• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyalahgunaan Wewenang oleh Lurah Dalam Membuat Surat Keterangan Tanah Yang Berfungsi Sebagai Alas Hak Atas Tanah Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 593 5707 SJ, TAHUN 1984) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyalahgunaan Wewenang oleh Lurah Dalam Membuat Surat Keterangan Tanah Yang Berfungsi Sebagai Alas Hak Atas Tanah Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 593 5707 SJ, TAHUN 1984) Chapter III V"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TANGGUNG JAWAB LURAH DAN CAMAT TERHADAP ALAS HAK YANG TELAH DIKELUARKANNYA TERNYATA TELAH TERDAFTAR

ATAS NAMA ORANG LAIN

A. Tanggung Jawab Lurah dan Camat Terhadap Surat Keterangan Tanah Yang dibuatnya.

Jika terbukti Surat Keterangan Tanah yang dikeluarkan oleh Lurah maupun Camat ternyata telah terdaftar atas nama orang lain maka ini berarti ada sesuatu yang salah yang telah dilakukan oleh pihak Kelurahan maupun Kecamatan, baik karena keteledoran atau faktor lalai dan kesalahan yang sengaja diperbuat.

Tidak semua aparat atau staf kelurahan maupun Kecamatan yang sudah mengerti dan memahami masalah aturan hukum pertanahan atau hukum tanah yang harusnya dapat diterapkan di tengah-tenah masyarakat dengan baik dan benar sesuai dengan aturan yang berlaku, dengan kata lain tidak semua staf Kelurahan maupun Kecamatan yang memiliki kemampuan serta penguasaan hukum tanah yang mapan di semua tempat.

Ada banyak faktor yang menyebabkan perbedaan itu, ketidak pahaman aparat pelaksana inilah yang menyebabkan banyak kerugian bagi masyarakat, belum lagi karena faktor kesengajaan karena adanya kepentingan tertentu dari aparat pelaksana itu sendiri.

(2)

dan kemudian diikuti pula oleh aparat penerusnya padahal itu tidak benar bahkan bertentangan dengan aturan hukum tanah yang berlaku. Kesalahan ini terus dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan dan dilakukan dengan tanpa bersalah walaupun jelas merugikan orang lain namun tidak ada yang menegur atau mengingatkan bahwa apa yang mereka lakukan itu salah dan merugikan orang lain apalagi bila mereka juga merasakan adanya keuntungan dari apa yang telah mereka lakukan, mereka tentu semakin menikmati pekerjaannya itu tanpa ada rasa bersalah sama sekali. Kasus di lapangan yang biasa terjadi biasanya dalam pembuatan peta tanah di lapangan. Walaupun mereka tak punya kemampuan untuk membuat gambar situasi tapi mereka tetap memaksakan diri juga untuk membuatnya, mereka membuat peta itu semau mereka tanpa memperdulikan aturan pembuataan peta yang benar, baik itu skala perbandingan di lapangan dengan gambar yang mereka buat, panah penunjuk arahnya, warna semuanya sesuka mereka yang penting menurut mereka gambarnya telah terlihat indah dan mirip dengan gambar asli sudah cukup dan menurut mereka hal yang semacam ini tidak perlu terlalu dipusingkan, yang penting ada gambarnya.

(3)

akibatnya terjadilah pembuatan Surat Keterangan Tanah yang berulang pada tempat yang sama oleh orang yang berbeda, kejadian ini tentu dapat menimbulkan keributan akibat perebutan lahan yang sama oleh orang yang merasa berhak terhadap bidang tanah itu. Hal ini terjadi karena ada banyak aturan yang mereka langgar dan prosedur tata cara pembuatan Surat Keterangan Tanah yang mereka langgar.

B. Prosedur dan Tata Cara Camat sebagai PPAT Sementara Dalam Melaksanakan Pembuatan Akta Jual-Beli Hak Atas Tanah.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972, tentang Pelimpahan wewenang Pemberian Hak Atas Tanah, Pasal 11, kepada para Camat/Kepala Kecamatan telah diberikan wewenang untuk memberikan ijin membuka tanah, yang luasnya tidak lebih dari 2 Ha, didalam pelaksanaannya banyak dijumpai, bahwa dalam pemberian ijin membuka tanah para Camat/Kepala Kecamatan kurang memperhatikan segi-segi kelestarian lingkuangan dan tata guna tanahnya, dan tidak jarang dijumpai tumpang tindih dengan tanah kawasan hutan, sehingga dapat menimbulkan hal-hal yang mengakibatkan terganggunya kelestaraian tanah dan sumber-sumber air, dalam pada itu usaha-usaha untuk melakukan konservasi tanah, air dan rehabilitasi hutan terus ditingkatkan, antara lain melalui Program Inpres Penghijauan dan Reboisasi.

(4)

Sejak saat itu pula karena banyak ditemui Surat Keterangan Tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Desa atau Kepala Kelurahan yang diketahui oleh Camat banyak yang menimbulkan sengketa karena pemilikan yang tumpang tindih, sehingga sengketa tersebut tidak terselesaikan baik oleh Kepala Desa/Lurah yang bersangkutan maupun oleh Camatnya. Pemberian Hak Atas Tanah Negara, supaya diproses menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972, kecuali pasal 11, berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 12 Mei 1984, Nomor 593/5707/SJ. Camat dilarang menggunakan wewenang pemberian Hak Atas Tanah tersebut, melarang Kepala Desa/Lurah dan Camat mengeluarkan Surat Keterangan Tanah yang ada sesudah tahun 1984,surat yang telah terlanjur dibuat setelah tahun 1984 supaya dibatalkan atau diproses menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972.

Camat memang bukan pejabat yang berwenang membuat SKT (Surat Keterangan Tanah), tapi SKT itu harusnya dibuat berdasarkan sepengetahuan Camat karena Camat sebenarnya perangkat yang diberikan wewenang sebagai PPAT yang sifatnya Sementara.

(5)

menanggalkan kepentingan atau ambisi pribadi terhadap hak atas tanah orang lain dalam upaya memperkaya diri sendiri maupun orang lain.

Apabila terbukti pihak kelurahan dan Kecamatan melakukan pelanggaran atau penyimpangan yang dapat merugikan orang lain maka sudah seharusnya lurah atau Camat bertanggung jawab atas perbuatannya, jika terbukti bahwa alas hak yang telah dikeluarkannya ternyata telah terdaftar atas nama orang lain dan belum terdaftar di kantor pertanahan maka dia harus membatalkanya. Agar tidak terjadi kekacauan dalam pembuatan alas hak atas tanah yang mereka buat sebaiknya pihak kelurahan harus menjalankan prosedur dengan baik dan benar tapi dalam faktanya dilapangan sangat banyak aturan itu yang mereka langgar diantaranya yaitu:

Pada tingkat Kelurahan, sudah jelas ada aturan pelarangan pembuatan SKT (Surat Keterangan Tanah) yang dilakukan oleh Lurah beserta Stafnya yang diketahui oleh pihak Kecamatan tapi tetap dibiarkan saja, sehingga pelanggaran peraturan yang berulang-ulang dapat mengakibatkan terjadinya kebingungan di tengah-tengah masyarakat dan akhirnya kepastian hukum pun sulit untuk diwujudkan, belum lagi pelanggaran yang dilakukan oleh pihak Kecamatan sendiri diantaranya yaitu:

1. Para Penghadap Tidak Saling Berhadapan

(6)

selesai dengan cepat dan syah, tanpa memperhatikan peraturan perundang-undangan yang ada.

Biasanya di desa-desa/kelurahan proses peralihan hak, khususnya dalam pembuatan akta jual-beli yang berperan besar adalah para staf desa/kelurahan, dimana peran tersebut mulai dari pengetikan akta sampai penandatanganan para pihak diatur oleh para staf desa/kelurahan.

Proses penandatanganan akta biasanya, dilakukan di rumah para pihak masing-masing yang telah diatur oleh para staf desa/kelurahan, sehingga antara pihak penjual dan pembeli tidak saling berhadapan. setelah akta jual-beli ditandatangani oleh para pihak termasuk Kepala Desa dan Sekretaris Desa selaku saksi, kemudian blangko Akta jual-beli yang telah ditandatangani diserahkan kepada Camat selaku PPAT untuk diberikan Nomor Akta Jual-Beli sekaligus penandatanganan oleh Camat selaku PPAT Sementara.

Berdasarkan proses dan tata cara pembuatan akta jual-beli tersebut di atas, maka jelas perbuatan hukum tersebut tidak dilakukan di hadapan pejabat umum dan tidak dilakukan di Kantor PPAT Sementara, sehingga akta Jual-beli yang dibuat tidak memenuhi syarat keotentikan suatu akta, dan hal ini akan berpengaruh pada saat pembuktian di persidangan apabila terjadi sengketa, dan hal ini sangat rawan dengan adanya pemalsuan akibatnya akta yang dibuat menjadi cacat hukum.

(7)

Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

2. Pengecekan Sertipikat

Masyarakat desa jarang sekali melakukan peralihan hak atas tanah melalui sertipikat, kalaupun ada hanya sedikit saja. Hal ini terjadi karena masih banyak tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat belum jelas statusnya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sehingga tanah tanah tersebut banyak yang belum memiliki sertipikat.

Apabila terjadi peralihan hak atas tanah, maka masyarakat pemegang hak atas tanah yang belum memiliki sertipikat cukup membuat akta jual-beli yang diurus oleh pihak desa/kelurahan, akan tetapi tidak didaftarkan di kantor pertanahan.

3. Pembuatan Surat Pernyataan Calon Penerima Hak.

Pelakssanaan pembuatan pernyataan calon penerima hak yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hal tersebut telah tertuang dalam format akta jual-beli.

4. Penelitian terhadap Objek Sengketa.

(8)

tentu sangat rentan terhadap penyalahgunaan wewenang oleh Kepala Desa/Lurah dalam pemberian informasi terkait dengan kepentingannya dan berlindung pada pernyataan hak atas tanah yang menyatakan bahwa hak atas tanah itu tidak sedang disengketakan, yang diterima oleh penerima hak atas tanah.

5. Penyiapan 2 (Dua) Orang Saksi.

Dalam pembuatan akta ini harus disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi yang memberi kesaksian mengenai:

a. Identitas dan kapasitas penghadap; b. Kehadiran para pihak atau kuasanya.

c. Kebenaran data fisik dan data yuridis objek perbuatan hukum dalam hal obyek tersebut terdaftar.

d. Keberadaan dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta,

(9)

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

6. Teknis Pengisian Blangko.

PPAT Sementara harusnya memperhatikan teknis dalam pengisian blangko akta, tapi kenyataan menunjukkan bahwa kinerja Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam melaksanakan pembuatan akta belum dapat mencapai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan sehingga dalam memberikan pelayanan pada masyarakat masih kurang berkualitas, akibatnya ditolaknya Akta PPAT yang dibuat di hadapannya sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut oleh Kantor Pertanahan.

a. Pembacaan Akta kepada para Pihak

Faktanya seorang PPAT Sementara tidak membacakan isi dan maksud pembuatan akta kepada para pihak, karena dalam pembuatan akta jual-beli ini antara para pihak tidak saling berhadapan, dihadapan PPAT Sementara. Penandatanganan akta oleh PPAT Sementara, semuanya telah diatur oleh staf desa/kelurahan yang bersangkutan.

(10)

Nasional Nomor 1 Tahun 2006, Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

b. Sanksi Hukum terhadap Camat sebagai PPAT Sementara yang Tidak Melaksanakan Kewajibannya Sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku.

Melihat prosedur dan tata cara Camat selaku PPAT Sementara tersebut di atas, maka dapat digambarkan adanya kelalaian yang dilakukan oleh Camat selaku

Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara yang mengakibatkan akta yang dibuatnya berkurang keotentikannya, dan pada akhirnya akan mengurangi kekuatan pembuktiannya, di pengadilan. Hal ini dapat terlihat mulai dari proses awal hingga pendaftaran di Kantor Pertanahan. Adapun contoh sanksi dari kelalaian Camat selaku PPAT Sementara sebagai berikut:

a.) Pemberhentian dengan hormat

i) Sanksi ini dapat diterapkan apabila Camat selaku PPAT Sementara melakukan kelalaian sebagai berikut:

ii) Memungut uang jasa melebihi ketentuan yang telah ditetapkan

iii) Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah berakhirnya cuti tidak melaksanakan tugasnya kembali

iv) Tidak menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya. v) Merangkap jabatan misalnya dengan advokat, PNS, dan BUMN. vi). Pemberhentian dengan Hormat:

(11)

(1) Pembuatan akta PPAT yang dilakukan PPAT Sementara, antara para pihak yang bersangkutan tidak saling berhadapan.

(2) Pembuatan akta tetap dilaksanakan walaupun PPAT Sementara mengetahui bahwa tanah sebagai objek dalam peralihan hak masih dalam keadaan sengketa.

(3) PPAT Sementara tidak membacakan aktanya di hadapan para pihak maupun pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan sesuai dengan akta yang dibuatnya.

Camat memang bukan pejabat yang berwenang membuat SKT, tapi seharusnya Camat dapat mengawasi bawahannya agar penyimpangan terhadap pembuatan SKT dapat diperkecil agar kepentingan rakyat kecil dapat terlindungi.

c. Penyimpangan Prosedur Sesuai Fakta.

(12)

Mengenai harga pengurusan surat-surat pelepasan hak atas tanah dari Bambang Syahrial kepada Bapak Faili Siran tidak ada masalah, jika itu memang sudah biasa dilakukan dalam pengurusan surat-surat pelepasan hak atas tanah di daerah ini, namun yang menjadi persoalan mengapa kepala lingkungan yang biasa disebut kepling yang bertindak sebagai saksi dibuatnya peralihan hak atas tanah ini tidak sesuai dengan lingkungan di mana posisi tanahnya yang dialihkan berada, misalnya sudah jelas posisi tanahnya berada di lingkungan sebelas tapi kesaksian posisi lingkungan tanah tersebut yang mereka buat adalah letaknya tanahnya di lingkungan dua belas, itu tidak mungkin bisa dilakukan katena jelas tanah yang diperjual-belikan adalah tanah pada posisi lingkungan sebelas bagaimana mungkin posisi yang diperjual-belikan menurut surat yang akan dibuat berubah menjadi lingkungan dua belas, dan pembuatannya pun tidak menghadirkan para pihak dan saksi serta pejabat yang berwenang untuk saling berhadapan pada saat pembuatan surat tersebut sehingga pembuatan surat pelepasan hak atas tanah dari Bambang Syahrial kepada Bapak Faili Siran tidak bisa dilaksanakan dan untuk mencatatkan perbuatan hukum itu dibuatlah alat bukti peralihan hak atas tanah sebisanya dengan dilengkapi surat kesaksian dari pemuka msyrakat yang berpengaruh pada saat itu.

d. Penyalahgunaan Wewenang.

(13)

menyalahgunakan haknya untuk mendapatkan keinginannya yang dapat merugikan orang yang dipimpinnya sebagai warganya, apalagi wewenang itu digunakannya dengan mengatasnamakan jabatannya untuk mendapat keuntungan bagi diri sendiri maupun orang lain, misalnya saja dibidang pertanahan.

Sebagai pejabat di wilayah ini tentu dia tahu dimana saja lahan yang telah bersertipikat dan yang belum bersertipikat, di lahan yang belum bersertipikat inilah banyak dijadikan masalah karena mereka hanya memiliki alat bukti kepemilikan seadanya baik berupa alat bukti surat keterangan tanah, surat peralihan hak yang dibuat oleh atau dihadapan Camat yang biasa disebut SK Camat, atau surat-surat yang dibuat oleh masyarakat sendiri sebagai bukti penguasaan terhadap lahan yang mereka kuasai. Anehnya, sudah jelas SK Camat atau Surat Keterangan tanah adalah surat -surat yang dibuat oleh pihak pejabat wilayah ini sendiri walaupun pejabatnya berganti-ganti tapi kan harusnya mereka memiliki catatan juga mengenai perbuatan hukum yang pernah terjadi di wilayahnya, atau apa saja yang dapat menunjukan bukti pertinggal dari setiap perbuatan yang telah dibuat oleh atau dihadapan mereka tapi ternyata tidak ada, akibatnya mereka sendiri yang membuat surat-surat itu pada masyarakat tapi mereka sendiri yang mempertanyakan kebenaran dari isi surat tersebut.

(14)

melakukan pengecekan kebenaaran tentang surat ini sekaligus melakukan cek bersih tapi pada saat itu jawaban pegawai lurah dan camat tidak jelas atau tidak mau dikonfirmasi karena jawaban pihak kelurahan pada saat itu adalah surat itu tidak bisa dicek di sini karena tidak ada bukti yang membenarkan tentang bukti surat itu. Hal ini membingungkan tapi itulah faktanya ternyata di kantor Kelurahan dan di Kantor Kecamatan tidak ada bukti pertinggal yang dipelihara sebagai bukti telah terjadi perbuatan hukum di wilayahnya, dan ketika peralihan hak atas tanah itu akan dilaksanakan pihak kelurahan dan kecamatan pun tidak mau membantu membuat surat bukti peralihan tersebut, malah pihak stafnya memaksa Bambang Syahrial dan Bapak Faili Siran harus mengakui bahwa lahan yang baru saja dialihkan dari pihak Bambang Syahrial kepada Bapak Faili Siran itu adalah lahan milik orang lain yang nantinya akan ditentukan siapa pemiliknya, tentu kedua belah pihak menolak, tapi pihak kelurahan terus memaksa dengan berbagai cara, samapai pada tanggal: 18 Juni 2009, pihak Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan mengirimkan surat undangan kepada Bapak Faili Siran, dengan nomor 593/01KB/2009 yang meminta Bapak Faili Siran untuk hadir di Kelurahan dengan tuduhan bahwa Bapak Faili Siran telah mengerjakan tanah Hermanto teja tanpa ijin, dan Bapak Faili Siran diminta membawa surat-surat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah yang dimilikinya.

(15)

tanpa ijin, artinya tentu sudah dapat dipahami bahwa ternyata pihak kelurahan pada waktu itu akan melakukan persidangan gaya Lurah yang arogan dan seenaknya sesuai dengan kepentingannya.

Pada saat itu Lurah jelas menghadirkan Bapak Faili Siran sebagai terdakwa versi Lurah, orang yang telah ditetapkannya sebagai penuntut adalah Hermannto Teja, sesuai apa yang tercantum dalam surat undangan Lurah Besar Kecamatan Medan Labuhan Nomor: 593/01/KB/2009, seluruh Kepala Lingkungan yang biasa disebut kepling itu bertindak sebagai saksi yang menguatkan tuntutan dari orang yang telah ditetapkan Lurah sebagai penuntut, sekaligus sebagai pembela bagi si penuntut, sedangkan Lurah bertindak sebagai hakim yang mengadili dan memutuskan perkara, jadi si terdakwa diminta untuk membuktikan kepemilikan hak atas tanahnya dengan berbagai tekanan dan intimidasi yang mereka lakukan tanpa bisa membela diri, sedangkan si penuntut mereka bela habis-habisan sampai akhirnya lurah memutuskan bahwa si terdakwa versi Lurah itu bersalah, dan eksekusi di lapangan pun langsung dilakukan.

(16)

sewenang-wenang Hermato Teja dengan seluruh kelompoknya ke polisi: dengan nomor laporan yaitu No Pol: STPL/1345/VI/2009/KP3-LAB.

Pada tanggal 16 (enam belas), Juli 2009 (dua ribu Sembilan), Hermanto Teja mengakui bahwa lahan milik Bapak Faili Siran adalah lahan miliknya, tapi dia tidak tahu dimana posisi atau letak tanahnya, makanya dia menyerahkan semua penunjuk lahan miliknya kepada kepala lingkungan dan lurah sebagai penunjuk lahannya.

Lurah menunjuk Hermanto Teja sebagai pemilik lahannya, tapi Hermanto Teja tidak mau dikorbankan seorang diri, jadi dia juga tetap memaksa lurah dan kepala lingkungan untuk terlibat yaitu dengan menyatakan bahwa dia tidak tahu dimana posisi lahannya tapi yang tahu tentang lahan dan posisinya adalah lurah dan kepala lingkungan sebagai saksi hidup dari kepemilikan atas lahan miliknya.

(17)

yang dinyatakan Lurah Besar Kecamatan Medan Labuhan pada tanggal 18 Juni 2009, melalui surat undangan nomor 593/01/KB/2009.

Sebenarnya masalah awalnya adalah masalah lahan yang dibeli oleh Bapak Faili Siran dari Bambang Syahrial seluas 20632 m, ternyata secara sepihak telah disertipikatkan oleh PT. Kedayutama dan setelah lahan itu kosong pihak Kelurahan melalui orang yang dikatakannya sebagai penuntut yaitu Hermanto teja menyatakan bahwa lahan itu miliknya dan memaksa Bapak Faili Siran untuk menyerahkan lahannya itu kepadanya atas nama penuntut untuk dijual jika Bapak Faili Siran tidak mau membayar uang sesuai yang mereka minta.

Masalah kedua adalah, setelah diteliti isi surat photo copy yang diberikan oleh Hermanto Teja atas nama Nyonya Asnah yusuf itu ternyata terletak di wilayah lingkungan XVIII (delapan belas) kelurahan Besar, kecamatan Medan Labuhan posisi lahannya terletak di sebelah utara dari BTN TNI AL area yang dibangun oleh PT. Kedayutama, sedang tanah milik Bapak Faili Siran dari Bambang Syahrial berada pada posisi sebelah selatan BTN TNI AL atau area yang dibangun oleh PT. Kedayutama posisi sebenarnya adalah perbatasan antara BTN TNI AL dengan tanah masyarakat umum.

(18)

ada. Keluarga Bapak Faili Siran juga menanyakan dimana Nyonya Asnah Yusuf, jawab Hermanto Teja sedang sibuk. Kalau begitu Bapak Faili Siran minta surat kuasa menjual tanah atas nama isterinya Asnah Yusuf dan bukti surat nikah dengan Nyonya Asnah Yusuf untuk meyakinkan bahwa dia benar masih suami syahnya nyonya Asnah yusuf, Hermanto Teja juga bilang tidak ada karena dia kawin kampung.

Masalah keempat adalah Hermanto Teja, tidak mampu membuktikan kepemilikan bukti hak atas tanahnya melalui bukti surat kepemilikan yang utuh tidak sepotong-sepotong sekalipun hanya photo copy tapi kertas photo copy yang ditunjukkan tidak jelas maksudnya sampul surat dengan isinya berbeda yaitu sampulnya surat keterangan tanah yang dikeluarkan oleh pemerintah kotamadya daerah tingkat II Medan kecamatan Medan Labuhan kelurahan Besar tapi ditengahnya sampai akhir atau penutupnya berbeda sehingga terkesan penipuan surat, yang tujuannya tentu saja meyakinkan orang yang dituju agar menganggap surat tersebut utuh seperti aslinya.

(19)

apapun lagi, tapi kenapa Hermanto Teja cs beserta pihak kelurahan besar, masih memaksa untuk meminta lahan sisa yang belum dibangun oleh pihak developer atau pengembang PT. Kedayutama, walaupun jelas itu milik orang lain dan bahkan pihak developer atau pengembang Kedayutama tidak mampu membuktikan kepemilikan hak atas tanahnya yang diperolehnya dengan cara benar atau sah.

(20)

tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dari pendahulu-pendahulunya dengan syarat:

Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh Kesaksian oleh orang yang dapat dipercaya. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desakelurahan yang bersangkutan atau pihak lainnya.

Keterangan dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang kesaksiannya dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai orang tertua adat setempat dan atau penduduk yang sudah lama bertempat tinggal di desa/kelurahan letak tanah yang bersangkutan dan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal.

Kesaksian dari Kepala Kelurahan atau Kepala Desa.

Surat pernyataan penguasaan secara fisik yang dibuatkan oleh pemohon pendaftaran tanah antara lain berisi:

a) Bahwa fisik tanahnya secara nyata dikuasai dan digunakan sendiri oleh pihak yang mengaku atau secara nyata tidak dikuasai tetapi digunakanpihak lain secara sewa atau bagi hasil atau dengan bentuk hubunganperdata lainnya.

b) Bahwa tanahnya sedang/tidak dalam keadaan sengketa.

(21)

Dengan demikian, jika seluruh syarat bagi sebuah surat di bawah tangan telah dipenuhi untuk dapat dijadikan dasar dalam penerbitan sertifikat hak milik berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah maka surat di bawah tangan tersebut dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan sertifikat dan memiliki kekuatan pembuktian. Dalam kenyataan yang banyak terjadi, meskipun persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 telah dipenuhi, akan tetapi banyak persoalan yang tetap timbul sehubungan dengan penggunaan alas hak di bawah tangan sebagai dasar penerbitan Sertifikat Hak Milik. Beberapa persoalan yang pada Kantor Pertanahan saat ini adalah sebagai berikut: Dalam proses pendaftaran tanah secara massal, pihak Kantor Lurah atau Kantor Desa biasanya membantu mengkoordinir pelaksanaan di lapangan termasuk dalam hal pembuatan surat-surat tanah bagi masyarakat yang belum memiliki surat tanah. Oleh karena waktu yang singkat dengan jumlah pemohon yang banyak maka pihak Kantor Kelurahan atau Kantor Desa hanya sekedar menandatangani tanpa mempelajari kebenaran surat tanah yang diajukan, bahkan untuk seluruh masyarakat, surat tanah mereka ditandatangani saksi yang sama yaitu 2 (dua) orang dari aparat desa atau kelurahan. Kebenaran surat tanah ini menjadi sulit untuk dijamin karena proses yang cepat dan tidak teliti.

(22)

mereka tidak mengetahui riwayat tanah tersebut karena mereka adalah Kepala Kelurahan atau Kepala Desa yang baru menjabat selama 3 (tiga) bulan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa jaminan kepastian hukum atas tanah dengan alas hak di bawah tangan tersebut tidak ada, karena Pejabat yang menandatanganinya beserta para aparatnya yang turut bersaksi dalam surat ternyata tidak mengetahui riwayat tanah yang mereka persaksikan.

Kondisi selanjutnya yang terjadi di Kantor Kelurahan atau Kantor Desa adalah tidak ada buku tanah desa yang menjadi catatan atau pengadministrasian terhadap setiap peralihan tanah yang terjadi sehingga sangat wajar, jika kepala desa atau kepala kelurahan yang baru tidak mengetahui riwayat tanah yang sebenarnya.

Kondisi fatal yang terjadi pula sehubungan dengan pembuatan surat tanah oleh pihak Kantor Kelurahan atau Kantor Desa adalah seringnya muncul 2 (dua) surat tanah yang berbeda untuk tanah yang sama namun ditandatangani oleh Kepala Desa yang sama.

(23)

pendaftaran tanah tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi para pemilik tanah.

Kondisi-kondisi di atas tentu saja akan sangat menyulitkan masyarakat ketika suatu saat ada pihak lain yang mengklaim tanah yang mereka miliki. Keadaan lain yang terjadi adalah beberapa anggota masyarakat ternyata telah kehilangan tanah mereka tanpa mereka ketahui dan pada saat mereka mengajukan upaya penyelesaian, ternyata mereka tidak memiliki daya apa-apa karena surat tanah yang mereka miliki harus gugur karena pihak lain memiliki bukti berupa akta autentik.

Sehubungan dengan penggunaan alas hak di bawah tangan sebagai dasar penerbitan sertifikat, bahwa alas hak di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum namun tetap dapat digunakan sebagai dasar penerbitan Sertifikat Hak Milik sepanjang data yang diterangkan di dalamnya mengandung kebenaran dan diketahui oleh minimal 2 (dua) orang saksi bersama Kepala Kelurahan atau Kepala Desa sebagai pihak yang dianggap mengetahui riwayat tanah pada Kelurahan atau desa tempat mereka menjabat. Namun demikian, alas hak dibawah tangan ini tidak bisa memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pemegang sertifikat karena dalam kenyataannya di Pengadilan, para hakim memiliki interpretasi yang berbeda mengenai keabsahan surat di bawah tangan.

(24)

memiliki buku tanah desa menyebabkan munculnya surat-surat tanah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Akibatnya, meskipun sertifikat merupakan alat bukti yang kuat bagi pemegangnya namun belum bisa memberikan jaminan adanya kepastian hukum bagi mereka mengingat bahwa asas yang dianut oleh sistem pendaftaran tanah di Indonesia adalah asas negatif (bertendensi positif) yaitu sebuah sertifikat dapat dibatalkan jika ada pihak lain yang dapat membuktikan kepemilikannya atas tanah tersebut.

Untuk mengantisipasi munculnya masalah dalam penggunaan alas hak di bawah tangan sebagai dasar penerbitan sertifikat, maka dalam proses pembuatan alas hak di bawah tangan, seluruh pihak yang terkait seharusnya mengutamakan ketelitian dan kecermatan serta kehati-hatian agar tidak menyebabkan ketidakpastian bagi para pemilik sertifikat ataupun pemilik tanah yang sebenarnya, jika ternyata sertifikat diterbitkan kepada pihak yang tidak berhak.

Pasal 88 ayat (1) sub b, Peraturan Menteri Agraria/KBPN Nomor 3 Tahun 1997 disebutkan bahwa hak atas tanah yang alat bukti kepemilikannya tidak ada tetapi telah dibuktikan kenyataan penguasaan fisiknya selama 20 (dua puluh) tahun sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya diakui sebagai hak milik.

Chadijah Dalimunthe, mengatakan bahwa untuk pengakuan hak tidak diperlukan penerbitan surat keputusan pengakuan hak.40

40Chadijah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Pelaksanaannya , (Medan

(25)

Menurut Chris Lunnay dan Herman Soesangobeng, mengemukakan bahwa: Bidang-bidang tanah yang dimasa Hindia Belanda tidak terdaftar secara rectcadaster dan umumnya digolongkan sebagai tanah adat kini merupakan sasaran pendaftaran yang utama. Selain itu, kemudahan terhadap mayoritas anggota masyarakat yang tidak memiliki alat bukti tertulispun dibantu dengan cara pembuktian melalui penguasaan fisik secara nyata maksudnya bidang tanah yang secara terus-menerus telah dikuasai selama 20 (dua puluh) tahun baik oleh pihak yang sedang menguasai ataupun pendahulunya, dapat didaftar dan diterbitkan sertifikatnya.41

Selanjutnya Soelarman Brotosoelarno, menyimpulkan bahwa:

Ketentuan ini merupakan salah satu aspek teknis dan yuridis yang baru di dalam dunia pendaftaran di Indonesia yang sekaligus memberikan jalan keluar apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan baik yang berupa bukti maupun bentuk lain yang berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat dipercaya. Dalam hal ini, pembukaan dapat dilakukan 6tidak berdasarkan kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik yang telah dilakukan oleh pemohon dan pendahuluannya.42

Ketentuan ini mencerminkan perhatian dan perlindungan hukum terhadap penguasaan dan pemilikan tanah oleh anggota masyarakat hukum adat yang hanya didasarkan pada penguasaan secara fisik namun tidak mengurus surat kepemilikannya.

Menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Pokok Agraria yang selanjutnya dirinci dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, kepada perorangan atau badan hukum dapat diberikan sebagai macam hak atas tanah. Meskipun tidak secara tegas diatur, akan tetapi wewenang untuk memberikan hak-hak atas tanah

41 Cris Lumay dan Herman Soesangobeng, Status Reformasi Pertanahan dalam

Undang-Undang Pokok Agraria dan Proyek Administrasi Pertanahan dengan Persfektif Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat , Seminar Nasional Pertanahan , (Bandung ), halaman 3.

42

(26)

seperti tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria adalah Negara Republik Indonesia cq. Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional.

Selanjutnya untuk lebih memperlancar pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan hak atas tanah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMN) Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah kepada Gubernur/ Bupati/Walikota Kepala Daerah dan Kepala Kecamatan dalam kedudukan dan fungsinya sebagai wakil pemerintah.

Peraturan di atas tanah diubah dengan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Ttahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Dalam Pasal 17 Peraturan ini menyebutkan dengan berlakunya peraturan maka Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberi Hak Atas Tanah dan semua ketentuan yang bermaksud melimpahkan kewenangan pemberian hak atas tanah dalam pelaksanaan peraturan/keputusan inilainnya dinyatakan tidak berlaku.

(27)

tidaklah semata-mata hanya dengan melihat segi-segi prosedurnya saja tetapi pemberian hak atas harus pula dikaji dari segi hukumnya.43

Adapun beberapa hak yang perlu diperhatikan dalam proses pemberian hak yakni tentang subjek permohonan berupa data-data pribadi si pemohon, tentang lokasi tanahnya, letaknya luasnya serta batas-batas yang tegas atas tanah tersebut serta surat suratbukti perolehan haknya secara sistematis yang telah menurut hukum. Permohonan hak atas tanah adalah suatu proses yang dimulai dari masuknya permohonan kepada instansi yang berwenang sampai lahirnya hal hak atas tanah yang dimohonkan itu. Suatu permohonan hak atas tanah dapat dinilai layak menurut hukum untuk diproses jika subjek pemohonan dapat membuktikan secara hukum bahwa dialah pihak satu-satunya yang berhak atas tanah yang dimohonkannya itu.

Penilaian terhadap pembuktian yang dilakukan petugas pelaksana atas permohonan tersebut telah bertitik tolak kepada riwayat perolehan hak atas tanah kepada yang bersangkutan yang ternyata sah dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam penilaian terhadap pembuktian riwayat asal-usul tanah ini, dapat ditemukan dalam aspek perdata dalam permohonan hak atas tanah tersebut. Jika aspek hukum keperdataannya telah memenuhi syarat penilaian dilanjutkan pada segi perencanaan pemerintah, peruntukan, penggunaan tanah dan status tanah yang merupakan aspek hukum administrasi pertanahan.

43Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002, tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara

bukan Pajak yang Berlaku pada BPN, Menyatakan bahwa Pasal ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 46, Tahun 2002, berbunyi, Pemberian Hak atas Tanah adalah penetapan pemerintah yang

(28)
(29)

BAB IV

UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH MASYARAKAT UNTUK MEMPERTAHANKAN HAK ATAS TANAHNYA JIKA HAKNYA

TERBUKTI DISELEWENGKAN OLEH OKNUM APARAT DESA/LURAH MAUPUN CAMAT

A. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan oleh Masyarakat Untuk

Mempertahankan Hak Atas Tanahnya.

Timbulnya sengketa hukum bermula dari pengaduan sesuatu pihak yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

Pengaduan ini biasanya berisi peristiwa-peristiwa yang menggambarkan bahwa pemohon bertindak sebagai pengadu yang merasa berhak atas tanah yang disengketakan dengan lampiran bukti-bukti dan mohon penyelesaian disertai harapan agar tanah tersebut dicegah mutasinya, sehingga tidak merugikan dirinya.

Si terlapor mempersilakan akta jual-beli tersebut dibatalkan dengan syarat-syarat ntertentu, maka akta yang belum didaftarkan tersebut dapat dibatalkan oleh Camat selaku PPAT-Sementara.

(30)

akan dapat terpenuhi bila seluruh perangkat atau sistem hukum itu dapat berjalan dan mendukung tercapainya suatu kepastian hukum, khususnya peranan lembaga-lembaga yang diberi wewenang untuk itu.

Menurut sistem hukum Indonesia, penyelesaian sengketa, khususnya sengketa pertanahan, dapat dilakukan melalui berbagai proses penyelesaian, baik melalui lembaga peradilan seperti dalam peradilan umum, peradilan tata usaha Negara, maupun penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan seperti mediasi, arbitrase, maupun melalui penyelesaian lembaga adat, dan sebagainya. Cara penyelesaian sengketa tanah non pengadilan melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) yaitu, kasus pertanahan yang timbul karena adanya klaim/pengaduan/keberatan dari masyarakat atau badan hukum yang berisi kebenaran di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta putusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut, dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta-merta dari pejabat yang berwenang untuk itu, kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (Sertipikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah}, ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain: 1. Mengenai masalah status tanah.

(31)

3. Masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.Setelah menerima berkas dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut., dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional Propinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten /Kota setempat letak tanah yang disengketakan.

Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya, agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum). Yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakianannya memang harus di-status quo, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No. 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 16 Tahun 1984.

(32)

quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari pengadilan.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (Sertipikat Surat keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.

Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesainnya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini sering kali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa.

Berkenaan dengan itu bilamana penyelesaian secara musyawarah mendapat kata mufakat, maka harus ada pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.

(33)

penerbitannya, yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain:

1. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

2. Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah.

3. Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003, tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.

4. Peraturan Menteri Negara Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1999.

Dalam praktik selama ini, terdapat perorangan /badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagaian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Badan Pertanahan Naional dan Sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan /Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional/Propinsi yang bersangkutan.

B. Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Badan Peradilan

1. Pengadilan Umum

(34)

pengaturan susunan, kekuasaan, serta lingkunganperadilan umum, yang terakhir ini dasarnya adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986, tentang Peradilan Umum.

Pengadilan umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986).44

Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dijalankan oleh: 1. Pengadilan Negeri yang merupakan pengadilan tingkat pertama.

2. Pengadilan Tinggi yang merupakan pengadilan tingkat banding.

3. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum berpuncak pada Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai pengadilan negera tertinggi (Pasal 3 UU No. 2 Tahun 1986).

Pengadilan Negeri berkedudukan di kotamadya atau di ibukota kabupaten. Daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, sedangkan Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibukota propinsi, daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.

Legalisasi alas hak atas tanah menimbulkan banyak permasalahan hukum, salah satu penyebabnya adalah karena masih terjadi benturan konsep penguasaan tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan positif yang berlaku. Disamping itu diduga adanya indikasi tindak pidana dalam proses pendaftaran hak-hak atas tanah,

44 Sentosa Sembiring, Himpunan Lengkap Peraturan Perundang-undangan Tentang Badan

(35)

sehingga hilangnya kepastian hukum bagi pemilik dan pihak ketiga lainnya ataupun yang memperoleh hak kebendaan di atas tanah yang bersangkutan.

Sehubngan dengan itu hak menguasai Negara dan hak penguasaan tanah menurut hukum adat (hak Ulayat) perlu mendapat legalisasi, sehingga hak-hak atas tanah yang timbul atas dasar hak menguasai Negara dan hak Ulayat, yang diberikan kepada warga Negara dan badan hukum Indonesia dalam bentuk Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan lain-lain perlu didaftarkan untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum.

Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, memerlukan tersedianya perangkat hukum tertulis yang lengkap dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuannya. Selain itu dalam menghadapi kasus-kasus konkret diperlukan juga terselenggaranya pendaftaran tanah yang memungkinkan juga bagi para pemegang hak atas tanah tersebut, untuk dengan mudah membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya.

(36)

sertipikat tersebut. Kesalahan mana telah diduga terjadi dalam berbagai proses pendaftaran tanah.

Kesalahan dalam pembuatan sertipikat bisa saja terjadi karena adanya unsur penipuan (bedrog), kesalahan (dwaling)dan atau paksaan (dwang), dalam pembuatan data fisik maupun data yuridis yang dibukukan dalam buku tanah. Dengan demikian sertipikat yang dihasilkan dapat berakibat batal demi hukum, sedangkan bagi subjek yang melakukan hal tersebut dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Apabila perbuatan dilakukan oleh alat-alat perlengkapan Negara/BPN maka perbuatan tersebut dapat dikatergorikan sebagai

Onrechtmatige Overheidsdaad atau penyalahgunaan kewenangan dari Pejabat Tata Usaha Negara.

Menurut Van Der Pot menyatakan bahwa ada empat syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan dapat berlaku sebagai ketetapan sah, yaitu:

1. Ketetapan harus dibuat oleh alat yang berwenang (Bevoegd) membuatnya.

2. Karena ketetapan suatu pernyataan kehendak (Wilsverklaring), maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis (Geenjuridische gebreken in de wilsvorming).

3. Ketetapan harus diberi bentuk (Vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatannya harus juga memperhatikan cara (Procedure) membuat ketetapan itu bilamana cara itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut.

4. Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.45 Apabila salah satu syarat tidak dipenuhi, maka ketetapan yang bersangkutan menjadi ketetapan yang tidak sah, misalnya ketetapan yang dibuat oleh organ atau

45 Utrecht, Pengantar Administrasi Negara Indonesia, Jakarta, Balai Buku Ikhtiar, tahun

(37)

pejabat yang berwenang (On bevogd), ketetapan itu dibuat karena adanya penipuan (Bedrag), ketetapan itu menurut prosedur berdasarkan hukum (Rechmatige) dan ketetapan itu tidak memenuhi tujuan peraturan dasarnya (doelmatige) atau telah terjadi penyalahgunaan wewenang (detounament de pauvoir).

Perbuatan hukum Pemerintah/BPN dalam melakukan pendaftaran tanah dan menerbitkan sertipikat sebagai suatu perbuatan hukum untuk menimbulkan keadaan hukum baru dan melahirkan hak-hak serta kewajiban-kewajiban hukum baru terhadap orang/subyek hukum tertentu, harus memenuhi syarat-syarat dan tidak boleh mengandung unsur kesalahan baik menyangkut aspek teknis pendaftaran tanah maupun aspek yuridis kesalahan dalam hal ini berakibat batal atau dapat dibatalkan.

Kesalahan data fisik maupun data yuridis dalam pendaftaran tanah akan menghilangkan unsur kepastian hukum hak atas tanah, sehingga orang yang berhak terhadap tanah tersebut akan dirugikan, kesalahan juga akan berakibat terjadinya informasi yang salah di BPN sebagai alat kelengkapan Negara yang akhirnya juga berarti menciptakan administrasi yang tidak tertib.

(38)

Kebijakan kriminalisasi dalam PP No. 10 Tahun 1961 dengan tegas menentukan bahwa sanksi pidana terhadap pelanggaran batas-batas dari suatu bidang tanah dinyatakan dengan tanda-tanda batas menurut ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri agraria. Pelanggaran atas pembuatan akta tentang memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru atas tanah, atau hak tanggungan tanpa ditunjuk oleh Menteri Agraria dipidana dengan hukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh ribu rupiah.

Disamping itu juga dilarang Kepala Desa menguatkan perjanjian mengenai tanah yang sudah dibukukan jika:

a. Permintaan itu tidak disertai dengan sertipikaat tanah yang bersangkutan. b. Tanah yang menjadi objek perjanjian ternyata masih dalam perselisihan. c. Tidak disertai surat-surat tanda pembayaran biaya pendaftaran.

Pelanggaran terhadap hal tersebut dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh ribu rupiah.

Kebijakan kriminalisasi dalam PP No. 10 tahun 1961, ini ternyata tidak lagi dijumpai dalam PP No. 24 Tahun 1997, hal ini berarti kebijakan kriminalisasi dalam pendaftaran tanah telah berubah menjadi dekriminalisasi atas perbuatan-perbuatan tertentu yang telah dirumuskan sebagai tindak pidana di bidang pendaftaran tanah, tetapi telah berubah menjadi pelanggaran yang bersifat administratif.

(39)

kesilapan/kelalaian, penipuan dan paksaan dalam pembuatan data fisik dan data yuridis tidak bisa dijangkau oleh KUHP.

Paradigma Hukum Pidana modern memberikan arahan bahwa ketentuan pidana, ditujukan untuk mengatur dan mengendalikan tertib hukum dalam masyarakat, disamping menjamin ditegakkannya rasa keadilan masyrakat atas perbuatan orang per orang atau sekelompok orang yang telah merusak atau melanggarnya. Suatu tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur objektif, yaitu harus ada suatu perbuatan yang dirumuskan secara positif dalam KUHP (asas legalitas), yang telah dilakukan oleh seseorang, disamping itu harus memenuhi unsur-unsur subyektif, yaitu orang yang melakukan perbuatan tersebut harus dapat bertanggung jawab dalam artian orang tersebut, tidak sakit atau berubah akal/gila, tidak dalam keadaan terpaksa dan dalam keadaan darurat.

Asas legalitas yang dianut dalam KUHP, tidak berlaku lagi secara dogmatis tetapi dalam perkembangannya telah tereliminasi oleh asas ajaran melawan hukum materil (materiel wederrechtelijkheid), yang menyatakan bahwa suatu perbuatan sudah dapat dihukum apabila bertentangan dengan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.

(40)

tertulis. Perbuatan melawan hukum ditafsirkan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.

Hal ini berarti hukum diartikan tidak hanya semata-mata undang-undang tetapi meliputi kaedah-kaedah tidak tertulis dan asas-asas hukum, dengan demikian suatu perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas hukum (Onrechmatigedaad) adalah meliputi membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu (melakukan sesuatu) yang : a. Melanggar hak orang lain.

b. Bertentang kewajiban hukum (rechtsplicht),dari yang melakukan perbuatan itu. c. Bertentangan dengan baik kesusilaan maupun asas-asas pergaulan

kemasyarakatan mengenai penghormatan diri orang atau barang lain.

Dalam penerapan hukum Pidana, menurut pendapat ahli hukum mengatakan bahwa unsur-unsur melawan hukum adalah unsur suatu delik, maka unsur melawan hukum itu tetap dianggap ada secara diam-diam, meskipun unsur melawan hukum itu tidak dirumuskan secara tegas dalam rumusan suatu delik.

Ajaran melawan hukum materil tersebut adalah sudah merupakan satu keharusan dalam penerapan hukum pidana modern. Ajaran ini telah melumatkan kekuatan dari Pasal 1 ayat (1), KUHPyang sudah tidak dapat kita pertahankan lagi secara konsekuen dalam era dewasa ini.

(41)

Sesuai dengan paparan di atas, kebijakan dekriminalisasi yang terdapat dalam PP Nomor 24 Tahun 1997, tidak menutup kemungkinan bagi penyidik POLRI untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran dan kejahatan di bidang pertanahan. Penyidik POLRI masih dapat menggunakan hukum Pidana Umum (KUHP), sebagai dasar penyidikannya.

Kejahatan atau pelanggaran Pidana dalam hukum pertanahan dapat berupa kejahatan dan pelanggaran dalam pembuatan data fisik dan data yuridis, misalnya perusakan patok, tanda batas tanah dan mengubahnya pada tempat yang lain, memberikan data palsu yang berkaitan dengan keberadaan tanah, dan dilakukan oleh beberapa orang yang terkait, seperti Kepala Desa, Lurah, Camat dan orang yang memohon hak.

(42)

zonder schuld), asas ini mengandung arti bahwa seseorang yang melakukan peristiwa pidana yang dapat dibuktikan tanpa ada unsur kesalahan dalam dirinya; maka ia dapat dibebaskan dalam segala dakwaan.

Pada prakteknya pertanggungjawaban pidana senantiasa dikaitkan dengan perbuatan sengaja (dolus), dan atau atau karena kelalaian (culfa), pembuktian adanya unsur kesengajaan dan kelalaian sangat diperlukan, misalnya tentang pembuatan data-data fisik maupun data yuridis dalam pendaftaran tanah, dicurigai adanya kesalahan terhadap penentuan tugu/batas patok yang memenuhi syarat teknis, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, karena di banyak daerah tugu batas/patok adalah apa yang selama ini diyakini masyarakat secara alamiah baik itu berupa pohon, batas tegalan sungai dan sebagainya. Maka dalam hal ini penyidik POLRI harus proaktif melakukan penelitian/investigasi tentang batas-batas tanah yang sebenarnya sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Dalam banyak kasus data fisik ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di lapangan. Hal ini patut diduga apakah ada kelalaian dan kesengajaan dari aparat membuat tugu batas/patok dalam buku tanah yang bersangkutan, disamping itu perlu diteliti apakah ada perbuatan memindahkan batas/patok yang asli dan menggantikannya dengan patok lain yang tidak sesuai dengan ukuran semula. Perbuatan ini dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan perusakan barang yang diancam dengan Pasal 406 dan Pasal 407 ayat (1) KUHP.

(43)

BPN, dalam hal ini patut diduga adanya indikasi kolusi disamping itu peran Kepala Desa ataupun Lurah sangat menentukan dalam hal pembuatan Surat Keterangan tidak adanya saling silang sengketa yang kemudian dikuatkan dengan Surat Keterangan Tanah yang bersangkutan, tidak mustahil hal ini dapat terjadi karena adanya kepentingan berbagai pihak yang terkait dengan Pendaftaran Tanah dan Penerbitan Sertipikat atas Tanah. Perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana memberikan keterangan palsu, pemalsuan dokumen yang dilakukan dengan penyertaan/turut serta (deelneming), perbuatan mana diancam dengan Pasal 263 dan 264 KUHP yang ditegaskan sebagai berikut:

Pasal 263 KUHP:

(1). Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perkataan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat bukti tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsukan, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama 5 tahun; (2). Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat

palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Dengan demikian Perbuatan melawan hukum dapat ditafsirkan sinonim dengan

(44)

Dalam suatu perkara perdata atau dari keseluruhan tahap persidangan dalam menyelesaikan perkara perdata pembuktian memegang peranan yang sangat penting, karena dalam tahap pembuktian inilah para pihak yang bersengketa diberikan kesempatan untuk mengemukakan kebenaran dari dalil-dalil yang dikemukakannya, sehingga berdasarkan pembuktian inilah hakim atau majelis hakim akan menentukan ada atau tidaknya suatu peristiwa atau hak, yang pada akhirnya hakim dapat menerapkan hukumnya secara tepat, benar, adil atau dengan kata lain putusan hakim yang tepat dan adil baru dapat ditentukan setelah melalui tahap pembuktian dalam persidangan penyelesaian perkara perdata di pengadilan.46

Hakim akan menentukan apa yang harus dibuktikan dan pihak mana yang harus memberi bukti, maksudnya hakim akan menentukan pihak mana yang memikul resiko tentang beban pembuktian. Dalam menentukan beban pembuktian, hakim harus berusaha agar tidak memihak salah satu pihak atau berat sebelah, sehingga tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan.

Pengertian dari pembuktian tidak disebutkan secara khusus dalam peraturan perundang-undangan, namun terdapat dalam ketentuan Pasal-Pasal dalam KUHPerdata dan HIR/R.B.g Pasal-Pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 1865 KUHPerdata, menjelaskan:

“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”

(45)

Kemudian Pasal 163 H.I.R/Pasal 283 R.B.g menyatakan:

Barang siapa yang mengatakan mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.”

Berdasarkan Pasal-Pasal tersebut di atas berarti setiap orang yang mengakui mempunyai suatu hak atau peristiwa atau membantah adanya hak atau atau peristiwa tersebut, menjadi kewajiban baginya untuk membuktikan di muka pengadilan, akan tetapi tidaklah semua hak atau peristiwa yang dikemukakan itu harus dibuktikan, dalam hal pihak tergugat mengetahui kebenaran dari pada suatu peristiwa atau hak yang dikemukakan penggugat, maka dalam hal ini tidak lagi diperlukan adanya suatu pembuktian. Peristiwa atau hak yang tidak perlu dibuktikan dalam persidangan perkara perdata mencakup sebagai berikut:

a. Peristiwa atau hal yang tidak disangkal. Pembuktian dalam perkara perdata pada dasarnya baru diperlukan apabila peristiwa atau hak yang menjadi dasar dari gugatan dari pihak penggugat tidak disangkal kebenarannya oleh pihak tergugat, sehingga dengan demikian peristiwa atau hak yang diakui tidak memerlukan lagi adanya suatu pembuktian.

(46)

c. Peristiwa yang kebenarannya sudah diketahui oleh umum, misalnya bahwa akta itu dibuat di atas kertas dan bermaterai.

d. Pengetahuan yang berdasarkan pengalaman, misalnya bahwa mobil yang melaju dengan kecepatan 100km/jam tidak mungkin dihentikan seketika.

Pada dasarnya di Indonesia, belum terdapat suatu kodifikasi Hukum Acara Perdata yang merupakan produk nasional, sehingga dengan demikian ketentuan-ketentuan mengenai Hukum Acara Perdata yang berlaku sekarang ini merupakan warisan Kolonial Belanda yang terkodifikasi dalam H.I.R (berlaku di pulau Jawa dan Madura) dan R.B. g (berlaku di luar pulau Jawa dan Madura), demikian pula dengan Hukum pembuktian yang pada hakekatnya merupakan bagian dari hukum acara perdata terdapat dalam H.I.R dan R.B.g.47

Selain terdapat dalam H.I.R maupun dalam R.B. g ketentuan mengenai hukum pebuktian juga terdapat dalam KUHPerdata yang merupakan kodifikasi dalam hukum perdata materil. Ketentuan mengenai hukum pembuktian dalam KUHPerdata, terjadi karena dahulu terdapat suatu aliran yang membagi hukum acara perdata suatu bagian formil dan materil, oleh karena itu, hukum pembuktian juga diatur dalam KUHPerdata.

Dengan demikian ketentuan-ketentuan mengenai hukum pembuktian tersebut adalah :

a) H.I.R. dan R.B.g.

47 R. Soebekti, Tafsiran Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bandung, Citra Aditya

(47)

Ketentuan-ketentuan mengenai hukum pembuktian dalam H.I.R. diatur dalam Bab IX bagian 2 yaitu dari Pasal162-177, sedangkan dalam R.B.g. diatur dalam title V yaitu dari Pasal 282-Pasal 314

Isi dari Pasal 162 H.I.R. dan Pasal 282 R.B.g. pada intinya menyatakan: Tentang bukti dan tentang menerima atau menolak alat-alat bukti dalam perkara perdata, Ketua Pengadilan Negeri wajib mengingat aturan utama yang disebut di bawah ini.

Ketentuan dalam Pasal tersebut di atas merupakan perintah kepada hakim dalam hal hukum pembuktian harus bertitik tolak pada peraturan yang terdapat dalam H.I.R. yaitu Pasal 163 dan seterusnya, dan pada R.B.g. yang terdapat pada Pasal 283 dan seterusnya. Isi dari Pasal 163 H.I.R. dan Pasal 283R.B.g. yang merupakan Pasal terpenting dalam peraturan pokok yang mengatur tentang pembuktian menyatakan:

Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan hak-hak itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.

Berdasarkan ketentuan pada Pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak hanya suatu peristiwa atau kejadian saja harus dibuktikan di muka sidang pengadilan, melainkan juga suatu hak, namun demikian tidak semua hak atau peristiwa harus dibuktikan, tetapi hanya hak atau peristiwa yang disangkal oleh pihak lawan.48

48Soedikno Mertokusumo,Alat-alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata, Bandung, Alumni,

(48)

Ketentuan Pasal tersebut di atas juga terdapat suatu asas yaitu, siapa yang mendalilkan sesuatu hal dia juga harus dapat membuktikan kebenaran dari dalil tersebut. Sepintas asas tersebut terlihat sangat mudah, tetapi sesungguhnya dalam praktek di pengadilan tidaklah mudah untuk menentukan siapa yang dibebani kewajiban untuk membuktikan, dengan demikian hakimlah orang yang paling tepat untuk menentukannya secara adil sehingga tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan.

b) Dalam KUHPerdata

Ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata tentang hukum pembuktian dan daluarsa, yaitu Pasal 1865-1945

Pasal 1865, merupakan Pasal terpenting dalam KUHPerdata yang mengatur tentang hukum pembuktian atau dengan kata lain, Pasal 1865 merupakan pokok dari Pasal-Pasal dalam KUHPerdata yang mengatur tentang hukum pembuktian, isi dari Pasal 1865, adalah sebagai berikut:

“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri, maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”

Dari Pasal tersebut di atas jelaslah bahwa pembuktian itu merupakan suatu cara bagi para pihak untuk meyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil yang mereka kemukakan di muka Pengadilan dalam penyelesaian suatu perkara perdata melalui alat-alat bukti yang sah.

(49)

Pada suatu proses penyelesaian perkara perdata atau dari keseluruhan tahap persidangan penyelesaian perkara perdata, maka tahap pembuktian memegang peranan yang sangat penting karena dalam tahap pembuktian inilah para pihak yang berperkara berusaha untuk membuktikan kebenaran atas dalil-dalil yang mereka ajukan dengan cara menggunakan alat-alat bukti yang sah. Majelis hakim atau hakim akan memeriksa dengan teliti alat-alat yang diajukan para pihak yang berperkara tersebut, yang pada akhirnya menerapkan hukumnya secara tepat dan adil.

Membuktikan kebenaran dalil-dalil yang diungkapkan oleh para pihak, baik itu berasal dari pihak penggugat maupun tergugat, diperlukan adanya pembuktian terhadap dalil-dalil yang diungkapkan kedua belah pihak tersebut. Para pihak yang bersengketa di muka sidang pengadilan, berkewajiban untuk mengajukan alat-alat bukti yang diperlukan oleh hakim menurut ketentuan yang telah ditentukan undang-undang, dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembuktian dalam sidang penyelesaian perkara di pengadilan sangat diperlukan oleh majelis hakim atau hakim itu sendiri dalam menjatuhkan putusan, karena putusan hakim tanpa melalui proses pembuktian berarti hakim telah melakukan perbuatan yang sewenang-wenang dan putusan yang dihasilkan juga putusan yang tidak adil dan tidak tepat.

d) Beban Pembuktian

(50)

dibuktikan dan siapa yang harus membuktikan atau dengan kata lain, hakim yang melakukan pembagian beban pembuktian.

Pada pembuktian, apabila salah satu pihak diberi kewajiban untuk membuktikan suatu hal ternyata tidak dapat membuktikannya, maka pihak tersebut akan dikalahkan dalam persidangan, oleh sebab itu dalam melakukan pembagian beban pembuktian, hakim harus bertindak bijaksana dan adil sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau diberatkan oleh beban pembuktian tersebut.

Undang-undang memberikan pedoman umum bagi hakim dalam menentukan pembagian beban pembuktian yaitu pada Pasal 163 H.I.R. Pasal 283 R.B.g. dan Pasal 1865 KUHPerdata.

e) Alat-alat Bukti

Mengenai alat-alat bukti dalam Acara Perdata, dapat kita lihat dalam Pasal 164 H.I.R./Pasal 284 R.B.g. dan Pasal 1866 KUHPerdata, dalam ketiga Pasal tersebut alat-alat bukti terdiri dari 5 (lima) jenis yaitu:

1. Bukti Surat. 2. Bukti Saksi 3. Persangkaan. 4. Pengakuan 5. Sumpah.

(51)

Sebenarnya dalam kasus ini Hermanto Teja hanyalah suatu alasan dari oknum Lurah ini, untuk menyatakan bahwa lahan korban yang merupakan warganya sendiri adalah lahan milik Hermanto Teja, sedangkan inti dari kasus ini sebenarnya tujuannya untuk mengambil lahan korban untuk dialihkan kepada pihak lain dengan cara menjual seperti yang dikatakan oleh Hermanto Teja melalui suratnya kepada Bapak Faili Siran jika Bapak Faili Siran tidak mau mengganti rugi padanya sesuai harga yang telah mereka tentukan.

Dasar penuntutan Hermanto Teja adalah Foto copi Surat Keterangan Tanah, atas nama Nyonya Hasnah Yusuf, yang dibuat pada tahun 1994, sedangkan pada tahun 1984 telah ada larangan bagi Lurah dan Camat untuk membuat Surat Keterangan Tanah yang dapat menimbulkan hak atas tanah, sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 593/5707/SJ tentang pencabutan wewenang Kepala Kecamatan untuk memberikan ijin membuka tanah, tertanggal 22 Mei 1984.

(52)

Surat perintah larangan membuat Surat Keterangan Tanah (SKT) sudah dikeluarkan tapi faktanya tetap dibuat juga dan bahkan dijadikan alat bukti dasar penuntutan hak atas tanah milik orang lain, kepastian hukum menjadi membingungkan, apabila aturan terus dilanggar bagaimana hak rakyat dapat diberikan dengan adil.

Sudah jelas ada aturan tapi masih juga dilanggar bahkan dijadikan alat bukti untuk menuntut hak orang lain menjadi miliknya, ketidakpastian hukum juga bisa timbul karena perangkat peraturan perundang-undangan yang secara operasional di bidang pertanahan tidak mampu mendukung pelaksanaannya karena adanya dis-sinkronisasi secaravertikalmaupun horizontalpada perangkat peraturan perundang-undangan tersebut meski sumber daya manusia dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah, para petugas di Kantor Pertanahan setempat masyarakat/ badan hukum telah secara konsisten dan konsekuen mendukung keberadaan peraturan perundang-undangan tersebut.

(53)

Tujuan Politik Hukum bukan hanya menjamin keadilan, akan tetapi juga menciptakan kepastian hukum. Kepastian hukum berkaitan erat dengan efektifitas hukum, sebab jaminan kepastian hukum akan timbul, apabila Negara memiliki sarana-sarana yang memadai untuk melaksanakan peraturan yang ada.49

Aliran yang menganggap tujuan hukum adalah semata-mata keadilan sebab keadilan itu sendiri sesuatu yang abstrak dan keadilan bagaimanapun menyangkut nilai etis yang dianut seseorang dengan menyatakan bahwa tujuan hukum itu untuk pertama-tama adalah untuk menciptakan kepastian hukum, maka perlu dipahami apa yang dimaksud dengan kepastian hukum.

Menurut Van Apeldoorn, kepastian hukum berarti hal yang dapat ditentukan (bepaaldaarheid) dari hukum dalam hal-hal yang konkret. Pihak-pihak pencari keadilan (yustisiabelen) ingin mengetahui apakah hukum dalam suatu keadaan atau hal tertentu, sebelum ia memulai dengan perkara berarti pula keamanan hukum, artinya melindungi para pihak terhadap kesewenang-wenangan hakim.50

Apabila dilihat dari sisi lembaga peradilan, maka kepastian hukum itu tidak lain dari apa yang dapat dan/atau boleh diperbuat oleh seseorang sejauh mana seseorang itu dapat bertindak tanpa mendapat hukuman atau akibat dari perbuatan yang dikehendaki seseorang tidak dapat dibatalkan oleh hukum.

Berkaitan dengan hal di atas, tiadanya jaminan kepastian hukum karena adanya konflik yang timbul sebagai akibat dari dis-sinkronisasi secara vertikal maupun

49Theo Huijbers,Filsafat Hukum, Yogyakarta, Kanisius, 1995, Hal. 119.

50 Achmad Ali,Menguak Tabir Hukum, (suatu kajian filosofis dan sosiologis), Jakarta,

(54)

horizontal dalam peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dapat dijadikan sebagai landasan bagi subyek hukum untuk memperoleh perlindungan hukum bagi kepemilikan hak atas tanah atau bagaimana pihak-pihak yang berkepentingan dapat mempertahankan haknya.

Berdasarkan kepemilikannya tersebut, ia dapat bertindak dengan tanpa mendapat hukuman atau hakim tidak dapat membatalkan perbuatan yang dilakukannya tersebut.

Dalam suatu peraturan perundang-undangan menurut Maria SW Sumardjono harus mencakup 3 (tiga) asas, yaitu:51

Pemenuhan asas keadilan dalam suatu peraturan perundang-undangan belum cukup karena masih memerlukan dipenuhinya syarat kepastian hukum. Kepastian hukum akan tercapai apabila suatu peraturan dirumuskan secara jelas sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang beragam dan dapat menjadi pedoman untuk pelaksanaan yang sama dan bahwa peraturan yang ada akan dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten, disarming itu kepastian hukum akan tercapai bila peraturan yang diterbitkan memenuhi persyaratan formal berkenaan dengan bentuk pengaturan sesuai tata urutan peraturan perundang-undangan dan secara substantial materi yang diatur tidak tumpang tindih atau bahkan bertentangan dengan peraturan lain yang relevan yang lebih tinggi tingkatannya (sinkron secara vertikal) ataupun bertentangan dengan peraturan lain yang sejajar tingkatannya (sinkron secara horizontal). Materi suatu peraturan perundang-undangan banyak tergantung pada proses pembuatannya. Transparansi di dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dapat menambah bobot kepastian hukum. Hal ini disebabkan karena masyarakat lugas dapat mengetahui tentang materi yang akan diatur dan diberi kesempatan untuk memberikan masukan yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan untuk kelengkapan atau penyempurnaan peraturan itu. Asas ketiga yang perlu diperhatikan dalam suatu peraturan perundang-undangan adalah kemanfaatan peraturan akan ditaati Karena masyarakat merasa yakin akan manfaatnya, yakni memberikan kemungkinan tercapainya kebutuhan dan kepentingannya untuk berkembang secara wajar.

51Maria SW Sumardjono,kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep Penguasaan

(55)

2. Gugatan Perdata Sengketa Tanah di Pengadilan Umum

Dalam perkara ini berlaku ketentuan-ketentuan perdata seperti KUHPerdata dan ketentuan lain di luarnya, seperti Undang-Undang Pokok Agraria.

Tugas dan kewenangan badan peradilan perdata adalah menerima, memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa diantara pihak yang berperkara. Subjek sengketa diatur sesuai Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang diubah menjadi UU NO. 35 Tahun 1999, sekarang menjadi Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004.

Menyelesaikan sengketa di pengadilan umum digunakan hukum acara perdata yang bertujuan untuk memelihara dan mempertahankan hukum perdata materil.52 Dalam peradilan tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata (burgerlijk rechtsorde), menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara.53 Gugatan perdata ada tiga jenis yaitu:

1. Gugatan Permohonan atau Gugatan Voluntair adalah permasalah perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasa hukumnya yang ditujukan kepada ketua Pengadilan Negeri. Ciri khas gugatan ini adalah : masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata (for the benefit of one party only).54 Gugatan ini diajukan hanya untuk kepentingan pemohon semata, tidak bersentuhan dengan hak dan kepentingan orng lain, jadi prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (without disputes or difference with

52

K. Wantjik Saleh,Hukum Acara Perdata, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997, hlm. 7

53R. Soepomo,Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005,

hlm. 13.

(56)

another party). Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, jadi bersifatex-parte, misalnya permohonan hak waris oleh seorang anak setelah orang tuanya meninggal dunia, permohonan ini untuk kepentingan sepihak (on behalf of one party).

2. GugatanContentiosa.

Kewenangan badan peradilan menyelesaikan perkara diantara para pihak disebut yurisdiksi contentiosa, Gugatannya berbentuk gugatan contentiosa atau disebut yurisdiksi contentiosadengan demikian yurisdiksi dan gugatan contentiosa berbeda atau berlawanan dengan yurisdiksi gugatan voluntair yang bersifat sepihak

(ex-parte)

GugatanContentiosaini yang disebut sebagai gugatan perdata dalam praktik di pengadilan negeri, pasal 118 ayat (1) HIR mempergunakan istilah gugatan perdata, tapi dalam pasal-pasal selanjutnya disebut gugatan atau gugat saja seperti dalam Pasal 118 dan 120.

Sudikno Mertokusumo juga mempergunakan istilah gugatan, yakni berupa tuntutan perdata (burgerlijk vor denj) sehubungan dengan hak yang dipersengketakan dengan pihak lain.55 Berdasarkan keterangan di atas bisa dikatakan bahwa gugatan perdata adalah gugatan contentiosa yang mengandung sengketa para pihak, penyelesaiannya di pengadilan, posisi para pihak seperti berikut:

1. Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai penggugat(plaintiff = planctus, the party who institutes a legal actionor claim).

(57)

2. Sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian disebut dan berkedudukan sebagai tergugat (defendant, the party against whom a civil action is brought).

Dengan demikian ciri yang melekat pada gugatan perdata adalah:

a. Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa (disputes, differences).

b. Sengketa terjadi diantara para pihak, paling sedikit dua pihak.

c. Gugatan perdata bersifat partai (party), dengan komposisi: pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai tergugat.

Surat gugatan diajukan penggugat atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri pada daerah hukumnya atau domisili tergugat sesuai Pasal 118 HIR, Pasal ini mengatur dua hal yakni kempentesi atau kekuasaan relative serta cara mengajukan gugatan.

Selain peraturan pokok ini masih ada peraturan tambahan yaitu:

a) Jika kedua pihak memilih tempat tinggal spesial dengan akta yang tertulis, maka penggugat, jika ia mau memajukan gugatannya ke ketua pengadilan negeri di daerah hukum tempat tinggal yang dipilih itu (Pasal 118 ayat 4).

b) Jika tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal, maka yang berkuasa mengadili ialah Pengadilan Negeri tempat kediaman tergugat.

(58)

atau jika mengenai benda yang tidak bergerak (misalnya tanah), maka gugatan diajukan ke ketua Pengadilan Negeri di daerah hukum barang itu terletak (Pasal 118 ayat 3).

Dalam surat gugatan yang diajukan ke ketua Pengadilan Negeri ada tiga hal yang harus termaktub yaitu:

a. Keterangan lengkap tentang pihak yang digugat seperti nama, alamat, dan pekerjaan.

b. Dasar gugatan (fundamentum petendi) bagian posita yang memuat uraian tentang atau peristiwa hukum yang memuat uraian tentang fakta-fakta atau peristiwa hukum (rechtfeiten) yang menjadi dasar gugatan, juga aspek hukum sengketa, tapi tanpa harus menyebutkan pasal-pasal perundang-undangan atau aturan hukum termasuk hukum adat, Hakim dalam putusannya nanti yang akan menyebut rujukan itu jika dianggap perlu (positum).56

c. Hal yang dimohon atau dituntut penggugat agar diputuskan pengadilan, oleh hakim dirumuskan dalampetitum (pokok tuntutan).

d. Tuntutan dapat dirinci menjadi dua jenis yakni tuntutanprimairyang merupakan tuntutan pokok dan tuntutansubsidair, yang merupakan tuntutan pengganti bila yang pokok ditolak hakim.57

56R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, cv. Mandar Maju, 2005, hlm. 9. 57Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,

Referensi

Dokumen terkait