama di bidang pendaftaran tanah agar tujuan pendaftaran tanah yang mereka dukung dapat tercapai dan terlaksana hingga terbitnya sertipikat yang banyak didambakan oleh masyarakat pemegang hak atas tanah yang tanahnya masih belum terdaftar di kantor pertanahan seperti apa yang diatur oleh Undang-Undang.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, menerangkan bahwa “buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu objek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya”.9 Sertipikat tanah yang diberikan itu akan memberikan arti dan peranan penting bagi pemegang hak yang bersangkutan yang berfungsi sebagai alat bukti hak atas tanah.

9FX. Djumiadji, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Mandar Maju, Jakarta, 1995, hal.13.

(25)

Namun dengan adanya sertipikat bukanlah jaminan bahwa tanah tersebut tidak ada sengketa, tetapi dengan adanya sertipikat tersebut dapat dijadikan sebagai pegangan dan kepastian hak atas subjek tanah tersebut bahwa tanahnya telah diukur, telah ditentukan batas-batasnya oleh yang berwenang untuk itu dan telah memberikan hak prerogatif terdaftar atas nama pemilik.

Apabila seseorang bermaksud untuk mengalihkan hak atas tanah dan atau bangunan yang dimilikinya, biasanya dapat dilakukan dengan cara jual-beli, hibah, tukar-menukar, pemisahan, pembagian harta warisan dan sebagainya.

Untuk memperoleh kekuatan hukum dalam mengalihkan hak atas tanah, maka sebaiknya semua perbuatan hukum tersebut dilakukan dihadapan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), agar akta yang dibuat menjadi otentik.

Apabila peralihan hak atas tanah tidak dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang, akan tetapi hanya dibuat dengan cara ditulis di atas kertas segel atau kertas yang bermaterai, maka hal itu merupakan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dalam bentuk akta di bawah tangan, yaitu hanya berupa catatan dari suatu perbuatan hukum, sebagai contoh dapat dilihat terhadap tanah-tanah yang tidak mempunyai sertipikat (misalnya: SK Camat, SK Bupati, SK Gubernur, Tanah Grant).

Akta Notaris dengan judul Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi lazimnya digunakan terhadap tanah yang tidak bersertipikat. Hal ini disebabkan karena tanah tersebut belum dimiliki dengan hak tertentu oleh seseorang dan status kepemilikan tanah tersebut merupakan tanah yang langsung dikuasai oleh Negara.

(26)

Terhadap tanah yang tidak bersertipikat atau tanah yang dikuasai oleh Negara, maka seseorang hanya boleh menguasaianya untuk diusahakan sehingga mendapat manfaat dari tanah tersebut, jika dilakukan jual-beli terhadap tanah tersebut berarti terjadi peralihan hak dari penjual kepada pihak pembeli yang diikuti dengan pembayaran sejumlah uang sebagai bentuk ganti kerugian atas peralihan hak atas tanah tersebut. Perlu ditegaskan dalam hal ini bahwa peralihan hak yang dimaksud dalam jual-beli ini adalah peralihan hak dalam arti hak menguasai dan mengusahakan tanah tersebut.

Namun bila di atas tanah tersebut terdapat bangunan, dan atau tanaman yang turut diperjual-belikan, maka hal ini dapat juga dilakukan pembuatan aktanya dengan cara melepaskan hak atas bangunan dan atau tanaman dan membayar sejumlah uang sebagai bentuk ganti kerugian terhadap bangunan dan atau tanaman tersebut.

Pasal 1868 Undang-Undang Hukum Perdata disingkat KUHPerdata sebagai dasar hukum Akta Notaris menyatakan bahwa, ”Akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akte dibuatnya.”10 Kronologis adanya penyalahgunaan wewenang oleh aparat desa terlihat melalui wawancara dengan Bapak Faili Siran, seorang warga yang bertempat tinggal di Kelurahan Besar, Kecamatan Medan Labuhan terungkap bahwa pada tanggal 18 Juni 2009, memperoleh undangan dari Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan, dengan nomor 593/01/KB/2009, melalui undangan tersebut Lurah Kelurahan Besar

10Effendi Perangin-angin, Kumpulan kuliah pembuatan Akta, Jakarta, 1991, hal.4.

(27)

memanggil Bapak Faili Siran, untuk menghadap atau hadir di kelurahan Besar, dan menyatakan bahwa Bapak Faili Siran telah mengerjakan lahan milik Hermanto Teja tanpa izin, dan bapak Faili Siran diminta membawa surat- surat bukti hak atas tanahnya.

Dalam hal ini yang menjadi kasus atau masalah awal adalah tanah milik Bapak Faili Siran yang dibeli dari Bambang Syahrial melalui jual-beli di bawah tangan dengan luas lahan 2063m2 yang dibeli pada tahun 1997 yang terletak di kelurahan Besar, Kecamatan Medan Labuhan, ketika jual-beli itu akan disyahkan muncullah masalah karena kepala lingkungan beserta lurah tidak mau membantu untuk pembuatan surat keterangan peralihan hak atas tanah tersebut, karena telah terjadi jual-beli lahan milik Bambang Syahrial kepada Bapak Faili Siran dan bahkan Kepala Lingkungan pada waktu itu memaksa kedua belah pihak untuk mengakui bahwa lahan yang menjadi objek jual-beli mereka adalah lahan milik Hermanto Teja, tentu kedua belah pihak tidak bersedia tapi pihak kelurahan menggunakan cara agar kedua belah pihak bersedia mengikuti kemauannnya yaitu dengan cara mengirimkan surat undangan kepada orang yang ditargetkan. Undangan pada dasarnya adalah spekulasi cara yang digunakan agar terkesan halus, karena undangan adalah panggilan halus pada si target tapi isi dan tujuannya bisa sangat keras karena merupakan suatu perintah atau paksaan agartarget orang yang dituju tersebut dengan suka rela atau paksa mau menerima dan memenuhi keinginannya.

Dalam kebingungan itu kedua belah pihak berusaha mencari tahu, mengapa pihak Kelurahan dan Kepala Lngkungan sepertinya sudah sepakat untuk tidak mau

(28)

membantu membuatkan surat peristiwa terjadinya jual-beli lahan tersebut, akhirnya diketahui bahwa lahan yang telah dialihkan dari Bambang Syahrial kepada Bapak Faili Siran, ternyata telah disertipikatkan atas nama PT. Kedayutama. Pada saat itu juga pihak Bambang Syahrial mengkonfirmasi untuk memperoleh kejelasan pada pihak PT. Kedayutama, mengapa lahannya telah disertipikatkan tanpa seijinnya dan tanpa ada pemberitahuan dari pihak PT. Kedayutama serta tanpa adanya ganti-rugi atas lahannya yang disertipikatkan secara sepihak atas nama PT. Kedayutama.

Akhirnya PT. Kedayutama hanya mau membayar lahan milik dari Bambang Syahrial yang telah dibangunnya saja, sedangkan sisa lahan yang belum dibangun oleh PT. Kedayutama, dia tidak mau membayarnya padahal lahan tersebut telah masuk dalam sertipikat atas nama PT. Kedayutama ketika Bambang Syahrial menuntut haknya yang diambil oleh pihak PT. Kedayutama tapi PT. Kedayutama malah melarikan diri untuk menghindari segala tuntutan akibat perbuatannya.

PT. Kedayutama adalah developer atau pengembang yang membangun perumahan pondok tangkahan indah yang selama ini lebih dikenal sebagai perumahan BTN TNI AL Martubung yang diperuntukkan bagi para pensiunan TNI AL, warakawuri, maupun pensiunan PNS TNI AL yang membutuhkan rumah tinggal pribadi, melalui ASABRI, jadi pihak TNI AL tidak berhak atas lahan aset milik PT.

Kedayutama.

PT. Kedayutama sendiri berkedudukan di Jakarta, tapi ketika dikonfirmasi sampai Ke Jakarta ternyata alamat PT. Kedayutama sudah tidak ada lagi dan hak atas tanah milik PT. Kedayutama menurut sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 220

(29)

Desa Besar, jalan pasar 8 Tangkahan telah berakhir pada tanggal 9 (Sembilan), September), 2011 (dua ribu sebelas).

Kekosongan ini dimanfaatkan pihak lain yang ingin mengambil keuntungan dengan menggunakan nama orang lain, diantaranya yaitu pihak kelurahan, dengan menggunakan nama Hermanto Teja menyatakan bahwa lahan yang telah dibeli Bapak Faili Siran dari Bambang Syahrial adalah lahan milik Hermanto Teja.

Menurut pihak kelurahan dan kelompoknya Bapak Faili Siran hanyalah penggarap lahan milik Hermanto Teja tanpa ijin, jadi Bapak Faili Siran harus mengembalikan lahan yang telah dibelinya dari Bambang Syahrial kepada Hermanto Teja karena mau dijual pada orang lain yang mau membelinya, kalau tidak Bapak Faili Siran harus membayar uang yang diminta oleh Hermanto Teja sebagai ganti-rugi lahan yang diakuinya.

Pada tanggal 18 Juni 2009, dengan nomor 593/01/KB/2009, hal undangan Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan, memanggil Bapak Faili Siran, untuk menghadap atau hadir di kelurahan, dan menyatakan bahwa Bapak Faili Siran, sesuai pengaduan Hermanto Teja bahwa Bapak Faili Siran telah mengerjakan lahan miliknya tanpa izin dan Bapak Faili Siran diminta membawa surat kelengkapan miliknya.11

Menurut Bapak Faili Siran, surat undangan sebenarnya adalah surat panggilan hal ini tentu cukup mengejutkan baginya dan keluarganya. Menurut Bapak Idris,

11 Surat Undangan Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan tertanggal 18 Juni 2009, dengan nomor : 593/01/KB/2009

(30)

warga Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan salah seorang pemuka masyarakat di perumahan BTN TNI AL Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan pengambilan lahan atau penyerobotan lahan dari pemilik tanah yang surat- surat kepemilihan tanahnya kurang lengkap atau lemah(belum bersertipikat) sering terjadi. Pemilik tanah seperti itu sering disebut penggarap liar atau mengusahai tanah orang lain tanpa izin.

Bapak Faili Siran menjelaskan bahwa tanah yang dikuasainya adalah tanah yang dibelinya melalui Bambang Syahrial pada tahun 1997, seluas 2063 m2.

Bukti kepemilikan hak atas tanah yang dimiliki oleh Bambang Syahrial adalah surat pernyataan melepaskan hak atas tanah nomor 593.83/322/SPMHAT/ ML-1994, tanggal 18 Juli 1994, setelah adanya kesepakatan antara Bapak Faili Siran dengan pihak Bambang Syahrial maka pembayaran sesuai dengan kesepakatan langsung dilakukan. Setelah dilakukan pembayaran, untuk memperkuat pelepasan hak yang mereka sepakati maka Bapak Faili Siran meminta kepada Bambang Syahrial untuk membantu pengurusan surat-surat yang berhubungan dengan pelepasan hak atas tanah tersebut.

Faktanya pihak kelurahan dan aparatnya tidak mau membantu tapi malah memaksa kedua belah pihak untuk mengakui bahwa lahan yang baru saja dibeli Bapak Faili Siran dari Bambang Sahrial adalah lahan milik Hermanto Teja, tentu kedua belah pihak tidak bersedia.

Atas dasar pertimbangan tersebut di atas maka pembuatan surat pelepasan hak atas tanah, pada waktu itu tidak jadi dilaksanakan, surat bukti pelepasan hak atas

(31)

tanah dilakukan dengan bukti kwitansi pembayaran, solusi dari permasalahan itu agar surat tetap ada walaupun sekedarnya maka diangkatlah orang yang dianggap berpengaruh atau dianggap dihormati dan dipercayai masyarakat yaitu pemuka masyarakat setempat sebagai saksi untuk pembuatan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah pendukungnya bahwa telah terjadi pelepasan hak atas tanah dari Bambang Syahrial kepada Bapak Faili Siran.

Menurut Bapak Faili Siran yang bisa dilakukannya saat ini hanyalah bertahan, walaupun begitu Bapak Faili Siran tetap berusaha untuk memohon agar Kepala Lingkungan dimana lokasi tanah itu berada mau menjadi saksi dan memberi rekomendasi untuk membuat surat alas hak atas tanahnya atau surat keterangan tanah yang dimilikinya, tapi faktanya yang diberikan Kepala Lingkungan tersebut malahan memaksa kedua belah pihak untuk mengakui bahwa tanah yang diperjual-belikan itu adalah tanah milik Hermanto Teja, tentu kedua belah pihak tidak mau mengakuinya, dan akhirnya jual beli pun dilakukan dengan menggunakan jual-beli di bawah tangan dengan bukti pengalihan hak melalui kwitansi pembayaran dan bukti sekedarnya yang bisa dilakukan.

Tahun 2007, pihak kelurahan melalui kepala lingkungan tetap memaksa bahwa pihak Bapak Faili Siran harus mengakui bahwa tanah yang dibelinya dari Bambang Syahrial adalah tanah milik Hermanto Teja, pada tahun 2009, tepatnya pada tanggal 18 Juni 2009, melalui surat undangan nomor 593/01/KB/2009, Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan, memanggil Bapak Faili Siran untuk hadir di kelurahan agar Bapak Faili Siran mengakui mengelola tanah dan mengerjakan tanpa

(32)

izin dari si pemilik yang sebenarnya, dan beliau diwajibkan untuk membawa surat- surat kepemilikan atas tanah yang dikuasainya.

Kenyataan itu tentu membuat keluarga Bapak Faili Siran kaget, dan karena Bapak Faili Siran tidak bersedia memenuhi keinginan Lurah melalui surat undangan tersebut maka Lurah beserta Kepala Lingkungannya langsung mengeksekusi tanah yang dikuasai Bapak Faili Siran di lapangan dengan mendatangkan kepala-kepala lingkungan yang disebutkan dalam surat undangan beserta orang – orang yang tak dikenal dan memaksa Bapak Faili Siran untuk melepaskan hak atas tanahnya karena akan segera di jual melalui nama Hermanto Teja tanpa memperdulikan Bapak Faili Siran dan keluarganya mereka beramai-ramai mengukur tanah secara paksa, sehingga akhirnya Bapak Faili Siran mengambil keputusan untuk melaporkan perbuatan sewenang-wenang aparat desa beserta Hermanto Teja itu ke polisi dengan nomor laporan No.Pol : STPL/1345/VI/2009/KP3-LAB. Setelah laporan diterima polisi, muncullah orang yang selama ini mengakui bernama Hermanto Teja.

Hermanto Teja memberikan surat kepada Bapak Faili Siran beserta keluarganya, tertanggal 16 (enam belas) Juli 2009 (dua ribu sembilan) bahwa dia mengakui tanah yang dikuasai Bapak Faili Siran dan keluarganya adalah tanah miliknya.

Atas pengakuan Hermanto Teja tersebut maka Bapak Faili Siran beserta keluarganya membawa Hermanto Teja ke lokasi sekitar area lokasi tanah yang diakui oleh Hermanto Teja dan meminta Hermanto Teja untuk menunjukkan mana tanah milik Hermanto Teja yang diakuinya di hamparan tanah sawah yang dipijaknya

(33)

maupun lahan yang ada dihadapannya berdasarkan surat yang dimilikinya dan luas tanah yang dimilikinya, tapi menurut Hermanto Teja dia tidak tahu dimana letak tanahnya karena waktu membeli tanah itu, yang tahu dimana posisi tanahnya adalah kepala lingkungan yang menjadi saksi hidup, kata Hermanto Teja. Jadi dia sendiri tidak tahu dimana sebenarnya tanah miliknya, maka ia menyerahkan sebagai penunjuk tanahnya yang sebenarnya adalah lurah dan kepala lingkungan.12

Bagaimana mungkin seorang pemilik tanah yang mengakui memiliki tanah tersebut sudah puluhan tahun dimilikinya tapi dia tidak tahu dimana posisi tanahnya sementara orang lain yang memiliki tanah seberapa pun luasanya sejengkal saja tanahnya diambil oleh orang lain maka dia akan tahu dimana tanah yang diambil orang bagaimana bentuknya tapi nyatanya dalam kasus ini si Hermanto Teja yang mengakui memiliki tanah tidak tahu dimana tanahnya dan posisi tanahnya.

Pemecahan masalah untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi, Bapak Faili Siran pernah menyampaikan permohonan bantuan hukum kepada Lantamal I Belawan, pada tahun 2009, dan pihak Lantamal I menunjuk Diskum Lantamal I untuk memediasi permasalahan tersebut, dimana Bapak Faili Siran dipertemukan dengan Bapak Hermanto Teja guna mencari solusi terbaik.

Dalam pertemuan itu pihak TNI AL menegaskan melalui surat Komandan Armada RI Kawasan Barat Pangkalan Utama TNI AL I Nomor Surat 13/440,

12Wawancara dengan Bapak Faili Siran di Perumahan BTN TNI AL Martubung pada Hari Jumat, tanggal 17 Januari 2014.

(34)

VIII/2006, perihal tanah di Perumahan Martubung, yang pada intinya bahwa TNI AL tidak memiliki tanah di Perumahan BTN TNI AL Martubung

Dalam pertemuan antara pihak Hermanto Teja dengan keluarga bapak Faili Siran, Hermanto Teja terbukti tidak memiliki tanah yang dituntutnya seperti yang dikatakan oleh Surat Undangan Lurah, Nomor : 593/01/KB/2009, hal undangan tapi walaupun begitu pihak Hermanto Teja beserta aparat desa yang diakui oleh Hermanto Teja sebagai penunjuk lahan miliknya dan menurutnya sekaligus sebagai saksi hidup tanah miliknya tetap memaksa menjual tanah yang bukan miliknya.

Berdasarkan uraian di atas pada dasarnya permasalahan awal dalam kasus ini adalah lahan seluas 2063m2 milik Bapak Faili Siran yang dibeli dari Bambang Syahrial melalui jual- beli di bawah tangan yang ternyata lahan tersebut telah disertifikatkan pihak developer atau pengembang PT. Kedayu Tama yang berkedudukan di Jakarta walaupun masa berlaku haknya telah habis tapi masalahnya masih belum berakhir karena muncullah Hermanto Teja yang mengakui bahwa seluruh sisa lahan yang dimiliki oleh PT. Kedayutama adalah tanah miliknya dan semuanya akan dia jual kepada siapa pun yang mau membeli padanya maupun kuasa hukumnya yaitu Dr. M. Raja Parlindungan Siregar, termasuk lahan milik Bambang Syarial yang telah dibeli oleh Bapak Faili Siran jadi pihak Hermanto Teja Cs. Tetap memaksa Bapak Faili Siran untuk membayar uang ganti-rugi lahan miliknya yang telah dibelinya melalui Bambang Syahrial, kalau tidak Hermanto Teja Cs. Akan menjualnya pada orang lain.

(35)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana peranan lurah dalam keikutsertaannya untuk melaksanakan pendaftaran tanah?

2. Bagaimana tanggungjawab lurah atau camat jika ternyata surat yang dikeluarkannya tidak dapat diterima sebagai syarat pendaftaran tanah karena tanahnya telah terdaftar atas nama orang lain?

3. Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mempertahankan hak atas tanah miliknya jika ternyata haknya terbukti diselewengkan oleh oknum lurah atau camat?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui peranan lurah dalam keikutsertaannya untuk melaksanakan pendaftaran tanah.

2. Untuk mengetahui tanggungjawab lurah atau camat jika ternyata surat yang dikeluarkannya tidak dapat diterima sebagai syarat pendaftaran tanah karena tanahnya telah terdaftar atas nama orang lain.

(36)

3. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mempertahankan hak atas tanah miliknya jika ternyata haknya terbukti diselewengkan oleh oknum lurah atau camat.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam memproses ilmu pengetahuan.13 Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul, 14 oleh karena itu penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum, dengan melakukan penelitian hukum diharapkan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan.

Bertitik tolak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas, diharapkan dengan penelitian ini akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis dan praktis di bidang hukum yaitu :

1. Secara Teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk penambahan khasanah kepustakaan di bidang keperdataan khususnya tentang masalah pendaftaran tanah, penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lapangan serta akibat- akibatnya, terhadap masyarakat, aparaturnya dan hukum tanah itu sendiri.

2. Bagi segi praktis, penelitian ini sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan bagi para pihak yang berkepentingan khususnya bagi masyarakat.

13Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008) hal. 10.

14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 41

(37)

Penyimpangan-penyimpangan di dalam pendaftaran tanah itu ternyata ada, terutama yang dimulai dari tingkat bawah atau dasar yaitu tingkat kelurahan yang dilakukan oleh staf kelurahan itu sendiri.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada, penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian yang membicarakan masalah penyalahgunaan wewenang oleh Lurah dalam membuat surat keterangan tanah/alas hak atas tanah, oleh karena itu penelitian ini baik dari segi objek permasalahan dan substansi adalah asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan ilmiah. Adapun judul penelitian yang ada kaitannya masalah alas hak atas tanah yang pernah ditulis adalah:

1. Dayat Limbong (002105028), Alas Hak Atas Tanah yang Dikuasai Rakyat pada Areal Perkebunan PTPN II di Kabupaten Deli Serdang.

2. Helena (067011002), Eksistensi dan Kekuatan Alat Bukti Alas Hak Berupa Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi yang Dibuat Dihadapan Notaris atau Camat Studi di Kabupaten Deli Serdang.

3. Noni Syahputri (077011082), Tinjauan Yuridis Terhadap Alas Hak di Bawah Tangan Sebagai Dasar Penerbitan Sertifikat dan Implikasinya terhadap Kepastian Hukum.

4. Donald Padmali (107011060), Perlindungan Hukum terhadap Bank atas Konflik Alas Hak dari Hak Tanggungan.

5. Dahlia Rosari (117011502), Penerbitan Sertifikat Hak Milik yang Berasal dari

(38)

Alas Hak Surat Pernyataan yang Kemudian Dinyatakan Palsu (Studi kasus No.

01/Pdt/6/2007/PN.RGT).

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa “perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori. Teori diartikan sebagai suatu sistem yang berisikan proposisi-proposisi yang telah diuji kebenarannya. Apabila berpedoman pada teori, maka seorang ilmuwan akan dapat menjelaskan, aneka macam gejala sosial yang dihadapinya walaupun hal itu tidak selalu berarti adanya pemecahan terhadap masalah yang dihadapi.15

“Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, teori adalah konstruksi di alam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam pengalaman (ialah yang tersimak bersaranakan indera manusia), sehingga tak pelak lagi bahwa berbicara tentang teori seseorang akan dihadapkan kepada dua macam realitas, yang pertama adalah realitas in abstracto yang ada di alam idea imajinatif, dan kedua adalah padanannya yang berupa realitas in concreto yang berada dalam pengalaman inderawi.16

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan kebenarannya.17

15Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Pres, Jakarta, 1984, Hal.6.

16Soetandyo Wignjosoebroto, Teori, Apakah itu? Makalah Kuliah Program Doktor – UNDIP, Semarang, 2003, Hal. 1.

17JJJ.M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Penyunting, M.Hisyam, (Jakarta : UI Press, 1996), hal. 203.

(39)

Menurut W.L. Neuman, yang pendapatnya dikutip dari Otje Salman dan Anton F. Susanto yang menyebutkan bahwa :

“teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”.18

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/ petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum.

Kerangka teori dapat diartikan sebagai kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, tesis si penulis mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang mungkin disetujui, yang merupakan masukan eksternal dalam penelitian ini.19

Oleh karena itulah teori hukum yang digunakan sebagai pisau analisis dalam membedah persoalah-persoalan dalam penelitian ini diantaranya adalah teori kewenangan. Adapaun teori kewenangan yang digunakan dalam membedah persoalan-persoalan dalam penelitian ini menggunakan teori Kewenangan (outhority) dari H.D. Stoud

“Istilah teori kewenangan berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu authority of theory, istilah yang digunakan dalam Bahasa Belanda, yaitu theorie van het gezaq, sedangkan dalam Bahasa Jerman, yaitu theorie der

18HR. Otje dan Anton F. Susanto. Teori Hukum. (Bandung : Refika Aditama, 2005)

19M. Solly Lubis, Flsafat Ilmu-Ilmudan Penelitian, Bandung, CV. Mandar Maju, 1994, hal. 90..

(40)

autoritat. Teori kewenangan berasal dari dua suku kata, yaitu teori dan kewenangan”.20

Fokus kajian teori kewenangan adalah berkaitan dengan sumber kewenangan kewenangan dari pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum, baik dalam hubungannya dengan hukum public maupuun dalam hubungannya dengan hukum privat.21

Pengertian kewenangan menurut H.D. Stoud adalah:

Bevoegheid wet kab worden omscrevenals het gehel van bestuurerchttlijke Bevoegdheden door publiekrchtelijke rechtssubjecten in het bestuurechtelijke rechtsverkeer. (Wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan- aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum public dalam hukum publik).22

Ada dua unsure yang terkandung dalam pengertian konsep kewenangan yang disajikan oleh H.D. Stoud, yaitu:

1. Adanya aturan-aturan hukum, maksudnya adalah sebelum kewenangan itu dilimpahkan kepada institusi yang melaksanakannya, maka terlebih dahulu harus diatur dalam Peraturan Perundang-undangan, apakah dalam bentuk undang-undang, Peraturan Pemerintah maupun aturan yang lebih rendah lainnya.

2. Sifat hubungan hukum adalah sifat atau tindakan yang berkaitan dengan hukum, baik bersifat publik maupun bersifat privat.23

20Halim HS, Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2013, Hal. 183.

21Id. Hal. 193.

22Stout HD, de Betekenissen van de wet, dalam Sonny Pungus, Teori Kewenangan, (online), http://Sonny–tobelo.bolgspot.com/2011/01/teori kewenangan.html, diakses 25 April 2014.

23Id. At. Hal. 184.

(41)

Indroharto mengemukakan, tiga macam kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan. Kewenangan itu meliputi:

1. Atribusi 2. Delegasi, dan 3. Mandat.

1.1 Atribusi ialah kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan, baik yang sudah ada maupun yang baru sekali, seperti MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama dengan pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan untuk tingkat daerah adalah DPRD dan pemerintah daerah yang melahirkan peraturan daerah. Presiden berdasarkan suatu ketentuan undang-undang dapat mengeluarkan peraturan pemerintah dimana diciptakan wewenang pemerintah kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara (TUN) tertentu.

1.2 Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dimiliki oleh pemerintahan kepada organ yang lain. Dalam delegasi ada suatu penyerahan kewenangan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang.

1.3 Mandat tidak terjadi penyerahan wewenang dari Badan atau Pejabat TUN yang satu kepada yang lain. Tanggung jawab kewenangan atas dasar

(42)

mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat.

Philipus M. Hadjon membagi cara memperoleh wewenang atas dua cara, yaitu:

a. Atribusi dan.

b. Delegasi dan kadang-kadang juga mandat.24

Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materil. Atribusi juga dikatakan sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Kewenangan yang didapat melalui atribusi itu diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan terutama UUD 1945. Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat keputusan oleh pejabat Tata Usaha Negara kepada pihak lain, dengan penyerahan ini ada perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi kepada yang menerima delegasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain:

1. Delegasi harus ditetapkan, artinya delegasi tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;

2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;

24Id. At. Hal. 195.

(43)

3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hirarki kepegawaian tidak diperkanankan adanya delegasi;

4. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya penerima delegasi (delegans), berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan tersebut;

5. Peraturan kebijakkan, artinya penerima delegasi (delegans) memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

Mandat diartikan sebagai pelimpahan wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat.25

Dengan memahami kewenangan yang meliputi atribusi, delegasi dan mandat, maka diketemukan juga batas kewenangan yang meliputi isi/

materi, wilayah dan waktu. Cacat dalam aspek-aspek tersebut menimbulkan cacat kewenangan (onbevoegdheid), cacat isi (onbevoegdheid ratione materi), cacat tempat (onbevoegdheid ratione loci), dan cacat waktu (onbevoegdheid ratione temporis).26

Tugas untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia dibebankan kepada pemerintah yang oleh pasal 19 ayat (1), Undang-Undang Pokok Agraria, ditentukan bertujuan tunggal, yaitu untuk menjamin kepastian hukum.27

25Id., at Hal. 195-196.

26 Bambang Eko Supriadi, Hukum Agraria Kehutanan, aspek Hukum Pertanahan dalam Pengelolaan Hutan Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2013, Hal. 77.

27 Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, CV.

Mandar Maju, Bndung, 2008, Hal. 167.

(44)

Adanya hak-hak atas tanah yang harus didaftarkan sesuai dengan apa yang diperintahkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, Nomor 5 tahun 1960, Pasal 19, bahwa untuk menjamin kepastian hukum, maka hak-hak atas tanah harus didaftarkan, menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang terkait didalamnya

Pasal 6 ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, menegaskan bahwa dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Pejabat lain yang membantu melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam pendaftaran tanah.adalah pejabat dari Kantor Lelang, Pejabat pembuat Akta ikrar wakaf, dan Panitia Ajudikasi.

Ketentuan tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur dalam Pasal 7 peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu:

1. PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

2. Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil Menteri dapat menunjuk PPAT Sementara.

3. Peraturan jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Menurut Peraturan Pemerintah nomor 37 Tahun 1998, PPAT dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:

(45)

1. Pejabat pembuat Akta Tanah (PPAT).

PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta- akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu tentang hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang menjadi PPAT di sini adalah seseorang yang merangkap menjadi Notaris atau mantan pejabat dari Badan Pertanahan Nasional setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional.

2. PPAT Sementara.

PPAT Sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. PPAT Sementara ini adalah Kepala Kecamatan.

3. PPAT Khusus

PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanakan program atau tugas pemerintah tertentu. PPAT Khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang dissebut secara khusus dalam penunjukkannya.

PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional, sedangkan PPAT Sementara diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi yang mendapat limpahan kewenangan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional. Ketentuan tentang penunjukkan PPAT Sementara dapat dijelaskan sebagai berikut:

(46)

1. Camat yang wilayah kerjanya berada di dalam daerah Kabupaten/Kota yang formasi PPAT-nya belum terpenuhi dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara.

2. Surat Keputusan Penunjukkan Camat sebagai PPAT Sementara ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.

3. Untuk keperluan penunjukkan sebagai PPAT Sementara, Camat yang bersangkutan melaporkan pengangkatannya sebagai PPAT Sementara kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan melaporkan salinan atau foto copy keputusan pengangkatan tersebut.

4. Penunjukkan Kepala Desa sebagai PPAT Sementara oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah diadakan penelitian mengenai keperluannya berdasarkan letak desa yang sangat terpencil dan banyaknya bidang tanah yang sudah terdaftar di wilayah tersebut.

Berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997 maka setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah

Hukum pada hakekatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. “Sesuatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan.28

28 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993, hal. 79

(47)

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah “mewujudkan keadilan (rechtsgerechtiqheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid)”.29 “Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith, guru besar dalam bidang filosofis moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow University pada tahun 1750, telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice)”30 Smith mengatakan bahwa : “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian”

(the end of justice is to secure from injury) Menurut Satjipto Raharjo :

Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.

Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak disetiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.31

Kekuasaan yang tidak terbatas dan tak terukur akan menimbulkan kekuasaan yang sewenang-wenang dan akibatnya akan merugikan orang lain dan bahkan bukan tidak mungkin akan dapat menghancurkan orang lain tersebut.

Max Weber, mengatakan, bahwa kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauan

29 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta : Gunung Agung, Tbk, 2002, hal. 85

30Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato Pada Pengukuhan Sebagai Guru Besar Universitas Sumatera Utara – Medan, 17 April 2004, hal. 4-5 sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, ”Adam Smith on Law”, Valvarasio University Law Review, Vol. 15, 1981 hal. 244.

31Tjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 53.

(48)

sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan tertentu.

Gary A Yuki (1989), mengatakan bahwa, kekuasaan adalah potensi agen untuk mempengaruhi sikap dan perilaku orang lain (target person), sementara David dan Newstroom (1989), membedakan kekuasaan kewenangan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, sedangkan wewenang merupakan pendelegasian dari manajemen yang lebih tinggi jadi dapat disimpulkan, kekuasaan atau power berarti suatu kemampuan untuk mempengaruhi orang atau merubah orang atau situasi.

Semua teori yang dipaparkan di atas dijadikan sebagai pisau analisis untuk mengkaji dan memahami lebih jauh tentang penyimpangan yang terjadi pada pendaftaran tanah yang dimulai dari tingkat dasar yaitu tingkat kelurahan yang berupa penyalahgunaan wewenang dalam membuat surat keterangan tanah/alas hak atas tanah yang dilakukan oleh kelurahan, kemudian memahami objek yang diteliti.

sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum seperti yang ditentukan dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Teori pendukung lain atau wacana yang berikutnya dalam analisis ini adalah teori keadilan,32merupakan teori yang menganalisis dan menjelaskan tentang tujuan pendaftaran tanah, jika dilakukan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang oleh aparatnya maka dapat dipastikan akan terjadi ketidakadilan dan kesewenang-

32Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Bandung : Al-Maarif, 1994, hal. 16

(49)

wenangan terhadap masyarakat pemegang hak atas tanah yang haknya merasa dirampas, dibodohi dan dizolimi.

Teori pengayoman sebagai teori pendukung lainnya. Hukum melindungi manusia secara aktif dan pasif. Secara aktif, dengan memberikan perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat dan mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang manusiawi. Melindungi secara pasif adalah memberikan perlindungan dalam berbagai kebutuhan, menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan sehingga manusia yang diayomi dapat hidup damai dan tentram.33

2. Kerangka Konsepsi

Konsep berasal dari Bahasa Latin Conceptus yang memiliki arti sebagai kegiatan atau proses berpikir, daya berpikir khususnya penalaran dan pertimbangan.

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisis operasional

Konsep merupakan bagian terpenting daripada teori. Konsep dapat dilihat dari 2 (dua) segi, yaitu segi subyektif dan dari obyektif. Konsep dipandang dari segi subyektif adalah merupakan suatu kegiatan intelektual untuk menangkap sesuatu, sedangkan konsep dari segi obyektif, merupakan sesuatu yang ditangkap oleh

33 Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Pembangunan, 1993, hal. 245.

Referensi

Dokumen terkait