• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

5. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data

Bahan hukum yang telah diperoleh yaitu yang berkaitan dengan masalah kejahatan trafficking (perdagangan orang) dan tindak pidana pencucian uang (money

laundering), kemudian diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga dapat

disajikan dalam penulisan yang sistematis untuk dapat menjawab isu hukum yang telah dirumuskan.

Cara pengolahan yang sedemikian rupa disebut sebagai pengolahan data deskrtiptif analisis,34 yaitu yang menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang dihadapi sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan.

34

Soerjono Soekanto, “Metodologi Research”, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998), hal. 3. Penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan. secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.

BAB II

BENTUK KEJAHATAN TRAFFICKING DALAM

SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

A. Pengertian Trafficking

Kejahatan trafficking (perdagangan orang) atau yang dapat dikategorikan sebagai “perbudakan modren” adalah merupakan persoalan global sangat serius.35 Hal ini merupakan suatu permasalahan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Perlindungan terhadap Hak Azasi Manusia menekankan bahwa setiap orang dilahirkan memiliki kebebasan, dengan harkat dan martabat yang sederajat, serta berhak atas perlindungan tanpa diskriminasi.

Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab mengatur bahwa bangsa Indonesia mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, kemudian wajib mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban azasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.36

Undang-Undang Dasar 1945 dalam rumusan salah satu pasalnya disebutkan mengenai hak untuk tidak diperbudak.37 Untuk mewujudkan perlindungan hak tersebut,

35

Karen E. Bravo, “Human Trafficking: Global and National Responses To The Cries for Freedom,” Article, (Westlaw: University of St. Thomas Law Journal, 2009), hal. 2

36

Pancasila sila ke-2, butir kesatu dan kedua

37

maka Pemerintah Indonesia memandang perlu untuk melakukan pengaturan tersendiri mengenai tindak pidana trafficking (perdagangan orang).

Secara universal juga telah diakui bahwa setiap manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Setiap orang berhak atas kehidupan, pekerjaan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi.38 Namun terkadang dalam upaya memperoleh hak-hak tersebut diperhadapkan pada beragam tantangan dan perlakuan yang melanggar Hak Asasi Manusia yang disertai dengan kekerasan fisik maupun kekerasan seksual.

Trafficking (perdagangan orang) bukan merupakan bentuk kejahatan yang

baru dikenal. Dalam sejarah bangsa Indonesia, perdagangan orang pernah terjadi yaitu melalui perbudakan atau perhambaan. Pada masa kerajaan, perdagangan perempuan merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal.39 Perdagangan orang lebih terorganisir dan berkembang pesat pada masa penjajahan Belanda, hal ini terlihat dari adanya perbudakan tradisional dan perseliran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Eropa. Perdagangan orang ini dapat berbentuk

38

Founding Father negara Indonesia mengatur tentang Hak Azasi Manusia (HAM) ini dalam pasal-pasal Batang Tubuh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, ini yang menjadi dasar bagi pelaksanaan perlindungan Hak Azasi Manusia (HAM) di Indonesia.

39

Farhana, Op.Cit., hal. 1, pada masa itu konsep kekuasaan raja digambarkan sebagai kekuasaan yang bersifat agung dan mulia, kekuasaan raja tidak terbatas, sehingga raja bebas memiliki selir yang banyak. Selir-selir ini sebahagian merupakan putri-putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan, selain itu ada juga sebagai persembahan dari kerajaan lain, dan ada juga yang berasal dari lingkungan masyarakat bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana.

kerja rodi, penjualan anak perempuan untuk mendapatkan imbalan materi dan kawin kontrak,40 demikian juga halnya dengan masa penjajahan Jepang.41

Pada awal perkembangan perdagangan orang belum merupakan tindak pidana, sehingga tidak ada hukuman yang diberikan pada para pelaku perdagangan orang tersebut. Kemudian, pada masa kemerdekaan perdagangan orang dinyatakan sebagai tindakan yang melawan hukum. Hal ini dengan pemikiran bahwa perdagangan orang tersebut telah meluas baik dalam bentuk jaringan kejahatan yan terorganisir, antar negara maupun internal negara, maka timbul keinginan pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang dengan melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerjasama.42

Pemerintah Indonesia mengkriminalisasi perdagangan orang dengan Pasal 297 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang secara eksplisit mengatur tentang perdagangan orang. Pasal itu mengatur bahwa memperniagakan perempuan dan memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun. Pasal-pasal yang sering dipakai sebagai dasar hukum untuk menjerat pelaku trafficking (perdagangan orang) adalah Pasal 285, Pasal 287-298, Pasal 324, dan Pasal 506 KUHP. Pengaturan dalam KUHP masih membutuhkan penyempurnaan agar dapat menjerat setiap kegiatan atau modus baru perdagangan orang.

40

Ibid., hal. 2

41

Ibid., hal. 3, pada masa ini Jepang bukan hanya memaksa perempuan pribumi menjadi pelacur, tetapi Jepang juga membawa perempuan dari Singapura, Malaysia, dan Hongkong ke Jawa untuk melayani Perwira Tinggi Jepang.

42

Konsideran Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Kebijakan pemerintah dilakukan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yang salah satu tujuan kuncinya adalah untuk mendorong dan/atau menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perdagangan orang, khususnya perdagangan perempuan dan anak.

Dalam Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia (DUHAM)43 dinyatakan bahwa pengakuan martabat dan hak yang sama dan mutlak umat manusia adalah dasar dari kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia, dan bahwa aspirasi tertinggi rakyat adalah penikmatan kebebasan mengeluarkan pendapat, kepercayaan, dan bebas dari rasa takut dan kekurangan.44

Lebih lanjut diatur juga bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat pekerjaan yang adil dan menguntungkan.45 Kenyataannya dalam pelaksanaannya upaya masyarakat untuk keinginan memperoleh pekerjaan untuk kehidupan yang layak menyebabkan banyak yang terperangkap dalam sebuah perdagangan orang. Perdagangan orang terjadi dengan tidak memandang jenis kelamin dan usia, baik laki-laki atau perempuan, dewasa atau bahkan anak-anak.46

43

Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia (DUHAM) diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, yang merupakan standar umum mengenai pemajuan dan mendorong penghormatan terhadap hak dan kebebasan manusia sebagai landasan dari keadilan, kebebasan dan kedamaian.

44

Achie Sudiarti Luhulima, “ Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan”, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 38-39

45

Ibid., hal 78

46

Administrator, ”Trafficking di Indonesia“, http://www.humantrafficking.org/countries/ Indonesia, diakses tanggal 2 Mei 2011

Daerah-daerah di Indonesia yang dulunya hanya sebagai daerah penerima sekarang berubah menjadi daerah transit, bahkan sebagai daerah pengirim dan sebaliknya. Perdagangan orang terjadi tidak hanya lintas daerah dalam wilayah Indonesia namun telah meluas menjadi lintas negara atau antar negara.47

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (UU HAM) dalam Pasal 65 diatur secara eksplisit mengenai kriminalisasi perdagangan orang tersebut yaitu dengan menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan ekploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa perbudakan merupakan salah satu kejahatan kemanusiaan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik. Penjelasan pasal ini menyebutkan dengan tegas bahwa perbudakan adalah termasuk tindakan perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak.

Perkembangan selanjutnya yaitu lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), undang-undang ini semakin memperjelas pemahaman tentang tindak pidana ini.

47

Pasal 1 ayat (1) UU PTPPO berbunyi :

Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalagunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tersebut tereksploitasi.

Penjelasan umum dari undang-undang ini menyebutkan bahwa perdagangan orang adalah bentuk modren dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.

Kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi ini dimanfaatkan oleh orang atau sekelompok orang untuk melakukan atau mengembangkan kejahatannya. Salah satu bentuk kejahataan yang berkembang itu adalah perbudakan atau perhambaan dalam bentuk yang baru yaitu perdagangan orang (trafficking), yang beroperasi secara tertutup dan terorganisasi dan disertai dengan semakin canggihnya peralatan dan modus operandinya.48

Monsignor Franklyn M, menyatakan bahwa :49

Human trafficking is not a new phenomenon. Since a decade or so, however, this appalling practice has reached epidemic proportions. Listed as one of the three most profitable organized crimes alongside the trafficking of weapons and drugs and intrinsically related to them, human trafficking is part of the dark side of reality virtually everywhere. The U.S. State Department's 2007 report on human trafficking estimates that 800,000 people

48

Karen E. Bravo, Op.Cit., hal. 2 49

Monsignor Franklyn M., “International Trafficking in Persons : Suggested Responses to a scourge of Humankind“, (Westlaw : Intercultural Human Rights Law Review, 2008), hal. 1

are being trafficked across borders each year, with 80% of the victims being women and children, and up to 50% minors.

Protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku perdagangan orang khusus perempuan dan anak, Suplemen Konvensi PBB untuk Melawan Organisasi Kejahatan Transnasional, Protokol ini memberi pengertian perdagangan orang adalah :

a. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalagunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh.

b. Persetujuan korban perdagangan orang terhadap eksploitasi yang dimaksud yang dikemukakan dalam sub alinea (a) ini tidak relevan jika salah satu dari cara-cara yang dimuat dalam subalinea (a) digunakan.

c. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai perdagangan orang bahkan jika kegiatan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam subalinea (a) pasal ini.

d. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun.50

Dalam suplemen ini juga disebutkan maksud dibuatnya protokol ini yaitu : untuk mencegah dan melawan perdagangan terhadap orang, memberi perlindungan kepada perempuan dan anak-anak, untuk melindungi dan mendampingi korban perdagangan orang dengan penuh kepedulian terhadap hak-hak azasi mereka.51

50

Farhana, Op.Cit., hal. 21

51

Kathleen K. Hogan dalam komentarnya mengatakan “Human trafficking is a

very profitable form of organized crime. It is the most profitable form of illegal trade worldwide, second to the trafficking of arms and drugs. Criminal groups make more than nine billion dollars in annual revenue globally from the trafficking of human beings.52

Dengan demikian dapat dilihat bahwa Trafficking (perdagangan orang) merupakan tindak pidana yang bisa dilakukan oleh perorangan dan sindikasi

(organised crime) yang sangat menguntungkan karena perputaran uang yang sangat

besar. Sebagai bukti bahwa kejahatan perdagangan orang adalah merupakan kejahatan yang sangat menguntungkan, hal itu bisa dilihat dari perkembangan tindak kejahatan ini dari tahun ke tahun.

Data International Organization of Migration (IOM) Indonesia, disebutkan Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara pengirim terbesar dengan total persentase sebesar 99,71% (sembilan puluh sembilan koma tujuh puluh satu persen), diikuti oleh negara Uzbekistan sebesar 0.24% (nol koma dua puluh empat persen) dan Kamboja dan Ukraina masing-masing dengan persentase 0.03% (nol koma nol tiga persen).53

52

Kathleen K. Hogan, “Comment Slavery In The 21st Century and In New York : What Has The State Legislature Done?”, (West law : Albany Law School, 2008), hal. 2

53

International Organization Migration (IOM) Indonesia, http://www.iom. or.id/ loadpdf.jsp?lang=eng=upd2fike=custatistics2010June2010(28072010).pdf, diakses tanggal 27 April 2011

Data perdagangan orang dengan kategori provinsi pengirim atau daerah asal di Indonesia, lima kota yang menduduki peringkat teratas adalah Jawa Barat, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara.54

Dari semua data kejahatan trafficking (perdagangan orang) yang terjadi sebagian besar kejahatan itu dilakukan ke luar negeri dengan negara tujuan Malaysia, Saudi Arabia dan Singapura,55 ketiga negara ini menduduki 3 (tiga) peringkat teratas.

Dari penelitian yang dilakukan International Organization Migration (IOM) Indonesian, dapat dilihat bahwa kejahatan trafficking (perdagangan orang) yang dilakukan oleh agen sejumlah 2059 (dua ribu lima puluh sembilan) kasus atau sebanyak 54.40 %, agen penyalur resmi sebanyak 736 (tujuh ratus tiga puluh enam) kasus atau sebanyak 19.54 %, anggota keluarga sebanyak 260 (dua ratus enam puluh) kasus atau sebanyak 6.87 %, teman 236 (dua ratus tiga puluh enam) kasus atau sebanyak 6.24 %, tetangga sebanyak 232 (dua ratus tiga puluh dua) kasus atau sebanyak 6.13 %, kontak pribadi ada 112 (seratus dua belas) kasus atau sebanyak 2.96 %, sedangkan yang tanpa data sebanyak 150 (seratus lima puluh) kasus atau sekitar 3.96 %.56

Meskipun kejahatan trafficking (perdagangan orang) telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, tetapi aparat penegak hukum masih belum bisa memaksimalkan perannya dalam memberantas trafficking, hal ini dapat terjadi karena ringannya hukuman yang diberikan kepada para pelaku trafficking di 54 Ibid., hal. 2 55 Ibid., hal. 4 56 Ibid., hal. 6

Indonesia.57 Akibatnya kasus trafficking bukannya dapat diatasi tetapi sebaliknya makin meningkat.

Peningkatan ini juga terjadi karena beberapa faktor seperti adanya kelemahan pada perangkat hukum (peraturan perundang-undangan) dan juga adanya faktor-faktor di luar peraturan perundang-undangan. Kelemahan pada perangkat hukum disebabkan adanya peraturan yang sulit untuk diterapkan pada kasus-kasus trafficking yang ditangani oleh aparat penegak hukum.58

Faktor-faktor di luar peraturan perundang-undangan misalnya adanya pandangan masyarakat tentang perempuan yang menganggap bahwa bila ada kejahatan yang terjadi pada dirinya, maka hal itu merupakan kesalahannya sendiri. Selain itu ada juga pandangan masyarakat yang enggan terlibat dengan masalah orang lain terutama yang berhubungan dengan polisi karena akan merugikan diri sendiri, alasan lainnya ada kecendrungan paradigma pemerintah yang memandang tenaga kerja sebagai komoditi penghasil devisa negara, kemudian adanya faktor-faktor sosial yang berkembang di masyarakat, misalnya masih adanya diskriminasi terhadap perempuan. Ada juga kelemahan yang datang dari aparat penegak hukum yang disebabkan ketidaktahuan mereka tentang masalah trafficking (perdagangan orang). 59

57

Banyak kasus trafficking diputus hakim Pengadilan Negeri dengan pidana jauh lebih rendah dari batas minimal yang ditetapkan oleh undang-undang.

58

Farhana, Op.Cit., hal. 137

59

Bachtiar H. Tambunan mengatakan bahwa kesulitan untuk memberantas

trafficking karena beberapa kendala yaitu : 60

1. luas wilayah Indonesia yang tidak sebanding dengan petugas pengawas di perbatasan.

2. kemampuan penyidik polisi yang masih rendah, sedangkan tempat kejadian perkara terkadang melintasi dua negara, hal ini menimbulkan masalah dalam pelaksanaan penyidikan.

3. belum adanya atau jarangnya kerjasama antar negara untuk menindaklanjuti kasus trafficking dan sulitnya melakukan penyidikan apabila tempat kejadian perkara di luar negeri dan tersangkanya adalah warga negara asing. 0

5 - June

Menghadapi kondisi ini, maka diperlukan kebijakan yang lebih dapat mengatur secara komprehensif mengenai pencegahan, penanganan, penanggulangan, dan penegakan hukum atas tindak pidana perdagangan orang.

B. Bentuk-bentuk Trafficking

Bentuk-bentuk perdagangan orang dapat berupa pekerja migran, pekerja anak, perdagangan anak melalui adopsi (pengangkatan anak), pernikahan dan pengantin pesanan, dan implantasi organ tubuh.61

1. Pekerja Migran

Pekerja migran adalah orang yang berimigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat yang baru tersebut dalam jangka waktu relatif menetap. Pekerja migran terbagi dua yaitu :

60

Administrator, ”Kasus Trafficking terus meningkat”, http://matanews.com/2009/06/28-kasus-trafficking -terus- meningkat, diakses tanggal 23 April 2011

61

a. Pekerja Migran Internal

Pemerintah mengatur kebijakan tentang penempatan tenaga kerja dalam negeri untuk menjamin perlindungan bagi tenaga kerja yang ditempatkan melalui penetapan prosedur dan mekanisme penempatan tenaga kerja serta pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan tersebut, sehingga tidak terjadi perdagangan orang.

Dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPPO disebutkan :

Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalagunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut diwilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) rahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).

Dari rumusan pasal ini dapat dilihat bahwa tindak pidana perdagangan orang tersebut adalah :

1) adanya perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,atau penerimaan seseorang.

2) adanya ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahguanaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat.

3) walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain.

5) di wilayah Negara Republik Indonesia.

Kemudian dalam Pasal 3 UU PTPPO, memberi rumusan tindak pidana

trafficking (perdagangan orang) sebagai berikut:

a. memasukkan orang

b. ke wilayah Negara Republik Indonesia c. dengan maksud untuk dieksploitasi d. di wilayah negara Republik Indonesia e. atau dieksploitasi di negara lain

Pasal ini dapat digunakan apabila pelaku perdagangan orang menjadikan negara Republik Indonesia sebagai tempat tujuan perdagangan orang tempat dilakukannya eksploitasi, atau apabila pelaku menjadikan negara Republik Indonesia sebagai tempat transit atau persinggahan sebelum pelaku membawa korban perdagangan orang ke negara lain sebagai tempat tujuan.

b. Pekerja Migran Internasional Pasal 4 UU PTPPO disebutkan :

Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pengirim tenaga migran terbesar. Kebijakan penempatan Tanaga Kerja Indonesia (TKI) dan Tenaga Kerja Wanita (TKW) pada prinsipnya adalah penempatan jasa manusia bukan komoditas barang,

tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak kelemahan dan tantangan di dalam proses tersebut, sehingga penyimpangan-penyimpangan dari visi dan misi kebijakan penempatan TKI/TKW tersebut menimbulkan banyak peluang yang memungkinkan terjadinya trafficking (perdagangan manusia. Kaitannya dengan pengadaan jasa TKI/TKW yaitu bahwa banyak kasus trafficking terjadi akibat dari kesalahan yang dimulai dari proses perekrutan bahkan sampai pada proses penempatan tenaga kerja di luar negeri. Trafficking terjadi akibat kesalahan PJTKI dan PPTKIS.62

Banyak ditemui kasus TKI/TKW mengalami penyiksaan di luar negeri, hal ini bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 10 dari Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, dimana pasal ini diatur bahwa tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya dapat dijadikan sasaran penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.

2. Pekerja Anak

Pada tahun 1990 pemerintah Indonesia telah meratifikasi hak-hak anak. Hal ini sebagai bentuk perhatian bagi masalah buruh anak. Batas minimum anak yang diperbolehkan bekerja diundangkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 1999 tentang pengesahan Konvensi ILO.

62

Hal ini berhubungan dengan reputasi dari PJTKI dan PPTKIS sebagai perusahaan yang berwenang untuk melakukan yang melakukan perekrutan dan penempatan tenaga kerja di luar negeri. Dari hasil audit yang dilakukan oleh Kementrian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi terhadap 560 (lima ratus enam puluh) PJTKI, maka ada sejumlah 165 ( seratus enam puluh lima) yang memiliki reputasi jelek, 150 (seratus lima puluh) reputasi sedang dan sisanya sebanyak 245 (dua ratus empat puluh lima) dengan predikat baik.

Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berkaitan dengan anak dalam rangka menjamin dan menghindarkan anak dari bentuk-bentuk eksploitasi, khususnya yang berkaitan dengan bentuk-bentuk-bentuk-bentuk pekerjaan terburuk yang dilakukan anak.

Pasal 74 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan :

a. Siapa pun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan terburuk.

b. Pekerjaan-pekerjaan terburuk yang dimaksud pada ayat (1) meliputi : 1. Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya,

2. Segala pekerjaan yang bermanfaat, menyediakan atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian

3. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, dan/atau

4. Semua pekerjaan anak yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak63

c. Jenis-jenis pekejaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) huruf d ditetapkan dengan keputusan Menteri.

63

Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan

ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action For The Elimination of The Worst Form of Child Labour, dalam konvensi ini disebutkan bahwa Pasal 1. Negara anggota

Dokumen terkait