• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyalahgunaan Wewenang oleh Lurah Dalam Membuat Surat Keterangan Tanah Yang Berfungsi Sebagai Alas Hak Atas Tanah Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 593 5707 SJ, TAHUN 1984)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyalahgunaan Wewenang oleh Lurah Dalam Membuat Surat Keterangan Tanah Yang Berfungsi Sebagai Alas Hak Atas Tanah Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 593 5707 SJ, TAHUN 1984)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERAN KEPALA DESA ATAU LURAH DAN CAMAT DALAM KEIKUTSERTAANNYA UNTUK MELAKSANAKAN

PENDAFTARAN TANAH

A. Kepala Desa dan Lurah

Kepala Desa adalah pemimpin dari desa di Indonesia. Kepala Desa merupakan pimpinan dari pemerintah desa. Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 (enam) tahun, dan dapat diperpanjang lagi untuk satu masa jabatan berikutnya. Kepala Desa tidak bertanggung jawab kepada Camat, namun hanya dikoordinasikan saja oleh Camat. Jabatan Kepala Desa dapat disebut dengan nama lain, misalnyawali nagari (Sumatera Barat), pembakal (Kalimantan selatan), hukum tua (Sulawesi Utara),perbekel (Bali),kuwu (Cerebon dan Indramayu).

Wewenang Kepala Desa antara lain:

1. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

2. Mengajukan rancangan peraturan desa.

3. Menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD 4. Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai Anggaran

Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa), untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD

(2)

lembaga kemasyarakatan merangkap jabatan sebagai DPRD, terlibat dalam kampanye Pemilihan Umum, Pemilihan Presiden, dan Pemilihan Kepala Daerah.

Kepala Desa dapat diberhentikan atas usul Pimpinan BPD Kepala Bupati/ Walikota melalui Camat, berdasarkan keputusan musyawarah BPD.

Istilah Lurah seringkali rancu dengan jabatan Kepala Desa, di Jawa pada umumnya, dahulu pemimpin dari sebuah desa dikenal dengan istilah Lurah, tapi dalam konteks Pemerintahan Indonesia, sebuah kelurahan dipimpin oleh Lurah, sedangkan desa dipimpin oleh Kepala Desa. Tentu saja keduanya berbeda, karena Lurah adalah Pegawai Negeri Sipil yang bertanggung jawab kepada Camat, sedangkan Kepala Desa bisa djabat oleh siapa saja yang memenuhi syarat (bisa berbeda-beda antar desa) yang dipilih oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).36

Kepala Desa dipilih langsung melalui Pemilihan kepala Desa (Pilkades), oleh penduduk desa setempat. Usia minimal Kepala Desa adalah 25 tahun, dan Kepala Desa haruslah berpendidikan paling rendah SLTP, penduduk setempat. Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa dilakukan oleh Panitia Pemilihan, dimana dibentuk oleh BPD, dan anggotanya terdiri dari unsur perangkat desa, pengurus lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat.

Cara pemilihan Kepala Desa dapat bervariasi antara desa satu dengan lainnya. Pemilihan Kepala Desa dan masa jabatan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat

(3)

hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku hukum adat setempat.

B. Camat

Camat dapat diangkat untuk menjabat sebagai PPAT, maka kedudukan Camat, selain sebagai perangkat daerah juga diberikan kewenangan sebagai PPAT yang sifatnya sementara atau disebut PPAT-Sementara. Disebut sementara karena posisi jabatan tersebut tidak dipangku untuk selamanya tetapi hanya semasa camat yang bersangkutan memegang jabatan Camat di tempat tugas kecamatannya setelah disumpah dan menjalankan prosedur pengangkatan Camat di daerah itu, apabila yang bersangkutan pindah tugas baik masih sebagai camat di daerah lain maupun sebagai pejabat di instansi lain, maka jabatan PPAT-nya juga lepas dengan sendirinya dengan kata lain putus hubungan hukum dengan tugas-tugasnya selaku PPAT.

Jabatan sementara juga dimaksud apabila di daerah kecamatannya telah cukup pejabat umum (Notaris) sekalipun yang bersangkutan tetap memegang jabatan sebagai camat, maka dengan sendirinya jabatan PPAT-nya dapat diberhentikan.

(4)

Luasnya wilayah Republik Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat banyak dan karena adanya tuntutan terlaksananya pembinaan masyarakat diberbagai sector, maka Menteri Dalam Negeri atas nama Pemerintah Pusat melimpahkan wewenangnya kepada pejabat-pejabat yang ada di daerah untuk melakukan pembinaan.

Para pejabat yang dimaksud adalah Kepala Wilayah yang merupakan penguasa tunggal wilayahnya. Mereka merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat dan bukan hasil pilihan rakyat melalui pemilu. Pengertian Camat ini dapat dilihat dalam kamus Umum Bahasa Inidonnesia, yaitu Pegawai Pamong Praja yang mengepalai Kecamatan.Dasar hukum Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Sementara dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor: 37, Tahun 1998 yaitu:

Untuk melayani masyarakaat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan Akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa dalam hal tertentu kepala Badan dapat menunjuk camat dan/atau Kepala Desa karena jabatannya sebagai PPAT- Sementara.

(5)

dibuatnya antara lain reportorium (daftar dari akta-akta yang telah dibuat), yang berisikan nama dari penghadap, sifat aktanya, jual-beli, hibah, tanggal akta dibuatnya dan nomornya, identitas dari tanahnya/surat dan luas tanahnya beserta bangunan yang termasuk permanen, semi permanen, darurat dan tanaman yang ada dan lain-lain keterangan.

Camat sebagai PPAT –Sementara mempunyai kewajiban untuk mengirimkan daftar laporan akta-akta PPAT-Sementara setiap awal bulan dari bulan yang sudah berjalan kepada Badan Pertanahan Nasional Propinsi/Daerah, kepala Perpajakan, dan Kepala Kantor Pajak Bumi dan Bangunan, selain itu PPAT-Sementara juga mempunyai kewajiban membuat papan nama, buku daftar akta, dan menjilid akta serta warkah pendukung akta.

PPAT mempunyai tugas yang penting dan strategis dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah yaitu membuat akta peralihan hak atas tanah, tanpa bukti berupa akta PPAT, para Kepala Kantor Pertanahan dilarang mendaftar perbuatan hukum yang bersangkutan.

(6)

Lurah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pemerintahan dan kemasyarakatan di daerahnya.

C. Alas Hak Atas Tanah

Alas hak adalah alat bukti dasar seseorang dalam membuktikan hubungan hukum antara dirinya dengan hak yang melekat atas tanah. Oleh karenanya sebuah alas hak harus mampu menjabarkan kaitan hukum antara subjek hak (individu maupun badan hukum) dengan suatu objek hak (satu atau beberapa bidang tanah) yang ia kuasai. Artinya, dalam sebuah alas hak sudah seharusnya dapat menceritakan secara lugas, jelas dan tegas tentang detail kronologis bagaimana seseorang dapat menguasai suatu bidang tanah sehingga jelas riwayat atas kepemilikan terhadap tanah tersebut.

Alas hak bentuknya bermacam-macam, namun dalam bahasan ini dipersempit pada pokok pembahasan tentang alas hak yang menelaah dalam konteks atau yang berhubungan dengan pendaftaran Pendaftaran Tanah Pertama kali Khususnya alas hak terhadap tanah-tanah Negara yang akan dimohonkan penerbitan sertipikat hak miliknya.

(7)

Negara yang belum terdaftar haknya pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tidak sama seperti status tanah-tanah yang sudah melekat dan diakui hak di atasnya seperti Hak atas tanah Ulayat, Tanah Marga/Kaum, Eigendom dan lain sebagainya. Dalam menentukan suatu bidang tanah merupakan tanah Negara atau bukan juga harus diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Konteks pendaftaran tanah pertama kali/proses penerbitan sertipikat hak milik atas tanah yang bersal dari tanah-tanah Negara baik yang dilakukan secara Sistematis (terprogram) maupun Sporadis (inisiatif personal) maka prosedur pelaksanaannya dilakukan dengan cara Pemberian Hak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara/Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Pengelolaan. Lebih jauh lagi peraturan tersebut menjelaskan bahwa Pemberian Hak Atas Tanah adalah “Penetapan pemerintah yang memberikan hak atas tanah Negara”, termasuk pemberian hak di atas tanah Hak Pengelolaan.

(8)

Kenyataannya yang banyak terjadi di beberapa daerah kabupaten/kota khususnya pada level Pemerintah desa/kelurahan yang tidak begitu memahami atau bahkan menyepelekan persoalan alas hak sebagaimana disebutkan di atas, terlebih terhadap tanah-tanah Negara yang belum terdaftar haknya di Kantor Pertanahan Kabupaten/kota, tidak sedikit produk pemerintah desa/kelurahan berupa alas hak atas tanah yang dilihat terbalut rapi dengan title sampul “surat Keterangan Tanah “ atau SKT namun tidak serapi isinya. Lebih jauh dari itu, SKT malah justru menjadi momok atau hal yang menakutkan bahkan kerap dianggap menjadi “bom waktu” yang kapan saja bisa memunculkan ledakan permasalahan, sengketa tanah di pengadilan. Betapa tidak, begitu banyak perkara sengketa kepemilikan tanah yang disidangkan hanya karena begitu mudahnya Kepala Desa/Lurah menerbitkan sebuah SKT tanpa dibarengi dengan tertib adminstrasi atas SKT yang telah diterbitkan di desa/kelurahan tersebut.

Alas hak harusnya mampu menjelaskan secara detail tentang kronologis riwayat kepemilikan tanah secara beruntun sampai dengan pemegang kepemilikan tanah yang terakhir. Aspek hubungan hukum dari sebuah perbuatan hukum antara Subyek hak dengan Obyek tidak boleh terputus dan harus terus saling bertalian riwayat kepemilikannya antara pemilik awal dengan pemilik selanjutnya. Jika unsur-unsur tersebut terpenuhi maka SKT (Surat Keterangan Tanah) tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu alas hak.

(9)

untuk menerangkan kepemilikan tanah-tanah negaara, meski pada kenyataannya malah banyak SKT yang memburamkan atau mengaburkan riwayat atas kepemilikan tanah.

Pemerintah desa/Kelurahan adalah satuan pemerintahan terkecil dalam struktur ketatanegaraan di Republik Indonesia, dalam presfektif Hukum Administrasi Negara, pemerintah desa/kelurahan memiliki peranan yang cukup besar dalam mengatur ketatausahaan pemerintahannya dan berakibat vital atau sangat penting terhadap kelangsungan administrasi pemerintahan di atasnya (yaitu pemerintah kecamatan, kabupaten/kota, propinsi dan seterusnya), tapi tampaknya peranan ini belum begitu berjalan mulus dalam hal penyusunan administrasi pertanahan di masing-masing wilayah desa/kelurahan.

Khusus dalam penerbitan administrasi pertanahan di desa-desa/kelurahan yang acak-acakan, menjadi alasan utama terhadap ketidakmampuan Desa/Kelurahan dalam menyajikan data administrasi pertanahan yang benar dan tepat, baik dalam hal kejelasan batas desa, jumlah tanah-tanah yang telah bersertipikat apalagi data kepemilikan tanah-tanah yang belum bersertipikat. Akibatnya, sengketa batas, perebutan lahan dan tumpang tindih kepemilikan menjadi topik utama di banyak media masya sehingga turut mewarnai kericuhan terhadap carut-marutnya sistem administrasi pertanahan di Indonesia.

(10)

memenggal riwayat kepemilikan tanah dalam menerbitkan SKT (surat keterangan tanah) dan sudah barang tentu produk alas hak yang bakal ia terbitkan juga akan mengaburkan kronologis riwayat tanahnya.

Faktor penyebab terpenggalnya riwayat tanah yang sering terjadi di lapangan biasanya disebabkan dua hal, pertama, unsur kesengajaan dari oknum Kepala desa/lurah yang mungkin karena ketidaktahuannya dengan sengaja menarik surat-surat bukti perolehan tanah yang lama telah dimiliki warganya dan dengan mudah menggantinya dengan surat-surat yang baru berupa SKT (Surat Keterangan Tanah), dan mengabaikan riwayat tanah yang tercantum dalam surat-surat bukti perolehan tanah yang lama. Hal demikian pada umumnya dilakukan sang oknum kepala desa/lurah dalam mengikuti program Pendaftaran Tanah Pertama Kali secara sistematik, misalnya program PRONA dengan tujuan pemungutan biaya SKT baru yang telah diterbitkannya. Kedua, minimnya pemahaman aparatur desa/kelurahan menyangkut hibah dan lain sebagainya baik sebagian maupun keseluruhan yang kemudian selalu diterbitkan SKT baru atas tanah untuk diberikan kepada pemilik baru, dan menarik SKT (Surat Keterangan Tanah) lama dari pemilik tanah yang sebelumnya padahal seharusnya tidak demikian.

(11)

bilamana terjadi perubahan data atas SKT tersebut bukan dilakukan dengan cara menerbitkan SKT dengan Nomor Register Desa yang baru pula, melainkan diterbitkan Surat Pemindahan Penguasaan Tanah atas peralihan sebagian maupun secara keseluruhan atas SKT sebelumnya.

SPOPP (Standar Prosedur Operasional Pelayanan Pertanahan) Kantor Pertanahan kabupaten/Kota atau yang sekarang lebih dikenal dengan SOPP menyebutkan bahwa sebuah alas hak sekurang-kurangnya terdiri dari Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah yang ditandatangani di atas materai secukupnya oleh subyek hak dengan memuat berbagai keterangan mengenai tanahnya meliputi, data diri pemilik, letak, batas dan luasnya, jenis tanahnya yang dikuasai (pertanian/Non Pertanian), Rencana Penggunaan Tanah, Status Tanahnya (Tanah Hak atau Tanah Negara), dan bagian yang paling penting adalah keterangan mengenai riwayat kepemilikan dan dasar perolehan tanah dimaksud secara beruntun kemudian ditandatangani 2 (dua) orang saksi dan dietahui oleh kepala desa/lurah dimana obyek tanah tersebut berada.

(12)

pihak-pihak yang berkepentingan agar membuat Surat Pemindahan Penguasaan Tanah yang isinya kurang lebih menceritakan sebab-sebab peralihan hak dan kewajiban atas tanah tesebut di antara para pihak yang berkepentingan dibubuhi tanda tangan di atas materai secukupnya diketahui 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani oleh kepala desa/lurah.

Sebaiknya untuk memelihara ketertiban admnistrasi pertanahan di pemerintahan tingkat desa/kelurahan, surat-surat bukti perolehan hak tersebut dibundel menjadi satu kesatuan alas hak yang siap untuk didaftarkan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, dan, pihak desa/kelurahan harus memiliki arsip atas surat-surat tanah tersebut sehingga perlahan namun pasti hal ini akan berakibat baik dalam peningkatan tertib administrasi pertanahan bahkan lebih dari itu hal ini diyakini akan memperpendek daftar register perkara pada pengadilan negeri yang pokok perkaranya menyangkut sengketa tanah.

D. Peran Kepala Desa/Lurah dan Camat dalam Pendaftaran Tanah melalui PRONA.

Tanah dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan dan kelangsungan hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun dampak bagi orang lain, untuk mencegah masalah tanah tidak sampa imenimbulkan konflik kepentingan dalam masyarakat, diperlukan pengaturan, penguasaan tanah atau disebut dengan hukum tanah.37

(13)

Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ditegaskan bahwa penyelenggaraan pendaftaran tanah adalah Badan Pertanahan Nasional dan pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan yang ada di setiap Kabupaten dan kota, pengecualian bagi kegiatan-kegiatan tertentu ditugaskan kepada pejabat lain yang ditetapkan dengan suatu peraturan perundang-undangan.38

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 594.III/4642/Agr, diperjelas bahwa pensertipikatan hak atas tanah diatur dengan 2 cara:

1. Golongan Ekonomi Lemah diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 220/1981, dimana biaya operasionalnya diberi subsidi dan anggaran Pemerintah Pusat melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Pendapatan Belanja Daerah.

2. Golongan yang mampu diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 189/1981 jo Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 226/1982, dimana biaya operasional dibebankan kepada swadaya para anggota masyarakat yang akan menerima sertipikat tersebut.39

Upaya pemerintah untuk membantu mengatasi kendala biaya dalam mengurus pendaftaran tanah bagi masyarakat ekonomi lemah, Pemerintah melalui Kantor Pertanahan Kota Medan melakukan kegiatan pensertipikatan secara massal melalui Proyek Operasional Agraria (PRONA), yaitu bertujuan untuk meringankan beban

38Tampil Anshari Siregar, Pendaftaran Tanah Kepastian Hak, Multi Grafik, Medan, 2007, Hal. 27.

(14)

masyarakat dalam mensertipikatan tanah dan membantu terlaksananya pendaftaran tanah di Indonesia.

PRONA adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah di bidang pertanahan pada umumnya dan di bidang pendaftaran tanah pada khususnya, yang berupa pensertipikatan tanah yang dilaksanakan secara serentak bersama-sama (massal) dan penyelesaian sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis.

Pensertipikatan tanah secara massal yang dilakukan oleh kantor Pertanahan sebenarnya sebagai perwujudan dari tertib administrasi di bidang pertanahan, untuk meningkatkan pelayanan bidang pertanahan, terutama bagi kepentingan golongan masyarakat ekonomi lemah.

Program PRONA merupakan kegiatan kantor pertanahan yang berkaitan dengan Instansi lain misalnya di Sumatera Utara dilaksanakkan melibatkkan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, khususnya kota Medan, Camat, dan Lurah setempat, Pemohon/Masyarakat Kelurahan tempat dilaksanakannya program PRONA, maka keikutsertaannya dibutuhkan adanya suatu koordinasi dan kinerja yang baik.

PRONA dilakukan secara terpadu dan diperuntukkan bagi seluruh lapisan masyarakat golongan ekonomi lemah yang berada di wilayah kelurahan dan kecamatan yang telah ditunjuk dan hanya membayar biaya yang telah ditetapkan.

(15)

desa/kelurahan, sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. Alat bukti tertulis salah satunya adalah kesaksian dari Kepala Desa/Lurah atau pengakuan bahwa yang bersangkutan benar pemegang hak yang berhak atas tanah.

Ajudikasi adalah suatu usaha dari pendaftaran atas tanah yang turun ke lapangan(pendaftaran awal) untuk mendaftarkan hak-hak atas tanah yang terdapat di suatu desa/kelurahan atau bagian dari desa tersebut karena himpunan terkecil untuk pendaftaran tersebut adalah desa/kelurahan kecuali HGU, HPL, HGB yang mungkin meliputi beberapa desa maka himpunannya adalah kabupaten/beberapa kabupaten. Ajudikasi ini akan menilai untuk pertama kali atas obyek yang akan didaftarkan tersebut, termasuk di dalamnya menilai hak yang ada secara pragmatis, mengumumkan tentang permohonan hak, mengumpulkan beberapa informasi tentang kebenaran hak tersebut baik fisik maupun yuridis, dan kemudian menerbitkan sertipikat hak atas tanahnya termasuk melakukan pengukuran (termasuk pemasangan patok-patok)memusyawarahkan jika ada sengketa batas haknya.

(16)

mengambil peluang dan kesempatan untuk memperoleh untung yang sebesar-besarnya bagi diri sendiri dan kelompoknya walaupun merugikan orang lain.

E. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972

Keberadaan Hak Penguasaan masih disebut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas tanah, yaitu (1). Hak Milik, (2). Hak Guna Usaha, (3). Hak Guna Bangunan, (4). Hak Pakai, (5). Hak Pengelolaan, (6). Hak Penguasaan, 7). Ijin Membuka tanah atas tanah Negara yang wewenangnya tidak dilimpahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota Kepala Daerah/Kepala Kecamatan.

Namun demikian, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentang ketentuan-ketentuan mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas tanah (diterbitkan pada tanggal 26 Juni 1973), sebagai peraturan untuk melaksanakan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972, tidak mengatur bagaimana tata cara pemberian Hak Penguasaan tersebut, sedangkan hak-hak lainnya sebagaimana ketentuan dalam pasal 12 PMDN Nomor 6 Tahun 1972, selain Hak Penguasaan diatur tata cara pemberian Haknya. Hal ini menunjukkan ketidakjelasan kedudukan Hak Penguasaan tersebut.

(17)

merupakan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah kepada Pemerintah Daerah Kota kotamadya Pekan Baru terhadap permohonan Hak Pengelolaan yang diajukan kepada Menteri Dalam Negeri atas tanah yang langsung dikuasai Negara bekas hak milik dan tanah Negara bekas Hak Pakai, dan sebagian lagi merupakan tanah-tanah dengan Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang belum bebas, dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri: SK.2/HPL/DA/72 tanggal 23 Februari 1972: SK.2/HPL/DA/72 tanggal 23 Februari 1972.

Referensi

Dokumen terkait