• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyalahgunaan Wewenang oleh Lurah Dalam Membuat Surat Keterangan Tanah Yang Berfungsi Sebagai Alas Hak Atas Tanah Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 593 5707 SJ, TAHUN 1984)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyalahgunaan Wewenang oleh Lurah Dalam Membuat Surat Keterangan Tanah Yang Berfungsi Sebagai Alas Hak Atas Tanah Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 593 5707 SJ, TAHUN 1984)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah adalah suatu benda yang memiliki nilai ekonomis tinggi, karena tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang sangat penting.

Tanah sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhannya, baik yang langsung untuk kehidupannya seperti untuk bercocok tanam atau tempat tinggal, maupun untuk melaksanakan usaha, seperti untuk tempat perdagangan, industri, pertanian perkebunan, pendidikan, pembangunan sarana dan prasarana lainnya.1

Kebutuhan akan tanah semakin lama semakin meningkat karena tingginya tingkat pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali, sementara jumlah tanah yang tersedia semakin menyempit karena luas tanah bersifat tetap dan terbatas.

Kedudukan tanah memiliki nilai yang cukup penting bagi manusia, karena merupakan satu-satunya kekayaan yang dalam keadaan apapun akan tetap dalam keadaan semula. Suatu kenyataan bahwa tanah merupakan tempat tinggal keluarga dan masyarakat, memberikan penghidupan dan merupakan tempat para warga yang meninggal dunia dikuburkan.

Menurut kepercayaan kelompok masyarakat adat, tanah merupakan pula tempat tinggal para dewa pelindung dan tempat roh para leluhur bersemayam.2Tanah

1Suardi,Hukum Agraria, Badan Penerbit IBLAM, Jakarta, 2005, hlm. 1

(2)

dianggap begitu penting sehingga timbullah naluri sebagai manusia untuk mempertahankan tanahnya, karena tanah itu diyakini sebagai wilayah kekuasaannya.

Tingginya tingkat kebutuhan akan tanah akan menimbulkan semakin tinggi pula permintaan akan tanah. Permintaan yang tinggi tanpa diimbangi oleh ketersediaan barang yang cukup di lapangan hanya akan melahirkan krisis dan pergesekan, jika hal ini tidak dibenahi maka sengketa tanah akan lebih parah lagi pada masa mendatang sebab laju pertumbuhan penduduk cenderung tidak terkendali.

Di Indonesia masalah sumber daya alam diatur dalam konstitusi sebagaimana terlihat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal ini secara prinsip memberi landasan hukum bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.3 Lebih lanjut, tanah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA No. 5 Tahun 1960) Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan, “bahwa”, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam didalamnya pada tingkat yang tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Berdasarkan hal tersebut, maka negara selaku badan penguasa atas bumi, air, ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya berwenang untuk mengatur dalam rangka mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Maksud Pasal 2 Ayat (1) UUPA adalah negara mempunyai kekuasaan mengatur tanah-tanah bebas yang belum dimiliki seseorang atau badan hukum akan langsung dikuasai oleh negara.4

3

(3)

UUPA selanjutnya menyatakan bahwa negara menentukan macam-macam hak atas tanah yang diberikan kepada orang maupun kepada badan hukum, oleh karena itu setiap pemegang hak atas tanah tidak akan lepas dari hak penguasaan negara karena kepentingan nasional berada di atas kepentingan individu atau kelompok, walaupun bukan berarti bahwa kepentingan individu atau kelompok dapat dikorbankan begitu saja dengan alasan untuk kepentingan umum.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia maka Pemerinatah akan melakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang menyebutkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.5

Adapun Peraturan Pemerintah, disingkat PP, untuk pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana yang diatur dalam UUPA adalah PP Nomor 10 Tahaun 1961 yang mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1961, yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 1997, yang berlaku pada tanggal 8 Oktober 1997.

Sebelum UUPA berlaku, Pendaftaran tanah yang dikenal saat ini adalah hanya pendaftaran untuk hak-hak atas tanah yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat, seperti hak Eigendom, Opstal dan sebagainya yang pendaftarannya dilakukan di Kantor Pendaftaran Tanah (Kadaster).

(4)

Pendaftaran tanah untuk golongan Bumi Putera tidak ada suatu ketentuan hukum pendaftaran tanah yang bersifat uniform yang mengatur, walaupun ada kita temukan beberapa pendaftaran secara sporadis, akan tetapai masih sederhana dan belum sempurna, seperti Grant Sultan, Grant Deli Mastchappij, dan lain-lain yang sudah berkembang dan menirukan sistem pendaftaran kadaster.

Pelaksanaan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia sebagaimana diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 belum dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan beberapa kendala seperti luasnya letak geografis Indonesia, sehingga memakan waktu yang lama untuk dilaksanakannya pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Faktor lainnya yang menjadi kendala pendaftaran tanah yang cukup tinggi adalah tingkat kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah dan sulitnya pendaftaran tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah hukum agraria nasional yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Undang-Undang (UU) pengaturan ini mengatur jenis-jenis hak atas tanah dalam aspek perdata dan aspek administrasi yang berisi politik pertanahan nasional, yang semuanya bertujuan untuk menciptakan

unifikasi hukum pertanahan di Indonesia. UUPA merupakan hukum agraria nasional yang di-saneerdari hukum adat.6

Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia sehingga diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai landasan konstitusi

(5)

Negara Republik Indonesia, dalam hal ini negara mempunyai wewenang untuk mengatur tentang hak-hak atas tanah dan melayani rakyat di bidang pertanahan. Kewenangan di bidang pertanahan tersebut dijalankan oleh Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai kantor pusat di Jakarta, kantor wilayah di setiap propinsi dan kantor-kantor pertanahan di setiap kota atau kabupaten.

Sungguh sangat disayang ternyata tidak adanya data yang akurat baik di pengadilan maupun di Badan Pertanahan Nasional (BPN) membuat sengketa tanah menjadi semakin parah, ditambah lagi dengan tidak adanya otoritas tunggal yang berwibawa dalam penanganan sengketa, membuat para calo tanah semakin leluasa mengail di air keruh. Carut – marut seperti ini membuat sengketa bisa tak berujung.

(6)

hukum menjadi tidak jelas, karena pemerintah daerah boleh membuat tafsiran sendiri.7

Bukan hanya sekedar penafsiran, tapi Kepala Desa/Lurah maupun Camat dapat membuat surat untuk menciptakan bukti tertulis dari tanah yang mereka kuasai apalagi di Indonesia masih banyak tanah yang belum terdaftar di kantor pertanahan maka masih banyak kita dapati di tengah-tengah masyarakat, surat-surat yang dibuat oleh para notaris ataupun surat-surat yang dibuat oleh para camat dengan berbagai ragam, tujuannya adalah untuk menciptakan bukti tertulis dari tanah-tanah yang mereka kuasai, walaupun tanpa melalui prosedur peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tanah-tanah yang belum dikonversi, maupun tanah-tanah yang dikuasai Negara kemudian diduduki oleh rakyat baik dengan sengaja ataupun diatur oleh kepala-kepala desa dan disahkan oleh para camat, seolah-olah tanah tersebut telah merupakan hak seseorang ataupun termasuk kategori hak-hak adat.Di daerah Sumatera Utara dikenal pula “Akta Camat” (surat yang dibuat oleh Camat baik sebagai bukti hak ataupun peralihan hak yang dibuat oleh atau di hadapan Camat).8

Namun sampai sekarang masih dipermasalahkan hak-hak dari para camat tersebut dalam membuat akta peralihan ataupun validitasnya oleh karena tidak ada suatu peraturan pun yang mendukungnya, dan Camat bukanlah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Kepala

7Elza Syarief,Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, KPG (kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, 20012, hlm. 8

(7)

Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

Sementara Kepala desa/Lurah dalam prakteknya jarang atau bahkan tidak sempurna mencatat ataupun memelihara daftar induk atau mencatat semua peralihan tersebut, dan yang ada hanya pengetahuan umum bahwa tanah tersebut memang milik seseorang dan berbatasan dengan tanah-tanah orang lain menurut patok-patok yang telah mereka sepakati.

Akibat peraturan-peraturan yang telah diterbitkan dalam pengelolaan keagrarian banyak yang tidak dikuasai oleh para Camat, hal ini terbukti ada banyak kesalahan didalam pembuatan akta tanah yang mereka lakukan. Kenyataan ini tentu merugikan masyarakat. Sudah selayaknyalah aparat desa/lurah beserta Camat memperluas pengetahuannya dibidang keagrariaan atau pertanahan terutama di bidang pendaftaran tanah agar tujuan pendaftaran tanah yang mereka dukung dapat tercapai dan terlaksana hingga terbitnya sertipikat yang banyak didambakan oleh masyarakat pemegang hak atas tanah yang tanahnya masih belum terdaftar di kantor pertanahan seperti apa yang diatur oleh Undang-Undang.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, menerangkan bahwa “buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu objek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya”.9 Sertipikat tanah yang diberikan itu akan memberikan arti dan peranan penting bagi pemegang hak yang bersangkutan yang berfungsi sebagai alat bukti hak atas tanah.

(8)

Namun dengan adanya sertipikat bukanlah jaminan bahwa tanah tersebut tidak ada sengketa, tetapi dengan adanya sertipikat tersebut dapat dijadikan sebagai pegangan dan kepastian hak atas subjek tanah tersebut bahwa tanahnya telah diukur, telah ditentukan batas-batasnya oleh yang berwenang untuk itu dan telah memberikan hak prerogatif terdaftar atas nama pemilik.

Apabila seseorang bermaksud untuk mengalihkan hak atas tanah dan atau bangunan yang dimilikinya, biasanya dapat dilakukan dengan cara jual-beli, hibah, tukar-menukar, pemisahan, pembagian harta warisan dan sebagainya.

Untuk memperoleh kekuatan hukum dalam mengalihkan hak atas tanah, maka sebaiknya semua perbuatan hukum tersebut dilakukan dihadapan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), agar akta yang dibuat menjadi otentik.

(9)

Terhadap tanah yang tidak bersertipikat atau tanah yang dikuasai oleh Negara, maka seseorang hanya boleh menguasaianya untuk diusahakan sehingga mendapat manfaat dari tanah tersebut, jika dilakukan jual-beli terhadap tanah tersebut berarti terjadi peralihan hak dari penjual kepada pihak pembeli yang diikuti dengan pembayaran sejumlah uang sebagai bentuk ganti kerugian atas peralihan hak atas tanah tersebut. Perlu ditegaskan dalam hal ini bahwa peralihan hak yang dimaksud dalam jual-beli ini adalah peralihan hak dalam arti hak menguasai dan mengusahakan tanah tersebut.

Namun bila di atas tanah tersebut terdapat bangunan, dan atau tanaman yang turut diperjual-belikan, maka hal ini dapat juga dilakukan pembuatan aktanya dengan cara melepaskan hak atas bangunan dan atau tanaman dan membayar sejumlah uang sebagai bentuk ganti kerugian terhadap bangunan dan atau tanaman tersebut.

Pasal 1868 Undang-Undang Hukum Perdata disingkat KUHPerdata sebagai dasar hukum Akta Notaris menyatakan bahwa, ”Akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akte dibuatnya.”10 Kronologis adanya penyalahgunaan wewenang oleh aparat desa terlihat melalui wawancara dengan Bapak Faili Siran, seorang warga yang bertempat tinggal di Kelurahan Besar, Kecamatan Medan Labuhan terungkap bahwa pada tanggal 18 Juni 2009, memperoleh undangan dari Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan, dengan nomor 593/01/KB/2009, melalui undangan tersebut Lurah Kelurahan Besar

(10)

memanggil Bapak Faili Siran, untuk menghadap atau hadir di kelurahan Besar, dan menyatakan bahwa Bapak Faili Siran telah mengerjakan lahan milik Hermanto Teja tanpa izin, dan bapak Faili Siran diminta membawa surat- surat bukti hak atas tanahnya.

Dalam hal ini yang menjadi kasus atau masalah awal adalah tanah milik Bapak Faili Siran yang dibeli dari Bambang Syahrial melalui jual-beli di bawah tangan dengan luas lahan 2063m2 yang dibeli pada tahun 1997 yang terletak di kelurahan Besar, Kecamatan Medan Labuhan, ketika jual-beli itu akan disyahkan muncullah masalah karena kepala lingkungan beserta lurah tidak mau membantu untuk pembuatan surat keterangan peralihan hak atas tanah tersebut, karena telah terjadi jual-beli lahan milik Bambang Syahrial kepada Bapak Faili Siran dan bahkan Kepala Lingkungan pada waktu itu memaksa kedua belah pihak untuk mengakui bahwa lahan yang menjadi objek jual-beli mereka adalah lahan milik Hermanto Teja, tentu kedua belah pihak tidak bersedia tapi pihak kelurahan menggunakan cara agar kedua belah pihak bersedia mengikuti kemauannnya yaitu dengan cara mengirimkan surat undangan kepada orang yang ditargetkan. Undangan pada dasarnya adalah spekulasi cara yang digunakan agar terkesan halus, karena undangan adalah panggilan halus pada si target tapi isi dan tujuannya bisa sangat keras karena merupakan suatu perintah atau paksaan agartarget orang yang dituju tersebut dengan suka rela atau paksa mau menerima dan memenuhi keinginannya.

(11)

membantu membuatkan surat peristiwa terjadinya jual-beli lahan tersebut, akhirnya diketahui bahwa lahan yang telah dialihkan dari Bambang Syahrial kepada Bapak Faili Siran, ternyata telah disertipikatkan atas nama PT. Kedayutama. Pada saat itu juga pihak Bambang Syahrial mengkonfirmasi untuk memperoleh kejelasan pada pihak PT. Kedayutama, mengapa lahannya telah disertipikatkan tanpa seijinnya dan tanpa ada pemberitahuan dari pihak PT. Kedayutama serta tanpa adanya ganti-rugi atas lahannya yang disertipikatkan secara sepihak atas nama PT. Kedayutama.

Akhirnya PT. Kedayutama hanya mau membayar lahan milik dari Bambang Syahrial yang telah dibangunnya saja, sedangkan sisa lahan yang belum dibangun oleh PT. Kedayutama, dia tidak mau membayarnya padahal lahan tersebut telah masuk dalam sertipikat atas nama PT. Kedayutama ketika Bambang Syahrial menuntut haknya yang diambil oleh pihak PT. Kedayutama tapi PT. Kedayutama malah melarikan diri untuk menghindari segala tuntutan akibat perbuatannya.

PT. Kedayutama adalah developer atau pengembang yang membangun perumahan pondok tangkahan indah yang selama ini lebih dikenal sebagai perumahan BTN TNI AL Martubung yang diperuntukkan bagi para pensiunan TNI AL, warakawuri, maupun pensiunan PNS TNI AL yang membutuhkan rumah tinggal pribadi, melalui ASABRI, jadi pihak TNI AL tidak berhak atas lahan aset milik PT. Kedayutama.

(12)

Desa Besar, jalan pasar 8 Tangkahan telah berakhir pada tanggal 9 (Sembilan), September), 2011 (dua ribu sebelas).

Kekosongan ini dimanfaatkan pihak lain yang ingin mengambil keuntungan dengan menggunakan nama orang lain, diantaranya yaitu pihak kelurahan, dengan menggunakan nama Hermanto Teja menyatakan bahwa lahan yang telah dibeli Bapak Faili Siran dari Bambang Syahrial adalah lahan milik Hermanto Teja.

Menurut pihak kelurahan dan kelompoknya Bapak Faili Siran hanyalah penggarap lahan milik Hermanto Teja tanpa ijin, jadi Bapak Faili Siran harus mengembalikan lahan yang telah dibelinya dari Bambang Syahrial kepada Hermanto Teja karena mau dijual pada orang lain yang mau membelinya, kalau tidak Bapak Faili Siran harus membayar uang yang diminta oleh Hermanto Teja sebagai ganti-rugi lahan yang diakuinya.

Pada tanggal 18 Juni 2009, dengan nomor 593/01/KB/2009, hal undangan Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan, memanggil Bapak Faili Siran, untuk menghadap atau hadir di kelurahan, dan menyatakan bahwa Bapak Faili Siran, sesuai pengaduan Hermanto Teja bahwa Bapak Faili Siran telah mengerjakan lahan miliknya tanpa izin dan Bapak Faili Siran diminta membawa surat kelengkapan miliknya.11

Menurut Bapak Faili Siran, surat undangan sebenarnya adalah surat panggilan hal ini tentu cukup mengejutkan baginya dan keluarganya. Menurut Bapak Idris,

(13)

warga Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan salah seorang pemuka masyarakat di perumahan BTN TNI AL Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan pengambilan lahan atau penyerobotan lahan dari pemilik tanah yang surat-surat kepemilihan tanahnya kurang lengkap atau lemah(belum bersertipikat) sering terjadi. Pemilik tanah seperti itu sering disebut penggarap liar atau mengusahai tanah orang lain tanpa izin.

Bapak Faili Siran menjelaskan bahwa tanah yang dikuasainya adalah tanah yang dibelinya melalui Bambang Syahrial pada tahun 1997, seluas 2063 m2.

Bukti kepemilikan hak atas tanah yang dimiliki oleh Bambang Syahrial adalah surat pernyataan melepaskan hak atas tanah nomor 593.83/322/SPMHAT/ ML-1994, tanggal 18 Juli 1994, setelah adanya kesepakatan antara Bapak Faili Siran dengan pihak Bambang Syahrial maka pembayaran sesuai dengan kesepakatan langsung dilakukan. Setelah dilakukan pembayaran, untuk memperkuat pelepasan hak yang mereka sepakati maka Bapak Faili Siran meminta kepada Bambang Syahrial untuk membantu pengurusan surat-surat yang berhubungan dengan pelepasan hak atas tanah tersebut.

Faktanya pihak kelurahan dan aparatnya tidak mau membantu tapi malah memaksa kedua belah pihak untuk mengakui bahwa lahan yang baru saja dibeli Bapak Faili Siran dari Bambang Sahrial adalah lahan milik Hermanto Teja, tentu kedua belah pihak tidak bersedia.

(14)

tanah dilakukan dengan bukti kwitansi pembayaran, solusi dari permasalahan itu agar surat tetap ada walaupun sekedarnya maka diangkatlah orang yang dianggap berpengaruh atau dianggap dihormati dan dipercayai masyarakat yaitu pemuka masyarakat setempat sebagai saksi untuk pembuatan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah pendukungnya bahwa telah terjadi pelepasan hak atas tanah dari Bambang Syahrial kepada Bapak Faili Siran.

Menurut Bapak Faili Siran yang bisa dilakukannya saat ini hanyalah bertahan, walaupun begitu Bapak Faili Siran tetap berusaha untuk memohon agar Kepala Lingkungan dimana lokasi tanah itu berada mau menjadi saksi dan memberi rekomendasi untuk membuat surat alas hak atas tanahnya atau surat keterangan tanah yang dimilikinya, tapi faktanya yang diberikan Kepala Lingkungan tersebut malahan memaksa kedua belah pihak untuk mengakui bahwa tanah yang diperjual-belikan itu adalah tanah milik Hermanto Teja, tentu kedua belah pihak tidak mau mengakuinya, dan akhirnya jual beli pun dilakukan dengan menggunakan jual-beli di bawah tangan dengan bukti pengalihan hak melalui kwitansi pembayaran dan bukti sekedarnya yang bisa dilakukan.

(15)

izin dari si pemilik yang sebenarnya, dan beliau diwajibkan untuk membawa surat-surat kepemilikan atas tanah yang dikuasainya.

Kenyataan itu tentu membuat keluarga Bapak Faili Siran kaget, dan karena Bapak Faili Siran tidak bersedia memenuhi keinginan Lurah melalui surat undangan tersebut maka Lurah beserta Kepala Lingkungannya langsung mengeksekusi tanah yang dikuasai Bapak Faili Siran di lapangan dengan mendatangkan kepala-kepala lingkungan yang disebutkan dalam surat undangan beserta orang – orang yang tak dikenal dan memaksa Bapak Faili Siran untuk melepaskan hak atas tanahnya karena akan segera di jual melalui nama Hermanto Teja tanpa memperdulikan Bapak Faili Siran dan keluarganya mereka beramai-ramai mengukur tanah secara paksa, sehingga akhirnya Bapak Faili Siran mengambil keputusan untuk melaporkan perbuatan sewenang-wenang aparat desa beserta Hermanto Teja itu ke polisi dengan nomor laporan No.Pol : STPL/1345/VI/2009/KP3-LAB. Setelah laporan diterima polisi, muncullah orang yang selama ini mengakui bernama Hermanto Teja.

Hermanto Teja memberikan surat kepada Bapak Faili Siran beserta keluarganya, tertanggal 16 (enam belas) Juli 2009 (dua ribu sembilan) bahwa dia mengakui tanah yang dikuasai Bapak Faili Siran dan keluarganya adalah tanah miliknya.

(16)

maupun lahan yang ada dihadapannya berdasarkan surat yang dimilikinya dan luas tanah yang dimilikinya, tapi menurut Hermanto Teja dia tidak tahu dimana letak tanahnya karena waktu membeli tanah itu, yang tahu dimana posisi tanahnya adalah kepala lingkungan yang menjadi saksi hidup, kata Hermanto Teja. Jadi dia sendiri tidak tahu dimana sebenarnya tanah miliknya, maka ia menyerahkan sebagai penunjuk tanahnya yang sebenarnya adalah lurah dan kepala lingkungan.12

Bagaimana mungkin seorang pemilik tanah yang mengakui memiliki tanah tersebut sudah puluhan tahun dimilikinya tapi dia tidak tahu dimana posisi tanahnya sementara orang lain yang memiliki tanah seberapa pun luasanya sejengkal saja tanahnya diambil oleh orang lain maka dia akan tahu dimana tanah yang diambil orang bagaimana bentuknya tapi nyatanya dalam kasus ini si Hermanto Teja yang mengakui memiliki tanah tidak tahu dimana tanahnya dan posisi tanahnya.

Pemecahan masalah untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi, Bapak Faili Siran pernah menyampaikan permohonan bantuan hukum kepada Lantamal I Belawan, pada tahun 2009, dan pihak Lantamal I menunjuk Diskum Lantamal I untuk memediasi permasalahan tersebut, dimana Bapak Faili Siran dipertemukan dengan Bapak Hermanto Teja guna mencari solusi terbaik.

Dalam pertemuan itu pihak TNI AL menegaskan melalui surat Komandan Armada RI Kawasan Barat Pangkalan Utama TNI AL I Nomor Surat 13/440,

(17)

VIII/2006, perihal tanah di Perumahan Martubung, yang pada intinya bahwa TNI AL tidak memiliki tanah di Perumahan BTN TNI AL Martubung

Dalam pertemuan antara pihak Hermanto Teja dengan keluarga bapak Faili Siran, Hermanto Teja terbukti tidak memiliki tanah yang dituntutnya seperti yang dikatakan oleh Surat Undangan Lurah, Nomor : 593/01/KB/2009, hal undangan tapi walaupun begitu pihak Hermanto Teja beserta aparat desa yang diakui oleh Hermanto Teja sebagai penunjuk lahan miliknya dan menurutnya sekaligus sebagai saksi hidup tanah miliknya tetap memaksa menjual tanah yang bukan miliknya.

(18)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana peranan lurah dalam keikutsertaannya untuk melaksanakan pendaftaran tanah?

2. Bagaimana tanggungjawab lurah atau camat jika ternyata surat yang dikeluarkannya tidak dapat diterima sebagai syarat pendaftaran tanah karena tanahnya telah terdaftar atas nama orang lain?

3. Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mempertahankan hak atas tanah miliknya jika ternyata haknya terbukti diselewengkan oleh oknum lurah atau camat?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui peranan lurah dalam keikutsertaannya untuk melaksanakan pendaftaran tanah.

(19)

3. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mempertahankan hak atas tanah miliknya jika ternyata haknya terbukti diselewengkan oleh oknum lurah atau camat.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam memproses ilmu pengetahuan.13 Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul, 14 oleh karena itu penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum, dengan melakukan penelitian hukum diharapkan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan.

Bertitik tolak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas, diharapkan dengan penelitian ini akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis dan praktis di bidang hukum yaitu :

1. Secara Teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk penambahan khasanah kepustakaan di bidang keperdataan khususnya tentang masalah pendaftaran tanah, penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lapangan serta akibat-akibatnya, terhadap masyarakat, aparaturnya dan hukum tanah itu sendiri.

2. Bagi segi praktis, penelitian ini sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan bagi para pihak yang berkepentingan khususnya bagi masyarakat.

13

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008) hal. 10.

(20)

Penyimpangan-penyimpangan di dalam pendaftaran tanah itu ternyata ada, terutama yang dimulai dari tingkat bawah atau dasar yaitu tingkat kelurahan yang dilakukan oleh staf kelurahan itu sendiri.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada, penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian yang membicarakan masalah penyalahgunaan wewenang oleh Lurah dalam membuat surat keterangan tanah/alas hak atas tanah, oleh karena itu penelitian ini baik dari segi objek permasalahan dan substansi adalah asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan ilmiah. Adapun judul penelitian yang ada kaitannya masalah alas hak atas tanah yang pernah ditulis adalah:

1. Dayat Limbong (002105028), Alas Hak Atas Tanah yang Dikuasai Rakyat pada Areal Perkebunan PTPN II di Kabupaten Deli Serdang.

2. Helena (067011002), Eksistensi dan Kekuatan Alat Bukti Alas Hak Berupa Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi yang Dibuat Dihadapan Notaris atau Camat Studi di Kabupaten Deli Serdang.

3. Noni Syahputri (077011082), Tinjauan Yuridis Terhadap Alas Hak di Bawah Tangan Sebagai Dasar Penerbitan Sertifikat dan Implikasinya terhadap Kepastian Hukum.

4. Donald Padmali (107011060), Perlindungan Hukum terhadap Bank atas Konflik Alas Hak dari Hak Tanggungan.

(21)

Alas Hak Surat Pernyataan yang Kemudian Dinyatakan Palsu (Studi kasus No. 01/Pdt/6/2007/PN.RGT).

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa “perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori. Teori diartikan sebagai suatu sistem yang berisikan proposisi-proposisi yang telah diuji kebenarannya. Apabila berpedoman pada teori, maka seorang ilmuwan akan dapat menjelaskan, aneka macam gejala sosial yang dihadapinya walaupun hal itu tidak selalu berarti adanya pemecahan terhadap masalah yang dihadapi.15

“Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, teori adalah konstruksi di alam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam pengalaman (ialah yang tersimak bersaranakan indera manusia), sehingga tak pelak lagi bahwa berbicara tentang teori seseorang akan dihadapkan kepada dua macam realitas, yang pertama adalah realitas in abstracto yang ada di alam idea imajinatif, dan kedua adalah padanannya yang berupa realitasin concretoyang berada dalam pengalaman inderawi.16

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan kebenarannya.17

15Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, UI-Pres, Jakarta, 1984, Hal.6. 16

Soetandyo Wignjosoebroto,Teori, Apakah itu?Makalah Kuliah Program Doktor – UNDIP, Semarang, 2003, Hal. 1.

(22)

Menurut W.L. Neuman, yang pendapatnya dikutip dari Otje Salman dan Anton F. Susanto yang menyebutkan bahwa :

“teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”.18

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/ petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum.

Kerangka teori dapat diartikan sebagai kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, tesis si penulis mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang mungkin disetujui, yang merupakan masukan eksternal dalam penelitian ini.19

Oleh karena itulah teori hukum yang digunakan sebagai pisau analisis dalam membedah persoalah-persoalan dalam penelitian ini diantaranya adalah teori kewenangan. Adapaun teori kewenangan yang digunakan dalam membedah persoalan-persoalan dalam penelitian ini menggunakan teori Kewenangan (outhority) dari H.D. Stoud

“Istilah teori kewenangan berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu authority of theory, istilah yang digunakan dalam Bahasa Belanda, yaitu theorie van het gezaq, sedangkan dalam Bahasa Jerman, yaitu theorie der

(23)

autoritat. Teori kewenangan berasal dari dua suku kata, yaitu teori dan kewenangan”.20

Fokus kajian teori kewenangan adalah berkaitan dengan sumber kewenangan kewenangan dari pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum, baik dalam hubungannya dengan hukum public maupuun dalam hubungannya dengan hukum privat.21

Pengertian kewenangan menurut H.D. Stoud adalah:

Bevoegheid wet kab worden omscrevenals het gehel van bestuurerchttlijke Bevoegdheden door publiekrchtelijke rechtssubjecten in het bestuurechtelijke

rechtsverkeer. (Wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan

aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum public dalam hukum publik).22

Ada dua unsure yang terkandung dalam pengertian konsep kewenangan yang disajikan oleh H.D. Stoud, yaitu:

1. Adanya aturan-aturan hukum, maksudnya adalah sebelum kewenangan itu dilimpahkan kepada institusi yang melaksanakannya, maka terlebih dahulu harus diatur dalam Peraturan Perundang-undangan, apakah dalam bentuk undang-undang, Peraturan Pemerintah maupun aturan yang lebih rendah lainnya.

2. Sifat hubungan hukum adalah sifat atau tindakan yang berkaitan dengan hukum, baik bersifat publik maupun bersifat privat.23

20Halim HS, Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2013, Hal. 183.

21

Id. Hal. 193. 22

Stout HD,de Betekenissen van de wet, dalam Sonny Pungus,Teori Kewenangan, (online), http://Sonny–tobelo.bolgspot.com/2011/01/teori kewenangan.html, diakses 25 April 2014.

(24)

Indroharto mengemukakan, tiga macam kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan. Kewenangan itu meliputi:

1. Atribusi 2. Delegasi, dan 3. Mandat.

1.1 Atribusi ialah kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan, baik yang sudah ada maupun yang baru sekali, seperti MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama dengan pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan untuk tingkat daerah adalah DPRD dan pemerintah daerah yang melahirkan peraturan daerah. Presiden berdasarkan suatu ketentuan undang-undang dapat mengeluarkan peraturan pemerintah dimana diciptakan wewenang pemerintah kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara (TUN) tertentu.

1.2 Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dimiliki oleh pemerintahan kepada organ yang lain. Dalam delegasi ada suatu penyerahan kewenangan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang.

(25)

mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat.

Philipus M. Hadjon membagi cara memperoleh wewenang atas dua cara, yaitu:

a. Atribusidan.

b. Delegasidan kadang-kadang jugamandat.24

Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materil. Atribusi juga dikatakan sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Kewenangan yang didapat melalui atribusi itu diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan terutama UUD 1945. Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat keputusan oleh pejabat Tata Usaha Negara kepada pihak lain, dengan penyerahan ini ada perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi kepada yang menerima delegasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain:

1. Delegasi harus ditetapkan, artinya delegasi tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;

2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;

(26)

3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hirarki kepegawaian tidak diperkanankan adanya delegasi;

4. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya penerima delegasi

(delegans), berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan

tersebut;

5. Peraturan kebijakkan, artinya penerima delegasi (delegans) memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

Mandat diartikan sebagai pelimpahan wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat.25

Dengan memahami kewenangan yang meliputi atribusi, delegasi dan mandat, maka diketemukan juga batas kewenangan yang meliputi isi/ materi, wilayah dan waktu. Cacat dalam aspek-aspek tersebut menimbulkan cacat kewenangan (onbevoegdheid), cacat isi (onbevoegdheid ratione materi), cacat tempat (onbevoegdheid ratione loci), dan cacat waktu (onbevoegdheid ratione temporis).26

Tugas untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia dibebankan kepada pemerintah yang oleh pasal 19 ayat (1), Undang-Undang Pokok Agraria, ditentukan bertujuan tunggal, yaitu untuk menjamin kepastian hukum.27

25Id., at Hal. 195-196. 26

Bambang Eko Supriadi, Hukum Agraria Kehutanan, aspek Hukum Pertanahan dalam Pengelolaan Hutan Negara,Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2013, Hal. 77.

(27)

Adanya hak-hak atas tanah yang harus didaftarkan sesuai dengan apa yang diperintahkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, Nomor 5 tahun 1960, Pasal 19, bahwa untuk menjamin kepastian hukum, maka hak-hak atas tanah harus didaftarkan, menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang terkait didalamnya

Pasal 6 ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, menegaskan bahwa dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Pejabat lain yang membantu melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam pendaftaran tanah.adalah pejabat dari Kantor Lelang, Pejabat pembuat Akta ikrar wakaf, dan Panitia Ajudikasi.

Ketentuan tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur dalam Pasal 7 peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu:

1. PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

2. Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil Menteri dapat menunjuk PPAT Sementara.

3. Peraturan jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(28)

1. Pejabat pembuat Akta Tanah (PPAT).

PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu tentang hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang menjadi PPAT di sini adalah seseorang yang merangkap menjadi Notaris atau mantan pejabat dari Badan Pertanahan Nasional setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional.

2. PPAT Sementara.

PPAT Sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. PPAT Sementara ini adalah Kepala Kecamatan. 3. PPAT Khusus

PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanakan program atau tugas pemerintah tertentu. PPAT Khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang dissebut secara khusus dalam penunjukkannya.

(29)

1. Camat yang wilayah kerjanya berada di dalam daerah Kabupaten/Kota yang formasi PPAT-nya belum terpenuhi dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara. 2. Surat Keputusan Penunjukkan Camat sebagai PPAT Sementara ditandatangani

oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.

3. Untuk keperluan penunjukkan sebagai PPAT Sementara, Camat yang bersangkutan melaporkan pengangkatannya sebagai PPAT Sementara kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan melaporkan salinan atau foto copy keputusan pengangkatan tersebut.

4. Penunjukkan Kepala Desa sebagai PPAT Sementara oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah diadakan penelitian mengenai keperluannya berdasarkan letak desa yang sangat terpencil dan banyaknya bidang tanah yang sudah terdaftar di wilayah tersebut.

Berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997 maka setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah

Hukum pada hakekatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. “Sesuatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan.28

(30)

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah “mewujudkan keadilan

(rechtsgerechtiqheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum

(rechtszekerheid)”.29 “Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith, guru besar dalam bidang filosofis moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow University pada tahun 1750, telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice)”30 Smith mengatakan bahwa : “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the end of justice is to secure from injury)

Menurut Satjipto Raharjo :

Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak disetiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.31

Kekuasaan yang tidak terbatas dan tak terukur akan menimbulkan kekuasaan yang sewenang-wenang dan akibatnya akan merugikan orang lain dan bahkan bukan tidak mungkin akan dapat menghancurkan orang lain tersebut.

Max Weber, mengatakan, bahwa kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauan

29 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta : Gunung Agung, Tbk, 2002, hal. 85

30Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato Pada Pengukuhan Sebagai Guru Besar Universitas Sumatera Utara – Medan, 17 April 2004, hal. 4-5 sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, ”Adam Smith on Law”, Valvarasio University Law Review, Vol. 15, 1981 hal. 244.

(31)

sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan tertentu.

Gary A Yuki (1989), mengatakan bahwa, kekuasaan adalah potensi agen untuk mempengaruhi sikap dan perilaku orang lain (target person), sementara David dan Newstroom (1989), membedakan kekuasaan kewenangan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, sedangkan wewenang merupakan pendelegasian dari manajemen yang lebih tinggi jadi dapat disimpulkan, kekuasaan atau power berarti suatu kemampuan untuk mempengaruhi orang atau merubah orang atau situasi.

Semua teori yang dipaparkan di atas dijadikan sebagai pisau analisis untuk mengkaji dan memahami lebih jauh tentang penyimpangan yang terjadi pada pendaftaran tanah yang dimulai dari tingkat dasar yaitu tingkat kelurahan yang berupa penyalahgunaan wewenang dalam membuat surat keterangan tanah/alas hak atas tanah yang dilakukan oleh kelurahan, kemudian memahami objek yang diteliti. sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum seperti yang ditentukan dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Teori pendukung lain atau wacana yang berikutnya dalam analisis ini adalah teori keadilan,32merupakan teori yang menganalisis dan menjelaskan tentang tujuan pendaftaran tanah, jika dilakukan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang oleh aparatnya maka dapat dipastikan akan terjadi ketidakadilan dan

(32)

wenangan terhadap masyarakat pemegang hak atas tanah yang haknya merasa dirampas, dibodohi dan dizolimi.

Teori pengayoman sebagai teori pendukung lainnya. Hukum melindungi manusia secara aktif dan pasif. Secara aktif, dengan memberikan perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat dan mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang manusiawi. Melindungi secara pasif adalah memberikan perlindungan dalam berbagai kebutuhan, menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan sehingga manusia yang diayomi dapat hidup damai dan tentram.33

2. Kerangka Konsepsi

Konsep berasal dari Bahasa Latin Conceptus yang memiliki arti sebagai kegiatan atau proses berpikir, daya berpikir khususnya penalaran dan pertimbangan. Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisis operasional

Konsep merupakan bagian terpenting daripada teori. Konsep dapat dilihat dari 2 (dua) segi, yaitu segi subyektif dan dari obyektif. Konsep dipandang dari segi subyektif adalah merupakan suatu kegiatan intelektual untuk menangkap sesuatu, sedangkan konsep dari segi obyektif, merupakan sesuatu yang ditangkap oleh

(33)

kegiatan intelektual tersebut. Hasil dari responsibilitas akal manusia itulah yang dinamakan konsep.

Adapun uraian konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Alas Hak adalah dasar penerbitan sertipikat kepemilikan atas tanah yang dapat dijadikan sebagai alat pembuktian data yuridis atas kepemilikan atau penguasaan suatu bidang tanah baik data yuridis atas kepemilikan secara tertulis, ataupun berdasarkan keterangan saksi.

2. Kekuasaan adalah kemampuan untuk bertindak atau memerintah sehingga dapat menyebabkan orang lain bertindak, pengertian disini harus meliputi kemampuan untuk membuat keputusan mempengaruhi orang lain dan mengatasi pelaksanaan itu biasanya dibedakan antara kekuasaan yang berarti dalam kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sehingga dapat menyebabkan orang lain tersebut bertindak dan wewenang yang berarti hak untuk memerintah orang lain.

3. Penyalahgunaan wewenang dapat diartikan tidak hanya dalam arti sempit yaitu sebagai suatu kecurangan, sehingga ada banyak sinonim yang digunakan untuk mendefenisikan kecurangan diantaranya :

a. Menurut pernyataan Fraoud Exoniners Manual yang mendefenisikan kecurangan sebagai keuntungan yang diperoleh dari seseorang dengan cara menghadirkan sesuatu yang palsu.

(34)

(1). Pasal 362 KUHP yaitu, pencurian (defenisi, mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum).

(2) Pasal 368 KUHP, pemerasan dan pengancaman defenisi KUHP: “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang, seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu, atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan utang”.

(3). Pasal 372 KUHP, Penggelapan (defenisi KUHP : dengan sengaja melawan hukum memiliki sesuatu barang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.

(4). Pasal 378 KUHP, Perbuatan curang (defenisi KUHP: “dengan maksud sengaja untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, atau pun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu barang kepadanya, atau supaya memberikan hutang atau mampu menghapuskan piutang”).

G. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan Dan Spesifikasi Penelitian

(35)

spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis, karena melalui penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara komprehensif mengenai seberapa jauh implementasi yang telah dilakukan oleh instrumen hukum agraria yang berkaitan dengan pendaftaran dan penyimpangan-penyimpangan aparat maupun pejabat desa/kelurahan dan kecamatan dalam pembuatan surat keterangan hak kepemilikan atas tanah atau alas hak atas tanah yang merupakan syarat mutlak atau absolut untuk mendaftarkan hak atas tanah sesuai apa yang diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) maupun untuk pajak bumi dan bangunan, tanah atau lahannya dan keperluan lainnya yang berkaitan dengan hak kepemilikan tanahnya.

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian hukum normatif, yaitu meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.34

2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut :

a. Penelitian kepustakaan

Penelitian kepustakaan dilakukan baik untuk memperoleh bahan primer, seperti peraturan perundang-undangan, bahan sekunder, seperti buku-buku, majalah, dokumen, dan lain-lain.

b. Penelitian lapangan

(36)

3. Analisis Data

Dalam penelitian ini data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif, yaitu metode penelitian yang bertitik tolak dari norma-norma asas-asas dan peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma-norma hukum positif yang kemudian dianalisis secara kualitatif, sehingga tidak menggunakan rumus ataupun angka.

Metode kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.35

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengkaji lebih dalam tentang kekuatan pembuktian Surat Keterangan Camat sebagai alas hak kepemilikan atas tanah, keabsahan jual beli tanah yang disertai dengan dokumen

SURAT PERJANJIAN JUAL BELI TANAH Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : RASBI Tempat, Tanggal Lahir : Cilacap, 10 Februari 1968 Alamat : DK Pesetran RT 01 RW 03 Desa