• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN PERAIRAN UNTUK BUDIDAYA LAUT SISTEM KERAMBA JARING APUNG DI TELUK AMBON DALAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN PERAIRAN UNTUK BUDIDAYA LAUT SISTEM KERAMBA JARING APUNG DI TELUK AMBON DALAM"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

17

ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN PERAIRAN UNTUK

BUDIDAYA LAUT SISTEM KERAMBA JARING APUNG

DI TELUK AMBON DALAM

Lutfi Hardian Murtiono, Evri Noerbaeti, Hamida Pattah Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon

Jl. Leo Wattimena, Waiheru, Ambon, 97233 Email : lutfihardian@gmail.com

ABSTRAK

Daya dukung produksi (production carrying capacity) merupakan salah satu pendekatan dalam perhitungan daya dukung untuk kegiatan akuakultur yang mempertimbangkan produksi maksimum yang mampu didukung oleh suatu lingkungan perairan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya dukung lingkungan perairan melalui pendekatan model beban limbah N dalam pengembangan budidaya ikan kerapu sistem keramba jaring apung di Teluk Ambon Dalam. Beban limbah budidaya (internal loading) dan aktivitas antropogenik (external loading) menjadi komponen yang dipertimbangkan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan beban limbah kegiatan budidaya menghasilkan 237,1 kg N/tahun dan 44,1 kg P/tahun. Aktivitas antropogenik di pesisir teluk menyumbangkan 178.964,05 kg N/tahun dan 52.276,91 kg P/tahun. Berdasarkan pendekatan beban limbah tersebut, maka jumlah unit keramba yang dapat ditampung adalah 24 petak/ha atau 6 unit keramba/ha dengan produksi optimal adalah 690,97 ton untuk kerapu macan dan 521,40 ton untuk kerapu bebek.

Kata kunci : daya dukung lingkungan, keramba jaring apung, budidaya laut, beban limbah.

A B S T R A C T

Production carrying capacity is an approach in the calculation of the carrying capacity for aquaculture activities that take into account the maximum production that is able to be supported by an aquatic environment. This study aimed to analyze the carrying capacity of the aquatic environment through N model waste load approach in the development of grouper aquaculture system of floating cages in the Inner Bay of Ambon. Aquaculture waste load as internal loading and anthropogenic activities as external loading into components that are considered in this study. The results showed aquaculture activities generate waste load 237,1 kg N per year and 44,1 kg P per year. Anthropogenic activities in the coastal bays donated 178.964,05 kg N per year and 52.276,91 kg P per year. Based on approach to the waste load, the number of units cages that can be accommodated is 24 plots/ha or 6 units of cages/ha with optimal production was 690,97 tons for tiger grouper and 521,40 tons for humpback grouper. Keywords: production carrying capacity, floating net cages, mariculture, waste load. PENDAHULUAN

Perkembangan kegiatan budidaya laut telah tumbuh dengan sangat pesat di beberapa negara, salah satunya Indonesia. Budidaya laut telah menjadi sebuah industri yang penting di dunia seiring dengan tingginya permintaan atas produk perikanan laut

(2)

18

yang disebabkan peningkatan populasi manusia (Holmer et al., 2002). Dukungan teknologi pada skala perbenihan dan pembesaran, tersedianya akuainput secara komersial, pangsa pasar yang luas, harga jual yang cukup tinggi jika dibandingkan komoditas perikanan lainnya, ketersediaan lahan yang potensial, serta kebijakan pemerintah yang meletakkan sub sektor perikanan budidaya menjadi prioritas dalam pembangunan perikanan ke depan merupakan faktor pendorong berkembangnya budidaya laut di Indonesia (Rachmansyah, 2004).

Maluku sebagai sebuah provinsi kepulauan memiliki potensi perikanan yang besar. Penetapan Maluku sebagai daerah Lumbung Ikan Nasional akan membuat peningkatan produksi perikanan di wilayah ini meningkat. Sektor yang diharapkan dalam mendorong peningkatan volume produksi perikanan yaitu dari perikanan tangkap dan perikanan budidaya, termasuk budidaya laut. Hal ini karena sebagian besar wilayahnya yang berupa lautan dan memiliki banyak lokasi yang potensial untuk kegiatan budidaya laut selain kualitas perairannya yang masih bagus. Berdasarkan data statistik perikanan, Maluku merupakan 10 besar provinsi produsen perikanan budidaya dengan jumlah produksi mencapai 592.053 ton. Bahkan untuk produksi ikan kerapu nasional, Maluku berkontribusi sebanyak 1.023 ton (11,99%) dan menjadi produsen kerapu ke 4 di Indonesia (KKP, 2013).

Salah satu wilayah yang berpotensi dikembangkan sebagai lokasi budidaya laut adalah perairan Teluk Ambon Dalam yang terletak di Kota Ambon. Teluk Ambon merupakan bagian penting dari Pulau Ambon yang secara geomorfologi terbagi atas dua bagian yaitu Teluk Ambon Luar (outer bay) dan Teluk Ambon Bagian Dalam (inner bay) dimana kedua teluk ini dipisahkan ambang Galala – Rumahtiga dengan kedalaman ambang antara 9 – 13 meter (Nontji, 1996). Perairan Teluk Ambon Bagian Dalam merupakan bagian dari perairan Teluk Ambon yang bersifat estuari dan tergolong semi tertutup (Tubalawony et al., 2008). Melihat karakteristiknya yang bersifat estuari, menunjukkan Teluk Ambon Dalam mempunyai fungsi secara ekologis, yaitu sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut, sebagai penyedia habitat bagi sejumlah hewan yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makan, dan sebagai tempat berproduksi dan tumbuh besar ikan dan organisme akuatik lainnya (Bengen, 2001).

Teluk Ambon Bagian Dalam terletak pada 128°11’29’’ BT sampai dengan 128°19’25” BT dan 3°37’40” LS sampai 3°39’50” LS (Hermanto, 1987). Teluk Ambon Bagian Dalam secara geomorfologi juga menjadi kawasan yang sesuai bagi hutan mangrove untuk tumbuh dan berkembang dengan vegetasinya banyak ditemui di pesisir Teluk Ambon Bagian Dalam banyak ditemui di wilayah Lateri, Negeri Lama, Waiheru, Poka, Halong dan Galala (Suyadi, 2009). Pemanfaatan Teluk Ambon Bagian Dalam telah banyak digunakan masyarakat sebagai daerah perikanan tangkap dan budidaya, jalur transportasi laut, daerah konservasi dan tempat rekreasi dan olah raga (Selano et al., 2009). Selain itu di bidang perikanan budidaya, Teluk Ambon Dalam digunakan sebagai lokasi budidaya ikan kerapu dan baronang dengan sistem keramba jaring apung (KJA) (Miller, 1999; Nirahua, 2009). Berdasarkan kondisi tersebut, maka Pemerintah Kota Ambon telah menetapkan Teluk Ambon Dalam sebagai kawasan budidaya laut sistem keramba jaring apung dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Ambon tahun 2011-2031 (Bappekot Ambon, 2011).

(3)

19

Namun patut disadari bahwa kegiatan budidaya berpotensi menimbulkan cemaran pada lingkungan perairan. Dampak terhadap lingkungan yang ditumbulkan oleh kegiatan budidaya dengan sistem keramba jaring apung yaitu peningkatan kandungan nutrient di perairan yang berasal dari sisa pakan yang tidak termakan, ekskresi dan feses ikan, serta kemungkinan adanya penurunan terhadap kualitas perairan, lingkungan dan kondisi kesehatan ekosistem (Mente et al., 2006). Hanya sekitar 25 – 30% kadar nitrogen dan fosfor dalam pakan yang termanfaatkan oleh ikan dan sisanya akan terbuang ke perairan (McDonald et al., 1996). Masukan bahan organik yang berasal dari sisa pakan budidaya dan feses yang membusuk akan terakumulasi di dasar perairan dan mempengaruhi kualitas lingkungan perairan di sekitarnya (Beveridge, 1984). Jumlah pakan yang tidak dikonsumsi dan hasil ekskresi dicirikan dengan adanya peningkatan konsentrasi TSS dan BOD serta kandungan N dan P, namun secara potensial penyebaran dampak buangan limbah yang kaya nutrient dan bahan organik dapat mempengaruhi kualitas perairan pesisir (Barg, 1992).

Pesatnya pertumbuhan peduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan di pesisir menyebabkan tekanan ekologis yang tinggi terhadap ekosistem dan sumberdaya pesisir sehingga mengancam keberadaan dan kelangsungan ekosistem, baik secara langsung (misalnya kegiatan konversi lahan) dan tidak langsung (misalnya adanya pencemaran limbah dari kegiatan antropogenik) (Bengen, 2001). Sumber cemaran dari kegiatan di pesisir Teluk Ambon Dalam umumnya didominasi oleh adanya aktivitas pemukiman dan pertanian yang menghasilkan limbah organik yang mengandung nitrogen dan fosfor dan berpotensi menimbulkan eutrofikasi di perairan (Selano et al., 2009). Adanya peningkatan kadar N dan P akibat kegiatan antopogenik menyebabkan terjadinya eutrofikasi di perairan pesisir sehingga menyebabkan dampak sosioekonomi (Smith et al., 1999).

Adanya potensi cemaran yang berasal dari kegiatan budidaya (internal loading) dan kegiatan di pesisir teluk (eksternal loading) menjadi perhatian tersendiri kaitannya dengan pengembangan budidaya laut. Analisis terhadap daya dukung lingkungan perairan diperlukan dalam pengelolaan budidaya laut di perairan Teluk Ambon Dalam. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis daya dukung lingkungan perairan melalui pendekatan model beban limbah N untuk pengembangan budidaya ikan kerapu sistem keramba jaring apung di Teluk Ambon Dalam.

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di pesisir Teluk Ambon bagian Dalam (TAD), Kota Ambon, Provinsi Maluku. Secara geografis Teluk Ambon Dalam terletak pada terletak pada 128°11’29’’ BT sampai dengan 128°19’25” BT dan 3°37’40” LS sampai 3°39’50” LS. Lokasi pengambilan sampel terdiri atas sembilan stasiun yang ditentukan secara purposive dengan mempertimbangkan fisiografi lokasi, interpretasi peta batimetri, kondisi eksisting budidaya agar sedapat mungkin bisa mewakili atau menggambarkan keadaan perairan tersebut. Waktu pelaksanaan penelitian adalah bulan April – Juni 2015.

(4)

20

Gambar 1. Lokasi penelitian Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang digunakan untuk menganalisis tujuan. Pengumpulan terhadap data primer dengan pengukuran dan pengamatan langsung di lapangan, dalam hal ini berupa parameter-parameter fisika dan kimia perairan Teluk Ambon Dalam. Sedangkan data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh dari penelitian sebelumnya.

Tabel 1. Koordinat lokasi pengambilan sampel kualitas air

No Lokasi Sandi Lokasi Koordinat

LS BT 1 Galala ST-01 03°39’30,10” 128°12’26,90” 2 Poka ST-02 03°39’13,20” 128°12’01,60” 3 Batu Koneng ST-03 03°38’30,20” 128°11’57,60” 4 Halong ST-04 03°39’09,41” 128°13’00,94” 5 Waiheru ST-05 03°38’17,65” 128°12’34,45” 6 Hunuth ST-06 03°38’12,20” 128°12’55,34” 7 Lateri ST-07 03°38’23,35” 128°14’24,31” 8 Nania ST-08 03°38’09,93” 128°13’39,17” 9 Passo ST-09 03°37’56,61” 128°14’19,96”

Pendugaan Kuantitatif Limbah Kegiatan Budidaya (internal loading)

Limbah kegiatan budidaya yang dijadikan dasar perhitungan adalah limbah budidaya ikan kerapu yang dipelihara di keramba jaring apung. Hal ini didasarkan pada waktu pemeliharaan hingga waktu pemanenan yang lebih lama yaitu sekitar 6 – 10 bulan serta limbah yang dihasilkan berupa feses lebih besar dibandingkan dengan limbah dari komoditas budidaya lain.

Dalam menentukan loading total bahan organik dari kegiatan budidaya ikan di keramba jaring apung, mengacu pada formula Iwama (1991) sebagai berikut :

𝑂 = 𝑇𝑈 + 𝑇𝐹𝑊 (1)

O merupakan total output partikel bahan organik (kg), TU adalah total food uncaptured atau jumlah pakan yang tidak termakan (kg), sedangkan TFW adalah total fecal waste atau total limbah feses dan ekskresi (kg).

(5)

21

Pendugaan kuantifikasi limbah total N dan P didasarkan atas data kandungan N dan P dalam pakan ikan rucah dan dalam karkas ikan kerapu (Barg, 1992; Beveridge, 1984).

Pendugaan Kuantitatif Limbah Kegiatan Antropogenik (external loading)

Pendugaan beban limbah N dan P yang berasal dari kegiatan di luar budidaya laut didasarkan atas data sekunder yang dihitung dengan mengacu pada metode LOICZ (Land Ocean Interaction in the Coastal Zone) yang diaplikasikan oleh Diego-McGlone (2006). Beberapa aktivitas antropogenik di pesisir Teluk Ambon Dalam yang dapat diidentifikasi berpotensi memberikan kontribusi terhadap limbah organik antara lain pemukiman penduduk, peternakan, akuakultur dan pertanian.

Beban limbah yang berasal dari kegiatan antropogenik sekitar teluk dihitung dengan mengalikan level aktivitas yang diperoleh dari data sekunder dengan koefisien beban limbah. Pendugaan total nitrogen (TN) dan total fosfat (TP) di dalam limbah non organik budidaya adalah sebagai berikut :

𝑇𝑁 = 𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑥 𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑙𝑖𝑚𝑏𝑎ℎ 𝑇𝑃 = 𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑥 𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑙𝑖𝑚𝑏𝑎ℎ

Perhitungan Pendugaan Daya Dukung

Pendugaan daya dukung dengan menggunakan pendekatan nutrient loading model yang dimodifikasi dan dikembangkan oleh Barg (1992) yaitu berdasarkan beban limbah yang dihasilkan dari kegiatan budidaya dan aktivitas pesisir teluk. Menurut Gowen et al (1989) dalam Barg (1992) disebutkan bahwa tinggi rendahnya kadar nutrient di perairan ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu volume badan air, laju pembilasan dan fluktuasi pasang surut yang dapat ditentukan dengan persamaan berikut.

𝐸𝑐 =𝑁 × 𝐹

𝑉 (2)

Dimana Ec adalah konsentrasi N dalam air (mg/l), N adalah jumlah nitrogen yang masuk ke perairan dari kegiatan budidaya dan antropogenik (g), sedangkan F merupakan flushing time dari badan air, dan V adalah volume badan air (m3).

Tabel 2. Jenis aktivitas dan koefisien limbah kegiatan antropogenik pesisir teluk.

Jenis Aktivitas Koef. Limbah Referensi

Permukiman

Limbah padat Kg N/org/th 1,86 Sogreah (1974) Kg P/org/th 0,37 Padilla et al. (1997)

Sampah Kg N/org/th 4 World Bank (1993)

Kg P/org/th 1 World Bank (1993)

Deterjen Kg P/org/th 1 World Bank (1993)

Peternakan

Sapi Kg N/ekor/th 43,8 Economopoulos (1993)

Kg P/ekor/th 11,3 Economopoulos (1993)

Kambing Kg N/ekor/th 4 Economopoulos (1993)

Kg P/ekor/th 21,5 Economopoulos (1993)

Ayam Kg N/ekor/th 0,3 Economopoulos (1993)

Kg P/ekor/th 0,7 Economopoulos (1993)

(6)

22

Kg P/ekor/th 2,3 Economopoulos (1993) Akuakultur

Hatchery Kg N/juta ekor/th 2,21 Rachmansyah (2004) kg P/juta ekor/th 0,05 Rachmansyah (2004) Lahan pertanian

Erosi lahan pertanian Kg N/ton 1,68 Padilla et al. (1997) Kg P/ton 0,04 Padilla et al. (1997) Nilai F (flushing time) ditentukan sebagai waktu yang diperlukan limbah untuk tinggal dalam badan air sehingga lingkungan perairan menjadi bersih. Flushing time ditentukan dengan formula berikut.

𝐹 = 1

𝐷 (3)

D merupakan laju pengenceran yang diperoleh dari persamaan di persamaan berikut.

𝐷 = (𝑉ℎ− 𝑉𝑙)

𝑇 × 𝑉 (4)

Vh adalah volume air dalam keadaan pasang tertinggi (m3), Vl adalah volume air dalam keadaan pasang terendah (m3). Sedangkan T merupakan periode pasang surut dalam satuan hari.

Perhitungan volume badan air teluk diukur pada saat pasang tertinggi (mean high water spring)dan pada saat surut terendah (mean low water spring) dengan menggunakan persamaan berikut.

𝑉ℎ = 𝐴 × ℎ1 (5)

𝑉𝑙= 𝐴 × ℎ0 (6)

A adalah luas perairan teluk (m2), sedangkan h

1 dan h0 adalah kedalaman perairan saat pasang tertinggi dan surut terendah (m).

Guna mendapatkan daya dukung kapasitas maksimal produksi budidaya, maka perlu dihitung konsentrasi nitrogen di perairan yang dihubungkan dengan baku mutu nitrogen untuk biota laut sesuai dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004. Persamaan berikut untuk memperkirakan kapasitas produksi optimal yang dianjurkan.

𝑃 =𝑁𝐵𝑀

𝑁𝑖 (7) P merupakan jumlah produksi optimal yang dapat dihasilkan oleh unit budidaya tanpa melampaui baku mutu perairan yang dipersyaratkan (ton), NBM adalah nilai konsentrasi N yang dipersyaratkan dalam baku mutu untuk biota laut, dalam hal ini konsentrasinya adalah 0,3 mg/l. Sedangkan Ni adalah konsentrasi limbah budidaya dan kegiatan antropogenik yang masuk ke perairan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Teluk Ambon Dalam

Teluk Ambon Dalam (TAD) secara geografis berada pada posisi 128°19’4,03” - 128°24’33” BT dan 03,66°39’29” – 03,63°30’30” LS dengan luas sekitar 11,72 ha. TAD merupakan bagian dari Teluk Ambon secara keseluruhan yang terbagi atas Teluk

(7)

23

Ambon bagian Luar (TAL) dan Teluk Ambon bagian Dalam (TAD), dimana diantara keduanya dipisahkan oleh sebuah ambang (sill) yang dangkal dan sempit yaitu ambang Galala. Secara administratif, Teluk Ambon bagian Dalam masuk dalam wilayah Kota Ambon, Provinsi Maluku, dengan dua kecamatan yang berbatasan langsung dengan TAD, yaitu Kecamatan Teluk Ambon (2 desa) dan Teluk Ambon Baguala (7 desa).

Iklim di Kota Ambon adalah iklim laut tropis dan iklim musim karena letak pulau Ambon yang dikelilingi oleh laut. Iklim di Kota Ambon sangat dipengaruhi oleh lautan dan berlangsung bersamaan dengan iklim musim, yaitu musim Barat atau Utara dan musim Timur atau Tenggara. Sementara untuk perairan Teluk Ambon Dalam sendiri sangat terpengaruh oleh perubahan musim di Kota Ambon, dimana musim Timur berlangsung pada bulan Juni – Agustus, Musim Peralihan II pada bulan September – November, Musim Barat pada bulan Desember – Februari dan Musim Peralihan I pada bulan Maret – Mei.

Kondisi Lingkungan Oseanografi, Fisika dan Kimia Perairan Teluk Ambon Dalam

Hasil pengukuran rerata kualitas perairan TAD selama penelitian ditampilkan pada Tabel 3. Terlihat hasil pengukuran menunjukkan parameter oksigen terlarut, nitrat dan fosfat berada pada kondisi yang tidak sesuai dengan baku mutu untuk biota laut. Konsentrasi nitrat tertinggi dijumpai di perairan desa Passo, sedangkan konsentrasi fosfat tertinggi di perairan desa Nania dan Passo. Kedua kawasan tersebut merupakan daerah dengan pemukiman yang padat penduduk dan pertanian. Tingginya kadar nitrat dan fosfat di perairan Nania dan Passo diduga karena adanya buangan limbah dari lingkungan pesisir teluk yang masuk bersamaan dengan aliran sungai. Wilayah Nania merupakan kawasan pertanian dan pemukiman, sedangkan Passo merupakan kawasan yang sangat padat penduduk sehingga timbul run off dari kegiatan pertanian dan pemukiman yang masuk ke teluk.

Rendahnya kadar oksigen terlarut di TAD diduga terkait dengan adanya masukan bahan-bahan organik dari aktivitas pesisir teluk. Kadar oksigen terlarut terendah di perairan Desa Lateri, Nania dan Passo merupakan kawasan pesisir yang padat penduduk dan terdapat muara sungai yang mengalir ke teluk dan membawa material pencemar dari limbah rumah tangga dari sepanjang sungai tersebut. Odum (1993) menyebutkan bahwa kandungan oksigen terlarut akan semakin rendah jika masukan limbah perairan semakin besar. Oksigen terlarut berperan penting sebagai pengoksidasi dan pereduksi bahan organik sehingga sangat penting untuk mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami (Salmin, 2005).

Konsentrasi senyawa nitrogen termasuk nitrat yang terdapat dalam air laut bervariasi tergantung dari jauh dekatnya sumber penyebab berlimpahnya senyawa nitrogen (Susana, 2004). Kadar nitrat dalam perairan banyak dipengaruhi oleh pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia maupun tinja hewan (Effendi, 2003). Secara normatif keberadaan nitrat dalam perairan ditunjang oleh adanya transport nitrat ke daerah tersebut, oksidasi amonia oleh mikroorganisme dan kebutuhan produktivitas primer (Kangkan, 2006).

Tabel 3. Rata-rata dan kisaran parameter kualitas air Teluk Ambon Bagian Dalam selama penelitian.

(8)

24

No Parameter Rata-rata Kisaran Baku Mutu

Biota Laut * 1 Kedalaman (m) 22,56 ± 9,32 12 - 37 - 2 Kecerahan (m) 7,67 ± 1,37 5 - 10 alami 3 Kec. Arus (cm/dt) 9,71 ± 2,00 5,7 - 12,4 - 4 Suhu (°C) 29,21 ± 1,83 26,5 - 32,2 alami 5 Salinitas (‰) 31,8 ± 0,71 30,2 - 33,0 alami 6 Oksigen Terlarut (mg/l) 4,86 ± 0,67 3,43 - 5,84 > 5 7 pH 8,21 ± 0,11 7,94 - 8,44 7 - 8,5 8 Nitrit (mg/l) 0,001 ± 0,001 0 - 0,002 - 9 Nitrat (mg/l) 0,04 ± 0,017 0,01 - 0,07 < 0,008 10 Total Amonia (mg/l) 0,071 ± 0,021 0,035 - 0,104 < 0,3 11 Orthofosfat (mg/l) 0,031 ± 0,020 0,001 - 0,082 < 0,015 12 Turbiditas (NTU) 2,89 ± 1,96 0,34 - 6,22 < 5 13 BOD₅ (mg/l) 5,27 ± 2,50 1,25 - 10,29 <20 ⃰ = Kepmen LH No 51 Tahun 2004

Pendugaan Kuantitatif Limbah dari Kegiatan Budidaya (internal loading)

Data pemeliharaan ikan kerapu diperoleh dari kegiatan pembesaran kerapu macan di Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Ambon selama masa pemeliharaan 10 bulan. Kegiatan pembesaran ikan kerapu di BPBL Ambon dilakukan dalam petakan keramba jaring apung ukuran 3 x 3 x 3 m dengan jumlah benih ikan kerapu macan yang ditebar 720 ekor (kepadatan ± 80-90 ekor/m3). Pertambahan bobot biomassa ikan selama pemeliharaan tercatat dari 18 kg menjadi 282,24 kg, rata-rata pertumbuhan harian sebesar 1,60 g/hari. Sedangkan nilai konversi pakan (food convertion rate/FCR) adalah sebesar 6,78. Dari hasil kegiatan pemeliharaan ikan kerapu diperoleh hasil untuk 1 petak keramba berukuran 3 x 3 x 3 m dapat memproduksi ikan kerapu macan sebanyak 282,24 kg. Pakan yang dibutuhkan selama masa pemeliharaan adalah 1.914,31 kg.

Mengacu pada penelitian Noor (2009) diperoleh hasil analisa proksimat terhadap pakan rucah yang digunakan menunjukkan kandungan N sebesar 12,6% dan kandungan P sebesar 2,6%, sehingga terdapat 241,2 kg N dan 49,8 kg P pada pakan kerapu macan. Dari jumlah total pakan yang diberikan, sebanyak 18% persen pakan tidak termakan (uneaten food) dengan kadar N 43,4 kg dan kadar P 9 kg. Sementara itu, pada pakan yang dimakan (eaten food) akan terbuang melalui feses, ekskresi serta tersimpan dalam daging. Beban limbah yang dikeluarkan dari konsumsi pakan rucah yang diberikan pada kerapu macan yang masuk ke perairan adalah sebesar 237,1 kg N dan 44,1 kg P. Total bahan partikel yang dihasilkan adalah sebesar 963,1 kg. Untuk jenis kerapu lain yaitu E. aerolatus menghasilkan beban limbah lebih besar yaitu 321 kg N/ton atau sebesar 88% dari total pakan yang diberikan (Leung et al., 1999). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Usman et al. (2002) dengan menggunakan jenis pakan komersil (buatan) menyebutkan bahwa limbah yang dihasilkan dalam pembesaran kerapu bebek sebesar 138,4 kg N dan 29,6 kg P. Penggunaan pakan rucah akan menghasilkan beban limbah N dan P yang lebih besar dibandingkan pakan komersil. Pada pakan komersil, kandungan N dalam pakan sebesar 7,68% dan kandungan P sebesar 1,53% dengan konversi pakan hanya 3,2. Meskipun kadar protein dalam pakan rucah lebih tinggi dibandingkan pakan komersil namun pakan komersil memiliki keseimbangan unsur-unsur nutrisi lain seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral sehingga dapat mempengaruhi

(9)

25

metabolisme tubuh ikan (Sutarmat et al., 2003). Sementara itu Chu (1994) menyebutkan bahwa limbah N yang dihasilkan dari pakan rucah 17 (tujuh belas) kali lebih tinggi dibandingkan limbah dari pakan pellet dan hanya 8,1% N yang dimanfaatkan dalam tubuh ikan kerapu. Umumnya budidaya laut masih tergantung pada penggunaan pakan rucah dimana akibatnya menimbulkan beberapa permasalahan antara lain pencemaran lingkungan, ketersediaan yang tidak teratur dan tingginya konversi pakan (FCR) (Kongkeo et al., 2010).

Tabel 4. Parameter penentuan beban limbah budidaya ikan kerapu di KJA.

Parameter yang dianalisa Kerapu Macan

Rasio Konversi Pakan (FCR) 6,78

Kandungan N Pakan (%) 12,6

Kandungan P Pakan (%) 2,6

Bobot awal ikan (g/ekor) 25,0

Bobot akhir ikan (g/ekor) 504,0

Jumlah pakan yang dibutuhkan (kg) 1.914,31

Jumlah pakan yang terbuang (18%) 344,6

Kebutuhan N untuk memproduksi ikan (kg/ton ikan) 197,8

Kebutuhan P untuk memproduksi ikan (kg/ton ikan) 40,8

Kecernaan N pakan (%) 81,0

Kecernaan P pakan (%) 57,5

Retensi N (%) 26,1

Retensi P (%) 23,8

Jumlah feses yang dihasilkan oleh 1 ton ikan (39,4%) (kg/ton ikan) 618,5

Tabel 5. Pendugaan kuantifikasi total N dan P dari pakan yang diberikan dalam pemeliharaan ikan kerapu macan.

Parameter Jumlah (kg) N (kg) P (kg)

Pakan yang diberikan 1.914,3 241,2 49,8

Pakan yang dimakan 1.569,7 197,8 40,8

Pakan yang terbuang 344,6 43,4 9,0

Feses 618,5 37,6 17,3

Retensi - 41,7 5,6

Ekskresi (terlarut) - 156,1 17,9

Total Limbah 963,1 237,1 44,1

Pendugaan Kuantitatif Limbah Kegiatan Antropogenik (external loading)

Hasil analisa limbah eksternal loading diperoleh besaran limbah organik 715.855,22 kg N per tahun atau 76,08% total N, dan 225.107,64 kg P per tahun (31,45%). Total N sebagian besar bersumber dari limbah domestik rumah tangga (59,49%) dan pertanian (28,51%). Sedangkan penyumbang total P bersumber dari limbah domestik rumah tangga (76,52%) dan peternakan (21,32%). Namun keseluruhan limbah bahan organik yang berasal dari kegiatan antropogenik di sekitar pesisir teluk, maka diasumsikan hanya 25% dari limbah yang masuk ke perairan teluk setelah melalui proses asimilasi di daratan (Noor, 2009). Mengacu pada pernyataan di atas maka besaran limbah yang masuk ke perairan Teluk Ambon Dalam adalah 178.964,05 kg N/tahun atau 490,31 kg N/hari dan 52.276,91 kg P/tahun atau 154,18 kg P/hari.

(10)

26

Tabel 6. Pendugaan beban limbah antropogenik sekitar Teluk Ambon Dalam.

Jenis Aktivitas Level Aktivitas Koef. Limbah Total N (kg/tahun) Total P (kg/tahun) Permukiman Limbah padat Kg N/org/th 72.680 a) 1,86 b) 135.185,80 Kg P/org/th 0,37 c) 26.891,60 Sampah Kg N/org/th 72.680 4 d) 290.720 Kg P/org/th 1 d) 72.680 Deterjen Kg P/org/th 72.680 1 d) 72.680 Peternakan Sapi Kg N/ekor/th 1.127 a) 43,8 e) 49.362,60 Kg P/ekor/th 11,3 e) 12.735,10 Kambing Kg N/ekor/th 875 a) 4 e) 3.500 Kg P/ekor/th 21,5 e) 18.812,50 Ayam Kg N/ekor/th 10.013 a) 0,3 e) 3.003,90 Kg P/ekor/th 0,7 e) 7.009,10 Babi Kg N/ekor/th 4.104 a) 7,3 e) 29.959,20 Kg P/ekor/th 2,3 e) 9.439,20 Akuakultur Hatchery 184.824f) Kg N/juta ekor/th 2,21 g) 0,41 kg P/juta ekor/th 0,05 g) 0,01 Lahan pertanian

Erosi lahan pertanian 121.503,16 a, h)

Kg N/ton 1,68 c) 204.125,31

Kg P/ton 0,04 c) 4.860,13

Jumlah 715.856,22 225.107,64

Sumber : a) BPS Kota Ambon (2014); b) Sogreah (1974); c) Padilla et al. (1997); d) World Bank (1993); e) Economopoulos (1993); f) BPBL Ambon (2015b); g) Rachmansyah (2004); h) Kesaulija (1988).

Pendugaan Daya Dukung dengan Pendekatan Model Beban Limbah N (NH3-N) Pendugaan daya dukung dengan pendekatan beban limbah N di perairan Teluk Ambon Dalam mempertimbangkan adanya beban limbah yang berasal dari kegiatan budidaya KJA (internal loading) dan beban limbah yang berasal dari kegiatan antropogenik di pesisir teluk (eksternal loading). Daya dukung dengan pendekatan beban limbah N ini digunakan untuk mengetahui pemanfaatan wilayah pesisir yang berkelanjutan khususnya untuk budidaya ikan kerapu di KJA karena memperhitungkan segi daya dukung lingkungan.

Mengacu pada formula yang dikembangkan oleh Barg (1992), diketahui konsentrasi N dalam perairan akibat masukan dari beban limbah budidaya dan kegiatan antropogenik adalah sebesar 0,013 mg/l. Nilai ini selanjutnya dihubungkan dengan nilai baku mutu perairan untuk biota laut sesuai Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 yaitu sebesar 0,3 mg/l untuk mendapatkan nilai kapasitas produksi optimal budidaya yang dapat dicapai. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa produksi optimal yang dapat

(11)

27

dicapai untuk setiap hektar perairan di Teluk Ambon Dalam adalah 6,7 ton/ha, dimana kapasitas produksi untuk 1 petak pemeliharaan ikan kerapu macan adalah 282,24 kg dengan masa pemeliharaan selama 10 bulan.

Tabel 7. Penghitungan daya dukung dengan pendekatan beban limbah N.

No Parameter Nilai Satuan

1 Luas perairan 11.227.760 m2

2 Volume air pasang tertinggi 277.550.277 m3 3 Volume air surut terendah 245.775.666 m3 4 Volume rata-rata perairan 259.920.979 m3

5 Flushing time 17,47 hari

6 Beban limbah budidaya (N)

 Pakan terbuang 43,4 kg

 Feses 37,6 kg

 Ekskresi 156,1 kg

7 Limbah antropogenik (N) 178.964,06 kg

8 Total beban limbah (N) 179.201,16 kg

9 Baku Mutu NH3-N 0,3 mg/l

10 Ec (konsentrasi N dalam air) 0,012 mg/l 11 Jumlah unit KJA sesuai daya dukung

 Jumlah petak 24 petak/ha

 Jumlah unit KJA 6 unit KJA/ha

12 Produksi optimum

 Kerapu macan 690,97 Ton

 Kerapu bebek 521,40 Ton

KESIMPULAN

Mengacu hasil perhitungan daya dukung lingkungan dengan pendekatan beban limbah N, budidaya ikan kerapu dengan sistem keramba jaring apung di perairan Teluk Ambon Dalam memiliki kemampuan produksi optimal 690,97 ton untuk kerapu macan dan 521,40 ton untuk kerapu bebek. Kepadatan unit keramba jaring apung yang disarankan adalah 24 petak/ha atau 6 unit KJA/ha.

DAFTAR PUSTAKA

Bappekot Ambon, 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ambon Tahun 2011-2031. Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappekot) Ambon, Ambon. Barg, U.C., 1992. Guidelines for The Promotion of Environmental Management of

Coastal Aquaculture Development. FAO Fisheries Technical Paper, No. 328. FAO, Rome. 122 p.

Bengen, D.G., 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan, in: Bengen, D.G. (Ed.), Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. 29 Oktober-3 November 2001. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor, pp. 28–55. Beveridge, M.C.M., 1984. Cage and Pen Fish Farming. Carrying Capacity Models and

Environmental Impact. FAO Fisheries Technology Paper (255) : 131 p.

BPBL Ambon, 2015. Laporan Tahunan Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon Tahun 2014. Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon, Ambon.

BPS Kota Ambon, 2014. Kota Ambon dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik Kota Ambon, Ambon. p 367.

Chu, J.C.W., 1994. Environmental Management of Mariculture: The Effect of Feed Types on Feed Waste. Regional Workshop on Seafarming and Grouper Aquaculture 103–108.

(12)

28

Economopoulos, A.P., 1993. Assessment of Sources of Air, Water, and Land Pollution. A Guide to Rapid Source Inventory Techniques and Their Use in Formulating Environmental Control Strategies. Part One: Rapid Inventory Techniques in Environmentl Pollution. World Health Organization, Geneva.

Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta. p 258.

Hermanto, B., 1987. Laju Sedimentasi dan Stratifikasi Sedimen Teluk Ambon Bagian Dalam, in: Soemodihardjo, S., Birowo, S., Romimohtarto, K. (Eds.), Teluk Ambon. Biologi, Perikanan, Oseanografi Dan Geologi. Balitbang Sumberdaya Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI, Ambon, pp. 125–132.

Holmer, M., Marba, N., Terrados, J., Duarte, C.M., Fortes, M.D., 2002. Impacts of Milkfish (Chanos chanos) Aquaculture on Carbon and Nutrient Fluxes in the Bolinao Area, Philippines. Marine Pollution Bulletin 44 (7), 685–96.

Iwama, G.K., 1991. Interactions between aquaculture and the environment. Critical Reviews in Environmental Control 21 (2), 177–216. doi : 10.1080 / 10643389109388413

Kangkan, A.L., 2006. Studi Penentuan Lokasi Untuk Pengembangan Budidaya Laut Berdasarkan Parameter Fisika, Kimia dan Biologi di Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur. Tesis. Magister Manajemen Sumberdaya Pantai. Universitas Diponegoro. Semarang. p 102.

Kesaulija, E.M., 1988. Beberapa Model Pendugaan Erosi pada Areal Hutan yang Dikonversi Menjadi Lahan Pertanian dan Pemukiman di Sub DAS Jeneberang Hulu Sulawesi Selatan. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Universitas Hasanuddin. Makassar.

KKP, 2013. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2013. Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. p 188.

KLH, 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut.

Kongkeo, H., Wayne, C., Murdjani, M., Bunliptanon, P., Chien, T., 2010. Current Practices of Marine Finfish Cage Culture in China, Indonesia, Thailand and Viet Nam. Aquaculture Asia Magazine Vol. XV (2). 32–40.

Leung, K.M.Y., Chu, J.C.W., Wu, R.S.S., 1999. Nitrogen Budgets for the Areolated Grouper Epinephelus areolatus Cultured Under Laboratory Conditions and in Open-sea Cages. Marine Ecology Progress Series 186, 271–281.

McDonald, M.E., Tikkanen, C.A., Axler, R.P., Larsen, C.P., Host, G., 1996. Fish Simulation Culture Model (FIS-C): A Bioenergetics Based Model for Aquacultural Wasteload Application. Aquacultural Engineering 15 (4), 243–259. doi:10.1016/0144-8609(96)00260-9

Mente, E., Pierce, G.J., Santos, M.B., Neofitou, C., 2006. Effect of Feed and Feeding in the Culture of Salmonids on the Marine Aquatic Environment : A Synthesis for European Aquaculture. Aquaculture International 14, 499–522. doi:10.1007/s10499-006-9051-4

Miller, A., 1999. Resources Management in The Urban Sphere: Ambon’s Urban Environment. University of Hawaii at Manoa. Cakalele 10.

Nirahua, C., 2009. Analisa Pencemaran Limbah Organik Terhadap Penentuan Tata Ruang Budidaya Ikan Keramba Jaring Apung di Perairan Teluk Ambon. Tesis.Program Pascasarjana. Intitut Teknologi Surabaya. Surabaya.

(13)

29

Nontji, A., 1996. Status Kondisi Hidrologi, Sedimentasi dan Biologi Teluk Ambon Saat Ini, in: Prosiding Seminar Dan Lokakarya Pengelolaan Teluk Ambon. LIPI, Ambon, pp. 1–6.

Noor, A., 2009. Model pengelolaan kualitas lingkungan berbasis daya dukung (carrying capacity) perairan teluk bagi pengembangan budidaya keramba jaring apung ikan kerapu (Studi kasus di Teluk Tamiang, Kabupaten Kotabaru Propinsi Kalimantan Selatan). Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. p 145.

Odum, E.P., 1993. Dasar-dasar Ekologi, 3rd ed. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Padilla, J., Castro, L., Morales, A., Naz, C., 1997. Evaluation of Economy-environment Interactions in the Lingayen Gulf Basin: A Partial Area-based Environmental Accounting Approach. DENR and USAID, Philippines.

Rachmansyah, R., 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan bagi Pengembangan Budidaya Bandeng dalam Keramba Jaring Apung. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. p 274.

Salmin, S., 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana XXX (3), 21–26.

Selano, D.A.J., Adiwilaga, E.M., Dahuri, R., Muchsin, I., Effendi, H., 2009. Sebaran Spasial Luasan Area Tercemar dan Analisis Beban Pencemar Bahan Organik Pada Perairan Teluk Ambon Dalam. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) 19 (2), 96–106.

Smith, V.H., Tilman, G.D., Nekola, J.C., 1999. Eutrophication : Impacts of Excess Nutrient Inputs on Freshwater, Marine, and Terrestrial Ecosystems. Environmental Pollution 100, 179–196.

Sogreah, 1974. Laguna de Bay Water Resources Development Study. Laguna Lake Deveopment Authority, Pasiq City, Philippines.

Susana, T., 2004. Sumber Polutan Nitrogen dalam Air Laut. Oseana XXIX (3), 25–33. Sutarmat, T., Hanafi, A., Suwarya, K., Ismi, S., Wardoyo, W., Kawahara, S., 2003.

Pengaruh Beberapa Jenis Pakan Terhadap Performasi Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) di Keramba Jaring Apung. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.

Suyadi, S., 2009. Kondisi Hutan Mangrove di Teluk Ambon: Prospek dan Tantangan. Berita Biologi 9 (5), 481–490.

Tubalawony, S., Tuahattu, J.W., Wattimena, S.M., 2008. Karakteristik Fisik Massa Air Permukaan Teluk Ambon Dalam pada Bulan Juli. Ichthyos 8 (1), 35–41.

Usman, U., Rachmansyah, R., Pongsapan, D.S., 2002. Beban Limbah Budidaya Ikan Kerapu Bebek Cromileptes altivelis dalam Keramba Jaring Apung. Laporan Hasil Penelitian. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Maros.

World Bank, 1993. Environmental Sector Study. Towards Improved Management of Environmental Impacts. Washington, D.C. USA.

(14)

Gambar

Tabel 1. Koordinat lokasi pengambilan sampel kualitas air
Tabel 2. Jenis aktivitas dan koefisien limbah kegiatan antropogenik pesisir teluk.
Tabel 5. Pendugaan  kuantifikasi  total  N  dan  P  dari  pakan  yang  diberikan  dalam  pemeliharaan ikan kerapu macan
Tabel 6. Pendugaan beban limbah antropogenik sekitar Teluk Ambon Dalam.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian dengan teknik Wilcoxon Match Pairs menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada perilaku personal hygiene anak pra sekolah TK ABA

Kualifkasi 1.1 Prakualifkaai ini terbuka dan dapat diikuti oleh aemua peaerta pengadaan yang berbentuk badan uaaha, Kemitraan/KSO (Untuk Pelelangan Terbataa,

Perbuatan yang dikriminalisasi dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan bentuk penanggulangan tindak pidana penipuan online yaitu untuk mengatur perbuatan yang

Selain itu hubungan sekolah dengan masyarakat meru#akan %alinan interaksi yang diu#ayakan oleh sekolah agar da#at diterima di tengah&amp;tengah masyarakat untuk  menda#atkan

Febri Endra Budi Setyawan, selaku dosen pembimbing I yang selalu memberi dorongan motivasi, bantuan, dan kesediaan waktunya untuk selalu membimbing penulis,

penerimaan sumbangan untuk penanganan pandemi COVID-19 dalam bentuk uang diformulasikan dalam program dan kegiatan pada Perangkat Daerah yang secara fungsional

Colleselasma rhodostoma (2 kasus), 5 kasus gigitan oleh ular tak berbisa (non venomous snake: ular kopi Coelognathus flavolineatus dan Ular air Xenochrophis trianguligera),.. dan