• Tidak ada hasil yang ditemukan

Validasi metode analisis deltametrin dalam air dan aplikasinya pada penetapan laju disipasi deltametrin menggunakan model lingkungan perairan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Validasi metode analisis deltametrin dalam air dan aplikasinya pada penetapan laju disipasi deltametrin menggunakan model lingkungan perairan."

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

Intisari

Deltametrin merupakan pestisida golongan piretoid. Dalam penggunaan yang tidak sesuai, residu deltametrin dapat masuk ke lingkungan perairan. Dalam lingkungan perairan deltametrin akan cepat hilang karena terjadi akumulasi di tanah dan terdegradasi oleh cahaya. Tujuan dari penelitian ini adalah menetapkan laju disipasi deltametrin dalam lingkungan perairan dan keamanan air yang tercemar pestisida deltametrin.

Pada umumnya kadar deltametrin dalam air pada kisaran parts per trillion (ppt) sehingga perlu pemekatan agar dapat dideteksi dengan kromatografi gas detektor penangkap elektron. Penelitian ini menggunakan metode pengayaan dengan SPC 18 dan instrumen yang digunakan adalah kromatografi gas detektor penangkap elektron. Metode ini perlu divalidasi sebelum digunakan untuk mengetahui laju disipasi deltametrin dalam air.

Metode penelitian ini memiliki validitas yang baik dari sisi linearitas, akurasi, dan presisi. Laju disipasi deltametrin dalam lingkungan perairan relatif cepat dan besarnya laju

disipasi deltametrin 1,34 dan 2,45 μg/hari berturut-turut pada konsentrasi 0,17 dan 0,34 μg/L dan air yang tercemar pestisida deltametrin aman dikonsumsi oleh manusia.

(2)

ABSTRACT

Deltamethrin is a class of pesticides pyrethroid. Inappropriate use of, deltamethrin residues can be through into the aquatic environment. In the aquatic environtment deltamethrin will quickly disappear due to the accumulation in soil and degrated by light. The purpose of this study was to establish the rate of dissipation deltamethrin in aquatic environments and security of contamination deltamethrin in the water.

Generally, the levels of deltamethrin in the water are on the range of ppt so it needs to be concentrated and detected by gas chromatography electron capture detector.This study used an enrichment method with SPC 18 and the instrument used the gas chromatography electron capture detector. This method needs to be validated before used to determine the rate of dissipation deltamethrin in the water.

The method of this study has a good validity in terms of linearity, accuracy, and precision. The rate of deltamethrin dissipation in the aquatic environments is 1,34 dan 2,45

μg/day for concentration 0,167 dan 0,34 μg/L, it’s relative quickly. It shows that water which is contaminated dy deltamethrin is safe for human consumption.

(3)

i

VALIDASI METODE ANALISIS DELTAMETRIN DALAM AIR DAN APLIKASINYA PADA PENETAPAN LAJU DISIPASI DELTAMETRIN

MENGGUNAKAN MODEL LINGKUNGAN PERAIRAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Kristina Nety Indriati 098114034

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

vi

(9)

vii

PRAKATA

Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penyusunan skripsi yang

berjudul “Validasi Metode Analisis Deltametrin dalam Air dan Aplikasinya pada

Penetapan Laju Disipasi Deltametrin Menggunakan Model Lingkungan Perairan”.

dengan baik dan lancar.

Dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi ini, penulis

banyak mendapatkan bantuan doa, bimbingan, arahan, saran dan kritik yang

membangun dari banyak pihak. Maka dari itu, penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Prof. Dr. Sri Noegrohati Apt. selaku Dosen pembimbing utaman yang telah

memberikan pengarahan, bantuan, tuntunan, kritik, dan saran sejak awal

penelitian hingga akhir penyusunan skripsi ini.

3. Sanjayadi, M.Si. selaku Dosen pembimbing pendamping yang telah

memberikan pengarahan, bantuan, tuntunan, kritik, dan saran sejak awal

penelitian hingga akhir penyusunan skripsi ini.

4. Jefrry Julianus, M.Si. selaku dosen penguji atas segala masukan dan

bimbingannya.

5. Enade Perdana I, Ph.D., Apt. selaku dosen penguji atas segala masukan dan

(10)

viii

6. Rini Dwiastuti, M.Sc. atas segala bantuan dalam perijinan penggunaan

laboratorium.

7. Segenap dosen yang telah berkenan membagikan ilmu kepada penulis selama

belajar di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

8. Darius Bardiyat dan Sumarni, orang tua yang selalu memahami dan

memberikan motivasi dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan

pendidikan sampai menjadi seorang sarjana dengan pribadi yang kuat dan

tegar.

9. Yani Widayanti, Novita Dwi Hastuti, Agustinus Aharnoko, Dwi Anggoro, dan

Ignatius Dwi yang selalu memberikan dorongan semangat dan doa terutam

saat kejenuhan dan keputusasaan datang.

10.Dina Christin atas semua waktu, kesabaran, bantuan serta dukungan.

11.Margaretta Dyah, Diah Intan Sari, Eling Monika atas doa dan dukungan

kepada penulis.

12.Teman seperjuangan skripsi Oei Johanes Darma H.S, kebersamaan dan suka

dukanya.

13.Mas Bimo, Pak Parlan, Pak Kunto, Pak Kethul, Mas Wagiran, Pak Ottok dan

seluruh staf laboratorium Fakultas Farmasi serta staf keamanan dan kebersihan

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta atas bantuan dan kerjasamanya.

14.Teman-teman FST A 2009 dan seluruh angkatan 2009 atas doa dan dukungan

yang diberikan kepada penulis.

15.Seluruh pihak, yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas yang telah

(11)

ix

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian dan

penyusunan skripsi ini mengingat keterbatasan dan kemampuan penulis, sehingga

sangat diharapkan adanya masukan dan saran yang membangun untuk penulis.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan berguna bagi dunia ilmu

pengetahuan.

(12)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN………... ii

HALAMAN PENGESAHAN………. iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ...………... vi

PRAKATA………... vii

DAFTAR ISI………... x

DAFTAR TABEL……….. xv

DAFTAR GAMBAR……….. xvi

DAFTAR LAMPIRAN………... xvii

INTISARI………... xviii

ABSTRACT……….. xix

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang………. 1

1. Perumusan Masalah ……….. 3

2. Keaslian Penelitian ………. 3

3. Manfaat Penelitian ………... 4

B. Tujuan Penelitian ………... 4

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 5

(13)

xi 1.Definisi dan Instrumentasi………... 2.Validasi Metode Analisis ………..…...

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ………... 27

C.Bahan Penelitian………...………... 28

(14)

xii

E. Tata Cara Penelitian ………..

1. Optimasi dan Validasi Metode Analisis ……….

a. Pembuatan Larutan Stok Deltametrin...

b. Pembuatan Larutan Intermediet ...

c. Pembuatan Kurva Baku...

d. Presisi Kromatografi Gas...

e. Optimasi SPE C18 ...

f. Optimasi Pembersihan Wadah...

g. Penetapan % recovery, Akurasi, Presisi, Limit of Quantification

dengan Prosedur Standar Adisi...

2. Penentuan Konsentasi Deltametrin Dalam Air yang Diaplikasikan

pada Laju Disipasi Deltametrin ………...

3. Penetapan Laju Disipasi Menggunakan Model Lingkungan

Perairan………...

F. Tata Cara Evaluasi Hasil... 29

(15)

xiii

e. Laju Disipasi...

G. Rancangan Penelitian... 33

34

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Metode Analisis Deltametrin dalam Air.………...

1. Uji Kesesuaian Sistem………...

a. Optimasi Instrumen Kromatografi Gas...

b. Sensitivitas Kromatografi Gas...

c. Presisi Kromatografi Gas...

d. Linearitas Kromatografi Gas... ...

2. Preparasi Sampel……….

a. Optimasi SPE C18...

b. Optimasi Pembersihan Wadah...

3. Validasi Metode Analisi ………

a. Akurasi ...

b. Presisi...

c. Limit of Quantification... d. Pengaruh Matriks terhadap Prosedur Analisis...

B. Penentuan Konsentasi Deltametrin Dalam Air yang akan

Diaplikasikan Pada Laju Disipasi Deltametrin...

C. Disipasi Deltametrin dalam Lingkungan Perairan...

D. Karakterisasi Resiko Residu Pestisida Deltametrin Dalam Air...

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

(16)

xiv

B. Saran... 55

DAFTAR PUSTAKA ………. 56

LAMPIRAN ………... 59

(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel I Kelarutan deltametrin... 8

Tabel II Perdedaan kolom kemasan dan kolom kapiler... 19

Tabel III Perolehan kembali menurut Horwitz dan AOAC... 23

Tabel IV Batas % RSD menurut Horwitz dan AOAC... 24

Tabel V Hasil optimasi kromatografi gas ………... 37

Tabel VI LOD kurva baku deltametrin... 38

Tabel VII % RSD waktu retensi dan luas puncak DCB ……….. 39

Tabel VIII % Recovery wadah yang dibilas dan tidak dibilas metanol... 44

Tabel IX Hasil % recovery.………... 45

Tabel X % CV dari standar adisi... 46

Tabel XI Uji F standar deviasi kurva daku dan adisi... 48

Tabel XII Uji signifikansi slope kurva baku dan kurva adisi……….... 48

Tabel XIII Rata-rata jumlah ikan yang mati hingga 96 jam……... 49

Tabel XIV Konsentrasi deltametrin yang terukur……… 50

(18)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur deltametrin ………...……... 8

Gambar 2. Kanal sodium...………... 12

Gambar 3. Skematik prosedur SPE...……… 17

Gambar 4. Diagram sistem kromatografi gas………. 18

Gambar 5. Aquarium yang berisi 40 L air dan ikan nila... 34

Gambar 6. Kurva baku linearitas rentang bawah... 38

Gambar 7 Kromatogram DCB... 39

Gambar 8. Kurva baku deltametrin 1...……… 40

Gambar 9. Kurva baku deltametrin 2...……… 40

Gambar 10. Kromatogram deltametrin yang dielusi menggunakan metanol...…… 43

Gambar 11. Hubungan kurva baku dan kurva adisi replikasi I, II, dan III...……….. 47

Gambar 12. Hubungan antara hari vs kadar deltametrin...……….... 51

Gambar 13. Hubungan antara hari vs In kadar deltametrin ……... 52

(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data optimasi kromatografi gas... 60

Lampiran 2. Contoh kromatogram DCB dan deltametrin... 60

Lampiran 3. Data rasio luas puncak kurva baku deltametrin 1... 61

Lampiran 4. Kurva baku deltametrin 1... 61

Lampiran 5. Data rasio luas puncak kurva baku deltametrin 2... 61

Lampiran 6. Kurva baku detlametrin 2... 62

Lampiran 7. Kurva baku linieritas rentang bawah... 62

Lampiran 8. LOD kurva baku deltametrin... 62

Lampiran 9. % recovery wadah yang dibilas dan tidak dibilas metanol... 63

Lampiran 10. % recovery analisi deltametrin dalam air... 63

Lampiran 11. % CV analisi deltametrin dalam air... 63

Lampiran 12. LOQ... 64

Lampiran 13. Hubungan kurva baku dan kurva adisi replikasi I, II, III... 64

Lampiran 14. Hubungan kurva baku dan kurva adisi replikasi I, II, III…….. 66

Lampiran 15. Rata- rata konsentasi deltametrin yang terukur ... 66

Lampiran 16. Data kadar terukur... 67

(20)

xviii

Intisari

Deltametrin merupakan pestisida golongan piretoid. Dalam penggunaan yang tidak sesuai, residu deltametrin dapat masuk ke lingkungan perairan. Dalam lingkungan perairan deltametrin akan cepat hilang karena terjadi akumulasi di tanah dan terdegradasi oleh cahaya. Tujuan dari penelitian ini adalah menetapkan laju disipasi deltametrin dalam lingkungan perairan dan keamanan air yang tercemar pestisida deltametrin.

Pada umumnya kadar deltametrin dalam air pada kisaran parts per trillion

(ppt) sehingga perlu pemekatan agar dapat dideteksi dengan kromatografi gas detektor penangkap elektron. Penelitian ini menggunakan metode pengayaan dengan SPC 18 dan instrumen yang digunakan adalah kromatografi gas detektor penangkap elektron. Metode ini perlu divalidasi sebelum digunakan untuk mengetahui laju disipasi deltametrin dalam air.

Metode penelitian ini memiliki validitas yang baik dari sisi linearitas, akurasi, dan presisi. Laju disipasi deltametrin dalam lingkungan perairan relatif

cepat dan besarnya laju disipasi deltametrin 1,34 dan 2,45 μg/hari berturut-turut

pada konsentrasi 0,17 dan 0,34 μg/L dan air yang tercemar pestisida deltametrin aman dikonsumsi oleh manusia.

(21)

xix

ABSTRACT

Deltamethrin is a class of pesticides pyrethroid. Inappropriate use of, deltamethrin residues can be through into the aquatic environment. In the aquatic environtment deltamethrin will quickly disappear due to the accumulation in soil and degrated by light. The purpose of this study was to establish the rate of dissipation deltamethrin in aquatic environments and security of contamination deltamethrin in the water.

Generally, the levels of deltamethrin in the water are on the range of ppt so it needs to be concentrated and detected by gas chromatography electron capture detector. This study used an enrichment method with SPC 18 and the instrument used the gas chromatography electron capture detector. This method needs to be validated before used to determine the rate of dissipation deltamethrin in the water.

The method of this study has a good validity in terms of linearity, accuracy, and precision. The rate of deltamethrin dissipation in the aquatic environments is 1,34 dan 2,45 μg/day for concentration 0,167 dan 0,34 μg/L, it’s relative quickly. It shows that water which is contaminated dy deltamethrin is safe for human consumption.

(22)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dimasa sekarang ini ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat pesat,

salah satunya bidang pertanian. Manusia berusaha mencari tanaman yang mampu

berproduksi tinggi dan menguntungkan bagi kehidupannya. Selama proses

produksi pangan terjadi gangguan hama, yang dapat menurunkan hasil.

Penggunaan pestisida dalam pertanian merupakan salah satu cara yang digunakan

untuk membasmi hama.

Penggunaan pestisida di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan. Di Kota Klaten, 306 petani rata-rata menggunakan pestisida 5

sampai 7 kali per musim tanam (Anonim f, 2011). Hal ini terjadi karena peredaran

pestisida dan jumlah merek pestisida yang beredar makin banyak, serta kurangnya

pengawasan pemerintah mengenai penggunaan pestisida yang berbahaya.

Imidakloprin, profenolos dan deltametrin merupakan beberapa contoh pestisida

yang digunakan petani (Nurhamida, 2005). Pestisida deltametrin merupakan

pestisida yang banyak digunakan petani Indonesia karena mudah untuk

diaplikasikan dan hasilnya dapat segera diketahui.

Deltametrin merupakan pestisida golongan piretroid yang dapat

membunuh serangga melalui kontak langsung maupun sistemik. Penggunaan

(23)

membunuh serangga berguna, dan menimbulkan resistensi. Dampak negatif

penggunaan pestisida deltametrin bagi lingkungan antara lain mengurangi

berbagai jenis biota tertentu, adanya residu pestisida di tanah, air, dan berbagai

hasil pertanian yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Residu deltametrin

yang berada dalam sumber air, apabila terminum, dapat mengakibatkan gangguan

kesehatan mulai dari gejala ringan seperti sakit perut, mual, mutah-mutah, diare,

hingga gejala keracunan berat seperti kerusakan ginjal, kerusakan hati serta

kerusakan paru-paru (World Health Organization, 1990).

Keberadaan residu pestisida dalam air dapat diketahui menggunakan

metode analisis dengan selektivitas dan sensitivitas yang baik. Salah satu metode

analisis yang biasa digunakan adalah kromatogarfi gas dengan detektor

penangkap elektron. Untuk mendapatkan hasil analisis yang memiliki keakuratan

maka dilakukan optimasi dan validasi metode. Validasi metode analisis

merupakan penilaian terhadap metode standar yang mengalami pembaharuan

untuk menyesuaikan dengan kondisi laboratorium. Metode analisis residu

pestisida deltametrin dalam air dinyatakan valid apabila memenuhi persyaratan

codex alimentarius (Food Agriculture Organization, 2003). Untuk mengetahui

proses hilangnya deltametrin pada lingkungan perairan dan sumber air minum

aman dari cemaran pestisida deltametrin maka dilakukan penelitian tentang laju

(24)

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan permasalahan dan

manfaat penelitian sebagai berikut:

1. Rumusan masalah

a. Bagaimana menetapkan laju disipasi deltametrin dalam lingkungan

perairan?

b. Apakah air yang tercemar pestisida deltametrin apabila dikonsumsi

manusia aman?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang pestisida deltametrin yang pernah dilakukan adalah

validasi metode pestisida deltametrin dalam lingkungan budaya cabai merah

menggunakan Gas Chromatography-Electron Capture Detector (GC-ECD) (Prabowo, 2010), penetapan laju degradasi pestisida deltametrin dalam air secara

GC-ECD (Agus, 2002), dan validasi metode penetapak kadar deltametrin dalam kubis (Brassica oleracea var. capitata) menggunakan kromatografi gas dengan detektor ionisasi nyala (Moechtar, Darmawati, dan Vani, 2012)

Berdasarkan penelusuran literatur yang dilakukan, sudah ada penelitian

mengenai penetapan kadar deltametrin menggunakan kromatografi gas dengan

detektor penangkap elektron, namun penelitian validasi metode analisis

deltametrin dalam air dan aplikasinya pada penetapan laju disipasi deltametrin

(25)

3. Manfaat Penetitian

a. Manfaat metodologis. Penelitian ini dapat memberikan tambahan

wawasan terhadap perkembangan analisis residu pestisida secara

kromatografi gas menggunakan detektor penangkan elektron pada sampel

air.

b. Manfaat praktis. Penelitian ini dapat digunakan sebagai model penetapan

laju disipasi residu pestisida deltametrin dalam air dan dapat memberikan

informasi mengenai penetapan kadar analisis residu pestisida deltametrin

dalam sampel air dengan kromatografi gas menggunakan detektor

penangkap elektron

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menetapkan laju disipasi deltametrin dalam

air dan menguji keamanan air yang tercemar pestisida deltametrin apabila

(26)

5

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Pestisida 1. Pengertian pestisida

Pestisida adalah substrat kimia yang digunakan untuk membunuh atau

mengendalikan berbagai hama tanaman. Bagi petani, hama adalah tumbuhan

pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi, bakteri, nematoda

dan hewan lain yang dianggap merugikan (Sudarmo, 1991).

Menurut Food Agriculture Organization (FAO) 1986 dan Peraturan

Pemerintah RI No. 7 Tahun 1973, pestisida adalah campuran bahan kimia yang

digunakan untuk mencegah, membasmi dan mengendalikan hewan atau tumbuhan

pengganggu seperti binatang perengat, termasuk serangga penyebar penyakit,

dengan tujuan untuk kesejahteraan manusia.

2. Penggolongan pestisida

Berdasarkan pengaruh fisiologisnya, yaitu farmakologis atau klinis

pestisida diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Senyawa organofospat. Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik

diantara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada

orang. Jika termakan dalam jumlah sedikit menyebabkan kematian, tetapi

pada orang dewasa dibutuhkan beberapa miligram untuk menyebabkan

kematian. Organofosfat terurai dalam waktu ± 2 minggu di lingkungan

(27)

b. Senyawa organoklorin. Senyawa organoklorin merupakan racun yang

universal, degradasinya berlangsung sangat lambat dan senyawa ini

berakumulasi di jaringan lemak.

c. Senyawa arsenat. Pada keracunan akut senyawa arsenat menimbulkan

gastroentritis dan diare yang menyebabkan kejang sebelum kematian. Pada keadaan kronis menyebabkan pendarahan pada ginjal dan hati.

d. Senyawa karbamat. Senyawa golongan karbamat akan menyebabkan

penghambatan aktivitas enzim chorinesterase.

e. Piretroid. Piretroid merupakan analog dari piretrin. Piretrin merupakan zat

kimia yang bersifat insektisida yang terdapat pada piretrum. Piretroid

mempunyai beberapa keunggulan, antara lain dapat diaplikasikan dalam

jumlah yang relatif sedikit, spektrum pengendaliannya luas, tidak persisten,

dan memiliki efek melumpuhkan yang sangat baik. Namun karena sifatnya

yang kurang selektif, banyak piretroid yang tidak digunakan untuk program

pengandalian hama terpadu (Djojosumarto, 1998)

Piretroid yang relatif stabil terhadap sinar matahari adalah deltametrin,

permetrin, fenvalerate. Piretoid sintetis yang stabil terhadap sinar matahari dan

sangat beracun bagi serangga adalah difetrin, sipermetrin, siflutrin

(Wudianto,2001).

3. Efek buruk pestisida

Penggunaan pestisida menimbulkan efek buruk bagi kesehatan manusia

dan lingkungan. Pada manusia, efek yang paling dramatis adalah keracunan akut

(28)

absorpsi kulit, tetapi sejumlah kecil dapat masuk ke gastrointestinal (GI) akibat dari makan menggunakan tangan atau alat-alat yang tercemar (Lu, 1995).

Residu pestisida adalah zat yang terkandung dalam hasil pertanian, bahan

pangan, atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung maupun tak langsung

dari penggunaan pestisida. Istilah ini mencangkup senyawa turunan pestisida,

seperti hasil metabolit, senyawa hasil reaksi, dan zat pengotor yang dapat

memberikan pengaruh toksikologi (Anonim a, 1997)

Pestisida juga mempunyai dampak buruk bagi lingkungan. Di lingkungan

pestisida dapat mencemari lingkungan, air, dan udara. Adanya pencemaran

pestisida akan mengakibatkan terganggunya ekosistem, terputusmya rantai

makanan karena punahnya suatu populasi tertentu akibat tercemar pestisida.

Terlepas dari pelepasan pestisida ke lingkungan secara besar-besaran akibat

kecelakaan, pestisida yang ditemukan dalam berbagai lingkungan hanya sedikit

sekali. Tapi, kadar ini mungkin akan lebih tinggi jika pestisida terus bertahan di

lingkungan dan mempunyai kecenderungan untuk biomagnifikasi (mampu

bertahan di lingkungan dan cenderung meningkatkan akumulasi pada rantai

makanan). Biomagnifikasi terjadi karena bioakumulasi (tersimpan di dalam

jaringan) dalam organisme atau kemampuannya bertahan di lingkungan (Lu,

1995). Pencemaran lingkungan ini dapat mempengaruhi kesehatan manusia lewat

tanaman dan air yang tercemar kemudian mencemari produk makanan manusia

(29)

B. Deltamethrin

Deltametrin ((S)-α-cyano-3-phenoxybenzyl (1R, 3R)-3-(2,2-dibromovinyl)-2,2-dimethylcyclopropane carboxylate) merupakan insektisida golongan piretroid yang memiliki struktur seperti Gambar 1.

Gambar 1. Struktur deltametrin (World Health Organization, 2012)

Deltametrin disintesis pada tahun 1974, dan pertama kali dipasarkan pada

tahun 1977. Penggunaan deltametrin di dunia mencapai 250 ton/tahun pada tahun

1987. Deltametrin biasanya digunakan pada tanaman kapas dan pada lahan kopi,

jagung, sereal, buah, sayuran, dan produk-produk yang dipasarkan. Deltametrin

diformulasikan dalam bentuk emulsi konsentrat, suspensi konsentrat, serbuk, atau

dikombinasikan dengan pestisida lainnya (World Health Organization, 1990).

Tabel I. Kelarutan deltametrin

(30)

1. Disipasi deltametrin

Disipasi pestisida memegang peranan penting dalam penentuan

keberadaannya di lingkungan. Jalur disipasi pestisida di lingkungan meliputi

translokasi dan degradasi. Deltametrin dapat hilang atau terdegradasi di tanah

melalui proses fisika, kimia, dan mikrobiologis. Proses fisika meliputi

penyerapan, penguapan, pelindihan, dan diserap tanaman. Proses kimia meliputi

proses fotokimia dan mikrobiologis. Deltametrin kemungkinan tidak terjerap

secara kuat pada bagian dedaunan dari tanaman, dan penguapan dari permukaan.

Pada salah satu studi lapangan, 12-72% deltametrin menguap dari permukaan

tanaman pada 24 jam setelah aplikasi (Anonim e, 2009).

Deltametrin diinkubasi pada pasir dan tanah organik pada suhu 28°C

dalam kondisi laboratorium. Sekitar 52% dan 74% deltametrin yang diaplikasikan

diperoleh kembali dari pasir dan tanah organik setelah 8 minggu perlakuan

(World Health Organization, 1990).

Degradasi dari deltametrin diteliti oleh Zhang et al. (1984) pada tanah

organik selam 180 hari. Waktu paruh deltametrin yang diperoleh adalah 72 hari,

menunjukan bahwa deltametrin kurang terdegradasi dalam tanah organik daripada

tanah mineral. Degradasi deltametrin juga diteliti oleh Thier and Schmidt (1977)

pada 2 jenis tanah di Jerman. Waktu paruh untuk tanah berpasir dan tanah liat

berturut-turut adalah 35 dan 60 hari. Semua penelitian ini menunjukkan bahwa

deltametrin cepat terdegradasi dalam tanah. Waktu paruh deltametrin tergantung

pada kondisi tanah dan temperatur. Secara umum waktu paruhnya berkisar antara

(31)

anaerob atau kondisi steril, menunjukan bahwa mikroorganisme dan proses

biologis yang lain memegang peranan yang sangat penting (World Health

Organization, 1990).

Hidrolisis deltametrin tidak signifikan pada pH 5 dan 7. Hidrolisis

deltametrin signifikan pada pH 9 dengan waktu paruh 2,5 dan 7 hari berturut-turut

pada suhu 25 dan 12 ºC. Pada pH 8, waktu paruhnya 31 dan 75 hari berturut-turut

pada suhu 23 dan 12 ºC (Standing Committee on Biocidal Products, 2011).

Pada lingkungan akuatik, deltametrin sangat cepat terpartisi ke sedimen

dan biota. Pada laboratorium, 60% dari radioaktivitas yang diaplikasikan

ditemukan pada sedimen sesaat setelah diaplikasikan. Dalam sistem air dan

sedimen, dissipation time (DT50) sekitar 45 dan 141 hari. Pada 2 sistem yang

berbeda pada suhu 20 dan 12 ºC, DT50 berturut-turut 104 dan 253 hari. Pada

sistem digunakan pH fase air 8,0-9,1 dan hidrolisis mungkin mempengaruhi

degradasi yang terjadi. Di tanah, nilai DT50 orde 1 adalah 11-27 hari. Pada suhu

12 ºC, DT50 adalah 31-74 hari (Standing Committee on Biocidal Products, 2011).

2. Efek toksik deltametrin

Deltametrin sangat toksik terhadap ikan, lethal concentration (LC50)

berkisar antara 0,4–2,0 µg/L pada waktu pengamatan selama 96 jam. Deltametrin juga sangat toksik untuk invertebrata akuatik, LC50 untuk Daphnia magna adalah

5 µg/L pada waktu pengamatan selama 48 jam (World Health Organization,

1990).

Pada kasus yang tidak fatal, terpejannya deltametrin pada manusia karena

(32)

terbakar pada kulit dan vertigo. Kebanyakan efek ini hanya sementara dan

menghilang setelah 5-7 hari. Tidak ada efek samping jangka panjang yang pernah

dilaporkan (World Health Organization, 1990).

Pada manusia tanda keracunan pestisida deltametrin yang paling sering

dilaporkan adalah paresthesia, selain itu rasa geli, gatal, rasa terbakar, dan mati rasa setelah pemejanan pada kulit. Paresthesia dilaporkan bersifat reversible kadang hingga 48 jam. Paresthesia terjadi di bagian pemejanan pada kulit. Seorang wanita berusia 25 tahun yang mengalami keracunan setelah

menyemprotkan deltametrin pada ladang kapas mengeluh pusing, nausea, rasa

lelah, pandangan menjadi kabur, kehilangan nafsu makan, rasa terbakar dan geli

pada wajah, mual, vertigo, gangguan tidur, dan hilangnya kesadaran. Seorang pria

berusia 31 tahun dengan gejala keracunan ringan setelah menyemprotkan

deltametrin pada ladang kapas mengalami pusing, nausea, rasa lelah, pandangan

menjadi kabur, kehilangan nafsu makan, sensasi terbakar dan gatal pada muka dan

dada (National Pesticide Information Center, 2010).

3. Mekanisme aksi piretroid

Deltametrin termasuk piretroid tipe II, tanda keracunan meliputi tremor,

pengeluaran air liur, dan konvulsi. Onset deltametrin cepat dan akan hilang

setelah beberapa hari (World Health Organization, 1990).

Deltametrin efektif melawan serangga melalui saluran pencernaan dan

kontak langsung. Piretroid secara umum mengganggu produksi normal sinyal

saraf dalam sistem saraf. Piretroid bekerja pada membrane saraf dengan menunda

(33)

mempunyai gugus α-cyano yang menginduksi long lasting inhibiton dari sodium channel activation gate. Hasilnya adalah memperpanjang permeabilitas dari saraf ke sodium dan menghasilkan sinyal saraf berulang pada sensory organ, sensory nerves, dan otot (National Pesticide Information Center, 2010).

Gambar 2. Kanal Sodium (Walker, Hopkin, Sibly, and Peakall, 2001)

Membran sel saraf memiliki muatan spesifik. Dengan berubahnya jumlah

ion (charged atoms) melewati kanal ion menyebabkan depolarisasi membran yang menyebabkan pelepasan neurotransmiter. Neurotransmiter membantu komunikasi

sel saraf. Pesan elektrikal yang dikirim diantara sel saraf menyebabkan mereka

menghasilkan respon seperti gerakan pada hewan atau serangga. Piretroid bekerja

sebagai racun kontak yang mempengaruhi sistem saraf serangga. Meskipun

piretroid adalah racun saraf, tetapi piretroid tidak menghambat kolinesterase

seperti insektisida organofosfat atau karbamat (National Pesticide

(34)

C. Air 1. Pengertian air

Air adalah zat cair yang tidak mempunyai rasa, warna, dan bau yang

terdiri dari hidrogen dan oksigen dengan rumus kimia H2O. Air mempunyai sifat

universal, maka zat-zat alami maupun buatan manusia hingga tingkat tertentu

larut didalamnya. Dengan demikian, dalam air mengandung zat-zat terlarut.

Zat-zat ini sering disebut pencemar (Linsley, 1991).

2. Sifat air

Sifat air yang penting dapat digolongkan ke dalam sifat fisis, kimiawi,

dan biologis. Sifat fisis dari air didapatkan dalam ketiga wujudnya, yakni

berbentuk padat sebagai es, berbentuk cair sebagai air, dan berbentuk gas sebagai

uap air (Slamet, 2002).

Sifat kimia dari air yaitu mempunyai pH 7 dan oksigen tertarut jenuh

pada 9 mg/L. Air merupakan pelarut universal, hampir semua jenis zat dapat larut.

Air merupakan cairan bilogis, yakni air yang terdapat dalam tubuh semua

organisme ( Slamet, 2002).

Sifat biologis dari air yaitu di dalam perairan selalu terdapat kehidupan,

yaitu flora dan fauna. Flora dan fauna berpengaruh timbal balik terhadap kualitas

air ( Slamet, 2002).

3. Pencemaran air

Pencemaran air didefinisikan sebagai perubahan langsung atau tidak

langsung terhadap keadaan air yang berbahaya atau berpotensi menimbulkan

(35)

atau tidak langsung ini dapat berupa fisik, kimia, dan biologi. Air yang tercemar

dapat diamati dengan adanya perubahan air dari keadaan normal, diantaranya

terjadi:

a. Perubahan suhu

b. Perubahan tingkat keasaman

c. Perubahan warna, bau, dan rasa

d. Terbentuknya endapan

e. Terdapat mikroorganisme (Situmorang, 2007)

D. Metode Pengayaan

Pembersihan sampel sangat penting dalam suatu analisis, terutama untuk

sampel dengan matriks kompleks. Sebelum sampel diinjeksikan dalam instrumen

yang digunakan, sampel terlebih dahulu dipisahkan dari pengotor, jika tidak akan

mengganggu deteksi bahkan dapat merusak kolom pada instrumen. Pengotor pada

sampel dapat dihilangkan dengan menggunakan metode pengayaan. Pada metode

pengayaan, analit dipertahankan dan tertahan pada kolom sedangkan matriks

komponen pengotorakan melewati kolom kemudian akan dibuang bersama fase

gerak pertama. Analit yang tertahan dalam kolom diambil dengan cara mengaliri

(36)

E. Solid Phase Extaction (SPE)

Solid Phase Extaction (SPE) merupakan alternatif metode ektraksi yang cepat, mudah, dan ekonomis karena secara signifikan mengurangi volume pelarut

organik yang dibutuhkan. SPE digunakan untuk mengekstrak senyawa dari cairan

matrik dan dapat juga digunakan sebagai metode pemurnian (Escribano dan

Santos, 2010).

SPE merupak teknik yang relatif baru dan cepat berkembang sebagai alat

utama yang digunakan untuk pra-perlakuan sampel atau clean-up sampel yang kotor. Keunggulan SPE dibandingkan dengan ekstraksi cair-cair:

a. Proses ekstraksi lebih sempurna

b. Pemisahan analit dari pengganggu yang mungkin ada menjadi lebih

efisien

c. Mengurangi pelarut organik yang digunakan

d. Fraksi analit yang diperoleh lebih mudah dikumpulkan

e. Mampu menghilangkan partikulat

f. Lebih mudah diotomatisasi (Rohman, 2009).

Dua strategi yang digunakan untuk menyiapkan sampel menggunakan

SPE. Strategi pertama adalah dengan memilih pelarut yang mampu menahan

semua analit yang dituju pada penjerap yang digunakan, sementara itu

senyawa-senyawa yang lain akan terelusi. Analit yang dituju selanjutnya dielusi dengan

menggunakan sejumlah kecil pelarut organik yang akan mengambil analit yang

tertahan pada penjerap. Strategi ini bermanfaat jika analit yang dituju berkadar

(37)

dituju keluar (terelusi), sementara senyawa pengganggu tertahan pada penjerap

(Gandjar dan Rohman, 2007).

Tahapan pertama menggunakan SPE adalah dengan mengkondisikan

penjerap menggunakan pelarut yang sesuai. Penjerap nonpolar seperti C18 dan

penjerap penukar ion dikondisikan dengan mengalirinya menggunakan metanol

lalu aquadest. Pencucian yang berlebih menggunakan air akan mengurangi

recovery analit. Penjerap-penjerap polar seperti diol, sianol, amino, dan silika harus dibilas dengan menggunakan pelarut nonpolar seperti metilen klorida

(Rohman, 2009).

Ada empat tahapan dalam prosedur SPE, yaitu:

a. Pengkondisian. Catridge (penjerap) dialiri dengan menggunakan pelarut sampel untuk membasahi permukaan penjerap dan untuk menciptakan nilai pH

yang sama, sehingga perubahan-perubahan kimia yang tidak diharapkan ketika

sampel dimasukan dapat dihindari.

b. Retansi (tertahannya) sampel. Larutan sampel dilewatkan ke catridge baik untuk menahan analit yang dituju, sementara komponen lain terelusi atau untuk

menahan komponen yang tidak diharapkan sementara analit yang dituju

terelusi.

c. Pembilasan. Tahap ini penting untuk menghilangkan seluruh komponen yang

tidak tertahan oleh penjerap selama tahap retensi.

d. Elusi. Tahap ini merupakan tahap akhir untuk mengambil analit yang dituju

(38)

Gambar 3. Skematik prosedur SPE

F. Kromatografi Gas 1. Definisi dan instrumentasi

Kromatografi merupakan metode pemisahan dan identifikasi senyawa

dari suatu campuran atas dasar perbedaan distribusi komponen diantara dua fase

yaitu fase diam dan fase gerak. Dimana kedua fase ini memiliki kepolaran yang

berbeda (Hendayana, 2006).

Kromatografi gas adalah teknik pemisahan yang mana solut-solut yang

mudah menguap dan stabil dengan pemanasan bermigrasi melalui kolom yang

mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio

distribusinya (Gandjar dan Rohman, 2007).

Menurut Hendayana (2006), kromatografi gas diaplikasikan untuk

pemisahan suatu senyawa kimia yang mudah menguap tanpa terdekomposisinya

fase diam (stationery phase) dan fase gerak (carrier gas) gas pembawa yang memalui fase diam. Analisis menggunakan kromatografi gas merupaksan salah

(39)

organik maupun anorganik dalam suatu campuran baik berupa pasta, cair maupun

gas.

Komponen utama dari instrumentasi kromatografi gas yakni kolom dan

penyedia gas pembawa, ruang suntik sampel, kolom yang diletakan dalam oven

yang dikontrol secara termostatik, sistem deteksi dan pencatat (detektor dan

recorder), dan komputer yang dilengkapi dengan perangkat pengolah data. Komponen utama tersebut dapat dilihat melalui diagram sebagai berikut:

Gambar 4. Diagram sistem kromatografi gas

a. Gas pembawa. Gas pembawa pada kromatografi gas juga disebut fase gerak

karena berfungsi untuk membawa solut ke kolom, tanpa mempengaruhi

selektifitas. Syarat gas pembawa adalah tidak reaktif, murni, dan dapat

disimpan dalam tangki tekanan tinggi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Hidrogen, helium, nitrogen, dan argon adalah gas yang paling sering

dipakai sebagai gas pembawa. Karena gas disimpan pada silinder bertekanan

tinggi maka gas tersebut akan mengalir secara cepat sambil membawa

komponen-komponen campuran yang akan atau sudah dipisahkan. Oleh karena

(40)

kromatografi gas hanya memerlukan waktu yang relatif cepat (Hendayana,

2006)

b. Ruang suntik sampel. Ruang suntik atau inlet berfungsi untuk mengantarkan sampel ke dalam aliran gas pembawa. Sampel yang akan dikromatografi

dimasukan kedalam ruang suntikkan melalui lubang yang ditutup dengan

septum atau pemisah karet. Ruang suntik harus dipanaskan tersendiri dan

biasanya 10°-15°C lebih tinggi daripada suhu kolom supaya seluruh sampel

segera menguap setelah disuntikan (Gandjar dan Rohman, 2007).

c. Kolom. Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena

didalamnya terdapat fase diam (Hendayana, 2006). Menurut Gritter (1991), ada

dua jenis kolom dalam kromatografi gas yaitu kolom kemasan (packing column) dan kolom kapiler (capillary column). Kolom kemasan terdiri atas fase cair yang tersebar pada permukaan penyangga inert yang terdapat pada tabung yang diameternya besar (diameter dalam 1-3 mm). Berikut ini

merupakan tabel perbandingan kolom kemasan dan kolom kapiler

Tabel II. Perdedaan kolom kemasan dan kolom kapiler

Parameter Kolom kemasan Kolom kapiler

Tabung Baja tahan karat

Silika dengan Jumlah lempeng/meter 1000 5000

Total lempeng 5000 300.000 Tebal lapisan film 10 mikron 0,05-1 mikron Resolusi Rendah Tingggi Kec.alir (mL/menit) 10-60 0,5-1,5

(41)

Pipa kolom dapat terbuat dari tembaga, baja nikarat, aluminium, dan kaca

yang berbentuk lurus, lengkung atau melingkar (Mc Nair, 1988). Panjang

kolom yang dikemas cukup beragam, dapat beberapa cm sampai 15 meter.

Panjang kolom analit biasanya 1-3 meter. Kolom yang lebih panjang

menghasilkan jumlah pelat teori dan daya pisah yang lebih besar. Kecepatan

gas pembawa berubah selama bergerak melalui kolom, jadi hanya pada bagian

kolom yang lebih pendek saja bekerja pada laju alir yang optimum. Ini berarti

dengan menggunakan kolom yang sangat panjang, jumlah pelat dan daya pisah

menurun kembali. Di samping itu kolom yang panjang membutuhkan tekanan

pemasukkan yang sangat tinggi. Tekanan yang tinggi menimbulkan masalah

pada cara penyuntikkan dan pencegahan kebocoran gas. Tetapi, keuntungan

kolom yang panjang ialah kapasitas cuplikan sebanding dengan banyaknya fase

cair dalam kolom. Ini berarti kita dapat menyuntikkan lebih banyak cuplikan ke

dalam kolom panjang (Mc Nair, 1988).

d. Fase diam. Pemilihan fase diam yang tepat merupakan parameter terpenting

dalam kromatografi gas. Ciri utama yang diperlukan fase diam ialah bahwa

fase itu dapat melarutkan senyawa yang dipisahkan sampai pada taraf tertentu

(Mc Nair, 1988).

e. Suhu. Suhu meliputi tiga hal yaitu suhu gerbang suntikan, suhu kolom, dan

suhu detektor. Suhu gerbang suntikan harus cukup panas untuk menguapkan

cuplikan dalam waktu yang cepat sehingga tidak menghilangkan analit yang

disebabkan oleh cara penyuntikkan yang salah. Suhu kolom harus cukup tinggi

(42)

rendah sehingga pemisahan yang dikehendaki tercapai. Untuk kebanyakan

cuplikan, semakin rendah kolom, semakin tinggi nisbah koefisien partisi dalam

fase diam sehingga hasil pemisahan semakin baik. Pada beberapa kasus kita

tidak dapat menggunakan suhu kolom yang cukup rendah, terutama bila

cuplikan terdiri atas senyawa yang rentang titik didihnya lebar. Suhu pada

detektor bergantung pada jenis detektor yang digunakan, tetapi sebagai dasar

dapat dikatakan bahwa detektor dan sambungan antar kolom dan detektor harus

cukup panas sehingga cuplikan dan fase diam tidak mengembun. Pelebaran

puncak dan menghilangnya puncak komponen merupakan ciri khas terjadinya

pengembungan (Gandjar dan Rohman, 2007).

f. Detektor. Detektor merupakan perangkat yang diletakkan pada ujung kolom

tempat keluarnya fase gerak (gas pembawa) yang membawa komponen hasil

pemisahhan. Detektor pada kromatografi adalah suatu sensor elektronik yang

berfungsi mengubah sinyal gas pembawa dan komponen-komponen di

dalamnya menjadi sinyal elektronik (Gandjar dan Rohman, 2007).

Menurut Gandjar dan Rohman (2007), detektor pada kromatografi gas

termasuk detektor diferensial, yang berarti respon yang keluar dari detektor

memberikan relasi yang linear dengan kadar atau laju aliran massa komponen

yang teresolusi. Kromatogram yang merupakan hasil pemisahan fisik

kompoen-komponen oleh kromatografi gas disajikan oleh detektor sebagai

deretan luas puncak terhadap waktu. Waktu tambat tertentu dalam

(43)

digunakan sebagai data kuantitatif yang keduanya telah dikonfirmasikan

dengan senyawa baku.

Salah satu detektor yang digunakan pada kromatografi gas adalah

detektor penangkap elektron (Electron Capture Detector, ECD). Detektor ini dilengkapi dengan sumber radio aktif yaitu tritium (3Hi) atau (63Ni) yang

ditempatkan pada elektroda. Tegangan listrik yang dipasang antara katoda dan

anoda tidak terlalu tinggi, antara 2-100 volt (Gandjar dan Rohman, 2007).

Dasar kerja dari detektor ini adalah penangkap elektron oleh senyawa

yang mempunyai afinitas terhadap elektron bebas, yaitu senyawa yang

mempunyai unsur elektronegatif. Bila fase gerak (gas pembawa N2) masuk ke

dalam detektor maka sinyal β akan mengionisasi molekul N2 menjadi ion-ion

N2- dan menghasilkan elektron bebas yang akan bergerak ke anoda dengan

lambat. Dengan demikian, di dalam detektor terdapat semacam awan ektron

bebas yang dengan lambat menuju anoda. Elektron-elektron yang terkumpul

pada anoda akan menghasilkan arus garis dasar (baseline current) yang steady

dan memberikan garis dasar pada kromatogram. Bila kompoen sampel

(senyawa dengan unsur elektronegatif) dibawa fase gerak masuk ke dalam

ruang detektor yang dipenuhi awan elektron, maka senyawa ini akan

menangkap elektron sehingga membentuk ion molekul negatif. Ion molekul ini

akan dibawa fase gerak, akibatnya setiap partikel negatif dibawa keluar dari

detektor berarti menyingkirkan satu elektron dari sistem, sehingga arus listrik

(44)

2. Validasi metode analisis

Validasi metode analisis dapat diarikan sebagai suatu prosedur yang

digunakan untuk membuktikan bahwa metode analisis tersebut dapat memberikan

hasil seperti yang diharapkan dengan kecermatan dan ketelitian yang memadai

(Mulja dan Suharman, 1995). Menurut Harmita (2004), validasi metode analisi

adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan

percobaan laboratorium untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi

persyartan untuk penggunaannya.

Adapun parameter-parameter yang digunakan sebagai pedoman metode

analisis adalah:

a. Akuras. Akurasi atau kecermatan adalah ukuran yang menunjukan derajat

kedekatan hasil analit dengan kadar analit yang sebenarnya. Akurasi

dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan (Harmita, 2004).

(45)

b. Presisi. Persisi merupakan ukuran yang menunjukkan tingkat kesesuaian antara

hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata

jika prosedur ditetapkan secara berulang pada sampel yang diambil dari

campuran yang homogen. Suatu metode memiliki presisi yang baik apabila

memiliki nilai % RSD < 2%. Namun tergantung dari sampel dan kondisi analit

(Harmita, 2004)

Tabel IV . Batas % RSD menurut Horwitz dan AOAC (Gonzalez dan Herrador 2007)

c. Linearitas dan rentang. Linearitas merupakan kemampuan suatu metode (pada

rentang tertentu) untuk mendapatkan hasil uji yang secara langsung

proporsional dengan konsentrasi (jumlah) analit di dalam sampel. Rentang

adalah jarak antara level terbawah dan teratas dari metode analisis yang telah

dipakai untuk mendapatkan presisi, linearitas, dan akurasi yang bisa diterima

(46)

memenuhi koefisien kolerasi (r) >0,99 atau r2≥ 0,997 (Chan, Lee, Herman, dan Xue, 2004).

d. LOD (Limit of Detection) dan LOQ (Limit of Quantitation). Limit of Detection

adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi dan masih

memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. Limit of quantitation adalah konsentrasi atau jumlah analit terkecil yang dapat dikuantifikasi dengan presis dan akurasi yang cocok. Limit of quantitation

merupakan parameter kuantitatif untuk analit dalam suatu matriks dengan

konsentrasi kecil dan digunakan untuk menentukan jumlah pengotor atau

jumlah sampel yang terdegradasi (Chan, Lee, Herman, dan Xue, 2004).

G. Landasan teori

Pestisida merupakan bahan kimia yang digunakan untuk mencegah,

membasmi, dan mengendalikan hama. Pestisida banyak digunakan dalam bidang

pertanian, salah satu contoh pestisida yang digunakan adalah deltametrin.

Deltametrin merupakan pestisida golongan piretroid yang dapat membunuh hama

serangga melalui kontak langsung atau melalui makanan.

Penggunaan pestisida deltametrin yang tidak sesuai peraturan dapat

berakibat buruk bagi lingkungan, baik di tanah, udara maupun di air. Meskipun

kelarutan deltametrin dalam air sangat kecil, yaitu 0,0002 mg/L, namun demikian

deltametrin dalam air dapat hilang sebagai akibat berbagai peristiwa seperti

akumulasi pada sedimen dan bioakumulasi pada biota perairan. Jika konsentrasi

(47)

perairan bahkan kematian pada biota perairan dan selanjutnya berakibat pada

manusia yang berada di lingkungan tersebut.

Penetapan kadar residu pestisida deltametrin dalam air berada dalam

kisaran ppt, sedangkan batas deteksi berada dalam kisaran ppb sehingga perlu

adanya pemekatan. Pemekatan pada sampel air dapat dilakukan dengan metode

pengayaan menggunakan SPE cartridge C18 sehingga eluat dapat langsung

ditetapkan menggunakan instrumen kromatografi gas.

Penetapan kadar residu pestisida dalam air dapat dilakukan dengan

menggunakan kromatografi gas dengan detektor penangkap elektron.

Kromatografi gas detektor penangkap elektron memiliki selektifitas dan

sensitifitas yang baik daripada kromatografi gas dengan detektor ionisasi nyala.

Kromatografi gas dengan detektor penangkap elektron digunakan karena

deltametrin memiliki gugus Br yang merupakan gugus penangkap elektron dan

nantinya akan menangkap elekton bebas yang terdapat pada detektor.

H. Hipotesis

1. Deltametrin di lingkungan perairan mengalami disipasi dalam waktu yang

relatif cepat.

2. Kadar residu pestisida deltametrin dapat ditetapkan dengan kromatografi gas

(48)

27 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian tentang “Validasi Metode Analisis Deltametrin dalam Air dan

Aplikasinya pada Penetapan Laju Disipasi Deltametrin Menggunakan Model

Lingkungan Perairan” merupakan jenis rancangan penelitian eksperimental karena

terdapat perlakuan terhadap subjek uji, subjek uji yang dimaksud disini adalah air.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian

a. Variabel bebas. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi

pestisida deltametrin yang ditambahkan.

b. Variabel tergantung. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah

jumlah ikan yang mati dan konsentrasi residu pestisida deltametrin

dalam air.

c. Variabel pengacau terkendali. Variabel pengacau terkendali dalam

penelitian ini adalah kemurian pelarut (menggunakan pelarut pro analysis yang memiliki kemurnian tinggi), suhu dalam aquarium (26-27°C), pencahayaan (12 jam/hari), jumlah air dalam satu aquarium (40

(49)

2. Definisi Operasional

a. Deltametrin yang dianalisis merupakan pestisida golongan piretroid.

b. Sistem kromatografi gas yang digunakan adalah seperangkat alat

kromatografi gas yang dilengkapi dengan detektor ECD 63Ni

c. Parameter validasi metode analisis yang diamati dalam penelitian ini

adalah akurasi, presisi, linearitas, LOD, dan LOQ

C. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah formula

pestisida deltametrin (Decis®2,5EC), baku deltametrin, standar DCB

(Dekaklorobifenil), metanol (p.a, E. Merck), aquadest (Laboratorium Analisis Instrumental Farmasi USD), aquabidest (Laboratorium Analisis Instrumental

Farmasi USD), sampel air sumur dari rumah Bapak Bambang yang berada di

Jalan Mawar No 6A, Rt 04/Rw 04, Maguwoharjo, Depok Sleman, DIY.

D. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah komatografi gas (HP,

GC-5890 Series II) dilengkapi dengan detektor ECD 63Ni, Kolom SPE C18 yang

berisi 1 g C18 (SPE C18 1 g) dan yang berisi 200 mg C18 (SPE C18 0,2 g) (Bond

eluer C18 Analytichem International), neraca analitik (Precisi 125 A.SCS Swiss

(50)

E. Tata Cara penelitian 1. Optimasi dan Validasi Metode Analisis

a. Pembuatan larutan stok deltametrin (2,575x10-1 μg/μL). Ditimbang 51,5

mg baku deltametrin, dilarutkan dalam 5,0 ml toluen. Kemudian diambil

25 μL, dilarutkan dalam 1000 μL toluen sehingga didapatkan baku

deltametrin dengan konsentrasi 2,575x10-1μg/μL.

b. Pembuatan larutan intermediet ( 2,575x10-3 dan 2,575x10-2 μg/μL).

Diambil 1 dan 10 μL stok larutan baku deltametrin 2,575x10-1 μg/μL,

diuapkan hingga kering, masing-masing ditambah 100 μL toluen

sehingga diperoleh larutan intermediet dengan konsentrasi 2,575x10-3

μg/μL (intermediet A) dan 2,575x10-2μg/μL (

intermediet B). Larutan ini

kemudian digunakan sebagai larutan stok dalam pembuatan kurva baku

dan kurva baku adisi deltametrin.

c. Pembuatan kurva baku. Tiga, empat, dan lima mikroliter larutan

intermediet A dan 1, 2, dan 4 μL larutan intermediet B diambil,

masing-masing ditambah 7,5 μg standar DCB, diuapkan hingga kering, ditambah

50 μL toluen sehingga diperoleh berturut-turut larutan deltametrin

dengan konsentrasi 0,155; 0,206; 0,258; 0,515; 1,03; dan 2,06 μg/μL.

Sebanyak 1 μL masing-masing larutan seri kurva baku diinjeksikan ke

sistem kromatografi gas yang sudah optimum. Sehingga didapatkan data

berupa luas puncak. Hasil yang didapatkan, ditentukan linearitasnya

(51)

deltametrin/DCB dan menentukan sensitivitas alat dengan menghitung

LOD.

d. Presisi kromatografi gas. Presisi kromatografi gas dihitung dari % RSD

luas puncak dan waktu retensi (tR) DCB dari kurva baku.

e. Optimasi SPE C18. Satu mikroliter larutan stok deltametrin konsentrasi

2,575x10-1 μg/μL diencerkan dalam air sampai volume 200,0 mL

sehingga diperoleh konsentrasi 1,288 x10-6μg/μL, dimasukan dalam SPE

C18 1 g dan SPE C18 0,2 g yang sebelumnya telah dikondisikan

menggunakan 3 mL metanol dan 3 mL aquabidest. Selanjutnya dicuci

dengan 3 mL aquabidest. Pada SPE C18 1,0 g deltametrin dielusi dengan

aseton sedangkan pada SPEC18 0,2 g deltametrin dielusi dengan metanol.

Eluat diuapkan hingga kering. Ditambah 7,5 μg standar DCB dan 50 μL

toluen. Sebanyak 1 μL diinjeksikan ke sistem kromatografi gas yang

sudah optimum.

f. Optimasi pembersihan wadah. Dibuat dua larutan deltametrin dengan

konsentrasi 1,288 x10-6μg/μL. Larutan pertama dimasukkan dalam SPE

C18, wadah dibilas. Larutan kedua dimasukan dalam SPE C18, wadah

tidak dibilas metanol. Dielusi dengan 20 mL metanol. Eluat diuapkan

hingga kering. Ditambah 7,5 μg standar DCB dan 50 μL toluen.

Sebanyak 1 μL larutan diinjeksikan ke sistem kromatografi gas yang

sudah optimum.

(52)

intermediet A dan 1, 2, dan 4 μL larutan intermediet B diencerkan

dengan air hingga volume 200,0 mL. Larutan deltametrin dimasukkan

dalam SPE C18 dan dielusi dengan 20 mL metanol. Eluat diuapkan

hingga kering. Ditambah 7,5 μg standar DCB dan 50 μL toluen.

Sebanyak 1 μL larutan diinjeksikan ke sistem kromatografi gas yang

sudah optimum. Proses ini dilakukan sebanyak tiga kali replikasi. Hasil

pembacaan alat digunakan untuk menghitung % recovery, presisi, pengaruh preparasi sampel terhadap hasil akhir dan LOQ.

2. Penentuan Konsentrasi Deltametrin Dalam Air yang Diaplikasikan pada Laju Disipasi Deltametrin

Empat belas aquarium yang berisi 40 L air sumur dibagi dalam 7

kelompok, masing-masing kelompok 2 aqurium. Setiap aquarium diberi

label kontrol, 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 dengan konsentrasi deltametrin 0,025;

0,304; 3,700; 8,512; 19,578; dan 45,029 μg/L. Masing-masing aquarium

diisi 10 ekor ikan nila.

Pengamatan jumlah ikan yang mati dilakukan pada masing-masing

aquarium mulai jam ke-0 hingga 96. Selain itu konsentrasi deltametrin

ditetapkan pada jam ke-0 dan 96 dengan cara diekstraksi dengan SPE C18.

Eluat diuapkan hingga kering. Ditambah 7,5 μg standar DCB dan 50 μL

toluen. Sebanyak 1 μL diinjeksikan ke sistem kromatografi gas yang sudah

(53)

3. Penetapan Laju Disipasi Deltametrin Menggunakan Model Lingkungan Perairan

Enam aquarium yang berisi 40 L air sumur dibagi dalam 3 kelompok,

masing-masing kelompok 2 aqurium. Setiap aquarium diberi label kontrol,

1, dan 2 dengan konsentrasi deltametrin 0,1668 dan 0,3336 μg/L.

Masing-masing aquarium diisi 10 ekor ikan nila.

Konsentasi deltametrin dalam air ditetapkan pada hari 0, 1, 2, 3, 5, 7,

dan 14 dengan cara diekstraksi dengan SPE C18. Eluat diuapkan hingga

kering. Ditambah 7,5 μg standar DCB dan 50 μL toluen. Sebanyak 1 μL

diinjeksikan ke sistem kromatografi gas yang sudah optimum

F. Tata Cara Evaluasi Hasil 1. Sensitivitas kromatografi gas

a. Linearitas. Linearitas ditentukan dari koefisien korelasi (r) yang

diperoleh dari kadar dan rasio luas puncak deltametrin/DCB dari data

penentuan kurva baku ke dalam regresi linear.

b. Sensitivitas. Sensitivitas alat dapat ditentukan dengan menghitung LOD

dengan rumus:

3,3 � �

Keterangan: Sa : standar deviasi dari intercept kurva baku dan b : slope

2. Validasi Metode dan penetapan laju disipasi

a. Akurasi. Akurasi dapat dihitung dengan rumus:

Perolehan Kembali (recovery) = � �

(54)

b. Presisi. Presisi dapat dihitung dengan rumus:

Kesalahan Acak (% RSD) = � � � �

ℎ � − � 100%

c. Limit of Quantitation. Limit Of Quantitation (LOQ) dapat dihitung dengan rumus:

3,3 � �

Keterangan: Sa : standar deviasi dari intercept kurva adisi dan b : slope

d. Pengaruh Matriks terhadap Prosedur Analisis. Pengaruh matriks terhadap

prosedur analisis ditentukan dengan membandingkan antara slope kurva baku dengan kurva adisi. Pengaruh prosedur analisis ditetapkan oleh

signifikansi perbedaan slope.

e. Laju disipasi. Laju disipasi deltametrin dalam lingkungan perairan

(55)

G. Rancangan Penelitian

Gambar 5. Aquarium yang berisi 40 L air dan ikan nila

Metode Analisis

a. Optimasi SPE

b. Validasi metode

Sampling hari 0, 1, 2, 3,

5, 7, dan 14

Analisis

Evaluasi laju disipasi

Hipotesis I

(56)

35

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian yang berjudul “Validasi Metode Analisis Deltametrin dalam

Air dan Aplikasinya pada Penetapan Laju Disipasi Deltametrin Menggunakan

Model Lingkungan Perairan” dilakukan untuk mengetahui disipasi deltametrin

dalam lingkungan perairan. Kadar residu pestisida deltametrin yang berada dalam

lingkungan air sangat kecil sehingga diperlukan metode yang sensitif, salah

satunya menggunakan kromatografi gas detektor penangkap elektron dengan

pembersihan dan pemekatan sampel. Kromatografi gas detektor penangkap

elektron dipilih karena memiliki batas deteksi hingga 0,05-1 pikogram. Penelitian

ini dimulai dari uji kesesuaian sistem kromatografi gas detektor penangkap

elektron diikuti dengan optimasi preparasi sampel kemudian validasi metode

analisis dan aplikasinya, yaitu penetapan laju disipasi deltametrin dalam

lingkungan perairan.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah air. Dalam penelitian

ini penulis ingin mengetahui bagaimana laju disipasi deltametrin dalam air dan

menguji keamanan air yang tercemar pestisida deltametrin apabila terminum

manusia. Aquarium yang digunakan dalam peneltian ini, selain berisi air, juga

diberi ikan nila. Ikan nila memiliki daya toleransi yang besar terhadap lingkungan

sehingga mudah didapatkan pada air tawar dan air payau. Ikan nila dapat hidup

(57)

dibudidayakan, dan banyak dikonsumsi karena dagingnya empuk, tebal, lembut

dan enak (Sutanto, 2012).

A. Metode Analisis Deltametrin dalam Air

1. Uji Kesesuaian Sistem

Uji kesesuaian sistem merupakan bagian terpenting dari metode

kromatografi gas dan kromatografi cair yang berfungsi untuk memastikan bahwa

sistem yang akan digunakan dapat menghasilkan akurasi dan presisi yang dapat

diterima, sehingga instrumen dapat digunakan untuk analisis (Anonim b, 2001).

Dalam penelitian ini uji kesesuaian sistem dilakukan dengan cara optimasi

instrumen kromatografi gas, sensitivitas kromatografi gas, presisi kromatografi

gas, dan linearitas kromatografi gas.

a. Optimasi instrumen kromatografi gas

Optimasi instrumen merupakan hal pertama yang dilakukan dalam

analisis. Optimasi instrumen bertujuaan untuk mendapatkan kondisi optimum

instumen dalam memisahkan sampel dan pengotor sehingga dapat digunakan

untuk analisis sampel. Berdasarkan optimasi yang dilakukan Sanjayadi (2013),

(58)

Tabel V. Hasil optimasi kromatografi gas

Parameter Hasil optimasi

Injektor

Injektor Split

Kecepatan alir total gas 100 mL/menit

Coumn head pressure 100 kPa

Kecepatan alir septum purge 10 mL/menit

Suhu 235 °C

Volume injeksi 1μL

Waktu sampling 0,2 menit

Oven

Kolom CHROMPACK, CPSil.5.25m id 0,22 nm

Suhu

180°C (3 menit), 15 °C /menit; 260 °C (15 menit), 30 °C /menit; 265 °C (7menit)

Kecepatan alir gas 1 mL/menit

Detektor

Detektor ECD 63Ni

Suhu 300 °C

Auxiliary gas 10 mL/menit

b. Sensitivitas kromatografi gas

Sensitivitas alat dalam penelitian ini dilihat dari LOD kurva baku. LOD

merupakan jumlah terkecil analit sampel yang dapat dideteksi dan masih

memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko (Chan, Lam, Lee

dan Zhang, 2004). LOD dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi rentang bawah. Dari kurva kalibrasi rentang bawah

menghasilkan kemiringan atau slope yang landai dan standar deviasi yang bernilai besar dibandingkan dengan standar deviasi pada rentang yang lainya. Standar

deviasi besar ini sebagai akibat dari keterbatasan kepekaan detektor dalam

membaca serapan analit pada konsentrasi kecil. Gambar 9 merupakan plot ratio

(59)

Gambar 6. Kurva baku linieritas rentang bawah Keterangan: kurva baku 1 dan kurva baku 2

Pada tabel VII dapat dilihat nilai LOD dari masing-masing kurva baku rentang bawah deltametrin, yaitu 0,01 dan 0,02 μg/ mL

Tabel VI. LOD Kurva baku deltametrin

I II

Persamaan regresi Y= -0,0787+ 6,8013x Y= -0,0268 +1,6672x

r 0,9999 0,9996

Sa 0,014 0,009

LOD(μg/ mL) 0,01 0,02

Keterangan, I =Kurva baku linieritas rentang bawah deltametrin 1, II = Kurva baku linieritas rentang bawah deltametrin 2

c. Presisi kromatografi gas

Presisi instrumen kromatografi gas dilihat dari tR danluas puncak DCB.

Tahap ini dilakukan dengan cara penyuntikan 6 kali baku DCB kemudian dihitung

% RSD dari tR dan luas puncak. Tabel VI merupakan tR dan luas puncak DCB

dengan % RSD 0,08 dan 10%. Presisi yang dihasilkan sesuai dengan teori yaitu %

RSD ≤ 30% (Anonim d, 2007). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kromatografi

gas memiliki presisi yang baik. Selanjutnya kromatogram DCB ditunjukan oleh

(60)

Tabel VII. % RSD Waktu retensi dan luas puncak DCB

Parameter ± SD % RSD

Waktu retensi 15,07 ± 0,01 0,08

Luas puncak 151 ±158,31 10

Gambar 7. Kromatrogram DCB (0,15 μg/μL)

Berdasarkan hasil pesisi tR dan luas puncak dari DCB maka dalam

penelitian ini digunakan DCB sebagai standar internal, yang berfungsi untuk

mengoreksi hasil determinasi kromatografi gas yang digunakan.

d. Linearitas kromatografi gas

Linearitas merupakan kemampuan dari prosedur analisis untuk

memperoleh hasil percobaan yang berbanding lurus dengan konsentrasi analit

dalam sampel (ICH, 2005). Sebagai parameter adanya hubungan linear digunakan

koefisien korelasi (r) pada regresi linear Y= A + Bx.

Pada penelitian ini kurva baku dibuat setiap kali memulai proses

penetapan kadar. Hal ini dimaksudkan agar kurva yang dibuat merupakan kurva

yang teraktual dengan kondisi sistem kromatografi gas yang sudah ada. Karena

dalam rentang waktu tertentu kurva baku yang ada biasa saja memiliki nilai r yang

(61)

sama dengan kurva baku yang sebelumnya namun tidak sama nilai slope (b) yang terbentuk. Untuk mendapatkan regresi linear dilakukan dengan cara mengeplotkan

antara konsentrasi (sebagai sumbu x) dan luas puncak (sebagai sumbu y).

Gambar 8. Kurva baku deltametrin 1

Gambar 9. Kurva baku detlametrin 2 Y = 0,2111 + 5, 3692x

Konsentrasi deltametrin (μg/mL)

(62)

Gambar 7 diperoleh nial r2 0,999 dan pada gambar 8 diperoleh nilai

r2=0,999. Untuk mendapatkan r maka data konsentrasi dan ratio luas puncak

deltametrin/DCB dimasukan dalam program powerfit sehingga didapatkan nilai r 0,9999 untuk kurva baku deltametrin 1 dan r 0,9999 untuk kurva baku deltametrin

2. Nilai r2 maupun nilai r yang dihasilkan sesuai dengan Chan, Lee, Herman, dan

Xue (2004) yaitu koefisien kolerasi (r) > 0,9985 atau r2 ≥ 0,997. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa detektor memberikan respon yang linear terhadap konsentrasi

analit pada kisaran konsentari 0,155-5,15 μg/mL.

Berdasarkan hasil optimasi, sensitivitas, presisi dan linearitas

kromatografi gas maka dapat disimpulkan bahwa sistem kromatografi gas

detektor penangkap elektron dapat digunakan untuk analisis deltametrin dalam air.

2. Preparasi sampel

Dalam penelitian ini dilakukan optimasi pada tahapan preparasi sampel

yaitu optimasi fase diam SPE C18 dan optimasi pembersihan wadah. Hal ini

bertujuan untuk mendapatkan hasil optimal dalam proses pengayaan deltametrin.

a. Optimasi SPEC18

Pemilihan volume fase diam dilakukan untuk mendapatkan sistem SPE

yang selektif dan efisien. Fase diam yang digunakan dalam penelitian ini adalah

C18, sehingga merupakan sistem kromatografi fase terbalik. Digunakan fase diam

C18 karena deltametrin merupakan senyawa yang non polar yang mempunyai log

P 4,6 (Anonim g, 2002) sehingga natinya akan tertahan dalam SPE C18 yang

Gambar

Gambar 1. Struktur deltametrin (World Health Organization, 2012)
Gambar 2. Kanal Sodium (Walker, Hopkin, Sibly, and Peakall, 2001)
Gambar 3. Skematik prosedur SPE
Gambar 4. Diagram sistem kromatografi gas
+7

Referensi

Dokumen terkait

OPTIMASI FASE GERAK METANOL-AIR DAN LAJU ALIR PADA PENETAPAN KADAR CAMPURAN TEOFILIN DAN EFEDRIN HCl DALAM TABLET DENGAN METODE KROMATOGRAFI CAIR.. KINERJA

Metode KCKT fase terbalik untuk penetapan kadar bisfenol A pada air minum dalam botol plastik dan botol air minum yang diberi pengaruh penyinaran matahari tropis

Penulis skripsi dengan judul “Optimasi dan Validasi Metode Analisis Timbal (Pb) Menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom dan Aplikasinya dalam Penetapan Kadar Timbal (Pb)

Metode analisis yang tervalidasi dapat diaplikasikan dalam sediaan sirup dan kadar rata-rata CTM dan GG pada ketigamerksirup memenuhi persyaratan kadar yang

Metode KCKT fase terbalik untuk penetapan kadar bisfenol A pada air minum dalam botol plastik dan botol air minum yang diberi pengaruh penyinaran matahari tropis

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis daya dukung lingkungan perairan melalui pendekatan model beban limbah N untuk pengembangan budidaya ikan kerapu sistem

Tujuan dari praktikum validasi metode penetapan kadar parasetamol dalam tablet dengan spektrofotometri visible yaitu menentukan validitas metode spektrofotometri

Metode analisis yang tervalidasi dapat diaplikasikan dalam sediaan sirup dan kadar rata-rata CTM dan GG pada ketigamerksirup memenuhi persyaratan kadar yang