• Tidak ada hasil yang ditemukan

35

650 m dpl, sedangkan di sekitar khatulistiwa dapat ditanam sampai ketinggian 2.000 m dpl.

Tanaman jeruk di Kabupaten Karo pada umumnya dapat bertahan 10 hingga 25 tahun, tetapi terdapat juga kebun jeruk yang tanamannya jeruknya telah berumur puluhan tahun. Perawatan dan kondisi iklim yang mendukung dapat memperpanjang umur tanam tanaman jeruk. Sesuai dengan literatur Rismunandar (1986) yang menyatakan tanaman jeruk dapat juga dipelihara terus hingga mencapai puluhan tahun dan bahkan ratusan tahun, terutama jika pohon jeruk tersebut tumbuh dalam suatu lingkungan yang cocok dan tidak terserang oleh penyakit atau hama. Pada umumnya petani jeruk di Kabupaten Karo menaman jeruk dengan jarak tanam 5x5m. sehingga dalam 1 Ha biasanya terdapat ± 400 pohon.

Petani pada umumnya memberikan pupuk dengan intensitas 3-4 kali setahun. Harga pupuk yang cenderung cukup mahal menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam pemberian pupuk. Pemberian pupuk yang kontiniu dan tepat tentunya dapat meningkatkan produksi. Tidak hanya pemberian pupuk, pengendalian hama dan penyakit tanaman juga tentunya berpengaruh pada produksi dan mutu buah tersebut. Petani karo biasanya melakukan penyemprotan dalam 4 kali sebulan, tetapi ada juga petani yang melakukan penyemprotan dalam 10 hari sekali. Kendala yang dihadapi dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman biasanya adalah cuaca.

Pemanenan jeruk pada umumnya dilakukan 2 kali setahun. Tetapi produksi dari setiap petani per ha cenderung berbeda. Hal ini tentu saja diakibatkan dari perbedaan perawatan dan pemberian pupuk dari masing-masing

petani. Pemanenan jeruk pada umumnya tidak dapat dilakukan bila sedang hujan, karena jika buah dipetik dalam keadaan basah maka buah tersebut dapat rusak. Sesuai literatur Pantastico (1986) yang menyatakan buah jeruk mudah menjadi rusak dalam penanganan bila dipetik dalam keadaan basah. Kulitnya mungkin membengkak sewaktu basah dan mudah menjadi memar atau tergores, lonyoh karena sinar matahari, dan menujukkan sel-sel berminyak (oleocellosis).

Pemasaran jeruk di Karo hanya terpatok pada agen/distributor. Hal ini mengakibatkan petani tidak memiliki kuasa dalam penetapan harga. Bahkan apabila harga dari agen/distributor tidak sesuai petani rela menjual jerih payahnya tersebut. Terkadang ada juga petani yang rela membiarkan kebunnya tidak dipanen. Hal ini mungkin saja diakibatkan dari budaya atau gaya hidup dari petani di daerah tersebut.

Mengenai bentuk bantuan yang diharapkan petani dalam usaha mengembangkan usaha taninya dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Proporsi bantuan yang diharapkan petani di Kabupaten Karo Modal 20% Subsidi 29% Penyuluhan 14% Lain-lain 15% Tidak mengharap bantuan 22%

Bantuan

37

Terdapat cukup banyak dari petani Karo yang sama sekali tidak mengharapkan bantuan dari pemerintah, 22% dari petani di Kabupaten Karo tidak mengharapkan bantuan walaupun kondisi dari petani tersebut memerlukan bantuan. Hal ini dikarenakan kurangnya interaksi dari pemerintah daerah tersebut dengan petani. Tetapi disamping itu banyak juga petani yang masih mengharapkan bantuan dari pemerintah, 29% diantaranya adalah subsidi pupuk, 20% dari petani sampel mengharapkan bantuan modal, 15% dari petani berharap bantuan lain (pengawasan terhadap pupuk palsu, teknologi pasca panen (misalnya pembangunan pabrik, alat dan mesin pertanian guna memberi nilai tambah atau menstabilkan harga jeruk, pembentukan kelompok tani, kestabilan harga) dan 14% petani mengharapkan penyuluhan.

Problematika Pasca Panen Jeruk

Tidak stabilnya harga jeruk di Kabupaten Karo tentunya diakibatkan oleh berbagai permasalahan pada pasca panennya. Penanganan pada masalah-masalah yang timbul diharapkan dapat memperbaiki ketidakstabilan harga jeruk tersebut. Berikut tanggapan petani jeruk/stakeholder di Kabupaten Karo mengenai masalah-masalah yang dihadapi dalam pasca panen.

Infrastruktur

Baik buruknya infrastruktur, baik di Kabupaten Karo ataupun infrastruktur di daerah lain yang dilalui angkutan pengangkut jeruk sangat berpengaruh pada harga dari jeruk tersebut. Buruknya infrastruktur dapat memberikan hambatan pada alat angkut/transportasi. Tidak hanya menghambat, buruknya infrastruktur juga dapat mengakibatkan kemasan ataupun jeruk itu sendiri rusak. Dengan adanya masalah/resiko tersebut, tentunya agen/distributor memberikan harga yang

cukup rendah pada petani untuk mengantisipasi kerugian yang diakibatkan masalah-masalah tersebut.

Dari hasil penyebaran kuisioner pada petani sampel mengenai faktor infrastruktur dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Proporsi tanggapan petani terhadap infrastruktur

Sebagian besar petani beranggapan infrasturktur merupakan salah satu faktor paling dominan/berpengaruh dalam pasca panen. 32% dari petani sampel yang berada di Kecamatan Tiga Panah beranggapan masalah infrastruktur dapat menjadi kendala yang cukup serius bagi pasca panen jeruk, 27% petani Kecamatan Merek juga beranggapan sama, pada Kecamatan Simpang empat ada 23% petani yang beranggapan infrastruktur merupakan salah satu kendala yang cukup berpengaruh pada pasca panen jeruk, sedangkan pada Kecamatan Barus Jahe hanya 18%.

Transportasi

Demikian halnya dengan infrastruktur, kemacetan pada lalu lintas mengakibatkan alat transport mengalami keterlambatan pengangkutan jeruk ke daerah tujuan. Sehingga hal ini juga dapat mengakibatkan buah rusak/busuk

Merek 27% Barus Jahe 18% Tiga Panah 32% Simpang Empat 23%

Infrastruktur

39

selama pengangkutan. Resiko ini juga tentunya mengakibatkan agen/distributor sekali lagi harus memberikan harga yang cukup rendah pada petani untuk menghindari kerugian pada pihak mereka. Pengantisipasian resiko tentu saja sangat wajar dalam pemasaran, tetapi antisipasi yang dilakukan agen pada petani tidak cukup wajar. Dari hasil penyebaran kuisioner pada petani sampel mengenai faktor transportasi dapat dilihat pada gambar 10.

Gambar 10. Proporsi tanggapan petani terhadap transportasi

Pada Kecamatan Simpang empat dan Kecamatan Tiga Panah jumlah petani sampel yang beranggapan transport merupakan salah satu kendala yang cukup berpengaruh terhadap pasca panen jeruk cukup besar, yaitu sebanyak 32%. Pada kecamatan Merek terdapat 23% petani yang beranggapan sama, dan sisanya, 13% dari petani sampel pada Kecamatan Barus Jahe.

Persaingan harga

Persaingan harga yang terjadi bukanlah persaingan harga antar produsen, karena secara tidak langsung petani diposisikan pada posisi dimana petani yang bertindak sebagai produsen tidak memiliki kesempatan untuk memberikan harga.

Merek 23% Barus Jahe 13% Tiga Panah 32% Simpang Empat 32%

Transportasi

semaksimal mungkin agar dapat membeli jeruk dengan harga seminimal mungkin dan menjualnya kembali dengan harga semaksimal mungkin. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan, bisa dikatakan petani yang menabur, agen yang menuai. Karena dalam hal ini pihak yang sangat diuntungkan adalah agen.

Gambar 11. Proporsi tanggapan petani terhadap persaingan harga

Dalam hal persaingan harga, petani sampel terbesar yang beranggapan kendala ini berpengaruh pada pasca panen jeruk terdapat pada Kecamatan Merek, yaitu 36%. Pada Kecamatan Simpang Empat terdapat 29% petani sampel yang beranggapan sama, dan pada Kecamatan Tiga Panah terdapat 21% petani sampel, dan 14% petani sampel pada Kecamatan Barus Jahe dengan pendapat sama.

Mutu

Sebagian besar petani di Kabupaten Karo belum terlalu memberi perhatian khusus pada mutu produksi mereka. Karena produksi dari kebun mereka dijual secara borongan tanpa dilakukan gradding ataupun penanganan pengendalian mutu lainnya. Proses pengelompokan biasanya dilakukan bila buah telah sampai di tangan agen. Berikut data yang diperoleh dari penyebaran kuisioner pada petani sampel: Merek 36% Barus Jahe 14% Tiga Panah 21% Simpang Empat 29%

Dokumen terkait