BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA
D. Metode Pengayaan
Pembersihan sampel sangat penting dalam suatu analisis, terutama untuk
sampel dengan matriks kompleks. Sebelum sampel diinjeksikan dalam instrumen
yang digunakan, sampel terlebih dahulu dipisahkan dari pengotor, jika tidak akan
mengganggu deteksi bahkan dapat merusak kolom pada instrumen. Pengotor pada
sampel dapat dihilangkan dengan menggunakan metode pengayaan. Pada metode
pengayaan, analit dipertahankan dan tertahan pada kolom sedangkan matriks
komponen pengotorakan melewati kolom kemudian akan dibuang bersama fase
gerak pertama. Analit yang tertahan dalam kolom diambil dengan cara mengaliri
fase gerak kedua. Solid phase extaction (SPE) merupkan contoh dari metode pengayaan (Anonim g, 2012)
E. Solid Phase Extaction (SPE)
Solid Phase Extaction (SPE) merupakan alternatif metode ektraksi yang cepat, mudah, dan ekonomis karena secara signifikan mengurangi volume pelarut
organik yang dibutuhkan. SPE digunakan untuk mengekstrak senyawa dari cairan
matrik dan dapat juga digunakan sebagai metode pemurnian (Escribano dan
Santos, 2010).
SPE merupak teknik yang relatif baru dan cepat berkembang sebagai alat
utama yang digunakan untuk pra-perlakuan sampel atau clean-up sampel yang kotor. Keunggulan SPE dibandingkan dengan ekstraksi cair-cair:
a. Proses ekstraksi lebih sempurna
b. Pemisahan analit dari pengganggu yang mungkin ada menjadi lebih
efisien
c. Mengurangi pelarut organik yang digunakan
d. Fraksi analit yang diperoleh lebih mudah dikumpulkan
e. Mampu menghilangkan partikulat
f. Lebih mudah diotomatisasi (Rohman, 2009).
Dua strategi yang digunakan untuk menyiapkan sampel menggunakan
SPE. Strategi pertama adalah dengan memilih pelarut yang mampu menahan
semua analit yang dituju pada penjerap yang digunakan, sementara itu
senyawa-senyawa yang lain akan terelusi. Analit yang dituju selanjutnya dielusi dengan
menggunakan sejumlah kecil pelarut organik yang akan mengambil analit yang
tertahan pada penjerap. Strategi ini bermanfaat jika analit yang dituju berkadar
dituju keluar (terelusi), sementara senyawa pengganggu tertahan pada penjerap
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Tahapan pertama menggunakan SPE adalah dengan mengkondisikan
penjerap menggunakan pelarut yang sesuai. Penjerap nonpolar seperti C18 dan
penjerap penukar ion dikondisikan dengan mengalirinya menggunakan metanol
lalu aquadest. Pencucian yang berlebih menggunakan air akan mengurangi
recovery analit. Penjerap-penjerap polar seperti diol, sianol, amino, dan silika harus dibilas dengan menggunakan pelarut nonpolar seperti metilen klorida
(Rohman, 2009).
Ada empat tahapan dalam prosedur SPE, yaitu:
a. Pengkondisian. Catridge (penjerap) dialiri dengan menggunakan pelarut sampel untuk membasahi permukaan penjerap dan untuk menciptakan nilai pH
yang sama, sehingga perubahan-perubahan kimia yang tidak diharapkan ketika
sampel dimasukan dapat dihindari.
b. Retansi (tertahannya) sampel. Larutan sampel dilewatkan ke catridge baik untuk menahan analit yang dituju, sementara komponen lain terelusi atau untuk
menahan komponen yang tidak diharapkan sementara analit yang dituju
terelusi.
c. Pembilasan. Tahap ini penting untuk menghilangkan seluruh komponen yang
tidak tertahan oleh penjerap selama tahap retensi.
d. Elusi. Tahap ini merupakan tahap akhir untuk mengambil analit yang dituju
Gambar 3. Skematik prosedur SPE
F. Kromatografi Gas 1. Definisi dan instrumentasi
Kromatografi merupakan metode pemisahan dan identifikasi senyawa
dari suatu campuran atas dasar perbedaan distribusi komponen diantara dua fase
yaitu fase diam dan fase gerak. Dimana kedua fase ini memiliki kepolaran yang
berbeda (Hendayana, 2006).
Kromatografi gas adalah teknik pemisahan yang mana solut-solut yang
mudah menguap dan stabil dengan pemanasan bermigrasi melalui kolom yang
mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio
distribusinya (Gandjar dan Rohman, 2007).
Menurut Hendayana (2006), kromatografi gas diaplikasikan untuk
pemisahan suatu senyawa kimia yang mudah menguap tanpa terdekomposisinya
fase diam (stationery phase) dan fase gerak (carrier gas) gas pembawa yang memalui fase diam. Analisis menggunakan kromatografi gas merupaksan salah
organik maupun anorganik dalam suatu campuran baik berupa pasta, cair maupun
gas.
Komponen utama dari instrumentasi kromatografi gas yakni kolom dan
penyedia gas pembawa, ruang suntik sampel, kolom yang diletakan dalam oven
yang dikontrol secara termostatik, sistem deteksi dan pencatat (detektor dan
recorder), dan komputer yang dilengkapi dengan perangkat pengolah data. Komponen utama tersebut dapat dilihat melalui diagram sebagai berikut:
Gambar 4. Diagram sistem kromatografi gas
a. Gas pembawa. Gas pembawa pada kromatografi gas juga disebut fase gerak
karena berfungsi untuk membawa solut ke kolom, tanpa mempengaruhi
selektifitas. Syarat gas pembawa adalah tidak reaktif, murni, dan dapat
disimpan dalam tangki tekanan tinggi (Gandjar dan Rohman, 2007).
Hidrogen, helium, nitrogen, dan argon adalah gas yang paling sering
dipakai sebagai gas pembawa. Karena gas disimpan pada silinder bertekanan
tinggi maka gas tersebut akan mengalir secara cepat sambil membawa
komponen-komponen campuran yang akan atau sudah dipisahkan. Oleh karena
kromatografi gas hanya memerlukan waktu yang relatif cepat (Hendayana,
2006)
b. Ruang suntik sampel. Ruang suntik atau inlet berfungsi untuk mengantarkan sampel ke dalam aliran gas pembawa. Sampel yang akan dikromatografi
dimasukan kedalam ruang suntikkan melalui lubang yang ditutup dengan
septum atau pemisah karet. Ruang suntik harus dipanaskan tersendiri dan
biasanya 10°-15°C lebih tinggi daripada suhu kolom supaya seluruh sampel
segera menguap setelah disuntikan (Gandjar dan Rohman, 2007).
c. Kolom. Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena
didalamnya terdapat fase diam (Hendayana, 2006). Menurut Gritter (1991), ada
dua jenis kolom dalam kromatografi gas yaitu kolom kemasan (packing column) dan kolom kapiler (capillary column). Kolom kemasan terdiri atas fase cair yang tersebar pada permukaan penyangga inert yang terdapat pada tabung yang diameternya besar (diameter dalam 1-3 mm). Berikut ini
merupakan tabel perbandingan kolom kemasan dan kolom kapiler
Tabel II. Perdedaan kolom kemasan dan kolom kapiler
Parameter Kolom kemasan Kolom kapiler Tabung Baja tahan karat
Silika dengan
kemurnian yang sangat tinggi (kandungan logam <1ppm) Panjang 1-5 m 5-60 m Diameter dalam 2-4 mm 0,10-0,53 mm Jumlah lempeng/meter 1000 5000 Total lempeng 5000 300.000 Tebal lapisan film 10 mikron 0,05-1 mikron Resolusi Rendah Tingggi Kec.alir (mL/menit) 10-60 0,5-1,5
Pipa kolom dapat terbuat dari tembaga, baja nikarat, aluminium, dan kaca
yang berbentuk lurus, lengkung atau melingkar (Mc Nair, 1988). Panjang
kolom yang dikemas cukup beragam, dapat beberapa cm sampai 15 meter.
Panjang kolom analit biasanya 1-3 meter. Kolom yang lebih panjang
menghasilkan jumlah pelat teori dan daya pisah yang lebih besar. Kecepatan
gas pembawa berubah selama bergerak melalui kolom, jadi hanya pada bagian
kolom yang lebih pendek saja bekerja pada laju alir yang optimum. Ini berarti
dengan menggunakan kolom yang sangat panjang, jumlah pelat dan daya pisah
menurun kembali. Di samping itu kolom yang panjang membutuhkan tekanan
pemasukkan yang sangat tinggi. Tekanan yang tinggi menimbulkan masalah
pada cara penyuntikkan dan pencegahan kebocoran gas. Tetapi, keuntungan
kolom yang panjang ialah kapasitas cuplikan sebanding dengan banyaknya fase
cair dalam kolom. Ini berarti kita dapat menyuntikkan lebih banyak cuplikan ke
dalam kolom panjang (Mc Nair, 1988).
d. Fase diam. Pemilihan fase diam yang tepat merupakan parameter terpenting
dalam kromatografi gas. Ciri utama yang diperlukan fase diam ialah bahwa
fase itu dapat melarutkan senyawa yang dipisahkan sampai pada taraf tertentu
(Mc Nair, 1988).
e. Suhu. Suhu meliputi tiga hal yaitu suhu gerbang suntikan, suhu kolom, dan
suhu detektor. Suhu gerbang suntikan harus cukup panas untuk menguapkan
cuplikan dalam waktu yang cepat sehingga tidak menghilangkan analit yang
disebabkan oleh cara penyuntikkan yang salah. Suhu kolom harus cukup tinggi
rendah sehingga pemisahan yang dikehendaki tercapai. Untuk kebanyakan
cuplikan, semakin rendah kolom, semakin tinggi nisbah koefisien partisi dalam
fase diam sehingga hasil pemisahan semakin baik. Pada beberapa kasus kita
tidak dapat menggunakan suhu kolom yang cukup rendah, terutama bila
cuplikan terdiri atas senyawa yang rentang titik didihnya lebar. Suhu pada
detektor bergantung pada jenis detektor yang digunakan, tetapi sebagai dasar
dapat dikatakan bahwa detektor dan sambungan antar kolom dan detektor harus
cukup panas sehingga cuplikan dan fase diam tidak mengembun. Pelebaran
puncak dan menghilangnya puncak komponen merupakan ciri khas terjadinya
pengembungan (Gandjar dan Rohman, 2007).
f. Detektor. Detektor merupakan perangkat yang diletakkan pada ujung kolom
tempat keluarnya fase gerak (gas pembawa) yang membawa komponen hasil
pemisahhan. Detektor pada kromatografi adalah suatu sensor elektronik yang
berfungsi mengubah sinyal gas pembawa dan komponen-komponen di
dalamnya menjadi sinyal elektronik (Gandjar dan Rohman, 2007).
Menurut Gandjar dan Rohman (2007), detektor pada kromatografi gas
termasuk detektor diferensial, yang berarti respon yang keluar dari detektor
memberikan relasi yang linear dengan kadar atau laju aliran massa komponen
yang teresolusi. Kromatogram yang merupakan hasil pemisahan fisik
kompoen-komponen oleh kromatografi gas disajikan oleh detektor sebagai
deretan luas puncak terhadap waktu. Waktu tambat tertentu dalam
digunakan sebagai data kuantitatif yang keduanya telah dikonfirmasikan
dengan senyawa baku.
Salah satu detektor yang digunakan pada kromatografi gas adalah
detektor penangkap elektron (Electron Capture Detector, ECD). Detektor ini dilengkapi dengan sumber radio aktif yaitu tritium (3Hi) atau (63Ni) yang
ditempatkan pada elektroda. Tegangan listrik yang dipasang antara katoda dan
anoda tidak terlalu tinggi, antara 2-100 volt (Gandjar dan Rohman, 2007).
Dasar kerja dari detektor ini adalah penangkap elektron oleh senyawa
yang mempunyai afinitas terhadap elektron bebas, yaitu senyawa yang
mempunyai unsur elektronegatif. Bila fase gerak (gas pembawa N2) masuk ke
dalam detektor maka sinyal β akan mengionisasi molekul N2 menjadi ion-ion N2- dan menghasilkan elektron bebas yang akan bergerak ke anoda dengan
lambat. Dengan demikian, di dalam detektor terdapat semacam awan ektron
bebas yang dengan lambat menuju anoda. Elektron-elektron yang terkumpul
pada anoda akan menghasilkan arus garis dasar (baseline current) yang steady
dan memberikan garis dasar pada kromatogram. Bila kompoen sampel
(senyawa dengan unsur elektronegatif) dibawa fase gerak masuk ke dalam
ruang detektor yang dipenuhi awan elektron, maka senyawa ini akan
menangkap elektron sehingga membentuk ion molekul negatif. Ion molekul ini
akan dibawa fase gerak, akibatnya setiap partikel negatif dibawa keluar dari
detektor berarti menyingkirkan satu elektron dari sistem, sehingga arus listrik
yang steady tadi akan berkurang. Pengurangan arus ini akan dicatat oleh rekorder sebagai puncak pada kromatogram (Gandjar dan Rohman, 2007).
2. Validasi metode analisis
Validasi metode analisis dapat diarikan sebagai suatu prosedur yang
digunakan untuk membuktikan bahwa metode analisis tersebut dapat memberikan
hasil seperti yang diharapkan dengan kecermatan dan ketelitian yang memadai
(Mulja dan Suharman, 1995). Menurut Harmita (2004), validasi metode analisi
adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan
percobaan laboratorium untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi
persyartan untuk penggunaannya.
Adapun parameter-parameter yang digunakan sebagai pedoman metode
analisis adalah:
a. Akuras. Akurasi atau kecermatan adalah ukuran yang menunjukan derajat
kedekatan hasil analit dengan kadar analit yang sebenarnya. Akurasi
dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan (Harmita, 2004).
Tabel III. Perolehan kembali menurut Horwitz dan AOAC (Gonzalez danHerrador, 2007)
b. Presisi. Persisi merupakan ukuran yang menunjukkan tingkat kesesuaian antara
hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata
jika prosedur ditetapkan secara berulang pada sampel yang diambil dari
campuran yang homogen. Suatu metode memiliki presisi yang baik apabila
memiliki nilai % RSD < 2%. Namun tergantung dari sampel dan kondisi analit
(Harmita, 2004)
Tabel IV . Batas % RSD menurut Horwitz dan AOAC (Gonzalez dan Herrador 2007)
c. Linearitas dan rentang. Linearitas merupakan kemampuan suatu metode (pada
rentang tertentu) untuk mendapatkan hasil uji yang secara langsung
proporsional dengan konsentrasi (jumlah) analit di dalam sampel. Rentang
adalah jarak antara level terbawah dan teratas dari metode analisis yang telah
dipakai untuk mendapatkan presisi, linearitas, dan akurasi yang bisa diterima
memenuhi koefisien kolerasi (r) >0,99 atau r2≥ 0,997 (Chan, Lee, Herman, dan Xue, 2004).
d. LOD (Limit of Detection) dan LOQ (Limit of Quantitation). Limit of Detection
adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi dan masih
memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. Limit of quantitation adalah konsentrasi atau jumlah analit terkecil yang dapat dikuantifikasi dengan presis dan akurasi yang cocok. Limit of quantitation
merupakan parameter kuantitatif untuk analit dalam suatu matriks dengan
konsentrasi kecil dan digunakan untuk menentukan jumlah pengotor atau
jumlah sampel yang terdegradasi (Chan, Lee, Herman, dan Xue, 2004).